18
Pendahuluan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa
dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya
terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. 1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru
lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada
usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah
terbukti mengurangi insdensi penyakit tersebut.2
Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD RS karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu
anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat
imunisasi pasien ternyata tidak lengkap.
Anamnesis
1
Alamat Korespondensi:
18
Sesak napas merupakan manifestasi klinis dari berbagai macam penyakit. Untuk
pendekatan diagnosis, bisa melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Riwayat penyakit sekarang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sejak kapan demam yang dialami oleh anak ini dan sudah berapa lama?
Bagaimana sifat demam anak ini?
Bagaimana pola makannya, apakah ada nafsu makan atau tidak?
Sejak menderita sakit ini bagaimana cara makan anak?
Apakah bayi rewel (gelisah)?
Sejak kapan sesak nafas yang dialami
Keadaan apa saja yang dapat memperburuk keadaan anak?
Apa yang lebih dulu timbul apakah sesak nafas dulu atau demam dulu, atau
bersamaan
9. Bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya untuk anak ini?
10. Bagaimana riwayat penyakit keluarga?
11. Bagaimana riwayat pemberian ASI pada anak?
Difteri
1. Bagaimana kebersihan dari anak?
2. Bagaimana riwayat imunisasi anak?
3. Bagaimana suara nafas anak? (Khas Difteri: Serak dan Stridor)
Pemeriksaan Fisik3
Tanda Vital.
Tekanan darah, temperature, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan
tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
2
Alamat Korespondensi:
18
biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
a. Temperatur di bawah 35oC atau di atas 41oC atau tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg menandakan keadaan gawat darurat.
b. Frekuensi Napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan
hipoventilasi
dan
Otot
bantu
pernapasan
di
leher
dan
otot
interkostal
akan
fibrosis
intersisial
dan
edema paru
Palpasi.
Tertinggalnya pengembangan satu hemitoraks (salah satu sisi paru) yang
dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan
menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal
ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau efusi
pleura.
3
Alamat Korespondensi:
pasien
menyebutkan
tujuh
18
dengan
puluh
tujuhberulang-
ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi
pada bronkus yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya
fremitus
disebabkan
pada suatu
area yang
mengalami inflamasi.
Perkusi
hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi selama serangan
asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks.
redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura
Auskultasi
Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan
adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi,
efusi pleura atau pneumotoraks.
Ronki kasar dan nyaring sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan
saluran napas
Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan.
Adanya egofoni (diucapkan huruf I seperti e datar)
menandakan
konsolidasie. Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harus dipikirkan
kemungkinan
adanya
friction
rub,
bila
komponen
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti :
Media Biakan
Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat
lesi mukokutan lain. Sebagian membrane harus diambil dan diserahkan bersama eksudat
dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk menggunakan media khusus. C.
diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang jauh, specimen pulas dapat ditempatkan
4
Alamat Korespondensi:
18
pada bungkus silika gel dan dikirim ke labolatorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung
dengan menggunakan warna Gram atau antibody fluresens spesifik tidak
dapat
dipercaya. Organisme coryneform harus didentifikasi sampai tingkat spesies dan uji
toksigenizsitasnya serta kerentanan antimikrobanya harus dilakukan untuk isolate C.
diphtheria.4
Schick test
Uji untuk kerentanan pada toksin Corynebacterium diphtheria. Toksin uji schick
disuntikan ke dalam kulit, individu yang tidak mempunyai antibody parenteral toksin
mungkin memberi hasil positif, yang terdiri dari daerah kemerahan.5
Alamat Korespondensi:
18
Alamat Korespondensi:
18
luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus
memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan
penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus.
c. Pleura
Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan
nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada
hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang
memungkinkan
gerakan
paru
sesuai
dinding
dada.
Alamat Korespondensi:
18
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila
tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu
proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru.
Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis
interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan
intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan
tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.6
Alamat Korespondensi:
18
in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu
uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen
A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya
biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.1
Patogenesis dan Patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes kesekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2)
yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase
melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADPribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersamasama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
9
Alamat Korespondensi:
18
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.7
Diagnosis Banding
Abses Retrofaring
Suatu kondisi yang ditandai dengan akumulasi nanah dibelakang tenggorokan
yang menyebabkan kesulitan bernapas. Hal ini dapat terjadi karena peradangan
kelenjar getah bening di leher. Gejalanya adalah leher kaku, nyeri, sulit menelan,
sesak nafas, stridor, dan juga terdapat benjolan.8
Abses Peritonsiler
Penyakit infeksi yang sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan
dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses terbentuk karena
penyakit penyebaran mikroorganisme. Gejalanya nyeri menelan, dehidrasi, muntah,
10
Alamat Korespondensi:
18
bau mulut (hot potato voice), sukar membuka mulut, sakit kepala, demam, dan
pembengkakan kelenjar submandibula.8
Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.9
Alamat Korespondensi:
18
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000 100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000 100.000 Intravena
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin;
eritromisin
sedikit
lebih
unggul
daripada
penisilin
untuk
Alamat Korespondensi:
18
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati
7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak
24 jam sesudah selesai terapi.
Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang
dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus
difteria dapat disebabkan oleh karena :
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya
trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas
tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring
(10,5%).1
Pencegahan
13
Alamat Korespondensi:
18
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandungdifteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat
adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis
ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka
yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima
14
Alamat Korespondensi:
18
dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka
yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL
vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.7
Kesimpulan
Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini dapat menyebabkan
kematian terutama karena obstruksi saluran napas dan kegagalan jantung. Penanganan yang
tepat dan sedini mungkin dapat menyelamatkan nyawa penderita. Selain itu penyakit ini
dapat dicegah dengan imunisasi yang telah disiapkan oleh pemerintah yang dapat
menurunkan insiden penderita.
Daftar Pustaka
1.
Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
3. Djojodibroto D. Respirologi ( respiratory medicine ). Jakarta:AGC, 2009. 52-70
4. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta :
EGC, 2000.h.955-8, 1477.
5. Stedman. Kamus ringkasan kedokteran. Ed 4. Jakarta : EGC, 2004.h.1025.
6. Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2001
7. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
8. Benrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; .h.955-9
9. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
15
Alamat Korespondensi: