Anda di halaman 1dari 39

Minggu, 26 Desember 2010

TEORI JACQUES LACAN


Pesona Hasrat Dalam Psikoanalisis sturktural Jacques lacan
Refleksi atas ketegangan antara hasrat memiliki dan hasrat
menjadi
Kenalilah dirimu! Imperative sokratesian tersebut terus
membayangi sejarah pemikiran barat sampai sekarang.
Tersembunyi dibaliknya adalah iman atas tergeletaknya kodrat
didasar kemanusiaan. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus
mengelupas manusia dan menelanjangi kodratnya.?? Ada tiga
alasan, pertama: mengukuhkan subyektifitasnya; kedua:
memastikan pengetahuannya tentang dunia; ketiga: memantapkan
posisinya di puncak hierarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan diatas, pencarian kodrat selalu
meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles
menyebutnya sebagai komponen rendah dari jiwa yang harus di
control ketat oleh rasio. Plato menuduhnya sebagai gangguan
badani yang mencegah kita memalingkan wajah kematahari
kebenaran. Sedangkan para teoritikus pengetahuan mencapya
sebagai subjektifitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan
ilmiah.
Klimaks orgasmic dari sejarah pengucilan ini terantuk pada jerit
cogito ergo sum Descartes, manusia akhirnya dibaptis sebagai
subjek yang sadar penuh, rasional dan berjarak. Subyek Cartesian
pun menggentayangi akademisi eropa mulai dari teori
pengetahuan, moral politik sampai kebudayaan. Namun dominasi
ini tidak berlangsung lama, filsuf nietzche mencurigai adanya
sesuatu yang lain dibalik subyek Cartesian. Rasionalitas
dituduhnya menyimpang hasrat atas penguasaan, bergandengan
dengan moral yudeo-kristiani, lebih parah lagi, nietzche
menunjukkan dengan jitu tempat persembunyian hasrat yang
selama ini disimpan rapi oleh rasionalitas dan moralitas.
Oleh nietzche, pemikiran kritis akhrinya beranjak ketingkat yang
terbayangkan sebelumnya. Kritik pun dilancarkan kejantung
Cartesian. Namun psikolog akhirnya juga ingin tunjukan taring
dengan memberikan guncangan dahsyat terhadap Cartesian yang
dipelopori oleh Sigmund freud. Mereka mengatakan bahwa subyek
Cartesian menyimpan hasrat libidinal dalam ruang bawah
sadarnya, subyek Cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak
bukanlah sesuatu yang terberi, melaingkan muncul kemudian
dalam proses perkembangan psikodinamis manusia, ego cogito

adalah reaksi atas proses akuilibrasi antara hasrat bawah sadar


dan konstrain budaya.
Dilain pihak, pembacaan postmodern atas freud menjanjikan
sesuatu, di situ hasrat menperoleh refleksi cukup kuat sebagai
potensi subversi atas konstrain cultural. Salah satunya adalah
Jacques Lacan, tokoh yang disebut se sesat dari tradisi
psikoanalisis ini member sentuhan sosiolinguistik atas hasrat tak
sadar, selain itu lacan juga merehabilitasi potensi subversive
hasrat tak sadar freud yang lumpuh ditangan freud tua dan
pengikut psikologi ego.
Meski demikian, abiguitas tak bias dilepas dari pemikiran kritis
laacan. Ambiguitasa ini disebabkan oleh gagasan lacan tentang
konstitusi subyek lewat tatanan simbolik. Pra lacanian sayap kiri,
seperti Althusser dan Zizek, memiliki tafsir politisnya sendiri-sendiri
atas hal itu.
Hasrat Dan Ego
Hasrat sebagai hal yang gagal dijawab oleh tradisi rasionalisme
barat yang selalu melakukan pendekatan dengan pelbagai apriori
epistemologis yang merendahkan. Akhirnya freud mencoba
menelusuri genensis hasrat dari pengalaman badani awal antara
bayi dan ibunya. Manusia, menurutnya terlahir premature. Bayi
sepenuhnya tergantung atas perawatan sang ibu untuk
pemenuhan kebutuhan biologisnya. Pada tarap ini, bayi
mengalami sang ibu dalam ruang-waktu imajiner lepas dari
ruang-waktu manusia dewasa. Bayi mengalami ibunya sebagai
yang tak terbedakan dengan dirinya. Belum ada pembedaan
antara intra dan ekstra tubuhnya dan tubuh sang ibu.
Bayi hidup dalam sebuah dunia bulat sempurna dan selalu
memuaskan kebutuhan alaminya untuk preservasi diri. Preservasi
diri menurut freud berlanjut pada sesuatu yang melampaui
biologism. Kebutuhan nutrisi pada suatu saat menjelma menjadi
hasrat seksual. Itu terlihat dalam kenikmatan sang bayi saat
menghisap payudara ibunya.
Kebutuhan imajiner bayi/ibu akhirnya retak saat prinsip realitas
mendobrak kejantung pertahanan hasrat. Prinsip kenikmatan
akhirnya beradapan dengan kenyataan luar.
Pembacaan modern atas freud, meski demikira, luput menelisik
lebih jauh relasi hasrat dan ego Freudian. Menyerahnya hasrat
atas kendali ego adalah semacan decoy, hasrat tak pernah
sungguh-sungguh dikalahkan, ia sekadar mengambil bentuk baru
lewat penyingkapan fantasi. Hasrat atas kepuasan serta merta
sementara mengalah demi mencapai kepuasan yang lebih tahan

lama.
Bahkan formasi ego melibatkan hasrat, kehilangan yang dicintai
adalah pengalaman yang menyakitkan, sehingga sebentuk ego
mesti dibentuk lewat identifikasi dan inkorporasi. Identifikasi
adalah proses dimana individu menginternalisasi atribut orang lain
dan mentransformasinya lewat imajinasi tak sadar, identifikasi ini
kemudian menjadi bagian dari individu melalui inkorporasi:
pengambilan objek sebagian atau seluruhnya untuk menyusun
basis dari ego.
Identifikasi dan inkorporasi berakar dari hasrat untuk memiliki
identitas, sesuatu yang goyah setelah lepasnya individu dari yang
dicintai. Sebagai mana yang dikatakan freud, dengan mengungsi
ke ego, cinta terhindar dari anihilasi, identitas dirajut menjadi
kesatuan yang utuh lewat pemungutan dan pengambilalihan
bagian tertentu dari objek lewat tindak fantasi. Akibatnya, subyek
kartesian yang sadar diri menjadi ilusif, subyek Cartesian adalah
bangunan yang dibuat lewat mekanisme tak sadar dari fantasi,
imajinasi, dan hasrat. Hal inilah yang membuat pembacaan modrn
freud bermasalah, bagaimana ego mengendalikan hasrat,
sementara ego tercipta dari hasrat..
Persoalan ini akhrinya diperuncing oleh para Neo Freudian prancis
Lacan, salah satu neofreudian garda depan prancis, membongkar
kerapuhan ego yang terlalu diagung- agungkan para penganut
psikologi ego. Lacan menolak ego sebagai sumber kekuatan
psikologis, bahkan menekankan ketergantungan ego pada hasrathasrat yang menginfiltrasinya dari medan social. Ego menurutnya
tidak mampu membedakan hasratnya dan hasrat orang lain, serta
cenderung kehilangan dirinya dalam samudra objek-objek
(manusia dan citraan).
Objek identifikasi yang pertama adalah citraan sang anak
sebagaimana terpantul dicermin, anak yang sesungguhnya masih
fragmentaris, dependen, dan tak terkoordinasi mempersepsi
dirinya diceermin sebagai subyek Cartesian yang berkesatuan.
Hasrat untuk memiliki identitas mendorong sang anak untuk
mempersepsi citraan dicermin sebagai dirinya, ini menurut lacan
adalah momen primordial pembentukan ego. Momen yang
menurutnya akan terus bekerja dalam rentang hidup manusia.
Manusia memiliki deminsi imajiner dalam hidup psikisnya yaitu
kecenderungan untuk mengidentifikasi diri dengan diri-diri ideal.
Individu menurut lacan, tidak hanya kehilangan kejernihan atas
perbedaannya dengan yang lain, tetapi juga mencampur adukan
antara hasratnya dan hasrat orang lain. Dan melalui identifikasi
imajiner, dengan orang lain, menghasrati dirinya dengan hasrat

yang sama. Sederhananya adalah mencintai orang lain


sesungguhnya adalah tindak mental yang narsistik.
Refleksi Lacan ini juga memperkenalkan konsepnya tentang
hipothesis mimesis. Menurut hipotesis ini, kendali total ego atas
hasrat adalah Ilusi. Manusia adalah mahluk yang tidak tahu apa
yang harus dihasrati dan oleh karenanya, berpaling keorang lain
untuk menentukan pilihan. Hasrat ini tidak muncul dari imperative
ego, melaingkan peniruan hasrat orang lain.
Kesimpulan sementara dari bagian ini adalah administrasi total
ego atas hasrat tidaklah benar, ego adalah buatan tangan yang
didorong oleh hasrat untuk memiliki identitas, Lacan mengatakan
sesuatu tentang ego yang memispersepsi citraan sebagai dirinya.
Sebuah pencampuraduan antara yang ideal dan yang factual.

Sumber: http://revolution-kumpulanteori.blogspot.com/2010/12/teori-
jacques-lacan.html







The Subject: Sebuah Kata Telah Bermakna


The subject adalah sebuah teori psychoanalysis yang
dicetuskan oleh Jacques Lacan. Pengertian dari the
subject itu sendiri adalah dunia di mana manusia telah
menyimbolkan sebuah kata pada suatu hal tertentu. Baik
kepada benda hidup maupun benda mati, telah diberikan
suatu makna tertentu oleh manusia sebelumnya dan telah
disetujui pemaknaannya oleh mayoritas.
Misalkan sebuah apel. Kenapa kita menyebut benda
tersebut apel? Karena deskripsi dari suatu benda tersebut
merujuk pada kata apel. Benda tersebut berwarna merah,
berbentuk agak bulat, berbiji sedikit dan rasanya manis.
Dicontohkan lagi misalkan ada seorang yang lewat di
depan kita. Kita sebut ia wanita. Kenapa? Karena ia
memakai rok, berambut panjang, memiliki dada yang
menonjol, menyusui bayi, memakai sepatu berhak tinggi
dsb. Itulah yang dimaksud the subject oleh Lacan. Ketika

sebuah kata memiliki makna dan telah disetujui


pemaknaannya oleh orang banyak.
Hampir semua benda yang hidup maupun mati telah
memiliki sebuah kata untuk menyimbolkan benda
tersebut. Awal mulanya, manusia belum mengenal sebuah
kata maupun makna dari sebuah kata. Saat di mana
manusia belum mengetahui suatu kata dan makna dari
sebuah benda, dinamakan The Real oleh Lacan. Fase ini
terjadi pada waktu manusia belum memahami, mengerti
bahkan belum dapat berbicara dan pendengarannya
belum maksimal, yakni pada saat bayi.
Manusia mulai mengerti bahwa suatu benda memiliki kata
dan arti kata sejak balita. Di lingkungan keluarga, orang
tua, kakak, adik, berperan serta untuk menyuplai katakata dalam mengartikan sebuah benda. Semakin lama,
semakin banyak kosakata yang dimiliki si anak yang
didapatnya dari pergaulan antar teman, sekolah, tempat
les, perguruan tinggi, kantor dsb. Sehingga, segala
sesuatu yang tampak oleh indera manusia telah memiliki
sebuah arti, simbol dan makna tertentu seperti yang telah
dicontohkan tadi.
Apakah ini baik atau buruk?
Segala sesuatu pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk,
tergantung mata kebijakan kita yang melihatnya. Sisi baik
dari The subject adalah manusia dapat berkomunikasi
dengan manusia lain dengan lancar dan dapat saling
mengerti satu sama lain. Tidak ada hambatan dalam
menjalin suatu hubungan antar-manusia karena telah
memiliki pemahaman akan suatu kata, simbol dan arti
kata yang sama.
Sisi buruknya adalah, manusia menjadi terkekang oleh
sesuatu hal. Sebuah kata atau bahasa yang
menyimbolkan suatu benda dapat membuat manusia
membatasi dirinya oleh arti kata itu sendiri. Misalnya,
seorang wanita menurut pengertian dan pemahaman
masyarakat (indonesia) kebanyakan seharusnya di rumah
melayani suami, mengurus anak, dan segala kegiatan
yang berhubungan dengan rumah tangga. Ketika sang

wanita tersebut keluar dari pemaknaan (the subject) atas


pengertian wanita tadi, maka si wanita tersebut telah
melampaui batas-batas simbolik (the real). Ketika sang
wanita menjadi Carrier Women, maka ia telah melepaskan
simbol wanita atas pemaknaan wanita oleh umum (the
real).
Jadi, mana yang akan kamu pilih? Hidup dalam the
subject atau ingin melampaui batas-batas pemaknaan
ketika tidak ada makna atau simbol atas sebuah kata: The
Real? Semua pilihan saya serahkan ke kamu.

