Anda di halaman 1dari 156

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN

PEDOMAN

1. ABORTUS
Kompetensi
Laporan Penyakit

PENGOBATAN DASAR

ICD X : O03

a. Definisi
Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 22 minggu
atau berat janin kurang dari 500 g.

DI PUSKESMAS

b. Penyebab
Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil konsepsi.
Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat kandungan dan sebab
yang tidak diketahui.

Departemen Kesehatan RI, 2011

c. Gambaran Klinis
Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada pagi hari)
yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak sampai bergumpal)
dan/atau nyeri perut bagian bawah, mengarah ke diagnosis abortus.
1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran)
Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut tidak ada
atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks.
2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung)
Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-gumpal),
nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks. Kadang-kadang tampak
jaringan hasil konsepsi di ostium serviks.
3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap)
Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai hebat.
Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian, ostium serviks bisa
masih terbuka atau mulai tertutup.
4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap)
Perdarahan pervaginam mulai berkurangberhenti, tanpa nyeri perut,
ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi
utuh, seluruhnya.

Milik: dr. Malisa Lukman

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

: 3A
: 17; 1701

2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan


pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus
tang, sendok kuret, dan kuret hisap
(3) Uterotonika: Oksitosin 10 UI i.m.
(4) Disesuaikan dengan program PONED Ditjen BUK Dasar

5) Missed Abortion (Keguguran yang tertahan)


Abortus dengan hasil konsepsi tetap tertahan intra uterin selama 2
minggu atau lebih. Riwayat perdarahan pervaginam sedikit, tanpa nyeri
perut, ostium serviks masih tertutup. Pembesaran uterus tidak sesuai
(lebih kecil) dari usia gestasi yang seharusnya.
d. Diagnosis
1) Terlambat haid (amenore) kurang dari 22 minggu.
2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil konsepsi.
3) Rasa nyeri di daerah atas simpisis.
4) Pembukaan ostium serviks.

c) Abortus Inkompletus
(1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat
dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap
(2) Segera atasi kegawatdaruratan:
(a) Oksigenisasi 24 liter/menit
(b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat,
Ringer Asetat)
(c) Transfusi bila Hb kurang dari 8 g/dL.

e. Penatalaksanaan
1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Dasar):
a) Abortus Imminens
(1) Tirah baring sedikitnya 23 hari (sebaiknya rawat inap)
(2) Pantang senggama
(3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih
abortus imminens tirah baring dilanjutkan
(4) Mobilisasi bertahap (dudukberdiriberjalan) dimulai apabila
diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam

d) Abortus Kompletus
(1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi)
(2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan
(3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus.
e) Missed Abortion
(1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen, waktu perdarahan,
waktu pembekuan).
(2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan hipofibrinogenemia,
segera rujuk di rumah sakit yang mampu untuk transfusi
trombosit/Buffy-Coat dan komponen darah lainnya.
(3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri. Dilaksanakan
setelah dipastikan tidak terdapat gangguan faal hemostasis.

b) Abortus tingkat selanjutnya


(1) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan
pembebasan jalan napas, pemberian oksigenasi (O2 2-4
liter/menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer
Laktat/Ringer Asetat/NaCl 0,9%) sesuai pedoman resusitasi.
(2) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke
Puskesmas PONED atau RS.
f.
2) Pada puskesmas PONED
a) Abortus Imminens
Seperti pada Puskesmas non PONED.
b) Abortus Insipiens
(1) Antibiotik profilaksis: Amoksisilin 500 mg per oral sebelum
tindakan kuretase.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KIE
1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur
2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program Keluarga
Berencana
3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih
4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus
5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera hubungi
puskesmas.

4
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2. ABSES GIGI
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A dan 4
: 1503

6) Pada pasien anak, setelah diagnosis dan penanganan sederhana, rujuk


ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut.
7) Bila ada dokter gigi dengan fasilitas memadai, maka dapat dilakukan
tindakan lebih lanjut sesuai kompetensi dokter gigi.

ICD X : K04.7

a. Definisi
Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke jaringan di
sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi.
Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan periapikal.
b. Penyebab
Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah) dialirkan ke
gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi tersebut membengkak.
c. Gambaran Klinis
1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi yang sakit. Bila
abses terdapat di gigi depan atas, pembengkakan dapat sampai ke
kelopak mata, sedangkan abses gigi belakang atas menyebabkan
bengkak sampai ke pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak
sampai ke dagu atau telinga dan submaksilaris.
2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut lebar.
3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah.

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi
minimal tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur,
memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan
yang berserat dan berair.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka metronidazol
bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari). Atau untuk mengatasi
mual dapat diberikan metoklopramid 3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam
sebelum makan.

d. Diagnosis
Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat.
2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
3) Simtomatik: Parasetamol
Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu gigi),
dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan metronidazol 500
mg tiap 8 jam.
5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk penanganan selanjutnya
sesuai dengan indikasi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3. ANEMIA DEFISIENSI
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 54

ICD X : D50-51

a. Definisi
Anemia pada:
- laki-laki: Hb <13 g/dL,
- wanita: Hb <12 g/dL,
- wanita hamil: Hb <11 g/dL,
- anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL,
- balita: Hb <11 g/dL
b. Penyebab
Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada anak-anak.
Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan yang kurang, kecacingan,
perdarahan kronis.
Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin B12 dan
asam folat.
Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan
makronutrien yang meningkat.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau penurunan
kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan penurunan Hb dan usia.
2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah pica
(makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya tanah, pensil,
penghapus).
3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar, lekas lelah
dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi. Jantung kadang membesar
dan terdengar murmur sistolik. Di darah tepi tampak gambaran anemia
hipokrom dan mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah.
4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan anemia
megaloblastik yang mungkin disertai gejala neurologi.
d. Diagnosis
Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan pemeriksaan fisik
sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan ditunjang pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan darah tepi (kadar Hb lihat di
definisi). Pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang mengandung zat
besi (misalnya bayam, daging), sulfas ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari
(ekivalen dengan besi elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu.
2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing (lihat
pokok bahasan Kecacingan).
3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus dibedakan
penyebabnya, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat.
4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 510 hari sebagai terapi
awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200 mcg/bulan sampai dicapai
remisi.
5) Dosis asam folat 0,51 mg/hari per oral selama 10 hari, dilanjutkan
dengan 0,1 0,5 mg/hari.
6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia
pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal.
f.

KIE
Pada anemia defisiensi:
1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai dengan
penyebab anemia, menaikkan kadar Hb.
2) Pencegahan:
a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi, asam folat
dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada ibu cara penyiapan
makanan yang baik, misalnya tidak memberikan teh bersamaan
dengan makanan karena dapat mengurangi absorpsi besi.
b) menjaga higiene dan sanitasi.
3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik diberikan
saat perut kosong.
4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa tidak enak,
konstipasi, feses berwarna kehitaman.
5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak ada
kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-4 g/dL dalam
waktu 2 minggu setelah pemberian suplementasi besi).
6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada kemampuan
untuk menegakkan diagnosis etiologi.
7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan mebendazol,
berikan mebendazol 500 mg.

8
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4. ANGINA PEKTORIS STABIL


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 85

ICD X : I20.8

a. Definisi
Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
(substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat
aktivitas atau stres emosional yang berkurang dengan istirahat atau
pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri dapat dirasakan di daerah
epigastrium.
b. Penyebab
Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah
koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi
bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja
fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner
berkurang (misalnya pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi
keduanya.
c. Gambaran Klinis
1) Pada anamnesis perlu ditanyakan:
a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal)
b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres emosional
c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat
2) Dikatakan:
a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala,
b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala,
c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala.
3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak dijumpai kelainan
dalam pemeriksaan fisik.
4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat penyakit
penyerta.
5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK):
a) diabetes melitus
b) hipertensi
c) merokok
d) sejarah keluarga PJK
e) dislipidemia.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut Canadian
Cardiovascular Society (CCS):
1) Kelas I:
Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti berjalan atau
menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan
berkepanjangan.
2) Kelas II:
Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga
dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, di hawa dingin
atau melawan angin, atau dalam keadaan stres emosional, atau hanya
timbul beberapa jam setelah bangun tidur.
3) Kelas III:
Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari, angina timbul
jika berjalan rata satu atau dua blok (setara dengan jarak 100-200
meter) dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang
normal.
4) Kelas IV:
Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa
nyaman atau angina saat istirahat.
Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma koroner
akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut).
e. Penatalaksanaan
1) Manajemen umum:
a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes,
hiperkolesterolemia).
b) Pengendalian aktivitas fisik.
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal
jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya.
2) Medikamentosa:
a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki prognosis
pasien angina stabil:
(1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi
spesifik (mis: perdarahan aktif traktus gastro intestinal, alergi
asetosal atau riwayat intoleransi asetosal sebelumnya).

10
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Simvastatin 10 mg pada semua pasien PJK dan diberi dosis


tinggi pada pasien risiko tinggi yang terbukti menderita PJK
tanpa melihat hasil kolesterol.
(3) Kaptopril 6,25 mg tiap 8 jam (dapat dititrasi hingga 50 mg tiap
8 jam) pada semua pasien dengan hipertensi, gagal jantung,
disfungsi ventrikel kiri, riwayat infark sebelumnya dengan
disfungsi ventrikel kiri atau diabetes.
(4) Beta blocker (atenolol) oral pada pasien pasca infark atau
dengan gagal jantung.
Obat-obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup.

3) Alasan rujukan: Pasien dianjurkan kontrol ke rumah sakit untuk


mendapatkan tatalaksana lebih lanjut seperti treadmill test,
ekokardiografi atau kateterisasi jantung.

b) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki gejala


dan/atau mengurangi iskemik pasien angina stabil:
(1) Nitrogliserin (isosorbid dinitrat tablet 5 mg) sublingual untuk
mengurangi gejala akut dan profilaksis situasional.
(2) Beta bloker dititrasi sampai dosis penuh.
(3) Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang efikasi,
dianjurkan monoterapi dengan Calcium channel blocker
(CCB).
(4) Jika efek monoterapi beta blocker tidak memadai tambahkan
CCB golongan dihidropiridin (amlodipin 5 mg).
(5) Jika kontraindikasi terhadap beta blocker (misal asma) maka
bisa diberikan CCB golongan nondihidropiridin (diltiazem 30
mg tiap 8 jam, dosis dapat dititrasi).
f.

KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark miokard akut dan
kematian.
b) Mengurangi atau menghilangkan gejala.
2) Pencegahan:
a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani prosedur
revaskularisasi (PCI).
b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes,
hiperkolesterolemia).
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal
jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

11

12
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5. ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL (SINDROM KORONER


AKUT: STEMI DAN NON STEMI)
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
:
ICD X : 120.0
a. Definisi
Angina Pektoris Tidak Stabil yaitu bila ditemukan salah satu gejala seperti:
1) angina saat istirahat yang berlangsung > 20 menit yang tidak/kurang
responsif terhadap pemberian nitrat organik,
2) angina yang pertama kali muncul,
3) angina yang meningkat dalam hal frekuensinya, durasinya, atau
intensitasnya (atau pencetus yang lebih ringan) dibandingkan episode
sebelumnya.
Angina pektoris tidak stabil dapat merupakan gejala dari Sindrom Koroner
Akut (SKA), yaitu sindrom klinis yang disebabkan karena proses
pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu
oleh adanya denudasi (robekan) plak aterosklerotik dan berkaitan dengan
adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi
distal. Terdapat dua subset klinis SKA yaitu ST elevation myocardial
infarction (STEMI) dan Non ST elevation myocardial infarction/unstable
angina pectoris (Non STEMI/UAP).
b. Penyebab
Pecahnya plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah koroner.
c. Gambaran Klinis
Berupa nyeri dada atau chest discomfort yang berlangsung secara
mendadak atau cepat yang bertambah berat saat istirahat, tidak hilang
dengan pemberian nitrat, atau saat aktivitas tidak berkurang dengan
istirahat. Gejala ini disebut dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS).
d. Diagnosis
1) Presentasi Klinis
Secara klasik, presentasi klinis SKA STEMI dan Non STEMI meliputi :
a) Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus-menerus (>20
menit) saat istirahat.
b) Angina berat (CCS III-IV) yang timbul pertama kali.
c) Angina pasca infark miokard.
d) Angina progresif (bertambah sering dalam 24 jam)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

13

2) Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi dan
pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik
ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit
kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra
kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-tanda
ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri.
3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG)
a) STEMI:
Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6)
atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious
lead), atau LBBB yang dianggap baru.
b) Non- STEMI:
Depresi segmen ST 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun
transient elevasi segmen ST 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi
gel T 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih.
e. Penatalaksanaan
1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA:
a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt
b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg
c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100 mmHg), dapat
di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali pemberian
d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk
e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit), segera
tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan STEMI atau NonSTEMI.
f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk.
2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI:
Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang mampu
melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI primer).
Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS.
3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI:
Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di
ICCU/ICU.

14
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan
kematian serta meningkatkan harapan hidup.
2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab Angina
Pektoris Stabil.
3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi (fibrinolitik atau
PCI), dan perawatan di ruang intensif kardiovaskuler.

6. ANTRAKS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 0504

ICD X : A22

a. Definisi
Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun hewan piaraan,
yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora), seperti sapi, kerbau,
kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit ini ditularkan kepada manusia
terutama pada orang yang pekerjaannya selalu berhubungan
dengan/berdekatan dengan ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan,
petugas laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang.
b. Penyebab
Kuman antraks (Bacillus anthracis).
c. Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena masuknya
spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yaitu melalui
kulit yang lecet atau luka yang menyebabkan antraks kulit, melaui mulut
karena makan bahan makanan yang tercemar, menyebabkan antraks
intestinal (pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks
pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya adalah bentuk
kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal. Antraks pulmonal dan
meningitis sangat jarang dilaporkan di Indonesia.
Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang
terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah yang keluar dari
lubang-lubang kumlah hewan mati karena antraks atau bahan-bahan yang
berasal dari hewan yang tercemar oleh spora antraks, misalnya daging,
jeroan, kulit, tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber
penularan lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah,
tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora antraks.
d. Gambaran Klinis
1) Gambaran Klinis Antraks Kulit
a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari)
b) Gatal ditempat lesi
c) Papel
d) Vesikel

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15

16
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Ulkus (tukak) di tengahnya terdapat jaringan nekrotik berbentuk


keropeng berwarna hitam (tanda patognomonik antraks) dan
biasanya didapatkan eritema dan edema di sekitar tukak. Pada
perabaan, edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non-pitting)
bila ditekan. Disini tidak didapatkan pus kecuali bila diikuti infeksi
sekunder.
f) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional.
g) Demam yang sedang, sakit kepala, malaise jarang ada.
h) Predileksi antraks kulit biasanya pada tempat-tempat terbuka,
seperti muka, leher, lengan, tangan, dan kaki.
i) Antraks kulit yang tidak diobati akan berkembang lebih buruk
dengan penjalaran ke kelenjar limfe dan berlanjut ke aliran darah,
sehingga mengakibatkan septikemia dan kemungkinan kematian 520%.
j) Pemeriksaan bakteriologis dari eksudat di tempat lesi kulit
didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif.
2) Gambaran Klinis Antraks Intestinal
a) Masa inkubasi bervariasi antara 25 hari
b) Gejala awal: mual, tidak nafsu makan dan suhu tubuh meningkat
c) Muntah
d) Sakit perut hebat
e) Konstipasi
f) Dapat juga terjadi gastro-enteritis akut yang kadang-kadang
berdarah, hematemesis, kelemahan umum, demam dan ada riwayat
pemaparan dengan produk hewan atau makanan.
g) Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen feses didapatkan adanya
basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif.
e. Diagnosis
1) Tersangka antraks kulit
Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat
pemaparan dengan hewan /bahan asal hewan dan lingkungan yang
tercemar oleh spora/basil antraks serta ditemukan kelainan pada kulit
berupa tukak dengan jaringan mati berbentuk keropeng berwarna hitam
di tengahnya (eskar), di sekitar tukak kemerahan, sembab, pada
perabaan daerah yang sembab tersebut tidak lunak dan tidak lekuk dan
biasanya tidak didapatkan pus kecuali diikuti infeksi sekunder.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

17

2) Pasien antraks kulit (diagnosis pasti)


Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya
dengan pemeriksaan bakteriologis.
3) Tersangka antraks intestinal
Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat
pemaparan dengan produk hewan atau makanan serta ditemukan
adanya panas disertai sakit perut dan muntah.
4) Pasien antraks intestinal (diagnosis pasti)
Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya
dengan pemeriksaan bakteriologis.
f.

Penatalaksanaan
1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit adalah
penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI i.m. tiap 12 jam
selama 5 7 hari atau benzilpenisilin dengan dosis 250.000 UI tiap 6
jam. Sebelum pemberian penisilin lakukan skin test. Pasien yang
hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis
500 mg tiap 6 jam selama 57 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada
anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan lain ialah kloramfenikol.
2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi 1,82,4 juta
UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1 g i.v per hari.
3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan.
4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan.

g. KIE
1) Hindari kontak dengan sumber penularan.
2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila ada
tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan bila ada hewan
yang sakit dengan gejala antraks.
3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak
diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit antraks.
4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal dari hewan
seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari
hewan sakit/mati karena penyakit antraks.
5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
apabila menjumpai pasien/tersangka antraks.

18
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

7. ARTRITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 90

(karena efusi pada sendi), kadang-kadang disertai tanda-tanda


peradangan, perubahan bentuk/deformitas sendi yang permanen,
Heberdens node (nodul/osteofit pada sendi DIP), Bouchards node
(nodul/osteofit pada PIP).

ICD X : M05

a. Definisi
Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan
pembengkakan di daerah persendian.
OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan
sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan
terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang
(osteofit).
RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan penyakit
autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetris yang
terutama mengenai jaringan persendian, namun sering juga melibatkan
organ tubuh lainnya. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya
usia antara 35-50 tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh
kuat pada morbiditas RA.
b. Penyebab
Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (AR), tetapi
yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis.
Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan sendi,
sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan.
c. Gambaran Klinis
1) Osteoartritis
a) Anamnesis
Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis kelamin (di atas
usia 50 tahun wanita lebih banyak), suku bangsa (suku Indian dan
orang-orang kulit putih), genetik, kegemukan, cedera sendi,
olahraga, pekerjaan berat, kelainan pertumbuhan, tingginya
kepadatan tulang.
Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan, berkurang
dengan istirahat), hambatan gerakan sendi, kaku pagi < 30 menit,
krepitasi dan perubahan gaya berjalan.
b) Pemeriksaan Fisik
Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi, perubahan
gaya berjalan, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19

2) Artritis Reumatoid
a) Anamnesis
Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah, anoreksia, seluruh
tubuh terasa lemah) yg berlangsung berminggu-minggu atau
berbulan-bulan.
Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris,
terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP
(metacarpophalangeal), pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala
sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk
dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada
pagi hari > 1 jam.
Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas atas (nyeri
tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada
pagi hari), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
hematologi (anemia), dsb.
b) Pemeriksaan Fisik
(1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi (poliartritis)
terutama di sendi tangan, simetris, immobilisasi sendi,
pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis, gambaran
deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere).
(2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis), soft tissue
rheumatism (carpal tunnel syndrome, frozen shoulder), mata
(kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem respiratorik
(radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi
pleura, fibrosis paru luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis
konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi (anemia akibat
penyakit kronik).
(3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah reumatism yang
sebenarnya berasal dari jaringan lunak di luar sendi. Yang di
kenal awam sebagai encok sebagian besar adalah reumatism.

20
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Sendi yang terserang biasanya bengkak, merah dan nyeri.


(5) Serangan AR biasanya dimulai dengan gejala prodromal
berupa badan lemah, hilang nafsu makan, nyeri dan kaku
seluruh badan. Gejala pada sendi biasanya timbul bertahap
setelah beberapa minggu atau bulan.
(6) Nyeri sendi pada AR bersifat hilang timbul, ada masa remisi,
bersifat simetris bilateral, dan berhubungan dengan udara
dingin.
(7) Serangan OA biasanya sesisi. Gejala utamanya adalah nyeri
sendi yang berhubungan dengan gerak. Pasien juga merasakan
kaku pada sendi yang terserang.
(8) Pada pemeriksaaan radiologi OA biasanya memperlihatkan
pelebaran sendi pada tahap awal, osteofit, sklerosis tulang dan
penyempitan rongga antar sendi pada tahap lanjut.
(9) Deformitas dapat terjadi pada OA maupun AR setelah terjadi
destruksi sendi.
d. Diagnosis
1) Osteoartritis
Kriteria diagnosis (ACR)
a) Osteoartritis sendi lutut:
(1) Nyeri lutut, dan
(2) Salah satu dari 3 kriteria berikut:
- Usia > 50 tahun
- Kaku sendi < 30 menit
- Krepitasi + osteofit

2) Artritis Reumatoid
Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1):
a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi
c) Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP)
dan Proximal Interphalanx (PIP)
d) Artritis yang simetris
e) Nodul reumatoid
f) Faktor reumatoid serum positif
g) Gambaran radiologik yang spesifik
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas.
Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu.
Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism, 2010)
Skor
Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?):
Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1
Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2

b) Osteoartritis sendi tangan:


(1) Nyeri tangan atau kaku, dan
(2) Tiga dari 4 kriteria berikut:
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi
tangan tertentu (distal interphalanx DIP II dan III ki&ka,
proximal interphalangeal PIP II dan III ki&ka,
carpometacarpal CMC I ki&ka)
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP
- Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
- Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu
c) Osteoartritis sendi pinggul:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(1) Nyeri pinggul, dan


(2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:
- LED < 20 mm/jam
- Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum.
Terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial,
dan/atau medial)

21

Kriteria Klasifikasi untuk RA (algoritma berdasarkan skor: tambahkan skor dari


kategori A-D; dari total skor 10, jika didapatkan jumlah skor 6 definisi pasti
RA)3
A. Keterlibatan sendi4
1 sendi besar5
2-10 sendi besar
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)6
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
>10 sendi (min.1 sendi kecil)7
B. Serologi (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)8
RF (-) dan ACPA (-)

0
1
2
3
5
0

22
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

RF (+) rendah dan ACPA (+) rendah


2
RF (+) tinggi dan ACPA (+) tinggi
3
C. Reaktan fase akut (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)9
CRP normal dan LED normal
0
CRP tidak normal dan LED tidak normal
1
D. Durasi dari gejala10
< 6 minggu
0
6 minggu
1

e. Penatalaksanaan
Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di atasi dengan
analgesik biasa atau dengan anti inflamasi nonsteroid yang diberikan
sesudah makan.
1) Osteoartritis
a) Edukasi
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight bearing
daily activity
d) Non-weight bearing exercise
e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan ortosis
f) Analgesik:
(1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari
(2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium diklofenak 2-3
x 25-50 mg, piroksikam.
(3) Opioid ringan: kodein
g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi (efusi)
2) Artritis Reumatoid
a) Penyuluhan.
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.
c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg
2x/hari, atau golongan steroid, seperti: prednison
atau
metil
prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy)
d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
f.

2) Mengistirahatkan sendi diperlukan dalam keadaan akut. Selanjutnya


pada OA, mungkin pasien perlu memperbaiki sikap tubuh, mengurangi
berat badan, atau melakukan fisioterapi.
3) Efek samping pengobatan dengan AINS: nyeri ulu hati, mual,
perdarahan saluran cerna. Bila timbul efek samping, pengobatan:
ranitidin 150-300 mg tiap 12 jam. Bila terjadi perdarahan saluran cerna
dan anemia akibat AINS segera dirujuk.
4) Alasan rujukan: untuk operasi perbaikan deformitas, pengobatan lebih
lanjut.

KIE
1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat ditoleransi,
menghindari komplikasi, mengurangi kejadian episode akut,
meningkatkan kualitas hidup

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

23

24
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

8. ASMA BRONKIAL
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1403

ICD X : J45

a. Definisi
Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi
jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat
hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan selsel dan elemen seluler terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag,
neutrofil dan epitel.
b. Penyebab
Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma:
1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran napas dan
mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran napas
(bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti:
a) Perubahan cuaca dan suhu udara.
b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok,
serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga,
insektisida, debu, polusi udara dan hewan piaraan.
c) Infeksi saluran napas.
d) Gangguan emosi.
e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan.
2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan
bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda
asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam
rumah atau bulu binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot
polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih
tertentu ke bronki, yang mengakibatkan peradangan (inflamasi) pada
saluran napas dimana hal ini akan memperkecil diameter dari saluran
udara (disebut bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien
harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas.
c. Gambaran Klinis
1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan
ekspirasi.
2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

25

3) Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot bantu


pernapasan dan sianosis dikenal dengan status asmatikus yang dapat
berakibat fatal.
4) Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan fisik atau
saat cuaca dingin, berhubungan dengan infeksi saluran napas atas,
berhubungan dengan paparan terhadap alergen seperti pollen dan bulu
binatang.
5) Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam, berhubungan dengan
faktor iritatif, batuknya bisa kering, tapi sering terdapat mukus bening
yang diekskresikan dari saluran napas.
d. Diagnosis
1) Anamnesis
Episode berulang dari sesak napas disertai dengan mengi, batuk
(terutama memburuk saat malam hari), rasa tertekan di dada. Riwayat
atopi, riwayat keluarga dengan asma, pekerjaan, pajanan faktor
pencetus sebelumnya: bulu hewan, debu, udara, tungau, infeksi saluran
napas, penggunaan obat (penyekat beta, aspirin).
2) Pemeriksaan fisik
Takipneu (bisa disertai sianosis pada serangan berat), ekspirasi
memanjang, wheezing, hiperinflasi dada
3) Pemeriksaan penunjang
Eosinofilia, IgE serum meningkat, spirometri. Foto toraks (pada saat
serangan).
4) Kriteria Diagnosis
Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010, adanya tanda
dan gejala berikut ini meningkatkan kemungkinan diagnosis asma,
antara lain:
a) Wheezing (suara napas mengi)
b) Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang bertambah
terutama malam hari, mengi berulang, kesulitan bernapas yang
berulang, keluhan dada terasa berat yang berulang.
c) Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga pasien
terbangun dari tidur
d) Gejala timbul atau memburuk pada musim-musim tertentu

26
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga dengan


asma atau dermatitis atopi
f) Gejala timbul atau memburuk dengan adanya : hewan berbulu,
kimia erosol, perubahan temperatur, obat (aspirin, penyekat beta),
latihan atau olahraga, serbuk, infeksi (virus) saluran napas, asap
atau stress emosi
g) Gejala berkurang dengan pemberian terapi anti-asma
Penggolongan asma dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penggolongan Asma
Controlled
Partly controlled
asthma
asthma
Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu
Gejala harian
kali/ minggu)
Tidak ada
Ada
Keterbatasan aktivitas
Tidak ada
Ada
Gejala malam hari
Kebutuhan obat pelega Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu
kali/ minggu)
(reliever)
<80% predicted
Fungsi faal paru (PEF Normal
atau FEV)
Karakteristik

Uncontrolled
asthma
3 gejala
pada partly
controlled
asthma

5) Diagnosis Banding
PPOK, gagal jantung
6) Pemeriksaan Lanjutan
a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum,
b) Skin prick test,
c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced expiratory
volume 1 (FEV1) 12% dan 200 ml setelah pemberian
bronkodilator, peningkatan peak expiratory flow (PEF) 20%
setelah pemberian bronkodilator],
d) Uji provokasi bronkus atas indikasi,
e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan asma berat
hasil AGD dapat PaCO2 45, hipoksemia, asidosis respiratorik)

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27

e. Penatalaksanaan
1) Untuk anak:
a) Asma ringan:
Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara inhalasi 2,5
mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam, kemudian dikurangi
sampai tiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik, atau salbutamol
oral (sirup atau tablet) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam,
atau adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis
maksimal 0,3 mL/kali.
b) Asma serangan sedang:
Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan intravena,
kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3 mg/kgbb/kali 3 x
sehari selama 3-5 hari.
c) Asma serangan berat:
Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial. Dosis awal 6
mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam 20-30 menit. Dosis
rumatan aminofilin 0,5-1 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat
diberikan secara intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi
dapat diberikan selama 6 jam.
2) Untuk dewasa:
a) Serangan akut:
(1) Oksigen.
(2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 0,3 mL s.k.
yang dapat diulangi 2 kali dengan interval 1015 menit. Jika
serangan tidak reda, dilanjutkan dengan aminofilin bolus 240
mg dalam 10 mL, disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila
serangan tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg i.v./i.m.
Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dalam 500 mL
dekstrosa 5% dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila dalam 4 jam
serangan belum reda maka perlu dirujuk.
(3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB i.v.
kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m., diikuti dengan
aminofilin drip 240 mg dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila
setelah 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk dan
dinyatakan sebagai status asmatikus.

28
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Prednison dapat ditambahkan bila aminofilin belum dapat


mengatasi serangan secara optimal. Diberikan beberapa hari
saja untuk mencegah status asmatikus.

f.

9. BATU SALURAN KEMIH


Kompetensi
: 2
Laporan Penyakit
: 16

ICD X : N23

b) Bila sudah membaik, maka pengobatan lanjutan dapat digunakan:


Lini 1: salbutamol 2-4 mg tiap 8 jam kombinasi dengan aminofilin
100-150 mg per oral tiap 8 jam.
Lini 2: efedrin 10-15 mg tiap 8 jam.

a. Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan
nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan serangan
asma
2) Efek samping:
a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa menimbulkan
aritmia.
b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit kepala.
c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin dalam derajat
yang lebih ringan.
d) prednison: moonface, iritasi lambung.
3) Pasien diharapkan:
a) mengenali faktor pencetus serangan dan menghindarinya
b) mengenali tanda-tanda serangan
c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum obat
salbutamol dan aminofilin.
4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak diperlukan lagi,
namun perlu siap sedia obat salbutamol dan aminofilin.
5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi serangan asma :
a) Sedatif (harus dihindari)
b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan
ketidaknyamanan pasien)
d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak
e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun diindikasikan pada
pasien dengan pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis)
6) Komplikasi
PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat
menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.

b. Penyebab
Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam saluran
kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29

c. Gambaran Klinis
1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam
kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini
disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).
2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di
saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik, sedangkan yang di
bawah menghambat buang air kecil.
3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis
bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang
hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar
ke perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam).
4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung,
demam, menggigil dan darah di dalam urin. Pasien mungkin menjadi
sering buang air kecil, terutama ketika batu melewati ureter.
5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan
mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang ada leukosit.
6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat
aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam urin yang terkumpul
diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi.
7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik ke
saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan
menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa
terjadi kerusakan ginjal.

30
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan diketahui secara
tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin rutin (urinalisis).
2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala
kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri tekan di punggung dan
selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas.
3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau
kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan
lainnya, kecuali jika nyeri menetap lebih dari beberapa jam atau
diagnosisnya belum pasti.
4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan diagnosis
adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan contoh darah untuk
menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa
menyebabkan terjadinya batu.
e. Penatalaksanaan
1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak.
2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan selanjutnya.
3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi,
biasanya tidak perlu diobati.
f.

KIE
Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan minum
banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk meningkatkan pembentukan
urin dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang,
maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera.

10. BRONKITIS AKUT


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1402

ICD X : J20

a. Definisi
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paruparu).
Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang lebih ringan.
b. Penyebab
Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri.
c. Gambaran Klinis
1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas
ringan, sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu), bengek,
lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan
kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna
kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan
penglihatan.
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
batuk tidak berdahak, tetapi 12 hari kemudian akan mengeluarkan
dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah
banyak, berwarna kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik,
kadang terjadi demam tinggi selama 35 hari dan batuk bisa menetap
selama beberapa minggu.
5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia.
d. Diagnosis
1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari
adanya lendir.
2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar
bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

31

32
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa diberikan
parasetamol
2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya menunjukkan
bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna kuning
atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan pasien yang sebelumnya
memiliki penyakit paru-paru.
3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti:
a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari
b) eritromisin 250500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5 hari.
4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 2050 mg/kgBB/hari
atau eritromisin 4050 mg/kgBB/hari walaupun dicurigai penyebabnya
adalah Mycoplasma pneumoniae.
5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam (OBH).
6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk.

11. DEMAM BERDARAH DENGUE


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 0405

f.

b. Penyebab
Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne
Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan
serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1
dan Dengue-4.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis penyakit.
2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta
menghentikan kebiasaan merokok.
3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak < 2 tahun
adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik.
4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat.
5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk (antitusif).

ICD X : A91

a. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan:
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 27 hari;
2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva,
epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple
Leede) positif;
3) Trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l);
4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%);
5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

c. Cara Penularan
Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti meskipun
dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang biasanya hidup di kebunkebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut.
d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi
Biasanya berkisar antara 47 hari.
2) Demam
Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak, dimana
dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan saluran cerna
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

33

34
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bagian atas seperti kembung, mual dan nyeri, pada pemeriksaan


terdapat konjungtiva inferior hiperemis (trias dengue fever).
Demam berlangsung 27 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang
kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak
turun.
3) Tanda-tanda perdarahan
Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya
berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu
atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, purpura,
ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi,
hematemesis, melena dan hematuri. Petekie sering sulit dibedakan
dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan kulit,
jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif sebagai tanda
perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras)
oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam
terdapat pada sebagian besar pasien DBD. Namun uji Tourniquet positif
dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam
chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji
Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada
seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan
(volar) dekat lipat siku (fossa cubiti).
4) Pembesaran hati (hepatomegali)
Sifat pembesaran hati:
a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit.
b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.
5) Renjatan (syok)
Tanda-tanda renjatan:
a) Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari
tangan dan kaki.
b) Pasien menjadi gelisah.
c) Sianosis di sekitar mulut.
d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang.
Sebab renjatan: karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke
daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

35

6) Trombositopeni
a) Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari
ke 37 sakit.
b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.
c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD,
bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun.
7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini merupakan
indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan
pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan
trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit 20% (misalnya 35% menjadi 42%:
20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai
hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Penurunan nilai hematokrit 20% setelah pemberian cairan yang
adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
8) Gejala klinik lain
a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD ialah nyeri
otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau
konstipasi, dan kejang.
b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan
penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai
ensefalitis.
c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului
perdarahan gastrointestinal dan renjatan.
e. Diagnosis
1) Tersangka Demam Berdarah Dengue
Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi
mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji
Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit
100.000/l).
2) Pasien Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2

36
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai


pasien DBD apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi
perdarahan
(sekurang-kurangnya
uji
Tourniquet
positif),
trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis), atau hasil
pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD menunjukkan hasil positif
pada pemeriksaan HI test, atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau
IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis
laboratoris).
f.

Penatalaksanaan
Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh >38,5oC.
1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak)
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:
a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat,
bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terusmenerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, feses darah,
maka pasien perlu dirawat/dirujuk.
b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet
dan hitung trombosit.
(1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/l,
pasien dirawat/dirujuk.
(2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/l atau
normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang
kembali tiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum
banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lainlain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol, jangan
golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun
pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda
syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin,
sakit perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa
Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau
terdapat peningkatan Ht dan/atau penurunan trombosit, segera
rujuk ke rumah sakit.
2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa)
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan
trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran
kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

37

pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas


kesehatan lainnya. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi
rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi dengan
anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat
sebanyak 500 mL dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
a) Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit <100.000/L
atau
b) Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit <150.000/L.
3) Penatalaksanaan pasien demam berdarah dengue dengan syok
(DSS)
a) Segera beri infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, 1020 mL/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen
24 L/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba
dan tekanan darah tidak terukur) diberikan Ringer Laktat 20
mL/kgBB bersama koloid. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan
dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam.
b) Untuk pemantauan dan penanganan lebih lanjut, sebaiknya pasien
dirujuk ke rumah sakit terdekat.
g. KIE
1) Tujuan pengobatan : mencegah terjadinya syok.
2) Perhatikan saat suhu tubuh turun pada hari ke-3, ke-4, dan ke-5
(deverfescens), sebagai periode kritis untuk masuk ke dalam fase DSS
atau masuk ke arah perbaikan (demam dengue biasa)
3) Pemberian cairan tidak boleh ragu, tetapi harus diperhitungkan dengan
seksama. Perhatikan jumlah urin, jika 1 mL/menit menunjukkan cairan
sudah cukup.
4) Usahakan tidak memberikan obat yang tidak diperlukan seperti
antasida, antiemetik, dan lain-lain untuk mengurangi beban detoksikasi
dalam hati.
5) Jika ditemukan kasus positif DBD, dokter diharapkan melaporkan ke
Dinas Kesehatan setempat 1 X 24 jam untuk ditindaklanjuti dengan
penelitian epidemiologi, dalam rangka memutus rantai penularan di
lapangan dan untuk mewaspadai akan adanya kemungkinan kejadian
luar biasa (KLB).

38
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Lakukan edukasi seksama program PSN-3M (Pemberantasan Sarang


Nyamuk dengan Menguras, Menutup, Mengubur) di tempat-tempat
penampungan air secara teratur 1 minggu sekali.
7) Selain itu ditambahkan cara lain dengan Program 3M Plus sesuai
Pedoman Program Demam Berdarah.

12. DEMAM REMATIK


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: -

ICD X : I00-I02

a. Definisi
Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut tenggorok
oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik atau
fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus
grup A yang terjadi 15 minggu sebelumnya pada saluran napas bagian
atas.
Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang menyebabkan
kelainan menetap di jantung (penyakit jantung reumatik) dan kelainan
berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan organ lainnya.
b. Penyebab
Interaksi antigen-antibodi 1014 hari setelah infeksi Streptococcus
pyogenes.
c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Mayor
a) Karditis
b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah)
c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan
tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat
bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh dan
tidak terkendali.
d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini hanya
ditemukan pada kasus yang berat).
e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan
jika tidak terdapat karditis).
2) Kriteria Minor
a) Demam
b) Riwayat demam rematik
c) Artralgia/nyeri sendi
d) Peninggian LED
e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis
f) Interval P-R yang memanjang pada EKG

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

39

40
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya infeksi Streptococcus
sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur Streptococcus tenggorokan
positif, baru saja menderita skarlatina).
Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan penyakit katup
(tak perlu untuk Diagnosis primer).
5)
6)

e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pengobatan awal.
2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam
rematik dapat ditegakkan.
Obat pilihan pertama adalah:
a) penisilin prokain 600.0001,2 juta UI i.m. atau penisilin V 500 mg
tiap 8 jam selama 10 hari
b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak tahan terhadap
penisilin.
c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000 IU/kgBB/ hari,
dan eritromisin 125250 mg tiap 6 jam.
3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada
tabel berikut.

7)

Tabel 3. Pemberian obat antiradang pada demam rematik


Manifestasi
Dosis Obat
Pengobatan

8)

Artritis, dan/atau
karditis
tanpa
kardiomegali

Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,


kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kgBB/hari
selama 46 minggu.

Karditis dengan
kardiomegali atau
gagal jantung

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,


kemudian diturunkan 1 mg/kgBB/hari sampai habis
selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75
mg/kgBB/hari mulai minggu ke-3 selama 6 minggu.

f.

a) Pasien tanpa karditis dalam serangan pertama harus diberikan


profilaksis minimum 5 tahun setelah serangan hingga minimum
usia 18 tahun.
b) Pasien dengan karditis pada serangan pertama, harus diberikan
profilaksis hingga usia 25 tahun.
c) Pasien yang menderita penyakit katup jantung rematik kronik,
diberikan profilaksis jangka waktu lama hingga seumur hidup pada
beberapa kasus.
Profilaksis tetap diteruskan jika pasien hamil.
Antibiotik profilaksis:
a) Benzatin benzilpenisilin
(1) Injeksi 1,44 g (=2,4 juta UI) (dalam 5 mL vial)
(2) anak <30 kg : 600.000 UI i.m. tiap 34 minggu
(3) anak dan dewasa >30 kg : 1,2 juta UI i.m tiap 34 minggu
b) Fenoksimetilpenisilin
(1) Tablet 250 mg (bentuk garam)
(2) Suspensi oral 250 mg (bentuk garam, dalam tiap 5 ml)
(3) Anak < 2 tahun: 125 mg per oral tiap 12 jam
(4) Dewasa: 250 mg per oral tiap 12 jam
Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan:
Eritromisin
a) Kapsul atau tablet 250 mg (stearat atau etil suksinat)
b) Suspensi oral 125 mg (stearat atau etil suksinat)
Semua pasien demam rematik harus dirujuk ke rumah sakit.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut menjadi
penyakit jantung rematik.
2) Efek samping:
a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok anafilaktik dan
mempersiapkan perangkat anti syok anafilaktik.
b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan prednison
antara lain moonface, hipertensi, mudah terkena infeksi,
hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.

4) Pasien yang pernah menderita demam rematik, dengan atau tanpa


adanya penyakit jantung rematik, sangat dianjurkan diberikan antibiotik
profilaksis (secondary prophylaxis) untuk mencegah infeksi ulang
saluran napas oleh streptococcus group A.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

41

42
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

13. DERMATITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 2002

2) Topikal
a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 23 x sehari, 12 jam dengan
larutan NaCl 0,9%.
b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 12 kali sehari sesudah
mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila sudah membaik dapat
diganti dengan potensi yang lebih rendah.
c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%.
d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%.
e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab segera sesudah
mandi.

ICD X : L20-L30

a. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal dan
ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak tegas. Dermatitis
Atopik adalah peradangan kulit kronik dan residif yang sering terjadi pada
bayi dan anak, disertai gatal dan berhubungan dengan atopi.
Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu
yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma
bronkiale, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi.
b. Penyebab
Umumnya tidak diketahui.
c. Gambaran Klinis
1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan,
kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna
merah dan berair.
2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 34 tahun, meskipun
biasanya akan muncul kembali.
3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh
kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut
bagian depan atau di belakang lutut.
4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu
menimbulkan gatal-gatal.

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan obyektif serta
pencegahan rekurensi.
2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien:
a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna
jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi
gatal dan mengatasi kelainan kulit.
b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah
kekambuhan:
(1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya sabun bayi
(2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap keringat
(3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk.
(4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu, dan
sebagainya.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik
dan riwayat penyakit alergi pada keluarga pasien.
e. Penatalaksanaan
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin maleat) untuk
mengurangi gatal.
b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotik
sistemik atau topikal.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

43

44
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

14. DERMATOMIKOSIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 2001

ICD X : B36.9

a. Definisi
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang secara medis
disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian permukaan kulit).
Sedangkan dari berbagai jenis dermatomikosis yang sering mengenai
manusia, dikenal dengan kelompok dermatofitosis yang di Indonesia
dikenal dengan kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori
dermatomikosis yang nondermatofitosis.

e. Penatalaksanaan
1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal.
2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit.
3) Nistatin hanya efektif pada kandida.
4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida.
5) Dermatofitosis
a) Sistemik (diberikan bila lesi luas)
Griseofulvin micronized 5001000 mg sehari selama 26 minggu
b) Topikal
Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%.
f.

b. Penyebab
Kontak langsung dengan sumber penularan.
1) Paparan terhadap jamur sering terjadi.
2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan mikosis kuku
dan kaki.
3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing) menyebar dengan
mudah pada manusia dan menyebabkan tinea pada ekstremitas, badan
dan wajah.

KIE
1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai penularan.
2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala dan
fotosensitivitas.
3) Pencegahan: menjaga kebersihan dan menghindari sumber penularan.

c. Gambaran Klinis
1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama, eritematus dan
meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan gatal.
2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga
kecokelatan bisa pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan
lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas,
leher, muka dan kulit kepala yang berambut.
3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum wanita;
mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi lebih dari satu
kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh, putih, dadih seperti
kotoran, peradangan pada kulit sekitar vagina, serta sakit selama buang
air kecil atau sewaktu hubungan seksual.
d. Diagnosis
Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara pemeriksaan
mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang terserang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

45

46
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15. DIABETES MELITUS


Kompetensi
: 3A;4
Laporan Penyakit
: 55-59

ICD X : E10-E14

a. Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik
menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi etiologis DM yaitu:
1) Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan)
sel beta pankreas karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan
produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga pasien sangat
memerlukan tambahan insulin dari luar.
2) Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi
insulin).
3) Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi
yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4) Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik
yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita
hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan
setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal.
b. Penyebab
Kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai
sumber energi dan mensintesa lemak.
Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
c. Gambaran Klinis
1) Keluhan Klasik, berupa: sering kencing, cepat lapar, sering haus dan
berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas.
47
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Keluhan lainnya, berupa: kesemutan, gatal di daerah


alat
kelamin, keputihan, infeksi sulit sembuh, bisul yang hilang timbul,
penglihatan kabur, cepat lelah dan mudah mengantuk.
d. Diagnosis
Berdasarkan gejala diabetes dengan 3P (polifagia, poliuria, polidipsia).
Diagnosis dapat dipastikan dengan reduksi urin dan penentuan kadar gula
darah.
1) Bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL
2) Glukosa darah puasa >126 mg/dL
3) Pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan hasil
pemeriksaan kadar gula darah 2 jam >200 mg/dL sesudah pemberian
glukosa 75 g.
e. Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus:
1) Edukasi
a) Pengertian Diabetes Melitus
b) Perencanaan makanan
c) Bentuk aktivitas fisik yang dianjurkan
d) Pemeliharaan kaki
e) DM di bulan Ramadhan
f) Obat untuk mengendalikan kadar gula darah
g) Pemantauan gula darah
h) Komplikasi DM
2) Terapi gizi medis
Perencanaan Makanan: sebaiknya melakukan rujukan untuk
mendapatkan perencanaan makan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien.
a) Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari
karbohidrat 45-65%, protein 10-15% dan lemak 20-25%.
b) Prinsip:
(1) Anjuran makan seimbang seperti makan sehat pada umumnya
(2) Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai
kebutuhan kalori (tidak berlebih)
(3) Menu sama dengan menu keluarga
(4) Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan.

