Anda di halaman 1dari 17

PORTOFOLIO 1

Angioedema

Disusun sebagai syarat kelengkapan program dokter internship


oleh :
dr. Putri Irmayani

Pendamping :
dr. Rahmawati

RSUD Balangan
Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan
2015

BERITA ACARA PRESENTASI PORTFOLIO

Pada hari ini tanggal ________________________telah dipresentasikan portfolio oleh :


Nama peserta

: dr. Putri Irmayani

Dengan judul/topik : Angioedema


Nama pendamping : dr. Rahmawati
Nama wahana

: RSUD Balangan, Kabupaten Balangan, Provinsi

Kalimantan Selatan
N
o
1

Nama Peserta Presentasi

No

Tanda Tangan

10

10

11

11

12

12

13

13

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

( dr. Rahmawati )

PORTOFOLIO BEDAH

Nama
Peserta
Nama
Wahana
Topik
Tanggal
(kasus)
Nama
Pasien
Tgl
Presentasi
Tempat
Presntasi

dr. Putri Irmayani


RSUD Balangan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan
Angioedema
13 April 2015
An. Auril Apriliani

No. RM

015249

-4-2015

Pendamping

dr. Rahmawati

RSUD Balangan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan


OBYEKTIF PRESENTASI

o Keilmuan

o Keterampilan

o Penyegaran

o Tinjauan Pustaka

o Diagnostik

o Manajemen

o Masalah

o Istimewa

o Neonatus

o Bayi

o Remaj
a

o Anak

o Dewas
a

o Lansia

o Bumil

o Deskripsi :
Pasien datang dengan keluhan benjolan di vagina sejak 10 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS).
o Tujuan :
- Mendiagnosis Angioedema melalui anamnesis,
pemeriksaan penunjang.
- Indikasi rawat pada penderita demam berdarah
- Melakukan perencanaan terapi yang tepat
- Kriteria pemulangan pasien Angioedema
Bahan
Bahasan:
Cara
Membaha
s:

pemeriksaan

fisik,

o Tinjauan
Pustaka

o Riset

o Kasus

o Audit

o Diskusi

o Presentasi
Kasus

o Email

o Pos

DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI

dan

1. Diagnosis :
Angioedema ec reaksi alergi obat
2. Gambaran Klinis
Pasien datang dengan keluhan gatal sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Gatal dirasakan di seluruh tubuh. Gatal timbul setelah meminum obat
mixagrip. Gatal disertai dengan bengkak di wajah dan leher. Pasien juga
mengleluhkan bibir pasien terasa bengkak. Riwayat demam disangkal. Riwayat
batuk pilek disangkal. Pasien tidak mengeluh sesak napas, pusing, nyeri badan, mual dan

muntah
3.Riwayat pengobatan:
Pasien belum pernah ke dokter/bidan/mantri.
4.Riwayat kesehatan /penyakit :
Asma (-), hipertensi (-), DM (-)
5.Riwayat keluarga :
Ibu pasien juga memiliki penyakit rhinitis alergika.
6.Riwayat pekerjaan :
Pelajar
7.Kondisi lingkungan sosial dan fisik :
Pasien tinggal di kawasan padat penduduk dengan sanitasi baik.
8.Riwayat imunisasi : Lengkap
Daftar Pustaka :

1. Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. Goodheart H. 2013. Diognosis Fotografik & Penatalaksanaan Penyakit Kulit Edisi 3.
Jakarta : EGC
3. Veleyne A, Roujeau J-C. 2008. Urtikaria and Angioedema In :Wolff K, Goldsmith LA,
editor Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 7th ed.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 3 Januari 2014,
dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UMY
6. Veleyne A, Roujeau J-C. 2008. Erithema Multiforme In :Wolff K, Goldsmith LA, editor
Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 7th ed
7. Ogundele,MD. Erythema Multiforme. February 8th
http://emedicine.medscape.com/article/762333-follow up

2010.