Sumber; http://adichal.wordpress.com/2010/09/04/the-subject-sebuah-kata-
telah-bermakna/

Karya Tersulit Lacan, Ecrits, The Function And Field Of Speech And
Language In Psychoanalysis
The Function And Field Of Speech And Language In Psychoanalysis
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Narasi
Pengantar
Jika kita mempelajari Lacan maka ada sebuah ajaran utama yang
selalu akan kita pegang secara kuat, yaitu permasalahan simbol. Simbol
bagi Lacan merupakan salah satu cara agar semua teorinya bisa menjadi
satu. Dimana Lacan dalam tulisan ini ,the function and field of
speech and language in psychoanalysis, membagi tulisannya menjadi
sebuah pendahuluan dan tiga bab. Tulisannya ini berfokus pada
permasalahan Speech dan Language dalam permasalahannya dalam
psikoanalisa.
Dalam pendahuluannya Lacan memulai dengan membagi
permasalahan dalam suatu pengerjaan psikoanalisa menjadi tiga hal, yaitu
bagaimana imaginasi itu bekerja dan disusun dalam kajian psikoanalisa
dan kemudian diinterpretasi, lalu konsep tentang libidinal object relation
which, dengan cara menggabungkan hal yang baru tentang psikoanalisa
dengan fenomenologi, dan yang terakhir adalah kemampuan seorang
psikoanalisis tersebut untuk menganalisa. Dalam kajian psikoanalisa
Lacan memperhatikan tentang bagaimana metode yang cocok untuk
menganalisa psikologi manusia. Lalu Lacan menjelaskan bahwa teori
yang dibuat oleh Freud harus dikembangkan karena teori tersebut telah
usang dan harus diubah.
Empty Speech And Full Speech In The Psychoanalytic Realization Of
The Subject

Saat proses penyembuhan melalui metode psikoanalisa Lacan


menunjukan bahwa hanya ada satu media antara sang pasien dengan
psikoanlisis dalam berkomunikasi yaitu melalui patient Speech, tetapi
speech tersebut tak hanya terbatas apa yang tersampaikan, dan terlempar,
bahkan yang tidak tersampaikanpun merupakan suatu speech. Inilah yang
dikatakan oleh Lacan sering terlupakan dan diabaikan oleh para
psikoanalisis. Lacan mengatakan bahwa subject membutuhkan perantara
dalam menyampaikansesuatu dan apakah yang menyebabkan dia
bertindak dan berkelakuan sesuatu tersebut. Memang dalam Freud
seseorang dikatakan memiliki suatu pandangan bahwa manusia
merupakan rekonstruksi dari alam bawah sadar, yang dibentuk pada masa
kanak - kanaknya, tetapi Lacan mengganti bahasa Freud menjadi manusia
dibentuk melalui suatu simbol, dan diperlukan suatu komunikasi agar
simbol tersampaikan.
Lacan mengkritik model pemikiran psikoanalisa klasik yang
mengatakan bahwa, hanya ada sang psikoanalisa yang bisa
menginterpretasi bahasa yang dikeluarkan oleh sang pasien. Di sinilah
sang psikoanalisi bergerak sebagai interpretator yang mengkonstruksi
apakah masa lalu sang pasien serta berusaha melakukan suatu anamnesis,
yang apabila hal tersebut sudah dirasakan, maka manusia tersebut
dikatakan telah sehat, dan inilah salah satu kritiknya bagaimana mungkin
masa lalu yang saya rasakan sendiri dan saya jalani, bisa dimaknai oleh
orang lain? Maka lacan menjelaskan bahwa, seharusnya seorang
psikoanalisis bisa membuat sang pasien mengingat apakah alam bawah
sadar sang pasien, dan bukan dia yang membentuk apakah sebenarnya
alam sadar sang pasien. Maka Lacan berusaha untuk mencoba
menggunakan metode simbolik miliknya, dan setiap simbolik
membutuhkan perantara, dan dalam kasus ini perantaranya merupakan
speech, tetapi tidak hanya ucapan verbal saja, tetapi ucapan non-verbal
merupakan suatu simbol, sehingga kita harus berusaha memahami,
ataupun setidaknya menanyakan asal muasal simbol tersebut dalam
speech tersebut. Permasalahan speech ini tidak hanya seperti ucapan yang
bersifat logis saja, tetapi juga dengan bahasa simbolik, metafora, humor
dan berbagai jenis lainnya.
Karena hal tersebutlah ucapan sangatlah penting dalam
psikoanalisa, sebab ucapan merupakan satu satunya alat bantu
memahami secara dua arah. Dimana pasien akan mampu mengetahui
dirinya sendiri tentang apa desire milik dirinya sendiri.
Symbol And Language As Structure And Limit Of The
Psychoanalytic Field

Selanjutnya Lacan ingin menunjukan bagaimana simbol dan


bahasa merupakan batasan yang ada. Kita mengetahui bahwa simbol
merupakan hal yang menjadi penting dalam psikoanalisa Lacan. Dia
mempertanyakan apakah sistem simbol dan bahasa itu merupakan sistem
yang serupa, seperti yang dikatakan oeh para - para positivisme logis?
Yang hanya hal yang dapat diferivikasilah yang bisa disampaikan dan
dibahas? Sebenarnya semua sistem dan bahasa itu bergerak dan
mengontrol manusia melebihi sistem logika. Lacan menganalogikan
dengan anjing yang selalu diikat dan jika dibunyikan bel, maka anjing itu
diberikan makan, sehingga setelah beberapa lama anjing tersebut akan
terbiasa bersiap - siap untuk makan jika dibunyikan suara bel. Seperti
itulah simbol bekerja yang bahkan lebih menariknya lagi simbol
tersebutlah yang menjadikan dan memberikan makna pada diri kita,
Simbol jugalah yang membangun kerelasian antara manusia,
seperti adanya kesamaan tetang keyakinan adanya reinkarnasi. Sehingga
manusia pada akhirnya memakai nama ayahnya sebagai nama
belakangnnya sehingga merasakan adanya sebuah relasi antara dirinya
dan sang ayah, yang dalam fenomena ini dikatakan memiliki kesamaan
dengan symptom Oedipus complex.
Language yaitu bahasa memiliki kegunaannya sendiri dalam
psikoanalisis, dan hal sering terjadi adalah permasalahan komunikasi
bahasa. Bahasa dalam Lacan tidak hanya diartikan sebagai huruf - huruf
yang tersusun menjadi kata, tetapi segala hal yang dikeluarkan manusia,
hingga ada suatu bahasa yang tidak bisa disusun dalam bentuk huruf dan
kalimat yang dapat dimengerti secara harfiah namun dapat dipahami
secara simbolik, seperti,oracles of anxiety, charm of impotence seal of
self-punishment dan berbagai macam hal yang Freud katakana ini semua
merupakan penderitaan yang muncul pada manusia beradab. Tapi
dibutuhkan suatu landasan agar psikoanalisa yang terbatas ini memiliki
sebuah landasan yang kuat dan saintifik.
Semua fenomena menunjukan bahwa simbol dan bahasalah yang
membatasi semua gerak - gerik psikoanalisa sehingga secara metodis
psikoanalisa dapat menggunakan bantuan linguistik, dimana linguistik
dapat membantu psikoanalisa dengan memahami dan mengkaji
bagaimana struktur - struktur yang ada itu terbentuk.
The Resonance Of Interpretation And The Time Of The Subject In
Psychoanalytic Technique
Dalam teks ini, Lacan berusaha untuk menunjukan bagaimana
proses interpretasi itu terjadi. Lacan menggunakan text Freud untuk
memahami, bahwa imajinasi merupakan suatu alat bantu yang sangat
penting untuk mendapatkan hasil interpretasi, dan imajinasi tersebut
sangat erat dengan permasalahan subjektifitas.

Keadaan subjek yang membangun dirinya dan berusaha untuk


mengucapkan segala bentuk imajinasi akan dibahas oleh sang
interpretator. Lacan dalam kasus ini mengatakan bahwa semua sumber
objek yang terkatakan oleh sang subjek tetaplah merupakan makna
simbolik yang harus dan mampu diinterpretasi. Sang subjek merupakan
sumber utama dalam pemabahasan, pembahasan kita tentang subjek dapat
dilanjutkan dengan pertanyaan tentang, bagaimana kita dapat memahami
subjek secara seutuhnya jika dibatasi oleh simbol - simbol yang ada?
Dikatakan jawabannya adalah dengan memahami kesejarahan sang
subjek.
Mengenai permasalahan kesejarahan dapat kita ketahui bahwa
sejarah berkaitan erat dengan waktu. Maka Lacan menambah suatu fokus
psikoanalisa dengan ketersadaran psikoanalisa tentang pentingnnya
waktu, yang pada akhirnya bisa membongkar simbol - simbol yang
berada di sekitar subjek yang membentuk dirinya. Ketersadaran
psikoanalisa tentang waktu memang telah dimulai oleh freud, tetapi bagi
lacan bukan hanya masa kecil, dimana masa anak - anak merupakan masa
terpenting, tetapi dimulai saat hidup hingga subjek itu tidak bereksistensi
dalam waktu.
Pada akhirnya karya tulis ini ditutup dengan kisah para Deva,
sebuah perbincangan dengan Prajapatida, Manusia, dan Ashura,
dimana saat Prajapati mengatakan Da, maka para Seva
menjawab Engkau telah mengatakan pada kita : Damyata kuasai
dirimu, hal ini bermakna harus mengikuti peraturan kemampuan
berbahasa.
lalu Prajapati kembali mengatakan Da, maka Manusia menjawab
Engkau telah mengatakan pada kita : Data, berikanlah, hal ini berarti
bahwa Manusia mengenal sesamanya dikarenakan ucapan.
Kemudian Prajapati kembali mengatakan Da kepada Asura, dan
Asura menjawab, Engkau telah mengatakan pada kita : Dayadhyam,
untuk lebih menjadi penyayang, hal ini berarti ada kekuatan terpendam
yang sesungguhnya dalam ucapan namun harus ditekan.
Prajapati mengatakan untuk yang terakhir kali, Da,Da,Da, dan
semuanya mengatakan bahwa, Engkau semua telah mendengarkan aku.
Komentar
Kita telah mengetahui semua bahwa Psikoanalisa dimulai oleh
Freud, dimana psikoanalisa merupakan bidang ilmu yang mencoba
membahas bagaimana psikologi manusia itu bekerja, dan berusaha
menyembuhkan penyakit - penyakit kejiwaan dengan metode - metode
miliknya. Namun ada anggapan bahwa psikoanalisa merupan suatu
cabang ilmu non-sainstifik sebab secara konsep sains sendiri, kita dapat