48
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Dapat dilihat dalam Pedoman Program Pengendalian Diabetes


Mellitus dan Penyakit Metabolik.

a) Diabetes Melitus tipe 2:


(1) Lini 1: Biguanid yaitu metformin, 500 mg tiap 8-24 jam
bersama atau sesudah makan
(2) Lini 2: Sulfonilurea yaitu glibenklamid, dimulai dengan dosis
2,5 mg tiap 12-24 jam sebelum makan. lalu dinaikkan secara
bertahap, maksimal 10 mg/hari.
(3) Lini 3: Kombinasi metformin dan glibenklamid, diberikan
secara bertahap.
(4) Lini 4: insulin
b) Diabetes Melitus tipe 1:
Selalu dengan insulin, tidak dianjurkan diberikan OHO.
(1) Insulin kerja cepat (rapid)
(2) Insullin kerja pendek (short acting)
(3) Insulin kerja menengah (intermediate)
(4) Insulin kerja panjang (long acting)

3) Aktivitas fisik/latihan jasmani


Aktivitas fisik seperti berjalan kaki ke pasar, berkebun, menggunakan
tangga, dan lain-lain.
Latihan jasmani seperti: bersepeda santai, berjalan kaki, jogging dan
berenang.
Dilakukan 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a) Hal yang dapat memperburuk gangguan metabolik orang dengan
diabetes:
(1) Beratnya penyakit dan komplikasinya (penyakit jantung,
koroner, hipertensi, gangguan penglihatan, gangguan fungsi
ginjal dan hati, kelainan kaki).
(2) Kadar gula darah >250 mg%, jangan lakukan latihan berat
(misalnya: latihan beban, olah raga kontak tinju dan lain-lain,
bulu tangkis, sepak bola, dan olah raga permainan yang lain).
(3) Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin.
b) Gangguan pada kaki:
(1) Kenakan sepatu yang sesuai
(2) Kaki diusahakan agar selalu bersih dan kering
(3) Periksa kedua kaki tiap sebelum dan sesudah latihan
c) Cedera muskuloskeletal:
(1) Pilih olah raga yang sesuai dan tepat
(2) Tingkatkan intensitas latihan sedikit demi sedikit dan bertahap
(3) Lakukan pemanasan dan pendinginan
(4) Hindari olah raga berat dan berlebihan.
d) Berlatihlah bersama keluarga, teman atau tetangga dalam suatu
kelompok untuk menjaga agar dorongan untuk berolah raga selalu
tinggi.
4) Pengobatan
Apabila kadar gula darah belum mencapai sasaran, diberikan obat
hipoglikemik oral (OHO), secara tunggal atau kombinasi.
Pemberian OHO untuk pengobatan jangka pendek dan jangka panjang
dapat dilakukan di Puskesmas.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

49

f.

Pengendalian DM
Keberhasilan terapi DM dapat menggunakan kriteria kendali DM yang
telah dikeluarkan oleh PERKENI (Tabel 4).
Tabel 4. Pengendalian DM
Glukosa darah puasa (mg/dL)
Glukosa darah 2 jam (mg/dL)
A1C (%)
Kolesterol Total (mg/dL)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigliserida (mg/dL)
IMT (kg/m2)
Tekanan darah (mmHg)

Baik

Sedang

Buruk

80<100
80-144
<6,5
<200
<100
Pria: >40
Wanita: >50
<150
18,5-<2,3
<140/80

100-125
145-179
6,5-8
200-239
100-129

>126
>180
>8
>240
>130

150-199
23-25
>130-140/
>80-90

>200
>25
>140/90

Keterangan:
Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke
plasma vena.

50
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g. KIE
Lihat pilar penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan:
a) Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM dan
tercapainya target pengendalian gula darah.
b) Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
c) Selain itu perlu juga mengendalikan tekanan darah, berat badan dan
profil lipid.
2) Memberikan informasi perilaku sehat bagi penyandang diabetes yaitu:
a) Mengikuti pola makan sehat
b) Meningkatkan kegiatan jasmani
c) Menggunakan obat diabetes secara teratur
d) Melakukan perawatan kaki secara berkala
e) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi kedaan
sakit akut dengan tepat
f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
3) Efek samping obat:
a) Glibenklamid: hipoglikemia, hati-hati pada pasien usia lanjut, berat
badan naik;
b) Metformin: mual, muntah (dyspepsia), diare;
c) Insulin: berat badan naik, hipoglikemia.
4) Penanganan hipoglikemia:
a) Jika ada tandatanda hipoglikemia berupa kaki dan tangan terasa
dingin, sakit kepala, keringat dingin, gemetaran, segera diajarkan
minum air gula atau makan kemudian laporkan pada dokter. Pada
hipoglikemia berat dimana kesadaran menurun sampai koma:
b) Hipoglikemi pada dewasa: segera berikan dekstrosa (glukosa) 40%
i.v. 2550 mL, terus menerus sampai pasien sadar. Diikuti dengan
infus glukosa 10% 500 mL dalam 6 jam, kemudian gula darah
diperiksa tiap 1 jam sampai 2 X berturut-turut sampai kadar gula
darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung
dirujuk.
c) Hipoglikemi pada anak : diberikan dekstrosa 10% sebanyak 2-5
mL/kgBB. Jika digunakan dekstrosa 20% maka diberikan dengan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

51

dosis 1-2,5 mL/kgBB, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam


sampai 2x berturut-turut sampai kadar gula darah di atas 100
mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung dirujuk.
5) Pencegahan:
a) Pencegahan Primer: mencegah timbulnya penyakit DM pada
populasi berisiko dengan mengendalikan faktor risiko diabetes
dengan melakukan gaya hidup sehat, dengan menekankan
kepatuhan.
b) Pencegahan Sekunder: mencegah dan menghambat progresivitas
komplikasi dengan melakukan rujukan untuk melakukan :
(1) Pemeriksaan A1C tiap 3-6 bulan
(2) Pemeriksaan mikroalbuminuria, kreatinin, albumin/globulin
dan ALT, kolesterol (total, LDL, HDL dan trigliserida), EKG,
foto sinar-X dada, funduskopi tiap 1 (satu) tahun.
(3) Pemeriksaan ankle brachial index, yaitu membandingkan
tekanan darah sistolik pada arteri dorsalis atau arteri tibialis
posterior terhadap tekanan darah sistolik pada arteri brachialis.
Jika nilai <0,9 menunjukkan kecenderungan penyakit arteri
perifer.
6) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko:
a) usia >45 tahun
b) ada riwayat keluarga DM
c) riwayat pernah menderita diabetes gestasional
d) riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah, kurang dari
2500 g.
e) kegemukan (IMT >23 kg/m2) dan lingkar pinggang laki-laki 90
cm, perempuan 80cm
f) kurangnya aktivitas fisik
g) diet tidak sehat, dengan tinggi gula dan rendah serat
h) hipertensi, tekanan darah diatas 140/90 mmHg
i) riwayat dislipidemia, kadar lipid (Kolesterol HDL 35 mg/dL dan
atau Trigliserida 250 mg/dL)
j) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

52
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

16. DIARE AKUT NON SPESIFIK


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0102

ICD X : A09

a. Definisi
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lain.
Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya encer, lebih
sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis, berbusa bahkan dapat
berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 7 hari.
Diare nonspesifik adalah diare yang bukan disebabkan oleh kuman khusus
maupun parasit.
b. Penyebab
Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang tercemar
toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya.

e. Penatalaksanaan
WHO telah menetapkan 4 unsur utama dalam penanggulangan diare akut
yaitu:
1) Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral (URO) untuk mencegah
maupun mengobati dehidrasi.
2) Melanjutkan pemberian makanan seperti biasa, terutama ASI, selama
diare dan dalam masa penyembuhan.
3) Tidak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun
antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri, atau terbukti
giardiasis atau amubiasis.
4) Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta keluarganya
tentang upaya rehidrasi oral di rumah, tanda-tanda untuk merujuk dan
cara mencegah diare di masa yang akan datang.
Dasar pengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah pertama adalah
tentukan derajat dehidrasi (Tabel 5).
Tabel 5. Derajat dehidrasi

c. Gambaran Klinis
1) Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat dehidrasi.
Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan mencapai
45% berat badan.
2) Gejala dan tanda dehidrasi antara lain:
a) rasa haus, mulut dan bibir kering
b) menurunnya turgor kulit
c) menurunnya berat badan, hipotensi, lemah otot
d) sesak napas, gelisah
e) mata cekung, air mata tidak ada
f) ubun-ubun besar cekung pada bayi
g) oliguria kemudian anuria
h) menurunnya kesadaran, mengantuk.
3) Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih pasien jatuh ke dalam
dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat terjadi syok dan kematian.
d. Diagnosis
Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih sering dari
biasanya dengan konsistensinya yang lembek dan cair.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

53

Gejala

Status mental
Rasa haus

Denyut jantung
Kualitas denyut
nadi
Pernapasan
Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Turgor kulit
Isian kapiler
Ekstremitas
Output urin

Derajat Dehidrasi
Minimal (< 3%
dari
berat
badan)
Baik, sadar penuh
Minum normal,
mungkin menolak
minum
Normal
Normal
Normal
Normal
Ada
Basah
Baik
Normal
Hangat
Normal
menurun

sampai

Ringan
sampai
sedang (3-9% dari
berat badan)
Normal, lemas, atau
gelisah, iritabel
Sangat haus, sangat
ingin minum

Berat (> 9% dari


berat badan)

Normal
sampai
meningkat
Normal
sampai
menurun
Normal cepat
Sedikit cekung
Menurun
Kering
< 2 detik
Memanjang
Dingin
Menurun

Takikardi, pada kasus


berat bradikardi
Lemah atau tidak
teraba
Dalam
Sangat cekung
Tidak ada
Pecah-pecah
> 2 detik
Memanjang, minimal
Dingin
Minimal

Apatis, letargi, tidak


sadar
Tidak dapat minum

54
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Menghitung kebutuhan cairan dengan skoring Daldiyono (1970) (Tabel 6):

b) Jika anak muntah (karena pemberian cairan terlalu cepat), tunggu


5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan pemberian lebih lambat (1
sendok tiap 2-3 menit).

Tabel 6. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi


Klinis

Skor

Rasa hasus/ muntah


Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg
Tekanan darah sistolik <60 mmHg
Frekuensi nadi > 120 x/menit
Kesadaran apati
Kesadaran somnolen, spoor atau koma
Frekuensi napas > 30x/ menit
Facies Cholerica
Vox Cholerica
Turgor kulit menurun
Washer womans hand
Ekstremitas dingin
Sianosis
Umur 50 60 tahun
Umur > 60 tahun

1
1
2
1
1
2
1
2
2
1
1
1
2
-1
-2

3) Pada pasien diare dengan dehidrasi berat (Terapi C):


a) Diberikan Ringer Laktat 100 mL yang terbagi dalam beberapa
waktu.
b) Tiap 1-2 jam pasien diperiksa ulang, jika hidrasi tidak membaik
tetesan dipercepat. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (pasien lebih
tua) pasien kembali di periksa (Tabel 7).
Tabel 7. Pemberian Cairan Untuk Bayi Diare Dengan Dehidrasi Berat

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter


15
Bila skor <3 dan tidak ada syok, atau dehidrasi ringan/sedang maka hanya
diberikan cairan per oral. Bila skor >3 dan disertai syok atau dehidrasi
sedang/ berat, diberikan cairan intravena.
1) Pada pasien diare tanpa dehidrasi (Terapi A):
a) Berikan cairan (air tajin, larutan gula garam, oralit) sebanyak yang
diinginkan hingga diare stop, sebagai petunjuk berikan tiap habis
BAB:
(1) Anak <1 thn
: 50 100 mL
(2) Anak 1 4 thn : 100200 mL.
(3) Anak >5 tahun : 200300 mL
(4) Dewasa : 300400 mL
b) Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi.

Umur

Pemberian pertama
30 mL/kg

Pemberian kemudian
70 mL/kg

Bayi <12 bulan

dalam 1 jam

dalam 5 jam

Bayi/anak > 12 bulan

dalam 30 menit

2,5 jam

Sebagai terapi penunjang pada anak diberikan preparat Zinc (Zn)


elementer:
1) Bayi <6 bulan: 10 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut
2) Bayi/anak >6 bulan: 20 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi dehidrasi dan mencegah dehidrasi
berlanjut.
2) Pencegahan: kebersihan (higiene) lingkungan.
3) Alasan rujukan: dehidrasi berat atau bila pemberian asupan makanan
tidak berhasil.
4) Peringatan/perhatian: pemberian Zn tidak dimaksudkan sebagai
pengganti oralit.

2) Pada pasien diare dengan dehidrasi ringansedang (Terapi B):


a) Oralit diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam, jangan dengan botol.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

55

56
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

17. DIFTERI
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3B
: 0303

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan adanya stridor inspiratoir atau


pseudomembran yang mudah berdarah.
Diagnosis etiologi dikonfirmasi dengan biakan bakteri yang diambil dari
eksudat usap tenggorok ke dalam tabung untuk sampel bakteri. Sampel
harus dibiakkan pada media khusus, untuk itu perlu terlebih dahulu
memberitahu laboratorium. Sediaan apus diambil 3 hari berturut-turut.

ICD X : A36

a. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran napas bagian atas yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering
menyerang anak-anak.
b. Penyebab
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran napas, terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan
menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.

e. Penatalaksanaan
Tiap pasien yang diduga menderita difteri harus segera dirujuk untuk
penanganan selanjutnya.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi penyakit dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi dasar dan booster lengkap.
3) Alasan rujukan: tiap kasus bisa berpotensi membahayakan.

c. Gambaran Klinis
1) Masa tunas 27 hari
2) Pasien mengeluh sakit menelan dan napasnya terdengar ngorok
(stridor), pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil
dan sakit kepala.
3) Pasien tampak sesak napas dengan atau tanpa tanda obstruksi napas.
4) Demam tidak tinggi.
5) Pada pemeriksaan tenggorokan tampak selaput putih keabu-abuan yang
mudah berdarah bila disentuh (pseudomembran).
6) Gejala ini tidak selalu ada: Sumbatan jalan napas sehingga pasien
sianosis, napas bau atau perdarahan hidung.
7) Tampak pembesaran kelenjar limfe di leher (bullneck).
8) Inflamasi lokal dengan banyak sekali eksudat faring, eksudat yang lekat
di mukosa berwarna kelabu atau gelap dan edema jaringan lunak. Pada
anak, fase penyakit ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas.
9) Penyakit sistemik yang disebabkan oleh toksin bakteri dimulai 12
minggu sesudah gejala lokal. Toksin mempengaruhi jantung
(miokarditis, aritmia terutama selama minggu kedua penyakit) dan
sistem saraf (paralisis, neuritis 27 minggu sesudah onset penyakit).
Bila pasien sembuh dari fase akut penyakit, biasanya sembuh tanpa
kelainan penyerta.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
baik.
57
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

58
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

18. DISENTRI AMUBA


Kompetensi
: 04
Laporan Penyakit
: 0103

ICD X : A06

a. Definisi
Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare berdarah,
disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang air besar (tenesmus),
selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis adalah penyakit yang disebabkan
oleh protozoa usus. Protozoa tersebut hidup di kolon, menyebabkan radang
akut dan kronik yang disebut amubiasis intestinal. Bila tidak diobati
amubiasis intestinal akan menjalar ke luar usus dan menyebabkan
amubiasis ekstra-intestinal.
b. Penyebab
Entamoeba histolytica
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi rata-rata 2-4 minggu.
2) Amubiasis kolon akut atau disentri amuba memberikan gejala sindroma
disentri yang merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas feses
berlendir dan berdarah, tenesmus anus, nyeri perut dan kadang-kadang
disertai demam.
3) Pada amubiasis kronik pasien mengeluh nyeri perut dan diare yang
diselingi konstipasi.
4) Pada amubiasis ekstraintestinalis kadang ditemukan riwayat amubiasis
usus.
5) Pasien amubiasis hati biasanya demam, hati membesar disertai nyeri
tekan abdomen terutama di daerah kanan atas, berkeringat, tidak nafsu
makan, berat badan turun dan ikterus.
6) Amubiasis kutis dan perinealis menyebabkan ulkus yang tepinya
bergaung, sedangkan amubiasis vaginalis menimbulkan leukore dengan
bercak darah dan lendir.

e. Penatalaksanaan
1) Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amubiasis usus maupun
amubiasis ekstraintestinalis.
a) Dosis dewasa: 500750 mg tiap 8 jam selama 7 10 hari.
b) Dosis anak 1 tahun: 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam, selama 710 hari.
2) Amubiasis ekstraintestinalis memerlukan pengobatan yang lebih lama.
Oleh karena itu perlu dirujuk.
f.

KIE
1) Tujuan terapi: membunuh parasit.
2) Efek samping terapi: metronidazol dapat menyebabkan mual. Jika
timbul gejala tersebut maka pasien dapat menghubungi dokter
Puskesmas untuk mendapatkan obat antimual.
3) Pencegahan:
4) Pencegahan meliputi perbaikan kesehatan lingkungan dan higiene
perorangan, desinfeksi sayur dan buah-buahan yang diduga kurang
bersih.
5) Pengidap kista tidak boleh bekerja di bidang penyiapan makanan dan
minuman.

d. Diagnosis
Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk histolitika dalam
feses cair.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

59

60
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19. DISPEPSIA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 88

ICD X : K30

a. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman atau nyeri ulu hati disertai mual,
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
b. Penyebab
1) Fungsional (dispepsia tipe non-ulkus): dispepsia tanpa ada bukti
kelainan organik (misalnya karena psikosomatis), kombinasi
hipersensitivitas visceral dengan motilitas abnormal lambung.
2) Organik (dispepsia tipe ulkus): GERD, ulkus peptikum, gastritis,
lainnya (AINS, diabetic gastroparesis, batu kandung empedu dan lainlain).

e. Penatalaksanaan
1) Suportif: menghindari makanan yang merangsang seperti pedas, asam,
dan tinggi lemak.
2) Medikamentosa:
a) Antasida (hanya mengurangi gejala), atau
b) H2 blocker (misal ranitidin 150 mg tiap 12 jam sebelum makan),
atau
c) Proton Pump Inhibitor (PPI) (misal omeprazol 20 mg tiap 24 jam),
atau
d) Prokinetik (misal domperidon 3x10 mg) jika ada gejala
dismotilitas.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: makan teratur, gizi seimbang.
3) Alasan rujukan: jika ditemukan tanda-tanda bahaya, dirujuk ke RS.

c. Gambaran Klinis
Terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas, seperti nyeri ulu hati, mual,
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
Perlu diperhatikan adanya alarm symptoms seperti:
1) Disfagia
2) Odinofagia
3) Muntah-muntah
4) Berat badan menurun
5) Anemia
6) Fecal occult blood test (+)
7) Teraba massa atau adanya pembesaran kelenjar
8) Usia >55 tahun
Pemeriksaan fisik:
Berat badan, tanda-tanda vital, nyeri tekan epigastrium, cari tanda apakah
ada perdarahan saluran cerna atas atau tidak (adakah tanda-tanda anemia,
adakah darah pada pemeriksaan colok dubur)
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Diagnosis banding: kecacingan, kehamilan muda.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

61

62
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

20. EPILEPSI
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 0901

(3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum


tonik klonik
ICD X : G40

a. Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan
epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron
yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal
abnormal ini umumnya timbul intermiten dan self-limited.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi,
faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan
prognosa).
b. Penyebab
Kelainan fungsional otak yang serangannya bersifat kambuhan. Kelainan
organis di otak juga dapat menimbulkan epilepsi, sehingga kemungkinan
ini perlu dipikirkan.
c. Gambaran Klinis
d. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi (menurut ILAE tahun 1981):
1) Bangkitan Parsial ( fokal)
a) Parsial sederhana
(1) Disertai gejala motorik
(2) Disertai gejala somato-sensorik
(3) Disertai gejala psikis
(4) Disertai gejala autonomik
b) Parsial kompleks
(1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau
tanpa automatism
(2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau
tanpa automatism
c) Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder
(1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
(2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

63

2) Bangkitan Umum
a) Bangkitan Lena (absence) & atypical absence
b) Bangkitan Mioklonik
c) Bangkitan Klonik
d) Bangkitan Tonik
e) Bangkitan Tonik-klonik
f) Bangkitan Atonik
3) Bangkitan yang tidak terklasifikasikan
a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa rasa
terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran sementara, kepala
berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya
pengendalian kandung kemih, napas mendengkur, mulut berbusa
dan dapat terjadi inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik
seluruh tubuh selama 2030 detik diikuti kejang klonik pada otot
anggota, otot punggung, dan otot leher yang berlangsung 23
menit. Setelah kejang hilang pasien terbaring lemas atau tertidur 3
4 jam, kemudian kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan
sering pasien berada dalam keadaan bingung.
b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali dengan
hilang kesadaran selama 1030 detik. Selama fase lena (absence)
kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tak beraksi. Kadang
tampak seperti tak ada serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan
klonik pada mulut atau kelopak mata.
c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu otot atau
kelompok otot.
d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat kejang yang
mulai di salah satu tangan dan menjalar sesisi, sedangkan serangan
parsial sensorik dapat berupa serangan rasa baal atau kesemutan
unilateral.
e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks, pasien hilang
kontak dengan lingkungan sekitarnya selama 12 menit,
menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan
tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak
mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak

64
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan


diikuti dengan penyembuhan total.
f) Pada epilepsi primer generalisata, pasien mengalami kejang sebagai
reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Sesudahnya pasien
bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat
lelah. Biasanya pasien tidak dapat mengingat apa yang terjadi
selama kejang.
g) Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana
kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat
kuat, tidak mampu bernapas sebagaimana mestinya dan muatan
listrik di dalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani,
bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan pasien
bisa meninggal.
e. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh
orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada pasien
dan adanya riwayat penyakit sebelumnya.
2) Diagnosis banding
a) Bangkitan Psychogenik
b) Gerak
Involunter
(Tics,
head
nodding,
paroxysmal
choreoathethosis/ dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal
torticolis, startle response, jitterness, dan lain-lain.)
c) Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
d) Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
e) Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares,
confusion, sindroma psikotik akut).
f) Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen).
g) Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels,
hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi,
hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dan lain-lain).
f.

Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan
kemudahan pemakaiannya (Tabel 8). Penggunaan terapi tunggal

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

65

dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga


ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.
b) Antikonvulsan Utama
(1) Fenobarbital: 2-4 mg/kgBB/hari
(2) Fenitoin: 5-8 mg/kgBB/hari
(3) Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari
(4) Valproat: 30-80 mg/kgBB/hari
Tabel 8. Pemilihan OAE Berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi
Tipe Bangkitan
OAE lini pertama
Bangkitan
parsial Fenitoin, karbamazepin (terutama untuk CPS),
(sederhana
atau asam valproat
kompleks)
Bangkitan
sekunder

umum Karbamazepin, fenitoin, asam valproat

Bangkitan umum tonik Karbamazepin,


klonik
fenobarbital
Bangkitan lena

Asam valproat

Bangkitan mioklonik

Asam valproat

fenitoin,

asam

valproat,

c) Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun


pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk bangkitan dan
sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam,1997). Penghentian
OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan
d) Langkah yang penting adalah menjaga agar pasien tidak terjatuh,
melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan
memasang bantal di bawah kepala pasien.
e) Jika pasien tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya dimiringkan
agar lebih mudah bernapas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian
sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.
f) obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan,
biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami kejang
kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena
itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.

66
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g) Sedapat mungkin gunakan obat tunggal dan mulai dengan dosis


rendah.
h) Bila obat tunggal dosis maksimal tidak efektif gunakan dua jenis
obat dengan dosis terendah.
i) Bila serangan tak teratasi pikirkan kemungkinan ketidakpatuhan
pasien, penyebab organik, pilihan dan dosis obat yang kurang tepat.
j) Bila selama 23 tahun tidak timbul lagi serangan, obat dapat
dihentikan bertahap.
g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: Prinsip umum terapi epilepsi idiopatik adalah
mengurangi/mencegah serangan, sedangkan terapi epilepsi organik
ditujukan terhadap penyebab.
2) Pencegahan:
a) hindari faktor pencetus serangan, misalnya kelelahan, emosi atau
putusnya makan obat, terlambat makan.
b) Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan cedera
akibat kejang, misalnya tergigitnya lidah atau luka atau cedera lain.
c) Selalu dalam pengawasan bila pasien di tempat yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan seperti saat berkendaraan dan berenang.
3) Alasan rujukan: bila frekuensi serangan tidak dapat diatasi dengan obat
tersebut, atau terjadi status epileptikus dan didapatkan defisit
neurologis fokal.
4) Efek samping pengobatan: penurunan fungsi kognitif, hiperplasia gusi,
sindroma Steven-Johnson, migren.

21. ERISIPELAS
Kompetensi
Laporan Penyakit

67

ICD X : A46

a. Definisi
Erisipelas adalah infeksi kulit.
b. Penyebab
Streptococcus beta-haemolyticus.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise.
2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan berkilat
dengan batas yang tegas serta nyeri tekan.
3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan bula.
4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan nyeri tekan.
d. Diagnosis
Tanda-tanda peradangan kulit.
e. Penatalaksanaan
1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50 mg/kgBB selama
57 hari.
2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit.
f.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

: 4
: 2001

KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi.
2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah.
3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene perorangan.
4) Alasan rujukan: kasus yang berat.

68
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

22. FARINGITIS AKUT


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1302

ICD X : J02

a. Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring.
Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu
tonsilo faringitis akut, atau bagian dari influenza (rinofaringitis).
b. Penyebab
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
1) Virus, yaitu rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus,
EpsteinBarr virus, herpes virus
2) Bakteria, yaitu grup A -hemolytic Streptococcus (paling sering),
Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae,
Neisseria gonorrhoeae
3) Jamur, yaitu Candida; jarang kecuali pada pasien imunokompromis
(misalnya pasien dengan HIV-AIDS).
Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau
yang memperberat.
c. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit bergantung pada adanya infeksi sekunder dan virulensi
kumannya serta daya tahan tubuh pasien, tetapi biasanya faringitis sembuh
sendiri dalam 35 hari.
1) Faringitis yang disebabkan bakteri:
a) Demam atau menggigil
b) Nyeri menelan
c) Faring posterior merah dan bengkak
d) Terdapat folikel bereksudat dan purulen di dinding faring
e) Bisa disertai batuk
f) Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian anterior
g) Tidak mau makan/menelan
h) Onset mendadak dari nyeri tenggorokan
i) Malaise
j) Anoreksia
2) Faringitis yang disebabkan virus:
a) Onset radang tenggorokannya lambat, progresif
b) Demam
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c)
d)
e)
f)
g)

69

Nyeri menelan
Faring posterior merah dan bengkak
Malaise ringan
Batuk
Kongesti nasal

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza.
2) Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus.
3) Untuk demam dan nyeri:
a) Dewasa
Parasetamol 250 atau 500 mg, 12 tablet per oral tiap 6-8 jam jika
diperlukan, atau Ibuprofen, 200 mg 12 tablet tiap 6-8 jam sehari
jika diperlukan.
b) Anak
Parasetamol diberikan tiap 8 jam jika demam
(1) <1 tahun
: 60 mg/kali (1/8 tablet)
(2) 1-3 tahun
: 60-120 mg/kali (1/4 tablet)
(3) 3-6 tahun
: 120-170 mg/kali (1/3 tablet)
(4) 6-12 tahun
: 170-300 mg/kali (1/2 tablet)
4) Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan minimal 3 dari 4 gejala
(kriteria McIssac/kriteria Centor):
a) demam menggigil >38,5oC,
b) eksudat dan purulen di dinding faring,
c) pembesaran kelenjar getah bening anterior
d) pengobatan simtomatik tidak sembuh dalam 3 hari
Dewasa: Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau
Eritromisin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari
Anak: Amoksisilin 30-50mg/kgBB/hari selama 5 hari, atau
Eritromisin 20-40 mg/kgBB/hari selama 5 hari
f.

KIE:
1) Tujuan pengobatan: mencegah terjadi penyakit jantung rematik, demam
rematik akut, demam scarlett, streptococcus toxic shock syndrome,
glomerulonefritis akut, pediatric autoimun neuropsychiatric disorder.

70
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pencegahan: pola hidup sehat, makanan bergizi, menjaga kebersihan


mulut, menghindari rokok.
3) Alasan rujukan: jika dalam 5 hari tidak ada perbaikan klinis, segera
dirujuk ke rumah sakit.

23. FLU BURUNG


Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3B
: 97

ICD X : J09

a. Definisi
Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut yang menular
sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza A H5N1.
Pada umumnya menyerang unggas dan dapat menular dari unggas ke
manusia.
Angka kematian penyakit ini masih cukup tinggi >80%.
b. Penyebab
Virus influenza tipe A sub-tipe H5N1.
c. Cara Penularan
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui:
1) Kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produknya
2) Kontak dengan lingkungan (udara, air, tanah, lumpur, pupuk) yang
tercemar virus H5N1.
3) Kontak dengan spesimen flu burung baik yang berasal dari unggas
maupun manusia.
4) Konsumsi produk unggas yang tidak dimasak dengan sempurna
mempunyai potensi penularan virus flu burung.
5) Kontak dengan pasien konfirmasi flu burung.
d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi 17 hari (rata-rata 3-5 hari). Masa penularan pada manusia
dewasa adalah 1 hari sebelum gejala awal timbul dan 35 hari setelah
timbulnya gejala, sedangkan penularan pada anak dapat mencapai 21 hari.
Gejala awal sama seperti flu biasa, ditandai dengan batuk, pilek, sakit
tenggorokan. Dapat juga disertai dengan gejala lainnya seperti sakit kepala,
malaise, muntah, diare dan nyeri otot. Yang membedakan Flu Burung
dengan Flu biasa adalah perjalanan penyakit yang progresif dan biasanya
menyebabkan gagal napas dalam waktu yang sangat singkat ( 5 hari).
e. Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk kasus flu burung ada 4:
1) Seseorang dalam penyelidikan
2) Kasus tersangka flu burung
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

71

72
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Kasus probable
4) Kasus konfirmasi
Puskesmas berperan dalam terapi awal pada kasus tersangka flu burung,
selanjutnya dirujuk.
f.

Tersangka Flu Burung


Apabila demam (suhu 38oC) disertai satu atau lebih gejala sebagai
berikut: batuk, sakit tenggorokan, pilek atau sesak napas;
Disertai >1 pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala:
1) Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, berbicara, atau
bersentuhan dengan pasien tersangka (suspek), mungkin (probable)
atau kasus H5N1 yang sudah konfirmasi.
2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam,
unggas liar, bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar
oleh kotoran unggas itu dalam wilayah dimana infeksi dengan H5N1
pada hewan atau manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam 1
bulan terakhir.
3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan
atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam 1 bulan terakhir.
4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas
lain), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi
H5N1.
5) Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat
lainnya.
6) Ditemukan leukopenia (dibawah nilai normal: 500010.000).
Konfirmasi dilakukan di rumah sakit rujukan.

g. Penatalaksanaan
1) Tersangka flu burung diberikan terapi awal oseltamivir 75 mg tiap 12
jam kemudian segera dirujuk. Dosis anak sesuai dengan berat badan
(usia >1 tahun : 2 mg/kgBB).
2) Pasien dengan demam dapat diberikan parasetamol.
3) Kewaspadaan universal diterapkan dengan memisahkan pasien minimal
1 meter dari pasien lainnya, menggunakan masker bedah 1 rangkap
untuk pasien dan 2 rangkap untuk petugas kesehatan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

73

4) Tiap pemberian oseltamivir harus berdasarkan resep dokter dan dicatat


dan dilaporkan sesuai dengan format yang tersedia.
5) Oseltamivir tidak direkomendasikan untuk profilaksis dan hanya boleh
diberikan oleh dokter.
h. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: diagnosis dini, penanganan dini, kewaspadaan
dan pelaporan.
2) Pencegahan:
Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari
bahan yang terkontaminasi feses dan sekret unggas, dengan tindakan
sebagai berikut:
a) Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari
saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker,
kacamata renang).
b) Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti feses harus
ditatalaksana dengan baik (ditanam/dibakar) agar tidak menjadi
sumber penularan bagi orang sekitarnya.
c) Alat-alat yang dipergunakan dalam perternakan harus dicuci
dengan desinfektan.
d) Kandang dan feses tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan
e) Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak paling kurang
pada suhu 80oC selama 1 menit, sedangkan telur unggas perlu
dipanaskan pada suhu 64oC selama 5 menit.
f) Memelihara kebersihan lingkungan.
g) Menjaga kebersihan diri.
h) Bagi yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki tempat
peternakan.
i) Apabila sedang terkena influenza dilarang memasuki tempat
peternakan.
j) Jika sedang bercocok tanam dengan menggunakan pupuk
kandang diharuskan menggunakan sarung tangan dan masker.
k) Tiap pekerja peternakan, pemotong unggas dan penjamah unggas
yang terkena influenza segera ke Puskesmas atau pelayanan
kesehatan lainnya.
3) Alasan rujukan: untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

74
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

24. FRAMBUSIA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 0701

2) Obat alternatif diberikan kepada pasien yang peka/alergi terhadap


penisilin, walaupun menurut laporan di negara lain hanya menghasilkan
7080% kesembuhan.
3) Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan obat alternatif
seperti tercantum pada Tabel 9.

ICD X : A66

a. Definisi
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya
serta pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini
menyerang kulit umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang
juga tulang dan periosteum.

Tabel 9. Pilihan Obat Untuk Terapi Frambusia


Umur

Dosis

Cara
Lama
Pemberian Pemberian

PILIHAN UTAMA
< 10 tahun Benzatin
600.000 UI
i.m.
penisilin
> 10 tahun Benzatin
1.200.000 UI
i.m.
penisilin
ALTERNATIF ( bagi pasien alergi terhadap penisilin )
<8 tahun
Eritromisin 30 mg/ kgBB dibagi Oral
dalam 4 dosis tiap 6
jam
8-15 tahun Tetrasiklin/ 250 mg, tiap 6 jam
Oral
Eritromisin
< 8 tahun
Doksisiklin 25 mg/
kgBB Oral
dibagi dalam 4 dosis
tiap 6 jam
Dewasa
Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam
Oral

b. Penyebab
Treponema pertenue.
c. Gambaran Klinis
1) Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa
kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang
menjadi borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering
mengeluarkan serum bercampur darah yang banyak mengandung
kuman. Stadium ini sembuh dalam beberapa bulan dengan parut atrofi.
Atau, bersamaan dengan ini timbul papula bentuk butiran sampai
bentuk kumparan yang tersusun menggerombol, berbentuk
korimbiformis, atau melingkar di daerah lubang-lubang tubuh (anus,
telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan.
2) Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan.
3) Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini
berlangsung 3-12 bulan.
4) Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan
terserang. Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat
dari luar sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung
menyebabkan pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou.

Nama obat

f.

Dosis
tunggal
Dosis
tunggal
15 hari

15 hari
15 hari

15 hari

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk mengobati dan menghindari penularan.
2) Pencegahan: higiene perorangan, hindari kontak dengan sumber
penularan.
3) Alasan rujukan: bila tidak sembuh dengan pengobatan diatas.
4) Efek samping pengobatan: alergi.
5) Perhatian: tetrasiklin dan doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil,
menyusui dan anak usia <12 tahun.

d. Diagnosis
Papula yang kemudian membesar membentuk papiloma/ ulceropapilloma.
e. Penatalaksanaan
1) Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta UI dosis tunggal untuk
dewasa.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

75

76
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

25. GAGAL JANTUNG AKUT (GJA)


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 86

ICD X : I50.0

a. Definisi
Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda dan gejala
yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi
jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau tanpa
kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi
segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau
diastolik, irama jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara
preload dan afterload (preload and afterload mismatch).

d. KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah perburukan penyakit.
2) Pencegahan serangan selanjutnya:
a) Membatasi aktivitas fisik
b) Kendalikan faktor risiko
c) Mengkonsumsi obat gagal jantung kronik secara rutin dan teratur
(lihat bab gagal jantung kronik)
d) Kontrol ke dokter spesialis untuk penatalaksanaan lebih lanjut
3) Alasan rujukan: untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

b. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan anamnesis (gejala) dan
pemeriksaan fisik (tanda). Tanda dan gejala GJA:
1) Sesak napas saat istirahat
2) Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung kronik)
3) Orthopnu (sesak memberat saat berbaring)
4) Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru
5) Takikardi
6) Takipnoe
7) JVP meningkat
c. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal Gagal jantung akut di Puskesmas:
Penatalaksaaan resusitasi
1) Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation (ABC).
2) Oksigen nasal 4-5 L/menit.
3) Posisi setengah duduk (semi fowler position).
4) Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100 mmHg).
5) Berikan ISDN 5 mg s.l. jika TD >100 mmHg.
6) Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan fisiologis
(NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika setelah pemberian
cairan tekanan darah tidak membaik maka segera dirujuk ke RS.
7) Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x 12,5 mg
(dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg bisa diulang hingga
5 kali sampai mendapat pertolongan lebih lanjut.
8) Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

77

78
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

26. GAGAL JANTUNG KRONIK (DEKOMPENSASIO KORDIS)


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 86
ICD X : I50
a. Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul karena oleh
kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada
ejeksi dan pengisian.
b. Penyebab
1) anemia
2) hipertensi
3) tirotoksikemia
4) penyakit jantung kronik
5) kelainan katup jantung

d. Klasifikasi
Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya
memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III dan
IV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostik
kelainan yang dialami (table 10).

c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Gagal Jantung:
a) Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik.
b) Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
c) Respons terhadap terapi gagal jantung.
d) Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung.
2) Kriteria Framingham:
a) Kriteria Mayor:
(1) Paroxysmal nocturnal dyspnea
(2) Distensi vena jugularis
(3) Ronki basah halus
(4) Rontgen : kardiomegali
(5) Udem pulmonal akut
(6) S3 gallop
(7) Tekanan vena sentral >16 cm H2O
(8) Waktu sirkulasi +25 detik
(9) Hepatojugular refluks
(10) Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada
autopsi
(11) Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon
terhadap terapi gagal jantung.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Kriteria Minor:
(1) Edema kaki bilateral
(2) Batuk nokturnal
(3) Dyspnea pada aktivitas sehari-hari
(4) Hepatomegali
(5) Efusi pleura
(6) Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai
maksimal
(7) Takikardia ( nadi >120 kali/menit)

79

Tabel 10. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart


Association (NYHA)
Kelas Kriteria
1
Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
2
Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat
istirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas,
atau palpitasi.
3
Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan
pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
4
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan:
gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahat
dengan keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik.
e. Diagnosis
1) Anamnesis
a) Sesak napas saat aktivitas, udema tungkai dan capai (kelelahan)
merupakan gejala khas gagal jantung.
b) Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, penyakit
jantung koroner, kelainan katup, kelainan vaskular perifer, demam

80
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

rematik, radiasi dada, penggunaan bahan kardiotoksik,


alkoholisme, penyakit tiroid.
c) Riwayat keluarga: penyakit aterosklerosis, kardiomiopati, kematian
mendadak, penyakit gangguan konduksi, miopati skeletal.
d) Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya
disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit.

(4) Dalam keadaan irama sinus, digoksin direkomendasikan untuk


memperbaiki status klinis pada keadaan gagal jantung persisten
selain dengan terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik.
(5) Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai tanda-tanda
gagal jantung yang telah mendapat penghambat EKA dan
penyekat beta.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan
fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
b) Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan
dan/atau kiri antara lain: takikardia, takipneu, ronkhi basah,
peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites,
hepatomegali, dan edema tungkai.

g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperpanjang harapan hidup.
2) Pencegahan:
a) Penyuluhan umum
(1) Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan
kelurganya
(2) Mengontrol berat badan
(3) Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
(a) Diet rendah garam (<2 g/hari)
(b) Pembatasan intake cairan (<1,5-2 L/hr)
(c) Hindari konsumsi alkohol
(d) Berhenti merokok.
(4) Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik.
(5) Obat yang perlu mendapat perhatian khusus.
b) Rehabilitasi: Rehabilitasi dilakukan pada pasien yang stabil dengan
kelas fungsional II-III

Penatalaksanaan
1) Tujuan Terapi:
a) Pencegahan
(1) Mencegah dan mengontrol kelainan yang menyebabkan
gangguan fungsi jantung dan gagal jantung.
(2) Mencegah progresivitas gangguan fungsi jantung menjadi
gagal jantung akut.
b) Morbiditas
Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup.
c) Mortalitas
Meningkatkan harapan hidup.
2) Terapi Farmakologi
a) ACE inhibitor (kaptopril)
(1) Direkomendasikan sebagai first-line therapy.
(2) Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg) dapat di
uptitrasi hingga 3 x 50 mg.
b) Digitalis
(1) Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagal
jantung.
(2) Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik daripada
hanya menggunakan salah satu jenis saja.
(3) Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika terdapat fibrilasi
atrial.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

81

82
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27. GANGGUAN NEUROTIK


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 0802

ICD X : F40-F48

a. Definisi
Suatu atau kumpulan gejala fisik yang dirasakan berlebihan disertai dengan
sindrom ansietas tanpa bukti adanya penyakit fisik.
b. Penyebab
Psikologis dan keprbadian individu, stresor psikososial, penyakit organik
seperti hipertiroid, pheocromamocytosis.
c. Jenis-jenis Gangguan Neurotik
Gangguan neurotik yang sering dijumpai adalah sebagi berikut
1) Gangguan ansietas fobik seperti agorafobia, fobia sosial, fobia spesifik
2) Gangguan Panik
3) Gangguan Ansietas Menyeluruh.
4) Gangguan Obsesif Kompulsif
5) Gangguan Stres Pasca Trauma
6) Gangguan Penyesuaian
7) Gangguan Somatisasi
d. Gambaran Klinik
Sesuai dengan gejala dari masing-masing jenis neurotik, untuk
memudahkan sebagai target terapi maka secara klinik perlu mengenali
sindrom ansietas sebagai berikut:
1) Adanya perasaan cemas atau kuatir yang tidak realistik terhadap dua
atau lebih hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Perasaan ini
menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang (inability
to relax)
2) Terdapat gejala-gejala berikut:
a) Ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa gemetar, otot
tegang/kaku/pegal, tidak bisa diam, atau mudah menjadi lelah
b) Hiperaktivitas otonomik, seperti napas pendek/terasa berat, jantung
berdebar-debar, telapak tangan basah dan dingin, mulut kering,
kepala pusing/rasa melayang, mual, mencret, perut tak enak, muka
panas/badan menggigil, buang air kecil atau sukar menelan/rasa
tersumbat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

83

c) Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang, seperti


perasaan jadi peka/mudah ngilu, mudah terkejut/kaget, sulit
berkosentrasi/berpikir fokus, sukar tidur atau mudah tersinggung
3) Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam
gejala seperti penurunan kemampuan kerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
e. Diagnosis
Berdasarkan PPDGJIII, maka pedoman diagnosis sesuai jenisnya sebagai
berikut :
1) Gangguan Ansietas Fobik
a) Kecemasan dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas,
yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan.
b) Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau
dihadapi dengan rasa terancam
c) Secara subyektif, fisiologik dan tampilan perilaku tidak jauh
berbeda dengan jenis ansietas lainnya
2) Gangguan Ansietas Panik
a) Ditemukan adanya beberapa kali serangan cemas berat dalam masa
kira-kira 1 bulan
b) Keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
c) Tidak terbatas pada situasi yang sudah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya
3) Gangguan Ansietas Menyeluruh
a) Gambaran utama adalah adanya kecemasan yang menyeluruh dan
menetap
b) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, sulit
konsentrasi dll)
c) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, tidak dapat santai,
gemetaran)
d) Overaktivitas motorik (berkeringat dingin, berdebar-debar, pusing,
mulut kering, nyeri ulu hati dll)
e) Pada anak-anak terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan somatik yang berulang-ulang.
4) Gangguan Obsesif Kompulsif
a) Ciri utama adalah adanya pikiran obsesif atau tindakan yang
berulang, gejala obsesional atau tindakan kompulsif, atau keduaduanya, harus ada hamper tiap hari selama sedikitnya dua minggu
berturut-turut

84
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri sendiri


c) Sedikitnya ada satu tindakan atau pikiran yang masih tidak bias
dilawan
d) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut bukan merupakan
hal yang memberikan kepuasan atau kesenangan
e) Pikiran, bayangan atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan
5) Gangguan Stres Pasca Trauma
a) Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau
tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress
(baik singkat maupun berkepanjangan) yang bersifat katastrofik
atau menakutkan, yang dapat menyebabkan ketegangan bagi tiap
orang (misalnya bencana alam atau bencana yang dibuat oleh
manusia seperti perang atau konflik masyarakat, kecelakaan,
terorisme, korban penyiksaan/perkosaan dll)
b) Diagnosis ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam kurun waktu
2 minggu sampai 6 bulan setelah kejadian traumatik, dapat lebih
dari 6 bulan asal saja gejala-gejala khasnya nampak
c) Selain adanya kejadian trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik itu kembali secara
berulang-ulang (flashback)
d) Berusaha menghindari suasana atau kejadian yang menimbulkan
trauma atau sesuatu yang dapat diasosiasikan dengan kejadian
traumatik sebelumnya (misalnya pada bencana tsunami atau banjir
bandang, seseorang jika melihat langit mendung dan hujan deras
akan timbul rasa takut seakan peristiwa itu akan terjadi lagi)
e) Ganggaun otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tapi tidak khas
6) Gangguan Penyesuaian
a) Adanya faktor kejadian atau situasi yang stressful atau krisis
kehidupan ( seperti menderita penyakit yang mengancam jiwa,
suasana pekerjaan yang baru dan tidak menyenangkan)
b) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian
yang stressful dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan
c) Gangguan bervariasi mencakup afek cemas, depresif, campuran
cemas dan depresif, gangguan tingkah laku yang disertai dengan
adanya ketidakmampuan dalam kegiatan rutin sehari-hari

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

85

7) Gangguan Somatisasi
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam
yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang
sudah berlangsung setidaknya 2 tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhankeluhannya.
f.

Penatalaksanaan
1) Untuk semua jenis gangguan neurotik dapat diberikan:
Antiansietas : Diazepam 25 mg tiap 8-12 jam
Antidepresan : Amitriptilin 12,5 mg tiap 12-24 jam
Antipsikotik : Haloperidol 0,5 mg tiap 12-24 jam
2) Untuk Gangguan Panik sebaiknya diberikan Alprazolam 0,5 mg tiap 812 jam sehari jika obatnya tersedia.
3) Obat utama adalah Diazepam yang diberikan secara tunggal.
4) Penambahan dengan Amitriptilin 12,5 jika diserta gejala-gejala afek
yang depresif dan atau haloperidol 0,5 mg jika gejala-gejalanya cukup
berat yang disertai dengan banyaknya keluhan somatik dan atau
pikiran-pikiran yang kurang rasional.
5) Segera rujuk ke psikiater jika gangguan neurotik dalam 1 minggu
pengobatan tidak memberi efek yang baik.

g. KIE
1) Selain pemberian obat sebaiknya memberi konseling kepada pasien,
dengan cara: bersikap empati, memberi dukungan kepada pasien untuk
mampu mengatasi sendiri masalahnya, bantu pasien mengenali stressor
psikososialnya, lebih banyak mendengarkan keluhan pasien dan
membiarkan untuk mengeluarkan unek-uneknya (ventilasi), jangan
terlalu banyak memberikan nasehat, tidak terlalu cepat untuk menilai
keadaan pasien dan jangan menyalahkan atau menghakimi atas sikap
dan perilakunya.
2) Memberi penjelasan tentang penyakit yang dideritanya termasuk dalam
gangguan jiwa ringan yang bisa diobati
3) Memberi penjelasan tentang efek samping sedasi dari obat-obat
tersebut, sehingga tidak menjalankan kendaraan waktu meminum obat,
atau sebaiknya minum obat saat mau tidur
4) Memberi penjelasan untuk tidak meminum obat tanpa resep dokter atau
dosis yang sesuai dengan anjuran dokter karena beberapa obat

86
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

antiansietas seperti diazepam dan alprazolam dapat menimbulkan


ketergantungan
5) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater untuk
mendapatkan pelayanan pengobatan yang lebih baik dan penanganan
psikoterapi.

