Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas 2011
Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas 2011
PEDOMAN
1. ABORTUS
Kompetensi
Laporan Penyakit
PENGOBATAN DASAR
ICD X : O03
a. Definisi
Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 22 minggu
atau berat janin kurang dari 500 g.
DI PUSKESMAS
b. Penyebab
Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil konsepsi.
Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat kandungan dan sebab
yang tidak diketahui.
c. Gambaran Klinis
Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada pagi hari)
yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak sampai bergumpal)
dan/atau nyeri perut bagian bawah, mengarah ke diagnosis abortus.
1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran)
Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut tidak ada
atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks.
2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung)
Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-gumpal),
nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks. Kadang-kadang tampak
jaringan hasil konsepsi di ostium serviks.
3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap)
Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai hebat.
Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian, ostium serviks bisa
masih terbuka atau mulai tertutup.
4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap)
Perdarahan pervaginam mulai berkurangberhenti, tanpa nyeri perut,
ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi
utuh, seluruhnya.
: 3A
: 17; 1701
2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Abortus Inkompletus
(1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat
dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap
(2) Segera atasi kegawatdaruratan:
(a) Oksigenisasi 24 liter/menit
(b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat,
Ringer Asetat)
(c) Transfusi bila Hb kurang dari 8 g/dL.
e. Penatalaksanaan
1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Dasar):
a) Abortus Imminens
(1) Tirah baring sedikitnya 23 hari (sebaiknya rawat inap)
(2) Pantang senggama
(3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih
abortus imminens tirah baring dilanjutkan
(4) Mobilisasi bertahap (dudukberdiriberjalan) dimulai apabila
diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam
d) Abortus Kompletus
(1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi)
(2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan
(3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus.
e) Missed Abortion
(1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen, waktu perdarahan,
waktu pembekuan).
(2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan hipofibrinogenemia,
segera rujuk di rumah sakit yang mampu untuk transfusi
trombosit/Buffy-Coat dan komponen darah lainnya.
(3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri. Dilaksanakan
setelah dipastikan tidak terdapat gangguan faal hemostasis.
KIE
1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur
2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program Keluarga
Berencana
3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih
4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus
5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera hubungi
puskesmas.
4
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2. ABSES GIGI
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A dan 4
: 1503
ICD X : K04.7
a. Definisi
Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke jaringan di
sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi.
Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan periapikal.
b. Penyebab
Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah) dialirkan ke
gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi tersebut membengkak.
c. Gambaran Klinis
1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi yang sakit. Bila
abses terdapat di gigi depan atas, pembengkakan dapat sampai ke
kelopak mata, sedangkan abses gigi belakang atas menyebabkan
bengkak sampai ke pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak
sampai ke dagu atau telinga dan submaksilaris.
2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut lebar.
3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi
minimal tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur,
memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan
yang berserat dan berair.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka metronidazol
bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari). Atau untuk mengatasi
mual dapat diberikan metoklopramid 3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam
sebelum makan.
d. Diagnosis
Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat.
2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
3) Simtomatik: Parasetamol
Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu gigi),
dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan metronidazol 500
mg tiap 8 jam.
5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk penanganan selanjutnya
sesuai dengan indikasi.
6
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3. ANEMIA DEFISIENSI
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 54
ICD X : D50-51
a. Definisi
Anemia pada:
- laki-laki: Hb <13 g/dL,
- wanita: Hb <12 g/dL,
- wanita hamil: Hb <11 g/dL,
- anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL,
- balita: Hb <11 g/dL
b. Penyebab
Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada anak-anak.
Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan yang kurang, kecacingan,
perdarahan kronis.
Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin B12 dan
asam folat.
Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan
makronutrien yang meningkat.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau penurunan
kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan penurunan Hb dan usia.
2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah pica
(makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya tanah, pensil,
penghapus).
3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar, lekas lelah
dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi. Jantung kadang membesar
dan terdengar murmur sistolik. Di darah tepi tampak gambaran anemia
hipokrom dan mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah.
4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan anemia
megaloblastik yang mungkin disertai gejala neurologi.
d. Diagnosis
Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan pemeriksaan fisik
sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan ditunjang pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan darah tepi (kadar Hb lihat di
definisi). Pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang mengandung zat
besi (misalnya bayam, daging), sulfas ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari
(ekivalen dengan besi elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu.
2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing (lihat
pokok bahasan Kecacingan).
3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus dibedakan
penyebabnya, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat.
4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 510 hari sebagai terapi
awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200 mcg/bulan sampai dicapai
remisi.
5) Dosis asam folat 0,51 mg/hari per oral selama 10 hari, dilanjutkan
dengan 0,1 0,5 mg/hari.
6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia
pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal.
f.
KIE
Pada anemia defisiensi:
1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai dengan
penyebab anemia, menaikkan kadar Hb.
2) Pencegahan:
a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi, asam folat
dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada ibu cara penyiapan
makanan yang baik, misalnya tidak memberikan teh bersamaan
dengan makanan karena dapat mengurangi absorpsi besi.
b) menjaga higiene dan sanitasi.
3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik diberikan
saat perut kosong.
4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa tidak enak,
konstipasi, feses berwarna kehitaman.
5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak ada
kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-4 g/dL dalam
waktu 2 minggu setelah pemberian suplementasi besi).
6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada kemampuan
untuk menegakkan diagnosis etiologi.
7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan mebendazol,
berikan mebendazol 500 mg.
8
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : I20.8
a. Definisi
Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
(substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat
aktivitas atau stres emosional yang berkurang dengan istirahat atau
pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri dapat dirasakan di daerah
epigastrium.
b. Penyebab
Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah
koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi
bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja
fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner
berkurang (misalnya pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi
keduanya.
c. Gambaran Klinis
1) Pada anamnesis perlu ditanyakan:
a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal)
b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres emosional
c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat
2) Dikatakan:
a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala,
b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala,
c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala.
3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak dijumpai kelainan
dalam pemeriksaan fisik.
4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat penyakit
penyerta.
5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK):
a) diabetes melitus
b) hipertensi
c) merokok
d) sejarah keluarga PJK
e) dislipidemia.
d. Diagnosis
Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut Canadian
Cardiovascular Society (CCS):
1) Kelas I:
Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti berjalan atau
menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan
berkepanjangan.
2) Kelas II:
Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga
dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, di hawa dingin
atau melawan angin, atau dalam keadaan stres emosional, atau hanya
timbul beberapa jam setelah bangun tidur.
3) Kelas III:
Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari, angina timbul
jika berjalan rata satu atau dua blok (setara dengan jarak 100-200
meter) dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang
normal.
4) Kelas IV:
Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa
nyaman atau angina saat istirahat.
Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma koroner
akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut).
e. Penatalaksanaan
1) Manajemen umum:
a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes,
hiperkolesterolemia).
b) Pengendalian aktivitas fisik.
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal
jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya.
2) Medikamentosa:
a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki prognosis
pasien angina stabil:
(1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi
spesifik (mis: perdarahan aktif traktus gastro intestinal, alergi
asetosal atau riwayat intoleransi asetosal sebelumnya).
10
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark miokard akut dan
kematian.
b) Mengurangi atau menghilangkan gejala.
2) Pencegahan:
a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani prosedur
revaskularisasi (PCI).
b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes,
hiperkolesterolemia).
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal
jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya.
11
12
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
13
2) Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi dan
pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik
ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit
kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra
kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-tanda
ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri.
3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG)
a) STEMI:
Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6)
atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious
lead), atau LBBB yang dianggap baru.
b) Non- STEMI:
Depresi segmen ST 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun
transient elevasi segmen ST 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi
gel T 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih.
e. Penatalaksanaan
1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA:
a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt
b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg
c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100 mmHg), dapat
di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali pemberian
d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk
e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit), segera
tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan STEMI atau NonSTEMI.
f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk.
2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI:
Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang mampu
melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI primer).
Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS.
3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI:
Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di
ICCU/ICU.
14
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan
kematian serta meningkatkan harapan hidup.
2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab Angina
Pektoris Stabil.
3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi (fibrinolitik atau
PCI), dan perawatan di ruang intensif kardiovaskuler.
6. ANTRAKS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 0504
ICD X : A22
a. Definisi
Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun hewan piaraan,
yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora), seperti sapi, kerbau,
kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit ini ditularkan kepada manusia
terutama pada orang yang pekerjaannya selalu berhubungan
dengan/berdekatan dengan ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan,
petugas laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang.
b. Penyebab
Kuman antraks (Bacillus anthracis).
c. Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena masuknya
spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yaitu melalui
kulit yang lecet atau luka yang menyebabkan antraks kulit, melaui mulut
karena makan bahan makanan yang tercemar, menyebabkan antraks
intestinal (pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks
pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya adalah bentuk
kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal. Antraks pulmonal dan
meningitis sangat jarang dilaporkan di Indonesia.
Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang
terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah yang keluar dari
lubang-lubang kumlah hewan mati karena antraks atau bahan-bahan yang
berasal dari hewan yang tercemar oleh spora antraks, misalnya daging,
jeroan, kulit, tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber
penularan lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah,
tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora antraks.
d. Gambaran Klinis
1) Gambaran Klinis Antraks Kulit
a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari)
b) Gatal ditempat lesi
c) Papel
d) Vesikel
15
16
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
17
Penatalaksanaan
1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit adalah
penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI i.m. tiap 12 jam
selama 5 7 hari atau benzilpenisilin dengan dosis 250.000 UI tiap 6
jam. Sebelum pemberian penisilin lakukan skin test. Pasien yang
hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis
500 mg tiap 6 jam selama 57 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada
anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan lain ialah kloramfenikol.
2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi 1,82,4 juta
UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1 g i.v per hari.
3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan.
4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan.
g. KIE
1) Hindari kontak dengan sumber penularan.
2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila ada
tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan bila ada hewan
yang sakit dengan gejala antraks.
3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak
diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit antraks.
4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal dari hewan
seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari
hewan sakit/mati karena penyakit antraks.
5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
apabila menjumpai pasien/tersangka antraks.
18
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
7. ARTRITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 90
ICD X : M05
a. Definisi
Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan
pembengkakan di daerah persendian.
OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan
sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan
terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang
(osteofit).
RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan penyakit
autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetris yang
terutama mengenai jaringan persendian, namun sering juga melibatkan
organ tubuh lainnya. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya
usia antara 35-50 tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh
kuat pada morbiditas RA.
b. Penyebab
Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (AR), tetapi
yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis.
Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan sendi,
sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan.
c. Gambaran Klinis
1) Osteoartritis
a) Anamnesis
Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis kelamin (di atas
usia 50 tahun wanita lebih banyak), suku bangsa (suku Indian dan
orang-orang kulit putih), genetik, kegemukan, cedera sendi,
olahraga, pekerjaan berat, kelainan pertumbuhan, tingginya
kepadatan tulang.
Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan, berkurang
dengan istirahat), hambatan gerakan sendi, kaku pagi < 30 menit,
krepitasi dan perubahan gaya berjalan.
b) Pemeriksaan Fisik
Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi, perubahan
gaya berjalan, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
19
2) Artritis Reumatoid
a) Anamnesis
Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah, anoreksia, seluruh
tubuh terasa lemah) yg berlangsung berminggu-minggu atau
berbulan-bulan.
Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris,
terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP
(metacarpophalangeal), pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala
sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk
dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada
pagi hari > 1 jam.
Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas atas (nyeri
tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada
pagi hari), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
hematologi (anemia), dsb.
b) Pemeriksaan Fisik
(1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi (poliartritis)
terutama di sendi tangan, simetris, immobilisasi sendi,
pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis, gambaran
deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere).
(2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis), soft tissue
rheumatism (carpal tunnel syndrome, frozen shoulder), mata
(kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem respiratorik
(radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi
pleura, fibrosis paru luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis
konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi (anemia akibat
penyakit kronik).
(3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah reumatism yang
sebenarnya berasal dari jaringan lunak di luar sendi. Yang di
kenal awam sebagai encok sebagian besar adalah reumatism.
20
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Artritis Reumatoid
Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1):
a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi
c) Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP)
dan Proximal Interphalanx (PIP)
d) Artritis yang simetris
e) Nodul reumatoid
f) Faktor reumatoid serum positif
g) Gambaran radiologik yang spesifik
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas.
Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu.
Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism, 2010)
Skor
Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?):
Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1
Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2
21
0
1
2
3
5
0
22
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di atasi dengan
analgesik biasa atau dengan anti inflamasi nonsteroid yang diberikan
sesudah makan.
1) Osteoartritis
a) Edukasi
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight bearing
daily activity
d) Non-weight bearing exercise
e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan ortosis
f) Analgesik:
(1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari
(2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium diklofenak 2-3
x 25-50 mg, piroksikam.
(3) Opioid ringan: kodein
g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi (efusi)
2) Artritis Reumatoid
a) Penyuluhan.
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.
c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg
2x/hari, atau golongan steroid, seperti: prednison
atau
metil
prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy)
d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
f.
KIE
1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat ditoleransi,
menghindari komplikasi, mengurangi kejadian episode akut,
meningkatkan kualitas hidup
23
24
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
8. ASMA BRONKIAL
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1403
ICD X : J45
a. Definisi
Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi
jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat
hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan selsel dan elemen seluler terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag,
neutrofil dan epitel.
b. Penyebab
Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma:
1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran napas dan
mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran napas
(bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti:
a) Perubahan cuaca dan suhu udara.
b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok,
serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga,
insektisida, debu, polusi udara dan hewan piaraan.
c) Infeksi saluran napas.
d) Gangguan emosi.
e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan.
2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan
bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda
asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam
rumah atau bulu binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot
polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih
tertentu ke bronki, yang mengakibatkan peradangan (inflamasi) pada
saluran napas dimana hal ini akan memperkecil diameter dari saluran
udara (disebut bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien
harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas.
c. Gambaran Klinis
1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan
ekspirasi.
2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang.
25
26
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Uncontrolled
asthma
3 gejala
pada partly
controlled
asthma
5) Diagnosis Banding
PPOK, gagal jantung
6) Pemeriksaan Lanjutan
a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum,
b) Skin prick test,
c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced expiratory
volume 1 (FEV1) 12% dan 200 ml setelah pemberian
bronkodilator, peningkatan peak expiratory flow (PEF) 20%
setelah pemberian bronkodilator],
d) Uji provokasi bronkus atas indikasi,
e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan asma berat
hasil AGD dapat PaCO2 45, hipoksemia, asidosis respiratorik)
27
e. Penatalaksanaan
1) Untuk anak:
a) Asma ringan:
Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara inhalasi 2,5
mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam, kemudian dikurangi
sampai tiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik, atau salbutamol
oral (sirup atau tablet) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam,
atau adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis
maksimal 0,3 mL/kali.
b) Asma serangan sedang:
Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan intravena,
kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3 mg/kgbb/kali 3 x
sehari selama 3-5 hari.
c) Asma serangan berat:
Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial. Dosis awal 6
mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam 20-30 menit. Dosis
rumatan aminofilin 0,5-1 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat
diberikan secara intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi
dapat diberikan selama 6 jam.
2) Untuk dewasa:
a) Serangan akut:
(1) Oksigen.
(2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 0,3 mL s.k.
yang dapat diulangi 2 kali dengan interval 1015 menit. Jika
serangan tidak reda, dilanjutkan dengan aminofilin bolus 240
mg dalam 10 mL, disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila
serangan tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg i.v./i.m.
Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dalam 500 mL
dekstrosa 5% dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila dalam 4 jam
serangan belum reda maka perlu dirujuk.
(3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB i.v.
kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m., diikuti dengan
aminofilin drip 240 mg dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila
setelah 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk dan
dinyatakan sebagai status asmatikus.
28
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
ICD X : N23
a. Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan
nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan serangan
asma
2) Efek samping:
a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa menimbulkan
aritmia.
b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit kepala.
c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin dalam derajat
yang lebih ringan.
d) prednison: moonface, iritasi lambung.
3) Pasien diharapkan:
a) mengenali faktor pencetus serangan dan menghindarinya
b) mengenali tanda-tanda serangan
c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum obat
salbutamol dan aminofilin.
4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak diperlukan lagi,
namun perlu siap sedia obat salbutamol dan aminofilin.
5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi serangan asma :
a) Sedatif (harus dihindari)
b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan
ketidaknyamanan pasien)
d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak
e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun diindikasikan pada
pasien dengan pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis)
6) Komplikasi
PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat
menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.
b. Penyebab
Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam saluran
kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme.
29
c. Gambaran Klinis
1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam
kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini
disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).
2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di
saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik, sedangkan yang di
bawah menghambat buang air kecil.
3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis
bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang
hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar
ke perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam).
4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung,
demam, menggigil dan darah di dalam urin. Pasien mungkin menjadi
sering buang air kecil, terutama ketika batu melewati ureter.
5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan
mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang ada leukosit.
6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat
aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam urin yang terkumpul
diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi.
7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik ke
saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan
menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa
terjadi kerusakan ginjal.
30
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan diketahui secara
tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin rutin (urinalisis).
2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala
kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri tekan di punggung dan
selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas.
3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau
kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan
lainnya, kecuali jika nyeri menetap lebih dari beberapa jam atau
diagnosisnya belum pasti.
4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan diagnosis
adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan contoh darah untuk
menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa
menyebabkan terjadinya batu.
e. Penatalaksanaan
1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak.
2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan selanjutnya.
3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi,
biasanya tidak perlu diobati.
f.
KIE
Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan minum
banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk meningkatkan pembentukan
urin dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang,
maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera.
ICD X : J20
a. Definisi
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paruparu).
Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang lebih ringan.
b. Penyebab
Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri.
c. Gambaran Klinis
1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas
ringan, sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu), bengek,
lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan
kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna
kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan
penglihatan.
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
batuk tidak berdahak, tetapi 12 hari kemudian akan mengeluarkan
dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah
banyak, berwarna kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik,
kadang terjadi demam tinggi selama 35 hari dan batuk bisa menetap
selama beberapa minggu.
5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia.
d. Diagnosis
1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari
adanya lendir.
2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar
bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.
31
32
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa diberikan
parasetamol
2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya menunjukkan
bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna kuning
atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan pasien yang sebelumnya
memiliki penyakit paru-paru.
3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti:
a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari
b) eritromisin 250500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5 hari.
4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 2050 mg/kgBB/hari
atau eritromisin 4050 mg/kgBB/hari walaupun dicurigai penyebabnya
adalah Mycoplasma pneumoniae.
5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam (OBH).
6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk.
f.
b. Penyebab
Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne
Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan
serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1
dan Dengue-4.
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis penyakit.
2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta
menghentikan kebiasaan merokok.
3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak < 2 tahun
adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik.
4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat.
5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk (antitusif).
ICD X : A91
a. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan:
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 27 hari;
2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva,
epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple
Leede) positif;
3) Trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l);
4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%);
5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).
c. Cara Penularan
Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti meskipun
dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang biasanya hidup di kebunkebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut.
d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi
Biasanya berkisar antara 47 hari.
2) Demam
Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak, dimana
dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan saluran cerna
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
33
34
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
35
6) Trombositopeni
a) Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari
ke 37 sakit.
b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.
c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD,
bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun.
7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini merupakan
indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan
pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan
trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit 20% (misalnya 35% menjadi 42%:
20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai
hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Penurunan nilai hematokrit 20% setelah pemberian cairan yang
adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
8) Gejala klinik lain
a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD ialah nyeri
otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau
konstipasi, dan kejang.
b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan
penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai
ensefalitis.
c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului
perdarahan gastrointestinal dan renjatan.
e. Diagnosis
1) Tersangka Demam Berdarah Dengue
Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi
mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji
Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit
100.000/l).
2) Pasien Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2
36
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Penatalaksanaan
Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh >38,5oC.
1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak)
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:
a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat,
bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terusmenerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, feses darah,
maka pasien perlu dirawat/dirujuk.
b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet
dan hitung trombosit.
(1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/l,
pasien dirawat/dirujuk.
(2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/l atau
normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang
kembali tiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum
banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lainlain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol, jangan
golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun
pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda
syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin,
sakit perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa
Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau
terdapat peningkatan Ht dan/atau penurunan trombosit, segera
rujuk ke rumah sakit.
