Anda di halaman 1dari 15

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

Difteri Pada Anak


Vivi Silfia
10.2009.064
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 16 Jakarta Barat 11510
Telepon: (021) 5694-2061
Fax: (021) 563-1731

Pendahuluan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa
dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya
terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. 1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru
lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada
usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah
terbukti mengurangi insdensi penyakit tersebut.2

Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD RS karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu
anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat
imunisasi pasien ternyata tidak lengkap.

Anamnesis
1

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

Sesak napas merupakan manifestasi klinis dari berbagai macam penyakit. Untuk
pendekatan diagnosis, bisa melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Riwayat penyakit sekarang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sejak kapan demam yang dialami oleh anak ini dan sudah berapa lama?
Bagaimana sifat demam anak ini?
Bagaimana pola makannya, apakah ada nafsu makan atau tidak?
Sejak menderita sakit ini bagaimana cara makan anak?
Apakah bayi rewel (gelisah)?
Sejak kapan sesak nafas yang dialami
Keadaan apa saja yang dapat memperburuk keadaan anak?
Apa yang lebih dulu timbul apakah sesak nafas dulu atau demam dulu, atau

bersamaan
9. Bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya untuk anak ini?
10. Bagaimana riwayat penyakit keluarga?
11. Bagaimana riwayat pemberian ASI pada anak?
Difteri
1. Bagaimana kebersihan dari anak?
2. Bagaimana riwayat imunisasi anak?
3. Bagaimana suara nafas anak? (Khas Difteri: Serak dan Stridor)

Pemeriksaan Fisik3

Tanda Vital.
Tekanan darah, temperature, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan
tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
2

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
a. Temperatur di bawah 35oC atau di atas 41oC atau tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg menandakan keadaan gawat darurat.
b. Frekuensi Napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan

hipoventilasi

dan

kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit menunjukkan


gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam

sebelum otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.


Inspeksi
Kontraksi otot bantu napas dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran
napas.

Otot

bantu

pernapasan

di

leher

dan

otot

interkostal

akan

berkontraksi/digunakan pada keadaan adanya obstruksi saluran napas moderat hingga


parah. Asimetri gerakan dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama
pemeriksaan otot-otot napas. Pada tension pneumotoraks suatu keadaan gawat
darurat-sisi yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan
terdorong ke sisi yang disebelahnya.
Pasien dengan obstruksi saluran napas dapat memperlihatkan rongga dada yang
hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu napas.
Penyakit parenkim seperti pneumonia,

fibrosis

intersisial

dan

edema paru

biasanya meimbulkan suara ronki. Pneumonia juga dapat menyebabkan melemahnya


suara napas, pekak pada perkusi dan fremitus yang mengeras.

Palpasi.
Tertinggalnya pengembangan satu hemitoraks (salah satu sisi paru) yang
dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan
menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal
ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau efusi
pleura.
3

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK


Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh
memerintahkan

pasien

menyebutkan

tujuh

18

dengan

puluh

tujuhberulang-

ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi
pada bronkus yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya
fremitus

disebabkan

oleh konsolidasi parenkim

pada suatu

area yang

mengalami inflamasi.
Perkusi
hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi selama serangan
asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks.
redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura
Auskultasi
Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan
adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi,
efusi pleura atau pneumotoraks.
Ronki kasar dan nyaring sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan
saluran napas
Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan.
Adanya egofoni (diucapkan huruf I seperti e datar)
menandakan
konsolidasie. Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harus dipikirkan
kemungkinan

adanya

friction

rub,

bila

komponen

merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti :
Media Biakan
Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat
lesi mukokutan lain. Sebagian membrane harus diambil dan diserahkan bersama eksudat
dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk menggunakan media khusus. C.
diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang jauh, specimen pulas dapat ditempatkan
4

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

pada bungkus silika gel dan dikirim ke labolatorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung
dengan menggunakan warna Gram atau antibody fluresens spesifik tidak

dapat

dipercaya. Organisme coryneform harus didentifikasi sampai tingkat spesies dan uji
toksigenizsitasnya serta kerentanan antimikrobanya harus dilakukan untuk isolate C.
diphtheria.4
Schick test
Uji untuk kerentanan pada toksin Corynebacterium diphtheria. Toksin uji schick
disuntikan ke dalam kulit, individu yang tidak mempunyai antibody parenteral toksin
mungkin memberi hasil positif, yang terdiri dari daerah kemerahan.5

Patofisiologi Batuk dan Sesak napas


1. Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan
trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk
membersihkan saluran napas bagian bawah.
Bronkus dan trakea memiliki respon yang sangat peka terhadap benda asing yang
masuk ataupun iritasi di tempat tersebut sehingga dapat menimbulkan refleks batuk.
Laring dan karina (tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus) sangat peka,
dan bronkiolus terminalis serta alveolus terutama peka terhadap rangsang kimia
korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor.3
2. Sesak Napas3
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru.
Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang
mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila
kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan
kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani
yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut
dapat dibagi sebagai berikut:
- Oksigenasi jaringan menurun
5

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

- Kebutuhan oksigen meningkat


- Kerja pernapasan meningkat
- Rangsangan pada sistem saraf pusat
- Penyakit neuromuskuler

Anatomi Sistem Pernapasan


a. Saluran Pernapasan
Saluran Pernapasan atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke
dalam alveolus. Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan
berdinding lebih tipis pada saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila
dinding-dinding tersebut sudah tidak bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan
bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm, memiliki dinding-dinding otot polos, dan
berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah kolumner bersilia di dalam jalan napas
besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus distal. Sel-sel goblet penghasil mukus
juga ada, khususnya di dalam bronkus besar. Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat
pada membran basal diantara sel-sel epitel dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel
neuroendokrin yang mengandung serotonin, bombesin, dan polipeptida lainnya. Selsel klara kecil berbentuk kubah di dalam bronkiolus terminal menyekresi protein yang
melapisi jalan napas kecil.
b. Parenkim paru
Terdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus
paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7
bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru
merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas
bronkiolus respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel
kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut
menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung
6

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus
memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan
penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus.
c. Pleura
Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan
nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada
hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang
memungkinkan

gerakan

paru

sesuai

dinding

dada.

Fisiologi Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan
oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan
oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus menerus,
sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. CO2 ini
bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis
yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Proses respirasi
berlangsung beberapa tahap yaitu:6
- Inspirasi
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila
tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar
antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot
diafragma dan interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga
toraks mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura
menurun dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan
intraalveol, maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.6
- Ekspirasi

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila
tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu
proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru.
Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis
interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan
intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan
tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.6

Working Diagnosis: Difteri


Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa.7
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun
8

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu
uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen
A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya
biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.1
Patogenesis dan Patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes kesekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2)
yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase
melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADPribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersamasama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
9

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.7
Diagnosis Banding
Abses Retrofaring
Suatu kondisi yang ditandai dengan akumulasi nanah dibelakang tenggorokan
yang menyebabkan kesulitan bernapas. Hal ini dapat terjadi karena peradangan
kelenjar getah bening di leher. Gejalanya adalah leher kaku, nyeri, sulit menelan,
sesak nafas, stridor, dan juga terdapat benjolan.8
Abses Peritonsiler
Penyakit infeksi yang sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan
dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses terbentuk karena
penyakit penyebaran mikroorganisme. Gejalanya nyeri menelan, dehidrasi, muntah,
10

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

bau mulut (hot potato voice), sukar membuka mulut, sakit kepala, demam, dan
pembengkakan kelenjar submandibula.8
Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.9

Pengobatan dan Penatalaksanaan


Tujuan pengobata penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative
2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta
diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein
dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara
lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer.
11

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000 100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000 100.000 Intravena
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin;

eritromisin

sedikit

lebih

unggul

daripada

penisilin

untuk

pemberantasan pengidap nasofaring.


Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari
atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
12

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati
7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak
24 jam sesudah selesai terapi.

Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang
dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus
difteria dapat disebabkan oleh karena :
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya
trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas
tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring
(10,5%).1
Pencegahan
13

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5
Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :

Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandungdifteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat
adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis
ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka
yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima
14

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK

18

dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka
yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL
vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.7
Kesimpulan
Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini dapat menyebabkan
kematian terutama karena obstruksi saluran napas dan kegagalan jantung. Penanganan yang
tepat dan sedini mungkin dapat menyelamatkan nyawa penderita. Selain itu penyakit ini
dapat dicegah dengan imunisasi yang telah disiapkan oleh pemerintah yang dapat
menurunkan insiden penderita.
Daftar Pustaka
1.

Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18

2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
3. Djojodibroto D. Respirologi ( respiratory medicine ). Jakarta:AGC, 2009. 52-70
4. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta :
EGC, 2000.h.955-8, 1477.
5. Stedman. Kamus ringkasan kedokteran. Ed 4. Jakarta : EGC, 2004.h.1025.
6. Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2001
7. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
8. Benrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; .h.955-9
9. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm

15

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: vivisilfia@ymail.com

Anda mungkin juga menyukai