28. GANGREN PULPA


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1502

ICD X : K04

a. Definisi
Kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai kelanjutan
proses karies atau trauma.
b. Penyebab
Kematian jaringan pulpa dengan atau tanpa kehancuran jaringan pulpa.
c. Gambaran Klinis
1) Tidak ada gejala sakit.
2) Tanda klinis yang sering ditemui adalah jaringan pulpa mati, lisis dan
berbau busuk.
3) Gigi yang rusak berubah warna menjadi abu-abu kehitaman.
d. Diagnosis
Degenerasi pulpa.
e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas.
2) Jika sudah peradangan periapikal (nyeri saat menggigit) dapat
diberikan amoksisilin selama 5 hari.
Dewasa : amoksisilin 500 mg tiap 8 jam.
Anak : amoksisilin 10-15 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam.
3) Simtomatik:
Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
f.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

87

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. Bila
ada karies gigi harus segera ditangani.

88
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29. GASTRITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 88

ICD X : K29.7

a. Definisi
Nyeri epigastrium yang hilang timbul/menetap dapat disertai dengan
mual/muntah.
b. Peyebab
Penyebab utama gastritis adalah iritasi lambung misalnya oleh makanan
yang merangsang asam lambung, alkohol atau obat. Pada keadaan ini
terjadi gangguan keseimbangan antara produksi asam lambung dan daya
tahan mukosa. Penyakit sistemik, kebiasaan merokok, infeksi kuman
Helicobacter pilori juga berperan dalam penyakit ini.
c. Gambaran Klinis
Pasien biasanya mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati. Gastritis erosif
akibat obat sering disertai pendarahan. Nyeri epigastrium, perut kembung,
mual, muntah tidak selalu ada.
d. Diagnosis
Nyeri ulu hati, mual/muntah, kembung dan lain-lain.
e. Penatalaksanaan
1) Keluhan akan segera hilang dengan antasida (AlOH, Mg(OH)2) yang
diberikan menjelang tidur, pagi hari, dan diantara waktu makan.
2) Bila muntah sampai mengganggu dapat diberikan tablet metoklopramid
10 mg, 1 jam sebelum makan (dewasa) atau domperidon (anak).
3) Bila nyeri hebat dapat dikombinasikan dengan ranitidin 150 mg 2x
sehari
4) Pasien dengan tanda pendarahan seperti hematemesis atau melena perlu
segera dirujuk ke rumah sakit karena kemungkinan terjadi pendarahan
pada tukak lambung yang dapat menjadi perforasi.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala, memastikan ada
asupan makanan yang cukup.
2) Pencegahan: makan teratur dan menghindarkan makanan yang
merangsang asam lambung.
3) Efek samping: metoklopramid tidak boleh pada anak <18 tahun karena
efek samping ekstrapiramidal.
89

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

30. GIGITAN ULAR


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 1901

ICD X : S02-T02

a. Definisi
Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
b. Penyebab
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
1) Colubridae (misalnya Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia)
2) Elapidae (misalnya King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting
cobra)
3) Viperidae (misalnya Borneo green pit viper, Sumatran pit viper).
c. Gambaran Klinis
1) Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air, hanya
memerlukan tata laksana sederhana. Namun bila jenis ular tidak
diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya pencegahan dengan serum
anti bisa ular polivalen.
2) Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular.
3) Pasien mungkin tampak kebiruan, pingsan, lumpuh atau sesak napas.
4) Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular
tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala
ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
a) Ciri-ciri ular berbisa:
(1) Bentuk kepala segi empat panjang
(2) Gigi taring kecil
(3) Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan.
b) Ciri-ciri ular tidak berbisa:
(1) Kepala segi tiga
(2) Dua gigi taring besar di rahang atas
(3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring.
5) Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga:
a) Efek lokal.
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek
yang agak sulit dideteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa
spesies gigitannya dapat menghasilkan efek yang cukup besar
seperti bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan
nekrosis. Yang harus diwaspadai adalah terjadinya syok

90
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh berpindahnya cairan


vaskuler ke jaringan akibat efek sistemik bisa ular tersebut.
b) Efek sistemik
Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-spesifik seperti:
nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien
menjadi kolaps. Gejala yang ditemukan seperti ini sebagai tanda
bahaya bagi petugas kesehatan untuk memberi petolongan segera.
c) Efek sistemik spesifik
Efek sistemik spesifik dapat dibagi berdasarkan:
(1) Koagulopati
Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya
koagulopati. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan adalah
keluarnya darah terus menerus dari tempat gigitan,
venipuncture dari gusi dan bila berkembang akan menimbulkan
hematuria, hematomesis, melena dan batuk darah.
(2) Neurotoksik
Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid
paralysis. Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralisis pada
pernapasan. Biasanya tanda-tanda yang pertama kali dijumpai
adalah pada saraf kranial seperti ptosis, oftalmoplegia progresif
bila tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan
anggota tubuh dan paralisis pernapasan. Biasanya full paralysis
akan memakan waktu + 12 jam, pada beberapa kasus biasanya
menjadi lebih cepat, 3 jam setelah gigitan.
(3) Miotoksisitas
Miotoksisitas hanya akan ditemukan bila seseorang diserang
atau digigit oleh ular laut. Ular yang berada di daratan biasanya
tidak ada yang menyebabkan terjadinya miotoksisitas berat.
Gejala dan tanda adalah: nyeri otot, tenderness, mioglobinuria
dan berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan
kardiotoksisitas.
d. Diagnosis
Adanya riwayat gigitan disertai gejala/tanda gigitan ular berbisa baik
berupa efek lokal (tempat gigitan) maupun efek sistemik dan efek sistemik
spesifik.
e. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada gigitan ular:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

91

1) Bila yang digigit anggota badan, gunakan tali putar silang di sebelah
atas luka. Putar tali sedemikian kencang sampai denyut nadi di ujung
anggota hampir tidak teraba. Ikatan dikendorkan tiap 15 menit selama 1
menit.
Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan
sesuai Tabel 11.
Tabel 11. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka
+
+
+

Nyeri
+/+++

Edema/Eritema
<3 cm/12 jam
3-12 jam/12 jam
>12-25
cm/12
jam

III

+++

>25 cm/12 jam

IV

+++

+++

>ekstremitas

Sistemik
0
0
+
Neurotoksik,
mual,
pusing, syok
++
Ptekhiae,
syok,
ekhimosis
++
Gagal
ginjal
akut,
koma, perdarahan

2) Bila tersedia, suntikkan Serum Anti Bisa Ular (SABU) polivalen i.v
menggunakan tatacara pengobatan sesuai Tabel 12.
Tabel 12. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck
Derajat

Beratnya
evenomasi

Taring
atau gigi

0
I
II
III
IV

Tidak ada
Minimal
Sedang
Berat
Berat

+
+
+
+
+

Ukuran
zona
edema/eritemato
kulit (cm)
<2
2-15
15-30
>30
<2

Gejala
sistemik
+
++
+++

Jumlah
vial
venom
0
5
10
15
15

3) Segera rujuk pasien ke rumah sakit.


f.

KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular.
b) menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah.

92
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) mengatasi efek lokal dan sistemik.


2) Pencegahan terhadap gigitan ular:
a) Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular berbisa
dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai
sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada
daerah paha bagian bawah sampai dengan kaki.
b) Ketersediaan serum anti bisa ular (SABU) untuk daerah dimana
sering terjadi kasus gigitan ular.
c) Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan
semak-semak.
d) Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak pasien
yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

31. GINGIVITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 1503

ICD X : K05-K06

a. Definisi
Gingivitis adalah inflamasi gingiva marginal atau radang gusi.
b. Penyebab
Radang gusi ini dapat disebabkan oleh faktor lokal maupun faktor sistemik.
Faktor lokal diantaranya karang gigi, bakteri, sisa makanan (plak),
pemakaian sikat gigi yang salah, rokok, tambalan yang kurang baik. Faktor
sistemik meliputi Diabetes Melitus (DM), ketidakseimbangan hormon (saat
menstruasi, kehamilan, menopause, pemakaian kontrasepsi), keracunan
logam, dan sebagainya.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya mengeluh mulut bau, gusi bengkak mudah berdarah,
tanpa nyeri, hanya kadang terasa gatal.
2) Pada pemeriksaan gusi tampak bengkak, berwarna lebih merah dan
mudah berdarah pada sondasi. Kebersihan mulut biasanya buruk.
3) Ginggivitis herpes biasanya disertai gejala herpes simpleks. Tanda di
gusi tidak disertai bau mulut.
4) Salah satu bentuk radang gusi adalah perikoronitis yang gejalanya lebih
berat: demam, sukar membuka mulut.
d. Diagnosis
Peradangan pada gusi.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk memperbaiki kebersihan mulut dan berkumur
dengan 1 gelas air hangat +1 sendok teh garam, atau bila ada dengan
obat kumur iodium povidon tiap 8 jam selama 3 hari.
2) Bila kebersihan mulut sudah diperbaiki dan tidak sembuh, rujuk ke
Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya. Perlu dipikirkan
kemungkinan sebab sistemik.
3) Perikoronitis memerlukan antibiotik selama 5 hari: amoksisilin 500 mg
tiap 8 jam.
4) Membersihkan karang gigi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

93

94
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah).
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Alasan rujukan: bila kebersihan mulut sudah diperhatikan dan penyakit
tidak sembuh, perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan
selanjutnya.

32. GLAUKOMA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 1001

ICD X : H40

a. Definisi
Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit yang menyebabkan
suatu resultan yakni meningkatnya tekanan intra okuler yang cukup untuk
menyebabkan degenerasi optik disk (atrofi nervus optikus) dan kelainan
lapang pandang.
b. Penyebab
Meningkatnya tekanan intra okuler. Harus dibedakan dengan hipertensi
okuler yaitu suatu keadaan dimana tekanan intraokuler meninggi tanpa
kerusakan pada optik disk dan kelainan lapang pandang.
c. Gambaran Klinis
Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Glaukoma Primer
a) Glaukoma primer sudut terbuka (open angle glaucoma, chronic
glaucoma) adalah jenis glaukoma yang paling sering ditemukan.
b) Glaukoma primer sudut tertutup (closed angle glaucoma, acute
congestive glaucoma).
2) Glaukoma Kongenital
a. Glaukoma kongenital primer atau infantil (Buftalmos)
b. Glaukoma yang menyertai kelainan kongenital
3) Glaukoma Sekunder
4) Glaukoma Absolut
Pada glaukoma akut kongestif (terjadinya serangan) harus diberi perawatan
yang secepat-cepatnya karena terlambatnya perawatan dapat mempercepat
memburuknya tajam penglihatan dan lapang pandang.
Glaukoma akut kongestif sering diduga/didiagnosa sebagai konjungtivitis
karena mata terlihat merah. Pada glaukoma akut akan terlihat adanya
infeksi konjungtiva, infeksi silier, pupil melebar/mid dilatasi, reflek kurang.
Pemeriksaan pengukuran tekanan bola mata dengan tonometri akan
didapatkan nilai yang tinggi (normal 1020 mmHg).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

95

96
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Mata merah, pupil lebar, reflek kurang, kornea agak keruh, tanpa kotoran
mata dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, visus menurun dan
biasanya mengenai satu mata adalah gejala glaukoma akut.
Kelainan tersebut jangan didiagnosis sebagai konjungtivitis. Tanda
konjungtivitis adalah mata merah (biasanya dua mata), terdapat kotoran
mata, tidak nyeri kepala, visus tidak menurun, pupil tidak lebar dan tidak
berakibat kebutaan.
Glaukoma akut kongestif sangat berbahaya dan berakibat kebutaan total
yang tidak dapat diobati.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sesuai dengan kedaruratan mata (karena dapat
menimbulkan kebutaan). Dengan keterbatasan ketenagaan dan peralatan,
maka penanggulangan glaukoma yang mungkin dilakukan di Puskesmas
adalah glaukoma akut kongestif, dengan pemberian steroid topikal untuk
menekan reaksi peradangan, misalnya betametason tetes mata.
Pengobatan simtomatik untuk gejala yang ada parasetamol untuk sakit
kepala dan metoklopramid untuk muntah, dan segera rujuk ke spesialis
mata untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan bola mata secara cepat untuk
mencegah kebutaan, melakukan deteksi dini dalam keluarga terhadap
kemungkinan menderita glaukoma.
2) Alasan rujukan: untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.

33. GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA)


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 16

ICD X : N00

a. Definisi
Glomerulonefritis akut (GNA) atau glomerulonefritis pasca infeksi adalah
suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah
dalam urin), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam urin) yang jumlahnya bervariasi.
b. Penyebab
Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang paling sering
dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus beta-haemolyticus grup A.
c. Gambaran Klinik
1) Sekitar 50% pasien tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang
pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan
jaringan (edem), berkurangnya volume urin dan berwarna gelap karena
mengandung darah.
2) Pada awalnya edem timbul sebagai pembengkakan di wajah dan
kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa
menjadi hebat.
3) Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit
kepala, gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih
serius.
d. Diagnosis
1) Urinalisis menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan konsentrasi
urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi.
2) Kadar antibodi untuk streptococcus di dalam darah bisa lebih tinggi
daripada normal.
3) Kadang pembentukan urin terhenti sama sekali segera setelah
terjadinya glomerulonefritis pasca streptococcus, volume darah
meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium darah meningkat. Jika
tidak segera menjalani dialisa, maka pasien akan meninggal.
4) Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain Streptococcus
biasanya lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul
ketika infeksinya masih berlangsung.
Tanda-tanda GNA: hematuria, edem, gangguan fungsi ginjal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

97

98
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid
tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan.
2) Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih
berlangsung, maka segera diberikan antibiotik.
3) Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya
katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan
infeksinya bisa diatasi.
4) Pasien sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai
fungsi ginjal kembali membaik.
5) Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang
kelebihan garam dan air.
6) Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti hipertensi.
7) Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi dan menghambat
progresifitas penyakit.
2) Pencegahan: pemantauan klinik yang teratur, kontrol tekanan darah,
proteinuria dan kadar lemak darah, pengaturan asupan protein.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

99

34. GONORE
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 25

ICD X : A54

a. Definisi
Gonore adalah infeksi bakteri tertentu di alat kelamin, dubur atau
tenggorokan.
b. Penyebab
Disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (gonococcus), suatu
diplococcus gram negatif. Gonore dapat menular kalau seseorang
melakukan hubungan seks vaginal, dubur atau mulut dengan seseorang
yang sedang mengalami infeksi tersebut tanpa memakai kondom. Untuk
laki-laki yang mengalami infeksi saluran kencing, gejala-gejalanya
biasanya muncul dalam waktu 210 hari setelah terinfeksi.
c. Gambaran Klinis
1) Setelah melakukan kontak seksual kelainan di awal dengan keluhan
rasa tidak nyaman/panas di saluran kemih dan beberapa waktu
kemudian dengan keluarnya cairan putih kekuningan (darah) dari
lubang kencing.
2) Biasanya penyakit ini menunjukan gejala 2-10 hari. Umumnya penyakit
ini ditandai dengan radang saluran urin dengan gejala nyeri sewaktu
berkemih dan mengeluarkan cairan putih dari saluran kemihnya.
Namum pengeluaran cairan putih, ataupun yang kuning, yang kental
ataupun yang encer bisa disebabkan oleh kuman lain, sehingga sifat
cairan ini tidak memastikan penyakit ini.
3) Pada wanita biasanya tidak ada keluhan keputihan dan kadang-kadang
pendarahan yang tidak normal dari rahim serta rasa tak nyaman pada
liang dubur. Namun semua gejala itu pun tidak khas bagi gonore, ia
bisa juga disebabkan oleh penyakit lain sehingga perlu diperiksa
dengan teliti.
4) Pada wanita infeksi gonore bisa berlanjut menjadi peradangan alat
dalam panggul yang menjalar dari bibir rahim, ke dalam rahim, ke
saluran telur dan ke seluruh alat dalam panggul, biasanya terjadi selama
haid. Gejala penyakit ini meliputi demam dan nyeri perut bagian
bawah. Mungkin juga terdapat pengeluaran cairan kekuningan dari
dalam bibir rahim dan nyeri tekan pada rahim pada waktu pemeriksaan

100
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dalam atas alat-alat panggul. Radang alat-alat panggul ini bisa


menyebabkan strerilitas, kehamilan di luar kandungan dan nyeri
panggul yang menahun.
5) Selain komplikasi setempat pada laki-laki dan wanita, bisa juga terjadi
komplikasi di tempat lain, akibat penyebarannya kuman gonore melalui
darah, dan kira-kira 2/3 pasiennya wanita. Bisa terjadi radang sendi dan
kulit yang di tandai demam, nyeri sendi dan bengkak sendi, menggigil
serta kelainan kulit berbentuk nanah dan gelembung. Radang sendi
melibatkan beberapa sendi, sering melibatkan sendi pergelangan
tangan, jari-jari, sendi lutut dan sendi pergelangan kaki. Manifestasi
lazim lainnya meliputi radang selaput pembukus jantung (perikarditis),
dan radang hati (hepatitis). Kadang-kadang terjadi radang lapisan
dalam jantung dan selaput otak.
d. Diagnosis
Gonore dan klamidia dapat diketahui dengan sampel yang diseka dari
saluran kemih, dubur atau tenggorokan. Penting agar pasien tidak buang air
kecil selama paling tidaknya tiga jam sebelum menjalani tesnya.
e. Penatalaksanaan
1) Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
2) Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
3) Penisilin prokain 2,4 juta UI, diberikan i.m., sedang dosis untuk wanita
4,8 juta UI.
4) Siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5-7 hari per oral.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati dan menghindari penularan.
2) Pencegahan: hindari perilaku berisiko atau perilaku seksual yang tidak
aman, hindari kontak langsung dengan pasien.
3) Alasan rujukan: tidak sembuh dengan pengobatan tersebut diatas
4) Efek samping pengobatan: alergi obat.
5) Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau
anak di bawah 12 tahun

35. GOUT
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 90

ICD X : M10

a. Definisi
Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat deposisi kristal
mono sodium urat pada persendian dan jaringan lunak.
Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi)
yang akut, kadang-kadang disertai dengan pembentukan kristal sodium urat
yang besar (yang dinamakan tophus), deformitas (kerusakan) sendi secara
kronik, dan adanya cedera pada ginjal.
b. Penyebab
Penumpukan asam urat didalam tubuh secara berlebihan, baik akibat
produksi asam urat yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang
menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan yang kaya akan purin.
Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat karena
kadarnya yang tinggi.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala paling khas adalah nyeri dan kemerahan pada sendi
metatarsofalangeal pertama, biasanya melibatkan satu sendi. Gejala
bisa dieksaserbasi oleh paparan terhadap dingin dan sering memburuk
pada malam hari.
2) Gout dapat menyerang lebih dari 1 sendi, tetapi umumnya asimetri
(satu sisi tubuh saja). Sendi yang terlibat tampak bengkak, hangat,
kemerahan, dengan kulit diatasnya yang teregang.
3) Selama serangan akut, pasien mungkin agak demam dan ada
peningkatan jelas LED dan CRP serum.
4) Lebih dari sekali mengalami serangan artritis akut.
5) Terjadi peradangan secara maksimal dalam 1 hari.
6) Oligoartritis.
7) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
8) Hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah >7,5 mg/dL).
9) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja).
d. Diagnosis
Nyeri akut pada persendian kecil seperti ibu jari, terutama malam hari.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

101

102
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Kadar urat serum biasanya >7,5 mg/dL.


e. Penatalaksanaan
1) Pada serangan artritis akut, pasien biasanya diberikan terapi untuk
mengurangi peradangan dengan memberikan obat analgesik atau
kortikosteroid. Setelah serangan akut berakhir, terapi ditujukan untuk
menurunkan kadar asam urat didalam tubuh.
2) Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya purin,
obesitas, serta konsumsi alkohol. Purin merupakan senyawa yang akan
dirombak menjadi asam urat didalam tubuh. Alkohol merupakan salah
satu sumber purin dan juga dapat menghambat pembuangan purin
melalui ginjal sehingga disarankan untuk tidak sering mengonsumsi
alkohol. Pasien juga disarankan untuk minum air dalam jumlah yang
banyak (>2 L tiap harinya) karena akan membantu pembuangan asam
urat dan meminimalkan pengendapan asam urat dalam saluran kemih.
Ada beberapa jenis makanan yang diketahui kaya akan purin, antara
lain jeroan (sapi, babi, kambing), makanan dari laut (seafood), melinjo,
softdrink, minuman berfruktosa (termasuk jus kemasan). Makanan
tersebut jangan dikonsumsi berlebihan.
3) Obat yang digunakan untuk terapi profilaksis adalah:
a) Alopurinol, bila terdapat over produksi asam urat. Obat ini
menghambat sintesa dan menurunkan kadar asam urat darah. Dosis
pada hiperurikemia 100 mg tiap 8 jam sesudah makan, bila perlu
dinaikkan tiap minggu dengan 100 mg hingga 10 mg/kgBB/hari.
b) Natrium bikarbonat 2 tablet 3 x sehari, untuk membantu kelarutan
asam urat.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi peradangan, menurunkan kadar
asam urat dalam tubuh.
2) Pencegahan: membatasi diet purin, tidak mengkonsumsi alkohol,
minum air dalam jumlah banyak (> 2 L).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

103

36. HEPATITIS VIRUS A, B, C


Kompetensi
: 2
Laporan Penyakit
: 0403

ICD X : -

a. Definisi
Hepatitis Virus Akut adalah peradangan hati karena infeksi oleh salah satu
dari kelima virus hepatitis (virus A, B, atau C); peradangan muncul secara
tiba-tiba dan berlangsung hanya selama beberapa minggu.
b. Penyebab
Virus Hepatitis A, B, C.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya muncul secara tiba-tiba, berupa:
a) penurunan nafsu makan
b) merasa tidak enak badan
c) mual
d) muntah
e) demam.
2) Kadang terjadi nyeri sendi dan timbul biduran (gatal-gatal kulit),
terutama jika penyebabnya adalah infeksi oleh virus hepatitis B.
3) Beberapa hari kemudian, urin warnanya berubah menjadi lebih gelap
dan timbul kuning (jaundice). Pada saat ini gejala lainnya menghilang
dan pasien merasa lebih baik, meskipun jaundice semakin memburuk.
4) Bisa timbul gejala dari kolestasis (terhentinya atau berkurangnya aliran
empedu) yang berupa feses yang berwarna pucat dan gatal di seluruh
tubuh. Jaundice biasanya mencapai puncaknya pada minggu ke 12,
kemudian menghilang pada minggu ke 24.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah
terhadap fungsi hati.
2) Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.
3) Diagnosis pasti diperoleh jika pada pemeriksaan darah ditemukan
protein virus atau antibodi terhadap virus hepatitis.

104
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Jika terjadi hepatitis akut yang sangat berat, maka pasien dirawat di
rumah sakit; tetapi biasanya hepatitis A tidak memerlukan pengobatan
khusus.
2) Setelah beberapa hari, nafsu makan kembali muncul dan pasien tidak
perlu menjalani tirah baring. Makanan dan kegiatan pasien tidak perlu
dibatasi dan tidak diperlukan tambahan vitamin.
3) Sebagian besar pasien bisa kembali bekerja setelah jaundice
menghilang, meskipun hasil pemeriksaan fungsi hati belum sepenuhnya
normal.

37. HERPES SIMPLEKS


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 0403

f.

b. Penyebab
Penularan melalui kontak langsung. Virus H. simplex tipe 1 (HSV-1)
adalah penyebab umum untuk luka-luka demam (cold sore) di sekeliling
mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes kelamin. Namun HSV-1
dapat menyebabkan infeksi pada kelamin dan HSV-2 dapat menginfeksikan
daerah mulut melalui hubungan seks.

KIE
Pencegahan:
1) Kebersihan yang baik bisa membantu mencegah penyebaran virus
hepatitis A. Feses pasien sangat infeksius. Di sisi lain, pasien tidak
perlu diasingkan; pengasingan pasien hanya sedikt membantu
penyebaran hepatitis A, tetapi sama sekali tidak mencegah penyebaran
hepatitis B maupun C.
2) Kemungkinan terjadinya penularan infeksi melalui transfusi darah bisa
dikurangi dengan menggunakan darah yang telah melalui penyaringan
untuk hepatitis B dan C.
3) Vaksinasi hepatitis B merangsang pembentukan kekebalan tubuh dan
memberikan perlindungan yang efektif.
4) Vaksinasi hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang memiliki
risiko tinggi, misalnya para pelancong yang mengunjungi daerah
dimana penyakit ini banyak ditemukan.
5) Untuk hepatitis C belum ditemukan vaksin.
6) Bagi yang belum mendapatkan vaksinasi tetapi telah terpapar oleh
hepatitis, bisa mendapatkan sediaan antibodi untuk perlindungan, yaitu
globulin serum. Pemberian antibodi bertujuan untuk memberikan
perlindungan segera terhadap hepatitis virus.
7) Ibu hamil yang telah teridentifikasi virus hepatitis B, dianjurkan untuk
melahirkan di rumah sakit.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

105

ICD X : B00

a. Definisi
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari
manusia. Infeksi virus H. simplex ditandai dengan vesikel berkelompok di
daerah mukokutan dengan kulit yang memerah. Kelainan dapat terjadi
secara primer maupun sekunder. Herpes simpleks menyebabkan luka-luka
yang sangat sakit pada kulit.

c. Gambaran Klinis
1) Infeksi virus ini mempunyai ciri adanya lesi primer lokal, latensi dan
adanya kecenderungan rekurensi lokal.
2) Dua agen penyebab, HSV tipe 1 dan 2, umumnya menimbulkan
sindrom klinis yang jelas, tergantung pada tempat masuknya.
a) HSV tipe 1:
(1) Infeksi primer mungkin ringan dan umumnya terjadi pada masa
anak-anak dini sebelum usia 5 tahun.
(2) Sekitar 10% infeksi primer menyebabkan bentuk penyakit yang
lebih berat yang bermanifestasi demam dan malaise.
(3) Ini bisa berlangsung selama seminggu atau lebih, dan
dihubungkan dengan adanya lesi vesikuler dalam mulut, infeksi
mata atau erupsi kulit generalisata yang memperberat eksema
kronik.
(4) Reaktivasi infeksi laten mengakibatkan adanya cold sore yang
muncul sebagai vesikel bening pada dasar yang eritematus,
biasanya di wajah dan bibir, yang berkrusta dan sembuh dalam
beberapa hari.
(5) Reaktivasi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma, demam atau
adanya penyakit lain yang sedang diderita.

106
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) HSV tipe 2:
(1) Virus ini adalah penyebab herpes genitalis, walau ini juga
dapat disebabkan oleh virus tipe 1.
(2) Herpes genitalis terjadi terutama pada orang dewasa dan
ditransmisikan secara seksual.
(3) Infeksi primer dan rekuren dapat terjadi, dengan atau tanpa
gejala.
d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis.

ICD X : B02

a. Definisi
Penyakit yang menyerang saraf perifer atau saraf tepi dan bermanifestasi di
kulit.
b. Penyebab
Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella-zoster yang tinggal di ganglia
paraspinal sesudah infeksi varicella.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Terapi mencakup:
a) Salep dan larutan povidon-iodin.
b) Asiklovir untuk herpes genitalis awal dan rekuren, 5 x 200 mg
sehari, selama 5-10 hari.
2) Perawatan setempat untuk herpes simpleks sebaiknya termasuk
membersihkan lukanya dengan air garam dan menjaganya tetap kering.
f.

38. HERPES ZOSTER


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0403

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengobati kelainan kulit dan mencegah penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka.
3) Alasan rujuk: jika mengenai daerah kelamin, mata, atau berisiko
ensefalitis.

c. Gambaran Klinis
1) Mula-mula pasien mengalami demam atau panas, disertai nyeri yang
terbatas pada satu sisi tubuh, terjadi paling sering pada badan atau
wajah, jarang pada ekstremitas, yang nantinya timbul bercak. Beberapa
hari kemudian (tiap orang tidak sama), muncul bercak kemerahan di
bagian tubuh yang nyeri tadi makin hari menyebar dan membesar
sampai sebesar biji jagung.
2) Makin lama, mengelupas dan tetap nyeri.
3) Setelah kering (ada yang seminggu, ada pula 2 atau 3 minggu) dan
sembuh, kadang masih menyisakan nyeri. Sisa-sisa nyeri adakalanya
masih muncul bertahun-tahun kemudian. Keadaan ini disebut nyeri post
herpetic.
4) Bila pasien menderita demam dan ruam di satu dermatom di satu sisi
tubuh, penyebabnya mungkin infeksi herpes simpleks.
5) Bila mengenai area mata, gejala berupa mata merah, kelopak mata
bengkak, berair dan mengeluarkan sekret bening (serous) sampai
purulen bila sudah terinfeksi bakteri.
d. Diagnosis
Vesikel yang berisi cairan jernih di salah satu sisi tubuh.
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan lebih diarahkan untuk mengurangi gejala, misalnya
pemberian antinyeri atau penurun panas atau obat untuk mengurangi
rasa gatal pada periode masa penyembuhan.
2) Hingga kini belum ada obat spesifik. Pemakaian anti virus yang oleh
beberapa ahli dikatakan bisa menghilangkan nyeri post herpetic

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

107

108
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ternyata masih memerlukan penelitian tapi tetap menjadi obat pilihan:


Asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari
3) Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder, misalnya kulit jadi
bernanah atau terkelupas.
4) Pada mata, berikan tetes mata kloramfenikol sebagai preventif dan
pengobatan infeksi bakteri.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati kelainan kulit dan mencegah
penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka.
3) Jangan berikan kortikosteroid topikal pada kasus infeksi mata.

39. HIPEREMESIS GRAVIDARUM


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1706

ICD X : O21

a. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang berlebihan yang terjadi
sampai umur kehamilan 22 minggu. Muntah dapat begitu hebat dimana
segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan kembali.
b. Penyebab
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori penyebab:
1) Peningkatan estrogen
2) Peningkatan hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
3) Disfungsi psikis
c. Gambaran Klinis
Secara klinis hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu:
1) Tingkat I
Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan
minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama
keluar makanan, lendir dan sedikit empedu kemudian hanya lendir,
cairan empedu dan terakhir keluar darah.
Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistole
menurun.
Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang dan urin masih
normal.
2) Tingkat II
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan,
haus hebat.
Subfebril, nadi cepat dan lebih 100140 kali/menit, tekanan darah
sistole < 80 mmHg.
Apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus ada, aseton ada,
bilirubin ada dan berat-badan cepat menurun.
3) Tingkat III
Gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti,
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin ada dan
proteinuria.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

109

110
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
1) Amenore yang disertai muntah hebat (segala yang dimakan dan
diminum akan dimuntahkan), pekerjaan sehari-hari terganggu dan haus.
2) Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali/menit, tekanan darah menurun
pada keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma).
3) Pemeriksaan fisik: dehidrasi, keadaan berat, kulit pucat, ikterus,
sianosis, berat badan menurun, porsio lunak pada vaginal touche,
uterus besar sesuai usia kehamilan.
4) Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, shift to the
left, benda keton dan proteinuria.

a) Penerangan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan proses


fisiologis, sehingga pasien tidak perlu takut untuk hamil.
b) Makan sedikit-sedikit, tetapi sering. Hindari makanan berminyak
dan berbau. Makan makanan dalam keadaan panas atau sangat
dingin.
c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau keluarga.

e. Penatalaksanaan
1) Diet
Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan
hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan
bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang
dalam zat-zat gizi kecuali vitamin C karena itu hanya diberikan selama
beberapa hari.
Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.
Secara berangsur mulai diberikan bahan makanan yang bernilai gizi
tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanan ini
rendah dalam semua zat-zat gizi kecuali vitamin A dan D.
Kesanggupan pasien, minuman boleh diberikan bersama makanan.
Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali kalsium.
2) Pada keadaan berat:
Hentikan makan/minum per oral sementara (2448 jam).
Infus dekstrosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes/menit.
Obat :
a) vitamin B i.v : Vitamin B1, B2 dan B6 masing-masing 50100
mg/hari/infus, dan Vitamin B12 200 mcg/hari/infus,
b) klorpromazin 2550 mg perhari bersifat penenang minor sekaligus
antiemetik
c) Antasida tab tiap 8 jam
Pertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit.

f. KIE
1) Tujuan terapi: mengobati emesis supaya tidak terjadi hiperemesis.
2) Pencegahan:

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

111

112
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

40. HIPERTENSI
Kompetensi
Laporan Penyakit

Tabel 13. Kriteria Diagnosis Hipertensi sesuai Klasifikasi US JNC 7


: 3A (anak); 4
: 1200

Klasifikasi

ICD X : I10

a. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg
(sistolik) dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg (diastolik) pada seseorang
yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Secara umum, hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal
tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal.
b. Penyebab
1) Hipertensi primer: 9095% tidak diketahui penyebabnya.
2) Hipertensi sekunder: 510%.
a) Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah
kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan
darah.
b) Penyakit ginjal.
c) Kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil
KB).
d) Feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang
menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin
(noradrenalin).
e) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah
raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan.
f) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk
sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah
biasanya akan kembali normal.
c. Gambaran Klinis
Pada pengukuran tekanan darah dan jika pada pengukuran pertama
memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan
kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan
adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya
tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya
hipertensi. Kriteria Diagnosis Hipertensi dapat dilihat pada Tabel 13.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

113

Normal
Pre-hipertensi
Hipertensi stage I
Hipertensi stage II

TD
Sistolik
(mmHg)
<120
120-139
140-159
160

dan
atau
atau
atau

TD
Diastolik
(mmHg)
<80
80-89
90-99
100

*TD: tekanan darah


Keterangan: US JNC = Joint National Committee
d. Diagnosis
Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk/berbaring 5 menit.
Apabila pertama kali diukur tinggi (140/90 mmHg) maka pengukuran
diulang 2x pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi.
e. Penatalaksanaan
1) Langkah awal biasanya adalah mengubah pola hidup pasien (Tabel 14):
a) Menurunkan berat badan sampai batas ideal.
b) Mengubah pola makan pada pasien diabetes, kegemukan atau kadar
kolesterol darah tinggi.
c) Mengurangi pemakaian garam sampai < 2,3 g natrium atau 6 g
natrium klorida tiap harinya (disertai dengan asupan kalsium,
magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi konsumsi
alkohol.
d) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat.
e) Pasien hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya
selama tekanan darahnya terkendali.
f) Berhenti merokok.
2) Terapi obat pada hipertensi dimulai dengan salah satu obat berikut ini:
a) Hidroklorotiazid (HCT) 12,525 mg perhari dosis tunggal pada
pagi hari (Pada hipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila
disertai hemokonsentrasi/edema paru).
b) Atenolol mulai dari 2550 mg sehari sekali.
c) Kaptopril 12,525 mg tiap 8-12 jam.
d) Amlodipin mulai dari 5 mg tiap 24 jam, bisa dinaikkan 10 mg tiap
24 jam.
3) Hipertensi pada anak langsung dirujuk.

114
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Tabel 14. Modifikasi Gaya Hidup pada Kondisi Hipertensi


Modifikasi

Rekomendasi

Penurunan
berat badan
Diet

Jaga berat badan ideal (BMI: 18,5 - 24,9 kg/m2)

Pembatasan
intake natrium
Aktivitas fisik
aerobik
Pembatasan
konsumsi
alkohol

f.

Diet kaya buah, sayuran, produk rendah lemak


dengan jumlah lemak total dan lemak jenuh
yang rendah
Kurangi hingga <100 mmol per hari (2.4 g
natrium atau 6 g natrium klorida)
Aktivitas fisik aerobik yang teratur (mis: jalan
cepat) 30 menit sehari, hampir tiap hari dalam
seminggu
Laki-laki: dibatasi hingga < 2 kali per hari.
Wanita dan orang yang lebih kurus: Dibatasi
hingga <1 kali per hari

Rerata
penurunan TDS
520 mmHg/ 10
kg
814 mmHg

ICD X : O13

a. Definisi
Hipertensi yang terjadi selama kehamilan.
b. Penyebab
Belum diketahui secara pasti.

28 mmHg
49 mmHg

24 mmHg

KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan darah senormal mungkin
2) Terapi dilakukan secara terus-menerus, pengobatan tidak dihentikan
meskipun tekanan darah telah normal.
3) Cari juga faktor risiko kardiovaskuler lainnya
a) Merokok
b) Obesitas (IMT > 30 kg/m2)
c) Inaktivitas fisik
d) Dislipidemia
e) Diabetes melitus
f) Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit/1,73 m2
g) Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan >65 tahun)
h) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (first degree
relatives laki-laki <55 tahun, perempuan <65 tahun)
4) Efek samping:
a) Propranolol kontra indikasi untuk pasien asma.
b) Kaptopril kontraindikasi pada kehamilan selama janin hidup dan
pasien asma.
c) Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor
angiotensin II: evaluasi kreatinin dan kalium serum (hentikan bila
kreatinin meningkat >25% atau kreatinin meningkat 0,3 mg/dl atau
hiperkalemi)

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

41. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Kompetensi
: 3A; 4
Laporan Penyakit
: 1200

115

c. Gambaran Klinis
Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam penanganan hipertensi
dalam kehamilan, oleh karena tekanan diastolik mengukur tahanan perifer
dan tidak tergantung pada keadaan emosional pasien.
Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik 90 mmHg pada
2 pengukuran berjarak 1 jam atau lebih.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi dalam:
1) Hipertensi karena kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama kali
sesudah kehamilan 20 minggu, selama persalinan dan/atau dalam 48
jam post partum.
2) Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum kehamilan 20
minggu.
d. Diagnosis
Penegakan diagnosis hipertensi dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Diagnosis Hipertensi Karena Kehamilan dan Hipertensi Kronik
DIAGNOSIS

TEKANAN DARAH

TANDA LAIN

HIPERTENSI KARENA KEHAMILAN


- Hipertensi

Tekanan darah diastolik 90 mmHg


atau kenaikan 15 mmHg dalam 2
pengukuran berjarak 1 jam

Proteinuria (-)
Kehamilan > 20 minggu

- Preeklampsia
Ringan

Idem

Proteinuria 1+

116
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

- Preeklampsia
Berat

Tekanan darah diastolik > 110 mmHg

Proteinuria 2+ Oliguria
Hiper-refleksia
Gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium

- Eklampsia

Hipertensi

Kejang

HIPERTENSI KRONIK
- Hipertensi
kronik
- Superimposed
preeclampsia

Hipertensi

Kehamilan < 20 minggu

Hipertensi kronik

Proteinuria dan tanda


lain dari preeklampsia

1) Hipertensi Karena Kehamilan


a) Lebih sering terjadi pada primigravida. Keadaan patologis telah
terjadi sejak implantasi, sehingga timbul iskemia plasenta yang
kemudian diikuti dengan sindroma inflamasi.
b) Risiko meningkat pada:
(1) Masa plasenta besar (gemelli, penyakit trofoblast)
(2) Hidramnion
(3) Diabetes melitus
(4) Isoimunisasi rhesus.
(5) Faktor herediter.
(6) Autoimun: SLE.
c) Hipertensi karena kehamilan:
(1) Hipertensi tanpa proteinuria atau edema.
(2) Preeklampsia ringan.
(3) Preeklampsia berat.
(4) Eklampsia.
d) Hipertensi dalam kehamilan dan preeklampsia ringan sering
ditemukan tanpa gejala, kecuali peningkatan tekanan darah.
Prognosis menjadi lebih buruk dengan terdapatnya proteinuria.
Edema tidak lagi menjadi suatu tanda yang sahih untuk
preeklampsia.
e) Preeklampsia Berat didiagnosis pada kasus dengan salah satu
gejala berikut:
(1) Tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
(2) Proteinuria 2+.
(3) Oliguria < 400 mL per 24 jam.
(4) Edema paru: napas pendek, sianosis dan adanya ronkhi.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

117

(5) Nyeri daerah epigastrium atau kuadran atas kanan perut.


(6) Gangguan penglihatan: skotoma atau penglihatan yang
berkabut.
(7) Nyeri kepala hebat yang tidak berkurang dengan pemberian
analgetika biasa.
(8) Hiperrefleksia.
(9) Mata: spasme arteriolar, edema, ablasio retina.
(10) Koagulasi: koagulasi intravaskuler disseminata, sindrom
HELLP.
(11) Pertumbuhan janin terhambat.
(12) Otak: edema serebri.
(13) Jantung: gagal jantung.
f) Eklampsia ditandai oleh gejala preeklampsia berat dan kejang
(1) Kejang dapat terjadi dengan tidak tergantung pada beratnya
hipertensi.
(2) Kejang bersifat tonik-klonik, menyerupai kejang pada epilepsi
grand mal.
(3) Koma terjadi setelah kejang dan dapat berlangsung lama
(beberapa jam)
2) Hipertensi Kronik
a) Hipertensi kronik dideteksi sebelum usia kehamilan 20 minggu
b) Superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik dan
preeklampsia.
e. Penatalaksanaan
1) Pada Puskesmas non PONED: Segera dirujuk ke Puskesmas
PONED / RS
2) Pada Puskesmas PONED:
a) Hipertensi Dalam Kehamilan Tanpa Proteinuria
Jika kehamilan < 35 minggu, lakukan pengelolaan rawat jalan:
(1) Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria dan kondisi
janin tiap minggu.
(2) Jika tekanan darah meningkat, kelola sebagai preeklampsia.
(3) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin
yang terhambat, rawat dan pertimbangkan terminasi kehamilan.

118
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Preeklampsia Ringan
(1) Jika kehamilan < 35 minggu dan tidak terdapat tanda perbaikan
selama ANC.
(a) Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan:
Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria,
refleks dan kondisi janin
Lebih banyak istirahat
Diet biasa
Tidak perlu pemberian obat
(b) Jika tidak memungkinkan rawat jalan, rawat di rumah
sakit:
Diet biasa
Lakukan pemantauan tekanan darah 2x sehari,
proteinuria 1x sehari
Tidak memerlukan pengobatan
Tidak memerlukan diuretik, kecuali jika terdapat
edema paru, dekompensasi jantung atau gagal ginjal
akut
Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal,
pasien dapat dipulangkan, nasehatkan untuk istirahat
dan perhatikan tanda preeklampsia berat, periksa ulang
2 kali seminggu dan jika tekanan diastolik naik lagi
rawat kembali.
Jika tidak terdapat tanda perbaikan tetap dirawat.
Jika terdapat tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan.
Jika
proteinuria
meningkat,
kelola
sebagai
preeklampsia berat.
(2) Jika kehamilan > 35 minggu, pertimbangkan terminasi
kehamilan
(a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan Oksitosin 5
UI dalam 500 mL Ringer Laktat/ Dekstrose 5% i.v 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.
(b) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter Foley atau lakukan terminasi
dengan seksio sesarea.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

119

c) Preeklampsia Berat dan Eklampsia


Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali
bahwa persalinan harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya
kejang pada eklampsia.
(1) Pengelolaan kejang:
(a) Beri obat anti kejang (anti konvulsan).
(b) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas,
penghisap lendir, masker oksigen, oksigen).
(c) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
(d) Aspirasi mulut dan tenggorokan.
(e) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk
mengurangi risiko aspirasi.
(f) Berikan O2 46 L/menit.
(2) Pengelolaan umum
(a) Jika tekanan darah diastolik >110 mmHg, berikan
antihipertensi sampai tekanan darah diastolik antara 90
100 mmHg.
(b) Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau
lebih.
(c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload.
(d) Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan
pemeriksaan proteinuria.
(e) Infus cairan dipertahankan 1,52 L/24 jam.
(f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi
dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
(g) Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin tiap
1 jam.
(h) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya
krepitasi merupakan tanda adanya edema paru. Jika ada
edema paru, hentikan pemberian cairan dan berikan
diuretik (misal furosemid 40 mg i.v.).
(i) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika
pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan
terdapat koagulopati.

120
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(3) Anti konvulsan


Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia dan
eklampsia (Tabel 16). Alternatif lain adalah diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi neonatal (Tabel 17).
Tabel 16. Magnesium Sulfat Untuk Preeklampsia dan Eklampsia
Alternatif I
Dosis awal

- MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit.


- Segera dilanjutkan dengan 15 mL MgSO4 (40%) 6 g dalam
larutan Ringer Asetat/ Ringer Laktat selama 6 jam
- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 (40%)
2 g i.v. selama 5 menit

Dosis
Pemeliharaan

- MgSO4 1 g/jam melalui infus Ringer Asetat / Ringer Laktat


yang diberikan sampai 24 jam post partum

Alternatif II
Dosis awal
Dosis
pemeliharaan
Sebelum
pemberian
MgSO4 ulangan,
lakukan
pemeriksaan:
Hentikan
pemberian
MgSO4, jika:
Siapkan
antidotum

- MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit


- Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g i.m. dengan 1 mL
Lignokain (dalam semprit yang sama)
- Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian MgSO4
- Frekuensi pernapasan minimal 16 kali/menit
- Refleks patella (+)
- Urin minimal 30 mL/jam dalam 4 jam terakhir

- Frekuensi pernapasan < 16 kali/menit


- Refleks patella (-)
- Bradipnea (<16 kali/menit)
Jika terjadi henti napas:
- Bantu pernapasan dengan ventilator
- Berikan Kalsium glukonas 1 g (20 mL dalam larutan 10%)
i.v. perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

121

Tabel 17. Diazepam Untuk Preeklampsia dan Eklampsia


Dosis awal

- Diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit


- Jika kejang berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal

Dosis
pemeliharaan

- Diazepam 40 mg dalam 500 mL larutan Ringer Laktat melalui


infus, dengan 15 tetesan/menit
- Depresi pernapasan ibu baru mungkin akan terjadi bila dosis >
30 mg/jam
- Jangan berikan melebihi 100 mg/jam

(4) Anti hipertensi


(a) Obat pilihan adalah nifedipin, yang diberikan 510 mg oral
yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam.
(b) Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan
tambahan 5 mg nifedipin sublingual.
(5) Persalinan
(a) Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24
jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala
eklampsia timbul.
(b) Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi
dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea.
(c) Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa:
- Tidak terdapat koagulopati (koagulopati merupakan
kontra indikasi anestesi spinal).
- Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum
untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan
anestesia lokal, bila risiko anestesi terlalu tinggi.
(d) Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan induksi
dengan oksitosin 25 UI dalam 500 mL dekstrose 10
tetes/menit
atau
dengan
cara
pemberian
prostaglandin/misoprostol.
(6) Perawatan post partum
(a) Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam post partum atau
kejang yang terakhir.
(b) Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik masih >
90 mmHg.
(c) Lakukan pemantauan jumlah urin.