2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa)
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan
trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran
kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
37
38
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : I00-I02
a. Definisi
Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut tenggorok
oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik atau
fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus
grup A yang terjadi 15 minggu sebelumnya pada saluran napas bagian
atas.
Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang menyebabkan
kelainan menetap di jantung (penyakit jantung reumatik) dan kelainan
berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan organ lainnya.
b. Penyebab
Interaksi antigen-antibodi 1014 hari setelah infeksi Streptococcus
pyogenes.
c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Mayor
a) Karditis
b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah)
c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan
tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat
bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh dan
tidak terkendali.
d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini hanya
ditemukan pada kasus yang berat).
e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan
jika tidak terdapat karditis).
2) Kriteria Minor
a) Demam
b) Riwayat demam rematik
c) Artralgia/nyeri sendi
d) Peninggian LED
e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis
f) Interval P-R yang memanjang pada EKG
39
40
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya infeksi Streptococcus
sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur Streptococcus tenggorokan
positif, baru saja menderita skarlatina).
Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan penyakit katup
(tak perlu untuk Diagnosis primer).
5)
6)
e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pengobatan awal.
2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam
rematik dapat ditegakkan.
Obat pilihan pertama adalah:
a) penisilin prokain 600.0001,2 juta UI i.m. atau penisilin V 500 mg
tiap 8 jam selama 10 hari
b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak tahan terhadap
penisilin.
c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000 IU/kgBB/ hari,
dan eritromisin 125250 mg tiap 6 jam.
3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada
tabel berikut.
7)
8)
Artritis, dan/atau
karditis
tanpa
kardiomegali
Karditis dengan
kardiomegali atau
gagal jantung
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut menjadi
penyakit jantung rematik.
2) Efek samping:
a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok anafilaktik dan
mempersiapkan perangkat anti syok anafilaktik.
b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan prednison
antara lain moonface, hipertensi, mudah terkena infeksi,
hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.
41
42
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
13. DERMATITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 2002
2) Topikal
a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 23 x sehari, 12 jam dengan
larutan NaCl 0,9%.
b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 12 kali sehari sesudah
mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila sudah membaik dapat
diganti dengan potensi yang lebih rendah.
c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%.
d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%.
e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab segera sesudah
mandi.
ICD X : L20-L30
a. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal dan
ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak tegas. Dermatitis
Atopik adalah peradangan kulit kronik dan residif yang sering terjadi pada
bayi dan anak, disertai gatal dan berhubungan dengan atopi.
Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu
yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma
bronkiale, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi.
b. Penyebab
Umumnya tidak diketahui.
c. Gambaran Klinis
1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan,
kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna
merah dan berair.
2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 34 tahun, meskipun
biasanya akan muncul kembali.
3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh
kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut
bagian depan atau di belakang lutut.
4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu
menimbulkan gatal-gatal.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan obyektif serta
pencegahan rekurensi.
2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien:
a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna
jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi
gatal dan mengatasi kelainan kulit.
b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah
kekambuhan:
(1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya sabun bayi
(2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap keringat
(3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk.
(4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu, dan
sebagainya.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik
dan riwayat penyakit alergi pada keluarga pasien.
e. Penatalaksanaan
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin maleat) untuk
mengurangi gatal.
b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotik
sistemik atau topikal.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
43
44
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
14. DERMATOMIKOSIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 2001
ICD X : B36.9
a. Definisi
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang secara medis
disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian permukaan kulit).
Sedangkan dari berbagai jenis dermatomikosis yang sering mengenai
manusia, dikenal dengan kelompok dermatofitosis yang di Indonesia
dikenal dengan kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori
dermatomikosis yang nondermatofitosis.
e. Penatalaksanaan
1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal.
2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit.
3) Nistatin hanya efektif pada kandida.
4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida.
5) Dermatofitosis
a) Sistemik (diberikan bila lesi luas)
Griseofulvin micronized 5001000 mg sehari selama 26 minggu
b) Topikal
Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%.
f.
b. Penyebab
Kontak langsung dengan sumber penularan.
1) Paparan terhadap jamur sering terjadi.
2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan mikosis kuku
dan kaki.
3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing) menyebar dengan
mudah pada manusia dan menyebabkan tinea pada ekstremitas, badan
dan wajah.
KIE
1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai penularan.
2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala dan
fotosensitivitas.
3) Pencegahan: menjaga kebersihan dan menghindari sumber penularan.
c. Gambaran Klinis
1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama, eritematus dan
meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan gatal.
2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga
kecokelatan bisa pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan
lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas,
leher, muka dan kulit kepala yang berambut.
3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum wanita;
mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi lebih dari satu
kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh, putih, dadih seperti
kotoran, peradangan pada kulit sekitar vagina, serta sakit selama buang
air kecil atau sewaktu hubungan seksual.
d. Diagnosis
Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara pemeriksaan
mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang terserang.
45
46
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : E10-E14
a. Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik
menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi etiologis DM yaitu:
1) Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan)
sel beta pankreas karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan
produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga pasien sangat
memerlukan tambahan insulin dari luar.
2) Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi
insulin).
3) Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi
yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4) Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik
yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita
hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan
setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal.
b. Penyebab
Kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai
sumber energi dan mensintesa lemak.
Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
c. Gambaran Klinis
1) Keluhan Klasik, berupa: sering kencing, cepat lapar, sering haus dan
berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas.
47
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
48
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
49
f.
Pengendalian DM
Keberhasilan terapi DM dapat menggunakan kriteria kendali DM yang
telah dikeluarkan oleh PERKENI (Tabel 4).
Tabel 4. Pengendalian DM
Glukosa darah puasa (mg/dL)
Glukosa darah 2 jam (mg/dL)
A1C (%)
Kolesterol Total (mg/dL)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigliserida (mg/dL)
IMT (kg/m2)
Tekanan darah (mmHg)
Baik
Sedang
Buruk
80<100
80-144
<6,5
<200
<100
Pria: >40
Wanita: >50
<150
18,5-<2,3
<140/80
100-125
145-179
6,5-8
200-239
100-129
>126
>180
>8
>240
>130
150-199
23-25
>130-140/
>80-90
>200
>25
>140/90
Keterangan:
Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke
plasma vena.
50
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
g. KIE
Lihat pilar penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan:
a) Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM dan
tercapainya target pengendalian gula darah.
b) Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
c) Selain itu perlu juga mengendalikan tekanan darah, berat badan dan
profil lipid.
2) Memberikan informasi perilaku sehat bagi penyandang diabetes yaitu:
a) Mengikuti pola makan sehat
b) Meningkatkan kegiatan jasmani
c) Menggunakan obat diabetes secara teratur
d) Melakukan perawatan kaki secara berkala
e) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi kedaan
sakit akut dengan tepat
f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
3) Efek samping obat:
a) Glibenklamid: hipoglikemia, hati-hati pada pasien usia lanjut, berat
badan naik;
b) Metformin: mual, muntah (dyspepsia), diare;
c) Insulin: berat badan naik, hipoglikemia.
4) Penanganan hipoglikemia:
a) Jika ada tandatanda hipoglikemia berupa kaki dan tangan terasa
dingin, sakit kepala, keringat dingin, gemetaran, segera diajarkan
minum air gula atau makan kemudian laporkan pada dokter. Pada
hipoglikemia berat dimana kesadaran menurun sampai koma:
b) Hipoglikemi pada dewasa: segera berikan dekstrosa (glukosa) 40%
i.v. 2550 mL, terus menerus sampai pasien sadar. Diikuti dengan
infus glukosa 10% 500 mL dalam 6 jam, kemudian gula darah
diperiksa tiap 1 jam sampai 2 X berturut-turut sampai kadar gula
darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung
dirujuk.
c) Hipoglikemi pada anak : diberikan dekstrosa 10% sebanyak 2-5
mL/kgBB. Jika digunakan dekstrosa 20% maka diberikan dengan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
51
52
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : A09
a. Definisi
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lain.
Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya encer, lebih
sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis, berbusa bahkan dapat
berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 7 hari.
Diare nonspesifik adalah diare yang bukan disebabkan oleh kuman khusus
maupun parasit.
b. Penyebab
Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang tercemar
toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya.
e. Penatalaksanaan
WHO telah menetapkan 4 unsur utama dalam penanggulangan diare akut
yaitu:
1) Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral (URO) untuk mencegah
maupun mengobati dehidrasi.
2) Melanjutkan pemberian makanan seperti biasa, terutama ASI, selama
diare dan dalam masa penyembuhan.
3) Tidak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun
antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri, atau terbukti
giardiasis atau amubiasis.
4) Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta keluarganya
tentang upaya rehidrasi oral di rumah, tanda-tanda untuk merujuk dan
cara mencegah diare di masa yang akan datang.
Dasar pengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah pertama adalah
tentukan derajat dehidrasi (Tabel 5).
Tabel 5. Derajat dehidrasi
c. Gambaran Klinis
1) Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat dehidrasi.
Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan mencapai
45% berat badan.
2) Gejala dan tanda dehidrasi antara lain:
a) rasa haus, mulut dan bibir kering
b) menurunnya turgor kulit
c) menurunnya berat badan, hipotensi, lemah otot
d) sesak napas, gelisah
e) mata cekung, air mata tidak ada
f) ubun-ubun besar cekung pada bayi
g) oliguria kemudian anuria
h) menurunnya kesadaran, mengantuk.
3) Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih pasien jatuh ke dalam
dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat terjadi syok dan kematian.
d. Diagnosis
Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih sering dari
biasanya dengan konsistensinya yang lembek dan cair.
53
Gejala
Status mental
Rasa haus
Denyut jantung
Kualitas denyut
nadi
Pernapasan
Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Turgor kulit
Isian kapiler
Ekstremitas
Output urin
Derajat Dehidrasi
Minimal (< 3%
dari
berat
badan)
Baik, sadar penuh
Minum normal,
mungkin menolak
minum
Normal
Normal
Normal
Normal
Ada
Basah
Baik
Normal
Hangat
Normal
menurun
sampai
Ringan
sampai
sedang (3-9% dari
berat badan)
Normal, lemas, atau
gelisah, iritabel
Sangat haus, sangat
ingin minum
Normal
sampai
meningkat
Normal
sampai
menurun
Normal cepat
Sedikit cekung
Menurun
Kering
< 2 detik
Memanjang
Dingin
Menurun
54
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Skor
1
1
2
1
1
2
1
2
2
1
1
1
2
-1
-2
Umur
Pemberian pertama
30 mL/kg
Pemberian kemudian
70 mL/kg
dalam 1 jam
dalam 5 jam
dalam 30 menit
2,5 jam
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi dehidrasi dan mencegah dehidrasi
berlanjut.