mengetahui bahwa sains membutuhkan objek yang objektif, dapat diukur,


diulang dan diindrai, namun apakah psikologi manusia dapat masuk
kedalam itu semua?
Kita dapat mengetahui, bahwa Lacan merupakan orang yang
menghidupi kembali psikoanalisa dan berusaha membuat psikoanalisa
lebih diterima oleh sains. Sebab psikoanalisa sendiri seringkali dikatakan
sebagai pseudoscience dan sangat berbau mistik. Lacan berusaha untuk
merubah pandangan tentang psikoanalisa tersebut, kita dapat mengetahui
dalam teks ini pada bagian pertama dimana Lacan mengatakan bahwa
dirinya memubutuhkan bantuan dari bidang ilmu lainnya. Seperti bidang
lingustik. Tetapi Disini lacan berusaha untuk menjelaskan bahwa simbol,
seperti bahasa merupakan struktur kaku yang sistemik, dan mau tidak
mau psikoanalisa membuat kerjasama dengan bidang ilmu tersebut.
Pada bab pertama kita bisa mengetahui betapa pentingnya
kemampuan berkomunikasi (speech) bagi ilmu psikoanalisa, sebab
speech merupakan satu satunya media yang mampu menyambungkan
maksud antara sang pasien dan sang psikoanalisis. Dikatakan bahwa
speech tersebut tidak hanya terbatas pada kemampuan verbal saja yang
terlontar dari sang subject, namun juga dengan apa yang tak
terkomunikasikan, maka diperlukan psikoanalisa untuk menganalisis
lebih dalam tak hanya dengan yang dapat kita tangkap secara gamblang
tetapi juga dengan apa yang tak terkomunikasikan tersebut, sehingga
pasien dapat mengetahui apakah desire miliknya tersebut.
Pada bab kedua dijelaskan bahwa psikoanalisa memiliki batasan
yaitu simbol dan bahasa. Dimana simbol itu bekerja kepada tiap subjek,
seperti seekor anjing yang terbiasa datang menunggu makanan pada jam
tertentu. Sistem dan logika dari simbol tersebut mengatur bagaimana
manusia harus bertindak agar bisa diterima oleh sekitarnnya. Salah satu
kegunaan simbol yang paling terlihat ada pada nama belakang dimana
simbol tersebut membuat kita merasa ada hubungan dengan leluhur kita,
sehingga kita menyimpan nama tersebut. Selain itu dikatakan bahwa diri
kita memang terkontrol oleh simbol - simbol dan bahasa - bahasa
terseebut.
Pada bab terakhir dijelaskan tentang bagaimana suatu interpretasi
itu terjadi dalam suatu analisa psikoanalisis dan mementingkan tentang
waktu. Mengapa interpretasi analisis itu merupakan hal yang dilihat dari
sudut pandang waktu? Kita harus mencoba kembali kemasa lalu diman
psikoanalisa bersifat kaku dan hanya memiliki doktin Freudian yang
utama, yaitu masa balita dimana manusia itu dibentuk oleh
lingkungannya. Lacan melihat hal tersbut masih kurang lengkap.
Dikarenakan Lacan melihat bahwa symbol bergerak dan mempengaruhi
tak hanya sebatas masa balita, bahkan sampai sang subjek tersebut
meninggal. Waktu merupakan hal yang mempengaruhi bagaimana simbol

itu terbentuk, sebab setiap manusia memiliki temporalitytersendiri dan


unik.
Apa saja yang dapat kita pertanyakan ataupun kritisi dari teks ini?
Hal yang paling umum kita bahas adalah, jika kita mengakui bahwa diri
kita terkontrol oleh simbol - simbol tersebut kita juga telah mengakui
bahwa diri kita seperti sebuah alat mekanik. Teori Lacan yang
memfokuskan diri tentang subject yang membutuhkan suatu komunikasi
dengan bahasa dan suatu simbol tertentu, yang secara tak langsung akan
membawa kita kedalam permasalahan strukturalisme, dimana simbol
tersebut bekerja dan mengontrol diri kita, dan jika kita berusaha melawan
simbol tersebut, maka kita mau tidak mau akan menjadi sebuah anomali
yang mengganggu,
Marilah kita berpindah sejenak dengan eksistensialisme, ajaran
filsafat dimana eksistensi merupakan suatu tugas manusia dan membuat
manusia itu bisa berbeda dengan Being lainnya. Kenapa saya ingin
membawa eksistensialime dalam pembacaan teks saya terhadap lacan?
Kita akan menyadari Lacan berpendapat bahwa, semua hal yang kita
ketahui merupakan simbol, dan kita dikontrol olehnya, sehingga pilihan
juga seharusnya merupakan hal yang telah terkontrol oleh simbol
tersebut. Maka jika seorang manusia melakukan pilihan maka belum
tentu pilihan tersebut merupakan pilihan otentik dirinya sendiri, sebab
bisa saja pilihan tersebut merupakan hasratThe Other. Teori milik Lacan
ini merupkan suatu pemotongan eksistensi manusia yang otentik, dimana
symbol tersebut akan mengebiri semua keberadaan dan kebebasan
eksistensi manusia, dimulai dari hal hal simbolik dari bahasa, sosial,
metafora, hingga simbol yang lebih nyata seperti negara dan hukum.
Kesimpulan
Kita dapat mengetahui dalam teks ini bahwa psikoanalisa Lacan
merupakan suatu psikoanalisa kritis, dimana Lacan berusaha untuk
membaca Freud tanpa menggunakan narasi besar milik Freud. Sehingga
dirinya bisa mengembangkan psikoanalisa Lacan menjadi lebih jauh dan
lebih kompleks. Tidak seperti Freud yang hanya berhenti pada penelitian
rekonsturksi sejarah subjek pada 0 5 tahun, dan berusaha
membongkarnya. Maka Lacan mengembangkan persoalan tersebut
menjadi hal lainnya dimana yang merepresi bukan hanya ada pada 0-5
tahun tetapi sampai sang subjek itu tidak ada. Disini kita dapat melihat,
bahwa bahasa dan simbol merupakan kunci utama dalam teori Lacan, dan
itulah yang kita hadapi sebagai subjek. Selain itu pada bagian komentar
penulis berusaha menarik suatu pertanyaan yang sangat berat bagi
kehidupan manusia, yaitu permasalahan eksistensi, dan akan
mempertanyakan apakah ada eksistensi bagi manusia? Kita akan
menyadari bahwa dalam teks tersebut simbol mengebiri kebebasan
eksistensi kita. Maka pada akhirnya saya mengatakan bahwa teks ini saya

artikan sebagai usahanya untuk mengembalikan


menghancurkan dan menyusun kembali psikoanalisa.

dengan

cara

Oleh Adam Azano Satrio di 04:56


Sumber; http://ruangkosongadam.blogspot.com/2011/12/draft-lacan-uas.html

the silent partners, zizek potongan kecil


Deskripsi text
Dalam buku Lacan : the silent partners, zizek menjelaskan pembacaannya
terhadap lacan, dari segi sains dan juga seni. Pada kali ini saya akan membahas bab
10 pada karyanya yang berjudul berjudul burned by the sun.
Zizek memulai tulisan ini dengan menceritakan sebuah patung kebebasan di daerah
Budapest yang berdiri pada tahun 1943 yang didirikan oleh admiral Horthy, untuk
menghormati anaknya yang gugur pada perang saat melawan pasukan merah. Lalu
pada tahun 1945 Marshall Kliement Voroshilov, melihat patung tersebut. Sang
marshall pun mengusulkan agar patung itu menjadi patung yang melambangkan
kebebasan. apa yang bias ambil kesimpulan dari kisah diatas? Dikatakan bahwa ksah
diatas bias di analogikan tetntang pesan dalam suatu seni. Dimana zizek analogikan
dengan sains yang menceritakan realitas apa adanya dari suatu kejadian dengan
metafisika seni tentang keindahan. Pada masa ini seni pada akhirnya menyentuh hal
yang nyata, dimana menyebabkan seni yang pada awalnya merasakan pleasure dari
aestethic menjadi merasakan pleasure dari rasa sakit.
Kerangka berpikir tradisional platonic mengatakan bahwa science berurusan
dengan fenomena, event, appearance. Sedangkan science berurusan dengan hard
real (kebenaran sesungguhnya), kebenaran ini merupakan objek sesungguhnya dari
seni. Prokofiev mengatakan hakikat seni seperti teks dibawh ini
Throghout its four movements one senses a powerful undertow of struggle.
Yet it is not the struggle of a work against something outside itself, but rather the
struggle, of something within the work, unmanifasted, trying desperately to break out,
and constantly finding its emergence blocked by the existing, outward form and
language of the piece/ this blocking of something within has todo with the
frustration of desire for carhartic release into some supremely positive state of being,
where meaning musical and supra musical is transparent, unironizable : in short,
adomain of spiritual purity.
Dikatakan dalam teks ini seni merupakan upaya dalam kesadaran diri untuk
mengeluarkan the thing in itself dari dalam dirinya. Memang merupakan ironi bahwa
prokofiev tidak bias mengeluarkan hal tersebut dari dalam dirinya berbeda dengan
Mozart yang mampu mengeluarkan haltersebut dalam karyanya.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah The thing in itself bias disamakan
dengan kejeniusan didalam diri? Korelasi antara jenius dengan ego seharusnya tidak
ada dalam ranah ketidaksadaran dalam Freudian, bahkan seharusnya berada
dalam ranah pemikian filsafat subjektifitas. Oleh karenaitu permasalahan ini
seharusnya di lihat dari kerangka berpikir lebensphilosophie dan permasalahan
Jungian. Ego dikatakan tidak melingkupi keseluruhan subjektivitas, itu adalah yang
bias di datangkan melaluli proses individuasi yang lama. Dapat kita simpulkan
bahwa ketidaksadaran dalam pemikiran Freudian tidak berhubungan dengan id dalam
hubungannya dengan lebensphilosophie. Maka pertanyaan selanjutnya adlah tentang

apakah itu subjeck unconscious? Kita harus merefleksikannya sejenak dengan teks
Kierkegaard tentang perbedaan jenius dengan utusan tuhan. Dimana jenius
didefinisikan sebagai individu yang mampu mengekspresikan serta meng
artikulasikan sesuatu dalam dirinya yang melebihi dirinya sendiri dalam menjelaskan
substansi spiritualnya. Sedangkan utusan tuhan subsansi dalam dirinya tidak pernah
menjadi suatu persoalan. Sebab utusan tuhan memiliki tugas formal untuk untuk
menjadi saksi suatu Truth yang berada diluar dirinya yang transenden. Lacan
mencontohkan utusan tuhan dengan seorang diplomat yang harus mereprenstasikan
negaranya. Dapat maka lacan menyimpulkan subjek yang tidak berkesadaran yang
dikatakan oleh freud sama dengan utusan tuhan yang dicirikan oleh Kierkegaard.
Pada saat sang subjek merasakan truth dikatakan oleh lacan, tubuh tersebut
telah di rubah menjadi sebuah medium terhadap truth tersebut, dan berada dalam
realitas yang tercampur aduk, sesuai dengan pernyataan Kierkegaard tentang utusan
tuhan. Zizek kemudian menyambungkan permasalahan tersebut dengan pernyataan
stalin saat berada dalam pemakaman lenin, we communist, are not like other people.
We are made of a special stuff Special stuff ini diartikan oleh zizek sebagai contoh
nyata perubahan dari the body menjadi the body of truth secara komunal.