8. Mark, H. Swart. 2005. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC

Avalaible

from:

Hasil Pembelajaran :
1. Memahami manifestasi klinis, derajat, serta terapi pada demam berdarah
dengue
2. Memahami indikasi rawat pada penderita demam berdarah dengue
3. Kriteria pemulangan pasien demam berdarah dengue

Follow up:
Tanggal 13-4-2015
S : bengkak di wajah dan leher (+), gatal (+),
O : N : 90 kali/menit
RR
: 24 kali/menit
T : 36
Status Lokalis a/r facialis
Inspeksi : edema palpebra (+/+), wajah bengkak (+), edema labia superior (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), gatal (+)
A: Angioedema ec reaksi alergi obat
P: IVFD Dextrose 5 % 14 tpm (makro)
Inj. Ranitidin 2x20mg
Inj. Metylprednisolon 3x10 mg
Inj. Vicillin 4x200 mg
Po. Cetirizin 2x1 cth
Hasil Laboratorium (13/04/2015)
Hb
: 10,4 gr/dl
Eritrosit
: 3,91 juta/mm3
Leukosit
: 12.600 mm3
Hematokrit : 25,8 %
Trombosit
: 157.000
Tanggal 14-4-2015
S : bengkak di wajah dan leher (+), gatal (+),
O : N : 90 kali/menit
RR
: 24 kali/menit
T : 36
Status Lokalis a/r facialis
Inspeksi : edema palpebra (+/+), wajah bengkak (+), edema labia su
Palpasi : nyeri tekan (-)
A: Angioedema ec reaksi alergi obat

P: IVFD Dextrose 5 % 14 tpm (makro)


Inj. Ranitidin 2x20mg
Inj. Metylprednisolon 3x10 mg
Inj. Vicillin 4x200 mg
Po. Cetirizin 2x1 cth

Rangkuman Hasil Pembelajaran


1. Subjektif
Pasien datang dengan keluhan gatal sejak 1 jam sebelum masuk rumah
sakit (SMRS).
Gatal dirasakan di seluruh tubuh. Gatal timbul setelah
meminum obat mixagrip. Gatal disertai dengan bengkak di wajah dan leher.
Pasien juga mengleluhkan bibir pasien terasa bengkak.
2. Objektif
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada saat pasien masuk ke
rumah sakit mendukung diagnosis Angioedema. Pada kasus ini diagnosis
ditegakkan berdasarkan :
- Gejala klinis

pembengkakan pada wajah yang sebagian besar terjadi di dekat mata / daerah
periorbital, mulut, tenggorokan, leher, tangan dan kaki.
Pemeriksaan fisik :
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

3. Vital sign :
a. Nadi
: 90 x/menit
b. RR
: 20 x/menit
c. Suhu
: 36,50C
4. Status gizi : kesan cukup
5. Status generalis
a. Kepala : Bentuk mesochepal, rambut warna hitam, mudah dicabut (-), luka (-)
b. Muka : tampak udem, hiperemis, eritema
c. Mata : edema palpebral (+/+), konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat, central,
d.
e.
f.
g.

reguler, 3 mm dan isokor, lesi (-), nistagmus (-)


Hidung : napas cuping (-), deformitas (-), secret (-), lesi (-), darah (-)
Telinga : serumen (-/-), lesi (-), darah (-), deformitas (-)
Mulut : edema labia superior (+), sianosis (-), lesi (-), darah (-), hematom (-)
Leher thorak
Cor
I : ictus kordis tidak terlihat

P : ictus cordis teraba pada ICS IV 1-2 cm ke arah medial midclavikula sinistra,
thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-), sternal lift(-)
P :
Batas atas jantung

: ICS II linea parasternal sinistra

Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra


Batas kanan bawah jantung

: ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial midclavikula sinistra
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
A : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
I : bentuk dada normal, hemithraks dektra dan sinistra simetris
P : nyeri tekan (-)
P : sonor pada kedua lapang paru
A : suara dasar vesikuler
h. Abdomen
I
: permukaan abdomen datar, caput medusa (-), venektasi (-)
A
: bising usus normal
P
: timpani seluruh lapang abdomen
P
: nyeri tekan abdomen (-)
i. Genitelia : tidak dilakukan pemeriksaan
j. Ekstremitas
Superior

Inferior

Akral dingin

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

Edema

-/-

-/-

Nyeri gerak

-/-

-/-

Status lokalis a/r vulvovagina :


Inspeksi : Tampak benjolan di labia mayora sinistra, berukuran 5x2 cm,
berbatas tegas, hiperemis (+), fluor albus (+) warna putih kekuningan,
darah (-)
Palpasi : nyeri tekan (+), konsistensi lunak kesan berisi nanah, fluktuatif.

3. Assessment

Diagnosis angioedema dapat diketahui melalui gejala klinis dan pemeriksaan


fisik. Gejala umum angioedema adalah

4. Plan

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan


melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radioallergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien
sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang
cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histaminereleasing autoantibodies.
ANGIOEDEMAI
Nur Adilah binti Shaharuddin, Fitria Amalia
I. DEFINISI
Angioedemai didefinisikan sebagai penghasilan pus yang membentuk bengkak pada
satu dari kelenjar Bartolini yang terletak di samping labia pada alat kelamin wanita. 1-4
Angioedemai biasa terjadi sendiri karena infeksi pada kelenjar Bartolini ataupun dari infeksi
sekunder yang berlaku pada kista Bartolini. 3,5
II. EPIDEMIOLOGI
Dua persen wanita mengalami Angioedemai atau kista kelenjar pada suatu saat dalam
kehidupannya.2,3 Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista. Salah
satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang lebih
cenderung untuk mengalami Angioedemai atau kista bartolini daripada wanita hispanik, dan
bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah. Involusi bertahap dari
kelenjar Bartolini dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini
mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi Angioedemai dan kista selama usia reproduksi.
Sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartolini atau abses di dalam hidup mereka.
Jadi, hal ini adalah masalah yang perlu dicermati. Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia
antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita
yang lebih tua atau lebih muda.3
III.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Dikutip dari kepustakaan 3


Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar bartolini
atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar,dan berada di sebelah
dorsal dari bulbus vestibuli. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang
terdapat di antara labium minus pudendi dan tepi hymen. 3 Glandula ini homolog dengan
glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan
sekresinya untuk membasahia tau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. Kelenjar
bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan
nervus hemoroidal inferior. Kelenjar bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari
bulbus, jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan kelenjar
ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan. Drainase pada
kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira-kira 2 cm yang terbuka ke arah orificium vagina
sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar bartolini tidak teraba pada pemeriksaan palapasi.
Kelenjar Bartholini berfungsi mensekresikan cairan ke permukaan vagina. Mukosa
kelenjar dilapisi oleh sel-sel epitel kubus. Cairan ini mengalir ke dalam duktus sepanjang 2,5
cm dan dilapisi oleh sel-sel epitel transisional. Duktus ini bermuara diantara labia minor dan
hymen dan dilapisi pada bagian ini terdiri atas epitel skuamosa. Oleh karena itu, kelenjar ini
dapat berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma. Kelenjar ini
mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina. Kelenjar Bartolini mengeluarkan
jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang
wanita orgasme. Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas
vagina, tetapi penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina
berasal dari bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia
vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.3,6,7

IV. ETIOPATOGENESIS

Angioedemai biasa terjadi sendiri karena infeksi pada kelenjar Bartolini ataupun dari infeksi
sekunder yang berlaku pada kista Bartolini. 2,3 :
a) Infeksi langsung pada kelenjar Bartolini3
Berlaku disebabkan organisme piokokkus seperti gonokokkus dan Chlamydia
Trachomatis. Bisa juga disebabkan oleh Staphylococcus, Escheria Coli, atau
Streptococcus faecalis.5
b) Infeksi sekunder pada kista Bartolini
Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan
dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan abses atau kista.5 Kista dapat
terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu
harus terjadi sebelum abses kelenjar. Abses kelenjar Bartolini adalah abses
polimikrobial. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses
tersebut. Infeksi pada kelenjar ini disebabkan oleh kuman gram negatif ,yaitu
golongan staphylococcus dan golongan gonococcus.2
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk
di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartolin terjadi
ketika kelenjar ini menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini biasanya tersumbat karena
berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila
saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu
sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh
kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan
membentuk suatu kista.2 Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.1,2
Angioedemai dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme
yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore (Neisseria
Gonorrhea) serta bakteri yang biasanya ditemukan disaluran pencernaan, seperti
Escherichia coli. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik
yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum.
Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Umumnya abses
ini melibatkan lebih dari satu jenis organisme. 2-5
Karena kelenjar terus menerus menghasilkan cairan, maka lama kelamaan sejalan
dengan membesarnya abses, tekanan di dalam abses semakin besar. Dinding kelenjar
mengalami peregangan dan meradang.3 Demikian juga akibat peregangan pada dinding
abses/kista, pembuluh darah pada dinding abses/kista terjepit mengakibatkan bagian yang
lebih dalam tidak mendapatkan pasokan darah sehingga jaringan menjadi mati (nekrotik).
Dibumbui dengan kuman, maka terjadilah proses pembusukan, bernanah dan menimbulkan
rasa sakit. Karena letaknya di vagina bagian luar, abses akan terjepit terutama saat duduk dan
berdiri menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. 1 Pasien berjalan
mengegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.3
V. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien pada umumnya adalah demam, malais, benjolan, nyeri, dan
dispareunia. Penyakit ini bisa menjadi ringan sampai sering terjadi rekurens. 5 Bengkak pada
mula infeksi Angioedemai cepat membesar dalam jangka waktu beberapa jam hingga