2) Pencegahan: kebersihan (higiene) lingkungan.
3) Alasan rujukan: dehidrasi berat atau bila pemberian asupan makanan
tidak berhasil.
4) Peringatan/perhatian: pemberian Zn tidak dimaksudkan sebagai
pengganti oralit.
55
56
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
17. DIFTERI
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3B
: 0303
ICD X : A36
a. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran napas bagian atas yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering
menyerang anak-anak.
b. Penyebab
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran napas, terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan
menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.
e. Penatalaksanaan
Tiap pasien yang diduga menderita difteri harus segera dirujuk untuk
penanganan selanjutnya.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi penyakit dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi dasar dan booster lengkap.
3) Alasan rujukan: tiap kasus bisa berpotensi membahayakan.
c. Gambaran Klinis
1) Masa tunas 27 hari
2) Pasien mengeluh sakit menelan dan napasnya terdengar ngorok
(stridor), pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil
dan sakit kepala.
3) Pasien tampak sesak napas dengan atau tanpa tanda obstruksi napas.
4) Demam tidak tinggi.
5) Pada pemeriksaan tenggorokan tampak selaput putih keabu-abuan yang
mudah berdarah bila disentuh (pseudomembran).
6) Gejala ini tidak selalu ada: Sumbatan jalan napas sehingga pasien
sianosis, napas bau atau perdarahan hidung.
7) Tampak pembesaran kelenjar limfe di leher (bullneck).
8) Inflamasi lokal dengan banyak sekali eksudat faring, eksudat yang lekat
di mukosa berwarna kelabu atau gelap dan edema jaringan lunak. Pada
anak, fase penyakit ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas.
9) Penyakit sistemik yang disebabkan oleh toksin bakteri dimulai 12
minggu sesudah gejala lokal. Toksin mempengaruhi jantung
(miokarditis, aritmia terutama selama minggu kedua penyakit) dan
sistem saraf (paralisis, neuritis 27 minggu sesudah onset penyakit).
Bila pasien sembuh dari fase akut penyakit, biasanya sembuh tanpa
kelainan penyerta.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
baik.
57
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
58
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : A06
a. Definisi
Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare berdarah,
disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang air besar (tenesmus),
selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis adalah penyakit yang disebabkan
oleh protozoa usus. Protozoa tersebut hidup di kolon, menyebabkan radang
akut dan kronik yang disebut amubiasis intestinal. Bila tidak diobati
amubiasis intestinal akan menjalar ke luar usus dan menyebabkan
amubiasis ekstra-intestinal.
b. Penyebab
Entamoeba histolytica
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi rata-rata 2-4 minggu.
2) Amubiasis kolon akut atau disentri amuba memberikan gejala sindroma
disentri yang merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas feses
berlendir dan berdarah, tenesmus anus, nyeri perut dan kadang-kadang
disertai demam.
3) Pada amubiasis kronik pasien mengeluh nyeri perut dan diare yang
diselingi konstipasi.
4) Pada amubiasis ekstraintestinalis kadang ditemukan riwayat amubiasis
usus.
5) Pasien amubiasis hati biasanya demam, hati membesar disertai nyeri
tekan abdomen terutama di daerah kanan atas, berkeringat, tidak nafsu
makan, berat badan turun dan ikterus.
6) Amubiasis kutis dan perinealis menyebabkan ulkus yang tepinya
bergaung, sedangkan amubiasis vaginalis menimbulkan leukore dengan
bercak darah dan lendir.
e. Penatalaksanaan
1) Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amubiasis usus maupun
amubiasis ekstraintestinalis.
a) Dosis dewasa: 500750 mg tiap 8 jam selama 7 10 hari.
b) Dosis anak 1 tahun: 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam, selama 710 hari.
2) Amubiasis ekstraintestinalis memerlukan pengobatan yang lebih lama.
Oleh karena itu perlu dirujuk.
f.
KIE
1) Tujuan terapi: membunuh parasit.
2) Efek samping terapi: metronidazol dapat menyebabkan mual. Jika
timbul gejala tersebut maka pasien dapat menghubungi dokter
Puskesmas untuk mendapatkan obat antimual.
3) Pencegahan:
4) Pencegahan meliputi perbaikan kesehatan lingkungan dan higiene
perorangan, desinfeksi sayur dan buah-buahan yang diduga kurang
bersih.
5) Pengidap kista tidak boleh bekerja di bidang penyiapan makanan dan
minuman.
d. Diagnosis
Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk histolitika dalam
feses cair.
59
60
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
19. DISPEPSIA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 88
ICD X : K30
a. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman atau nyeri ulu hati disertai mual,
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
b. Penyebab
1) Fungsional (dispepsia tipe non-ulkus): dispepsia tanpa ada bukti
kelainan organik (misalnya karena psikosomatis), kombinasi
hipersensitivitas visceral dengan motilitas abnormal lambung.
2) Organik (dispepsia tipe ulkus): GERD, ulkus peptikum, gastritis,
lainnya (AINS, diabetic gastroparesis, batu kandung empedu dan lainlain).
e. Penatalaksanaan
1) Suportif: menghindari makanan yang merangsang seperti pedas, asam,
dan tinggi lemak.
2) Medikamentosa:
a) Antasida (hanya mengurangi gejala), atau
b) H2 blocker (misal ranitidin 150 mg tiap 12 jam sebelum makan),
atau
c) Proton Pump Inhibitor (PPI) (misal omeprazol 20 mg tiap 24 jam),
atau
d) Prokinetik (misal domperidon 3x10 mg) jika ada gejala
dismotilitas.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: makan teratur, gizi seimbang.
3) Alasan rujukan: jika ditemukan tanda-tanda bahaya, dirujuk ke RS.
c. Gambaran Klinis
Terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas, seperti nyeri ulu hati, mual,
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
Perlu diperhatikan adanya alarm symptoms seperti:
1) Disfagia
2) Odinofagia
3) Muntah-muntah
4) Berat badan menurun
5) Anemia
6) Fecal occult blood test (+)
7) Teraba massa atau adanya pembesaran kelenjar
8) Usia >55 tahun
Pemeriksaan fisik:
Berat badan, tanda-tanda vital, nyeri tekan epigastrium, cari tanda apakah
ada perdarahan saluran cerna atas atau tidak (adakah tanda-tanda anemia,
adakah darah pada pemeriksaan colok dubur)
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Diagnosis banding: kecacingan, kehamilan muda.
61
62
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
20. EPILEPSI
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 0901
a. Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan
epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron
yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal
abnormal ini umumnya timbul intermiten dan self-limited.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi,
faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan
prognosa).
b. Penyebab
Kelainan fungsional otak yang serangannya bersifat kambuhan. Kelainan
organis di otak juga dapat menimbulkan epilepsi, sehingga kemungkinan
ini perlu dipikirkan.
c. Gambaran Klinis
d. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi (menurut ILAE tahun 1981):
1) Bangkitan Parsial ( fokal)
a) Parsial sederhana
(1) Disertai gejala motorik
(2) Disertai gejala somato-sensorik
(3) Disertai gejala psikis
(4) Disertai gejala autonomik
b) Parsial kompleks
(1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau
tanpa automatism
(2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau
tanpa automatism
c) Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder
(1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
(2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
63
2) Bangkitan Umum
a) Bangkitan Lena (absence) & atypical absence
b) Bangkitan Mioklonik
c) Bangkitan Klonik
d) Bangkitan Tonik
e) Bangkitan Tonik-klonik
f) Bangkitan Atonik
3) Bangkitan yang tidak terklasifikasikan
a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa rasa
terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran sementara, kepala
berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya
pengendalian kandung kemih, napas mendengkur, mulut berbusa
dan dapat terjadi inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik
seluruh tubuh selama 2030 detik diikuti kejang klonik pada otot
anggota, otot punggung, dan otot leher yang berlangsung 23
menit. Setelah kejang hilang pasien terbaring lemas atau tertidur 3
4 jam, kemudian kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan
sering pasien berada dalam keadaan bingung.
b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali dengan
hilang kesadaran selama 1030 detik. Selama fase lena (absence)
kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tak beraksi. Kadang
tampak seperti tak ada serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan
klonik pada mulut atau kelopak mata.
c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu otot atau
kelompok otot.
d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat kejang yang
mulai di salah satu tangan dan menjalar sesisi, sedangkan serangan
parsial sensorik dapat berupa serangan rasa baal atau kesemutan
unilateral.
e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks, pasien hilang
kontak dengan lingkungan sekitarnya selama 12 menit,
menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan
tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak
mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak
64
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan
kemudahan pemakaiannya (Tabel 8). Penggunaan terapi tunggal
65
Asam valproat
Bangkitan mioklonik
Asam valproat
fenitoin,
asam
valproat,
66
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
21. ERISIPELAS
Kompetensi
Laporan Penyakit
67
ICD X : A46
a. Definisi
Erisipelas adalah infeksi kulit.
b. Penyebab
Streptococcus beta-haemolyticus.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise.
2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan berkilat
dengan batas yang tegas serta nyeri tekan.
3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan bula.
4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan nyeri tekan.
d. Diagnosis
Tanda-tanda peradangan kulit.
e. Penatalaksanaan
1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50 mg/kgBB selama
57 hari.
2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit.
f.
: 4
: 2001
KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi.
2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah.
3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene perorangan.
4) Alasan rujukan: kasus yang berat.
68
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : J02
a. Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring.
Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu
tonsilo faringitis akut, atau bagian dari influenza (rinofaringitis).
b. Penyebab
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
1) Virus, yaitu rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus,
EpsteinBarr virus, herpes virus
2) Bakteria, yaitu grup A -hemolytic Streptococcus (paling sering),
Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae,
Neisseria gonorrhoeae
3) Jamur, yaitu Candida; jarang kecuali pada pasien imunokompromis
(misalnya pasien dengan HIV-AIDS).
Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau
yang memperberat.
c. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit bergantung pada adanya infeksi sekunder dan virulensi
kumannya serta daya tahan tubuh pasien, tetapi biasanya faringitis sembuh
sendiri dalam 35 hari.
1) Faringitis yang disebabkan bakteri:
a) Demam atau menggigil
b) Nyeri menelan
c) Faring posterior merah dan bengkak
d) Terdapat folikel bereksudat dan purulen di dinding faring
e) Bisa disertai batuk
f) Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian anterior
g) Tidak mau makan/menelan
h) Onset mendadak dari nyeri tenggorokan
i) Malaise
j) Anoreksia
2) Faringitis yang disebabkan virus:
a) Onset radang tenggorokannya lambat, progresif
b) Demam
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c)
d)
e)
f)
g)
69
Nyeri menelan
Faring posterior merah dan bengkak
Malaise ringan
Batuk
Kongesti nasal
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza.
2) Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus.
3) Untuk demam dan nyeri:
a) Dewasa
Parasetamol 250 atau 500 mg, 12 tablet per oral tiap 6-8 jam jika
diperlukan, atau Ibuprofen, 200 mg 12 tablet tiap 6-8 jam sehari
jika diperlukan.
b) Anak
Parasetamol diberikan tiap 8 jam jika demam
(1) <1 tahun
: 60 mg/kali (1/8 tablet)
(2) 1-3 tahun
: 60-120 mg/kali (1/4 tablet)
(3) 3-6 tahun
: 120-170 mg/kali (1/3 tablet)
(4) 6-12 tahun
: 170-300 mg/kali (1/2 tablet)
4) Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan minimal 3 dari 4 gejala
(kriteria McIssac/kriteria Centor):
a) demam menggigil >38,5oC,
b) eksudat dan purulen di dinding faring,
c) pembesaran kelenjar getah bening anterior
d) pengobatan simtomatik tidak sembuh dalam 3 hari
Dewasa: Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau
Eritromisin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari
Anak: Amoksisilin 30-50mg/kgBB/hari selama 5 hari, atau
Eritromisin 20-40 mg/kgBB/hari selama 5 hari
f.
KIE:
1) Tujuan pengobatan: mencegah terjadi penyakit jantung rematik, demam
rematik akut, demam scarlett, streptococcus toxic shock syndrome,
glomerulonefritis akut, pediatric autoimun neuropsychiatric disorder.
70
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
: 3B
: 97
ICD X : J09
a. Definisi
Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut yang menular
sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza A H5N1.
Pada umumnya menyerang unggas dan dapat menular dari unggas ke
manusia.
Angka kematian penyakit ini masih cukup tinggi >80%.
b. Penyebab
Virus influenza tipe A sub-tipe H5N1.
c. Cara Penularan
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui:
1) Kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produknya
2) Kontak dengan lingkungan (udara, air, tanah, lumpur, pupuk) yang
tercemar virus H5N1.
3) Kontak dengan spesimen flu burung baik yang berasal dari unggas
maupun manusia.
4) Konsumsi produk unggas yang tidak dimasak dengan sempurna
mempunyai potensi penularan virus flu burung.
5) Kontak dengan pasien konfirmasi flu burung.
d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi 17 hari (rata-rata 3-5 hari). Masa penularan pada manusia
dewasa adalah 1 hari sebelum gejala awal timbul dan 35 hari setelah
timbulnya gejala, sedangkan penularan pada anak dapat mencapai 21 hari.
Gejala awal sama seperti flu biasa, ditandai dengan batuk, pilek, sakit
tenggorokan. Dapat juga disertai dengan gejala lainnya seperti sakit kepala,
malaise, muntah, diare dan nyeri otot. Yang membedakan Flu Burung
dengan Flu biasa adalah perjalanan penyakit yang progresif dan biasanya
menyebabkan gagal napas dalam waktu yang sangat singkat ( 5 hari).
e. Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk kasus flu burung ada 4:
1) Seseorang dalam penyelidikan
2) Kasus tersangka flu burung
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
71
72
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Kasus probable
4) Kasus konfirmasi
Puskesmas berperan dalam terapi awal pada kasus tersangka flu burung,
selanjutnya dirujuk.
f.
g. Penatalaksanaan
1) Tersangka flu burung diberikan terapi awal oseltamivir 75 mg tiap 12
jam kemudian segera dirujuk. Dosis anak sesuai dengan berat badan
(usia >1 tahun : 2 mg/kgBB).
2) Pasien dengan demam dapat diberikan parasetamol.
3) Kewaspadaan universal diterapkan dengan memisahkan pasien minimal
1 meter dari pasien lainnya, menggunakan masker bedah 1 rangkap
untuk pasien dan 2 rangkap untuk petugas kesehatan.
73
74
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
24. FRAMBUSIA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 0701
ICD X : A66
a. Definisi
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya
serta pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini
menyerang kulit umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang
juga tulang dan periosteum.
Dosis
Cara
Lama
Pemberian Pemberian
PILIHAN UTAMA
< 10 tahun Benzatin
600.000 UI
i.m.
penisilin
> 10 tahun Benzatin
1.200.000 UI
i.m.
penisilin
ALTERNATIF ( bagi pasien alergi terhadap penisilin )
<8 tahun
Eritromisin 30 mg/ kgBB dibagi Oral
dalam 4 dosis tiap 6
jam
8-15 tahun Tetrasiklin/ 250 mg, tiap 6 jam
Oral
Eritromisin
< 8 tahun
Doksisiklin 25 mg/
kgBB Oral
dibagi dalam 4 dosis
tiap 6 jam
Dewasa
Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam
Oral
b. Penyebab
Treponema pertenue.
c. Gambaran Klinis
1) Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa
kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang
menjadi borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering
mengeluarkan serum bercampur darah yang banyak mengandung
kuman. Stadium ini sembuh dalam beberapa bulan dengan parut atrofi.
Atau, bersamaan dengan ini timbul papula bentuk butiran sampai
bentuk kumparan yang tersusun menggerombol, berbentuk
korimbiformis, atau melingkar di daerah lubang-lubang tubuh (anus,
telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan.
2) Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan.
3) Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini
berlangsung 3-12 bulan.
4) Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan
terserang. Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat
dari luar sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung
menyebabkan pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou.
Nama obat
f.
Dosis
tunggal
Dosis
tunggal
15 hari
15 hari
15 hari
15 hari
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk mengobati dan menghindari penularan.
2) Pencegahan: higiene perorangan, hindari kontak dengan sumber
penularan.
3) Alasan rujukan: bila tidak sembuh dengan pengobatan diatas.
4) Efek samping pengobatan: alergi.
5) Perhatian: tetrasiklin dan doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil,
menyusui dan anak usia <12 tahun.
d. Diagnosis
Papula yang kemudian membesar membentuk papiloma/ ulceropapilloma.
e. Penatalaksanaan
1) Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta UI dosis tunggal untuk
dewasa.
75
76
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : I50.0
a. Definisi
Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda dan gejala
yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi
jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau tanpa
kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi
segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau
diastolik, irama jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara
preload dan afterload (preload and afterload mismatch).
d. KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah perburukan penyakit.
2) Pencegahan serangan selanjutnya:
a) Membatasi aktivitas fisik
b) Kendalikan faktor risiko
c) Mengkonsumsi obat gagal jantung kronik secara rutin dan teratur
(lihat bab gagal jantung kronik)
d) Kontrol ke dokter spesialis untuk penatalaksanaan lebih lanjut
3) Alasan rujukan: untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
b. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan anamnesis (gejala) dan
pemeriksaan fisik (tanda). Tanda dan gejala GJA:
1) Sesak napas saat istirahat
2) Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung kronik)
3) Orthopnu (sesak memberat saat berbaring)
4) Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru
5) Takikardi
6) Takipnoe
7) JVP meningkat
c. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal Gagal jantung akut di Puskesmas:
Penatalaksaaan resusitasi
1) Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation (ABC).
2) Oksigen nasal 4-5 L/menit.
3) Posisi setengah duduk (semi fowler position).
4) Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100 mmHg).
5) Berikan ISDN 5 mg s.l. jika TD >100 mmHg.
6) Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan fisiologis
(NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika setelah pemberian
cairan tekanan darah tidak membaik maka segera dirujuk ke RS.
7) Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x 12,5 mg
(dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg bisa diulang hingga
5 kali sampai mendapat pertolongan lebih lanjut.
8) Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
77
78
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Klasifikasi
Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya
memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III dan
IV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostik
kelainan yang dialami (table 10).
c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Gagal Jantung:
a) Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik.
b) Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
c) Respons terhadap terapi gagal jantung.
d) Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung.
2) Kriteria Framingham:
a) Kriteria Mayor:
(1) Paroxysmal nocturnal dyspnea
(2) Distensi vena jugularis
(3) Ronki basah halus
(4) Rontgen : kardiomegali
(5) Udem pulmonal akut
(6) S3 gallop
(7) Tekanan vena sentral >16 cm H2O
(8) Waktu sirkulasi +25 detik
(9) Hepatojugular refluks
(10) Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada
autopsi
(11) Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon
terhadap terapi gagal jantung.
b) Kriteria Minor:
(1) Edema kaki bilateral
(2) Batuk nokturnal
(3) Dyspnea pada aktivitas sehari-hari
(4) Hepatomegali
(5) Efusi pleura
(6) Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai
maksimal
(7) Takikardia ( nadi >120 kali/menit)
79
80
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan
fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
b) Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan
dan/atau kiri antara lain: takikardia, takipneu, ronkhi basah,
peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites,
hepatomegali, dan edema tungkai.
g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperpanjang harapan hidup.
2) Pencegahan:
a) Penyuluhan umum
(1) Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan
kelurganya
(2) Mengontrol berat badan
(3) Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
(a) Diet rendah garam (<2 g/hari)
(b) Pembatasan intake cairan (<1,5-2 L/hr)
(c) Hindari konsumsi alkohol
(d) Berhenti merokok.
(4) Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik.
(5) Obat yang perlu mendapat perhatian khusus.
b) Rehabilitasi: Rehabilitasi dilakukan pada pasien yang stabil dengan
kelas fungsional II-III
Penatalaksanaan
1) Tujuan Terapi:
a) Pencegahan
(1) Mencegah dan mengontrol kelainan yang menyebabkan
gangguan fungsi jantung dan gagal jantung.