122
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(7) Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, jika:
(a) Terdapat oliguria (< 400 mL/24 jam)
(b) Terdapat sindroma HELLP (Haemolysis, Elevated Liver
enzymes, Low Platellets count).
(c) Koma berlanjut lebih dari 24 jam setelah kejang.
d) Hipertensi Kronik
(1) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapatkan pengobatan
dengan obat anti hipertensi dan terpantau dengan baik,
lanjutkan pengobatan tersebut.
(2) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg atau tekanan sistolik
160 mmHg, berikan anti hipertensi.
(3) Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed preeklampsia.
(4) Istirahat.
(5) Lakukan pemantauan pertumbuhan dan kondisi janin.
(a) Jika tidak terdapat komplikasi, tunggu persalinan sampai
aterm.
(b) Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat
atau gawat janin, lakukan:
- Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin
25 UI dalam 500 mL dekstrose melalui infus 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.
- Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter Foley.
(c) Observasi komplikasi seperti solusio plasenta atau
superimposed preeklampsia.
Ringkasan penanganan hipertensi dapat dilihat pada Tabel 18.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

123

Tabel 18. Ringkasan Penanganan Hipertensi


Hipertensi
karena
kehamilan

Preeklampsia
ringan

Preeklampsia
berat/Eklampsia

Hipertensi Kronik

- Rawat jalan 1 x
seminggu
- Pantau
TD,
proteinuria,
kesejahteraan
janin
- Tunggu
persalinan

- Pastikan gejala dan


tanda preeklampsia
berat
- Nifedipin 10 mg
dan MgSO4 4 g i.v
sebagai
larutan
40%
selama 5
menit.
- Siapkan peralatan
untuk kejang
- Kateter urin
- Rujuk ke RS

- Rawat jalan
- Istirahat cukup
- Bila
TD
>
160/110
beri
antihipertensi
- Tidak
ada
perbaikan, rujuk
ke RS

f.

Rawat jalan
Istirahat baring
Diet biasa
Tak perlu obat
Bila tidak ada
perbaikan
rujuk

KIE
1) Tujuan terapi: mengontrol tekanan darah sehingga tidak terjadi kejang.
2) Pencegahan:
a) Pembatasan kalori, cairan dan diet rendah garam tidak dapat
mencegah hipertensi karena kehamilan, malah dapat
membahayakan janin.
b) Yang lebih perlu diperhatikan adalah deteksi dini dan penanganan
cepat tepat. Pasien harus kontrol secara reguler dan teratur dan
diberi penerangan yang jelas kapan harus kembali ke pelayanan
kesehatan.
c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau keluarga
d) Pemasukan cairan terlalu banyak akan menyebabkan edema paru.

124
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

42. HIV-AIDS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 2
: 04

ICD X : B20-B24

a. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
merupakan golongan retrovirus yang merusak sistem kekebalan tubuh
manusia sehingga menyebabkan penyakit AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya tidak
diturunkan, tetapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; Immune
adalah sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya
tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan
gejala penyakit) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang muncul
akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh sehingga manusia menjadi rentan
dan mudah tertular penyakit.
b. Gambaran Klinis
Stadium klinis HIV-AIDS menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Stadium Klinis HIV-AIDS menurut WHO
Stadium

Berat Badan Gejala


(BB)
Stadium
I Tidak ada Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati
(Asimtomatik,
penurunan Generalisata Persisten
Periode
Jendela/ BB
Window Period)
Skala aktivitas : normal
Stadium
II
(sakit Penurunan - Luka sekitar bibir (cheilitis angularis)
ringan)
BB 5-10% - Lesi kulit yang gatal (seborrhea atau prurigo)
Skala
aktivitas
:
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
simtomatis,
aktivitas
- ISPA berulang, misal sinusitis, tonsillitis,
normal
otitis dan faringitis
- Sariawan berulang
Stadium
III
(sakit Penurunan - Bercak putih dimulut (oral hairy leukoplakia)
sedang)
BB > 10% - Diare, kandidiasis vaginal, panas yang tidak
Skala aktivitas : selama
diketahui penyebabnya > 1 bulan
1 bulan terakhir tinggal
- Infeksi bakterial yang berat (misalnya
ditempat tidur < 50%
pneumonia)
- TB paru dalam 1 tahun terakhir

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

125

Stadium IV (sakit berat)


/AIDS
Skala aktivitas : selama
1
bulan
terakhir
berbaring ditempat tidur
> 50%

HIV
wasting
syndrome

kandidiasis esofagus
herpes simpleks > 1 bulan
limfoma
toksoplasmosis otak
diare kriptospridiosis > 1 bulan
cytomegalovirus
sarkoma kaposi
ca cerviks infasif
PCP
TB ekstrapulmonal
meningitis criptococcus
ensefalopati HIV

c. Penularan
Virus HIV terdapat didalam cairan tubuh terutama darah, cairan vagina,
sperma dan air susu ibu.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui:
1) Hubungan seksual yang tidak aman yaitu berganti-ganti pasangan tanpa
pelindung (kondom) atau hubungan seksual dengan pasangan yang
terinfeksi HIV-AIDS tanpa menggunakan kondom.
2) Jarum suntik dan peralatan lain (alat kedokteran, jarum tatto, alat
tindik, pisau cukur, dan lain-lain) yang tidak steril dan digunakan
bersama-sama. Selain itu penularan virus HIV melalui darah juga dapat
terjadi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang
tercemar HIV.
3) Penularan dari ibu yang menderita HIV-AIDS ke anak selama
kehamilan, persalinan dan menyusui.
d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Laboratorium dan Klinis
(berdasarkan stadium klinis) serta penggalian faktor risiko.
e. Infeksi Oportunistik (IO) Penyakit terkait HIV
Adalah infeksi yang mengambil manfaat dari melemahnya sistem
kekebalan tubuh. Pada tahun-tahun pertama epidemi HIV-AIDS, IO
menyebabkan banyak kesakitan dan kematian. Namun setelah ada terapi
antiretroviral (ART), lebih sedikit orang yang meninggal akibat IO.
IO yang paling umum terjadi adalah:
1) Kandidiasis (thrush) adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan atau
vagina. Kandidiasis dapat meluas sampai esofagus pada pasien AIDS.

126
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Virus Sitomegalia (cytomegalovirus/CMV) adalah infeksi virus yang


menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan.
3) Virus Herpes Simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut atau alat
kelamin.
4) Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini
menjadi lebih sering terjadi dan lebih parah pada orang yang terinfeksi
HIV.
5) Mycobacterium Avium Complex (MAC/MAI) adalah infeksi bakteri
yang dapat menyebabkan demam kambuhan, rasa sakit yang umum,
masalah pencernaan, dan kehilangan berat badan yang parah.
6) Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah infeksi jamur yang
dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang berbahaya.
7) Toksoplasmosis adalah infeksi protozoa otak. Nyeri kepala biasanya
disebabkan toksoplasmosis.
8) Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan
dapat menyebabkan meningitis (radang selaput otak).
f.

Penatalaksanaan
ART (Anti Retroviral Therapy) yaitu terapi yang diberikan kepada ODHA
dengan menggunakan obat anti HIV (ARV=Anti Retro Viral). Tujuan
utama ART adalah untuk menjaga agar jumlah virus HIV didalam tubuh
pada tingkat yang rendah, dan mengurangi atau memulihkan kerusakan
pada sistem kekebalan tubuh akibat infeksi HIV, sehingga dapat
mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat HIV serta meningkatkan
mutu hidup pengidap ODHA.
1) Persyaratan pemberian ART:
a) HIV positif dengan dokumentasi tertulis
b) Memenuhi persyaratan medis
Jika tes CD4 tersedia:
(1) CD4 < 350 sel/mm3 pada tanpa memandang stadium klinisnya
(2) Stadium klinik 3 dan stadium 4 tanpa memandang jumlah CD4
(3) Pemeriksaan jumlah CD4 diperlukan untuk mengidentifikasi
pasien dengan stadium klinik 1 dan 2 yang perlu memulai
terapi ARV
(4) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif
tanpa memandang jumlah CD4
Jika tes CD4 tidak tersedia
(1) Stadium klinik 3 WHO
(2) Stadium klinik 4 WHO

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

127

c)
d)
e)
f)

IO sudah diobati atau stabil


Pasien siap untuk pengobatan ARV
Tersedia tim klinik yang mendukung perawatan kronik
Ketersediaan obat yang dapat dipercaya

2) Jenis-jenis obat ART:


a) Golongan NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Berfungsi menghambat replikasi DNA virus. Cara kerja NRTI
dengan mencegah perubahan genetik virus dari RNA menjadi
DNA. Jenis obat yang termasuk golongan ini diantaranya :
(1) AZT (Aksidiotimidin) atau ZDV (Zidovudin)
(2) 3TC (Lamivudin)
(3) D4T (Stavudin)
(4) Tenofir
b) Golongan NNRTI (Non Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor)
Berfungsi sama dengan NRTI tapi dengan cara yang berbeda. Cara
kerja NNRTI dengan mencegah masuknya HIV kedalam inti sel
yang terinfeksi, sehingga HIV tidak dapat membuat turunanturunan virus. Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini adalah:
(1) EFP (Efavirenz)
(2) NVP(Nevirapin)
(3) DLV (Delavirdin)
c) Golongan PI (Protease Inhibitor)
Berfungsi memotong virus baru dengan potongan khusus sehingga
tidak dapat dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Jenis obat yang
termasuk dalam golongan ini adalah :
(1) NTV (Nevinavir)
(2) IDV (Indinavir)
(3) RTV (Ritonavir)
(4) APV (Amphenavir)
(5) TAZ (Tazanavir)
(6) LPV (Lopinavir)
3) Kepatuhan ART
a) Kepatuhan dalam ART berhubungan erat dengan disiplin pribadi
yang tinggi untuk menghindari resistensi obat. Dalam ART
terdapat 5 kepatuhan yaitu:
(1) Patuh dalam jenis obat yang tepat

128
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Patuh dengan cara minum yang tepat


(3) Patuh dengan waktu minum yang tepat
(4) Patuh dengan dosis obat yang tepat.
(5) Patuh dengan masa terapi yang tepat.
b) Kepatuhan pengobatan (adherence) penting karena menentukan
kesuksesan terapi, yaitu:
(1) Viral load atau jumlah virus HIV menurun.
(2) CD4 meningkat.
(3) Angka kesakitan dan kematian menurun.
c) Dampak dari adherence yang buruk adalah:
(1) Resistensi terhadap obat.
(2) Peningkatan biaya pengobatan.
g. Penatalaksanaan HIV-AIDS di tingkat Puskesmas
1) Menyediakan layanan konseling pencegahan HIV-AIDS.
2) Menyediakan layanan kesehatan bagi ODHA (Orang Dengan HIVAIDS) dengan perawatan dasar berbasis masyarakat atau berbasis
rumah serta memberikan dukungan kepatuhan berobat ARV.
3) Menyediakan layanan VCT atau konseling dan test HIV secara sukarela
untuk memberikan dukungan psikologis dan informasi untuk merubah
perilaku berisiko serta membuka akses untuk mendapatkan pelayanan
perawatan dan pengobatan HIV-AIDS di tingkat layanan kesehatan
rujukan.
4) Menyediakan layanan laboratorium rapid test dan hematologi lengkap.
5) Pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Prevention
Mother to Child Transmission=PMTCT) di tingkat Puskesmas
menyediakan layanan Prong 1 dan 2.
a) Adapun kegiatan pada Prong I adalah konseling perubahan perilaku
untuk mencegah penularan HIV-AIDS pada remaja dan
mengurangi stigma/diskriminasi terhadap ODHA.
b) Sedangkan kegiatan pada Prong II adalah promosi dan distribusi
kondom pada kelompok risiko tinggi, konseling pasangan suami
istri yang salah satunya terinfeksi HIV.
6) Pelayanan IO dan penatalaksanaan TB-HIV dibawah pengawasan
dokter RS rujukan ODHA.
7) Menyediakan layanan ART dibawah pengawasan RS rujukan ART,
berupa:
a) Penentuan stadium klinis
b) Memulai ARV, IO dan OAT.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

129

c) Kepatuhan pengobatan.
d) Paduan (kombinasi) obat ARV.
e) Identifikasi efek samping obat ARV.
8) Mengintensifkan penemuan kasus TB dan menjamin pengendalian
infeksi TB, serta menyediakan layanan konseling dan testing HIV bagi
pasien TB.
9) Menyediakan layanan perawatan paliatif bekerjasama dengan keluarga
ODHA dan RS rujukan.
10) Menyediakan layanan konseling dan tatalaksana gizi pada ODHA.
11) Merujuk kasus HIV-AIDS dengan komplikasi berat ke RS rujukan
ODHA.
12) Melakukan pencatatan dan pelaporan, serta monitoring dan evaluasi
sesuai pedoman.
h. KIE
Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap yang dapat
mendorong perubahan perilaku dalam mengurangi risiko terinfeksi HIV
serta menyediakan dan memberikan informasi yang benar dan tepat guna.
Peningkatan pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk
usia 15-24 tahun sangat penting sebagai bekal untuk mencegah terjadinya
HIV-AIDS. Promosi Kondom pada kelompok perilaku seksual berisiko
juga sangat penting untuk mencegah penularan HIV-AIDS.
Pencegahan penularan HIV-AIDS yang terbaik adalah :
1) Pencegahan Pola A (Abstinance), yaitu Puasa Seks, artinya seseorang
tidak melakukan hubungan seksual sebelum atau diluar nikah.
2) Pencegahan Pola B (Be faithful), yaitu saling setia dengan satu
pasangan, artinya hubungan seksual dilakukan hanya dengan satu
pasangan tetap (suami/istri).
3) Pencegahan Pola C (Condom). Kondom merupakan salah satu alat
pencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.
4) Pencegahan Pola D (Dont inject), yaitu tidak menyalahgunakan
narkoba suntik. Penyalahgunaan narkoba juga menjadi salah satu jalan
yang potensial untuk menularkan HIV karena ada kebiasaan buruk
diantara pengguna narkoba yaitu menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama.
5) Pencegahan Pola E (Education), yaitu pendidikan mengenai HIVAIDS untuk menanggulangi penyebaran HIV-AIDS.

130
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

i.

HIV PADA ANAK


1) Diagnosis Klinis:
a) Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV.
(1) Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang
lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis)
pada 12 bulan terakhir,
(2) Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut,
gusi dan mukosa pipi, pasca masa neonatal, ditemukannya
thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung lebih dari
30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan infeksi
HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang
kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esophagus.
(3) Parotitis kronik: pembengkakan parotitis unilateral atau
bilateral selama 14 hari dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri
atau demam.
(4) Limpadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelanjar
getah bening pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa
penyebab jelas yang mendasarinya.
(5) Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi
virus yang bersamaan seperti Sitomegalovirus.
(6) Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (>38C)
berlangsung 7 hari atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu
7 hari.
(7) Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif,
mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung
(confusion).
(8) Dermatitis HIV: ruam yang eritematus dan popular, ruam kulit
yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit,
kuku dan kulit kepala dan molluscom contagiosum yang
ekstensif.
(9) Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung
disease).
b) Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV,
tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan
infeksi HIV

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

131

(1) Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dan berlangsung 14


hari.
(2) Diare persisten: berlangsung 14 hari
(3) Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau
menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi
pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya,
sebagaimana tercantum dalam KMS, terutama pada bayi usia <
6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.
c) Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan
infeksi HIV positif
Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini :
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), kandidiasis esophagus,
lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau Sarkoma Kaposi.
Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV.
2) Konseling
Indikasi untuk konseling HIV
Konseling HIV perlu dilakukan pada situasi berikut:
a) Anak yang status HIV-nya tidak diketahui yang menunjukkan
tanda klinis infeksi HIV dan/atau faktor risiko (misalnya ibu atau
saudaranya menderita HIV/AIDS)
(1) Tentukan apakah akan dilakukan konseling atau merujuknya
(2) Jika anda yang melakukan konseling sediakan waktu untuk sesi
konseling ini. Minta saran pada konselor lokal yang
berpengalaman, sehingga tiap nasihat yang diberikan akan
konsisten dengan apa yang nantinya akan diterima ibu dari
konselor profesional.
(3) Jika akan dirujuk, jelaskan pada orang tuanya alasan mereka
dirujuk ke tempat lain untuk konseling.
b) Anak dengan infeksi HIV tetapi respon terhadap pengobatan
kurang baik, atau membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling:
(1) Pemahaman orang tua tentang infeksi HIV
(2) Tatalaksana masalah yang ada saat ini
(3) Peran pengobatan antiretroviral
(4) Perlunya merujuk ke tingkat yang lebih tinggi, jika perlu
(5) Dukungan dari kelompok di masyarakat, jika ada.

132
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) Anak dengan infeksi HIV dengan respon yang baik terhadap


pengobatan dan akan dipulangkan (atau dirujuk ke program
perawatan di masyarakat untuk ke dukungan psikologis).
Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling:
(1) Alasan dirujuk ke program perawatan di masyarakat
(2) Pelayanan tindak lanjut
(3) Faktor risiko untuk sakit di kemudian hari.
(4) Imunisasi dan HIV
(5) Ketaatan dan dukungan pengobatan antiretroviral.
3) Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral theraphy = ART)
Prinsip yang mendasari ART dan pemilihan lini pertama ARV pada
anak pada umumnya sama dengan pada dewasa. Sangat penting untuk
mempertimbangkan:
a) Ketersediaan formula yang cocok yang dapat diminum dalam dosis
yang tepat.
b) Daftar dosis yang sederhana
c) Rasa yang enak sehingga menjamin kepatuhan pada anak kecil
d) Rejimen ART yang akan atau sedang diminum orang tuanya.

43. HORDEOLUM
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 1005

ICD X : H00-H01

a. Definisi
Hordeolum adalah suatu infeksi pada satu atau beberapa kelenjar di tepi
atau di bawah kelopak mata. Bisa terbentuk lebih dari 1 hordeolum pada
saat yang bersamaan. Hordeolum biasanya muncul dalam beberapa hari dan
bisa kambuh secara spontan.
Hordeolum internum adalah abses akut pada kelopak mata yang disebabkan
oleh infeksi Stafilokokus pada kelenjar Meibomian, dengan penonjolan
mengarah ke konjungtiva.
Hordeolum eksternum disebabkan oleh infeksi stafilokokus yang
memberikan gambaran abses akut yang terlihat pada folikel bulu mata dan
kelenjar Zeis atau Moll. Hordeolum eksternum sering ditemukan pada
anak-anak.
b. Penyebab
Hordeolum adalah infeksi akut pada kelenjar minyak di bawah kelopak
mata yang disebabkan oleh bakteri dari kulit (biasanya di sebabkan oleh
bakteri stafilokokus). Hordeolum sama dengan jerawat kulit. Kadang
timbul bersamaan dengan atau sesudah blefaritis, bisa juga secara berulang.
c. Gambaran Klinis
1) Biasa berawal dengan kemerahan, nyeri bila ditekan dan nyeri pada tepi
kelopak mata.
2) Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan pasien merasa
ada sesuatu di dalam matanya. Biasanya hanya sebagian kecil di daerah
kelopak yang membengkak, meskipun ada seluruh
kelopak
membengkak.
3) Di tengah daerah yang membengkak sering kali terlihat bintik kecil
yang berwarna kekuningan.
4) Bisa terbentuk abses yang cenderung pecah dan melepaskan sejumlah
nanah.
5) Hordeolum Internum:
a) Benjolan pada kelopak mata yang dirasakan sakit.
b) Benjolan dapat membesar ke posterior (konjungtiva tarsal) atau
anterior (kulit).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

133

134
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Hordeolum Eksternum:
a) Benjolan yang dirasakan sakit pada kelopak di daerah margo
palpebra.
b) Penonjolan mengarah ke tepi kulit margo palpebra.
c) Kemungkinan terjadi lesi multiple.
d. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Hordeolum bisa diobati dengan kompres hangat selama 10 menit
sebanyak 4x sehari. Jangan mencoba memecahkan hordeolum.
2) Pemberian oksitetrasiklin salep mata.
3) Kondisi akut: antibiotik sistemik oral, misalnya tetrasiklin, eritromisin.
f.

KIE
1) Tujuan: mengatasi infeksi.
2) Pencegahan: selalu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh
di sekitar mata, bersihkan minyak yang berlebihan di tepi kelopak mata
secara perlahan.
3) Alasan rujukan: apabila keadaan nodul residual tetap ada (lebih dari 2
minggu) setelah infeksi akut perlu dilakukan rujukan untuk tindakan
insisi dan kuretase.

44. INFEKSI POST-PARTUM


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 105

ICD X : O86

a. Definisi
Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan, ditandai
dengan meningkatnya temperatur suhu 380C atau lebih yang terjadi antara
hari ke 2 10 post partum dan diukur per oral 4 kali sehari.
b. Penyebab
Dapat disebabkan oleh bakteri Gram negatif maupun positif. Sebagian
besar infeksi terjadi selama proses persalinan.
Beberapa faktor predisposisi: kurang gizi atau malnutrisi, anemia, higiene
buruk, kelelahan, proses persalinan bermasalah (partus lama/macet,
korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan
infeksi, periksa dalam yang berlebihan).
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam dan perineum atau dinding vagina yang
terinfeksi tampak bengkak dan bernanah, menimbulkan nyeri.
2) Infeksi di bagian lebih dalam dapat berupa endometritis, salpingitis,
parametritis, peritonitis, dan tromboflebitis, yang pada umumnya
dimulai dari endometrium. Lebih berat lagi dapat terjadi sepsis.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang selalu didapat
serta gejala lain yang mungkin didapat.
e. Penatalaksanaan
1) Pada Puskesmas non PONED: rujuk ke Puskesmas PONED atau RS
2) Pada Puskesmas PONED:
a) Bila terdapat luka perineum, rawat dengan povidon iodin 10%, atau
kompres Rivanol bila terdapat pus.
b) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi:
(1) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam
(2) Ditambah Gentamisin 5 mg/kgBB i.v. sebagai dosis
tunggal/hari dan metronidazol 500 mg i.v. tiap 8 jam.
(3) Lanjutkan antibiotik ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

135

136
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) Berikan uterotonika ergometrin i.m. untuk memperkuat involusi


uterus.
d) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis.
e) Persiapan transfusi dan rujukan.
f) Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran (digital
atau dengan kuret tumpul besar).
g) Bila ada pus intraperitoneal lakukan drainase (kalau perlu
kolpotomi), ibu dalam posisi Fowler.
h) Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada
tanda peritonitis generalisata pasien dirujuk ke RS untuk dilakukan
laparotomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik
dan septik lakukan histerektomi subtotal.
f.

KIE
1) Pencegahan:
a) Prinsip universal precaution.
b) Jaga kebersihan tempat persalinan.
2) Konseling ke pasien:
a) Jaga kebersihan diri.
b) Tidak menggunakan obat/ ramuan.

45. INFLUENZA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 1302

ICD X : J00

a. Definisi
Influenza tergolong infeksi saluran napas akut (ISPA) yang biasanya terjadi
dalam bentuk epidemi. Disebut common cold atau selesma bila gejala di
hidung lebih menonjol, sementara influenza dimaksudkan untuk kelainan
yang disertai faringitis dengan tanda demam dan lesu yang lebih nyata.
b. Penyebab
Banyak macam virus penyebabnya, antara lain Rhinovirus, Coronavirus,
virus Influenza A dan B, Parainfluenza, Adenovirus. Biasanya penyakit ini
sembuh sendiri dalam 35 hari.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala sistemik khas berupa gejala infeksi virus akut yaitu demam,
sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nafsu makan hilang, disertai
gejala lokal berupa rasa menggelitik sampai nyeri tenggorokan, kadang
batuk kering, hidung tersumbat, bersin, dan ingus encer.
2) Tenggorokan tampak hiperemia.
3) Dalam rongga hidung tampak konka yang sembab dan hiperemia.
4) Sekret dapat bersifat serus, seromukus atau mukopurulen bila ada
infeksi sekunder.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Anjuran istirahat dan banyak minum sangat penting pada influenza ini.
Pengobatan simtomatis diperlukan untuk menghilangkan gejala yang
terasa berat atau mengganggu.
2) Parasetamol 500 mg tiap 8 jam untuk menghilangkan nyeri dan demam.
3) Untuk anak, dosis parasetamol adalah 10 mg/kgBB/kali, tiap 6-8 jam.
4) Dekongestan efedrin.
5) Antibiotik amoksisilin atau eritromisin hanya diberikan bila terjadi
infeksi sekunder.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

137

138
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: istirahat cukup, makan makanan bergizi.

46. KANDIDIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4, 3A
: 2001

ICD X : B37

a. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida sp.
Infeksi ini menyerang kulit, mukosa maupun alat dalam. Beberapa faktor
predisposisi seperti kehamilan, obesitas, DM, pemakaian antibiotik,
antiseptik atau kortikosteroid yang lama, penyakit kronik (HIV-AIDS,
TBC, tumor ganas), kurang gizi, serta kulit yang kotor, lembab, dan basah
mempermudah terjadinya kandidiasis (kandidosis) ini.
b. Penyebab
Agen penyebab paling sering dari kandidiasis murni adalah Candida
albicans.
Bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena dot yang
tidak steril.
c. Gambaran Klinis
1) Kandidosis pada kulit memberikan keluhan gatal dan perih.
Kelainannya berupa bercak merah dengan maserasi di daerah sekitar
mulut, di lipatan payudara (intertriginosa) dengan bercak merah yang
terpisah di sekitarnya (satelit).
2) Bentuk kronik ditemukan di sela-sela jari kaki, sekitar anus dan di kuku
(paronikia atau onikomikosis).
3) Pada pasien DM biasanya terdapat sebagai vulvo vaginitis.
4) Tampilan di mukosa mulut dikenal sebagai guam atau oral thrush yang
diselaputi pseudomembran. Daya kecap pasien berkurang disertai rasa
metal.
5) Tampilan di usus dapat berupa diare.
6) Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10%
atau pewarnaan Gram berupa hyfe.
d. Diagnosis
Bercak putih di mukosa mulut atau lidah, bercak merah pada kulit dengan
maserasi dan bercak satelit.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

139

140
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Faktor predisposisi yang dapat diatasi dihilangkan dahulu dan
kebersihan perorangan diperbaiki karena kalau tidak penyakit ini akan
bersifat kronik-residif.
2) Untuk lesi kulit menggunakan mikonazol krim.
3) Kandidosis di mukosa mulut atau lidah menggunakan gentian violet
1% yang dibuat baru.
4) Cara mengobati luka/trush di mulut:
a) Cuci tangan sebelum mengobati
b) Bersihkan mulut dengan ujung jari yang terbungkus kain bersih dan
telah dicelupkan ke larutan air matang hangat bergaram (1 gelas air
hangat ditambah seujung sendok teh garam)
c) Olesi rongga mulut dengan gentian violet 1% (bayi 0,25%) yang
dibuat baru
d) Cuci tangan kembali
e) Obati luka atau bercak di mulut 3 kali sehari selama 7 hari.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi
2) Pencegahan: jaga higiene rongga mulut.
3) Jika gentian violet tertelan tidak berbahaya.
4) Alasan rujuk: kandidiasis oral pada dewasa, perlu dicurigai
kemungkinan immunocompromissed.

47. KARIES GIGI


Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 1501

ICD X : K02

a. Definisi
Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi pada jaringan keras gigi yang
mengakibatkan kerusakan struktur gigi dan bersifat kronik.
b. Penyebab
Hal hal yang mendukung terjadinya karies gigi:
1) Gigi yang peka, yaitu gigi yang mengandung sedikit flour atau
memiliki lubang, lekukan maupun alur yang menahan plak.
2) Bakteri yang paling sering adalah bakteri Streptococcus mutans.
3) Dalam keadaan normal, di dalam mulut terdapat bakteri. Bakteri ini
mengubah semua makanan (terutama gula sukrosa) menjadi asam.
Bakteri, asam, sisa makanan dan ludah bergabung membentuk bahan
lengket yang disebut plak, yang menempel pada gigi.
4) Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang. Jika tidak
dibersihkan maka plak akan membentuk mineral yang disebut karang
gigi (kalkulus, tartar). Plak dan kalkulus bisa mengiritasi gusi sehingga
timbul gingivitis.
c. Gambaran Klinis
Biasanya, suatu kavitasi di dalam enamel tidak menyebabkan sakit, nyeri
baru timbul jika pembusukan sudah mencapai dentin. Nyeri yang dirasakan
jika meminum dingin atau makan permen menunjukkan bahwa pulpa masih
sehat. Jika pengobatan dilakukan pada stadium ini maka gigi bisa
diselamatkan dan tampaknya tidak akan timbul nyeri maupun kesulitan
menelan.
Suatu kavitasi yang timbul di dekat atau telah mencapai pulpa
menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Nyeri ada walaupun
perangsangnya dihilangkan (contohnya air dingin). Bahkan gigi terasa sakit
meskipun tidak ada perangsang (sakit gigi spontan).
d. Diagnosis
Gigi berlubang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

141

142
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas dan
masukkan pellet kapas yang ditetesi eugenol.
2) Penanganan selanjutnya yaitu penambalan (restorasi) dengan tumpatan
tetap (amalgam, glass ionomer).
3) Jika dentin yang menutup pulpa sudah tipis maka dapat dilakukan pulp
capping indirect dengan menggunakan pelapis dentin Ca(OH)2.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah), kurangi makanan yang mengandung gula.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.

48. KECACINGAN
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0703

ICD X : B76-B79

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),


yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing
perut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang
(Ascaris vermicularis), cacing tambang (Ankylostoma Duodenale, Necator
americanus), dan cacing cambuk (Trichuris Trichuria). Jenis-jenis cacing
tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya
telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang
infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes
defenitifnya.
ANKILOSTOMIASIS (Infeksi Cacing Tambang)
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
:

ICD X : B76.0

a. Definisi
Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan cacing
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus. Cacing tambang
mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan
anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat
menyebabkan retardasi mental.
b. Penyebab
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan
tergantung dari beratnya infeksi dan keadaan gizi pasien.
2) Pada saat larva menembus kulit, pasien dapat mengalami dermatitis.
Ketika larva lewat di paru dapat terjadi batuk-batuk
3) Akibat utama yang disebabkan cacing ini ialah anemia yang kadang
demikian berat sampai menyebabkan gagal jantung.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

143

144
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Cacing dewasa di usus halus memakan nutrien sehingga berakibat


kurang gizi dan gangguan tumbuh kembang.
4) Bila cacing masuk ke saluran empedu maka dapat menyebabkan kolik
dan ikterus.
5) Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Sering kali infeksi ini baru
diketahui setelah cacing keluar spontan bersama feses atau
dimuntahkan.
6) Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus dapat terjadi
obstruksi usus (ileus), yang merupakan kedaruratan dan pasien perlu
dirujuk ke rumah sakit.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses segar atau
biakan feses dengan cara Harada-Mori.
e. Penatalaksanaan
1) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan selama
hamil.
2) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari.
3) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg tiap 12 jam selama 3
hari berturut-turut.
4) Sulfas ferosus 1 tablet tiap 8 jam untuk orang dewasa atau 10
mg/kgBB/kali untuk anak untuk mengatasi anemia.
f.

KIE
Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan perbaikan higiene
perorangan terutama penggunaan alas kaki. Albendazol tidak boleh pada
wanita hamil.

ASKARIASIS (Infeksi Cacing Gelang)


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
:

ICD X : B77.9

a. Definisi
Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit parasitik yang
disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.

e. Penatalaksanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal.
2) Mebendazol 500 mg dosis tunggal. Tidak dianjurkan untuk anak <2
tahun.
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan oleh
wanita hamil. Tidak dianjurkan untuk anak <2 tahun. Merupakan obat
pilihan pada gejala sistemik.
4) Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis harus diterapi
lebih dahulu dengan pirantel pamoat.
f.

b. Penyebab
Ascaris lumbricoides.
c. Gambaran Klinis
1) Pada infeksi masif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius
antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing gelang dapat
bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya saluran empedu dan
menyumbat lumen sehingga berakibat fatal.
2) Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian menembus
dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru dan menimbulkan
gejala seperti batuk, bersin, demam, eosinofilia, dan pneumonitis
askaris. Larva menjadi cacing dewasa di usus halus dalam waktu 2
bulan.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau
telur Ascaris pada pemeriksaan feses.

145

KIE
1) Tujuan pengobatan: membunuh cacing dan mencegah penyebaran
2) Efek samping: mebendazol dan albendazol dapat menyebabkan eratic
migration sehingga dapat mengganggu pernapasan.
3) Pencegahan:
a) Pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik (>20%) atau
di daerah yang rawan askariasis. Bila <20% 1 tahun sekali
b) Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, higiene keluarga
dan higiene pribadi seperti:
(1) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sehabis bermain,
setelah buang air besar.
(2) Menggunting kuku secara rutin tiap minggu.
(3) Tidak menggunakan feses sebagai pupuk tanaman.

146
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Sayuran segar (mentah) yang akan dimakan sebagai lalapan,


harus dicuci bersih dengan air mengalir.
(5) Buang air besar di jamban untuk melokalisir infeksi, tidak di
kali atau di kebun.
FILARIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 0702

umumnya terdapat funikulitis disertai penebalan dan rasa nyeri,


epididimitis, orkitis dan pembengkakan skrotum. Serangan akut dapat
berlangsung 1 bulan atau lebih. Bila keadaannya berat dapat
menyebabkan abses ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan
retroperitoneal, kelenjar inguinal dan otot ileopsoas.
3) Filariasis dengan Penyumbatan
Pada stadium menahun terjadi jaringan granulasi yang proliferatif serta
pelebaran saluran limfe yang luas lalu timbul elefantiasis. Penyumbatan
duktus torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah mempengaruhi
skrotum dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada
perempuan. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi tungkai dan
bagian luar alat kelamin. Elefantiasis umumnya mengenai tungkai serta
alat kelamin dan menyebabkan perubahan yang luas. Bila saluran limfe
kandung kemih dan ginjal pecah akan timbul kiluria (keluarnya cairan
limfe dalam urin), sedangkan bila yang pecah tunika vaginalis akan
terjadi hidrokel atau kilokel, dan bila yang pecah saluran limfe
peritoneum terjadi asites yang mengandung kilus. Gambaran yang
sering tampak ialah hidrokel dan limfangitis alat kelamin. Limfangitis
dan elefantiasis dapat diperberat oleh infeksi sekunder oleh bakteri atau
jamur.

ICD X : B74.9

a. Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular kronik yang
disebabkan sumbatan cacing filaria di kelenjar getah bening, menimbulkan
gejala klinis akut berupa demam berulang, radang kelenjar getah bening,
edema dan gejala kronik berupa elefantiasis.
b. Penyebab
Di Indonesia ditemukan 3 spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang masing-masing sebagai
penyebab filariasis bancrofti, filariasis malayi dan filariasis timori.
Beragam spesies nyamuk dapat berperan sebagai penular (vektor) penyakit
tersebut.
c. Cara Penularan
Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang mengandung larva
infektif cacing filaria. Nyamuk yang menularkan filariasis adalah
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut
tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan
habitatnya (got/saluran air, sawah, rawa, hutan).

e. Diagnosis
Diagnosis filariasis dapat ditegakkan secara klinis. Diagnosis dipastikan
dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi yang diambil malam hari
(pukul 22.0002.00 dinihari) dan dipulas dengan pewarnaan Giemsa. Pada
keadaan kronik pemeriksaan ini sering negatif.
f.

d. Gambaran Klinik
1) Filariasis tanpa gejala
Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan
pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah inguinal. Pada
pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar dan
eosinofilia.
2) Filariasis dengan peradangan
Demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan lemah yang dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Organ yang
terkena terutama saluran limfe tungkai dan alat kelamin. Pada laki-laki
147

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Penatalaksanaan
1) Perawatan Umum
Antibiotik atau antimikotik untuk infeksi sekunder dan abses.
Perawatan elefantiasis dengan mencuci kaki secara teratur dan merawat
luka. Melakukan elevasi tungkai pada waktu duduk atau tidur.
2) Pengobatan Spesifik
Untuk pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate
(DEC) 6 mg/kgBB 3 x sehari selama 12 hari.
Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6 mg/kgBB dan
albendazol 400 mg (+ parasetamol) dosis tunggal, sekali setahun
selama 5 tahun.

148
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Untuk program eliminasi filariasis gunakan buku petunjuk program.


g. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan parasit filaria dari darah.
Mencegah berkembangbiaknya nyamuk sesuai program PSN 3M
(pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras, menutup, mengubur
genangan air).
2) Efek samping DEC: pusing, mual dan demam yang berkaitan dengan
derajat mikrofilaremia dan biasanya berlangsung selama 3 hari.
3) Alasan rujukan: jika ditemukan efek samping obat, filariasis sistemik.

kulit di sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian
selotip tersebut ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan
mikroskop.
e. Penatalakasanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal diulang 2 minggu
kemudian.
2) Mebendazol 100 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian.
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian.
f.

OKSIURIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
:

ICD X : B80

a. Definisi
Infeksi cacing kremi (oksiuriasis, enterobiasis) adalah infeksi parasit yang
disebabkan Enterobius vermicularis. Parasit ini terutama menyerang anakanak; cacing tumbuh dan berkembang biak di dalam usus.
b. Penyebab
Enterobius vermicularis.
c. Gambaran Klinis
1) Rasa gatal hebat di sekitar anus, kulit di sekitar anus menjadi lecet atau
kasar atau terjadi infeksi (akibat penggarukan).
2) Rewel (karena rasa gatal).
3) Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari
ketika cacing betina bergerak ke daerah anus dan meletakkan telurnya
disana).
4) Napsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang, tetapi dapat
terjadi pada infeksi berat) rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak
perempuan, jika cacing masuk ke dalam vagina).
d. Diagnosis
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus pasien,
terutama dalam waktu 12 jam setelah anak tertidur pada malam hari.
Cacing kremi aktif bergerak, berwarna putih dan setipis rambut. Telur
maupun cacingnya bisa didapat dengan menempelkan selotip di lipatan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

149

KIE
1) Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus minum obat tersebut
karena infeksi dapat menyebar dari satu orang kepada yang lainnya.
2) Pencegahan:
a) Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.
b) Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku.
c) Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu.
d) Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari
tangan dan tiap benda yang dipegang/disentuhnya.

SISTOSOMIASIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
:

ICD X : B65

a. Definisi
Sistomiasis merupakan penyakit parasit (cacing) menahun yang hidup di
dalam pembuluh darah vena, sistem peredaran darah hati, yaitu pada sistem
vena porta, mesenterika superior. Dalam siklus hidupnya cacing ini
memerlukan hospes perantara sejenis keong Oncomelania hupensis
lindoensis yang bersifat amfibi.
b. Penyebab
Cacing trematoda. Penyakit ini ditularkan melalui bentuk infektif larvanya
yang disebut sekaria yang sewaktu-waktu keluar dari keong tersebut di atas.
Larva ini akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pori-pori kulit yang
kontak dengan air yang mengandung sekaria. Penyakit ini telah lama
diketahui terdapat di Indonesia, pertama kali dilaporkan pada tahun 1937
oleh Brug dan Tesch. Adapun cacing penyebabnya adalah Scistosoma

150
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

japonicum. Daerah endemis sistosomiasis di Indonesia sampai saat ini


terbatas pada daerah Lindu, Napu, dan Besoa di Propinsi Sulawesi Tengah.
c. Gambaran Klinis
1) Masa tunas 4 6 minggu.
2) Pasien memperlihatkan gejala umum berupa demam, urtikaria, mual,
muntah, dan sakit perut. Kadang dijumpai sindroma disentri.
3) Dermatitis sistosoma terjadi karena serkaria menembus ke dalam kulit.
4) Pada tingkat lanjut telur yang terjebak dalam organ-organ
menyebabkan mikroabses yang meninggalkan fibrosis dalam
penyembuhannya.
Maka
dapat
terjadi
sirosis
hepatitis,
hepatosplenomegali, dan hipertensi portal yang dapat fatal.
d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan telur dalam feses, atau biopsi
rektum atau hati. Uji serologi memastikan diagnosis.
e. Penatalaksanaan
Obat terpilih untuk sistosomiasis adalah prazikuantel, dosis tunggal.
f.

KIE
1) Pencegahan: air minum harus dimasak dahulu. Di daerah endemis, air
mandi didiamkan dulu minimal 2 hari dalam penampungan air.
2) Alasan rujuk: bila terjadi komplikasi.

TAENIASIS / SISTISERKOSIS
Kompetensi
: 4 dan 3A
Laporan Penyakit
:

ICD X : B68

a. Definisi
Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasitik yang disebabkan cacing dewasa
Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia asiatica). Infeksi larva
T. solium disebut sistiserkosis dengan gejala benjolan (nodul) di bawah
kulit (subcutaneous cysticercosis). Larva Taenia solium dapat
menyebabkan sistiserkosis otak dan sistiserkosis subkutan.
b. Penyebab
Cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia
asiatica); larva T. solium.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

151

c. Penularan
Sumber penularan taeniasis adalah hewan terutama babi, sapi yang
mengandung larva cacing pita (cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis
adalah pasien taeniasis solium sendiri yang fesesnya mengandung telur atau
proglotid cacing pita dan mencemari lingkungan. Seseorang dapat
terinfeksi cacing pita (taeniasis) bila makan daging yang mengandung larva
yang tidak dimasak dengan sempurna, baik larva T.saginata yang terdapat
pada daging sapi (cysticercus bovis) maupun larva T.solium (cysticercus
cellulose) yang terdapat pada daging babi atau larva T.asiatica yang
terdapat pada hati babi. Sistiserkosis terjadi apabila telur T.solium tertelan
oleh manusia. Telur T. saginata dan T.asiatica tidak menimbulkan
sistiserkosis pada manusia.
Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat di daerah endemis. Hingga saat ini kasus
taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di beberapa
propinsi di Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera Utara.
d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar antara 814 minggu.
2) Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
3) Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau
toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak
nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, napsu
makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing, diare dan pruritus ani.
4) Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing pita bersarang di jaringan otak
sehingga dapat mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga dapat
bersarang di subkutan, mata, otot, jantung dan lain-lain.
e. Diagnosis
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
feses secara mikroskopis. Adanya riwayat mengeluarkan proglotid
(segmen) cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara
spontan. Pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing Taenia.
f.

Penatalaksanaan
Pasien taeniasis diobati dengan prazikuantel dengan dosis 10 mg/kg BB
dosis tunggal. Cara pemberian prazikuantel adalah sebagai berikut :
1) Satu hari sebelum pemberian prazikuantel, pasien dianjurkan untuk
makan makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.

152
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Malam harinya setelah makan malam pasien menjalani puasa.


3) Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong pasien diberi
prazikuantel.
4) Dua sampai 2 1/2 jam kemudian diberikan garam Inggris (MgSO4), 30
gram untuk dewasa dan 15 g atau 7,5 g untuk anak anak, sesuai dengan
umur yang dilarutkan dalam sirop (pemberian sekaligus).
5) Pasien tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama. Setelah
buang air besar pasien diberi makan bubur.
6) Feses harus dikumpulkan dalam 24 jam kemudian dikirim ke
laboratorium untuk identifikasi adanya skoleks. Keberhasilan
pengobatan didasarkan atas ditemukannya skoleks.
g. KIE
1) Pencegahan
a) Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi.
b) Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar.
c) Tidak makan daging mentah atau setengah matang.
d) Buang air besar di jamban.
e) Memelihara ternak di kandang.
2) Alasan rujuk: Pasien neurosistiserkosis atau komplikasi sebaiknya
dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
TRIKURIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
:

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam feses.


e. Penatalaksanaan
1) Mebendazol 100 mg tiap 12 jam selama 3 hari berturut-turut atau dosis
tunggal 500 mg
2) Albendazol 400 mg 3 hari berturut-turut. Tidak boleh digunakan
selama kehamilan.
f.

KIE
Pencegahan trikuriasis sama dengan askariasis yaitu buang air besar di
jamban, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah (lalapan),
pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan seperti mencuci
tangan sebelum makan.

ICD X : B79

a. Definisi
Trikuriasis atau infeksi cacing cambuk adalah penyakit yang disebabkan
oleh cacing Trichuris trichiura.
b. Penyebab
Trichuris trichiura.
c. Gambaran Klinis
1) Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis.
2) Infeksi berat terutama pada anak memberikan gejala diare yang sering
diselingi dengan sindroma disentri. Gejala lainnya adalah anemia, berat
badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti.
d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

153

154
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

49. KEILOSIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 1505

50. KEJANG DEMAM


Kompetensi
: 4 dan 3A
Laporan Penyakit
:

ICD X : K09-K13

a. Definisi
Keilosis adalah radang dangkal pada sudut mulut yang menyebabkan sudut
mulut pecah-pecah.
b. Penyebab
Biasanya karena defisiensi riboflavin, asam pantotenat dan piridoksin.
Kelainan serupa dapat pula disebabkan oleh mikosis atau virus herpes.
c. Gambaran Klinis
Tampak fisur atau luka-luka berkerak di kedua sudut mulut yang terasa
perih bila terkena makanan pedas.
d. Diagnosis
Pecah-pecah pada sudut mulut.
e. Penatalaksanaan
1) Vitamin B-kompleks 1 tablet tiap 8 jam diberikan selama 1 minggu.
2) Dapat ditambahkan vitamin C 50 mg tiap 8 jam.
f.

KIE
Pencegahan: konsumsi buah secara teratur.

ICD X : R56.0

a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun.
Anak yang pernah pengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam.
b. Penyebab
Faktor risiko berulangnya kejang demam:
1) Riwayat kejang demam dalam keluarga
2) Usia <12 bulan
3) Temperatur yang rendah saat kejang
4) Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang demam paling besar pada tahun pertama.
c. Gambaran Klinis
Klasifikasi:
1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 10 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu
24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh
kejang demam.
2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a) Kejang lama, adalah kejang yang berlangsung >15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang,
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

155

156
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Kejang fokal, adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial.
c) Kejang berulang, adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 24 jam,
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada kasus kejang untuk anak <18 bulan dianjurkan untuk dilakukan
pungsi lumbal, dan anak <12 bulan harus dilakukan pungsi lumbal.
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
f.