Sumber; Oleh Adam Azano Satrio ,
http://ruangkosongadam.blogspot.com/search/label/zizek

A. Pendahuluan
Contoh karya sastra yang dapat dikategorikan sebagai interpretative
literaturetampaknya terwakili oleh dua novel Asia, yaitu karya
Kenzaburo Oe (Jepang) yang berjudul Manen Gannen no
Futtoboru (Jeritan Lirih) dan karya Jhumpa Lahiri (India) yang
berjudul The Namesake. Novel pertama dipuji karena mampu
mengurai hubungan manusia di dunia yang sulit dan menilik secara
rinci apa yang dialami para tokohnya. Usaha penyelesaian
permasalahan pribadi tiap tokoh dan permasalahan hubungan antar
tokoh yang dihubungkan dengan permasalahan komunal lingkungan
kampung halaman mereka, yaitu di kawasan lembah di Shikoku,
Jepang. Diantaranya, Oe juga menyinggung perubahan budaya yang
terjadi di Jepang dan kemerosotan harga diri di dalam
masyarakatnya. Tergambar dalam novel ini timbulnya benih-benih
kemarahan dan pemberontakan akibat ketidakmampuan berbuat
pada kenyataan yang terjadi. Selebihnya, Oe menampilkan
kesemuanya itu dalam ritme dan adonan kata-kata yang rinci
memukau dalam menggambarkannya.
Melalui novel kedua, kehidupan keluarga imigran India di AS
digambarkan secara apik dengan gaya mengalir begitu saja.
Diceritakan walau sudah tinggal dan menetap sekian lama di
Amerika mereka tetap melakukan ritual sehari-hari yang biasa

mereka lakukan di tanah kelahiran mereka. Novel ini


menggambarkan bagaimana orang India beridentitas ganda di
Amerika yang dijuluki ABCD (American Born Confused or
Conflicted Deshi).
Para tokoh di dalam dua novel tersebut memiliki karakter yang
menarik. Dalam Jeritan Lirih digambarkanlah secara unik kepribadian
mereka masing-masing. Yang menarik dari karya Oe tersebut adalah
caranya menggambarkan emosi dan perasaan masing-masing tokoh
yang begitu rinci meskipun menggunakan bahasa yang sederhana.
Pergumulan antara tokoh mengenai idealisme, perasaan, dan
pandangan yang berbeda dikemas begitu memukau dan memberi
efek psikologis bagi pembaca. Tidak tertinggal pula, ramuan apik ala
Oe (walau terkesan kasar) melaju bersenyawa dengan kenangan,
mimpi, idealisme, ketangguhan bercampur pesimisme, rendah diri,
kehilangan, ketidakberdayaan, dan hasrat di antara para tokoh.
Berkenaan dengan hal di atas, tampaknya novel ini kaya akan unsurunsur psikologis masalah kepribadian tokoh-tokoh tersebut.
Berbeda dengan Oe, Lahiri lebih mengalir dalam gaya penulisannya.
Novel ini sepertinya dibuat untuk memberikan kenikmatan membaca
novel pada para pembacanya. Tak ada kalimat-kalimat rumit atau
metafora-metafora yang berlebihan, semua disajikan dengan gaya
bercerita yang sederhana namun kaya akan detail yang membuat
pembacanya merasa sangat dekatdengan apa yang diungkap oleh
novel ini.
Masalah kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang
berhubungan dengan masalah psikis yang individual sifatnya dan
membedakannya dari individu yang lain. Dikatakan bahwa
kepribadian adalah satu totalitas dari disposisi-diposisi psikis
manusia yang individual dan memberi kemungkinan untuk memberi
perbedaan ciri-ciri dengan yang lainnya. Disposisi adalah kesediaan
kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu yang sifatnya konstan
dan terarah pada tujuan tertentu. Indivudual adalah setiap manusia
mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik
dengan orang lain (Kartono, 2005: 10).
Dalam kesempatan ini, kehadiran tokoh dua novel Asia ini terlihat tak
dapat melepaskan diri dari apa yang terpapar di dalam definisi di
atas. Hal ini menyiratkan adanya hubungan yang erat antara sastra
dan masalah-masalah kepribadian. Dengan kata lain, kajian tentang
masalah kepribadian dapat digunakan untuk mendedah kepribadian
para tokoh yang ada di dalam novel. Ada banyak teori yang telah
dikemukakan mengenai masalah kepribadian manusia, antara lain

mengenai teori kepribadian psikoanalisis. Selanjutnya, psikoanalisis


dapat digunakan untuk kajian terhadap karya sastra guna
mengetahui identitas individu-individu (para tokoh) yang berada di
dalamnya.[1]
Pengaruh kajian psikoanalisis terhadap studi sastra menunjukkan
bahwa teks sastra dapat didedah melalui mata pisau psikoanalisis.
Dalam menulis karya sastra pengarang secara tidak sadar
menghadirkan interaksi para tokoh yang sekaligus membawa
permasalahan kejiwaan mereka. Di sinilah keterkaitan teks sastra
dengan kajian psikoanalisis.
Keterkaitan antara psikoanalisis dan kesusasteraan adalah pertama,
psikoanalisis adalah suatu metode interogasi tentang kepribadian
manusia yang sepenuhnya didasarkan pada tindakan mendengarkan
pasien. Pemikiran tentang sastra dalam psikoanalisis adalah
ketidaksadaran. Kedua, pertemuan sastra dan psikoanalisis adalah
karena dalam pemikirannya, Freud, menjadikan mimpi-mimpi,
fantasme, dan mite sebagai bahan dasar. Dengan adanya hubungan
tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
psikoanalisis dengan bahasa, sastra, dan imajinasinya.[2]
Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan tampaknya paling erat
menampilkan analisis yang berkaitan dengan kajian bahasa dan
sastra. Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki implikasi yang lebih
jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme yang dibangun dengan
menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikoanalisis
Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud.[3]
Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi
penting dalam bahasan psikoanalisis. Menurut Lacan, ranah nirsadar
adalah ranah terstruktur layaknya bahasa. Bahkan, nirsadar hadir
bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan
alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang. Ditegaskan pula
bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu
secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam
hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis
dengan linguistik.[4] Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan
juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the
symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real).
Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan
manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka.
Dalam novel Jeritan Lirih, tokoh Takashi (Taka) mengalami dinamika
kehidupannya yang tidak lepas dari hasrat dan impian untuk

pembuktian diri. Kecemerlangan penggambaran tokoh Takashi ini


digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa gejolak semangat
kehidupan yang tak kenal henti tetapi justru ternodai oleh akhir hidup
yang mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam
meraih misi hidup.
Posisi Takashi dalam kancah cerita Oe dalam novel amatlah penting,
seiring dengan topik pembahasan dalam penulisan ini. Kepribadian
Takashi yang notabene sangat berbeda dengan kakaknya,
Mitsusaburo, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang
sangat kuat untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang
sama persis dengan adik kakek buyut, idolanya. Keinginan atau
hasrat seperti itu terlihat sulit untuk dipenuhi.tetapi, meskipun
demikian, tokoh tersebut mengisyaratkan akan simbol kekuatan dan
kekuasaan.
Berbeda dengan Takashi, tokoh Gogol mengalami rentang waktu
kehidupannya dengan kekuatan hasratnya untuk menjadi orang yang
berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya dalam pembuktian
dirinya sebagai seorang Gogol Amerika. Walau kultur India mau tak
mau melekat dalam darahnya, Gogol merasa bahwa ia orang
Amerika, perilakunya baik dalam sekolah, mencari hiburan, maupun
mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia memang
orang Amerika. India hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat
makanan, tradisi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan
kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.Namun ia justru menghargai
posisi hasratnya dengan mulai membaca(lihat akhir cerita).
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendedah tokoh Takashi dalam
novel Jeritan Lirihdan tokoh Gogol dalam The Namesake dengan
menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Pembahasan berkenaan
dengan hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah
sadar) yang merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan
dan mekanisme pertahanan untuk memperoleh obyek dari keinginan.
B. Ketidaksadaran (Unconsciousness)
Kepribadian modernitas mengandalkan sebuah pijakan yang teguh,
kukuh, dan tak tergoyahkan (kemapanan nasionalisme dan
humanisme keilmuan Barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran
subjek). Dengan kata lain, ego dianggap sebagai sesuatu yang tak
tergoyahkan. Namun dalam perkembanganya peradaban yang
dibangun dengan menyingkirkan segala sesuatu yang
menghalanginya menimbulkan riak yang bertentangan
(dehumanisasi).[5] Akhirnya, Lacan tampil dengan premise

Ketaksadaranlah yang membentuk kesadaran. Ini merupakan tesis


terbalik Freud yang terkenal dengan adagiumnya Wo Es war, Soll Ich
Werden (dimana ada Id disitu berpatroli Ego).[6]
Lacan menolak anggapan Freud tentang berkuasanya ego atas Id.
Menurutnya, kontrol ego atas Id adalah sesuatu yang mustahil.
Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa ketidaksadaran tidak lebih
dari sebuah tatanan simbolik dari tradisi linguistik Saussurian.
Menurutnya, ketidaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan bahasa,
dan secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa. Bertolak dari hasrat
yang senantisa bergolak, Lacan memodifikasi Saussure. Saussure
mendiskusikan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda
yang membentuk tanda (signified). Struktur tanda adalah relasi
negasi antara tanda-tanda. Sebuah tanda menjadi tanda dalam
dirinya sendiri karena ia semata-mata bukan tanda yang lain.
Dengan ini Saussure sesungguhnya menegaskan bahwa petanda
selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini
maka makna tidak dapat muncul.
Lacan mengatakan bahwa ego atauAku (sesuatu yang dirujuk
sebagai diri) hanyalah ilusi. Ia adalah produk dari hasrat itu sendiri.
Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam
kekurangan. Ego terbentuk melalui hasrat untuk memiliki identitas.
Bagi Lacan, ego merupakan sesuatu yang imajiner, sebuah
kesalahpengenalan.
C. Psikoanalisis Lacan
Menurut Lacan, pengalaman perkembangan manusia ada pada
tahap-tahap tertentu yang dikenal dengan tripartite model: yang
nyata (the Real), yang imajiner (the Imaginary), dan tahap simbolik
(the symbolic)[7]. Lintasan fase-fase tersebut oleh Lacan
dipertemukan dengan konsep kebutuhan (need), permintaan
(demand), dan hasrat (desire).
1. Yang Nyata (the Real)
Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai
kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai
kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi manusia,
kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat
terutama ibu akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat
lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi
mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang
penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan.

Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat
membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): bayi masih
merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu
kesatuan. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam Yang Nyata
yang merupakan fase sebelum pikiran.
2. Yang Imajiner (the Imaginary)
Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain
dirinya meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki
konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki
kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan, bayi
mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand).
Permintaan adalah sesuatu yang tidak dapat atau tidak mungkin
terpenuhi. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada
keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan
semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya
memulai fase Yang Imajiner.
Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (the mirror stage). Bayi
suatu ketika akan menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin.
Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir dengan keberadaan yang
lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra dalam
cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai
menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain,
bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi mengira dirinya yang berada
dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang
akhirnya diakui sebagai aku atau ego. Jadi, ego terbentuk dari
kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut
dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra
cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan
individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner
tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa
keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut
akan menjadi selalu liyan, tidak setara dengan bahkan bukan aku
yang sebenarnya.[8]
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan
alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus
berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi
pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi
diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.
3. Yang Simbolik (the Symbolic)

Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ideide tentang keliyanan, tataran Yang Simbolik dimulai. Bersamaan
dengan itu terjadilah akuisisi bahasa. Yang Simbolik adalah
keberadaan aku dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku
dinyatakan melalui bahasa. Hanya saja keberadaan antara Yang
Imajiner dan Yang Simbolik tidak memiliki batas yang jelas.
Keduanya saling tumpang tindih. Di dalam tataran inilah hasrat
(desire) berdiam.
Menurut Lacan manusia selalu berada dalam kondisi lack /
berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan
(lackness) tersebut. Hasrat (desire) pada dasarnya merupakan
keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi
berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut aku.
Ketika masuk ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus
tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Tetapi,
sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu,
melainkan penanda yang lain. Penanda ibu tidak semata
menunjukkan adanya ibu -sebagai petanda- melainkan secara
berbeda menunjuk adanya yang lain. Hasilnya, identitas hanyalah
kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas
adalah karya penandan. Mengenai kekurangan (lack) , secara
eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan
kekurangan. Kehidupan manusia bagai ajang pencarian pemenuhan
akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam makna yang
eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat
terpenuhi. Lacan menegaskan bahwa tidak mungkin kembali pada
Yang Nyata. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa
kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan
kepenuhan dalam tataran Yang Real, sementara didalamnya tidak
berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali
kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat
menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan bahasa
seperti mengejar kepenuhan yang tidak dikenali sama sekali.
D. Hasrat dalam Psikoanalisis Lacan
Apa yang sesungguhnya menggairahkan kehidupan ini? Lacan
menjawab dengan yakin: hasrat.[9] Yang pertama-tama harus
dipahami ketika berhubungan dengan hasrat adalah hasrat terhadap
Liyan. Liyan senantiasa menopang kekurangan yang tiada akhir.
liyan muncul pertama kali di fase imajiner. Ide tentang diri, wujud
batin yang ditandai sebagaiAku adalah liyan. liyan adalah bukan
aku tetapi sekaligus (diaku sebagai)aku. liyan menghubungkan
kembali keterpisahan dengan Yang Nyata. Sedangkan Liyan

(dengan L besar) adalah phallus atau pusat tatanan simbolik. Ia


merupakan tempat dimana semua orang ingin menuju. Manusia,
bagi Lacan, berada diantara perasaan kehilangan dan ke-taksampaian. Dari situlah hasrat muncul.
Manusia adalah makhluk imajiner. segala sesuatu yang membentuk
ego idealnya atau identitasnya selalu dikonstruksi oleh imajinasinya
sendiri. Misalnya, konsumerisme semata-mata digerakan oleh hasrat
menjadi apa yang dihasrati oleh orang lain. Itulah sebab
konsumerisme meledak. Dengan mengkonsumsi secara mengadaada orang merasa memiliki identitas yang diperlukan untuk
mendapat pengakuan dari liyan.
Ada tiga hal yang harus diingat ketika memahami apa yang
dimaksud sebagai hasrat oleh Lacan. Pertama, hasrat dapat
berbentuk hasrat untuk menjadi atau hasrat untuk memiliki. Hasrat
menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan idetifikasi,
sedangkan hasrat untuk memiliki mengambil bentuk pada cara
mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang
lain. Kedua, karena hasrat terutama adalah hasrat terhadap liyan,
secara khusus liyan bisa menjadi subyek sekaligus obyek hasrat.
Menghasrati sekaligus dihasrati. Ketiga, Liyan mengambil bentuk
dalam citra orang lain pada tatanan imajiner, kode yang membentuk
tatanan simbolik, atau subtansi khusus pada Yang Real.
Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan
pandangan Lacan, setidak-tidaknya ada dua bentuk utama hasrat,
yaitu hasrat .menjadi. (to be) dan hasrat memiliki (to have).
1. Hasrat Menjadi
Hasrat menjadi adalah hasrat yang memanifestasikan dirinya dalam
bentuk cinta dan identifikasi. Dalam hal ini hasrat menjadi obyek
cinta -kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan- Liyan
(the others). Orang
merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat),
oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image)
dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai -narcissistic desire.
Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan
eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil
mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal, dsb.
2. Hasrat Memiliki

Hasrat memiliki. adalah hasrat memiliki Liyan (materi, benda, orang,


kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan
diri. Ia mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang
bertentangan dengan diri dan orang lain -anaclictic desire. Hasrat
memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang
dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang
dikonstruksi secara sosial untuk .menginginkan. serentetan benda
yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini
kapitalisme global mengubah .keinginan. (want) menjadi
.kebutuhan. (need). Artinya, kebutuhan tersebut .diciptakan.
Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga
.memproduksi kebutuhan dan dorongan hasrat di baliknya, untuk
keberlanjutan produksi.
E. Penanda Utama
Dalam tataran Yang Simbolik, penanda utama adalah penanda
pembawa identitas. Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama
membangkitkan hasrat menjadi obyek yang diinginkan penanda
utama tersebut. Laki-laki, Perempuan, Mahasiswa, Dosen,
Intelektual, Awam, Buruh, Majikan, Kafir, Muslim, dan sebagainya
merupakan beberapa diantara penanda utama.
Identifikasi subyek pada penanda-penanda utama ini mendorongnya
untuk menjadi apa yang diinginkan liyan simbolik tersebut. Seorang
laki-laki, misalnya, akan berupaya melepaskan semua hal yang bakal
membuatnya menjadi perempuan. Ia akan bereaksi ketika ada orang
yang mencoba merusak atau menghilangkan penanda itu darinya. Ini
begitu pentingnya sehingga melahirkan rasa aman eksistensial.
Rasa identitas yang dibentuk penanda simbolik membuatnya dapat
mengenal dirinya sendiri dan dikenal orang lain. Hasrat untuk
diinginkan oleh liyan simbolik pada giliranya menuntut hasrat untuk
mengidentikasikan diri dengan liyan.
Relasi penandaan yang bekerja pada otoritas tatanan simbolik
penanda utama adalah hubungan paradigmatik. Hubungan
paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda
yang lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah
tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Kata perempuan
mempunyai hubungan paradigmatik dengan misalnya cantik,
lemah-lembut, danfeminin. Interpelasi subyek oleh penanda
utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda
satu kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda
utama.

Hubungan paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental


yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik
muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda
diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah
menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan
penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang
muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju
posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang
terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang
mengonstitusi ego idealnya.
F. Citraan
Tataran Yang Imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk.
Artinya, pembentukan diri yang terlihat di cermin bahwa pada
akhirnya semua yang diserap adalah citra. Dalam kaitannya dengan
tataran Yang Simbolik, citra menyiapkan fondasi kokoh di atas mana
tatanan simbolik bekerja dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi
citra tanpa strukturasi dunia simbolik didalamnya.
Jika relasi penandaan yang bekerja pada level tatanan simbolik
adalah relasi paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan imajiner
ini adalah hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmatik dimengerti
sebagai hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam
hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan
atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran
sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur dengan jalan
mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi
individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan
yang bersifat paradigmatik saja melainkan harus disertai juga oleh
hubungan sitagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik melalui
penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan
identifikasi imajiner melalui citra.
G. Fantasi
Fantasi dalam konsepsi Lacan merujuk pada apa yang tersisa dari
represi tatanan simbolik. Fantasi berada pada tataran Yang Nyata. Ia
menyebutnya obyek a. sebuah obyek yang berharga atau bahan
yang terkait dengan Yang Nyata. Dorongan ini tersusun dari yang
real dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar
yang dibentuk oleh tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini
terjadi misalnya ketika kita mengidentifikasikan diri dengan penandapenanda utama (laki-laki, perempuan, muslim, dsb) demi strukturasi
dan interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial

kita membedah diri kita dan mematikan bagian-bagianya.


Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai
dengan kehendak penanda simbolik. Meskipun demikian,
kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam
berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini tertanam
dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat
terhadap rasa suka cita.[10]
H. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih
a. Kekaguman Takashi kepada Adik Kakek Buyutnya
Ketika Descrates mengumandangkan bahwa manusia adalah subyek
yang berfikir, posisi manusia menjadi jelas. Diri atau ego merupakan
konsep yang mantap dan stabil. Tetapi, menurut Lacan, ego adalah
(sesuatu yang dirujuk sebagai diri) hanyalah ilusi. Ego tidak lain
adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nirkekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya.
Itulah sebabnya ego atau aku tersebut akan menjadi selalu liyan,
tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Merujuk pada posisi ego menurut Lacan, dalam novel ini, ego
Takashi adalah liyan, yaitu sosok adik kakek buyutnya.
Kenangannya terhadap tokoh ini sangatlah intens dan selalu
membayangi dirinya. Ia tidak senang dengan hal-hal yang
bersimpangan dengan pendapatnya mengenai tokoh tersebut,
terutama pendapat dan kenangan yang berbeda oleh Mitsu,
kakaknya sendiri. Misalnya, ketika ia mendebat keras Mitsusaburo
mengenai kepribadian adik kakek buyut.
Kakek buyut membuatku muak, Mitsu. Kata takashi. Dia sangat
konservatif, sangat berhati-hati dan penuh perhitungan. Aku Yakin
adik laki-lakinya juga berpendapat sama tentang kakek buyut. Jika
tidak, sudah pasti dia tidak akan melawan kakaknya dengan menjadi
pemimpin para petani. Dia salah seorang yang melawan, yang punya
perkiraan tentang apa yang sedang menjadi tren saat itu. (Oe,
2004:80)
Terlebih lagi ketika ia menggarisbawahi betapa kehebatan adik
kakek buyut dalam merintis usahanya untuk memotori sebuah
pemberontakan.

Tapi, ujar Takashi, terguncang tapi tetap ngotot, si adik yang


membabat lahan di hutan dan melatih sekelompok anak petani yang
mudah diprovokasi untuk pemberontakan. Metode pelatihannya pasti
berdasarkan pengetahuan tentang hal-hal Barat yang dibawanya dari
Kochi. (Oe, 2004:81)
Pada tahap kebutuhan (need) dikatakan bahwa seseorang berada
dalam tataran Yang Nyata. Ia adalah sebuah penyatuan dunia yang
utuh dengan dunia di luar dirinya. Dalam tataran ini seseorang tidak
mampu membedakan antara dirinya dengan yang lain (liyan), karena
seseorang selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa
kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Hanya saja Yang Nyata ini
tidak akan pernah dicapai.
Kebutuhan (need) Takashi akan keinginannya menjadi seorang
peimpin dalam sebuah pemberontakan sebagaimana halnya yang
pernah dilakukan oleh adik kakek buyutnya adalah penggambaran
Yang Nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan.
Kepribadian Takashi tidak pernah utuh seperti yang ia
idamkan/hasratkan dalam tataran Yang Nyata.
Permintaan (demand) Takashi akan identitas bagi dirinya guna
memenuhi kebutuhan (need) tersebut terletak pada tataran Yang
Imajiner. Kesadaran sebagai sebuah oknum utuh terbentuk saat bayi
melihat dirinya dalam pantulan cermin. Citra cermin dikenali sebagi
dirinya yang otonom sekaligus membentuk identitas. Hanya saja,
pembentukan citra yang salah pada fase cermin (the mirror stage)
merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan
dua arus berbeda, bayi dan liyan. Dalam hal ini liyan selalu
mendominasi. Citra adik kakek buyut dalam diri Takashi merupakan
alienasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang
menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada
prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang
senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut
merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat
pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.
Lacan berpendapat bahwa manusia selalu berada dalam kondisi lack
/ berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi
kekurangan (lackness) tersebut. Momen kehilangan dan kebutuhan
akan identitas memasukkannya pada tataran Yang Simbolik. Lacan
mengatakan bahwa tatanan Yang Simbolik atau bahasa selalu
menyimpan momen kehilangan atau ketiadaan, yang dibutuhkan
hanyalah kata-kata ketika obyek yang diinginkan menghilang.
Takashi sebagai subjek dikatakan ia sesuatu yang tidak utuh.