(2) Mencegah progresivitas gangguan fungsi jantung menjadi
gagal jantung akut.
b) Morbiditas
Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup.
c) Mortalitas
Meningkatkan harapan hidup.
2) Terapi Farmakologi
a) ACE inhibitor (kaptopril)
(1) Direkomendasikan sebagai first-line therapy.
(2) Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg) dapat di
uptitrasi hingga 3 x 50 mg.
b) Digitalis
(1) Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagal
jantung.
(2) Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik daripada
hanya menggunakan salah satu jenis saja.
(3) Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika terdapat fibrilasi
atrial.
81
82
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : F40-F48
a. Definisi
Suatu atau kumpulan gejala fisik yang dirasakan berlebihan disertai dengan
sindrom ansietas tanpa bukti adanya penyakit fisik.
b. Penyebab
Psikologis dan keprbadian individu, stresor psikososial, penyakit organik
seperti hipertiroid, pheocromamocytosis.
c. Jenis-jenis Gangguan Neurotik
Gangguan neurotik yang sering dijumpai adalah sebagi berikut
1) Gangguan ansietas fobik seperti agorafobia, fobia sosial, fobia spesifik
2) Gangguan Panik
3) Gangguan Ansietas Menyeluruh.
4) Gangguan Obsesif Kompulsif
5) Gangguan Stres Pasca Trauma
6) Gangguan Penyesuaian
7) Gangguan Somatisasi
d. Gambaran Klinik
Sesuai dengan gejala dari masing-masing jenis neurotik, untuk
memudahkan sebagai target terapi maka secara klinik perlu mengenali
sindrom ansietas sebagai berikut:
1) Adanya perasaan cemas atau kuatir yang tidak realistik terhadap dua
atau lebih hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Perasaan ini
menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang (inability
to relax)
2) Terdapat gejala-gejala berikut:
a) Ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa gemetar, otot
tegang/kaku/pegal, tidak bisa diam, atau mudah menjadi lelah
b) Hiperaktivitas otonomik, seperti napas pendek/terasa berat, jantung
berdebar-debar, telapak tangan basah dan dingin, mulut kering,
kepala pusing/rasa melayang, mual, mencret, perut tak enak, muka
panas/badan menggigil, buang air kecil atau sukar menelan/rasa
tersumbat.
83
84
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
85
7) Gangguan Somatisasi
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam
yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang
sudah berlangsung setidaknya 2 tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhankeluhannya.
f.
Penatalaksanaan
1) Untuk semua jenis gangguan neurotik dapat diberikan:
Antiansietas : Diazepam 25 mg tiap 8-12 jam
Antidepresan : Amitriptilin 12,5 mg tiap 12-24 jam
Antipsikotik : Haloperidol 0,5 mg tiap 12-24 jam
2) Untuk Gangguan Panik sebaiknya diberikan Alprazolam 0,5 mg tiap 812 jam sehari jika obatnya tersedia.
3) Obat utama adalah Diazepam yang diberikan secara tunggal.
4) Penambahan dengan Amitriptilin 12,5 jika diserta gejala-gejala afek
yang depresif dan atau haloperidol 0,5 mg jika gejala-gejalanya cukup
berat yang disertai dengan banyaknya keluhan somatik dan atau
pikiran-pikiran yang kurang rasional.
5) Segera rujuk ke psikiater jika gangguan neurotik dalam 1 minggu
pengobatan tidak memberi efek yang baik.
g. KIE
1) Selain pemberian obat sebaiknya memberi konseling kepada pasien,
dengan cara: bersikap empati, memberi dukungan kepada pasien untuk
mampu mengatasi sendiri masalahnya, bantu pasien mengenali stressor
psikososialnya, lebih banyak mendengarkan keluhan pasien dan
membiarkan untuk mengeluarkan unek-uneknya (ventilasi), jangan
terlalu banyak memberikan nasehat, tidak terlalu cepat untuk menilai
keadaan pasien dan jangan menyalahkan atau menghakimi atas sikap
dan perilakunya.
2) Memberi penjelasan tentang penyakit yang dideritanya termasuk dalam
gangguan jiwa ringan yang bisa diobati
3) Memberi penjelasan tentang efek samping sedasi dari obat-obat
tersebut, sehingga tidak menjalankan kendaraan waktu meminum obat,
atau sebaiknya minum obat saat mau tidur
4) Memberi penjelasan untuk tidak meminum obat tanpa resep dokter atau
dosis yang sesuai dengan anjuran dokter karena beberapa obat
86
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : K04
a. Definisi
Kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai kelanjutan
proses karies atau trauma.
b. Penyebab
Kematian jaringan pulpa dengan atau tanpa kehancuran jaringan pulpa.
c. Gambaran Klinis
1) Tidak ada gejala sakit.
2) Tanda klinis yang sering ditemui adalah jaringan pulpa mati, lisis dan
berbau busuk.
3) Gigi yang rusak berubah warna menjadi abu-abu kehitaman.
d. Diagnosis
Degenerasi pulpa.
e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas.
2) Jika sudah peradangan periapikal (nyeri saat menggigit) dapat
diberikan amoksisilin selama 5 hari.
Dewasa : amoksisilin 500 mg tiap 8 jam.
Anak : amoksisilin 10-15 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam.
3) Simtomatik:
Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
f.
87
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. Bila
ada karies gigi harus segera ditangani.
88
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
29. GASTRITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 88
ICD X : K29.7
a. Definisi
Nyeri epigastrium yang hilang timbul/menetap dapat disertai dengan
mual/muntah.
b. Peyebab
Penyebab utama gastritis adalah iritasi lambung misalnya oleh makanan
yang merangsang asam lambung, alkohol atau obat. Pada keadaan ini
terjadi gangguan keseimbangan antara produksi asam lambung dan daya
tahan mukosa. Penyakit sistemik, kebiasaan merokok, infeksi kuman
Helicobacter pilori juga berperan dalam penyakit ini.
c. Gambaran Klinis
Pasien biasanya mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati. Gastritis erosif
akibat obat sering disertai pendarahan. Nyeri epigastrium, perut kembung,
mual, muntah tidak selalu ada.
d. Diagnosis
Nyeri ulu hati, mual/muntah, kembung dan lain-lain.
e. Penatalaksanaan
1) Keluhan akan segera hilang dengan antasida (AlOH, Mg(OH)2) yang
diberikan menjelang tidur, pagi hari, dan diantara waktu makan.
2) Bila muntah sampai mengganggu dapat diberikan tablet metoklopramid
10 mg, 1 jam sebelum makan (dewasa) atau domperidon (anak).
3) Bila nyeri hebat dapat dikombinasikan dengan ranitidin 150 mg 2x
sehari
4) Pasien dengan tanda pendarahan seperti hematemesis atau melena perlu
segera dirujuk ke rumah sakit karena kemungkinan terjadi pendarahan
pada tukak lambung yang dapat menjadi perforasi.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala, memastikan ada
asupan makanan yang cukup.
2) Pencegahan: makan teratur dan menghindarkan makanan yang
merangsang asam lambung.
3) Efek samping: metoklopramid tidak boleh pada anak <18 tahun karena
efek samping ekstrapiramidal.
89
ICD X : S02-T02
a. Definisi
Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
b. Penyebab
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
1) Colubridae (misalnya Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia)
2) Elapidae (misalnya King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting
cobra)
3) Viperidae (misalnya Borneo green pit viper, Sumatran pit viper).
c. Gambaran Klinis
1) Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air, hanya
memerlukan tata laksana sederhana. Namun bila jenis ular tidak
diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya pencegahan dengan serum
anti bisa ular polivalen.
2) Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular.
3) Pasien mungkin tampak kebiruan, pingsan, lumpuh atau sesak napas.
4) Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular
tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala
ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
a) Ciri-ciri ular berbisa:
(1) Bentuk kepala segi empat panjang
(2) Gigi taring kecil
(3) Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan.
b) Ciri-ciri ular tidak berbisa:
(1) Kepala segi tiga
(2) Dua gigi taring besar di rahang atas
(3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring.
5) Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga:
a) Efek lokal.
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek
yang agak sulit dideteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa
spesies gigitannya dapat menghasilkan efek yang cukup besar
seperti bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan
nekrosis. Yang harus diwaspadai adalah terjadinya syok
90
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
91
1) Bila yang digigit anggota badan, gunakan tali putar silang di sebelah
atas luka. Putar tali sedemikian kencang sampai denyut nadi di ujung
anggota hampir tidak teraba. Ikatan dikendorkan tiap 15 menit selama 1
menit.
Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan
sesuai Tabel 11.
Tabel 11. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
Derajat
0
I
II
Venerasi
0
+/+
Luka
+
+
+
Nyeri
+/+++
Edema/Eritema
<3 cm/12 jam
3-12 jam/12 jam
>12-25
cm/12
jam
III
+++
IV
+++
+++
>ekstremitas
Sistemik
0
0
+
Neurotoksik,
mual,
pusing, syok
++
Ptekhiae,
syok,
ekhimosis
++
Gagal
ginjal
akut,
koma, perdarahan
2) Bila tersedia, suntikkan Serum Anti Bisa Ular (SABU) polivalen i.v
menggunakan tatacara pengobatan sesuai Tabel 12.
Tabel 12. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck
Derajat
Beratnya
evenomasi
Taring
atau gigi
0
I
II
III
IV
Tidak ada
Minimal
Sedang
Berat
Berat
+
+
+
+
+
Ukuran
zona
edema/eritemato
kulit (cm)
<2
2-15
15-30
>30
<2
Gejala
sistemik
+
++
+++
Jumlah
vial
venom
0
5
10
15
15
KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular.
b) menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah.
92
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
31. GINGIVITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 1503
ICD X : K05-K06
a. Definisi
Gingivitis adalah inflamasi gingiva marginal atau radang gusi.
b. Penyebab
Radang gusi ini dapat disebabkan oleh faktor lokal maupun faktor sistemik.
Faktor lokal diantaranya karang gigi, bakteri, sisa makanan (plak),
pemakaian sikat gigi yang salah, rokok, tambalan yang kurang baik. Faktor
sistemik meliputi Diabetes Melitus (DM), ketidakseimbangan hormon (saat
menstruasi, kehamilan, menopause, pemakaian kontrasepsi), keracunan
logam, dan sebagainya.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya mengeluh mulut bau, gusi bengkak mudah berdarah,
tanpa nyeri, hanya kadang terasa gatal.