beberapa hari. Pada abses Bartholini kelenjar merah, nyeri,dan lebih panas dari daerah
sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya, atau jika
duktusnya tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat
menjadi sebesar telur bebek.3
Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang menjadi abses Bartholini dengan
gejala klinik berupa1,5 :
Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme
yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan
kelenjar limfe pada inguinal.
Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari.
Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan,
terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
Dapat terjadi ruptur spontan.
Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut,
dan berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras.
Indurasi biasa terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau
melakukan hubungan seksual bisa menyebabkan rasa nyeri pada vulva.2 Kista duktus
Bartholini dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva lainnya. Karena kelenjar
Bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan vulva pada wanita
postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya keganasan, khususnya jika
massa irregular, nodular dan indurasi persisten.5

Dikutip dari kepustakaan 2

Dikutip dari kepustakaan 1

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis. Pada
anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti panas, gatal, sudah berapa lama gejala
berlangsung, kapan mulai muncul, faktor yang memperberat gejala, apakah pernah berganti
pasangan seks, keluhan saat berhubungan, riwayat penyakit menular seks sebelumnya,
riwayat penyakit kulit dalam keluarga, riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin,
dan riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi.2
Riwayat pengobatan sebelumnya Abses Bartholini didiagnosis melalui pemeriksaan fisik,
khususnya dengan pemeriksaan dermatologi pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi
litotomi, kista terdapat di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang
eritem pada posisi jam 4 atau 8 pada labium minus posterior. Pemeriksaan gram dan kultur
jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan
Chlamydia. Untuk kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil
tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan.
Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan.3

Selain itu direkomendasi dilakukan biopsi pada wanita lanjut usia untuk mengeliminasi
tumor atau keganasan.1,3 Jika terdapat sekret vagina atau drainase cairan, specimen ini dapat
dihantar ke laboratorium untuk pemeriksaan lanjut.1
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan penanganan abses bartholini adalah memelihara dan mengembalikan fungsi dari
kelenjar bartholini. Metode penanganan kista bartholini yaitu insersi word catheter untuk
kista dan abses kelenjar bartholini dan marsupialisasi untuk kista kelenjar bartholini yang
rekuren menjadi abses.1-4
a) Insisi dan drainase abses : Tindakan ini dilakukan bila terjadi
simptomatik Bartholin's gland abscesses dan jika sering terjadi rekurensi4
b) Drainase definitif menggunakan word kateter:
c) Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an. Merupakan
sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan
saline pada ujung distalnya. biasanya digunakan untuk mengobati kista
dan abses Bartholin. Panjang dari kateter karet ini adalah sekitar 1 inch
dengan diameterNo.10 French Foley kateter. Balon kecil di ujung Word
catheter dapat menampung sekitar 3-4 mL larutan saline (Gambar 4).

d)
e) Gambar 4. Word catheter
f) Word catheter biasanya digunakan ada penyembuhan kista duktus bartholin dan abses
bartholin.4
g) Marsupialisasi: Digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena memberi hasil
yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik membuat muara saluran
kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter.
Komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi.3,4
Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-6 minggu, word catheter akan
dilepas setelah 4-6 minggu, meskipun epithelisasi biasa terbentuk pada 3-4 minggu. Bedrest

selama 2-3 hari mempercepat penyembuhan. Meskipun dapat menimbulkan terjadinya


selulitis, antibiotik tidak diperlukan. Antibiotik diberikan bila terjadi selulitis (jarang).
Terapi antibiotik spektrum luas diberikan apabila kista atau abses kelenjar bartholini
disertai dengan adanya selulitis.1,4 Biopsi eksisional dilakukan untuk pengangkatan
adenokarsinoma pada wanita menopause atau perimenopause yang irregular dan massa
kelenjar Bartholini yang nodular. Penatalaksanaan dari kista duktus bartholin tergantung dari
gejala pada pasien. Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses jarang sembuh dengan
sendirinya. 3
Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual
biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia.
Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan
drainase. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan abses
bartholin:
1. Ceftriaxone
Sebuah

monoterapi

efektif

untuk N

gonorrhoeae.

Ceftriaxone

adalah

sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum terhadap bakteri


gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan
efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada
satu atau lebih penicillin-binding protein, akan menghambat sintesis dari dinding
sel
bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg
IM sebagai single dose
2. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone.Merupakan antibiotik tipe
bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada
bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari
3. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan
dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk
C.trachomatis. Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari
4. Azitromisin

Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan


oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untukC trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 1 g PO 1x

Penggunaan antibiotik 3,4:


Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui secara pasti dari hasil pewarnaan
gram maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin
Infeksi Neisseria gonorrhoe:
Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau Ofloxacin 400 mg dosis tunggal atau Cefixime 400
mg oral ( aman untuk anak dan bumil) atau Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan
bumil)
Infeksi Chlamidia trachomatis:
Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po atau Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7
hari, po
Infeksi Escherichia coli:
Ciprofoxacin 500 mg oral dosis tunggal, atau Ofloxacin 400 mg oral dosis tunggal atau
Cefixime 400 mg dosis tunggal.
Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :
Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari, Ampisilin 250-500 mg/ dosis
4x/hari, atau Amoksisillin 250-500 mg/dosis 3x/hari po

Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual
biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia.
Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan
drainase. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan abses
bartholin:
5. Ceftriaxone
Sebuah

monoterapi

efektif

untuk N

gonorrhoeae.

Ceftriaxone

adalah

sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum terhadap bakteri


gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan
efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada
satu atau lebih penicillin-binding protein, akan menghambat sintesis dari dinding
sel

bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg


IM sebagai single dose
6. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone.Merupakan antibiotik tipe
bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada
bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari
7. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan
dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk
C.trachomatis. Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari

8. Azitromisin
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan
oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untukC trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 1 g PO 1x

VIII. PROGNOSIS
Prognosa penyembuhan baik. 10% dari kasus rekuren. Adalah penting untuk mengobati
pasien yang didiagnosa bersama dengan infeksi vagina sedini yang mungkin.

DAFTAR PUSTAKA:
1. Vorvick LJ, Storck S, Zieve D: Bartholins abscess, Medline plus: [Online]. 2010
[cited
6
May
2010].
Available
from:
URL:www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001489.htm
2. Schorge JO, Schaffer JI, Malvorson LM, et al. Cystic Vulvar Tumors In: Williams
Gynecology. China: Mc-Graw Hills Companies. 2008. p. 1723-1727.
3. Patil S, Sultah AH, Thakar R, et al: Bartholins Cyst and Abscess, Patient.co.uk:
[Online].
2010
[cited
18
January
2010].
Available
from:
URL:http://www.patient.co.uk/health/Bartholin%27s-Cyst-and-Abscess.htm

4. Farage MA, Maibach HI. Benign Vulvar Nodules and Tumors In: The Vulva natomy,
physiology, and pathology. New York: Informa Healthcare USA, Inc. 2006. p. 123125.
5. Burns T, Breathnach S, Cox N, et al. The Genital, Perianal, and Umbilical Regions In:
Rooks Textbook of Dermatology. Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd. 2010. 8th
ed. Vol 1. p.71.68.
6. Guyton AC, Hall JE. Female Physiology Before Pregnancy and Female Hormones In:
Guytons Textbook. Philadelphia, Pennsylvania: Elsivier Inc. 2006. 11th ed. p. 1023.
7. Faller A, Schunke M. Schunke G. Vestibule (Vestibulum Vaginae), Labia Majora and
Minora, and Clitoris In: The Human Body. New York: Thieme. 2004. p.496.

Anda mungkin juga menyukai