Ketidakutuhan ini terlihat dalam apa-apa yang diucapkannyanya


melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapannya. Ini berarti
keterbelahan kepribadian atau ego Takashi adalah akibat
keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam
tataran Yang Imajiner, yaitu adik kakek buyutnya.
Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang
seorang pemberontak merupakan identifikasi, yaitu suatu cara
dimana subyek Takashi diinterpelasi dan subyektifitas-nya diubah
oleh diskursus. Saat subyek Takashi terhubung dengan obyek adik
kakaek buyut timbul rasa kagumnya maka ia harus merepresi semua
hasrat yang tidak sejalan dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter,
dan segala kualitas yang dikandung obyek tersebut. Ini
menunjukkan identifikasi selalu memberi motivasi pada keinginan
(hasrat) untuk menjadi.
Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang
seorang pemberontak digambarkan sebagai penanda atau
keinginan, maka naluri mengarahkannya untuk mencari lahan
pemberontakan, sebagai obyek atau petanda, namun dengan tidak
adanya petanda lahan pemberontakan seperti yang pernah ada di
tahun 1860 ketika adik kakek buyutnya memimpin pemberontakan,
maka naluri mengarahkannya untuk menghimpun anak-anak muda
dilatih sepak bola, sebagai penanda alih yang tidak mempunyai
hubungan penandaan di dalamnya. Pembelokan petanda untuk
memimpin pemberontakan yang seharusnya keadaan dimana
seseorang membutuhkan lahan pemberontakan menjadi keadaan
dimana seseorang membutuhkan sekumpulan anak muda berlatih
sepak bola sebagai usaha menjaga keseimbangan dan mengatasi
keadaan dan menghilangkan petanda pemberontak. Hubungan
antara penanda-petanda, yaitu pemberontakan-lahan
pemberontakan, dan penanda-petanda alih, yaitu menghimpun
sekelompok anak muda-sekumpulan anak muda berlatih sepak bola,
hanya mempunyai hubungan kontekstual yaitu dengan
mengumpulkan dan melatih sekumpulan anak muda sepak bola
maka Takashi dapat memperoleh orang-orang yang bisa
dipengaruhinya untuk melakukan pemberontakan dimana ia menjadi
pemimpinnya dan kondisi tersebut merupakan salah satu contoh
mekanisme Ego yaitu rasionalisasi dengan tindakan memberi
bayangan bahwa pemenuhan keinginan untuk menjadi pemberontak
hanya bisa dilaksanakan jika seseorang mempunyai sekumpulan
orang untuk dipengaruhi melalui latihan sepak bola untuk melakukan
pemberontakan sebagai obyek pemenuhan. Obyek pemenuhan ini
merujuk pada sosok adik kakek buyut yang dikaguminya.

Hubungan penanda pemberontakan dan petanda sekumpulan anak


muda berlatih sepak bola dapat dipahami dalam tataran Yang
Imajiner, yaitu melalui hubungan sintagmatik dengan konsep
metonimi. Metonimi muncul sejauh ada satu penandautama yang
menyatukan seluruh hubungan penanda yang masih dalam
ketidakpastian menjadi satu keutuhan. Hanya setelah berada di
bawah komando penanda utama makna yang berada di alam tak
sadar (unconsciousness) naik ke tingkat kesadaran. Singkatnya,
metonimi terkait dengan cara penanda-penanda terhubung dengan
penanda lain membentuk rantai penandaan yang memberikan jalur
tempat bekerjanya identifikasi dan hasrat.
Tokoh Takashi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara
tertentu untuk memenuhi hasratnya seperti adik kakek buyutnya
dalam memimpin pemberontakan di tahun 1860. Ia melakukan
penghimpunan sekelompok anak muda. Kemudian ia menjadikan
rumah utama sebagai markasnya. Selanjutnya, ia membuka lahan
untuk melatih para pemuda bermain sepak bola. Rangkaian caracara yang ditempuh sang tokoh merupakan penanda-penanda yang
lain dan mengisyaratkan makna, yaitu: untuk dapat menggerakkan
sebuah pemberontakan ia membutuhkan sebuah lahan
pemberontakan. Dalam hal ini Takashi melihat bahwa Kaisar dan
super marketnya telah banyak merugikan bisnis orang lembah dan ia
ingin memberontak dan ingin menjadi pemimpin pemberontakan itu.
Memulai pemberontakan tidaklah mudah karena masalahnya tidak
seperti persis yang dialami oleh adik kakek buyutnya pada tahun
1860. Ia, Takashi, harus menciptakan masalah dengan melihat
suasana yang terjadi di kehidupan lembah tersebut. Jawabannya
adalah dominasi bisnis Kaisar dengan super marketnya. Untuk itu ia
harus menyiapkan bala tentaranya. Secara langsung untuk
menyatakan bahwa ia akan memimpin pemberontakan terhadap
Kaisar tidaklah mudah, maka ia ingin mempengaruhi anak-anak
muda dengan idenya tersebut. Cara yang digunakan Takashi adalah
melatihnya sepak bola.
Penanda sekumpulan anak muda berlatih sepak bola
mengisyaratkan bahwa dalam kesenangan seperti itu mereka akan
mudah dipengaruhi. Ketika mereka terpengaruh mereka akan
menganggap Takashi sebagai pemimpinnya. Itu akan memudahkan
langkah-langkah Takashi untuk melaksanakan pemberontakannya
dan pemenuhan akan hasrat menjadi-nya akan tercapai.
Hubungan penanda pemberontakan dan petanda lahan
pemberontakan dapat dipahami dalam tataran Yang Simbolik, yaitu
melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora. Hubungan

paradigmatik dapat dilihat dari penanda


pemberontak/pemberontakan dengan petanda-petanda lain seperti
berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati.
Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi
suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama
akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti
menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya.
Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda
mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikasi ciri, karakter,
status, dan citraan yang terhubung dengan satu atau lebih penanda
utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.
Citraan adik kakek buyut Takashi adalah hasil identifikasi dalam
tataran Yang Imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam
tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi
penjarahan super market Kaisar. Jadi aksi penjarahan super market
Kaisar merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan
adik kakek buyut bagi Takashi.
Istilah Kaisar sendiri merupakan metafor yang menyimbolkan
penguasa atas penduduk lembah.
setelah perang usai, tanah pemukiman Korea dijual kepada
orang Korea yang kerja paksa di hutan, tapi tak lama kemudian,
salah satu dari mereka mendapatkan monopoli tanah dengan cara
membeli semua lahan dari yang lain. Dia kemudian membangun dan
membangun, dan akhirnya jadilah Kaisar yang kau lihat sekarang
ini. (Oe, 2004:111)
Sedangkan kata lembah juga mengandung metafor sebagai yang
dkuasai karena lembah posisinya di bawah, tidak seperti
menjulangnya gunung. Masyarakat lembah dikenal malas, suka
mabuk-mabukan, dan suka merampok, maka perekonomian cepat
dikuasai oleh orang-orang Korea yang dulunya hanya sebagai
pekerja paksa di hutan.
Petanda-petanda lain yang digambarkan dalam novel ini juga
bermunculan sebagai yang menyimbolkan penanda berani, gagah,
berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati. Penanda berani
dan gagah dimunculkan dalam tindakan-tindakan Takashi sebagai
petanda seperti halnya melakukan hubungan seksual dengan kakak
iparnya, Natsumi. Berani dalam diri Takashi ini diartikan ia
menantang reaksi kakaknya, Mitsusaburo, yang tentu saja telah
dikenalnya sebagai sosok yang lentur dan acuh.

Aku mulai menutup pintu karena aku tidak sanggup melihat Taka
melakukannya. Dia menolehkan kepalanya kepadaku dan berkata,
Besok, beritahu Mitsu semua yang kau lihat ini. Suaranya sangat
nyaring . (Oe, 2004:260).
Penanda berpengaruh dimunculkan lewat petanda tindakan Takashi
menjadi pemimpin para pemuda. Menjadi berpengaruh adalah salah
satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bukan?
Saudaramu benar-benar seorang pemimpin, Mitsusaburo. (Oe,
2004:160)
Penanda merusak kemapanan ditunjukkan oleh petanda tindakan
Takashi dalam menciptakan suasana tidak tentram di masyarakat
lembah mengenai ide menghancurkan Kaisar dan bisnisnya yaitu
dengan menjual rumah gudang dan melakukan penjarahan super
market. Di samping itu petanda lain yaitu dengan meniduri kakak
iparnya. Ini artinya ia telah merusak kemapanan kehidupan rumah
tangga Mitsusaburo dan Natsumi dalam masalah seks. Mitsusaburo
sudah merasa bahwa dirinya dan Natsumi sama-sama memahami
kehidupan seksual mereka setelah memperoleh anak yang cacat.
Kemudian penanda berani mati dimunculkan lewat petanda tindakan
bunuh diri.
Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya (ada dalam Yang
real) melahirkan suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku
narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat bagaimana Takashi
memperlihatkan eksistensi dirinya lewat gaya hidupnya yang
menyamai sang idola. Dengan demikian penanda utama
pemberontak atau pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi
yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda
tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang
akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan
paradigmatik (ada dalam tataran Yang Simbolik) dan sintagmatik
(ada dalam tataran yang Imajiner) yang terwakili oleh konsep
metaforik dan metonimi.
b. Takashi sebagai Pemberontak
Dalam cerita klasik Huckleberry Finn, dikisahkan Finn yang harus
menjadi anggota gang-nya Tom Sawyer apabila tidak ingin sekolah.
Tom Sawyer sebagai pemimpin geng itu memiliki aturan, ini dan itu
dan lainnya yang mengharuskan semua anggotanya harus
menerima dan menyetujuinya. Hal serupa ditunjukkan pula oleh

perilaku Takashi yang berniat menjadi pemimpin anak muda di


masyarakat lembah itu.
Hal pertama yang ditunjukkannya adalah sifat kepemimpinan. Hoshio
dan Momoko adalah dua pengikut setianya yang mati-matian
membela Takashi, terlebih ketika Mitsusaburo selalu menyudutkan
kewibawaan Takashi.
Takashi bukan tipe mudah takut, sela Hoshio dengan suara tegang
seakan dia tak tahan berdiam diri lebih lama. Kau tidak bisa
menakut-nakuti Taka, aku melihat betapa acuhnya dia dalam
demonstrasi bulan Juni. Dia sama sekali tidak takut. (Oe, 2004:2930)
Kemudian kemampuannya mempengaruhi masyarakat lembah,
terutama para pemuda.
Suara tawa gembira dan sorak-sorai terdengar di belakangku.
Didorong hal itu, aku berjalan dengan cepat, napas tersengal akibat
gairah yang berbeda dengan gairah mereka. Ada orang di sungaitapi Takashi sendirilah yang sesungguhnya terperangkap banjir yang
paling berbahaya. Tapi sekarang, insiden ini mungkin akan membuat
dia dan timnya memiliki pengaruh tertentu atas orang-orang lembah.
Paling tidak, itu akan memberinya kepercayaan diri dan membuatnya
merasa bahwa dia sudah menanamkan akar yang kuat di sana. (Oe,
2004:159)
Akhirnya keberhasilannya menggerakkan orang-orang dalam aksi
penjarahan super market yang menandainya sebagai seorang benarbenar pemimpin pemberontakan. Dalam hal ini Takashi
memposisikan dirinya sebagai seorang yang sama dengan idolanya,
yaitu adik kakek buyutnya. Seorang pemimpin tentunya harus
memiliki orang-orang yang dipimpin, orang-orang yang bisa ia
pengaruhi untuk mobilisasi dengan tujuan tertentu.
Hasrat memiliki adalah keinginan untuk memiliki Liyan (materi,
benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk
memenuhi kepuasan diri (anaclictic desire). Takashi ingin memiliki
kekuasaan sebagai seorang pemimpin, yaitu dengan melakukan
penjarahan super market Kaisar sebagai lambang yang menguasai
masyarakat lembah. Dengan hancurnya atau jatuhnya bisnis Kaisar
Takashi yakin ia akan berhasil dengan posisinya sebagai pemimpin.
Ia akan lebih dihormati dan diakui keberadaannya oleh para anak
buahnya. Jadi, penjarahan terhadap supermarket merupakan
petanda dari penanda kekuasaan. Inilah inti dari hasrat untuk