2) Pada pemeriksaan gusi tampak bengkak, berwarna lebih merah dan
mudah berdarah pada sondasi. Kebersihan mulut biasanya buruk.
3) Ginggivitis herpes biasanya disertai gejala herpes simpleks. Tanda di
gusi tidak disertai bau mulut.
4) Salah satu bentuk radang gusi adalah perikoronitis yang gejalanya lebih
berat: demam, sukar membuka mulut.
d. Diagnosis
Peradangan pada gusi.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk memperbaiki kebersihan mulut dan berkumur
dengan 1 gelas air hangat +1 sendok teh garam, atau bila ada dengan
obat kumur iodium povidon tiap 8 jam selama 3 hari.
2) Bila kebersihan mulut sudah diperbaiki dan tidak sembuh, rujuk ke
Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya. Perlu dipikirkan
kemungkinan sebab sistemik.
3) Perikoronitis memerlukan antibiotik selama 5 hari: amoksisilin 500 mg
tiap 8 jam.
4) Membersihkan karang gigi.
93
94
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah).
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Alasan rujukan: bila kebersihan mulut sudah diperhatikan dan penyakit
tidak sembuh, perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan
selanjutnya.
32. GLAUKOMA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 1001
ICD X : H40
a. Definisi
Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit yang menyebabkan
suatu resultan yakni meningkatnya tekanan intra okuler yang cukup untuk
menyebabkan degenerasi optik disk (atrofi nervus optikus) dan kelainan
lapang pandang.
b. Penyebab
Meningkatnya tekanan intra okuler. Harus dibedakan dengan hipertensi
okuler yaitu suatu keadaan dimana tekanan intraokuler meninggi tanpa
kerusakan pada optik disk dan kelainan lapang pandang.
c. Gambaran Klinis
Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Glaukoma Primer
a) Glaukoma primer sudut terbuka (open angle glaucoma, chronic
glaucoma) adalah jenis glaukoma yang paling sering ditemukan.
b) Glaukoma primer sudut tertutup (closed angle glaucoma, acute
congestive glaucoma).
2) Glaukoma Kongenital
a. Glaukoma kongenital primer atau infantil (Buftalmos)
b. Glaukoma yang menyertai kelainan kongenital
3) Glaukoma Sekunder
4) Glaukoma Absolut
Pada glaukoma akut kongestif (terjadinya serangan) harus diberi perawatan
yang secepat-cepatnya karena terlambatnya perawatan dapat mempercepat
memburuknya tajam penglihatan dan lapang pandang.
Glaukoma akut kongestif sering diduga/didiagnosa sebagai konjungtivitis
karena mata terlihat merah. Pada glaukoma akut akan terlihat adanya
infeksi konjungtiva, infeksi silier, pupil melebar/mid dilatasi, reflek kurang.
Pemeriksaan pengukuran tekanan bola mata dengan tonometri akan
didapatkan nilai yang tinggi (normal 1020 mmHg).
95
96
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Mata merah, pupil lebar, reflek kurang, kornea agak keruh, tanpa kotoran
mata dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, visus menurun dan
biasanya mengenai satu mata adalah gejala glaukoma akut.
Kelainan tersebut jangan didiagnosis sebagai konjungtivitis. Tanda
konjungtivitis adalah mata merah (biasanya dua mata), terdapat kotoran
mata, tidak nyeri kepala, visus tidak menurun, pupil tidak lebar dan tidak
berakibat kebutaan.
Glaukoma akut kongestif sangat berbahaya dan berakibat kebutaan total
yang tidak dapat diobati.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sesuai dengan kedaruratan mata (karena dapat
menimbulkan kebutaan). Dengan keterbatasan ketenagaan dan peralatan,
maka penanggulangan glaukoma yang mungkin dilakukan di Puskesmas
adalah glaukoma akut kongestif, dengan pemberian steroid topikal untuk
menekan reaksi peradangan, misalnya betametason tetes mata.
Pengobatan simtomatik untuk gejala yang ada parasetamol untuk sakit
kepala dan metoklopramid untuk muntah, dan segera rujuk ke spesialis
mata untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan bola mata secara cepat untuk
mencegah kebutaan, melakukan deteksi dini dalam keluarga terhadap
kemungkinan menderita glaukoma.
2) Alasan rujukan: untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.
ICD X : N00
a. Definisi
Glomerulonefritis akut (GNA) atau glomerulonefritis pasca infeksi adalah
suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah
dalam urin), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam urin) yang jumlahnya bervariasi.
b. Penyebab
Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang paling sering
dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus beta-haemolyticus grup A.
c. Gambaran Klinik
1) Sekitar 50% pasien tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang
pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan
jaringan (edem), berkurangnya volume urin dan berwarna gelap karena
mengandung darah.
2) Pada awalnya edem timbul sebagai pembengkakan di wajah dan
kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa
menjadi hebat.
3) Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit
kepala, gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih
serius.
d. Diagnosis
1) Urinalisis menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan konsentrasi
urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi.
2) Kadar antibodi untuk streptococcus di dalam darah bisa lebih tinggi
daripada normal.
3) Kadang pembentukan urin terhenti sama sekali segera setelah
terjadinya glomerulonefritis pasca streptococcus, volume darah
meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium darah meningkat. Jika
tidak segera menjalani dialisa, maka pasien akan meninggal.
4) Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain Streptococcus
biasanya lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul
ketika infeksinya masih berlangsung.
Tanda-tanda GNA: hematuria, edem, gangguan fungsi ginjal.
97
98
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid
tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan.
2) Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih
berlangsung, maka segera diberikan antibiotik.
3) Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya
katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan
infeksinya bisa diatasi.
4) Pasien sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai
fungsi ginjal kembali membaik.
5) Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang
kelebihan garam dan air.
6) Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti hipertensi.
7) Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi dan menghambat
progresifitas penyakit.
2) Pencegahan: pemantauan klinik yang teratur, kontrol tekanan darah,
proteinuria dan kadar lemak darah, pengaturan asupan protein.
99
34. GONORE
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 25
ICD X : A54
a. Definisi
Gonore adalah infeksi bakteri tertentu di alat kelamin, dubur atau
tenggorokan.
b. Penyebab
Disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (gonococcus), suatu
diplococcus gram negatif. Gonore dapat menular kalau seseorang
melakukan hubungan seks vaginal, dubur atau mulut dengan seseorang
yang sedang mengalami infeksi tersebut tanpa memakai kondom. Untuk
laki-laki yang mengalami infeksi saluran kencing, gejala-gejalanya
biasanya muncul dalam waktu 210 hari setelah terinfeksi.
c. Gambaran Klinis
1) Setelah melakukan kontak seksual kelainan di awal dengan keluhan
rasa tidak nyaman/panas di saluran kemih dan beberapa waktu
kemudian dengan keluarnya cairan putih kekuningan (darah) dari
lubang kencing.
2) Biasanya penyakit ini menunjukan gejala 2-10 hari. Umumnya penyakit
ini ditandai dengan radang saluran urin dengan gejala nyeri sewaktu
berkemih dan mengeluarkan cairan putih dari saluran kemihnya.
Namum pengeluaran cairan putih, ataupun yang kuning, yang kental
ataupun yang encer bisa disebabkan oleh kuman lain, sehingga sifat
cairan ini tidak memastikan penyakit ini.
3) Pada wanita biasanya tidak ada keluhan keputihan dan kadang-kadang
pendarahan yang tidak normal dari rahim serta rasa tak nyaman pada
liang dubur. Namun semua gejala itu pun tidak khas bagi gonore, ia
bisa juga disebabkan oleh penyakit lain sehingga perlu diperiksa
dengan teliti.
4) Pada wanita infeksi gonore bisa berlanjut menjadi peradangan alat
dalam panggul yang menjalar dari bibir rahim, ke dalam rahim, ke
saluran telur dan ke seluruh alat dalam panggul, biasanya terjadi selama
haid. Gejala penyakit ini meliputi demam dan nyeri perut bagian
bawah. Mungkin juga terdapat pengeluaran cairan kekuningan dari
dalam bibir rahim dan nyeri tekan pada rahim pada waktu pemeriksaan
100
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati dan menghindari penularan.
2) Pencegahan: hindari perilaku berisiko atau perilaku seksual yang tidak
aman, hindari kontak langsung dengan pasien.
3) Alasan rujukan: tidak sembuh dengan pengobatan tersebut diatas
4) Efek samping pengobatan: alergi obat.
5) Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau
anak di bawah 12 tahun
35. GOUT
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 90
ICD X : M10
a. Definisi
Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat deposisi kristal
mono sodium urat pada persendian dan jaringan lunak.
Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi)
yang akut, kadang-kadang disertai dengan pembentukan kristal sodium urat
yang besar (yang dinamakan tophus), deformitas (kerusakan) sendi secara
kronik, dan adanya cedera pada ginjal.
b. Penyebab
Penumpukan asam urat didalam tubuh secara berlebihan, baik akibat
produksi asam urat yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang
menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan yang kaya akan purin.
Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat karena
kadarnya yang tinggi.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala paling khas adalah nyeri dan kemerahan pada sendi
metatarsofalangeal pertama, biasanya melibatkan satu sendi. Gejala
bisa dieksaserbasi oleh paparan terhadap dingin dan sering memburuk
pada malam hari.
2) Gout dapat menyerang lebih dari 1 sendi, tetapi umumnya asimetri
(satu sisi tubuh saja). Sendi yang terlibat tampak bengkak, hangat,
kemerahan, dengan kulit diatasnya yang teregang.
3) Selama serangan akut, pasien mungkin agak demam dan ada
peningkatan jelas LED dan CRP serum.
4) Lebih dari sekali mengalami serangan artritis akut.
5) Terjadi peradangan secara maksimal dalam 1 hari.
6) Oligoartritis.
7) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
8) Hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah >7,5 mg/dL).
9) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja).
d. Diagnosis
Nyeri akut pada persendian kecil seperti ibu jari, terutama malam hari.
101
102
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi peradangan, menurunkan kadar
asam urat dalam tubuh.
2) Pencegahan: membatasi diet purin, tidak mengkonsumsi alkohol,
minum air dalam jumlah banyak (> 2 L).
