Disusun oleh:
Topik :
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internship sekaligus
sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan program internship dokter Indonesia di
Puskesmas Demak III Kabupaten Demak
Mengetahui,
DokterPendamping
Dokter Internship,
A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan
obstruksi saluran nafas (Sharma, 2011). Menurut WHO, sekitar 15 juta orang
menderita asma dan 250.000 diantaranya meninggal karena asma (Sharma, 2011).
Penyakit ini bisa timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak (PDPI,
2004).
Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma
pada anak-anak, di negara maju ataupun berkembang (Santosa, 2008). Satu dari
sebelas anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai
riwayat asma pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali (Hay et al, 2010).
Hal ini dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu modernisasi dan urbanisasi, misalnya
menurunnya pemberian ASI ekslusif dan pemukiman yang makin padat (Santosa,
2008).
B. PERMASALAHAN PASIEN
Asma memang jarang menimbulkan kematian, namun ganggguan yang
ditimbulkan sering menyebabkan kehilangan produktivitas, seperti membolos dari
sekolah (PDPI, 2004). Di samping itu penyakit ini menimbulkan gangguan pada
aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004).
Namun, menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma juga sering kesulitan sehingga
sering mengalami under/overdiagnosis atau under/overtreatment (Santosa, 2008).
Sehingga sangat penting sebagai seorang dokter untuk dapat menganali asma sejak
dini dan memberikan tatalaksana yang sesuai sehingga meningkatkan kualitas hidup
penderita.
Dalam laporan ini, kasus yang diangkat adalah pasien An.R usia 3 tahun. Dari
hasil anamnesis yang dilakukan dengan ibu pasien didapatkan keterangan bahwa
pasien mengalami demam tiga hari yang lalu. Kemudian dua hari yang lalu, pasien
menderita batuk dan pilek. Kemudian timbul bintik-bintik kemerahan pada kulit sejak
1 hari yang lalu, pertama kali muncul dari belakang telinga, leher dan muka kemudian
menyebar ke dada dan tangan. Kemerahan di kulit tidak disertai gatal, tidak ada alergi
terhadap obat-obatan maupun makanan.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan kondisi umum baik, suhu 37,9°C,
turgor kulit baik, tampak rash makulopapular pada dada yang berkonfluens, perut,
punggung, kedua lengan atas dan paha. Dokter menjelaskan kepada keluarga pasien
bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan oleh virus, sehingga diharapkan bisa
sembuh dengan sendirinya (self limiting disease). Namun, dokter tetap memberikan
obat untuk meringankan keluhan-keluhan yang ada seperti demam, batuk, dan pilek.
Dokter juga memberitahukan pada keluarga agar pasien ditempatkan di ruangan
terisolasi atau meminimalkan kontak dengan orang lainselama 4 hari setelah
timbulnya rash agar tidak menularkan campak kepada anak lain, selain itu, keluarga
harus tetap memberikan asupan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan
tubuh pasien.
BAB II
MANAJEMEN KASUS
1. Anamnesis
a. Identitas Pasien
Nama : An. D
Usia : 4 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat badan : 14 kg
A. Etiologi
Faktor genetik dan lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya asma pada anak (Liu
et al, 2008). Adanya alergen dari lingkungan mencetuskan proses imun yang berhubungan
dengan suatu kecenderungan genetik (Liu et al, 2008).
Faktor genetik ini, disebut juga atopi, mempengaruhi pada kromosom yang membawa
gen sitokin yang menginduksi adanya reaksi alergi, yaitu kromosom 5, 6, 11, 12, dan 14
Sitokin ini dapat berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF. IL 4 dindikasikan
sebagai sitokin yang berperan dalam menginduksi Th2 (Leung, 2008). Sedangkan faktor
lingkungan dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya asma. Beberapa faktor lingkungan
yang dapat mencetuskan asma antara lain:
a. Infeksi saluran nafas.