Diagnosis banding
Bila anak berumur kurang dari 18 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam, perlu dirujuk untuk
pemeriksaan lebih lanjut.

g. Penatalaksanaan
1) Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
i.v. dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
2) Obat yang praktis dan dapat diberikan di rumah adalah diazepam per
rektal dosis 0,5-0,75 mg/kg; atau diazepam per rektal 5 mg (untuk anak
berat <10 kg atau umur < 3 tahun) dan 10 mg (untuk anak berat >10 kg
atau umur >3 tahun).
Bila kejang belum berhenti, diazepam per rektal dosis yang sama dapat
diulang dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2x pemberian diazepam per rektal masih tetap kejang,
pasien harus dirujuk ke RS.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

157

3) Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari


jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.
4) Pemberian obat saat demam:
a) Antipiretik (parasetamol, ibuprofen)
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali, dapat
diberikan 4x sehari, tidak lebih dari 5x. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, tiap 6-8 jam.
b) Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kg tiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg tiap 8 jam
pada suhu >38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital dan karbamazepin pada saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam.
5) Pemberian obat rumat:
a) Pemberian obat rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
(1) Kejang lama > 15 menit
(2) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus
(3) Kejang fokal
b) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
(1) Kejang berulang >2x dalam 24 jam
(2) Kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan
(3) Kejang demam > 4x per tahun
c) Pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas
kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Obat pilihan: asam valproat dosis 15-40 mg/kg/hari tiap 8-12 jam,
atau fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam tiap 12-24 jam.
h. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi/mencegah serangan.
2) Edukasi pada orang tua untuk mengurangi kecemasan:
a) Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya
prognosis baik

mempunyai

158
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3)

4)
5)

6)

b) Memberitahukan cara penanganan kejang


c) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d) Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tapi
perlu diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
a) Tetap tenang dan tidak panik.
b) Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c) Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lender di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam
mulut.
d) Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e) Tetap bersama pasien selama kejang.
f) Berikan diazepam per rektal. Jangan berikan bila kejang telah
berhenti.
Bawa ke Puskesmas atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih.
Vaksinasi: sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan
vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang
setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Dianjurkan untuk
memberi diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah
vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan
parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
Efek samping obat: diazepam dosis tinggi dapat menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Alasan rujuk: lihat penatalaksanaan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

159

51. KEPUTIHAN / FLUOR ALBUS (DUH TUBUH VAGINA)


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 26
ICD X : N89.8
a. Definisi
Keluarnya cairan yang berlebihan dari dalam vagina disertai dengan
gatal/rasa terbakar pada vulva. Dapat disebabkan oleh infeksi vagina
(kolpitis) yang lebih bersifat encer dan radang serviks (servisitis) yang
bersifat muko-purulen.
b. Penyebab
Kolpitis sering disebabkan oleh trikomoniasis, kandidiasis dan vaginosis
bakterial, sedangkan servisitis sering disebabkan oleh infeksi Neiserria
gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis.
c. Gambaran Klinis
1) Deteksi infeksi serviks berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, karena
sebagian besar wanita dengan gonore atau klamidiasis yang
menyebabkan infeksi serviks umumnya asimtomatik.
2) Wanita dengan faktor risiko (mempunyai lebih dari 1 mitra seksual atau
mitra seksual sedang mengidap IMS dan sanggama tidak menggunakan
kondom) cenderung memiliki risiko tinggi untuk terjadi infeksi serviks
bila dibandingkan dengan mereka yang tidak berisiko.
d. Diagnosis
1) Gejala duh tubuh (discharge) yang abnormal merupakan petunjuk kuat
infeksi vagina namun merupakan pertanda lemah untuk infeksi serviks.
Jadi semua wanita yang menunjukkan tanda-tanda duh tubuh vagina
(vaginal discharge) agar diobati juga untuk trikomoniasis dan bakterial
vaginosis sekaligus.
2) Wanita dengan cairan tubuh yang berlebihan disertai dengan faktor
risiko perlu dipertimbangkan untuk diobati sebagai servisitis yang
disebabkan gonore dan klamidiasis.
3) Pemeriksaan secara mikroskopik sangat membantu diagnosis untuk
infeksi serviks.

160
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
Pengobatan sindroma duh tubuh vagina karena servisitis sesuai dengan
pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
P2PL Kemenkes (Tabel 20 dan Tabel 21).
Tabel 20. Pengobatan Gonore Tanpa Komplikasi dan Klamidiasis
Pengobatan
Gonore
Tanpa Komplikasi

Pengobatan Klamidiasis

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan penyakit dan pemutusan rantai
penularan.
2) Efek samping metronidazol: mual dan lemas. Tetrasiklin dan
doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
3) Pencegahan: hindari kontak langsung.
4) Alasan rujuk: jika ditemukan keganasan.

Pilihlah salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Siprofloksasin*) 500 mg
per oral, dosis tunggal

Doksisiklin**100 mg per oral tiap 6 jam selama 7 hari

Pilihan pengobatan lain


Tetrasiklin**) 500 mg per oral tiap 6 jam, selama 7
hari, atau
Eritromisin 500 mg tiap 6 jam selama 7 hari (bila ada
kontra-indikasi tetrasiklin)

*) Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak usia <12 tahun
dan remaja
**)Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia < 12
tahun
Tabel 21. Pengobatan Sindroma Duh Tubuh Vagina karena Vaginitis
(pengobatan program)
Trikomoniasis

Bakterial Vaginosis
( bukan IMS )

Kandidosis Vagina
(bukan IMS)

Pilih salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Metronidazol, 2 g per
oral, dosis tunggal
Pilihan pengobatan lain

Metronidazol 400 atau 500


mg, 2 x sehari, selama 7 hari

Metronidazol 400 atau


500 mg per oral, 2 x
sehari, selama 7 hari

Metronidazol, 2 g per oral,


dosis tunggal

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Nistatin tab vagina100.000


UI, tiap hari, selama 14 hari

161

162
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

52. KERACUNAN MAKANAN DAN INSEKTISIDA


BOTULISMUS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3B
: 1903

KERACUNAN BONGKREK
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903
ICD X : A05.1

a. Definisi
Botulismus merupakan keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang
tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum. Keracunan ini ditandai
oleh kelainan neuromuskuler, jarang terjadi diare. Kematian sekitar 65%.
b. Penyebab
Makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum.
c. Gambaran Klinis
1) Inkubasi penyakit ini kira-kira 1836 jam, namun dapat beragam dari
beberapa jam sampai 3 hari.
2) Tanda awal adalah rasa lelah dan lemas, serta gangguan penglihatan.
3) Diare lebih sering tidak ada.
4) Gejala neurologi seperti disartria dan disfagia dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi.
5) Otot-otot tungkai, lengan dan badan lemah.
6) Sementara itu daya rasa (sensoris) tetap baik, dan suhu tidak
meningkat.
7) Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah poliomielitis,
miastenia gravis, dan ensefalitis virus.
d. Diagnosis
Pada anamnesis didapatkan riwayat konsumsi
Pemeriksaan fisik ditemukan defisit neurologi.

makanan

tertentu.

e. Penatalaksanaan
1) Tindakan penanggulangan: bila perlu, berikan pernapasan buatan. Jika
tidak muntah, usahakan untuk muntah. Jika perlu, lakukan bilas
lambung.
2) Bila terdapat tanda-tanda syok pasang infus glukosa 5% dan kalau
perlu lakukan pernapasan buatan.
3) Pengobatan spesifik, terutama bila timbul gejala dengan antitoksin.
4) Setelah penanganan kegawatan, pasien harus segera dirujuk ke rumah
sakit.
163
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ICD X : T62

a. Definisi
Racun bongkrek dihasilkan oleh Bacillus cocovenevans, yaitu kuman yang
tumbuh dari bongkrek yang diproses kurang baik. Pertumbuhan kuman ini
dapat dihambat oleh suasana asam (diolah dengan daun calincing).
b. Penyebab
Keracunan tempe bongkrek disebabkan oleh toksoflavin dan asam
bongkrek yang dihasilkan oleh Pseudomonas cocovenans yang dikenal juga
sebagai bakteri asam bongkrek. Toksin tersebut dihasilkan dalam media
yang mengandung ampas kelapa.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala timbul 46 jam setelah makan tempe bongkrek yaitu berupa
mual dan muntah.
2) Pasien mengeluh sakit perut, sakit kepala dan melihat ganda (diplopia).
3) Pasien lemah, gelisah dan berkeringat dingin kadang disertai gejala
syok.
4) Pada hari ke-3 sklera menguning, pembesaran hati dan urin keruh
dengan protein (+).
d. Diagnosis
Riwayat konsumsi tempe bongkrek.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien harus dirujuk ke rumah sakit, sementara itu bila pasien masih
sadar usahakan mengeluarkan sisa makanan.
2) Berikan norit 20 tablet (digerus dan diaduk dengan air dalam gelas)
sekaligus, dan ulangi 1 jam kemudian.
3) Kalau perlu atasi syok dengan infus glukosa 5% dan pernapasan
buatan.
4) Tidak ada antidotum spesifik.
5) Pasien dirangsang secara mekanis agar muntah. Bila tidak berhasil
lakukan bilas lambung di rumah sakit.
f.

KIE
Perhatikan warna tempe,bila jamur tidak tumbuh maka harus dibuang.

164
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KERACUNAN JENGKOL
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903

Beberapa jenis singkong mengandung cukup banyak sianida yang mungkin


menimbulkan keracunan. Tanpa analisa kandungan sianida tidak dapat
dipastikan singkong mana yang berbahaya bila dimakan kecuali dari
rasanya.

ICD X : T62

a. Definisi
Keracunan akibat terjadinya pengendapan kristal asam jengkol di saluran
kemih. Ciri orang yang rentan pengendapan kristal asam jengkol ini belum
dapat ditentukan.
b. Penyebab
Asam Jengkolat.
c. Gambaran Klinis
1) Bau khas jengkol tercium dari mulut dan urin pasien.
2) Timbul kolik ginjal seperti pada batu ginjal.
3) Pasien mengeluh nyeri sewaktu buang air kecil.
4) Urin pasien merah karena darah (hematuria). Secara mikroskopis,
selain eritrosit tampak kristal asam jengkol seperti jarum.
5) Dalam keadaan berat terdapat anuria dan mungkin pasien pingsan
karena menahan sakit.
d. Diagnosis
Hematuria, nyeri pada saat buang air kecil.
e. Penatalaksanaan
1) Keracunan ringan dapat diobati dengan minum banyak dan pemberian
Natrium bikarbonat 2 g per oral 4 x sehari sampai gejala hilang.
2) Pada keracunan berat dengan anuria pasien perlu dirujuk.
f.

KIE
Pencegahan: disarankan tidak mengkonsumsi makanan tersebut berlebihan.

KERACUNAN SINGKONG
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903

ICD X : T62

b. Penyebab
Singkong yang mengandung sianida (HCN).
c. Gambaran Klinis
1) Tanda keracunan timbul akut kira-kira setengah jam setelah makan
singkong beracun.
2) Gejala berawal dengan pusing dan muntah.
3) Dalam keadaan yang berat pasien sesak napas dan kesadaran menurun.
4) Bibir, kuku, kemudian muka dan kulit berwarna kebiruan (sianosis).
Sianosis perlu dibedakan dengan methaemoglobinemia yang timbul
karena keracunan sulfa, DDS, nitrat atau nitrit, yang memerlukan
pengobatan lain (metilen-biru).
d. Diagnosis
Berdasarkan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan riwayat makan
singkong.
e. Penatalaksanaan
1) Berikan Na-tiosulfat 25% 20 ml secara i.v. perlahan dan diulangi tiap
7-10 menit sampai gejala teratasi. Dosis total diberikan sampai pasien
bangun, jumlahnya bergantung pada beratnya gejala.
2) Berikan oksigen dan pernapasan buatan bila terdapat depresi napas.
3) Pasien perlu diobservasi 24 jam dan dikirim ke rumah sakit bila
keracunannya berat.
f.

KIE
Kenali tanda-tanda singkong beracun: rasa pahit. Bila memberikan
singkong pada anak-anak, orang tua harus memeriksa dulu. Bila ada kasus
keracunan pada salah satu anggota keluarga, periksakan juga anggota
keluarga lainnya.

a. Definisi
Keracunan singkong adalah keadaan sakit yang timbul setelah makan
singkong yang ditandai oleh kesadaran yang menurun dan sianosis.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

165

166
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KERACUNAN INSEKTISIDA
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan
sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia
adalah golongan organofosfat dan organoklorin. Golongan karbamat efeknya
mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan kasus keracunan.
Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng
fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan
golongan ini jarang terjadi. Penatalaksanaannya dapat dilihat dalam Pedoman
Pengobatan Keracunan Pestisida yang diterbitkan oleh Bagian Farmakologi
FKUI.
KERACUNAN GOLONGAN ORGANOFOSFAT
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1902

ICD X : T60

a. Definisi
Keracunan organofosfat adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya zat
golongan organofosfat. Golongan organofosfat bekerja selektif, tidak
persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga.
Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim
kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa.
b. Penyebab
Keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin
yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus menerus saraf
muskarinik dan nikotinik.
c. Gambaran Klinis
Gejala klinis keracunan pestisida golongan organofosfat pada:
1) Mata: pupil mengecil dan penglihatan kabur.
2) Pengeluaran cairan tubuh: pengeluaran keringat meningkat, lakrimasi,
salviasi dan juga sekresi bronchial.
3) Saluran cerna: mual, muntah, diare dan sakit perut.
4) Saluran napas: batuk, bersin, dispnea dan dada sesak.
5) Kardiovaskular: bradikardia dan hipotensi.
6) Sistem saraf pusat: sakit kepala, bingung, berbicara tidak jelas, ataksia,
demam, konvulsi dan koma.
7) Otot-otot: lemah, fasikulasi dan kram.
8) Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain edema paru, pernapasan
berhenti, blockade atrioventrikuler dan konvulsi.
167
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Pada anamnesis ditemukan riwayat tertelan insektisida golongan
organofosfat, baik disengaja (pasien depresi berat dan mencoba bunuh diri)
atau tidak disengaja (kecelakaan).
e. Penatalaksanaan
Keracunan akut :
1) Tindakan gawat darurat:
a) Jaga jalan napas dengan tindakan resusitasi.
b) Pantau tanda-tanda vital.
c) Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri oksigen.
d) Berikan atropin sulfat 2 mg i.v., ulangi tiap 38 menit sampai
gejala keracunan parasimpatik terkendali.
e) Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropin sulfat, kulit dan
selaput lendir yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan air
dan sabun.
f) Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung dengan air.
2) Tindakan umum:
a) Sekresi paru disedot dengan kateter.
b) Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan barbital,
golongan fenotiazin dan obat-obat yang menekan pernapasan.
f.

KIE
Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase menurun,
maka perlu dihindari kontak lebih lanjut sampai kadar kolinesterase
kembali normal.
Pencegahan: konsultasi dengan psikiater pada pasien depresi. Keluarga
perlu berhati-hati dalam penyimpanan bahan-bahan pestisida atau
insektisida.

KERACUNAN ORGANOKLORIN
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1902

ICD X : T60

a. Definisi
Keracunan organoklorin adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya
bahan yang mengandung pestisida golongan organoklorin. Pestisida
golongan organoklorin pada umumnya merupakan racun perut dan racun

168
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

kontak yang efektif terhadap larva, serangga dewasa dan kadang-kadang


juga terhadap kepompong dan telurnya. Penggunaan pestisida golongan
organoklorin makin berkurang karena pada penggunaan dalam waktu lama
residunya persisten dalam tanah, tubuh hewan dan jaringan tanaman.

a) Untuk mengatasi konvulsi, berikan diazepam 10 mg secara i.v


perlahan. Jika belum menunjukkan hasil berikan obat yang
memblokade neuromuskuler.
b) Atasi hiperaktivitas dan tremor, berikan Natrium fenobarbital 100
mg s.k tiap jam sampai mencapai jumlah 0,5 g atau sampai
konvulsi terkendali.
c) Jangan diberi obat stimulan terutama epinefrin, karena dapat
menimbulkan fibrilasi ventrikuler.

b. Penyebab
Pestisida golongan organoklorin.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama muntah,
tremor dan konvulsi.
2) Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g DDT akan
menyebabkan muntah-muntah berat setelah 0,51 jam, selain
kelemahan dan mati rasa pada anggota badan yang terjadi secara
bertahap, rasa takut, tegang dan diare juga dapat terjadi.
3) Dengan 20 g DDT dalam waktu 812 jam kelopak mata akan bergerakgerak disetai tremor otot mulai dari kepal dan leher, selanjutnya
konvulsi klonik kaki dan tangan seperti gejala keracunan pada
strichnin. Nadi normal, pernapasan mula-mula cepat kemudian
perlahan.
d. Diagnosis
Riwayat kontak dengan insektisida golongan organoklorin.
e. Penatalaksanaan
Penanggulangan keracunan pestisida golongan keracunan organoklorin
pada umumnya:
1) Tindakan gawat darurat:
a) Pantau tanda-tanda vital.
b) Berikan minum air sebanyak-banyaknya sampai muntah.
c) Berikan karbon aktif sebanyak 20 tablet yang digerus dan dicampur
dengan air,
d) Bilas lambung dengan air 24 L. Kemudian berikan obat pencuci
perut.
e) Pembersihan usus, juga dapat dilakukan dengan 200 mL larutan
manitol 20 % dengan melalui pipa naso gastrik (NGT),
f) Jangan diberi lemak atau minyak.
g) Jika kulit juga terkena, bersihkan dengan air dan sabun.

f.

KIE
Tindakan pencegahan :
1) Pestisida sebaiknya disimpan dalam tempat aslinya dengan etiket yang
jelas dan disimpan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak-anak,
serta jauh dari makanan dan minuman.
2) Pada waktu menggunakan pestisida, perlu diikuti dengan cermat dan
tepat, sesuai prosedur dan petunjuk lain yang telah ditentukan.
3) Hindari kontak atau menghisap pestisida.
4) Pada waktu bekerja dengan pestisida, sebaiknya tidak sambil makan,
minum atau merokok.
5) Tempat atau wadah pestisida yang telah kosong, sebaiknya dibuang
atau dimusnahkan, demikian juga pestisida yang tidak berlabel atau
etiketnya sudah rusak, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti.
6) Tergantung pada tingkat toksisitasnya, jika bekerja yang berhubungan
dengan pestisida, sebaiknya tidak lebih dari 45 jam.

2) Tindakan umum:

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

169

170
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

53. KERATITIS (ULKUS KORNEA)


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 1004

54. KOLERA
Kompetensi
Laporan Penyakit

ICD X : H16

a. Definisi
Keratitis (Ulkus Kornea) adalah suatu keadaan infeksi pada kornea yang
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus dan faktor imunologis.
Pada umumnya didahului oleh keadaan trauma pada kornea, penggunaan
lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan dan mata
merah.
2) Rasa nyeri dan mengganjal pada mata.
3) Didapatkan lesi putih di kornea.
4) Fotofobia
5) Mata berair, keluarnya sekret
d. Diagnosis
Penurunan visus, lesi pada kornea, palpebra spasme, epifora dan sekret.
e. Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal, berikan kloramfenikol tetes mata tiap 4 jam, sekurangkurangnya selama 3 hari.
Segera rujuk ke spesialis mata tanpa dilakukan pemasangan verban.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi infeksi sesuai dengan penyebab dan
mencegah kebutaan yang lebih berat.
2) Perhatian:
a) Jangan diberikan obat yang mengandung kortikosteroid topikal.
b) Jangan mencuci mata dengan air sirih
c) Hentikan penggunaan lensa kontak.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ICD X : A00

a. Definisi
Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae.
Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan
lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi.
b. Penyebab
Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus
melepaskan sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan
mineral. Karena bakteri sensitif terhadap asam lambung, maka pasien
kekurangan asam lambung cenderung menderita penyakit ini.

b. Penyebab
1) Infeksi
2) Non Infeksi.

f.

: 4
: 0101

171

c. Gambaran Klinis
1) Gejala dimulai dalam 13 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi
mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa
berakibat fatal. Beberapa orang pasien yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala.
2) Penyakit biasanya dimulai dengan diare akut encer seperti air cucian
beras yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit disertai mual
muntah-muntah.
3) Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1
liter dalam 1 jam. Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan
menyebabkan dehidrasi disertai rasa haus yang hebat, kram otot, lemah
dan penurunan produksi air kemih.
4) Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata
menjadi cekung dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput.
5) Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan peningkatan
konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan koma.
6) Gejala biasanya menghilang dalam 36 hari. Kebanyakan pasien akan
terbebas dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa
diantara pasien menjadi pembawa dari bakteri ini.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
2) Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apusan
rektum (rektal swab) atau contoh feses segar.

172
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Yang sangat penting adalah segera mengganti kehilangan cairan, garam
dan mineral dari tubuh, dengan menilai derajat dehidrasi, dengan
pemberian oralit sebanyak perkiraan cairan diare yang keluar.
Pemberian cairan mengacu pada Bab Diare Akut Non Spesifik.
2) Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, cairan rehidrasi
diberikan melalui infus (cairan Ringer Laktat atau bila tidak tersedia
bisa menggunakan larutan NaCl 0,9%). Di daerah wabah, kadangkadang cairan diberikan melalui selang yang dimasukkan lewat hidung
menuju ke lambung.
3) Penggunaan antibiotik
a) Tetrasiklin, dewasa: 500 mg tiap 6 jam selama 3 hari.
b) Trimetoprim (TMP) Sulfamethoxazole (SMX):
Anak-anak: TMP 5 mg/kgBB dan SMX 25 mg/kgBB (tiap 12 jam
selama 3 hari)
Dewasa: TMP 160 mg dan SMX 800 mg (tiap 12 jam selama 3
hari).

3) Petugas wajib melaporkan kasus dugaan kolera kepada Dinas


Kesehatan setempat.

4) Bila dehidrasi sudah diatasi tujuan pengobatan selanjutnya adalah


menggantikan jumlah cairan yang hilang karena diare dan muntah.
Makanan padat bisa diberikan setelah muntah-muntah berhenti dan
nafsu makan sudah kembali.
5) Pengobatan awal dengan tetrasiklin atau antibiotik lainnya bisa
membunuh bakteri dan biasanya akan menghentikan diare dalam 48
jam.
6) Lebih dari 50% pasien kolera berat yang tidak diobati meninggal dunia.
Kurang dari 1% pasien yang mendapat penggantian cairan yang
adekuat, meninggal dunia.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman, mencegah komplikasi
dehidrasi dan mencegah penularan.
2) Pencegahan:
a) Penjernihan cadangan air dan pembuangan feses yang memenuhi
standar sangat penting dalam mencegah terjadinya kolera.
b) Usaha lainnya adalah meminum air yang sudah terlebih dahulu
dimasak dan menghindari sayuran mentah atau ikan dan kerang
yang dimasak tidak sampai matang.
173

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

174
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

55. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1005

f.
ICD X : H10

a. Definisi
Konjungtivitis bakterial sering dijumpai pada anak-anak, biasanya dapat
sembuh sendiri.

KIE
1) Tujuan pengobatan: menyembuhkan infeksi dan mencegah komplikasi.
2) Pembersihan sekret dengan kassa steril yang dibasahi dengan NaCl atau
air matang.
3) Cara pemakaian tetes mata: setelah diteteskan, tutup mata, tekan daerah
punctum lakrimal (kantus medial) di daerah nasal.

b. Penyebab
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh bakteri Staph. epidermidis, Staph.
aureus, Strep. pneumoniae dan H. influenza. Penyebaran infeksi melalui
kontak langsung dengan sekret air mata yang terinfeksi.
c. Gambaran Klinis
1) Mata terlihat merah.
2) Rasa mengganjal dan panas pada mata.
3) Sekret yang banyak, pada saat bangun tidur kelopak mata lengket dan
sulit dibuka.
4) Kelopak mata bengkak dan berkrusta. Pada keadaan awal sekret
berbentuk serosa (watery) menyerupai konjungtivitis virus, namun
dalam beberapa hari sekret menjadi mukopurulen, kadang disertai
dengan air mata berwarna merah (darah).
5) Injeksi konjungtiva dapat terlihat dengan jelas.
6) Pada pemeriksaan dengan membuka kelopak mata bawah dan
membalik kelopak mata atas, tampak selaput (membran) yang dapat
dilepaskan dengan menggunakan cottonbuds (sebelumnya diberikan
tetes mata anestesi topikal).
d. Diagnosis
Sekret mukopurulen.
e. Penatalaksanaan
1) Pemberian antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes mata dan salep
mata. Kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 4-6 jam. Salep mata
kloramfenikol dapat diberikan untuk mendapatkan konsentrasi yang
tinggi. Diberikan sebelum tidur agar tidak mengganggu aktivitas seharihari, karena pemberian salep mata dapat mengganggu penglihatan.
2) Antibiotik oral (amoksisilin) dapat diberikan bila radang meluas
(terutama pada pasien anak).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

175

176
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

56. KONJUNGTIVITIS VIRAL


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1005

4) Pemberian kortikosteriod topikal merupakan kontraindikasi.


5) Jika dalam 5-7 hari tidak ada perbaikan, rujuk ke dokter spesialis mata.
ICD X : B30

a. Definisi
Konjungitivitis Viral adalah peradangan pada konjungtiva yang biasanya
disebabkan oleh Adenovirus. Penyakit ini sangat tinggi tingkat
penyebarannya, melalui jalan napas atau sekresi air mata, baik secara
langsung maupun melalui bahan pengantar seperti handuk, sapu tangan
yang digunakan bersama.
b. Penyebab
Infeksi ini disebabkan Adenovirus.
c. Gambaran Klinis
1) Timbul secara akut
2) Mata merah dan berair, biasanya mengenai dua mata
3) Pada konjungtiva terlihat folikel dan sekret serosa (warna bening)
4) Pada kasus berat dapat terjadi subkonjungtiva, kemosis dan
pseudomembran
5) Bila terjadi keratitis, akan terlihat lesi putih di kornea berbentuk
pungtata di epitel atau sub-epitel, dalam keadaan berat dapat terjadi di
stroma kornea.
6) Dapat terjadi edema kelopak mata
7) Dapat disertai dengan demam, batuk pilek
8) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening preaurikuler
d. Diagnosis
Edema palpebra, konjungtiva merah, sekret serosa, tidak terjadi penurunan
visus.
e. Penatalaksanaan
1) Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri.
2) Dapat ditambahkan antibiotik topikal seperti kloramfenikol tetes mata
bila terdapat tanda infeksi sekunder, seperti sekret menjadi purulen.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: penyembuhan dan mencegah komplikasi.
2) Pasien harus istirahat, kurangi aktivitas membaca atau menonton tv.
3) Pencegahan: hindari kontak dengan penderita.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

177

178
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

57. KONJUNGTIVITIS VERNAL


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1004

4) Alasan rujukan: bila masih terjadi eksaserbasi akut, kornea telah


terkena atau lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan, segera rujuk ke
dokter spesialis mata.

ICD X : H10

a. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan pada konjungtiva yang disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas (atopi).
Keratokonjungtivitis vernal biasanya bersifat rekuren, bilateral dan terjadi
pada masa anak-anak yang tinggal di daerah kering dan hangat. Onset
terjadi pada usia > 5 tahun dan berkurang setelah masa pubertas. Pada
umumnya didapatkan riwayat atopi pada pasien atau keluarga.
b. Penyebab
Riwayat Alergi/Atopi.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala utama yang paling sering dikeluhkan adalah rasa gatal yang
diikuti dengan lakrimasi, fotopobia, mengganjal dan rasa terbakar.
2) Pada anak dijumpai frekuensi berkedip yang meningkat.
3) Pada pemeriksaan dapat terlihat papil di konjungtiva tarsal superior.
4) Dalam keadaan berat dapat dijumpai Giant Papillae atau Cobblestone
(bila kelopak mata atas dibalik, terlihat benjolan yang multipel).
5) Di daerah limbus, gambaran klinis yang terlihat adalah nodul berwarna
putih (trantas dot) dan bila kornea terkena dapat terjadi Shield
Ulceration (adanya ulkus di tengah kornea yang noninfeksius, karena
gesekan dari cobblestone).
d. Penatalaksanaan
1) Mast cell stabilizers seperti Natrium kromoglikat tetes mata 2% 1-2
tetes tiap 6-8 jam dapat diberikan untuk mencegah eksaserbasi akut.
2) Pemberian antihistamin oral dan steroid oral.
e. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan gejala dan mengurangi rekurensi.
2) Hindari faktor pencetus seperti debu, serbuk bunga, perubahan iklim
3) Jangan pernah memberikan kortikosteroid topikal untuk jangka
panjang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

179

180
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Bila pemeriksaan sekret telah negatif 3 hari berturut-turut, maka pasien


boleh dipulangkan dan pemberian salep mata diteruskan 3 kali sehari.
Seminggu kemudian bila pemeriksaan sekret masih negatif pengobatan
dihentikan (untuk infeksi gonore).

58. KONJUNGTIVITIS PURULENTA NEONATORUM


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1005
ICD X : A54.3
a. Definisi
Radang konjungtiva yang terjadi pada bayi yang baru lahir. Gejala muncul
beberapa jam sampai 28 hari pasca lahir. Biasanya terjadi pada partus
normal.
b. Penyebab
Bayi baru lahir tertular infeksi seperti gonore, klamidia oleh ibunya ketika
melewati jalan lahir.
c. Gejala Klinis
1) Kelopak mata bengkak dan konjungtiva hiperemia hebat.
2) Sekret mata purulen yang kadang bercampur darah.
3) Hasil pemeriksaan sekret atau kerokan konjungtiva dengan pewarnaan
Gram memperlihatkan banyak sekali sel polimorfonuklear. Kuman
N.gonorrhoeae khas tampak sebagai kokus gram negatif yang
berpasangan seperti biji kopi, tersebar di luar dan di dalam sel.

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan menghindari
komplikasi.
2) Kedua orang tua sebagai sumber infeksi juga harus diperiksa dan
diobati (lihat penatalaksanaan gonore).
3) Penyakit ini sangat menular, hati-hati untuk keluarga dan tenaga medis.
4) Tiap bayi baru lahir dengan metode partus normal, diberikan tetes mata
atau salep mata kloramfenikol sebagai pencegahan.
5) Alasan rujuk: jika dalam 24 jam sekret mukopurulen tidak berkurang.

d. Diagnosis
Pada anamnese didapatkan riwayat keputihan ibu pada saat hamil.
e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pemeriksaan gram pada sekret. Jika ditemukan gonore, pasien
harus dirawat di puskesmas perawatan dan dipisahkan dari pasien lain
untuk menghindari penularan. Jika non-gonore, dapat dipertimbangkan
untuk rawat jalan di puskesmas
2) Pengobatan harus segera diberikan dengan intensif karena gonore ini
dapat menyebabkan perforasi kornea yang berakhir dengan kebutaan.
3) Sekret harus dibersihkan tiap jam dengan kassa steril yang dibasahi
dengan NaCl. Kelopak mata dibuka saat dibersihkan untuk memastikan
sudah tidak ada sekret saat memberikan salep mata.
4) Kemudian diberi kloramfenikol salep mata tiap jam (untuk infeksi
gonore) atau oksitetrasiklin salep mata tiap 6 jam (untuk infeksi nongonore) sampai sekret yang mukopurulen tidak timbul lagi.
5) Secara sistemik diberikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB/hari i.m.
dosis tunggal selama 5 hari (untuk infeksi gonore).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

181

182
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

59. KUSTA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 0301

ICD X : A30

a. Definisi
Kusta atau lepra adalah suatu penyakit kulit menular menahun yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Serangan kuman yang
berbentuk batang ini biasanya pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir
hidung, otot, tulang dan buah zakar.

8) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam
waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga
dapat ditularkan melalui udara pernapasan dari pasien yang selaput
hidungnya terkena. Tidak semua orang yang berkontak dengan kuman
penyebab akan menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja yang
kemudian tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami.
9) Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun. Gejala awal
penyakit ini biasanya berupa kelainan kulit seperti panau yang disertai
hilangnya rasa raba pada kelainan kulit tersebut.

b. Penyebab
Kuman Mycobacterium leprae.

d. Diagnosis
Dari gejala klinik dan tes sensitivitas.

c. Gambaran Klinis
Tanda utama (Cardinal sign):
1) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang
mati rasa (makula anestesia).
2) Penebalan saraf tepi.
3) Gejala pada kulit, pasien kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol
kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar
berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga
timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.
4) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau
bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang saraf yang
nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering
hilang akibat serangan penyakit ini. Pasien merasa demam akibat reaksi
penyakit tersebut.
5) Gejala pada mata, ditandai dengan mata merah, kehilangan alis, adanya
sekret, dapat disertai dengan penurunan visus.
6) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk
leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada
tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung
banyak kuman.
7) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan
saraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular
karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk
leproma dan tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan
mudah berubah-ubah.

e. Penatalaksanaan
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di
lapangan:
1) PB ( Pauci Bacillery), lesi <5, tidak ditemukan basil
2) MB ( Multi Bacillary), lesi >5, ditemukan basil

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

183

Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDTStandar WHO)


1) Regimen MDT-Pausibasiler
a) Rifampisin
- Dewasa
: 600 mg/bulan, disupervisi
- Berat badan < 35 kg
: 450 mg/bulan
- Anak 10 14 tahun
: 450 mg/bulan (1215
mg/kgBB/hari)
Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama)
- Dewasa
: 600 mg/bulan
- Anak 10 14 tahun
: 450 mg/bulan
- Anak 5 9 tahun
: 300 mg/bulan
Dapson :
- Dewasa
: 100 mg/hari
- Anak 10 14 tahun
: 50 mg/hari
- Anak 5 9 tahun
: 25 mg/hari
Diberikan dalam jangka waktu 6 9 bulan.
b) Dapson
- Dewasa
: 100 mg/hari
- Berat badan < 35 kg
: 50 mg/hari

184
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Anak 10 14 tahun
: 50 mg/hari (12 mg/kgBB/hari)
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen dengan
jangka waktu maksimal 9 bulan.

2) Regimen MDT-Multibasiler
a) Rifampisin
- Dewasa
: 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 450 bulan (12 15 mg/kgBB/bulan)
Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama)
- Dewasa
: 600 mg/bulan
- Anak 1014 tahun : 450 mg/bulan
- Anak 59 tahun : 300 mg/bulan
Klofazimin :
- Dewasa
: 300 mg/bulan
- Anak 1014 tahun : 150 mg/bulan
- Anak 59 tahun : 100 mg/bulan
Dapson :
- Dewasa
: 100 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 50 mg/hari
- Anak 59 tahun : 25 mg/hari
Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 1218 bulan.
b) Klofazimin
- Dewasa
: 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 200 mg/bulan, disupervisi.
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari
c) Dapson
- Dewasa
: 100 mg/hari.
- Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
- Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(12 mg/hari/kgBB/hari)
- Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan
jangka waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai
apusan kulit menjadi negatif.
Bila sudah mengenai mata, dapat dilakukan pembersihan sekret disertai
pemberian kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 6 jam. Bila terjadi
penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

185

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk pengobatan dan memutuskan rantai
penularan.
2) Efek samping klofazimin: kulit berwarna coklat kemerahan dan akan
pulih pasca pengobatan.
3) Pencegahan: melaporkan kasus kusta yang ditemukan.
4) Bila ditemukan kasus reaksi kusta segera dirujuk.
5) Berikan motivasi bahwa penyakit kusta dapat sembuh total.
6) Perlu diberikan pemeriksaan pada seluruh anggota keluarga pasien
kusta.
7) Alasan rujukan: bila terjadi penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.

186
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

60. LEPTOSPIROSIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 100

ICD X : A27

a. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri
Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan
kematian.
b. Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira
yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae.
Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya
berbentuk seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung. Ukuran bakteri
ini 0,1 m x 0,6 m sampai 0,1 m x 20 m.
c. Cara Penularan
Kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah tercemar oleh air seni
hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh
manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau
makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospira.
d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari, biasanya ratarata 7-10 hari.
Manifestasi klinis dari Leptospirosis sangat bervariasi mulai dari gejala
infeksi subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan
yang berat dan berpotensi fatal (weills syndrome).
Terdapat dua sindroma manifestasi klinis:
1) Leptospirosis ringan/leptospirosis anikterik
Dari seluruh kasus Leptospirosis yang ada di masyarakat sebanyak 85
90% merupakan Leptospirosis anikterik. Sering terjadi salah diagnosa
karena menyerupai influenza, demam dengue atau penyakit demam
akut lainnya.
2) Leptospirosis berat/Leptospirosis ikterik
Diperkirakan sekitar 515 % merupakan kasus Leptospirosis berat
dimana perjalanan kliniknya sering progresif dan menyebabkan
gangguan multi organ, yaitu :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

187

a) Stadium Pertama
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; nyeri
kepala; menggigil; mialgia; mual, muntah dan anoreksia; nyeri
kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai
nyeri retro-orbital dan fotopobia; nyeri otot terutama di daerah betis
sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha, sklera ikterik
dan conjunctival suffusion atau mata merah dan pembesaran
kelenjar getah bening, limpa maupun hati; kelainan mata berupa
uveitis dan iridosiklitis. Gejala yang khas: konjungtivitis tanpa
disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata); rasa nyeri
pada otot-otot.
b) Stadium Kedua
Terbentuk antibodi di dalam tubuh pasien; gejala yang timbul lebih
bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama; apabila demam
dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi
meningitis; stadium ini terjadi biasanya antara minggu ke-2 dan ke4.
e. Diagnosis
Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
Leptospirosis yaitu:
1) Kasus Suspek
a) Demam akut (>38.50C) dengan atau tanpa sakit kepala hebat
disertai mialgia (pegal-pegal), malaise (lemah) dan/atau
Conjuctival suffusion,
b) Ada riwayat kontak dengan faktor risiko (hewan terinfeksi atau
lingkungan yang tercemar bakteri Leptospira) dalam 2 minggu
sebelumnya:
(1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/
urine tikus saat terjadi banjir.
(2) Kontak dengan sungai, danau dalam aktivitas mencuci, mandi
berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll.
(3) Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan
pekerjaan sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak
mengunakan alas kaki.
(4) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing
yang dinyatakan secara Laboratorium terinfeksi Leptospira.

188
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(5) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan


infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti
plasenta, cairan amnion, menangani ternak seperti memerah
susu, menolong hewan melahirkan dan lainnya.
(6) Memegang/menangani spesimen hewan/manusia yang diduga
terinfeksi Leptospirosis dalam laboratorium atau tempat
lainnya.
(7) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber
infeksi seperti: dokter hewan, dokter, perawat, pekerja di
pemotongan hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas
kebersihan di rumah sakit, pembersih selokan, pekerja
tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara,
pemburu.
(8) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobi dan
olah raga seperti: pendaki gunung, memancing, berenang,
arung jeram, trilomba juang (triathlon) dan lainnya.
2) Kasus Probable
Di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Kasus suspek disertai minimal dua dari gejala:
a) Nyeri betis (Calf tenderness)
b) Batuk dengan atau tanpa batuk darah
c) Ikterus (kulit kuning)
d) Manifestasi perdarahan (petekie, mimisan, gusi berdarah, melena,
hematoschezia)
e) Iritasi meningeal
f) Anuria/oligouria dan atau proteinuria
g) Sesak napas
h) Aritmia jantung
i) Ruam kulit
Penderita segera dirujuk ke Rumah Sakit
3) Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut ini
a) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
b) PCR positif
c) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya
kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal
d) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel
189

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Apabila tidak tersedia fasilitias laboratorium :


Hasil positif dengan menggunakan dua tes diagnostik cepat (RDT)
yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus confirm
f. Penatalaksanaan
1) Kasus suspek ( dapat ditangani di Unit Pelayanan Dasar):
a) Pilihan: Doksisiklin 2x100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada
anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
b) Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin):
Amoksisilin 3x500 mg/hari pada orang dewasa
atau 10-20 mg/kgBB tiap 8 jam pada anak selama 7 (tujuh) hari.
c) Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.
2) Kasus probable:
a) Seftriakson 1-2 gram i.v. per hari selama7 (tujuh) hari.
b) Penisilin Prokain 1,5 juta unit i.m. tiap 6 jam selama7 (tujuh) hari
c) Ampisilin 4 x 1 g i.v. per hari selama 7 (tujuh) hari
d) Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi: gagal ginjal,
perdarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral),
syok dan gangguan neurologi.
g. KIE
Infeksi Leptospirosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
lingkungan yang terkontaminasi urin rodent (tikus), binatang
karier/pembawa atau binatang sakit Leptospirosis.
1) Hindari kontak langsung dan tidak langsung dengan kencing binatang.
2) Hindari berenang atau berendam di sungai/danau yang potensial
terkontaminasi urin binatang dan gunakan alat pelindung saat bekerja
sehingga terhindar dari paparan air yang terkontaminasi.
3) Pada keadaan luka atau kulit lecet sebaiknya gunakan salep antiseptik
sebelum dan sesudah masuk ke air.
4) Pekerja yang berhubungan dengan kebersihan selokan, perkebunan,
pertanian dan peternakan sebaiknya menggunakan sarung tangan dan
sepatu boots.
5) Air tergenang berpotensi terkontaminasi kuman Leptospira dan dapat
menjadi sumber penularan Leptospirosis pada manusia.
6) Masyarakat yang tinggal di wilayah banjir dan mengalami demam dan
nyeri otot terutama di bagian betis sebaiknya diwaspadai kemungkinan
terinfeksi Leptospirosis.

190
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.


61. LUKA BAKAR
Kompetensi
: 4 dan 3A
Laporan Penyakit
: 1901

ICD X : S02,T02

a. Definisi
Luka Bakar adalah cedera pada jaringan tubuh akibat panas, bahan kimia
maupun arus listrik.

e. Penatalaksanaan
Sekitar 85% luka bakar bersifat ringan dan pasiennya tidak perlu dirawat di
rumah sakit. Untuk membantu menghentikan luka bakar dan mencegah
luka lebih lanjut, sebaiknya lepaskan semua pakaian pasien. Kulit segera
dibersihkan dari bahan kimia (termasuk asam, basa dan senyawa organik)
dengan mengguyurnya dengan air.
Luka Bakar Ringan
Jika memungkinkan, luka bakar ringan harus segera dicelupkan ke dalam
air dingin. Luka bakar kimia sebaiknya dicuci dengan air sebanyak dan
selama mungkin. Di tempat praktek dokter atau di ruang emergensi, luka
bakar dibersihkan secara hati-hati dengan sabun dan air untuk membuang
semua kotoran yang melekat. Jika kotoran sukar dibersihkan, daerah yang
terluka diberi obat bius dan digosok dengan sikat. Lepuhan yang telah
pecah biasanya dibuang. Jika daerah yang terluka telah benar-benar bersih,
maka dioleskan krim antibiotik (misalnya perak sulfadiazin).

b. Penyebab
Akibat panas, bahan kimia maupun arus listrik.
c. Gambaran Klinis
Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan yang terkena dan
kedalaman luka:
1) Luka bakar derajat I
Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang terbakar menjadi
merah, nyeri, sangat sensitif terhadap sentuhan dan lembab atau
membengkak. Jika ditekan, daerah yang terbakar akan memutih; belum
terbentuk lepuhan.
2) Luka bakar derajat II
Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Kulit melepuh, dasarnya
tampak merah atau keputihan dan terisi oleh cairan kental yang jernih.
Jika disentuh warnanya berubah menjadi putih dan terasa nyeri.
3) Luka bakar derajat III
Menyebabkan kerusakan yang paling dalam.
Permukaannya bisa berwarna putih dan lembut atau berwarna hitam,
hangus dan kasar. Kerusakan sel darah merah pada daerah yang
terbakar bisa menyebabkan luka bakar berwarna merah terang. Kadang
daerah yang terbakar melepuh dan rambut/bulu di tempat tersebut
mudah dicabut dari akarnya. Jika disentuh, tidak timbul rasa nyeri
karena ujung saraf pada kulit telah mengalami kerusakan. Jika jaringan
mengalami kerusakan akibat luka bakar, maka cairan akan merembes
dari pembuluh darah dan menyebabkan pembengkakan. Kehilangan
sejumlah besar cairan karena perembesan tersebut bisa menyebabkan
terjadinya syok. Tekanan darah sangat rendah sehingga darah yang
mengalir ke otak dan organ lainnya sangat sedikit.

Untuk melindungi luka dari kotoran dan luka lebih lanjut, biasanya
dipasang verban. Sangat penting untuk menjaga kebersihan di daerah yang
terluka, karena jika lapisan kulit paling atas (epidermis) mengalami
kerusakan maka bisa terjadi infeksi yang dengan mudah akan menyebar.
Jika diperlukan, untuk mencegah infeksi bisa diberikan antibiotik, Untuk
mengurangi pembengkakan, lengan atau tungkai yang mengalami luka
bakar biasanya diletakkan/digantung dalam posisi yang lebih tinggi dari
jantung. Pembidaian harus dilakukan pada persendian yang mengalami luka
bakar derajat II atau III, karena pergerakan bisa memperburuk keadaan
persendian. Mungkin perlu diberikan obat pereda nyeri selama beberapa
hari. Pemberian booster tetanus disesuaikan dengan status imunisasi pasien.
f.

KIE
Pasien langsung dirujuk jika:
1) Luka bakar yang sedang, berat atau membahayakan nyawa pasien
2) Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki.
3) Terkena arus listrik dan sambaran petir.
4) Pasien akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik
dan benar di rumah.

d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

191

192
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5) Pasien berumur < 2 tahun atau > 70 tahun.


6) Terjadi luka bakar pada organ dalam.