memiliki. Untuk itulah Takashi disebut memiliki hasrat untuk memiliki


disamping hasrat untuk menjadi.
c. Pemenuhan Hasrat Takashi
Dalam film The Neverland yang dibintangi oleh Johnny Depp dan
Kate Winslet, Johnny Depp memerankan seorang penulis drama
yang berusaha menghadirkan alam fantasi Neverland-nya Peter Pan
secara nyata di hadapan seorang Kate Winslet dan keluarganya
dengan tujuan untuk menghiburnya agar memperingan penyakit
yang dideritanya. Dari sini unsur fantasi itu menjadi begitu penting
dalam alam pikiran seseorang.
Dalam novel ini, hasrat Takashi untuk menjadi seperti adik kakek
buyutnya mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Takashi itu
merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik.
Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka
Takashi tidak akan pernah meraihnya.
Fantasi Takashi tersebut merupakan obyek yang berharga yang
bernaung dalam tataran Yang Nyata. Takashi telah mengalami
proses identifikasi pada penanda utama, yaitu adik kakek buyut dan
demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan
eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang pemimpin
pemberontakan, atau katakanlah, ia berperilaku sebagaimana
seorang pemberontak. Ini berarti Takashi rela mematikan hal-hal
yang ada pada dirinya sendiri demi menjaga struktur penanda itu.
Tetapi bersamaan dengan itu terjadi represi atau larangan-larangan
yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Dalam hal ini
larangan-larangan atau represi itu muncul dari sikap bertentangan
dari Mitsusaburo dan kekuasaan Kaisar. Meskipun demikian,
kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam
bentuk yang lain. Kenikmatan yang dikorbankan Takashi adalah
bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok
adik kakek buyut melalui tindakan-tindakannya. Dalam satu hal,
Takashi begitu bersemangat melakukan sesuatu yang mirip adik
kakek buyutnya.
Tampaknya tindakannya dipengaruhi oleh peristiwa 1860. Hari ini
contohnya, dia mulai mengumpulkan anak-anak muda di lembah
untuk berlatih sepak bola, hanya karena dia senang dengan cerita
tentang adik laki-laki kakek buyut yang membabat hutan sebagai
tempat latihan guna menyiapkan para pemuda itu untuk berjuang.
(Oe, 2004:29)

Hal lainnya misalnya, Takashi sangat tersinggung dengan pendapat


Natsumi yang meremehkan sejarah keluarga Nedokoro, terutama
mengenai kisah S dan adik kakek buyut. Kemarahannya disebabkan
ucapan Natsumi yang menyebut legenda tua terhadap cerita heroik
mengenai adik kakek buyut yang memimpin pemberontakan. Ia
begitu mengidolakan adik kakek buyut itu.
Bagaimana bisa kau begitu terbawa legenda tua ini, padahal kau
kesakitan dan berdarah? Ada juga yang bisa dipelajari dari
legenda, ujar Takashi kesal. Itulah pertama kalinya dia menunjukkan
sikap pemarahnya pada istriku. (Oe, 2004:81)
Takashi juga sangat tidak setuju dengan pendapat Mitsusaburo yang
nengatakan bahwa adik kakek buyutnya melarikan diri ke Kochi
meninggalkan anak buahnya dihukum mati. Ia berusaha menjaga
struktur idolanya itu dan klimaksnya ialah ketika ia harus merasakan
terluka dalam pemberontakannya dan menyudahi hidupnya dengan
tembakan di kepala.[11]
Pemenuhan hasrat Takashi memang tidak akan tercapai, tetapi
setidaknya ia telah melakukan tindakan-tindakan yang membawanya
pada kenikmatan hidupnya karena telah berbuat seperti apa yang
telah dilakukan oleh idolanya. Inilah yang disebut pemenuhan hasrat
itu sendiri meskipun tampil dalam bentuk yang lain.
Bunuh diri Takashi sebenarnya merupakan pemenuhan dari hasrat
itu sendiri. Dengan bunuh diri ia merasa lengkap sebagai seorang
pemberontak yang sebenarnya. Itu karena bunuh diri dihadirkan
sebagai petanda dari penanda berani mati yang mengikuti penanda
pemberontak dalam hubungan paradigmatik. Jadi bunuh diri dalam
novel ini muncul sebagai unsur metafor yang menyimbolkan
pemenuhan hasrat seorang Takashi, yaitu hasrat menjadi seperti
adik kakek buyutnya.
2. Hasrat Tokoh Gogol dalam The Namesake
a. Gogol dan Amerika
Diri atau identitas diri seorang Gogol merupakan konsep imajiner
tentang dirinya yang utuh. Menurut Lacan, ego Gogol adalah liyan,
yaitu bukan diri Gogol sebenarnya, melainkan seorang Gogol
Amerika. Tindak laku seperti orang Amerika yang melekat pada
dirinya secara intens membayangi gerak-gerik di kehidupannya
dalam ajaran budaya dan agama Bengali India. Keengganan Gogol
menjadi orang India tampak sekali dalam kutipan di bawah ini:

Ia ngeri membayangkan delapan bulan tanpa kamar sendiri, tanpa


kaset stereo setnya, tanpa teman-teman. Dalam pandangan Gogol,
delapan bulan di Calcutta sama dengan pindah ke sana. (Lahiri,
2006:95)
Ke-Amerikaan Gogol ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar
biasa. Pertama, ketika ia meninggalkan Calcutta dengan kelegaan.
Ia tahu, ibunya akan duduk diam, menatap awan, dalam perjalanan
pulang ke Boston. Tetapi bagi Gogol, rasa sedih yang masih tersisa
dengan cepat berganti menjadi rasa lega. (Lahiri, 2006:104)
Kedua, ketika ia sangat membenci namanya yang tidak menyiratkan
identitas dirinya, sebagai orang India atau orang Amerika,
sebagaimana yang dikatakannya Saya benci nama Gogol, dan
selama ini saya sangat membenci nama itu. (Lahiri, 2006:121).
Sebagai gantinya, nama Nikhil terasa lebih Amerika baginya karena
bisa saja dilafalkan Nick untuk versi nick-name-nya.
Ketiga, Gogol membenci menjadi India. Sebagai keturunan Bengali
ia seharusnya tertandai dengan karakter Bengalinya. Kenyataannya,
dengan terlahir di Amerika membuat Gogol lebih merasa menjadi
Amerika daripada seorang India. Perkembangan dirinya pun diwarnai
budaya Amerika. Ia hidup dengan cara Amerika dengan menyukai
gaya hidup, makanan, dan bahkan musik Amerika.
Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang Nyata tidak akan
pernah dicapai. Dalam tataran ini need bertengger dan merupakan
sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu membedakan
antara dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa
kekurangan. Inilah yang dialami Gogol: ia menginginkan (need)
menjadi seorang Amerika dan menjadi Yang Nyata dari tataran
perkembangan kepribadian menurut Lacan. Seiring dengan apa
yang dikatakan Lacan mengenai ego, kepribadian atau identitas
Gogol tidak pernah utuh seperti yang ia hasratkan.
Pada gilirannya, tataran Yang Imajiner berperan menyokong
permintaan (demand) Gogol akan identitas yang dihasratkannya
sebagai pemenuhan need. Peristiwa dalam fase cermin yang
menjelmakan alieniasi di mana Gogol (bayi) didominasi/kalah oleh
liyan. Citra ke-Amerikaan yang melekat pada diri Gogol merupakan
alieniasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang
menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada
prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang
senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut

merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat


pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.
Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah
tataran Yang Simbolik. Gogol mengalami momen kehilangan dan
kebutuhan akan identitas dan keadaan seperti itulah ia berada dalam
tataran Yang Simbolik. Gogol sebagai subjek dikatakan tidak utuh
melalui apa-apa yang diucapkannya. Ini berarti ego Gogol terbelah
karena keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin
dalam tataran Yang Imajiner, Gogol si orang Amerika.
Gogol sebagai subjek dinterpelasi dan subjektifitas-nya diubah oleh
diskursus. Dalam hal ini terjadilah identifikasi, yaitu hasrat Gogol
ingin menjadi seorang Gogol Amerika. Ia merepresi segala hasrat
yang tidak sejalan dengan Amerikanisme-nya. Dari sinilah proses
identifikasi tersebut selalu memberi motivasi pada hasrat untuk
menjadi.
Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Gogol ingin
menjadi seorang Gogol Amerika. Objek atau petanda adalah
konsekuensi dari kehadiran sebuah penanda dan di sini petanda itu
tidak ada karena secara fisik Gogol adalah kultur India yang lekatlekat tak akan terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan India.
Seorang Amerika tidaklah memiliki struktur fisik sepertinya. Maka
yang terjadi adalah pembelokan petanda. Naluri mengarahkannya
untuk bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika,
sebagai petanda alih. Dengan demikian, Gogol berada dalam kondisi
pemenuhan keinginan untuk menjadi seorang Gogol Amerika hanya
bisa dilaksanakan jika ia berperilaku sebagaimana orang Amerika
sebagai obyek pemenuhan.
Tokoh Gogol dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara
tertentu untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi Gogol Amerika. Ia
memulai dengan mengganti namanya dengan Nikhil agar tampak
lebih Amerika karena bisa dipendekkan menjadi Nick. Tentu saja
dengan menyandang nama seperti itu tidak menghalanginya untuk
berperilaku atau bergaul sebagaimana seorang Nick, misalnya
mabuk-mabukan, merokok, seks bebas, dan lainnya. Puncaknya, ia
melakukan hubungan seksual di luar nikah yang tentu saja
membuatnya kehilangan keperjakaannya tanpa ada penyesalan.
Sebagai Nikhil ia kehilangan keperjakaannya pada suatu pesta di
Ezra Stiles, dengan seorang gadis yang memakai rok wol kotakkotak, sepatu bot tentara, dan celana ketat kuning mostar. Saat ia

terbangun pada jam tiga pagi, pusing akibat mabuk, si gadis sudah
lenyap dari amar itu, dan ia juga tidak ingat nama gadis itu.
(Lahiri, 2006:125)
Akhirnya, ia memperkuat ke-Amerikaannya dengan samen
laven (kumpul kebo) dengan Maxine dalam waktu yang cukup lama.
Sebagian orang Amerika tidak mempermasalahkan hidup bersama
tanpa adanya ikatan pernikahan.
Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala
Amerika oleh Gogol akan memberi keleluasaan bagi Gogol untuk
meraih hasratnya menjadi orang Amerika.
Hubungan penanda ke-Amerikaan dan petanda bersikap dan
bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika dapat dipahami
dalam tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik
dengan konsep metafora.
Citraan Gogol Amerika adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang
Imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang
Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penggantian
nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh
citraan Gogol Amerika bagi Gogol yang India.
Bagi Gogol, istilah atau nama Gogol merupakan metafor yang
menyimbolkan ketidakseriusan, ketidakberuntungan atau keanehan
atas pemberian nama bagi orang tua kepada anaknya.
Aku tidak mengerti. Bisa-bisanya kalian memberiku nama yang
sama dengan nama orang yang begitu aneh! Tidak ada orang yang
menganggapku serius, kata Gogol.
Siapa? Siapa yang tidak menganggapmu serius? tanya ayahnya,
berhenti makan dan menengadah menatapnya. (Lahiri, 2006:119)
Sedangkan bagi ayahnya, Gogol adalah metafor dari keberuntungan
dalam hidup. Bagi Ashoke, ayah Gogol, nama Gogol adalah nama
yang sangat bermakna karena hubungannya dengan penyelamatan
nyawanya dalam sebuah kecelakaan kereta api. Ia mengabadikan
nama itu dengan memberikannya pada anaknya agar ia selalu ingat
akan kejadian di waktu itu. Bahkan Ashima, ibu Gogol
melambangkan nama Gogol sebagai nyawa anak sekaligus
suaminya (Lahiri, 2006:41). Hanya saja Gogol tidak peduli akan latar
belakang pemberian nama tersebut kepadanya.