Sekitar 42% eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, terbanyak respiratory
syncytial virus (RSV) (Santoso, 2008). Akibat adanya infeksi virus mengakibatkan
kerusakan epitel saluran nafas dan jika terdapat alergen bisa langsung mengeksitasi
reaksi imun (Santoso, 2008).
b. Alergen
Alergen bisa berupa tungau debu rumah, bulu kucing atau anjing, dan serbuk sari
(Sharma, 2011). Makanan seperti susu sapi, telur, ikan, kacang tanah juga dapat
menyebabkan asma, terutama pada masa bayi dan anak yang masih muda (Santoso,
2008).
c. Bahan iritan.
Iritan seperti rokok, udara dingin, parfum, dan polusi dapat meninduksi reaksi
inflamasi (Sharman, 2010)
d. Emosi
Emosi dapat meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga terjadi pelepasan
asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma (Santoso, 2008)
e. Latihan jasmani
Latihan jasmani dapat terjadi akibat beraktivitas di udara yang dingin dan kering
(Santoso, 2008). Udara yang dingin dan kering dapat meningkatkan osmolaritas
dari sekret yang melapisi saluran nafas mengakibatkan lepasnya mediator
(Sharman, 2010). Udara yang dingin juga mengakibatkan kongesti dan dilatasi
pembuluh darah bronkial (Sharman, 2010).
f. Faktor lain
obat- obatan dan bahan kimia (obat anti inflamasi dan pewarna makanan), refluks
gastroesofagus, dan keadaan saluran nafas dapat mengakibatkan eksaserbasi asma
(Santosa, 2008)
B. Patofisiologi
Obstruksi saluran nafas mengakibatkan kenaikan resistensi aliran udara dan
gangguan ekspirasi (Shamar, 2010). Gangguan pada proses ekspirasi karena saat inspirasi
secara tidak langsung mengembangkan saluran nafas melebihi ukuran selama ekspirasi
sehingga resistensi saat inspirasi lebih rendah (Guyton and Hall, 2007).
Obstruksi tersebut menyebabkan adanya udara yang terperangkap kemudian terjadi
distensi paru berlebih (hiperinflasi). Hiperinflasi ini berfungsi sebagai kompensasi dengan
menurunkan complience paru sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Jika kompensasi
ini gagal akan mengakibatkan hipoventilasi dan ateletaksis segmental. Dan obstruksi ini
tidak merata di seluruh saluran nafas sehingga menyebabkan tidak padu padannya ventilasi
dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch) yang memperparah hipoventilasi (UKK
Pulmonologi IDAI, 2000). Ventilasi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah (UKK Pulmonologi
IDAI, 2000). Hipoventilasi menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Hipoventilasi
diperparah dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah alveolus karena hipoksia
(Shamar, 2010).
Pada fase awal serangan akut, pasien dengan asma akan mengkompensasi hipoksia
dengan hiperinventilasi sehingga tidak terjadi hiperkapnea dan dapat ditemui alkalosis
respiratorik (Shamar, 2010). Namun, dengan memburuknya obstruksi dan hipoventilasi
mengakibatkan hiperkapnea. Hiperkapnea mengakibatkan peningkatan produksi asam
karbonat sehingga menimbulkan asidosis respiratorik (Shamar, 2010). Selain itu dapat
terjadi asidosis metabolik karena hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas.
Adanya hipoksia juga mengakibatkan menurunnya produksi surfaktan dan meningkatkan
resiko ateletaksis (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Dan akhirnya pasien mengalami gagal
nafas dan berujung pada kematian (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).
C. Gejala dan Tanda
Menurut KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) , asma pada anak didefinisikan
sebagai mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara
episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal, musiman, setelah aktivitas fisik,
serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri
(Santoso, 2008). Gejala dan tanda serangan asma pada anak tergantung derajat
serangannya (IDAI, 2004). Gejala dan tanda hanya terdapat pada saat serangan (PDPI,
2004).
- Batuk
- Mengi
- Sesak nafas
- Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisah
- Penurunan aktivitas
- Sianosis
D. Diagnosis
Anamnesis
Kelompok anak yang dapat diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal
/morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada
pasien atau keluarganya. (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang sudah diuraikan di atas.