62. MALARIA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4 dan 3B
: 0503

ICD X : B54

a. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit
ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
b. Penyebab
Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu:
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan
Plasmodium malariae.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar 1-2 minggu.
2) Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam, menggigil,
berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual, muntah diare dan nyeri
otot atau pegal-pegal.
3) Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat): gangguan
kesadaran, keadaan umum yang lemah, kejangkejang, panas sangat
tinggi, perdarahan, warna air seni seperti teh tua dan gejala lainnya.
4) Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya malaria
dengan komplikasi (malaria berat)
d. Diagnosis
Diagnosis malaria dilakukan dengan pemeriksaan yaitu :
1) Pemeriksaan dengan mikroskop
Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria. Dilakukan
dengan menemukan parasit dalam pulasan darah yang diwarnai Giemsa
dan diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan mikroskop dilakukan
dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis.
2) Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja berdasarkan
deteksi antigen parasit malaria, yang bermanfaat digunakan pada unit
gawat darurat, saat kejadian luar biasa dan daerah terpencil yang tidak
terdapat fasilitas laboratorium. Pemeriksaan ini hanya digunakan pada
fasilitas kesehatan yang tidak ada pemeriksaan mikroskopis dan dalam
keadaan pasien dicurigai dengan malaria berat.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

193

194
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan
Obat malaria hanya diberikan setelah ada hasil pemeriksaan konfirmasi dan
harus tuntas.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi:
1) Malaria Falciparum (Tabel 22 dan Tabel 23)
a) Lini I: DihidroartemisininPiperakuin
atau
Artesunat+
Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari + primakuin hari I
Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632 mg/
kgbb/hari.
Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari
Ditambah dengan: Primakuin: 0,75 mg/kgbb/hari
(1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan bayi <1
tahun dan penderita G6PD
Tabel 22. Pengobatan Malaria Falciparum (1)
Jumlah tablet perhari menurut berat badan
Hari Jenis
obat

1-3
1

DHP
Prima
kuin

<5 kg 6-10
kg
0 -1 2 -11
bulan bulan

11- 17
kg
1-4
tahun

18-30
kg
5-9
Tahu
n

31-40
kg
10 -14
tahun

41-59
kg
> 15
tahun

1/4

1/2

3/4

> 60 kg
> 15
tahun

4
3

b) Lini II: Kina+Tetrasiklin/ Doksisiklin selama 7 hari + Primakuin


hari I
Kina
: 10 mg/kgbb/kali (tiap 8 jam) selama 7 hari
Doksisiklin : 3,5 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam ( > 15 tahun)
Doksisiklin : 2,2 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam (8-14 tahun)
Tetrasiklin : 45 mg/kgbb/kali (tiap 6 jam) selama 7 hari
Primakuin : 0,75 mg/kgbb/hari
(1) Doksisiklin/Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan
umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil
(2) Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan bayi < 1
tahun dan penderita G6PD.
(3) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan di hari ke 414 gejala klinis semakin memburuk atau jumlah parasit
menetap/semakin banyak
2) Malaria vivax (Tabel 24 dan 25)
a) Lini I :
DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+Amodiakuin dosis
tunggal selama 3 hari + primakuin selama 14 hari
Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632
mg/kgbb/hari
Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari
Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14 hari
(1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan bayi <1
tahun dan penderita G6PD.

Tabel 23. Pengobatan Malaria Falciparum (2)

Tabel 24. Pengobatan Malaria Vivax (1)

Jumlah tablet perhari menurut berat badan


Hari Jenis obat

1-3

<5kg
0 -1
bulan

6-10
kg
2 -11
bulan

11-17
kg
1-4
tahun

Artesunat

1 2

Amodia
kuin

1 2

3/4

1 2

Primakuin -

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

18-30
kg
5-9
tahun

31-40
kg
10-14
tahun

41-49
kg
> 15
tahun
3
3

50-59
kg
> 15
tahun
4
4
2

>60
kg
> 15
tahun
4

Hari Jenis
obat
1-3

DHP

1-14 Primakuin

Jumlah tablet perhari menurut berat badan


<5 kg 6-10
11- 17 18-30 31-40 41-59 > 60
kg
kg
kg
kg
kg
kg
0 -1
Bulan
1/4
-

2 -11
Bulan
1/2
-

1-4
5 - 9 10 -14
Tahun tahun Tahun
1
1
2
1/4

1/2

3/4

> 15
Tahun
3
1

> 15
Tahun
4
1

195

196
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Tabel 25. Pengobatan Malaria Vivax (2)

Artesunat

Jumlah tablet perhari menurut berat badan


<5kg
Hari Jenis obat

Artesunat

1-3

6-10kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg41-49 kg50-59 kg 60 kg

0 -1
2 -11 1 - 4
Bulan Bulan Tahun

5-9
tahun

10 -14
Tahun

> 15 > 15
Tahun Tahun

> 15
Tahun

Amodiakuin

1/2

1-14

P vivax
Primakuin

b) Lini II :
Kina (3x sehari) selama 7 hari + Primakuin selama 14 hari
Kina: 10 mg/kgbb/kali (3x sehari) selama 7 hari
Primakuin
: 0,25 mg/kgbb/hari
(1) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan di hari ke 428 gejala klinis semakin memburuk atau jumlah parasit
menetap/semakin banyak.
3) Malaria mix (malaria falciparum+ malaria vivax) (Tabel 24)
Pengobatan diberikan:
DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+Amodiakuin dosis
tunggal selama 3 hari+primakuin selama 14 hari
Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan
Piperakuin: 1632
mg/kgbb/ hari, Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari
Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14 hari.
Tabel 26. Pengobatan Malaria Mix
Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5 kg
Hari Jenis obat

0 -1
Bulan

6-10
kg

11- 17 18-30
kg
kg

2 -11 1 4
Bulan Tahun

5-9
tahun

31-40
kg

41-59
kg

> 60
kg

10 -14
Tahun

> 15
Tahun

> 15
Tahun

1-3 DHP

1/4

1/2

1,5

1-14 Primakuin

1/4

1/2

3/4

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Amodiakuin

Primakuin

4) Malaria dalam kehamilan


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan
pengobatan pada orang dewasa lainnya, perbedaan adalah pada
pemberian obat malaria berdasarkan umur kehamilan. Pada ibu hamil
tidak diberikan Primakuin.

1-3

1-14

197

Tabel 27. Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil


Umur Kehamilan
Pengobatan
Trimester I (0-3 bulan)
Kina tablet selama 7 hari
Trimester II (4-6 bulan)
ACT tablet selama 3 hari
Trimester III (7-9 bulan)
ACT tablet selama 3 hari
f.

KIE
1) Tujuan Pengobatan adalah membunuh semua parasit malaria yang ada
didalam tubuh manusia dan memutus rantai penularan.
2) Efek samping pengobatan:
a) Amodiakuin: mual, muntah, sakit kepala, diare.
b) Kina: tinnitus, gangguan pendengaran,vertigo, hipotensi,
hipoglikemia.
3) Pencegahan:
a) Menghindari gigitan nyamuk dengan penggunaan kelambu
berinsektisida, repellent, baju lengan panjang dan celana panjang.
b) Membersihkan tempat perindukan nyamuk.
c) Pengobatan harus diberikan sampai tuntas.
d) Alasan rujuk: malaria dengan komplikasi.

Lihat Buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria oleh Subdit Malaria,


Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL.

198
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

63. MIGREN
Kompetensi
Laporan Penyakit

d) Obat profilaksis (keadaan tertentu): propanolol 10 mg tiap 8-12 jam


atau asam valproat 500 mg tiap 12 jam.
: 3A
: 21

f.

ICD X : N13

a. Definisi
Serangan nyeri kepala sesisi yang berulang, beragam beratnya, lamanya
dan kekerapannya mungkin merupakan serangan migren. Migren klasik
diawali selama + 60 menit.
b. Penyebab
Vasodilatasi pembuluh darah di otak.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan serangan.
2) Pencegahan: hindari faktor pencetus seperti makanan tertentu (coklat,
MSG), ketegangan emosi dan kelelahan fisik. Hal-hal itu harus
diidentifikasi.
3) Alasan rujukan: pada kasus migren dengan aura, migren komplikata
yang memerlukan terapi profilaksis, migren dengan intensitas dan
frekuensi tinggi.
4) Efek samping pengobatan: palpitasi.

c. Gambaran Klinis
1) Nyeri kepala khas berdenyut, unilateral dan bertambah berat setelah
aktivitas fisik.
2) Frekuensi lebih dari 5 kali serangan per hari dengan durasi masingmasing 4-72 jam.
3) Pasien mengeluh mual sampai muntah dan terdapat anoreksia,
fotofobia atau fenofobia.
4) Migren dengan aura mempunyai gejala tambahan:
a) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral.
b) Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual 5 menit
dan/atau jenis aura yang lainnya 5 menit.
c) Tiap gejala berlangsung 5 menit dan 60 menit.
d. Diagnosis
1) Migren tanpa aura
2) Migren dengan aura
3) Status migrenosus
e. Penatalaksanaan
1) Hindari faktor pencetus
2) Terapi serangan akut (abortif)
3) Serangan diatasi dengan:
a) Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein, dosis
disesuaikan kondisi penyakit.
b) Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen 400 mg
c) Obat penunjang: metoklopramid tablet
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

199

200
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

64. MORBILI (Campak)


Kompetensi
: 4 dan 3A
Laporan Penyakit
: 0402

d. Diagnosis
Bercak kemerahan terutama pada bagian atas badan.
ICD X : B05

a. Definisi
Morbili ialah penyakit infeksi virus akut yang bermanifestasi dalam 3
stadium yaitu stadium kataral, erupsi dan konvalens.
b. Penyebab
Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili. Pada
awalnya, gejala campak agak sulit dideteksi.
c. Gambaran Klinis
Secara garis besar penyakit campak dibagi menjadi 3 fase:
1) Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 1012
hari. Pada fase ini anak sudah mulai terkena infeksi tapi pada dirinya
belum tampak gejala apapun. Bercak-bercak merah yang merupakan
ciri khas campak belum keluar.
2) Pada fase kedua (fase prodormal) barulah timbul gejala yang mirip
penyakit flu seperti batuk, pilek dan demam. Mata tampak kemerahmerahan dan berair. Bila melihat sesuatu, mata akan silau (fotofobia).
Di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan
34 hari. Terkadang anak juga mengalami diare. 12 hari kemudian
timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 3840,5oC.
3) Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring dengan
demam tinggi yang terjadi. Namun bercak tak langsung muncul di
seluruh tubuh melainkan bertahap dan merambat. Bermula dari
belakang telinga, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Warnanya pun
khas; merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak
terlalu kecil.
Bercak-bercak merah ini dalam bahasa kedokterannya disebut
makulopapuler. Biasanya bercak memenuhi seluruh tubuh dalam waktu
sekitar 1 minggu, tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing
anak. Umumnya jika bercak merahnya sudah keluar, demam akan turun
dengan sendirinya. Bercak merah pun makin lama menjadi kehitaman
dan bersisik (hiperpigmentasi), lalu rontok atau sembuh dengan
sendirinya. Periode ini merupakan masa penyembuhan yang butuh
waktu sampai 2 minggu.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

201

e. Penatalaksanaan
Penanganan yang benar
1) Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau
campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus dirawat di
rumah sakit.
2) Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak menularkan
penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada bayi di rumah yang
belum mendapat imunisasi campak.
3) Beri pasien asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah dicerna
karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain seperti radang
tenggorokan, flu atau lainnya. Masa rentan ini masih berlangsung 1
bulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh pasien yang masih
lemah.
4) Pengobatan secara simtomatik sesuai dengan gejala yang ada.
5) Pemberian fortivikasi vitamin A 50.000 UI untuk anak <6 bulan,
100.000 UI untuk anak 6-11 bulan, 200.000 UI untuk anak 12 bulan 5
tahun, untuk mempercepat proses penyembuhan. Untuk pasien dengan
gizi buruk diberikan vitamin A 3x.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: pemberian Imunisasi morbili (campak).
3) Alasan rujuk: campak dengan komplikasi.

202
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

65. OTITIS MEDIA AKUT (OMA)


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 1101

Anak yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang, demam


berkurang.
Pada pemeriksaan otoskopik tampak cairan di liang telinga yang
berasal dari telinga tengah. Membran timpani perforasi.
5) Stadium resolusi
Pemeriksaan otoskopik, tidak ada sekret/kering dan membran timpani
berangsur menutup.

ICD X : H65-H66; H72

a. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah radang akut telinga tengah yang terjadi
terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas bagian atas.
b. Penyebab
Kuman penyebab OMA adalah bakteri pirogenik seperti: Streptococcus
hemolitikus, Pneumococcus atau Haemophylus influenza.
c. Gambaran Klinik
1) Keluhan dan gejala yang timbul tergantung dari stadium OMA yaitu:
a) Stadium oklusi tuba
b) Stadium hiperemis
c) Stadium supurasi
d) Stadium perforasi
e) Stadium resolusi
2) Gejala OMA adalah:
a) Anak gelisah atau ketika sedang tidur tiba-tiba terbangun, menjerit
sambil memegang telinganya.
b) Demam dengan suhu tubuh yang tinggi dan kadang-kadang sampai
kejang.
c) Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare.
d. Diagnosis
Tanda OMA adalah:
1) OMA Stadium oklusi tuba
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram, refleks cahaya
memendek dan menghilang.
2) OMA Stadium hiperemis
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis dan edem
serta refleks cahaya menghilang.
3) OMA Stadium supurasi
Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat.
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani menonjol keluar
(bulging) dan ada bagian yang berwarna pucat kekuningan.
4) OMA Stadium perforasi
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

203

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan
stadiumnya.
1) Stadium oklusi tuba
a) Berikan antibiotik selama 7 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik.
2) Stadium hiperemis
a) Berikan antibiotik selama 1014 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya.
3) Stadium supurasi.
a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
Berikan antibiotik ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral
selama 3 hari. Bila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik peroral selama 14 hari.
b) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis
THT untuk dilakukan miringotomi.
4) Stadium perforasi
a) Berikan antibiotik selama 14 hari.
b) Cairan telinga dibersihkan dengan Solutio H2O2 3% 23 kali.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi

204
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pencegahan: Pada stadium supurasi dan perforasi, hindari berenang


atau masuknya air ke dalam hidung dan telinga.
3) Alasan rujuk: bila tidak ada perbaikan, ada komplikasi, atau diperlukan
miringotomi rujuk ke dokter spesialis THT.

66. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK)


Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 1101
ICD X : H65-H66; H72
a. Definisi
Istilah sehari-hari untuk OMSK dikenal sebagai congek. Dalam
perjalanan penyakit ini dapat berasal dari OMA stadium perforasi yang
berlanjut, sekret tetap keluar dari telinga tengah dalam bentuk encer, bening
ataupun mukopurulen. Proses hilang timbul atau terus menerus lebih dari 2
bulan berturut-turut. Tetap terjadi perforasi pada membran timpani.
1) Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah :
a) pengobatan terlambat diberikan dan tidak adekuat
b) virulensi kuman tinggi
c) daya tahan tubuh/gizi/higiene kurang
2) OMSK dibagi menjadi 2 tipe :
a) OMSK tipe benigna/mukosa/aman
b) OMSK tipe maligna/tulang/bahaya
Otitis Media sendiri adalah suatu infeksi yang mengenai telinga bagian
tengah (lihat gambar penampang telinga). Infeksi ini disertai dengan
pengeluaran cairan (dapat bening atau keruh) dari liang telinga sehingga
disebut supuratif.
Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap
selama 2 bulan atau lebih.
Apabila terjadi kekambuhan setelah sebelumnya terjadi penyembuhan
maka disebut mengalami eksaserbasi akut (Acute exacerbation).
Pada pemeriksaan telinga didapatkan adanya gendang telinga yang keruh
atau robek. Kelainan ini dapat terjadi pada 1 telinga atau dapat mengenai 2
telinga.
b. Penyebab
Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%),
Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidis (10,3%),
gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%).
c. Gambaran klinik
Umumnya pasien mendapat infeksi telinga setelah menderita infeksi
saluran napas atas seperti influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

205

206
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

yang menghubungkan antara hidung dan telinga (tuba Auditorius), infeksi


di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai
telinga.
d. Diagnosis
1) MSK tipe benigna/aman
Proses peradangan hanya terbatas pada mukosa. Perforasi membran
timpani terletak di sentral, jarang menimbulkan komplikasi berbahaya.
2) OMSK tipe maligna/bahaya
Proses peradangan mengenai tulang, perforasi membran timpani
terletak di attic atau marginal dan tampak kolesteatoma.
Tanda klinis lainnya:
a) terlihat adanya abses/fistula retroaurikuler, polip atau jaringan
granulasi di liang telinga yang berasal dari telinga tengah.
b) terdapat sekret purulen berbau busuk yang khas
OMSK tipe bahaya dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi
intrakranial.

1) Tujuan pengobatan: eradikasi penyakit, dan mencegah komplikasi.


2) Pencegahan: hindari masuknya air ke dalam telinga.
3) Alasan rujukan ke dokter spesialis THT:
a) apabila telinga terus berair selama pengobatan
b) terdapat abses retroaurikuler dilalukan insisi dahulu dan segera
rujuk.

e. Penatalaksanaan
1) OMSK tipe benigna/aman
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali
b) Antibiotik selama 7 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam
atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam
c) Antihistamin apabila ada tanda-tanda alergi
d) Nasehatkan agar tidak berenang dan tidak mengorek telinga
e) Bila selama 2 bulan tidak kering atau hilang timbul, rujuk ke dokter
spesialis THT.
2) OMSK tipe maligna / bahaya
Apabila belum memungkinkan dirujuk ke spesialis THT, dilakukan
terapi sebagai berikut:
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali
b) Antibiotik selama 14 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam
atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam.
f.

KIE

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

207

208
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

67. PAROTITIS EPIDEMIKA


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 04

obat kumur yang baik untuk membersihkan selaput lendir mulut.


Usahakanlah minum yang banyak dan mengunyah permen karet.
ICD X : B26
f.

a. Definisi
Gondongan (Parotitis Epidemika) adalah penyakit infeksi akut dan menular
yang disebabkan virus. Virus menyerang kelenjar air liur di mulut, terutama
kelenjar parotis pada sisi muka tepat di bawah dan di depan telinga.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: pencegahan dan penyembuhan penyakit.
2) Pencegahan: hindari kontak langsung dengan pasien, melakukan
vaksinasi.

b. Penyebab
Virus Mumps.
c. Gambaran Klinis
1) Penyakit ini paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun. Gejalanya, nyeri
sewaktu mengunyah dan menelan, apalagi bila menelan cairan asam
seperti cuka dan air jeruk.
2) Pembengkakan nyeri terjadi pada sisi muka dan di bawah telinga.
Kelenjar-kelenjar di bawah dagu juga akan lebih besar dan
membengkak. Pasien juga merasa demam. Suhu tubuh dapat meningkat
hingga 39,5oC. Komplikasi mungkin terjadi pada anak laki-laki pada
umur belasan tahun, nyeri pada perut dan alat kelamin. Pada pasien
remaja perempuan, nyeri akan terasa juga di bagian payudara.
Komplikasi serius terjadi jika virus gondong menyerang otak dan
susunan saraf. Ini menyebabkan radang selaput otak dan jaringan
selaput otak.
3) Penularan melalui kontak langsung dengan pasien, seperti tersentuh
cairan muntah, air seni atau melalui udara ketika pasien bersin/batuk.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik.
e. Penatalaksanaan
1) Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan secara aktif dengan
pemberian vaksin parotitis atau secara pasif dengan pemberian gama
globulin.
2) Istirahat di tempat tidur hingga suhu tubuh normal kembali. Makanan
yang dikonsumsi adalah yang cair dan lunak. Bila perlu beri obat
penurun panas dan kompres pada bagian tubuh yang nyeri. Pakailah
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

209

210
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses


penuaan.
(a) Batuk kronik.
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan
yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
(b) Berdahak kronik.
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk.
(c) Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak
napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini
tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,
gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak (Tabel 28).

68. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Kompetensi
: 3A; 3B
Laporan Penyakit
: 1404
ICD X : J60-J65
a. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau
berbahaya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi.
b. Gambaran Klinis
1) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan.
2) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat.
3) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar
ruangan dan tempat kerja).
4) Sesak pada saat melakukan aktivitas.
5) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali
normal).
c. Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan
spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK
ringan, sedang dan berat).
1) Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:
a) Anamnesis:
(1) Ada faktor risiko:
(a) Usia (pertengahan)
(b) Riwayat pajanan, misal asap rokok, polusi udara/tempat
kerja.
(2) Gejala:
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan
respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

211

Tabel 28. Skala Sesak Napas berdasarkan Keterbatasan aktivitas


(ATS dyspnea index)
Skala sesak
1
2
3
4
5

Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas


Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Sesak timbul bila berjalan cepat atau berjalan mendaki
Berjalan lebih lambat dibanding orang sebaya, karena sesak
Harus berhenti untuk bernapas setelah berjalan 50 meter
Sesak napas saat memakai/melepaskan pakaian

b) Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang
dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
(1) Inspeksi
(a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
(b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup)
(c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot
bantu napas
(d) Pelebaran sela iga

212
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Perkusi
Hipersonor
(3) Auskultasi
(a) Fremitus melemah,
(b) Suara napas vesikuler melemah atau normal
(c) Ekspirasi memanjang
(d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
(e) Ronki
c) Pemeriksaan penunjang:
(1) Pemeriksaan penunjang pada diagnosis PPOK antara lain :
(a) Radiologi (foto toraks)
(b) Spirometri
(c) Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia
menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)
(d) Analisa gas darah
(e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan
antibiotik bila terjadi eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini
berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
(2) Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan:
(a) Paru hiperinflasi atau hiperlusen
(b) Diafragma mendatar
(c) Corakan bronkovaskuler meningkat
(d) Bulla
(e) Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau
yang lebih tua.
Catatan:
Untuk menegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan
kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB
Paru dan sindrom obstruktif pasca TB Paru. Penegakan diagnosis
PPOK secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit
tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan diagnosis dan
213

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan


Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005,
dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas kesehatan lainnya yang
memiliki spirometri.
2) Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2008 (Tabel
29).
Tabel 29. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 2008
Derajat
Derajat I :
PPOK
Ringan

Klinis
Sesak kadang-kadang tapi
tidak selalu, batuk kronik
dan berdahak

Derajat II :
PPOK
Sedang

Perburukan
dari
penyempitan jalan napas,
ada sesak napas terutama
pada saat exercise

Derajat III
PPOK
Berat

Perburukan penyempitan
jalan napas yang semakin
berat,
sesak
napas
bertambah,
kemampuan
exercise
berkurang,
berdampak pada kualitas
hidup
Penyempitan jalan napas
yang berat

Derajat
IV:
PPOK
Sangat
Berat

Keterangan:

VEP1
KVP

Faal Paru
VEP1/ KVP < 70
%.
VEP1

80%
prediksi
VEP1/KVP < 70 %
50% VEP1 <
80% prediksi

Keterangan
Pasien
belum
menyadari terdapatnya
kelainan fungsi paru
Pada
kondisi
ini
pasien datang berobat,
karena
eksaserbasi
atau
keluhan
pernapasan kronik

VEP1/KVP < 70 %
30% VEP1 <
50% prediksi

VEP1/ KVP < 70 %


VEP1 <
30%.
prediksi atau
VEP1
<
50%
prediksi
dengan
gagal napas kronik

Sering
disertai
komplikasi.
Pada
kondisi ini kualitas
hidup rendah dan
sering
disertai
eksaserbasi berat /
mengancam jiwa

= Volume Ekspirasi Paksa Detik 1


= Kapasitas Vital Paksa

d. Penatalaksanaan

214
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana


eksaserbasi, masing-masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya
(Lihat Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK).
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1) Pemberian obat obatan
a) Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi (MDI), kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik atau preparat tidak
tersedia/tidak terjangkau.
Bronkodilator diberikan secara rutin (bila gejala menetap) atau
hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
Ada tiga golongan bronkodilator yaitu Agonis -2 (salbutamol),
Antikolinergik
(ipratropium
bromide),
dan
Metilxantin
(aminofilin).
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis
bronkodilator mono
b) Anti inflamasi Steroid, pada:
PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid
PPOK dengan FEV1 <50% prediksi (stadium lIB dan III)
Eksaserbasi akut. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk
oral atau sistemik.
Pilihan utama: metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif.
c) Obat-obat tambahan lain
1) Mukolitik
(mukokinetik,
mukoregulator):
ambroksol,
karbosistein, gliserol iodida
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simtomatik bila terdapat dahak yang lengket dan
kental.
2) Antioksidan: N-asetil-sistein
3) Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
4) Antitusif: tidak rutin
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
5) Vaksinasi: influenza, pneumokokus
6) Antibiotik. Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk
pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi
disesuaikan dengan pola kuman setempat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

215

2) Pengobatan penunjang
a) Rehabilitasi: latihan fisik, latihan endurance, Chest physiotherapy
rehabilitasi psikososial
b) Edukasi
c) Berhenti merokok
d) Latihan fisik dan respirasi
e) Nutrisi: Overweight maupun underweight adalah masalah.
Penurunan BMI adalah faktor risiko tergantung pada mortalitas
pasien PPOK. Pasien yang mengalami kesulitan bernapas saat
makan disarankan makan dalam jumlah kecil tapi sering.
Sedangkan pada pasien yang kehilangan berat badan, dengan
memperbaiki keadaan nutrisi, dapat meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, diet rendah karbohidrat
3) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki
kualitas hidup. Tata laksana oksigen jangka panjang (>15 jam sehari),
yaitu pada pasien dengan exertional hypoxemia dan nocturnal
hypoxemia
4) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.
Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah
sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi
paru (masih dalam proses penelitian di negara maju).
6) Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi
influenza diberikan pada:
a) Pasien usia > 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat.
e. KIE
Indikasi rujuk atau rawat inap di rumah sakit:
1) Peningkatan intensitas gejala seperti sesak napas
2) PPOK berat sebelumnya
3) Onset dari tanda-tanda fisik baru seperti sianosis, edema peripheral

216
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4) Kegagalan respon dari eksaserbasi terhadap terapi awal.


5) Komorbiditas signifikan
6) Eksaserbasi sering
7) Aritmia yang baru timbul
8) Diagnosis tidak jelas
9) Usia tua
10) Perawatan rumah tidak adekuat

69. PERDARAHAN POST PARTUM


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1702

ICD X : O46

a. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 mL yang terjadi
setelah bayi lahir.
Perdarahan post partum dini yaitu perdarahan setelah bayi lahir dalam 24
jam pertama persalinan dan perdarahan post partum lanjut yaitu perdarahan
setelah 24 jam persalinan.
b. Penyebab
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan
lahir, retensio plasenta, sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah.
c. Gambaran Klinis
Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara akurat
karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pada pakaian atau kain
alas. Oleh karena itu bila terdapat perdarahan lebih banyak dari normal,
sudah dianjurkan untuk melakukan pengobatan sebagai perdarahan post
partum.
d. Diagnosis
Gejala, tanda dan diagnosis perdarahan post partum dapat dilihat pada
Tabel 30.
Tabel 30. Gejala, Tanda dan Diagnosis Perdarahan Post Partum
DIAGNOSIS
KERJA
Atonia
Uterus tidak berkontraksi dan Syok
lembek
Bekuan darah pada serviks atau uteri
Perdarahan segera setelah bayi posisi
terlentang
akan
lahir
menghambat aliran darah ke luar
GEJALA DAN TANDA

TANDA DAN GEJALA LAIN

Darah segar yang mengalir


segera setelah bayi lahir

Uterus kontraksi dan keras

Plasenta lengkap

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

217

Pucat
Lemah
Menggigil

Robekan
jalan lahir

218
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat traksi


menit
berlebihan
Perdarahan segera (P3)
Inversio uteri akibat tarikan
Uterus berkontraksi dan keras
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah)
tidak lengkap
Perdarahan segera (P3)

Uterus tidak teraba

Lumen vagina terisi masa

Tampak tali pusat (bila


plasenta belum lahir)

Sub-involusi uterus

Nyeri tekan perut bawah dan


pada uterus

Perdarahan

Lokhia mukopurulen dan


berbau

j)

Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan


dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
k) Antibiotik dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

Retensio
plasenta

Tertinggalnya
sebagian
Uterus
berkontraksi tapi plasenta atau ketuban
tinggi
fundus
tidak berkurang
Inversio uteri
Neurogenik
syok
Pucat
dan
limbung
Endometritis
atau
sisa
Anemia
fragmen plasenta (terinfeksi
Demam
atau tidak)
Late
post
partum
hemorrhage
Perdarahan post partum
sekunder

e. Pengelolaan
1) Pengelolaan Umum
a) Selalu siapkan tindakan gawat darurat
b) Tata laksana persalinan kala III secara aktif
c) Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila
dimungkinkan
d) Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran
nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu
e) Jika terdapat syok lakukan segera penanganan
f) Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan
g) Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk
menentukan penyebab perdarahan
h) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa
plasenta dapat dikeluarkan secara manual.
i) Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena
dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

219

2) Pengelolaan Khusus
a) Pada Puskesmas non PONED:
(1) Stabilisasi
(2) Segera rujuk ke Puskesmas PONED atau RS terdekat
b) Pada Puskesmas PONED: dikelola sesuai diagnosis kerja.

f. Diagnosis kerja
1) Atonia Uteri
Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi
lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta
terbuka lebar. Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan post
partum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan post partum
disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan post partum
disebabkan atonia uteri harus dimulai dengan mengenal ibu yang
memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri.
Kondisi ini mencakup:
a) Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi
normal seperti pada polihidramnion, kehamilan kembar atau
makrosomi
b) Persalinan lama
c) Persalinan terlalu cepat
d) Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
e) Infeksi intrapartum
f) Paritas tinggi.
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi yang berisiko ini,
maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya atonia uteri post partum. Meskipun demikian,
20% atonia uteri post partum dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor
risiko ini. Penting bagi semua penolong persalinan untuk
mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap
masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Jika tidak mempunyai kemampuan dan fasilitas, semua keadaan di atas
sebaiknya segera dirujuk ke dokter spesialis obstretik ginekologi
Rumah Sakit.

220
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah


melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:
a) Menyuntikkan Oksitosin
(1) Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
(2) Menyuntikkan Oksitosin 10 UI secara intramuskuler pada bagian
luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih
dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai
pembuluh darah.
b) Peregangan Tali Pusat Terkendali
(1) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 510 cm dari
vulva atau menggulung tali pusat.
(2) Meletakkan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah
uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat
menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 510 cm dari
vulva.
(3) Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke
arah dorso-kranial.
c) Mengeluarkan plasenta
(1) Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat
bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta
ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali
pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva.
(2) Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir,
pindahkan kembali klem hingga berjarak 510 cm dari vulva.
(3) Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut
selama 15 menit, suntikkan ulang oksitosin i.m. 10 UI .
(4) Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh.
(5) Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta
manual.
(6) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan
plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan
plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah
robeknya selaput ketuban.
d) Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

221

palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras).
e) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan.
(1) Kelengkapan plasenta dan ketuban.
(2) Kontraksi uterus.
(3) Perlukaan jalan lahir.
Jenis uterotonika dan cara pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Jenis Uterotonika Dan Cara Pemberiannya
JENIS
DAN
OKSITOSIN
ERGOMETRIN
CARA
Dosis dan cara i.v. : 20 UI dalam 1 L i.m.
atau
i.v.
pemberian
larutan garam
(lambat) : 0.2 mg
fisiologis dengan tetesan
cepat
i.m. : 10 UI
Dosis lanjutan
i.m. : 20 UI dalam 1 L Ulangi 0.2 mg i.m.
larutan garam fisiologis setelah 15 menit
dengan 40 tetes/menit
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5
per hari
larutan dengan Oksitosin dosis
Kontra Indikasi
Pemberian i.v. secara Preeklampsia,
cepat atau bolus
vitium
cordis,
hipertensi
2) Perlukaan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir terdiri dari:
a) Robekan perineum.
Dibagi atas 4 tingkat:
Tingkat I
: robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau
tanpa mengenai kulit perineum.
Tingkat II :robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot
perinei transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani.
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter
ani.
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum.

222
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di vagina


bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus
terlepas dari vagina. Robekan ini memanjang atau melingkar.
Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus
partus presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih
lagi persalinan operatif pervaginam harus dilakukan pemeriksaan
dengan spekulum keadaan jalan lahir termasuk serviks.
Pengelolaan:
Episiotomi, robekan perineum dan robekan vulva
Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.
(1) Robekan perineum tingkat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur atau dengan cara
jahitan angka delapan (figure of eight).
(2) Robekan perineum tingkat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I
atau tingkat II, jika ada pinggir robekan yang tidak rata atau
bergerigi maka harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan
sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem
terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan
rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina
dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.
Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai
kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
(3) Robekan perineum tingkat III
Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang
robek dijahit, kemudian fasial perirektal dan fasial septum
rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu
kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat
robekan dijepit dengan klem/pean lurus, kemudian dijahit
dengan 23 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit
robekan perineum tingkat II.
(4) Robekan perineum tingkat IV
Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan
untuk melakukan perbaikan cukup tinggi dan risiko terjadinya
gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

223

b)

c)

d)

e)

sepanjang
kehidupannya,
maka
dianjurkan
apabila
memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana
tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.
Hematoma vulva.
(1) Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar
hematoma. Pada hematoma kecil, tidak perlu tindakan operatif,
cukup dilakukan kompres.
(2) Pada hematoma yang lebih besar, apalagi disertai dengan
anemia dan presyok, perlu segera dilakukan pengosongan
hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian
hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan
sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber
perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam
perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa
steril sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.
Robekan dinding vagina.
(1) Robekan dinding vagina harus dijahit.
(2) Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke
rumah sakit.
Robekan serviks.
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan
dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian
serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung
robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai
dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.
Ruptura uteri.

3) Retensio Plasenta
Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam
setelah janin lahir.
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim karena
kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta disebut plasenta
adhesiva. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim
karena villi korialisnya menembus desidua sampai miometrium disebut
plasenta akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi
belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah
rahim disebut plasenta inkarserata.

224
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya


telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan
tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul
perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat
diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30
menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.

0,2 mg i.m atau i.v sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio
plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan
tindakan pencegahan perdarahan post partum. Apabila kontraksi rahim
tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada
atonia uteri. Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi oleh karena
itu harus dirujuk ke rumah sakit.

Prosedur plasenta manual sebagai berikut:


a) Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam
narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya
terutama bila retensi telah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl
0,9% sebelum tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan
vulva termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam
vagina.
b) Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis.
Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ke ostium uteri dan
terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar
tidak terjadi salah jalan (false route).
c) Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh pembantu
(asisten). Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan
tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta
yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat.
Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking (ulner),
plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah
terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan
dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang
dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.
d) Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta
secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi yang hanya dapat
dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan
dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan
rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding
belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual
seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan
dihentikan.

4) Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan
pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 610 hari pasca persalinan).
Pada perdarahan post partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim yaitu perdarahan.yang berulang atau berlangsung
terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta
jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali
bila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau
terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya
sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat
bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.
Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan
kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang
tertinggal dalam rongga rahim.

Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap,


segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan ergometrin
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

225

226
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

70. PERIODONTITIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1503

ICD X : K05-K06

a. Definisi
Peradangan jaringan periodontium yang lebih dalam yang merupakan
lanjutan dari peradangan ginggiva.

2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap


pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah).
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. Gunakan benang gigi
untuk membersihkan sisa makanan, hindari penggunaan tusuk gigi.

b. Penyebab
Sebagian besar periodontitis merupakan akibat dari penumpukan plak dan
karang gigi (tartar) diantara gigi dan gusi.
Akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi, dan meluas ke bawah
diantara akar gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini mengumpulkan plak
dalam suatu lingkungan bebas oksigen yang mempermudah pertumbuhan
bakteri.
c. Gambaran Klinis
1) Perdarahan gusi
2) Perubahan warna gusi
3) Bau mulut (halitosis)
4) Gigi goyah kalau kerusakan tulang penyangganya cukup luas
d. Diagnosis
Nyeri pada ginggiva.
e. Penatalaksanaan
1) Karang gigi, saku gigi, food impaction dan penyebab lokal lainnya
harus dibersihkan/diperbaiki.
2) Antibiotik amoksisilin 500 mg + metronidazol 250 mg tiap 8 jam
selama 5 hari.
3) Dianjurkan berkumur 1 menit dengan larutan povidon 1%, tiap 8
jam.
4) Bila sudah sangat goyah, gigi harus segera dicabut.
5) Analgesik parasetamol jika diperlukan.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

227

228
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

71. PERTUSIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4 dan 3B
: 0304

ICD X : A37

a. Definisi
Pertusis (Batuk Rejan) adalah penyakit akut pada saluran pernapasan.
Biasanya pada anak berumur <5 tahun, terutama pada anak umur 23
tahun.
b. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh kuman gram negatif Bordetella pertusis.
c. Gambaran Klinis
Gejala penyakit ini timbul 12 minggu setelah berhubungan dengan
pasiennya dan didahului masa inkubasi selama 714 hari. Biasanya
penyakit ini berlangsung selama 6 minggu atau lebih. Itulah sebabnya
penyakit tersebut dinamakan batuk seratus hari.

e. Penatalaksanaan
1) Oksigen
2) Pengobatan pertusis ditujukan pada kuman penyebabnya dengan
pemberian antibiotik yang sesuai, seperti eritromisin 3050 mg/kgBB
tiap 6 jam.
3) Untuk batuk dapat diberikan kodein 0,5 mg/tahun/kali.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) dasar dan
ulangan (booster). Imunisasi ini diberikan 3 kali berturut-turut pada
bayi usia 3, 4, 5 bulan.
3) Alasan rujukan: bila ada komplikasi pneumonia, perdarahan
subkonjungtiva dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, pertusis meliputi beberapa stadium, yaitu


1) Kataralis yang ditandai timbulnya batuk ringan, terutama pada malam
hari, disertai demam dan pilek ringan. Stadium ini berlangsung 12
minggu. Pada stadium kataralis tak dapat dibedakan dengan ISPA yang
disebabkan oleh virus.
2) Stadium kedua adalah spasmodik yang berlangsung 24 minggu.
Gejalanya, batuk lebih sering, pasien berkeringat, dan pembuluh darah
di muka-leher melebar. Serangan batuknya panjang biasanya diakhiri
dengan bunyi melengking yang khas (whooping cough) dan disertai
muntah. Sering terjadi perdarahan subkonjungtiva dan/atau epistaksis.
Kuku dan bibir pasien menjadi kebiruan karena darah kekurangan
oksigen. Di luar serangan, pasien tampak sehat.
3) Pada stadium selanjutnya, yaitu konvalesensi, terjadi selama 2 minggu.
Gejalanya, pasien mereda batuknya dan berangsur-angsur mulai
bertambah nafsu makannya.
d. Diagnosis
1) Meningkatnya serum Ig A spesifik Bordetella pertusis
2) Terdeteksi Bordetella pertusis dari spesimen nasofaring
3) Kultur swab nasofaring ditemukan Bordetella pertusis

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

229

230
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

72. PIELONEFRITIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 16

b) pembiakan bakteri dalam contoh urin untuk menentukan adanya


bakteri.
3) USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal,
kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya.

ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi
Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal.
b. Penyebab
Disebabkan oleh Escherichia coli (paling sering), selain itu disebabkan juga
antara lain Enterobacter, Klebsiella, Pseudomonas dan Proteus.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil,
nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah.
2) Beberapa pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian
bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.
3) Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut
berkontraksi kuat.
4) Bisa terjadi kolik renalis, dimana pasien merasakan nyeri hebat yang
disebabkan oleh kejang ureter.
5) Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena
lewatnya batu ginjal.
6) Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih
sulit untuk dikenali.
7) Pada infeksi menahun (pielonefritis kronik), nyerinya bersifat samar
dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali.
8) Pielonefritis kronik hanya terjadi pada pasien yang memiliki kelainan
utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau
arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak
kecil).
9) Pielonefritis kronik pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).

e. Penatalaksanaan
1) Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik. Terapi kausal
dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet tiap 12 jam selama 5 hari, atau
amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau siprofloksasin 500
mg tiap 12 jam selama 5 hari. Antibiotik dapat diperpanjang sampai 21
hari.
2) Pada 46 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan pemeriksaan
urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi.
3) Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin perlu
dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah sakit.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi.
2) Pencegahan: kenali gejala penyakit untuk pengobatan sedini mungkin.
3) Alasan rujuk: pasien anak dan dewasa yang didiagnosa pielonefritis,
pielonefritis dengan komplikasi atau pada wanita hamil harus dirujuk.

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.
2) Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis
adalah:
a) pemeriksaan urin dengan mikroskop.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

231

232
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

73. PIODERMA
Kompetensi
Laporan Penyakit

3) Pemeriksaan penunjang bila diperlukan


: 4 dan 3B
: 2001

ICD X : L00-L08

a. Definisi
Pioderma superfisial dapat berbentuk impetigo atau furunkel. Furunkolis
yang menyatu membentuk kurbunkel. Bentuk lain pioderma diantaranya
folikulitis, ektima, selulitis, flegmon, pionikia.
b. Penyebab
Impetigo umumnya disebabkan oleh Streptococcus betahaemoliticus,
sedangkan furunkel oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor
predisposisi umumnya daya tahan tubuh (anemia, kurang gizi, diabetes
melitus) atau adanya kelainan kulit yang dapat mempercepat terjadinya
pioderma.
c. Gambaran Klinis
1) Keadaan umum pasien biasanya baik.
2) Impetigo bentuk krustosa biasanya terjadi pada anak yaitu di kulit
disekitar hidung dan mulut. Tampak vesikel atau pustula yang cepat
pecah dan menyebar ke sekitarnya.
3) Impetigo bentuk vesikosibola disebut juga cacar monyet, menyerang
daerah ketiak, dada, dan punggung. Bentuk ini sering ditemukan
bersama miliaria, hipopion (endapan nanah di bagian bawah
vesikel/bula) dan pada saat penyembuhan mengering membentuk
koleret (warna kemerahan melingkar di bekas kelainan).
4) Impetigo neonatorium menyerang hampir seluruh kulit, biasanya
disertai demam.
5) Furunkel banyak ditemukan di ketiak atau bokong. Folikel yang
terinfeksi membengkak membentuk nodus bernanah yang nyeri dengan
eritema di sekitarnya. Kelainan ini dapat menjadi abses atau
membentuk fistula. Pada pasien yang berdaya tahan tubuh rendah
misalnya pasien penyakit kronik (diabetes melitus), furunkel ini sering
kambuh dan sukar sembuh.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien berobat jalan kecuali pada erisipelas, selulitis, flegmon
dianjurkan rawat inap.
2) Bila dijumpai pus banyak, asah atau krusta dilakukan kompres terbuka
dengan NaCl 0,9%
3) Pada lesi dalam dan / atau luas diberikan antibiotik sistemik:
a) Lini 1
: golongan penisilin
: amoksisilin
b) Lini 2
: golongan makrolid
: eritromisin 500 mg tiap 6
jam
4) Antibiotik diberikan 7 hari.
f.

KIE
1) Mencari faktor predisposisi:
a) Higiene
b) Menurunnya daya tahan tubuh: kurang gizi, anemia, penyakit
kronik/ metabolik, dan keganasan
c) Telah ada kelainan kulit primer
2) Pada pioderma letak dalam, perhatikan keadaan umum dan status imun
secara keseluruhan.
3) Alasan rujuk: erisipelas, selulitis, flegmon.

d. Diagnosis
1) Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram
2) Kultur dan resistensi spesimen lesi (misalnya untuk flegmon,
hidradenitis, ulkus).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

233

234
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

74. PNEUMONIA KOMUNITAS


Kompetensi
: 4 dan 3A (dewasa); 3A (anak)
Laporan Penyakit
: 1401

ICD X : J18.9

a. Definisi
Pneumonia komunitas adalah peradangan paru yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus maupun jamur yang terjadi di komunitas.
Pneumonia secara klinis dibedakan atas pneumonia lobaris,
bronkopneumonia aspirasi misalnya akibat aspirasi minyak tanah. Kuman
penyebab banyak macamnya dan berbeda menurut sumber penularan
(komunitas/nosokomial).
Jenis komunitas 4774% disebabkan oleh bakteri, 520% oleh virus atau
mikoplasma, dan 1743% tidak diketahui penyebabnya. Pengobatan jenis
komunitas ini sangat memuaskan apapun penyebabnya.
b. Penyebab
1) Penyebab pneumonia adalah:
a) Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa):
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Legionella
atau Hemophilus influenza.
b) Virus: virus influenza, chicken-pox (cacar air)
c) Organisme mirip bakteri: Mycoplasma pneumoniae (terutama pada
anak-anak dan dewasa muda)
d) Jamur tertentu.
2) Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh virus
pernapasan, dan puncaknya terjadi pada umur 23 tahun. Pada usia
sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma
pneumoniae.
c. Gambaran Klinis
1) Secara klinis gambaran pneumonia bakterialis beragam menurut jenis
kuman penyebab, usia pasien, dan beratnya penyakit. Beberapa bakteri
penyebab memberikan gambaran yang khas, misalnya pneumonia
lobaris karena S. pneumoniae, atau empiema dan pneumatokel oleh S.
aureus.
2) Klasifikasi pneumonia pada balita sesuai dengan manajemen terpadu
balita sakit yaitu batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan, >
60 x/menit; 2 bulan 1 tahun, > 50 x/menit; 1-5 tahun > 40 x/menit)
3) Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

235

a) gejala umum infeksi: demam, sakit kepala, lesu, dan lain-lain.


b) gejala umum penyakit saluran pernapasan bawah: seperti takipneu,
dispneu, retraksi atau napas cuping hidung, sianosis.
c) tanda pneumonia: perkusi pekak pada pneumonia lobaris, ronki
basah halus nyaring pada bronkopneumonia dan bronkofoni positif.
d) batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen, purulen,
bahkan mungkin berdarah.
e) tanda di ekstrapulmonal.
4) Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat
dibiak kuman penyebabnya.
5) Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan foto toraks, sedangkan uji
serologi dapat menentukan jenis infeksi lainnya. Selain memastikan
diagnosis, foto toraks juga dapat digunakan untuk menilai adanya
komplikasi.
d. Diagnosis
1) Sputum produktif yang sudah berkonversi, sesak napas, demam
2) Pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan
terdengar suara ronki basah, halus, nyaring.
3) Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram.
4) Pemeriksaan penunjang: pembiakan dahak, hitung jenis darah, gas
darah arteri.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien pneumonia dapat dirawat di rumah, namun bila keadaannya
berat pasien harus dirawat di rumah sakit untuk mendapat perawatan
yang memadai, seperti cairan intravena bila sangat sesak, oksigen, serta
sarana rawat lainnya. Bayi memerlukan perhatian lebih khusus lagi.
2) Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet dewasa (diberikan selama 3 hari).
Dosis anak:
a) 24 bulan : 2 x tablet dewasa
b) 412 bulan : 2 x tablet dewasa
c) 13 tahun : 2 x tablet dewasa
d) 35 tahun : 2 x 1 tablet dewasa
3) Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin atau ampisilin (diberikan
selama 3 hari).
Dosis anak:
a) 24 bulan : 2 x tablet dewasa
b) 412 bulan : 2 x tablet dewasa

236
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) 13 tahun : 2 x 2/3 tablet dewasa


d) 35 tahun : 2 x tablet dewasa
4) Pada kasus pneumonia berat balita dimana rujukan tidak
memungkinkan:
a) Berikan antibiotik amoksisilin 45 mg/kgBB/hari selama 10 hari
secara oral pada mereka yang masih bisa.
b) Bila pemberian secara oral sudah tidak memungkinkan, diberikan
injeksi amoksisilin/ampisilin dan gentamisin dengan dosis :
(1) 2 bulan 5 tahun (ampisilin i.m./i.v. 50 mg/kgBB/6 jam dan
gentamisin i.m./i.v. 7,5 mg/kgBB/24 jam)
(2) <2 bulan (ampisilin i.m./i.v. 100 mg/kgBB/24jam dan
gentamisin i.m./i.v. 2,5 mg/kgBB/12 jam)
(3) Bila kondisi membaik, terapi injeksi diteruskan sampai 5 hari
dan sesudahnya dilanjutkan dengan terapi oral amoksisilin (15
mg/kgBB) tiap 8 jam, dan terapi injeksi gentamisin i.m. sekali
sehari.
5) Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin
prokain 600.0001.200.000 UI sehari atau ampisilin 1 g tiap 6 jam
terutama pada pasien dengan batuk produktif.
6) Bila pasien alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan
eritromisin 500 mg tiap 6 jam. Demikian juga bila diduga penyebabnya
mikoplasma (batuk kering).
f.

6) Alasan rujuk: pada balita usia 2 bulan - < 5 tahun; bila terdiagnosa
klinis pneumonia komunitas maka perlu dirujuk.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi gejala, menyembuhkan penyakit,
dan mencegah transmisi/memutuskan rantai penularan.
2) Beri penjelasan dengan seksama kepada pasien dan keluarganya bahwa
penyakit ini bisa berbahaya.
3) Jika terdapat tanda bahaya pada balita usia <2 bulan berupa kurang bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezzing/mengi, demam
atau teraba dingin; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali,
kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.
4) Pada balita usia 2 bulan - <5 tahun; bila didapatkan tanda bahaya
berupa: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi
buruk; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian
dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.
5) Dalam perjalanan rujukan, ibu diminta menjaga agar anak tetap hangat
selama perjalanan, tetap berikan minum bila anak masih bisa minum

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

237

238
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

75. PTERIGIUM
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
: 1005

76. PULPITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

ICD X : H00-H01

a. Definisi
Merupakan pertumbuhan abnormal dari konjungtiva, ditandai dengan
penebalan mukosa konjungtiva yang berbentuk segitiga yang puncaknya di
kornea. Secara histopatologi, didapatkan gambaran degenerasi hialin
dengan adanya neovaskularisasi. Kelainan ini dapat dijumpai pada semua
kelompok umur. Umumnya terdapat di sisi nasal bilateral atau unilateral.
b. Penyebab
Patogenesis pterigium belum jelas, tetapi diduga karena iritasi kronik
terutama karena paparan sinar ultraviolet.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh mata lekas merah, berair, dan ada rasa mengganjal.
Bila penebalan jaringan ini mencapai pupil maka penglihatan dapat
terganggu.
2) Jaringan ini kaya pembuluh darah, semuanya menuju ke puncak
pterigium.
d. Diagnosis
Penebalan mukosa pada selaput mata.
e. Penatalaksanaan
1) Dalam keadaan meradang diberikan astringen-dekongestan 1 tetes tiap
6-8 jam sehari: kombinasi seng-sulfat 0,25% dengan fenilefrin 0,12%
atau nafazolin 0,7%.
2) Pterigium lanjut yang telah mengganggu penglihatan memerlukan
pembedahan (rujuk ke rumah sakit).
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan menghindari faktor risiko
terjadinya iritasi.
2) Hindari paparan ultraviolet, misalnya menggunakan sun-glasses, topi
caping.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

239

: 4
: 1502

ICD X : K04

a. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri,
merupakan reaksi terhadap toksin bakteri pada karies gigi.
b. Penyebab
Penyebab pulpitis yang paling sering ditemukan adalah pembusukan gigi,
penyebab kedua adalah cedera. Pulpa terbungkus dalam dinding yang keras
sehingga tidak memiliki ruang yang cukup untuk membengkak ketika
terjadi peradangan. Yang terjadi hanyalah peningkatan tekanan di dalam
gigi. Peradangan yang ringan, jika berhasil diatasi, tidak akan menimbulkan
kerusakan gigi yang permanen. Peradangan yang berat bisa mematikan
pulpa. Meningkatnya tekanan di dalam gigi bisa mendorong pulpa melalui
ujung akar, sehingga bisa melukai tulang rahang dan jaringan di sekitarnya.
c. Gambaran Klinis
1) Gigi yang mengalami pulpitis akan nyeri berdenyut, terutama malam
hari. Nyeri ini mungkin menjalar sampai ke daerah sinus dan pelipis
(pulpitis gigi atas) atau ke daerah telinga (pulpitis gigi bawah).
2) Bila kemasukan makanan, karena rangsangan asam, manis, atau dingin
akan terasa sakit sekali. Sakit saat mengunyah menunjukkan bahwa
peradangan telah mencapai jaringan periapikal.
3) Gigi biasanya sudah berlubang dalam dan pulpa terbuka.
d. Diagnosis
Nyeri dan tanda peradangan.
e. Penatalaksanaan
1) Lubang gigi dibersihkan dengan ekskavator dan semprit air, lalu
dikeringkan dengan kapas dan dijejali pellet kapas yang ditetesi
eugenol.
2) Berikan analgetik bila diperlukan:
3) Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
4) Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB tiap 6-8 jam
5) Bila sudah ada peradangan jaringan periapikal, lihat Bab Abses gigi

240
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah). Bila ada gigi yang berlubang segera ditambal
walaupun tidak merasa sakit.

77. RABIES
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3B
: 0404

ICD X : A82

a. Definisi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan
hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera.
Di Indonesia, 98% kasus rabies ditularkan dari gigitan anjing.
b. Penyebab
Virus rabies, termasuk rhabdo virus bersifat neurotrop.
c. Gambaran Klinis
1) Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2) Stadium Sensoris
Pasien merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
gigitan. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang sensorik.
3) Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meningkat dengan gejala
hiperhidrosis (banyak berkeringat), hipersalivasi (banyak air liur),
hiperlakrimasi (banyak air mata) dan dilatasi pupil. Bersamaan dengan
stadium eksitasi penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada
stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobia, yang sangat terkenal
diantaranya ialah hidrofobia (takut air). Kontraksi otot-otot faring dan
otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik
seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerophobia) atau dengan
menjatuhkan sinar ke mata (photophobia) atau dengan bertepuk tangan
ke dekat telinga pasien (audiophobia). Pada stadium ini dapat terjadi
apneu, sianosis, kejang dan takikardi, cardiac arrest, tingkah laku
pasien tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan respons
yang berlebihan. Gejala-gejala eksitasi dapat berlangsung sampai
pasien meninggal, tetapi pada saat kematian justru lebih sering terjadi
otot-otot melemas, sehingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

241

242
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4) Stadium Paralisis.
Sebagian besar pasien rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan
paralisis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan
saraf tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot
pernapasan.

menit dan sabun/detergen kemudian berikan antiseptik (betadine, obat


merah) dan pemberian vaksin antirabies.
3) Pencucian luka dengan sabun untuk melisiskan kapsul dari virus rabies.
Segera berobat ke rabies center untuk mendapatkan perawatan
selanjutnya.
4) Bagi yang memiliki anjing atau kucing peliharaan sebaiknya tidak
diliarkan dan rutin melakukan vaksinasi antirabies.
5) Hewan penggigit sebaiknya ditangkap dan dilakukan observasi 15 hari.

d. Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
e. Penatalaksanaan
1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies
Tiap ada kasus gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera)
harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin. Untuk mematikan
virus rabies yang masuk pada luka gigitan, cuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun selama 1015 menit, kemudian
diberi alkohol 70%.
2) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) sesudah digigit (Post Exposure
Treatment). Dosis dan cara pemberian VAR (Purified Vero Rabies
Vaccine = PVRV): diberikan 4 x suntikan @ 0,5 mL pada hari ke-0
sebanyak 2 dosis sekaligus di regio deltoideus kanan dan kiri, hari ke-7
dan 21 masing-masing 1 dosis secara i.m. Dosis sama untuk semua
umur.
3) Perawatan rabies pada manusia
a) Pasien dirujuk ke rumah sakit.
b) Sebelum dirujuk, pasien diinfus dengan Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, kalau perlu diberi antikonvulsan dan sebaiknya pasien
difiksasi selama dalam perjalanan dan waspada terhadap tindaktanduk pasien yang tidak rasional, kadang-kadang maniak disertai
saat-saat responsif.
c) Penanganan luka gigitan dengan pencucian luka, pemberian
antiseptik dan pemberian vaksin antirabies.
f.

KIE
1) Sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rabies.
2) Bila terkena cakaran atau gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing,
kera) segera melakukan pencucian luka dengan air mengalir selama 15

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

243

244
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

78. RINITIS ALERGIKA


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1302

ICD X : J- 30.4

a. Definisi
Rinitis alergika adalah suatu kelainan hidung yang disebabkan oleh proses
inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh hipersensitivitas atau alergi
tipe 1 dengan gejala karakteristik berupa hidung gatal, bersin-bersin,
rinorhea dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan
maupun dengan pengobatan.
b. Penyebab
Berdasarkan terdapatnya gejala:
1) Rinitis alergi intermiten, bila gejala <4 hari/minggu atau bila <4
minggu
2) Rinitis alergi persisten, bila > 4 hari/minggu atau >4 minggu.
Serbuk sari di dalam udara yang menyebabkan rinitis alergika bervariasi,
tergantung kepada daerah dan individu. Tanaman yang sering
menyebabkan rinitis alergika adalah pohon-pohonan, rumput, bunga dan
rumput liar. Selain kepekaan individu dan daerah tempat tumbuhnya
tanaman, faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya rinitis alergika
adalah jumlah serbuk yang terkandung di dalam udara. Cuaca panas,
kering dan berangin lebih banyak mengandung serbuk, cuaca dingin,
lembab dan hujan menyebabkan serbuk terbuang ke tanah.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah antihistamin.
Pemberian antihistamin kadang disertai dengan dekongestan (misalnya
pseudoefedrin atau fenilpropanolamin) untuk melegakan hidung tersumbat.
Pemakaian dekongestan pada pasien tekanan darah tinggi harus diawasi
secara ketat. Pemberian amoksisilin atau eritromisin jika ada infeksi
sekunder.
Jika keadaan kronis rujuk ke dokter spesialis THT.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala akibat paparan alergen
dan eradikasi infeksi, perbaikan kualitas hidup pasien.
2) Pencegahan: hindari alergen (misalnya udara dingin, debu).

c. Gambaran Klinis
Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan mata terasa
gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara berangsur-angsur. Biasanya
akan diikuti dengan mata berair, bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa
pasien mengeluh sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); kehilangan nafsu
makan dan mengalami gangguan tidur. Terjadi peradangan pada kelopak
mata bagian dalam dan pada bagian putih mata (konjungtivitis). Lapisan
hidung membengkak dan berwarna merah kebiruan, menyebabkan hidung
meler dan hidung tersumbat.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa
gambaran klinis diatas.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

245

246
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

79. SALPINGITIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: -

80. SERUMEN
Kompetensi
Laporan Penyakit

ICD X : N70

: 3A
: -

a. Definisi
Infeksi saluran tuba uterina

a. Definisi
Kotoran pada liang telinga.

b. Penyebab
Salpingitis akut kebanyakan disebabkan oleh infeksi gonore. Salpingitis
kronik dapat berbentuk sebagai piosalping, hidrosalping atau salpingitis
ismika nodosa.
Pada salpingitis akut perlu dipikirkan kemungkinan kehamilan ektopik atau
apendisitis sebagai diagnosis banding.

b. Penyebab
Tertimbunnya kotoran pada liang telinga.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, unilateral atau bilateral.
Nyeri ini bertambah pada gerakan.
2) Kadang terdapat perdarahan di luar siklus dan sekret vagina berlebihan.
3) Pada yang akut terdapat demam yang kadang disertai keluhan
menggigil.
4) Terdapat nyeri tekan di abdomen bagian bawah disertai nyeri pada
pergerakan serviks. Parametrium nyeri unilateral atau bilateral.

d. Diagnosa
Anamnesis dan pemeriksaan fisik (telinga).

d. Diagnosis
Nyeri tekan dan kaku daerah tuba pada pemeriksaan dalam ginekologi.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk tirah baring pada posisi Fowler.
2) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi:
a) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam.
b) ditambah gentamisin 5 mg/kgBB i.v dosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg i.v tiap 8 jam.
c) Lanjutkan antibiotik ini sampai pasien tidak demam selama 24 jam.
3) Pilihan lain: doksisiklin 100 mg tiap 12 jam selama 10 hari.
4) Jika pasien menggunakan AKDR, maka AKDR tersebut harus dicabut.
5) Jika tata laksana ini tidak menolong, pasien sebaiknya dirujuk.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

247

ICD X : A60. 4

c. Gejala Klinis
Keluhan rasa tersumbat di telinga, pendengaran berkurang dan kadangkadang berdengung. Pada pemeriksaan liang telinga tampak serumen dalam
bentuk lunak, liat, keras dan padat.

e. Penatalaksanaan
1) Serumen cair
Bila serumen sedikit, bersihkan dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas atau disedot dengan pompa penghisap.
2) Serumen lunak
Bila serumen banyak dan tidak ada riwayat perforasi membran timpani,
lakukan irigasi liang telinga dengan air bersih sesuai dengan suhu
tubuh.
Bila ada riwayat perforasi membran timpani, maka tidak dapat
dilakukan irigasi. Bersihkan serumen dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas.
3) Serumen liat
Dikait dengan pengait serumen, apabila tidak berhasil lakukan irigasi
dengan syarat tidak ada perforasi membrana timpani.
4) Serumen keras dan padat
Apabila serumen berukuran besar dan menyumbat liang telinga,
lunakkan terlebih dahulu dengan meneteskan karbogliserin 10% selama
3 hari, kemudian keluarkan dengan pengait atau dilakukan irigasi.

248
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperbaiki pendengaran akibat sumbatan
serumen.
2) Pencegahan: hindari mengkorek telinga.

81. SIFILIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 31

ICD X : A51

a. Definisi
Sifilis atau yang disebut dengan 'raja singa' disebabkan oleh sejenis bakteri
yang bernama Treponema pallidum. Bakteri yang berasal dari famili
spirochaetaceae ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan dapat hidup
hampir di seluruh bagian tubuh.
b. Penyebab
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya
vagina, mulut atau melalui kulit). Spirochaeta penyebab sifilis dapat
ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genitogenital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga
dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan.
c. Gambaran Klinis
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 113 minggu setelah terinfeksi;
rata-rata 34 minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan
jarang menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun kematian.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:
1) Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang
terinfeksi; yang tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker
juga bisa ditemukan di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher
rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Luka tersebut tidak
mengeluarkan darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan cairan
jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya
akan membesar, juga tanpa disertai nyeri. Luka tersebut hanya
menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan. Luka
biasanya membaik dalam waktu 312 minggu dan sesudahnya pasien
tampak sehat secara keseluruhan.
2) Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul
dalam waktu 612 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung
hanya sebentar atau selama beberapa bulan. Meskipun tidak diobati,

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

249

250
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan


kemudian akan muncul ruam yang baru. Pada fase sekunder sering
ditemukan luka di mulut, kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya,
peradangan di organ-organ tubuh. Di daerah perbatasan kulit dan selaput
lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk daerah yang
menonjol (kondiloma lata). Gejala lainnya adalah merasa tidak enak
badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan
anemia.

b) Titer naik : pengobatan ulang


c) Titer tetap: observasi 1 bulan
1 bulan setelah observasi:
a) Titer turun
: tidak diberi pengobatan
b) Titer naik atau tetap
: pengobatan ulang
6) Pemantauan TSS: Pada bulan I, II, VI dan XII dan tiap 6 bulan pada
tahun kedua.
f.

3) Fase Laten.
Setelah pasien sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase
laten dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung
bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup
pasien. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali
muncul.
4) Fase Tersier.
Pada fase tersier pasien tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala
bervariasi mulai ringan sampai sangat parah, misalnya sifilis mengenai
medulla spinalis (tabes dorsalis).

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk penyembuhan dan pemutusan rantai
penularan.
2) Efek samping: perlu hati-hati kemungkinan reaksi anafilaktik terhadap
benzatin penisilin G. Siapkan perangkat penanganan reaksi syok
anafilaktik.
3) Edukasi tentang penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan
pengobatan.
4) Sedapat mungkin penanganan pasangan seksualnya.
5) Merujuk spesimen darah untuk pemeriksaan laboratorium VDRL dan
TPHA untuk penegakan diagnosis pasti.
6) Alasan rujuk: jika terjadi komplikasi atau kondisi parah.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Obat pilihan: benzatin penisilin G dengan dosis tergantung stadium:
a) Stadium I dan II
: 4,8 juta UI
b) Stadium laten
: 7,2 juta UI
2) Cara : injeksi i.m. 2,4 juta UI/ kali dengan interval 1 minggu
3) Obat alternatif:
a) Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam, 14 hari untuk fase awal, 28 hari
untuk fase lanjut; atau
b) Eritromisin 500 mg tiap 6 jam
4) Lama pengobatan 30 hari (stadium I dan II) atau waktu yang lebih lama
untuk stadium laten.
5) Evaluasi serologis (VDRL):
1 bulan setelah pengobatan selesai, ulangi tes serologis sifilis (TSS):
a) Titer turun: tidak diberikan pengobatan lagi
251
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

252
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

82. SINDROMA NEFROTIK


Kompetensi
: 2
Laporan Penyakit
: 16

ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi
Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang
terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:
1) proteinuria (protein di dalam air kemih lebih dari 3,5 g tiap 24 jam)
2) menurunnya kadar albumin dalam darah (<3,5 g/dL pada dewasa dan
<2,5 g/dL pada anak)
3) penimbunan garam dan air yang berlebihan
4) meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak, paling sering timbul
pada usia 18 bulan 4 tahun dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Klasifikasi dan penyebab Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik
Glomerulonefritis primer:
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomeruloklerosis fokal (GSF)
3. GN membranosa (GNMN)
4. GN membranoproliferatif ( GNMP)
5. GN proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat:
1. Infeksi (HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistotoma,
tuberkulosis, lepra)
2. Keganasan (Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal)
3. Penyakit jaringan penghubung: Lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
4. Efek obat dan toksin
5. Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heroin
6. Lain-lain: Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
b. Gambaran Klinis
1) Gejala awalnya bisa berupa:
a) berkurangnya nafsu makan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) pembengkakan kelopak mata


c) nyeri perut
d) pengkisutan otot
e) pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
f) air kemih berbusa.
2) Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak
napas bisa timbul akibat adanya cairan di rongga sekitar paru-paru
(efusi pleura).
3) Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada
pria).
Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari
cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah berjalan cairan akan
tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh
pembengkakan.
4) Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat pasien
berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok).
Tekanan darah pada pasien dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi.
5) Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena
rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.
6) Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi
secara tiba-tiba.
7) Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya
glukosa) ke dalam air kemih.
8) Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari
tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan
rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih
yang penyebabnya tidak diketahui.
9) Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi
infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal
tidak berbahaya).
10) Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya
antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan
antibodi.
11) Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan risiko
terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di
dalam vena ginjal yang utama. Di lain pihak, darah bisa tidak membeku
dan menyebabkan perdarahan hebat.
c. Diagnosis

253

254
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis ditegakkan berdasarkan edem anasarka dan proteinuria positif 2


(++) atau lebih.
d. Penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati
infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa menyembuhkan sindroma ini.
2) Jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya
penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka mengobatinya akan
mengurangi gejala-gejala ginjal.
3) Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka menghentikan
pemakaian heroin pada stadium awal sindroma nefrotik, bisa
menghilangkan gejala-gejalanya.
4) Jika penyebabnya adalah obat, maka untuk mengatasi sindroma
nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.
5) Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka diberikan prednison 1
mg/kgBB dalam 3 dosis selama 2 bulan berturut-turut dilanjutkan
dengan tappering off diturunkan 10 mg tiap 2 minggu sambil melihat
respon klinik. Bila responsif obat dihentikan dalam waktu 23 bulan.
Bila respon tidak baik maka kasus ini perlu dirujuk. Sebelum
memberikan imunosupresif, perlu dipastikan bahwa pasien tidak
menderita tuberkulosis.
6) Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan
kalium dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium
yang rendah. Terlalu banyak protein akan meningkatkan kadar protein
dalam air kemih.
7) ACE inhibitors (misalnya enalapril, kaptopril dan lisinopril) biasanya
menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan
konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada pasien yang memiliki
kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat
meningkatkan kadar kalium darah. Jika cairan tertimbun di perut, untuk
mengurangi gejala dianjurkan untuk makan dalam porsi kecil tetapi
sering.
8) Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretik furosemid.
Diuretik juga dapat mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan
jaringan, tetapi bisa meningkatkan risiko terbentuknya bekuan darah.
9) Antikoagulan bisa membantu mengendalikan pembentukan bekuan
darah.
10) Pengobatan pada anak adalah sebagai berikut:

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

255

Kortikosteroid (prednison) dosis 60 mg/m2 LPB atau 2 mg/kgBB/hari


dibagi dalam 3 atau 4 dosis selama 4 minggu. Bila remisi dosis
dilanjutkan dengan 40mg/ m2/LPB atau 1,5mg/kgBB diberikan dosis
tunggal pagi hari selang sehari (alternate day) selama 4 minggu. Bila
dalam 4 minggu pertama tidak responsif maka disebut sebagai Sindrom
nefrotik resisten steroid dan perlu dirujuk.
e. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengatasi penyebabnya bila
diketahui. Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa
menyembuhkan sindroma ini.
2) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan steroid antara
lain hipertensi, mudah terkena infeksi, hiperglikemia, striae,
osteoporosis dan iritasi lambung.
3) Pencegahan untuk menghindari kekambuhan dengan menghindari
infeksi bentuk apa pun (bakteri, virus dan lain-lain), kelelahan (stress).
4) Alasan rujukan:
a) Pada pasien anak: jika pengobatan dasar tidak memberikan respon
atau timbul efek samping yang berat.
b) Pada pasien dewasa: sindroma nefrotik harus dirujuk untuk mencari
penyebab.

256
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

83. SINDROMA STEVENS-JOHNSON


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiforme mayor, eritema poliforme bulosa, sindroma mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.
b. Penyebab
Reaksi imunologi berat, lebih sering karena obat seperti kotrimoksazol,
karbamazepin.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala prodromal berkisar antara 114 hari berupa demam, malaise,
batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
artralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi
gejala tersebut.
2) Setelah itu akan timbul lesi di :
a) Kulit berupa eritema, papula, vesikel, atau bula secara simetris
pada hampir seluruh tubuh.
b) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan
kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari
gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran
hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
c) Mata: konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai
31 tahun.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

257

d. Diagnosis
1) Anamnesa: ada riwayat demam yang tidak diketahui penyebabnya saat
pasien minum obat.
2) Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor
penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau
mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
e. Penatalaksanaan
Pada umumnya pasien SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah:
1) Hentikan pemberian obat yang dicurigai.
2) Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
3) Kortikosteroid parenteral: deksametason i.v. 0,15-0,2 mg/kgBB/hari,
dapat diberikan sampai 4-6 kali 5 mg/hari, setelah masa kritis diatasi
(2-3 hari), dosis segera diturunkan cepat (5 mg/hari), setelah dosis
rendah bisa diganti per oral (prednison 2x20 mg/hari) dilanjutkan
dengan tappering off.
4) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Klorfeniramin
maleat (klortrimeton) dapat diberikan dengan dosis untuk anak usia 1
3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk anak usia 312 tahun 15 mg/dosis, tiap 8
jam.
5) Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan NaCl 0,9%.
6) Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan inisial dan penatalaksanaan fungsi
vital.
2) Segera dilakukan rujukan.
3) Jika Sindroma Stevens-Johnson berulang, dapat menjadi Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).
4) Dokter perlu menanyakan riwayat alergi obat pada pasien sebelum
memberikan obat.
5) Pasien juga harus secara aktif memberikan informasi bahwa pernah
mengalami Sindroma Stevens-Johnson dan perlu mengingat jenis obat
yang menyebabkannya.

258
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

84. SINUSITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 1; 2; 3A
: 1303

ICD X : J10-J11

a. Definisi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu
dari keempat sinus.
b. Penyebab
Ostium sinus tersumbat, atau rambut-rambut pembersih (ciliary) rusak
sehingga sekresi mukus tertahan dalam rongga sinus yang selanjutnya
menyebabkan peradangan.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan
ketika pasien bangun pada pagi hari.
2) Sinusitis akut dan kronik memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan
dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu
yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:
a) Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata,
sakit gigi dan sakit kepala.
b) Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
c) Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara
mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga
bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung ditekan,
berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
d) Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat
dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan
ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit
leher.
3) Gejala lainnya adalah:
a) Tidak enak badan.
b) Demam, demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah
menyebar ke luar sinus.
c) Letih, lesu
d) Batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari.
e) Hidung meler atau hidung tersumbat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

259

f) Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung


mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan
hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis,
bisa dilakukan pemeriksaan CT scan.
2) Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk
mengetahui adanya abses gigi.
e. Penatalaksanaan
1) Sinusitis akut
Antibiotik: amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 1-2 minggu,
eritromisin 500 mg tiap 8 jam
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
a) antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri (terapi awal
umumnya dengan amoksisilin atau kotrimoksazol).
b) obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri.
Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung
hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian
jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan
pada saluran hidung).
Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa
diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.
2) Sinusitis kronik
Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk mengurangi peradangan
biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.
Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).
Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman:
a) Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas
b) Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam.
c) Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya
jalan untuk mengobati sinusitis kronik adalah pembedahan.

260
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

85. SIROSIS HATI


Kompetensi
: 2
Laporan Penyakit
: 89

ICD X : K74

a. Definisi
Penyakit hati menahun yang secara patologis menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progesif dan difus, ditandai dengan
distorsi arsitektur hepar berupa nekroinflamasi, pembentukan jaringan ikat
disertai nodul regenerasi.
b. Penyebab
Meliputi antara lain infeksi virus, parasit, obat dan bahan kimia, kelainan
bawaan dan obstruksi bilier. Semua hal yang menyebabkan jejas pada hati
pada akhirnya akan menyebabkan sirosis hati.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien sirosis Child-pugh A dapat tidak memiliki gejala dan nampak
sehat selama bertahun-tahun, namun terdapat tanda-tanda (stigmata)
sirosis. Pasien lainnya mengalami kehilangan nafsu makan, penurunan
berat badan dan merasa sakit.
a) Gejala awal sirosis (kompensata):
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun.
b) Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam subfebris, perut
membesar. Bisa terdapat gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid,
serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
2) Pada pemeriksaan fisik dicari stigmata sirosis: palmar eritema, spider
naevi, fetor hepatikum, vena kolateral dinding perut, ikterus, edema
pretibial, asites, splenomegali, liver nail, clubbing finger, kontraktur
dupuytren, ginekomastia, atrofi testis, hipogonadisme, ukuran hati bisa
membesar/normal/kecil, asterixis bilateral, demam subfebris.
3) Malnutrisi biasa terjadi karena buruknya nafsu makan dan
terganggunya penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak, yang disebabkan oleh berkurangnya produksi garam-garam
empedu.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

261

4) Kadang-kadang terjadi batuk darah atau muntah darah karena adanya


perdarahan dari vena varikosa di ujung bawah kerongkongan (varises
esofageal). Pelebaran pembuluh darah ini merupakan akibat dari
tingginya tekanan darah dalam vena yang berasal dari usus menunju ke
hati. Tekanan darah tinggi ini disebut sebagai hipertensi portal, yang
bersamaan dengan buruknya fungsi hati, juga bisa menyebabkan
terkumpulnya cairan di dalam perut (asites).
5) Bisa juga terjadi gagal ginjal dan ensefalopati hepatikum.
6) Gejala-gejala penyakit hati lainnya bisa terjadi, seperti:
a) kelemahan otot
b) kemerahan di telapak tangan (eritema palmaris)
c) jari-jari tangan melekuk keatas (kontraktur telapak tangan)
d) vena-vena kecil yang memberikan gambaran seperti laba-laba
e) pembesaran payudara dan pinggul pada laki-laki (ginekomastia)
f) pembesaran kelenjar ludah di pipi
g) rambut rontok
h) buah zakar mengecil (atrofi testis)
i) fungsi saraf abnormal (neuropati perifer).
d. Diagnosis
Anamnesis
1) Mencari penyebab dan faktor risiko dari sirosis:
Lama dan banyaknya minum alkohol, risiko viral hepatitis (intravena
drug user, seks berganti pasangan), riwayat keluarga dengan penyakit
hati, penggunaan obat. Ditanyakan juga penyebab lainnya seperti:
a) Perlemakan hati non alkoholik (obesitas, dislipidemia,
hiperglikemia, dan sindrom metabolik)
b) Wanita dengan penyakit autoimun
c) Trombosis vena hepatik atau sindroma Budd-Chiari (riwayat
hiperkoagulasi)
d) Riwayat transplantasi stem cell atau bone marrow
e) Dan penyebab yang jarang, seperti:
(1) Primary sclerosing cholangitis (sering terdapat kolitis useratif)
(2) Defesiensi 1-antitripsin (prematur emfisema)
(3) Hemokromatosis herediter (perubahan kulit, artritis, DM,
hipogonad)
2) USG bisa menunjukkan adanya pembesaran atau pengerutan hati.
3) Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dari
jaringan hati (biopsi).

262
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Gradasi penyakit sirosis dapat dilihat pada Tabel 33.


Tabel 33. Gradasi Penyakit Sirosis Menggunakan Skor
Child-Turcotte-Pugh
Kriteria
1
2
3
Asites
Nihil Mudah
Sulit dikontrol
dikontrol
Ensefalopati
Nihil Grade I atau II Grade III atau IV
Bilirubin(mg/dl)
<2
2-3
>3
Albumin (g/dl)
>3.5 2.8-3.5
<2.8
Waktu protrombin (detik diatas 1-3
4-6
>6
waktu protrombin normal)
Klasifikasi
A
B
C
5-6
7-9
10-15
Jumlah poin total
45%
Prosentase hidup dalam 1 100% 80%
tahun pertama

3) Alasan rujukan: mengatasi komplikasi, terapi pembedahan (seperti


untuk shunting vena porta, transplantasi hati, dsb).
4) Sirosis hati merupakan faktor risiko terjadinya hepatoma.
5) Pada pasien dengan hepatitis virus, skrining keluarga untuk mencari
secara aktif infeksi virus hepatitis di keluarga, dan penyuluhan
vaksinasi terutama untuk keluarga dekat (khusus hepatitis B).
6) Hati-hati pemberian obat yang mengiritasi lambung dan obat yang
dimetabolisme melalui hati.

e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan untuk sirosis berupa:
a) Istirahat cukup
b) Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
c) Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet
rendah garam.
d) Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
e) Menghilangkan etiologi (misalnya alkohol, pengobatan hepatitis).
f) Pengobatan komplikasi. Bila terdapat komplikasi rujuk ke
spesialis.
2) Pemantauan:
a) USG hati untuk mencari nodul hepatoma (612 bulan 1 x).
b) Endoskopi Esofagogastroduodenoskopi untuk ligasi profilaksis
varises esofagus (frekuensi kontrol tergantung derajat Varises).
c) Mencari secara aktif tandatanda ensefalopati hepatikum di tiap
kunjungan pasien: konsentrasi menurun, gangguan tidur/perilaku.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mempertahankan kualitas hidup pasien.
2) Pencegahan: pola makan yang baik dan teratur, kontrol segera bila ada
demam, penurunan konsentrasi, hindari mengoperasikan kendaraan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

263

264
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

86. SISTITIS AKUT


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 16

ICD X : N20-23; N30

a. Definisi
Sistitis adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih
umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa
wanita menderita infeksi kandung kemih secara berulang.
b. Penyebab
E.coli (organisme paling sering, pada 8090% kasus); juga Klebsiella,
Pseudomonas, grup B Streptococcus dan Proteus mirabilis.
c. Gambaran Klinis
1) Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air
kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil.
2) Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga
dirasakan di punggung sebelah bawah.
3) Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari).
4) Urin tampak berawan dan mengandung darah.
5) Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan
diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.)
6) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa
menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya.

e. Penatalaksanaan
1) Pada usia lanjut, infeksi tanpa gejala biasanya tidak memerlukan
pengobatan.
2) Antibiotik diberikan jika pasien memenuhi kriteria disuria, leukosituria
dan nitrit urin positif
3) Untuk sistitis ringan, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah
minum banyak cairan. Aksi pembilasan ini akan membuang banyak
bakteri dari tubuh, bakteri yang tersisa akan dilenyapkan oleh
pertahanan alami tubuh.
4) Pemberian antibiotik peroral seperti kotrimoksazol 480 mg tiap 12 jam
atau siprofloksasin selama 5 hari biasanya efektif, selama belum timbul
komplikasi.
5) Jika infeksinya kebal, biasanya antibiotik diberikan selama 710 hari.
6) Gejalanya seringkali bisa dikurangi dengan membuat suasana urin
menjadi basa, yaitu dengan meminum baking soda yang dilarutkan
dalam air.

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk eradikasi kuman penyebab.
2) Alasan rujuk: pada kasus komplikasi, anak, wanita hamil, dan indikasi
pembedahan.

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas: disuria,
leukosituria dan nitrit urin positif.
2) Diambil contoh urin aliran tengah (midstream), agar urin tidak tercemar
oleh bakteri dari vagina atau ujung penis. Urin kemudian diperiksa
dibawah mikroskop untuk melihat adanya sel darah merah atau sel
darah putih atau zat lainnya.
3) Dilakukan penghitungan bakteri dan dibuat biakan untuk menentukan
jenis bakterinya. Jika terjadi infeksi, maka biasanya 1 jenis bakteri
ditemukan dalam jumlah yang banyak.
4) Pada pria, urin aliran tengah biasanya cukup untuk menegakkan
diagnosis. Pada wanita, contoh urin ini kadang dicemari oleh bakteri
dari vagina, sehingga perlu diambil contoh urin langsung dari kandung
kemih dengan menggunakan kateter.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

265

266
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

87. SKABIES
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 0704

ICD X : B86

a. Definisi
Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan dapat
ditularkan melalui kontak erat dengan orang yang terinfeksi merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap kutu
Sarcoptes scabiei var hominis dan fesesnya pada kulit manusia. Sarcoptes
scabiei adalah kutu yang transparan, berbentuk oval, punggungnya
cembung, perutnya rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas
dengan memutus rantai penularan dan memberi obat yang tepat.
b. Penyebab
Kutu Sarcoptis scabiei.
c. Gambaran klinik
Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama,yaitu:
1) Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang disebabkan
aktivitas tungau yang lebih tinggi dalam suhu lembab.
2) Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok. Mereka yang
tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan
berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah
menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara
bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat
kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.
3) Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit (kanalikuli),
yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok, menimbulkan eritem yang
berpasangan. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, maka akan
timbul gambaran pustul (bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah
lipatan kulit yang tipis, seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar
kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit sekitar payudara, bokong
dan perut bagian bawah.
4) Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis,
merupakan diagnosis pasti penyakit ini.
d. Diagnosis

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Ditegakkan dari anamnesis, manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang


ditemukan 3 dari 4 kriteria sebagai berikut:
1) Gatal malam hari
2) Terdapat pada sekelompok orang
3) Predileksi dan morfologis khas
4) Ditemukan Tungau S.scabies

267

e. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit ini menggunakan obat berbentuk krim atau salep yang
dioleskan pada bagian kulit yang terinfeksi. Banyak sekali obat yang
tersedia di pasaran. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara
lain; tidak berbau, efektif terhadap semua stadium kutu (telur, larva maupun
kutu dewasa), tidak menimbulkan iritasi kulit, juga mudah diperoleh dan
murah harganya.
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif ringan untuk mengurangi gatal,
misalnya klorfeniramin maleat 0,34 mg/kg BB tiap 8 jam.
b) Antibiotik bila ditemukan infeksi sekunder misalnya amoksisilin.
2) Topikal
Obatan-obatan yang dapat digunakan antara lain:
a) Lini 1: Permetrin HCl 5%, dioleskan pada kulit dan dibiarkan
selama 10 jam, dapat diulang setelah 1 minggu.
b) Salep 24, biasanya dalam bentuk salep atau krim.
Obat ini tidak efektif membunuh stadium telur, dan penggunaannya
harus lebih dari 3 hari berturut-turut.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: penyembuhan dan pemutusan rantai
penularan.
2) Pencegahan: penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan. Hindari
kontak dengan pasien serupa.
3) Mencuci bersih bahkan sebagian ahli menganjurkan merebus handuk,
seprai maupun baju pasien skabies, kemudian menjemurnya hingga
kering. Menghilangkan faktor predisposisi, antara lain dengan
penyuluhan mengenai higiene perorangan dan lingkungan.
4) Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama.
5) Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi
untuk memutuskan rantai penularan.

268
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Dianjurkan kontrol 1 minggu kemudian, bila ada lesi baru obat topikal
dapat diulang kembali.

88. SKIZOFRENIA dan GANGGUAN PSIKOTIK KRONIK LAIN


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 68
ICD X : F20
a. Definisi
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa (psikotik), bermanifestasi
sebagai suatu sindroma yang ditandai penyimpangan yang mendasar dari
pikiran, persepsi dan afek yang tidak sesuai yang menimbulkan penderitaan
dan mempengaruhi fungsi sehari-hari. Dapat timbul eksaserbasi akut.
Perlu untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan organik
(misalnya: demam, riwayat kejang, kemungkinan intoksikasi NAPZA,
trauma kepala).
b. Penyebab
Biopsikososial; yaitu terdiri dari faktor biologis (termasuk genetik), faktor
psikologis (kepribadian, motivasi) dan faktor sosial (keluarga dan
lingkungan).
c. Gambaran Klinis
Pasien mungkin datang dengan keluhan: halusinasi seperti mendengar
suara-suara/melihat bayangan gaib yang tidak didengar/dilihat oleh orang
lain, bicara sendiri, bicara kacau yang tidak dapat dimengerti, keyakinan
yang aneh dan tidak sesuai dengan realita (contoh: merasa yakin dirinya
seorang malaikat, dikejar-kejar, menerima pesan melalui televisi),
gelisah, tidak dapat tidur, sulit berkonsentrasi, keluhan fisik yang tidak
biasa/aneh (misal: merasa ada hewan atau obyek yang tak lazim di dalam
tubuhnya), menarik diri dari lingkungan sosial, afek tumpul dan tidak
serasi.
d. Diagnosis
1) Adanya delusi/waham (keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan
realita).
2) Adanya halusinasi dengar (tersering).
3) Perilaku aneh.
4) Bicara kacau atau tidak dapat dimengerti.
5) Agitasi atau kegelisahan.
6) Penarikan diri secara sosial, pengabaian diri termasuk kebersihan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

269

270
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

7) Gejala berlangsung selama paling sedikit 1 bulan yang mencakup fase


aktif dengan atau tanpa fase prodromal (awal) maupun fase residual
(tidak adanya gejala aktif).
8) Tidak ada penyebab organik.
e. Penatalaksanaan
1) Pada kasus eksaserbasi akut atau gaduh gelisah dapat diberikan
haloperidol injeksi 5 mg i.m. dengan atau tanpa diazepam injeksi 5 mg.
Nilai ulang setelah 2 jam, dapat diulang. Jika pasien telah tenang,
dianjurkan untuk kembali menggunakan terapi oral.
2) Berikan antipsikotik oral haloperidol 5 mg/hari, terbagi menjadi 2 3
kali pemberian. Dapat dinaikkan secara bertahap setelah 2 3 minggu
bila belum tampak perbaikan. Bila telah perbaikan maka dosis
dipertahankan hingga pasien tenang dan kembali dapat mengurus
dirinya sendiri. Bila belum tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkan
hingga 15 mg/hari. Nilai kembali terapi setelah 6 bulan-1 tahun.
3) Gunakan dosis efektif terkecil untuk mengurangi efek samping.
4) Pada hal-hal khusus, seperti pasien pasca rawat (rujuk balik) dengan
ketidakpatuhan minum obat, dianjurkan pemberian injeksi depo lepas
lambat haloperidol 50 mg 1 bulan sekali dengan syarat:
a) Pasien telah stabil menggunakan haloperidol oral sebelumnya. Jika
pasien belum pernah menggunakan haloperidol oral, dapat dimulai
haloperidol oral selama 2 minggu.
b) Tidak ada gangguan fisik.
c) Dapat dimulai dengan dosis 25 mg atau setengah dosis diinjeksikan
i.m untuk 24 minggu. (Dilarang menggunakan secara intravena/
i.v)
d) Setelah 4 minggu injeksi depo dapat dinaikkan menjadi 50 mg atau
dosis utuh.
e) Pada 1-3 bulan pertama (individual), pasien masih mendapatkan
terapi oral dengan dosis yang disesuaikan, mengingat preparat depo
membutuhkan waktu untuk mencapai kadar plasma yang stabil.
f) Untuk selanjutnya pasien diberikan injeksi i.m. 1 bulan sekali dosis
50 mg.
g) Jika timbul demam tinggi, peningkatan denyut nadi dan tekanan
darah, CPK meningkat segera hentikan penggunaan antipsikotik,
beri terapi suportif dan segera rujuk ke RSU atau RSJ yang
memiliki layanan spesialisasi Penyakit Dalam.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

271

f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala, mengurangi kekambuhan dan
mengembalikan fungsi.
2) Efek Samping
a) Efek samping tersering dari haloperidol adalah gejala-gejala ekstra
piramidal seperti: tremor, akut distonia, rigiditas, dan drooling,
diberikan antikolinergik (triheksifenidil) 2 mg tiap 8-24 jam atau
injeksi i.m. difenhidramin 25 mg (jika berat seperti distonia akut
dengan oculogyric crises), dapat diulang. Jika ada riwayat efek
samping ini, dapat diberikan triheksifenidil bersamaan dengan
pemberian haloperidol.
b) Efek samping tersering klorpromazin adalah hipotensi ortostatik
dan sedasi kuat, hati-hati untuk pemberian bagi lansia. Tidak
diperbolehkan bagi pasien epilepsi, dapat mencetuskan status
epileptikus karena menurunkan ambang kejang.
3) Jelaskan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa dengan
penyebab biopsikososial.
4) Gejala skizofrenia bisa hilang timbul. Diperlukan kepatuhan minum
obat untuk mencegah kekambuhan. Informasikan kepada keluarga dan
pasien mengenai efek samping.
5) Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk ketaatan terhadap
pengobatan dan rehabilitasi yang efektif.
6) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
7) Organisasi kemasyarakatan bisa memberikan dukungan yang berarti
bagi pasien dan keluarga.
8) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
9) Kurangi stres dan stimulasi. Jangan berargumentasi terhadap pikiran
psikotik. Hindari konfrontasi atau mengkritik.
10) Pada saat gejala lebih berat, sebaiknya istirahat dan menghindari

dari stres.

272
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

89. STOMATITIS AFTOSA (SARIAWAN)


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1505

ICD X : K12

a. Definisi
Stomatitis aftosa (sariawan) adalah suatu luka terbuka yang kecil di dalam
mulut yang menimbulkan nyeri.

e. Penatalaksanaan
1) Anjurkan pasien untuk meningkatkan kebersihan mulutnya,
menghindari makan makanan yang merangsang (asam, pedas),
perbanyak makan buah-buahan dan hindari stress.
2) Pemberian suplemen vitamin C
3) Jika sariawan tidak hilang setelah 2 minggu, rujuk ke Rumah Sakit.
f.

b. Penyebab
Penyebabnya macam-macam misalnya kebersihan mulut yang buruk, gizi
kurang, infeksi kuman, gangguan hormonal (gingivostomatitis
deskuamatif),
kelainan
darah,
pemakaian
obat
(stomatitis
medikamentosa/venenata) atau makanan yang merangsang misalnya cabe.
Stomatitis Vincent disebabkan oleh kuman Gram negatif, sedangkan
stomatitis aftosa (sariawan) merupakan salah satu bentuk yang tidak
diketahui penyebabnya.
Beberapa faktor diduga berperan dalam terjadinya sariawan, misalnya
demam, stres, trauma, cemas, gangguan hormonal.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah).

c. Gambaran Klinis
1) Sariawan dapat terjadi di semua bagian mulut. Bila sariawan ini terletak
di dekat faring, pasien biasanya mengeluh sakit menelan.
2) Stomatitis Vincent atau gingivostomatitis nekrotik biasanya timbul
akut. Pasien mengeluh mulutnya rasa terjadi perdarahan spontan pada
gusi dan gigi sering terasa memanjang. Ulkus pada stomatitis ini
biasanya terdapat di daerah gusi antargigi dan diselaputi
pseudomembran berwarna kuning keabu-abuan yang mudah diangkat.
Tetapi ulkus ini dapat meluas ke bagian lain mulut sampai ke faring.
d. Diagnosis
1) Nyeri dan lesi pada rongga mulut.
2) Diagnosis banding:
a) Infeksi oportunistik HIV-AIDS atau immunocompromised lain
b) Bagian dari autoimun
c) Bagian dari penyakit menular seksual
d) Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD)

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

273

274
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

90. STROKE
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3A
:

ICD X : -

a. Definisi
Stroke menurut Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization
(WHO) tahun 1970, adalah sindroma klinik yang ditandai oleh kelainan
fungsi otak baik fokal maupun global (misalnya koma) yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa penyebab lain
kecuali gangguan pembuluh darah otak.
Sindroma klinik lain yang disebut Transient Ischaemic Attack (TIA)
yang gejalanya persis sama seperti stroke, namun kembali normal dalam
waktu 24 jam dan dalam pemeriksaan pencitraan (imaging) tidak
ditemukan kelainan.
b. Penyebab
Stroke menurut patologinya dibagi :
1) Stroke Iskemik terjadi karena kurang atau hilangnya aliran darah ke
otak. Ini disebabkan karena adanya blockade/hambatan oleh trombosis
atau emboli arteri. Angka kejadiannya 80-85%
a) Stroke infark trombotik
b) Stroke infark emboli
2) Stroke Perdarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak. Angka
kejadiannya 15-20%
a) Stroke perdarahan intraserebral
b) Stroke perdarahan sub arachnoid.
c. Faktor Risiko Stroke:
1) Tidak dapat dimodifikasi: usia, ras, jenis kelamin, riwayat keluarga
menderita penyakit vaskuler
2) Dapat dimodifikasi: hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung,
kegemukan, sindroma metabolik, merokok, dislipidemi, pernah
menderita TIA atau stroke sebelumnya.
d. Gambaran Klinis
Gejala-gejala Stroke terjadi secara mendadak, yaitu:
1) Secara garis besar disebut AKSI
a) Asimetri wajah
b) Kelumpuhan sesisi (hemiparese)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

275

2)
3)
4)
5)

c) Sulit bicara (disartri, afasi/disfaria)


d) Inisiatif segera kerumah sakit
Sulit merasakan sensasi, gringgingen, kebas tubuh satu sisi
Gangguan konsentrasi dan memori
Gangguan koordinasi dan keseimbangan tubuh
Gangguan penglihatan, pendengaran, mengecap dan membau.

e. Penatalaksanaan
1) Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi cepat terhadap tanda-tanda stroke dan TIA
dari dokter, petugas medis maupun petugas terkait karena konsep Time
is Brain yang berarti bahwa pengobatan Stroke merupakan keadaan
gawat darurat. Jadi keterlambatan pertolongan fase prahospital harus
dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan
keluarga
2) Pengiriman pasien
Segera panggil ambulans gawat darurat hal ini sangat berperan penting
dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat untuk penanganan
stroke.
3) Transportasi/ambulans
Transporasi pengiriman pasien fasilitas kesehatan yang dituju, petugas
ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian
pasien stroke pra rumah sakit.
Fasilitas yang harus ada dalam ambulans adalah sebagai berikut:
a) Personil yang terlatih
b) Peralatan dan obat resusitasi dan gawat darurat.
c) Ambulans dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, a.l.
pemeriksaan glukosa (glucometer), Oksigen dan pemeriksa kadar
saturasi O2.
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu
mengerjakan:
a) pemeriksaan dan menilai tanda-tanda vital
b) tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway, Breathing
Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan koma yang dalam,hipoventilasi, dan aspirasi.
c) bila kardiopulmoner stabil pasien diposisikan setengah duduk
d) pemasangan infus dengan cairan normal salin
e) pemberian oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
f) pencatatan waktu onset serangan

276
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g) transportasi secepatnya ( Time is brain).


4) Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit
gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan
definitif pasien stroke.
f.

KIE
Pencegahan primer
Pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan pengendalian
berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat dan kelompok
risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
1) Mengatur pola makan yang sehat
2) Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan
risiko terkena serangan stroke.
3) Jenis makanan yang sehat adalah:
a) Makanan biji-bijian a.l; beras merah, bulgur, jagung, gandum,
kacang kedelai
b) Makanan yang bervitamin dan antioksidan: susu, sayuran, buah
c) Teh hitam dan teh hijau yang banyak mengandung antioksidan
4) Menambah asupan kalium dan mengurangi natrium (monosodium
glutamate, sodium natrium), makanan sebaiknya segar
5) Mengutamakan makanan berserat dan protein nabati serta bervariasi
dan perhatikan menu seimbang
6) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong dan
kacang-kacangan serta banyak mengandung polisakarida seperti nasi,
roti, pasta, sereal dan kentang.
7) Hindari makanan yang mengandung gula.
8) Penanganan stress dan beristirahat yang cukup.
a) Istirahat cukup dan tidur teratur sekitar 68 jam/hari.
b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai jiwa sehat
menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap
ramah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
9) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam hal
diet dan obat. Apabila mempunyai faktor risiko stroke (misalnya:
hipertensi, diabetes, dislipidemia) harus dikendalikan dengan
pengobatan dan gaya hidup sehat (menu makanan seimbang dan tidak
merokok/alkohol).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

277

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh petugas pelayanan


ambulans:
1) Jangan terlambat membawa pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan
2) Jangan memberi cairan berlebih kecuali pada pasien syok dan
hipotensi.
3) Jangan menurunkan tekanan darah. Hindari hipotensi, hipovolemi.
hipoventilasi atau anoksia.
4) Catat waktu onset serangan.

278
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

91. STRUMA ENDEMIK (GONDOK)


Kompetensi
: 3b
Laporan Penyakit
: -

Tabel 34. Gejala dan Tanda Hipotiroid


ICD X : E.01

a. Definisi
Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid. Disebut struma
endemik (gondok) bila struma ini ditemukan pada banyak orang dalam
suatu populasi. Ini biasanya terjadi di daerah yang makanan penduduknya
kurang mengandung iodium. Penyakit ini umumnya muncul pada masa
pubertas atau kehamilan.
b. Penyebab
Pada keadaan tertentu struma disebabkan oleh zat goitrogenik seperti PAS,
sulfonilurea, litium atau iodium dosis tinggi.
c. Gambaran Klinis
Adanya kelainan dishormonogenesis tiroid perlu dicurigai apabila
ditemukan:
1) Gondok yang secara familial terdapat di daerah nonendemis.
2) Adanya kretin di daerah nonendemis.
3) Adanya gondok dengan hipotiroidisme tanpa tanda Hashimoto.
4) Adanya gondok disertai dengan gangguan pendengaran (tuli dan
sebagainya).
5) Pasien dengan hipotiroidisme ringan datang dengan keluhan lelah,
nyeri otot, rambut rontok atau konstipasi, kadar T4 bebas biasanya
rendah atau normal rendah, dengan kadar TSH meningkat.
6) Sedangkan manifestasi klinik pasien dengan hipotiroidisme nyata,
berupa kurang energi, rambut rontok, intoleransi dingin, berat badan
naik, konstipasi, kulit kering dan dingin, suara parau, serta lamban
dalam berpikir.
7) Pada hipotiroidisme, kelenjar tiroid sering tidak teraba. Kemungkinan
terjadi karena atrofi kelenjar akibat pengobatan hipertiroidisme
memakai yodium radioaktif sebelumnya atau setelah tiroditiditis
autoimun.
Gejala dan tanda hipotiroid dapat dilihat pada Tabel 34.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

279

No
1.

Organ
Otak
(Gangguan mental)

2.
3.

Mata
Telinga , Hidung
dan Tenggorokan
Kelenjar Tiroid

4.

5.
6.
7.
8.

Jantung
dan
pembuluh darah
Saluran Cerna
Sistem Reproduksi
Otot dan saraf

Gejala dan Tanda


Lemah, lelah, mengantuk, depresi, kemampuan berbicara
menurun, intelektual menurun, gangguan ingatan, proses
psikis pelan.
Sakit kepala, gangguan penglihatan, edema periorbital
Suara serak
Pembesaran tiroid/ Goiter noduler atau difusa (tiroiditis
autoimun kronik, obat anti tiroid, kekurangan atau kelebihan
hormone tiroid)
Tekanan nadi berkurang (bradikardi), hipertensi diastolik,
kardiak output berkurang
Sulit buang air besar (Konstipasi), berat badan naik/ gemuk.
Infertilitas, gangguan menstruasi
Kaku sendi, kesemutan, nyeri sendi
Gerakan otot lemah (hiporefleksia), edema non pitting
(miksedema), ataksia, kramp otot

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan ditujukan untuk:
a) Mengurangi besarnya kelenjar gondok.
b) Mengoreksi adanya keadaan hipotiroidisme, kalau memang ada.
2) Larutan Lugol 5 tetes/hari dalam 1/2 gelas air bersama dengan iodium
1015 mg/hari selama beberapa minggu sampai kelenjar tiroid kembali
normal.
3) Selanjutnya pasien dianjurkan menggunakan garam dapur beriodium.
f.

KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah :
a) Meringankan keluhan dan gejala
b) Menormalkan metabolisme
c) Mencegah komplikasi dan risiko penyakit jantung
2) Pencegahan: dianjurkan untuk mengkonsumsi garam beriodium.
3) Alasan rujukan: jika dipertimbangkan perlu tindakan operasi, tidak ada
respon dengan pengobatan yang diberikan, ada krisis tiroid atau bila
ada persangkaan keganasan.

280
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

92. SYOK ANAFILAKSIS


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: -

ICD X : -

a. Definisi
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak
lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen
yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga
terjadi degranulasi, pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang
mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan edema. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme
yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat,
terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras.
Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang
yang rentan.
b. Penyebab
Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat secara
suntikan, tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang diberikan secara oral
atau oleh makanan. Obat suntik yang paling sering menimbulkan syok
anafilaksis antara lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali dan
kombinasi vitamin neurotropik.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala-gejala pertama: eritema, rasa terbakar pada kulit, rasa tersengat,
takikardi, rasa tebal di faring dan dada, batuk, mungkin mual dan
muntah.
2) Gejala-gejala sekunder: Pembengkakan kulit (khususnya palpebra dan
bibir), urtikaria, edema laring, serak, wheezing, serangan batuk, nyeri
abdomen, mual, muntah, diare, hipotensi, berkeringat, pucat.
3) Pada kasus-kasus berat, spasme laring, syok, henti napas dan henti
jantung.
d. Diagnosis
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

281

e. Penatalaksanaan
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab pasien
berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi
gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena
kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau
cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral,
maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1) Hentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab syok anafilaktik.
2) Segera baringkan pasien pada alas yang keras dan rata. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
3) Segera berikan adrenalin 0,30,5 mg larutan 1 : 1000 untuk pasien
dewasa atau 0,01 g/kgBB untuk pasien anak-anak, i.m. Pemberian ini
dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24
g/menit.
4) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB i.v
dosis awal yang diteruskan 0,40,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 510 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
6) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk pasien yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edema laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Pasien yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Pasien dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.

282
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
(a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung
luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan
hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi
jantung paru.
7) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian
cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 2040% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi,
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dekstran
juga bisa melepaskan histamin.
8) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila pasien syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan pasien di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi pasien harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.
9) Kalau syok sudah teratasi, pasien jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan pasien yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 x
suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

2) Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang


mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko
lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
3) Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya pasien dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti
pasien tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan
reaksi sebesar 1 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60% bila tes kulit positif.
4) Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau
anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
5) Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan
selimut pada pasien untuk mencegah kedinginan dan mencegah
kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh pasien karena
akan sangat berbahaya.
Pemberian Cairan:
1) Jangan memberikan minum kepada pasien yang tidak sadar, mualmual, muntah atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke
dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada pasien yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Pasien hanya boleh minum bila pasien sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila pasien menjadi
mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan
volume intravaskuler, volume interstitial dan intra sel. Cairan plasma
atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
f.

Pencegahan:
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam tiap
pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:
1) Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

283

KIE
Kepada keluarga perlu diberitahukan bahwa kasus ini adalah kondisi
emergensi, dan sedang dilakukan upaya penyelamatan hidup (life saving)

284
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

93. TETANUS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 3B
: 0305

ICD X : A-35

a. Definisi
Penyakit sistem saraf yang disebabkan oleh Clostridium tetani, berlangsung
akut dengan karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
b. Penyebab
Bakteri anaerob Clostridium tetani. Spora dari Clostridium tetani dapat
hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah dan kotoran hewan. Jika
bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh manusia, bisa terjadi infeksi baik
pada luka yang dalam maupun luka yang dangkal. Setelah proses
persalinan, bisa terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang baru
lahir (tetanus neonatorum). Gejala-gejala infeksi ditimbulkan oleh racun
yang dihasilkan oleh bakteri, bukan bakterinya.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas: kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi pasien
seperti menyeringai (risus sardonikus) dengan kedua alis yang
terangkat.
2) Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 510 hari setelah
terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari
setelah terinfeksi.
3) Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit
dibuka (trismus) karena yang pertama terserang adalah otot rahang.
4) Gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala, demam,
nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan serta
tungkai.
5) Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung bisa
menyebabkan kepala dan tumit pasien tertarik ke belakang sedangkan
badannya melengkung ke depan yang disebut epistotonus.
6) Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi
urin dan konstipasi.
7) Gangguan-gangguan ringan seperti suara berisik, aliran angin atau
goncangan, bisa memicu kejang otot disertai nyeri dan keringat
berlebih.
8) Selama kejang pasien tidak dapat berbicara karena otot dadanya kaku
atau terjadi kejang tenggorokan sehingga terjadi kekurangan oksigen
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

yang menyebabkan gangguan pernapasan. Biasanya tidak terjadi


demam. Laju pernapasan dan denyut jantung serta refleks-refleks
biasanya meningkat. Tetanus juga bisa terbatas pada sekelompok otot
di sekitar luka. Kejang di sekitar luka ini bisa menetap selama beberapa
minggu.

285

d. Diagnosis
Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada seseorang
yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan
pembiakan bakteri dari apusan luka.
e. Penatalaksanaan
Pasien tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia harus selalu
mendapat pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk lakukan hal-hal di
bawah ini:
1) Lakukan langkah-langkah ABC
2) Segera diberikan diazepam dosis 10 mg i.v. perlahan 23 menit. Dapat
diulangi bila diperlukan.
3) Berikan IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 tiap 6 jam
4) Bila tersedia, berikan Antitoksin tetanus:
a) Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 UI/hari i.m.
selama 3 5 hari. Tes kulit sebelumnya, atau
b) Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000 UI i.m.
tergantung beratnya penyakit. Diberikan dosis tunggal.
5) Berikan penisilin prokain 2 juta UI i.m pada orang dewasa atau 50.000
UI/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. Bila
tidak ada atau alergi terhadap Penilisin dapat diberikan:
a) Eritromisin per oral 500 mg tiap 6 jam, atau
b) Tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam.
6) Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan
membersihkannya dengan H202 3%. Port dentre lain seperti OMSK
atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan kejang, meningkatkan kualitas
hidup, mencegah komplikasi, mencegah kematian.
2) Diberikan nutrisi dan makanan yang cukup. Bila perlu, diberikan
melalui pipa nasogastrik.

286
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk


rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermitten.
4) Mempertahankan/membebaskan jalan napas: pengisapan lendir
oro/nasofaring secara berkala.
5) Posisi/letak pasien diubah-ubah secara periodik.
6) Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.

94. TETANUS NEONATORUM


Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1803

ICD X : A33

a. Definisi
Tetanus neonaturom adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus
(bayi usia <1 bulan). Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi melalui
pintu masuk satu-satunya yaitu tali pusat, yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun perawatannya sebelum
puput (terlepasnya tali pusat).
b. Penyebab
Kuman Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun)
dan menyerang sistem saraf pusat.
c. Gambaran Klinis
1) Bayi biasanya tidak mau menyusu dengan tanda khas mulut yang
mencucu (trismus).
2) Kaku kuduk dan kejang sampai epistotonus sering dijumpai.
3) Perut papan
4) Tidak jarang bayi demam tinggi dan tampak sianosis.
d. Diagnosis
Kejang pada bayi usia <1 bulan dengan gejala khas.
e. Penatalaksanaan
Pasien sebaiknya dirujuk untuk dirawat di rumah sakit karena sering terjadi
komplikasi terutama sepsis. Sebelumnya pasang infus cairan rumat yaitu
glukosa 5% NaCl (4:1) sebanyak 75ml/kgBB/hari, kemudian diberikan:
1) ATS 10.000 UI/hari selama 2 hari berturut-turut.
2) Diazepam i.v. secara perlahan dengan titrasi dosis sampai kejang
hilang, maksimal 2,5 mg; kemudian dilanjutkan dengan 34
mg/kgBB/hari dalam cairan infus.
3) Berikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB
f.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

287

KIE
1) Imunisasi TT pada ibu hamil dan sebelum menikah.
2) Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.

288
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

95. TIFUS ABDOMINALIS


Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 23

splenomegali; nyeri abdomen disertai perut yang agak


membengkak 2-3 cm di bawah lengkung iga kanan, rose
spot/roseolae (jarang pada orang Indonesia). Pada pemeriksaan
abdomen dapat ditemukan gambaran klasik seperti adonan
(doughy) dan terasa usus yang terisi udara.
b) Pada minggu ke-3 mulai dapat terlihat perubahan kesadaran
(disorientasi, bingung, delirium, supor bahkan koma). Tanda-tanda
perforasi: nyeri seluruh perut, distensi abdomen, defense muscular
(+). Tanda-tanda perdarahan: melena, hematokesia, sampai dengan
syok dapat terjadi.

ICD X : A01

a. Definisi
Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi yang ditularkan
melalui makanan yang tercemar oleh feses dan urin pasien.
b. Penyebab
Bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi.
c. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
a) Pada minggu pertama dapat ditemui demam naik secara bertahap
pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu). Demam
terutama sore/malam hari, dapat disertai sakit kepala, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
b) Pada minggu kedua demam berupa tipe remiten (demam naikturun, tetapi suhu tidak pernah mencapai normal). Keadaan pasien
menurun, dapat apatis, bingung, kehilangan kontak dengan orang
sekitarnya, tidak bisa tidur.
c) Memasuki minggu ketiga, pasien masuk ke tahap typhoid state,
ditandai dengan disorientasi, bingung, insomnia, dapat pula
delirium. Sewaktu-waktu dapat timbul komplikasi perdarahan atau
perforasi (lemah, pucat, nyeri seluruh perut akibat peritonitis,
bahkan ensefalopati disertai dengan syok). Saat ini pasien
mengalami BAB lembek, berwarna coklat tua atau kehijauan,
berbau (pea soup diarrhea), tapi mungkin juga masih mengalami
konstipasi. Pada akhir minggu ketiga suhu mulai turun dan normal
pada minggu berikutnya.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Minggu pertama terkadang hanya didapati demam yang meningkat
perlahan-lahan terutama sore/malam hari. Minggu kedua tanda
menjadi lebih jelas berupa kesadaran berkabut, bradikardi relatif
(frekuensi nadi yang tidak sesuai dengan suhu tubuh pasien; tiap
peningkatan suhu 1oC seharusnya disertai dengan peningkatan
denyut nadi 8-10 x/menit), thyphoid tongue (lidah kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, tremor), organomegali: hepatomegali,
289

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa kurva panas yang
spesifik dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
Tirah baring untuk pasien dengan komplikasi. Diet harus mengandung
kalori dan protein yang cukup sebaiknya rendah serat, makanan lunak.
f.

Pengobatan :
1) Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% pasien dapat
disembuhkan.
a) Kloramfenikol, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas
demam,
b) Anak : 50-100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam.
c) Amoksisilin, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas
demam,
d) Anak : 50100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam.
e) Siprofloksasin, Dewasa: 500 mg tiap 12 jam selama 6 hari.
2) Terapi simtomatik (anti piretik, anti emetik)
3) Roboransia.
4) Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus sampai pasien
dapat mencerna makanan.

g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan:
a) Pencegahan terhadap carier dan kasus relaps.

290
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Perbaikan sanitasi lingkungan, higiene makanan dan higiene


perorangan
c) Sebaiknya hindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya
yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya
memilih makanan yang masih panas atau makanan yang
dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.
d) Bila timbul efek samping kloramfenikol (ikterus), ganti antibiotik
lain karena kemungkinan terjadi defisiensi enzim G6PD.
e) Alasan rujukan: jika selama 5 hari terapi tidak menunjukkan
perbaikan atau terjadi perburukan/komplikasi, dugaan perforasi.

96. TIROTOKSIKOSIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: -

ICD X : E00-E07

a. Definisi
Tirotoksikosis adalah suatu keadaan dimana didapatkan konsentrasi
hormon tiroid yang berlebihan.
Tirotoksikosis dibagi dalam 4 kategori:
1) Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
2) Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
3) Kerusakan Tiroid: tiroiditis subakut, silent thyroiditis, amiodaron,
paparan radiasi
4) Sumber hormon tiroid ekstratiroidal: thyrotoxicosis factitia, struma
ovarii, karsinoma folikuler fungsional.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan produksi hormon
tiroid berlebih akibat peningkatan aktivitas kelenjar tiroid yang meningkat.
Penyebab tirotoksikosis dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme primer
- Penyakit Graves
- Gondok multinodula toksik
- Adenoma toksik
- Obat: yodium berlebihan,
lithium
- Karsinoma tiroid
- Struma ovarii (ektopik)
- Mutasi TSH-r1 Gs

Tirotoksikosis
tanpa
Hipertiroidisme
- Hormon tiroid berlebih
(tirotoksikosis faktisia)
- Tiroiditis subakut (viral
atau De Quervain)
- Silent thyroiditis
- Destruksi
kelenjar:
amiodaron, I-131, radiasi,
adenoma, infark

Hipertiroidisme
Sekunder
- TSH-secreting
tumor
chGH
secreting tumor
- Tirotoksikosis
gestasi
(trimester
pertama)
- Resistensi hormon
tiroid

Hipertrofi yang paling sering adalah Graves disease, struma multinoduler


toksik, dan adenoma toksik.
b. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
Perlu diperhatikan usia pasien (pada lansia gejala sering samar) dan
sejak kapan keluhan dirasakan. Dapat dijumpai hiperaktivitas,
iritabilitas dan disforia (berkeringat banyak), tidak tahan panas,
palpitasi, lelah dan lemah, berat badan menurun namun nafsu makan

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

291

292
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

meningkat, diare, poliuri, oligomenorea, hilangnya libido, insomnia dan


konsentrasi terganggu, gangguan mental, diplopia, fotofobia.
2) Pemeriksaan fisik
a) Dapat ditemukan : takikardia, aritmia (atrial fibrilasi), tremor,
struma, kadang disertai thrill atau bruit, kulit hangat dan lembab,
kelemahan otot, miopati proksimal, refleks fisiologis meningkat,
retraksi kelopak mata, eksoftalmus, iritasi mata, rambut semakin
halus, alopecia, ginekomastia.
b) Gambaran klinis Graves disease: struma difus, tiroksikosis,
oftalmopati/ eksoftalmus, dermopati lokal, thyroid acropachy.
3) Pemeriksaan laboratorium penunjang dibutuhkan untuk kepastian
diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan, didapati kadar T3 dan T4
meningkat dan TSHs (Tiroid Stimulating Hormon sensitive) menurun.
c. Diagnosis
Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis tanpa
pemeriksaan laboratorium, namun pemeriksaan laboratorium perlu untuk
menilai kemajuan terapi.
Komplikasi
Krisis tiroid
Krisis tiroid adalah suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling
berbahaya dengan mortalitas amat tinggi. Pada keadaan ini dijumpai
dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Hampir semua kasus diawali
oleh faktor pencetus, diantaranya: infeksi, operasi, trauma, zat kontras
beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, penghentian obat antitiroid,
tata laksana, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, CVD/stroke,
atau palpasi tiroid terlalu kuat.
Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36. Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid
(Burch-Wartofsky, 1993)
Disfungsi pengaturan panas
Suhu
37,2-37,7
37,8-38,3
38,4-38,8
38,9-39,4
39,5-39,9
>40
Efek pada susunan saraf pusat
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5
10
15
20
25
30

Disfungsi Kardiovaskuler
Takikardi
99-109
110-119 10
120-129 15
130-139 20
>140
Gagal Jantung
Tidak ada

25
0

293

Tidak ada
0
Ringan (agitasi)
10
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat)
20
Berat (koma, kejang)
30
Disfungsi gastrointestinal hepar
Tidak ada
0
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)
20

Ringan (edema kaki)


Sedang (ronki basal)
Berat (edema paru)
Fibrilasi atrium
Tidak ada
Ada
Riwayat pencetus
Negatif
Positif

5
10
15
0
10
0
10

Kemungkinan krisis tiroid: > 45 highly suggestive, 25-44 suggestive of


impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil (bukan berarti pasti tidak
krisis tiroid).
d. Penatalaksanaan
1) Penggunaan obat antitiroid seperti Propiltiourasil (PTU), dosis awal
70200 mg tiap 8 jam selama 68 minggu, pemeliharaan 50300
mg/hari.
2) Pada keadaan krisis tiroid atau bila dicurigai krisis tiroid, harus segera
dirujuk ke RS. Sebelum dirujuk dapat dilakukan hal berikut:
a) Perawatan suportif:
(1) Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
(2) Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit:
Infus Dekstrose 5% dan NaCl 0,9%
(3) Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis
b) Antagonis aktivitas hormon tiroid:
(1) Blokade produksi hormone tiroid: Propiltiourasil (PTU)
loading dose 600-1000 mg diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam
dengan dosis sehari total 1000-1500 mg)
(2) Blokade ekskresi hormon tiroid: Solutio lugol (saturated
solution of potassium iodida) 10 tetes tiap 6-8 jam
(3) Beta blocker: Propanol 20-40 mg tiap 6 jam PO, dosis
disesuaikan respons (target: frekuensi jantung <90x/m)
(4) Glukokortikoid: Prednison 25 mg (setara hidrokortison 100
mg)
c) Pengobatan terhadap faktor presipitasi: seperti pemberian antibiotik
pada kasus infeksi, dll.
e. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengontrol hormon tiroid, mencegah komplikasi
terhadap organ tubuh lain.

294
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pengobatan harus teratur dan jangka lama, sebagian pasien dapat


perlahanlahan diturunkan dosis obat anti-tiroid, namun pasien tidak
boleh menurunkan sendiri obatnya hanya karena merasa sudah enak.
3) Pemeriksaan kadar hormon tiroid mungkin diperlukan tiap 13 bulan
sekali untuk memantau keberhasilan terapi dan perencanaan
menurunkan obatobatan.
4) Kegagalan terapi umumnya karena ketidakpatuhan pasien makan obat,
karena itu pasien perlu diperiksa ulang tiap 2 minggu pada 2 bulan
pertama, kemudian tiap bulan sampai pengobatan selesai.
5) Alasan merujuk : pada komplikasi krisis tiroid setelah penanganan
awal, bila ditemukan komplikasi organ lain yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut, bila dipertimbangkan untuk melakukan
pembedahan atau pemberian iodium radioaktif.

97. TONSILITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 1301

ICD X : J03

a. Definisi
Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di puncak
tenggorokan) yang berfungsi membantu menyaring bakteri dan
mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang dapat
menyerang semua golongan umur.
Pada anak, tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi. Bila tonsilitis
akut sering kambuh walaupun pasien telah mendapatkan pengobatan yang
memadai, maka perlu diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik.
Faktor-faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya tonsilitis: rangsangan
menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca, pengobatan tonsilitis
yang tidak memadai, dan higiene rongga mulut yang kurang baik.
Tonsilitis kronik dapat tampil dalam bentuk hipertrofi hiperplasia atau
bentuk atrofi. Pada anak, tonsilitas kronik sering disertai pembengkakan
kelenjar submandibularis adenoiditis, rinitis dan otitis media.
b. Penyebab
Infeksi bakteri

streptokokus

atau

infeksi

virus

(lebih

jarang).

c. Gambaran Klinik
1) Pasien biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh tubuh, nyeri
sendi, dan kadang atalgia sebagai nyeri alih dari N. IX.
2) Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak.
3) Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa folikel atau
membran. Pada anak, membran pada tonsil mungkin juga disebabkan
oleh tonsilitis difteri.
4) Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis.
5) Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan permukaan
tidak rata, kripta lebar berisi detritus. Tonsil melekat ke jaringan
sekitarnya. Pada bentuk atrofi, tonsil kecil seperti terpendam dalam
fosa tonsilaris.
6) Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala dan
muntah.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

295

296
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak perdarahan. Ditemukan
nanah dan selaput putih tipis yang menempel di tonsil. Membran ini bisa
diangkat dengan mudah tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan
pembiakan apus tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri
penyebabnya.

g) Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan nasihat agar


menjauhi rangsangan yang dapat menimbulkan serangan tonsilitis
akut, misalnya rokok, minuman/makanan yang merangsang,
higiene mulut yang buruk, atau penggunaan obat kumur yang
mengandung desinfektan.

e. Penatalaksanaan
1) Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral atau
suntikan (jika sukar menelan) selama 10 hari.
a) Pemberian antibiotik amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari.
b) Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg tiap 8 jam. Dosis pada anak:
eritromisin 40 mg/kgBB/hari, amoksisilin 3050 mg/kgBB/hari.
2) Analgetik (parasetamol dan ibuprofen) lebih efektif daripada antibiotik
dalam menghilangkan gejala. Antibiotik hanya sedikit memperpendek
durasi gejala dan mengurangi risiko demam rematik.
3) Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 13 hari tidak
meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit.
4) Bila suhu badan tinggi, pasien harus tirah baring dan dianjurkan untuk
banyak minum. Makanan lunak diberikan selama nyeri menelan.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah dan menghindari komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga higiene oral.
3) Alasan rujukan:
a) bila tonsilitiskronis yang diindikasikan untuk dilakukan
tonsilektomi
b) Tonsilitis bakteri rekuren (> 4x/tahun) apa pun tipe bakterinya.
c) Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia yang
berasal dari tonsil.
d) Obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh tonsil (yang dapat
hampir saling bersentuhan satu sama lain), apneu saat tidur,
gangguan oklusi gigi
e) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
f) bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, segera berikan serum anti
difteri (ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan napas, segera rujuk
ke RS.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

297

298
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

97. TRAKOMA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 40

99. TUBERKULOSIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0201

ICD X : A71

a. Definisi
Trakoma merupakan infeksi mata yang berlangsung lama yang
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut pada konjungtiva dan kelopak
mata serta kebutaan.
b. Penyebab
Trakoma terjadi akibat infeksi oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Masa
inkubasi berlangsung selama 512 hari.
c. Gambaran Klinis
1) Kedua mata tampak merah dan berair. Pasien sukar melihat cahaya
terang (silau) dan merasa gatal di matanya.
2) Pada stadium awal, konjungtiva tampak meradang, merah dan
mengalami iritasi serta mengeluarkan kotoran (konjungtivitis).
3) Pada stadium lanjut, konjungtiva dan kornea membentuk jaringan parut
sehingga bulu mata melipat ke dalam dan terjadi gangguan penglihatan.
4) Gejala lainnya adalah:
a) pembengkakan kelopak mata
b) pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat di depan
mata
c) kornea tampak keruh.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
Apusan mata diperiksa untuk mengetahui organisme penyebabnya
e. Penatalaksanaan
Pengobatan meliputi pemberian salep mata antibiotik yang berisi
oksitetrasiklin 1% tiap 12 jam selama 4-6 minggu. Selain itu diberikan
kapsul tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam selama 4-6 minggu.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk penyembuhan dan pencegahan komplikasi
2) Jika ada kasus maka dilaporkan segera.
3) Penyakit ini dapat menular melalui udara dan air.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

299

ICD X : H16. 2

a. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat
fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
bovis atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis paru kini bukan
penyakit yang menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi
penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian.
Penularan TB paru hanya terjadi dari pasien tuberkulosis terbuka.
b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis.
c. Gambaran Klinis
1) Pada awalnya pasien hanya merasakan tidak sehat atau batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
2) Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sejalan dengan
perkembangan penyakit. Pada akhirnya dahak akan berwarna
kemerahan karena mengandung darah.
3) Masa inkubasi berkisar antara 412 minggu.
4) Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah berkeringat di
malam hari tanpa aktivitas.
5) Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan berat badan, nyeri
dada, batuk darah, sesak napas.
6) Sesak napas merupakan pertanda adanya udara (pneumotoraks) atau
cairan (efusi pleura) di dalam rongga pleura. Sekitar sepertiga infeksi
ditemukan dalam bentuk efusi pleura.
7) Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paruparu ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika
sistem pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka
infeksi tidak akan berlanjut dan bakteri menjadi dorman.
8) Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan
tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin
menyebabkan penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran
getah bening dan membentuk sekelompok kelenjar getah bening di
leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit dan
menghasilkan nanah.

300
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis.
2) Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis adalah foto
rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai daerah putih yang bentuknya
tidak teratur dengan latar belakang hitam. Rontgen juga bisa
menunjukkan efusi pleura atau pembesaran jantung (perikarditis).
3) Minimal 2 kali sputum BTA (+): didiagnosis sebagai TB paru BTA (+)
4) Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada
atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
5) Upaya pertama dalam diagnosis TB paru pada anak adalah melakukan
uji Tuberkulin. Hasil positif yaitu > 10 mm atau > 15 mm pada anak
yang telah mendapatkan BCG, ditambah dengan gambaran radiologi
dada yang menunjukkan infeksi spesifik, LED yang tinggi, limfadenitis
leher dan limfositisis relatif sudah dapat digunakan untuk membuat
diagnosis kerja TB paru.
e. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, sinar ini bisa membunuh
bakteri yang terdapat di dalam udara.
b) Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan
risiko tinggi tuberkulosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil
tes tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan
adanya penyakit. Isoniazid diminum tiap hari selama 69 bulan.
c) Di negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan untuk
mencegah infeksi oleh M. tuberculosis.
2) Pengobatan: DOTS
Pengobatan TB paru memerlukan panduan antituberkulosis untuk
memperoleh hasil terapi yang baik dan mencegah/memperkecil
kemungkinan timbulnya resistensi.
a) Antibiotik yang paling sering digunakan adalah: isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin; dan etambutol, isoniazid,
rifampisin dan pirazinamid dapat digabungkan dalam 1 kapsul,
sehingga mengurangi jumlah pil yang harus ditelan oleh pasien.
b) Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif tinggi untuk
membantu mengurangi jumlah bakteri dengan segera. Setelah 2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

301

bulan, dosisnya dikurangi untuk menghindari efek samping yang


berbahaya terhadap mata.
c) Streptomisin merupakan obat pertama yang efektif melawan
tuberkulosis, tetapi harus diberikan dalam bentuk suntikan. Jika
diberikan dalam dosis tinggi atau pemakaiannya berlanjut sampai
lebih dari 3 bulan, streptomisin bisa menyebabkan gangguan
pendengaran dan keseimbangan.
d) Panduan obat untuk orang dewasa yang dianjurkan oleh Program
Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen PPPL
adalah sebagai berikut :
(1) Panduan obat jangka panjang terdiri dari streptomisin, INH +
B6, dan pirazinamid untuk jangka pengobatan 12 bulan.
Cara pemberian :
(a) Tahap intensif : pengobatan tiap hari kerja selama 4
minggu (24 kali pengobatan) berupa: streptomisin 0,75 mg,
INH 400 mg, Vit. B6 10 mg dan pirazinamid 1 gram
selama 8 minggu (48 kali pengobatan).
(b) Tahap berselang : pengobatan dilanjutkan 2 kali seminggu
selama 48 minggu (96 kali pengobatan) dengan
streptomisin 0,75 mg, INH 700 mg, ditambah Vit. B6 10
mg.
(2) Panduan obat jangka pendek terdiri dari rifampisin, etambutol,
INH dan vitamin B6 untuk jangka pengobatan 69 bulan.
Cara pemberian :
(a) Tahap intensif: pengobatan tiap hari kerja selama 4 minggu
(24 kali pengobatan) berupa: rifampisin 450 mg, etambutol
1 g, INH 400 mg ditambah Vit. B6 10 mg.
(b) Tahap berselang: pengobatan dilanjutkan 2 x seminggu
selama 22 minggu (44 kali pengobatan) berupa: rifampisin
600 mg, INH 700 mg ditambah Vit. B6 10 mg.
(c) Wanita yang dalam pengobatan jangka pendek sebaiknya
tidak menggunakan pil atau suntikan KB karena
keampuhan pil dan suntikan KB dapat berkurang sehingga
dapat terjadi kehamilan.
(d) Pasien harus diberitahu bahwa rifampisin menyebabkan
warna merah pada air liur, air mata, dan air seni.
(e) Pengobatan jangka pendek ini tidak boleh diberikan pada
wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui.

302
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Khusus pengobatan TB pada pasien anak diperlukan kerja sama


yang baik dengan orang tua pasien karena angka drop out cukup
tinggi.
f) Panduan terapi yang dianjurkan oleh Program P2M untuk anak
adalah rifampisin selama 6-9 bulan, etambutol selama 1 tahun, dan
INH selama 1,5 tahun. Bila digunakan kombinasi lain, setidaknya
tetap mengandung INH.
g) Panduan untuk anak:
(1) rifampisin 15 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal pagi hari
(2) etambutol 15 mg/kgBB tiap 8 jam.
(3) INH 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal atau dosis
terbagi 2.
h) Selama terapi, kemajuan pengobatan dipantau dengan pemeriksaan
darah dan radiologi. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan fungsi
hati, mengingat efek rifampisin dan INH terhadap hati.
i) Buku-buku acuan baku hanya menganjurkan pengobatan intensif
selama 6 bulan dengan dosis yang lebih kecil. Pengobatan
berselang dengan dosis besar hanya dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ada ketidakpatuhan pasien, atau kesulitan
dalam supervisi terapi. Akan tetapi, dengan cara itu kemungkinan
toksisitas lebih besar, terutama terhadap hati masih perlu diteliti
lebih lanjut.
j) Panduan terapi untuk dewasa:
(1) Rifampisin 45 600 mg, INH 300 mg, pirazinamid 1,22 gram
dan etambutol 25 mg/kg BB, semua ini diberikan selama 2
bulan
(2) 4 bulan berikutnya: rifampisin 450600 mg dan INH 300 mg.
k) Panduan untuk anak:
(1) Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, INH 10 mg/kgBB/hari,
pirazinamid 15 mg/kgBB/hari selama 2 bulan pertama.
(2) Dilanjutkan dengan rifampisin dan INH dengan dosis yang
sama selama 4 bulan berikutnya.
f.

KIE
Sesuai dengan program P2TB.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

100. URTIKARIA
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi
Merupakan suatu reaksi (alergi) pada kulit yang umumnya dalam bentuk
edema lokal dan bersifat self-limited atau dapat sembuh sendiri dalam
waktu singkat, meskipun beberapa dapat berkembang menjadi kronik.
Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan
urtikaria kronik biasanya keberlangsungannya lebih dari 6 minggu.
b. Penyebab
Sebagian besar penyebab urtikaria telah diketahui, diantaranya:
1) Alergi terhadap obat, makanan, alergen inhalasi, gigitan atau sengatan
serangga.
2) Penyakit infeksi (virus, parasit).
3) Agen fisik (panas, dingin, penekanan, matahari).
4) Penyakit sistemik (contoh: lupus eritematosus sistemik).
c. Gambaran Klinis
1) Lesi umumnya berwarna merah muda, edematus dengan berbagai
bentuk dan ukuran dan di sekelilingnya eritema.
2) Lesi umumnya memberi rasa gatal hingga nyeri dan seperti sensasi
terbakar.
3) Jarang bertahan > 124 jam.
4) Edema di saluran napas menyebabkan sumbatan jalan napas.
d. Diagnosis
Diagnosis urtikaria umumnya dapat ditegakkan secara klinis, kecuali
terdapat diagnosis banding lain maka diagnosis disokong oleh hasil
pemeriksaan histopatologis pada lesi urtikaria yang bertahan lebih dari 48
jam.
e. Penatalaksanaan
1) Terapi yang ideal adalah identifikasi dan menghilangkan penyebab
(bila ditemukan).
2) Pengobatan sistemik
a) Diberikan antihistamin (AH) klorfeniramin maleat.

303

304
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Kortikosteroid sistemik diberikan bila terdapat angioedema atau


keterlibatan organ lain, atau urtikaria kronik. Dosis prednison untuk
angiodema 20-40 mg/hari, sedangkan urtikaria kronis 10 mg/hari
selama 2-3 minggu dan dosis diturunkan secara bertahap.
3) Pengobatan topikal dengan bedak salisil 2%.
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menghilangkan keluhan gatal.
2) Efek samping kortikosteroid akan timbul pada penggunaan jangka
panjang dan diluar pengawasan dokter, antara lain moonface,
osteoporosis, gangguan menstruasi, iritasi lambung, katarak, penurunan
daya tahan tubuh, striae dan lain-lain.
3) Pencegahan: hindari faktor pencetus.

101. VARISELA
Kompetensi
Laporan Penyakit

: 4
: 0406

ICD X : B01

a. Definisi
Varisela atau cacar air yang ditandai dengan vesikel di kulit dan selaput
lendir ini sangat mudah menular melalui percikan ludah dan kontak.
Penularan sudah dapat terjadi sejak 24 jam sebelum timbul kelainan kulit
sampai 6 7 hari kemudian.
b. Penyebab
Virus Varicella zoster.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi 13 17 hari.
2) Gejala awal berupa pusing, sakit kepala, dan demam yang tidak begitu
tinggi. Gejala ini tidak begitu jelas pada anak balita, tetapi menonjol
pada anak usia diatas 10 tahun.
3) Pada orang dewasa keluhan ini dapat berat sekali.
a) Kelainan kulit muncul mula-mula seperti pada morbili, berupa
makula dan papula yang kemudian menjadi vesikel berisi cairan
jernih. Perubahan ini berlangsung dalam waktu 24 48 jam.
b) Ruam biasanya lebih banyak di badan dibandingkan dengan di
anggota gerak. Yang khas pada varisela ini adalah berbagai macam
ruam dapat ditemukan dalam satu saat.
c) Pada bentuk yang berat kelainan kulit timbul di seluruh tubuh.
d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dengan bentuk rash yang karakteristik
(fluorosensi yang sifatnya papulo vesikuler yang multiforme dan proses
penjalarannya sentrifugal).
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatis: parasetamol bila
demam sangat tinggi. Jangan memberikan asetosal pada anak, karena
dapat menimbulkan sindroma Reye.
2) Pasien dianjurkan tetap mandi. Kalium permanganat dan antiseptik lain
tidak dianjurkan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

305

306
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Kemudian beri bedak salisil 2%. Usahakan agar vesikel tidak pecah dan
mengalami infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder berikan amoksisilin per oral 2550
mg/kgBB/hari atau eritromisin 20-50 mg/kgBB.
5) Obat antivirus bermanfaat bila diberikan <24 jam setelah timbulnya
kelainan kulit.
6) Antivirus dapat diberikan pada usia pubertas, dewasa, pasien yang
tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang menderita varisela 2 hari
sebelum 4 hari sesudah melahirkan.
7) Dosis asiklovir:
dewasa: 5 x 800 mg sehari selama 7 hari.
bayi dan anak: 4 x 20-40 mg/kgBB (maksimal 800 mg/hari)
f.

KIE
1) Tujuan pengobatan: simtomatik (mengurangi gejala).
2) Pencegahan: hindari kontak dengan pasien, menjaga personal higiene.

102. XEROFTALMIA
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1005

ICD X : H00-H01

a. Definisi
Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan vitamin A, terutama
pada anak balita dan sering ditemukan pada pasien gizi buruk dan gizi
kurang.
b. Penyebab
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia:
1) Konsumsi makanan yang kurang/tidak mengandung cukup Vitamin A
atau pro-vitamin A untuk jangka waktu lama
2) Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif
3) Gangguan penyerapan vitamin A
4) Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare)
c. Gambaran Klinis
1) Gejala reversible :
a) buta senja (Hemeralopia)
b) xerosis konjungtiva: yaitu konjungtiva yang kering, menebal,
berkeriput, dan keruh karena banyak bercak pigmen.
c) xerosis kornea: konjungtiva kornea yang kering, menebal,
berkeriput dan keruh karena banyak bercak pigmen.
d) bercak Bitot: benjolan berupa endapan kering dan berbusa yang
berwarna abu-keperakan berisi sisa-sisa epitel konjungtiva yang
rusak.
2) Gejala irreversible : ulserasi kornea dan sikatriks (scar).
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
e. Penatalaksanaan
1) Berikan vitamin A 200.000 UI per oral atau vitamin A 100.000 UI
injeksi.
2) Hari berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral.
3) Satu-dua minggu berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral.
4) Obati penyakit infeksi yang menyertai.
5) Obati kelainan mata, bila terjadi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

307

308
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Perbaiki status gizi.


f.

DAFTAR PUSTAKA

KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan mencegah kebutaan.
2) Pencegahan: berikan vitamin A pada bayi dan anak tiap 6 bulan,
lakukan skrining pada bayi dan anak yang kurang gizi, diet tinggi
vitamin A seperti sayuran dan buah berwarna merah dan hijau (wortel,
tomat, stroberi), ikan, hati ayam dan lain-lain.
3) Alasan rujuk: bila terjadi ulserasi kornea dan sikatrik.

MENTERI KESEHATAN,

NAFSIAH MBOI

1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Disease of respiratory system : Asthma. Harrissons: Principle of Internal
Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009 : 1596
1607.
2.

Current Medical Diagnosis & Treatment, Tierney Lawrance M.Jr., Mc


Dhee Stephen J., Papandakis Maxine A (editor), 2004.

3.

Departemen Kesehatan RI, Daftar Obat Esensial Nasional 2011, DitJen


Binfar & Alkes, Jakarta, 2011.

4.

Departemen Kesehatan RI, Paket Program Pemeberantasan Rabies


Terpadu di Indonesia, DitJen P2MPL, Jakarta, 1996.

5.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatran Dasars di Puskesmas,


Ditjen Binfar & Alkes, Jakarta, 2002.

6.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di


Indonesia, Ditjen P2PL, Jakarta, 2009.

7.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, DitJen


P2PL, Jakarta, 2005.

8.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus Dan


Penyakit Metabolik, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.

9.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Kolera, DitJen P2PL,


Jakarta, 2006.

10. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi


Saluran Pernapasan Akut, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
11. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), DitJen P2PL, Jakarta, 2007.
12. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana
Penyakit Hipertensi, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
13. Departemen Kesehatan RI, Petunjuk Pemberantasan Antraks di Indonesia,
DitJen P2PL, Jakarta, 2002.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

309

310
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

14. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Umum Program nasional


Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi, DitJen P2MPL, Jakarta,
2004.

29. Heru Sundaru, Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009:
404414.

15. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia,


DitJen P2MPL, Jakarta, 2004.

30. IDI, Standar Pelayanan Medis, DitJen Yanmed DepKes, Jakarta, 1997.

16. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan


Laboratorium Leptopirosis di Rumah Sakit, DitJen P2PL, Jakarta, 2003.
17. Departemen Kesehatan RI, Pedoman & Protap Penatalaksanaan Antrak
di Indonesia, DitJen P2PL, Jakarta, 2004.
18. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk
Rumah Sakit, Hasil Kerjasama TIM DitJen POM, Ditjen YanMed,SPKer
RSCM, RSHS, RS Sutomo, RS Adam malik, Jakarta, 2000.
19. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis
Filariasis, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
20. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Pneumonia Balita,
DitJen P2PL, Jakarta, 2007.
21. Departemen Kesehatan RI, Penanggulangan Kegawatdaruratan Seharihari & Bencana, Jakarta, 2006.
22. Departemen Kesehatan RI, Tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut pada Anak, DitJen P2PL, Jakarta.
23. Djoni Djunaedi, Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa,
Kegawatdaruratan Medik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.

31. Konsensus Nasional III Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala,


Kelompok Studi Nyeri Kepala, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Perdossi) 2010.
32. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, 2006.
33. Pedoman Tatalaksanan Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011.
34. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI), Standar Pelayan Medik Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin, Jakarta, 2004.
35. Pusponegoro, dkk. Penyunting. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta, 2006.
36. WHO, International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problem, 10th rev., Vol I,II,III. Geneva, 1994.

dalam

24. Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan Terapetik, Edisi V,


FKUI, Jakarta, 2007.
25. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10 Th
Ed., Mc Graw-Hill Co., New York, 2001.
26. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. GINA Commitee; 2010.
27. Guideline Stroke, Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesis (Perdossi), 2011.
28. Harrisons et al., Principles Of Internal Medicine, 15 th ed., Vol.I, II., Mc
Graw Hill Medical Publishing Division, New York, 2001.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

311

312
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Anda mungkin juga menyukai