Ke-Amerikaan Gogol mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang


melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup jelas
dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk pada style menjadi
Gogol Amerika. Dengan demikian penanda utama ke-Amerikaan
Gogol ada pada ego Gogol yang direpresentasikan melalui petandapetanda.
b. Pemenuhan Hasrat Gogol
Dalam novel ini, hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika
mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Gogol itu merupakan
apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak
fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Gogol tidak akan
pernah meraihnya.
Fantasi Gogol tersebut merupakan obyek yang berharga yang
bernaung dalam tataran Yang Nyata. Gogol telah mengalami proses
identifikasi pada penanda utama, yaitu Gogol Amerika dan demi
struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan
eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang Amerika.
Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat
dan tampaknya sangat berpengaruh pada ego Gogol. Laranganlarangan tersebut muncul dalam bentuk berbagai peristiwa di dalam
kehidupan Gogol. Pertama, ketika ia membandingkan kedekatannya
dengan keluarga Maxine dengan keluarganya sendiri, ia menemukan
bahwa ia seperti bukan bagian dari keluarga Maxine, sebagaimana
yang dirasakannya ia menyadari bahwa rasa terikatnya pada
keluarga Maxine merupakan pengkhianatan terhadap keluarganya
sendiri. (Lahiri, 2006:164) Kemudian disusul dengan peristiwa
perselingkuhan istrinya, Moushumi dengan Dimitri membuatnya
dapat melihat adanya keanehan dalam kehidupan ke-Amerikaannya.
Ia seperti terlempar jauh dari identitasnya sebagai seorang Amerika
karena tidak bisa menerima perselingkuhan istrinya yang notabene
bukan budaya India.
Siapa Dimitri? tanya Gogol. Apa Kau selingkuh? Kalimat itu
muncul begitu saja, bukan sesuatu yang secara sadar tersusun
dalam pikirannya hingga saat itu. Pertanyaan tersebut hampir terasa
lucu baginya, membakar tenggorokannya. Tetapi begitu ia
melontarkannya, ia langsung tahu. Sikap Moushumi yang penuh
rahasia terasa dingin menusuknya, membuatnya lumpuh, bagai
racun yang dengan cepat menyebar melalui pembuluh darahnya.
(Lahiri, 2006:318)

Dalam fantasi gogol, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu


bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok
Gogol Amerika melalui tindakan-tindakannya. Ia mengalami masamasa menyenangkan sebagai sosok Nikhil. Pemenuhan hasrat
Gogol dalam wujud diri Nikhil atau Gogol Amerika adalah ilusi dari
ego Gogol karena ia tidak akan pernah mencapai hasrat dalam
tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau pembelokan petanda
memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia berusaha
menjaga struktur idola Gogol Amerika itu dan klimaksnya ia harus
terkoyak dengan keanehan-keanehan dalam konsep keAmerikaan melalui ketidaknyaman berhubungan dengan Maxine
pada akhirnya, perselingkuhan istrinya, dan kematian ayahnya.
Alhasil, hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika memang tidak
pernah tercapai.
Kata-kata Gogol Aku tidak mau menjauh (Lahiri, 2006:209)
diucapkan dengan penuh keyakinan ketika Maxine mengajaknya
pergi ke New Hampshire, keluar dari kesedihan karena wafatnya
Ashoke. Pernyataannya itu mengisyaratkan sebuah pemenuhan
akan hasratnya. Ia memilih memasuki kehidupan India yang dulu
pernah tidak disukainya dan bahkan berusaha ditinggalkannya.
I. Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan
seseorang. Dalam psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran
Yang Simbolik, di mana kehilangan atau terlepasnya sesuatu yang
ideal akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat
diraih karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran
Yang Simbolik keinginan untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas
pada bahasa.
Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih dan tokoh Gogol dalam The
Namesake memiliki hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa
meraihnya dalam tataran Yang Nyata.
Hasrat tokoh Takashi dan Gogol ini terlihat sebagai dua macam yang
terdiri dari hasrat untuk menjadi dan hasrat untuk memiliki.
Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya melahirkan
hasrat untuk menjadi bagi dirinya. Segala perilaku dan dinamika
kehidupannya terpusat pada struktur idolanya. Keengganan Gogol
terhadap budaya India mengakibatkan dirinya tercebur dalam
hasratnya menjadi Gogol Amerika.

Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama


pemberontak atau pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi,
sedangkan Gogol ada pada Gogol Amerika yang direpresentasikan
melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang
dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh
petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik dan sintagmatik
yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi.
Hasrat untuk memiliki Takashi adalah kelanjutan dari hasrat untuk
menjadi, begitu pula halnya dengan Gogol. Gogol ingin memiliki apa
yang seorang Amerika punya. Hanya saja keinginannya itu
mengalami bentuk represi dan terjadilah pembelokan ke arah
perilaku ke-Amerikaan, seperti mabuk-mabukan dan seks bebas. Hal
yang sama ditunjukkan pula oleh Takashi. Keinginan Takashi
memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin dengan melakukan
penjarahan super market Kaisar menunjukkan betapa pentingnya
posisi Liyan disamping liyan. Kaisar dan bisnis super market-nya
adalah lambang kekuasaan di masyarakat lembah. Hasrat
memilikinya mendorongnya untuk menghancurkan simbol kekuasaan
itu untuk seterusnya dirinya yang akan menjadi simbol kekuasaan
akibat dari keterpenuhannya akan hasrat untuk menjadi. Seperti
yang ditegaskan oleh Saussure bahwa petanda selalu mengikuti
penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka makna tidak
dapat muncul. Dengan kata lain, penjarahan terhadap supermarket
merupakan petanda dari penanda kekuasaan.
Tentu saja paparan di atas hanyalah sekedar buah pikir yang sangat
terbatas, yaitu hasil interpretasi penulis atas novel Jeritan Lirih. Ini
berarti membuka penafsiran dan pemaknaan yang berbeda. Yang
diharapkan adalah berbagi pandangan mengenai hasil interpretasi
tersebut sehingga akan tercapai pemahaman dan pemaknaan yang
lebih bervariasi, lebih kaya, dan lebih mendalam.

[1]Hubungan psikoanalisis dan sastra dijelaskan seperti berikut:


Psychoanalysis deals with motives, especially hidden or
disguised motives; as such it helps clarify literature on two levels, the
level of the writing itself, and the level of character action within the
text. A companion level to the level of writing is the level of reading;
both reading and writing, as they respond to motives not always
available to rational thought, can be illumined by psychoanalytic
thought. lihathttp://www.brocku.ca/english/courses/4F70/psychlit.php

[2] Lihat Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif
Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
[3] Ibid.
[4] Lihat makalah Parisa Dashtipour yang berjudul Contested
Indentities: Using Lacanian Psychoanalysis to Explore and Develop
Social Identity Theory di http://www.discourseunit.com/arcp/7.htm
[5] Mengenai dehumanisasi, Nietsche mencurigai ada sesuatu dibalik
rasionalitas yang di puja: hasrat untuk berkuasa. Tidak ada lagi
dasar teriak Nietzsche. Nietzsche membangunkan kembali hasrat
yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh subyek Cartesian
(lihat psikoanalisis Sigmund Freud) dan psikoanalisa dikatakan
melemahkan kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya
krisis ego cognito.
[6] Menurut Freud, diri manusia tersusun dari tiga dasar diri yaitu Id,
Ego, dan Superego. Id adalah naluri bawaan, ketaksadaran yang
chaos, liar, tak terkendali. Egodatang buat mendisiplinkan Id. Prinsipprinsip kesenangan, dorongan-dorongan naluri diatur, diseleksi,
dikontrol, dengan kata lain direpresi. Disini kesadaran mulai
menjalankan tugasnya dan akhirnya menjamin kesatuan kepribadian.
Sedangkan superego berfungsi menginternalisasikan perintah dan
larangan dari dunia luar, diolah, dan kemudian dieksternalisaikan.
Mengubah aturan-aturan yang awalnya asing menjadi seolah berasal
dari subyek merupakan tugas utama Superego.
[7] lihat Sarup, Madan. 1993. Panduan Pengantar untuk Memahami
Poststrukturalisme dan Posmodernisme. Terjemahan dari An
Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism oleh
Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. hal. 31-33
[8] Lacan menggunakan istilah kata liyan (other) dalam berbagai
bentuk yang berbeda dan ini menyulitkan penulis untuk memahami
makna kata tersebut. Bagi penulis, cara termudah memahami liyan
adalah sesuatu yang selain aku. Tetapi, dalam tahapan cermin liyan
dapat menjadi aku. Citra dalam cermin adalah selain aku yang
diperkenalkan sebagai aku. Liyan sebagai aku disebut liyan (huruf o
kecil (dari kata other)) yang berbeda dengan Liyan (huruf O besar)
yang berarti liyan-liyan selain aku yang liyan. Liyan (huruf O besar)
dapat berarti ibu, ayah, atau yang lain yang ada di
luarliyan. Lihat Benvenuto, Bice dan Roger Kennedy. The Works of

Jacques Lacan: An Introduction. New York: St. Martins Press. 1986.


hal. 100.
[9] Lacan menggunakan istilah jouissance dan membagi hasrat
menjadi 4 golongan yaitu:1) Narsistik Pasif, seseorang berhasrat
menjadi obyek cinta (Liyan) orang/sesuatu lain (hasrat dikagumi,
idealisasi orang lain, atau rekognisi orang lain, 2) Narsistik Aktif,
seseorang berhasrat menjadi orang lain. Identifikasi diri pada orang
lain (Liyan) adalah cinta atau devosi pada sesuatu yang lain, 3)
Anaklitik Pasif, hasrat memiliki orang/sesuatu (Liyan) sebagai cara
mendapat kepuasan dan 4) Anaklitik Aktif, hasrat ingin dimiliki Liyan
(orang lain atau sesuatu yang lain) sebagai sumber kepuasan liyan.
Lihat Rabate, Jean-Michel. The Cambridge Companion to Lacan.
New York: Cambridge University Press. 2003.
[10] Obyek a atau fantasi menjadi faktor penting dalam upaya
membalik tatanan simbolik menuju ego ideal dan perubahan tata
simbolik baru. Pasien atau yang dianalisis diajak untuk membuat
pemisahan antara dirinya dengan kehendak penanda utama yang
tak mampu diadaptasinya, kemudian ia akan melihat kembali apa
yang tersisa oleh represi tatanan simbolik. Dan selanjutnya, ia
melihat fantasinya atau obyeka yang tertanam dan bersembunyi
didalam Yang Nyata.
[11] Dalam film Blood Diamond yang dibintangi oleh Leonardo de
Caprio, dikisahkan bahwa de Caprio begitu terobsesi dengan berlian
yang terbesar yang ditemukan di Afrika hingga ia harus
mengorbankan uang, tenaga, bahkan nyawanya. Tetapi ia merasa
senang karena fantasinya akan mati diantara ribuan manik-manik
berlian kesampaian.
Oleh Rida Darmanto
Sumber; http://bahasa.kompasiana.com/2011/03/03/kajian-hasrat-dalam-dua-
novel-asia-sebuah-analisis-psikoanalisis-lacan/

Anda mungkin juga menyukai