Menurut WHO (2008), pada pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi dada
(serangan akut), retraksi dada, dan ekspirasi memanjang dengan suara wheezing.
- Keadaan umum: baik sampai letargi
- Vital sign: takikardi dan takipnea
- Inspeksi: bisa terdapat sianosis, hiperinflasi dada, nafas cuping hidung,
penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal
- Auskultasi: Wheezing, ekspirasi memanjang
- Perkusi: hipersonor
- Pulsus paradoksus
Pemeriksaan Penunjang
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk mendiagnosis asma
(UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Bila diagnosis tidak pasti, dapat diberikan satu
dosis bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008). Anak dengan asma membaik dengan
cepat setelah pemberian bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008).
a. Uji Faal Paru
Pada anak lebih dari 6 tahun, sudah dapat dilakukan uji faal paru (UKK
Pulmonologi IDAI, 2000). Pemeriksaan ini lebih berfungsi untuk menilai
beratnya gejala (PDPI, 2004).
b. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus dapat juga positif pada penyakit lain, seperti rinitis
alergik, PPOK, dan bronkiektasis (PDPI, 2004).
c. Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks
Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya dilakukan pada asma
sedang/ berat (IDAI, 2004). Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran
napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak,
gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru juga perlu pemeriksaan ini (UKK
Pulmonologi IDAI, 2000).
d. Analisis Gas darah
Hanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat
ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2 (IDAI, 2004).
e. Uji Tuberkulin
(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)
Klasifikasi asma
Menurut Santoso (2008), penyakit asma dibagi menjadi dua menurut berat
ringannya, yaitu:
b. Metilxantin
Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti β2-agonis. Metilxantin lepas lambat
(teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan
juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin) (Santoso, 2008).
Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat
pemecahan cAMP menjadi 5’AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul
adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi
konvulsi (Santoso, 2008).
c. Kortikosteroid
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma (PDPI, 2004).
Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran
pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon β-
reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat diberikan secara inhalasi ataupun oral
(PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal,
yaitu kandidiasis orofaring dan batuk (Santoso, 2008). Jika dengan steroid inhalasi asma
tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obat pengontrol lain daripada menaikkan
dosis (PDPI, 2004). Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol
dengan steroid inhalasi (PDPI, 2004).
d. Kromolin
Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin
diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang
tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004)
e. Obat lain
Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia β2-agonis. Sedangkan
antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak
terlalu poten dibandingkan β2-agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat
golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene
modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis leukotrien dan memblok reseptor leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia
adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien) (PDPI, 2004).
c. Asma Persisten
Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum memuaskan,
dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau dengan
theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau meningkatkan
dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 μg).
Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap
tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 μg dan dengan cara yang
benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 μg, karena dengan penambahan
dosis kortikosteroid tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi justru
meningkatkan efek sampingnya (Supriyanto, 2005).
Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma. Apabila
asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan secara
bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat tanpa
obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil, maka
tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis kortikosteroid
menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien, atau
ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi (setara dengan budesonid
>400 μg). Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka
diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller.
Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan
kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral
(sistemik) harus merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak
(Supriyanto, 2005).
F. Edukasi
Edukasi yang baik akan mengurangi serangan akut yang akhirnya dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien (PDPI, 2004). Edukasi ini terutama ditujukan pada pasien dan
keluarganya sehingga tercapai pemahaman tentang asma, peningkatan ketrampilan
penanganan asma, dan peningkatan kepatuhan pasien (Liu et al, 2008). Yang perlu
diberikan antara lain:
a. Pengetahuan tentang asma
b. Identifikasi dan mengontrol faktor pencetus
c. Monitoring gejala asma
d. Penanganan serangan asma
e. Medikasi (jenis obat, cara penggunaan, efek samping yang mungkin timbul) (PDPI,
2004).
(Departemen Kesehatan, 2009)