103
ICD X : -
a. Definisi
Hepatitis Virus Akut adalah peradangan hati karena infeksi oleh salah satu
dari kelima virus hepatitis (virus A, B, atau C); peradangan muncul secara
tiba-tiba dan berlangsung hanya selama beberapa minggu.
b. Penyebab
Virus Hepatitis A, B, C.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya muncul secara tiba-tiba, berupa:
a) penurunan nafsu makan
b) merasa tidak enak badan
c) mual
d) muntah
e) demam.
2) Kadang terjadi nyeri sendi dan timbul biduran (gatal-gatal kulit),
terutama jika penyebabnya adalah infeksi oleh virus hepatitis B.
3) Beberapa hari kemudian, urin warnanya berubah menjadi lebih gelap
dan timbul kuning (jaundice). Pada saat ini gejala lainnya menghilang
dan pasien merasa lebih baik, meskipun jaundice semakin memburuk.
4) Bisa timbul gejala dari kolestasis (terhentinya atau berkurangnya aliran
empedu) yang berupa feses yang berwarna pucat dan gatal di seluruh
tubuh. Jaundice biasanya mencapai puncaknya pada minggu ke 12,
kemudian menghilang pada minggu ke 24.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah
terhadap fungsi hati.
2) Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.
3) Diagnosis pasti diperoleh jika pada pemeriksaan darah ditemukan
protein virus atau antibodi terhadap virus hepatitis.
104
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Jika terjadi hepatitis akut yang sangat berat, maka pasien dirawat di
rumah sakit; tetapi biasanya hepatitis A tidak memerlukan pengobatan
khusus.
2) Setelah beberapa hari, nafsu makan kembali muncul dan pasien tidak
perlu menjalani tirah baring. Makanan dan kegiatan pasien tidak perlu
dibatasi dan tidak diperlukan tambahan vitamin.
3) Sebagian besar pasien bisa kembali bekerja setelah jaundice
menghilang, meskipun hasil pemeriksaan fungsi hati belum sepenuhnya
normal.
f.
b. Penyebab
Penularan melalui kontak langsung. Virus H. simplex tipe 1 (HSV-1)
adalah penyebab umum untuk luka-luka demam (cold sore) di sekeliling
mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes kelamin. Namun HSV-1
dapat menyebabkan infeksi pada kelamin dan HSV-2 dapat menginfeksikan
daerah mulut melalui hubungan seks.
KIE
Pencegahan:
1) Kebersihan yang baik bisa membantu mencegah penyebaran virus
hepatitis A. Feses pasien sangat infeksius. Di sisi lain, pasien tidak
perlu diasingkan; pengasingan pasien hanya sedikt membantu
penyebaran hepatitis A, tetapi sama sekali tidak mencegah penyebaran
hepatitis B maupun C.
2) Kemungkinan terjadinya penularan infeksi melalui transfusi darah bisa
dikurangi dengan menggunakan darah yang telah melalui penyaringan
untuk hepatitis B dan C.
3) Vaksinasi hepatitis B merangsang pembentukan kekebalan tubuh dan
memberikan perlindungan yang efektif.
4) Vaksinasi hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang memiliki
risiko tinggi, misalnya para pelancong yang mengunjungi daerah
dimana penyakit ini banyak ditemukan.
5) Untuk hepatitis C belum ditemukan vaksin.
6) Bagi yang belum mendapatkan vaksinasi tetapi telah terpapar oleh
hepatitis, bisa mendapatkan sediaan antibodi untuk perlindungan, yaitu
globulin serum. Pemberian antibodi bertujuan untuk memberikan
perlindungan segera terhadap hepatitis virus.
7) Ibu hamil yang telah teridentifikasi virus hepatitis B, dianjurkan untuk
melahirkan di rumah sakit.
105
ICD X : B00
a. Definisi
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari
manusia. Infeksi virus H. simplex ditandai dengan vesikel berkelompok di
daerah mukokutan dengan kulit yang memerah. Kelainan dapat terjadi
secara primer maupun sekunder. Herpes simpleks menyebabkan luka-luka
yang sangat sakit pada kulit.
c. Gambaran Klinis
1) Infeksi virus ini mempunyai ciri adanya lesi primer lokal, latensi dan
adanya kecenderungan rekurensi lokal.
2) Dua agen penyebab, HSV tipe 1 dan 2, umumnya menimbulkan
sindrom klinis yang jelas, tergantung pada tempat masuknya.
a) HSV tipe 1:
(1) Infeksi primer mungkin ringan dan umumnya terjadi pada masa
anak-anak dini sebelum usia 5 tahun.
(2) Sekitar 10% infeksi primer menyebabkan bentuk penyakit yang
lebih berat yang bermanifestasi demam dan malaise.
(3) Ini bisa berlangsung selama seminggu atau lebih, dan
dihubungkan dengan adanya lesi vesikuler dalam mulut, infeksi
mata atau erupsi kulit generalisata yang memperberat eksema
kronik.
(4) Reaktivasi infeksi laten mengakibatkan adanya cold sore yang
muncul sebagai vesikel bening pada dasar yang eritematus,
biasanya di wajah dan bibir, yang berkrusta dan sembuh dalam
beberapa hari.
(5) Reaktivasi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma, demam atau
adanya penyakit lain yang sedang diderita.
106
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) HSV tipe 2:
(1) Virus ini adalah penyebab herpes genitalis, walau ini juga
dapat disebabkan oleh virus tipe 1.
(2) Herpes genitalis terjadi terutama pada orang dewasa dan
ditransmisikan secara seksual.
(3) Infeksi primer dan rekuren dapat terjadi, dengan atau tanpa
gejala.
d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis.
ICD X : B02
a. Definisi
Penyakit yang menyerang saraf perifer atau saraf tepi dan bermanifestasi di
kulit.
b. Penyebab
Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella-zoster yang tinggal di ganglia
paraspinal sesudah infeksi varicella.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Terapi mencakup:
a) Salep dan larutan povidon-iodin.
b) Asiklovir untuk herpes genitalis awal dan rekuren, 5 x 200 mg
sehari, selama 5-10 hari.
2) Perawatan setempat untuk herpes simpleks sebaiknya termasuk
membersihkan lukanya dengan air garam dan menjaganya tetap kering.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengobati kelainan kulit dan mencegah penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka.
3) Alasan rujuk: jika mengenai daerah kelamin, mata, atau berisiko
ensefalitis.
c. Gambaran Klinis
1) Mula-mula pasien mengalami demam atau panas, disertai nyeri yang
terbatas pada satu sisi tubuh, terjadi paling sering pada badan atau
wajah, jarang pada ekstremitas, yang nantinya timbul bercak. Beberapa
hari kemudian (tiap orang tidak sama), muncul bercak kemerahan di
bagian tubuh yang nyeri tadi makin hari menyebar dan membesar
sampai sebesar biji jagung.
2) Makin lama, mengelupas dan tetap nyeri.
3) Setelah kering (ada yang seminggu, ada pula 2 atau 3 minggu) dan
sembuh, kadang masih menyisakan nyeri. Sisa-sisa nyeri adakalanya
masih muncul bertahun-tahun kemudian. Keadaan ini disebut nyeri post
herpetic.
4) Bila pasien menderita demam dan ruam di satu dermatom di satu sisi
tubuh, penyebabnya mungkin infeksi herpes simpleks.
5) Bila mengenai area mata, gejala berupa mata merah, kelopak mata
bengkak, berair dan mengeluarkan sekret bening (serous) sampai
purulen bila sudah terinfeksi bakteri.
d. Diagnosis
Vesikel yang berisi cairan jernih di salah satu sisi tubuh.
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan lebih diarahkan untuk mengurangi gejala, misalnya
pemberian antinyeri atau penurun panas atau obat untuk mengurangi
rasa gatal pada periode masa penyembuhan.
2) Hingga kini belum ada obat spesifik. Pemakaian anti virus yang oleh
beberapa ahli dikatakan bisa menghilangkan nyeri post herpetic
107
108
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati kelainan kulit dan mencegah
penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka.
3) Jangan berikan kortikosteroid topikal pada kasus infeksi mata.
ICD X : O21
a. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang berlebihan yang terjadi
sampai umur kehamilan 22 minggu. Muntah dapat begitu hebat dimana
segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan kembali.
b. Penyebab
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori penyebab:
1) Peningkatan estrogen
2) Peningkatan hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
3) Disfungsi psikis
c. Gambaran Klinis
Secara klinis hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu:
1) Tingkat I
Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan
minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama
keluar makanan, lendir dan sedikit empedu kemudian hanya lendir,
cairan empedu dan terakhir keluar darah.
Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistole
menurun.
Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang dan urin masih
normal.
2) Tingkat II
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan,
haus hebat.
Subfebril, nadi cepat dan lebih 100140 kali/menit, tekanan darah
sistole < 80 mmHg.
Apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus ada, aseton ada,
bilirubin ada dan berat-badan cepat menurun.
3) Tingkat III
Gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti,
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin ada dan
proteinuria.
109
110
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
1) Amenore yang disertai muntah hebat (segala yang dimakan dan
diminum akan dimuntahkan), pekerjaan sehari-hari terganggu dan haus.
2) Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali/menit, tekanan darah menurun
pada keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma).
3) Pemeriksaan fisik: dehidrasi, keadaan berat, kulit pucat, ikterus,
sianosis, berat badan menurun, porsio lunak pada vaginal touche,
uterus besar sesuai usia kehamilan.
4) Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, shift to the
left, benda keton dan proteinuria.
e. Penatalaksanaan
1) Diet
Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan
hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan
bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang
dalam zat-zat gizi kecuali vitamin C karena itu hanya diberikan selama
beberapa hari.
Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.
Secara berangsur mulai diberikan bahan makanan yang bernilai gizi
tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanan ini
rendah dalam semua zat-zat gizi kecuali vitamin A dan D.
Kesanggupan pasien, minuman boleh diberikan bersama makanan.
Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali kalsium.
2) Pada keadaan berat:
Hentikan makan/minum per oral sementara (2448 jam).
Infus dekstrosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes/menit.
Obat :
a) vitamin B i.v : Vitamin B1, B2 dan B6 masing-masing 50100
mg/hari/infus, dan Vitamin B12 200 mcg/hari/infus,
b) klorpromazin 2550 mg perhari bersifat penenang minor sekaligus
antiemetik
c) Antasida tab tiap 8 jam
Pertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit.
f. KIE
1) Tujuan terapi: mengobati emesis supaya tidak terjadi hiperemesis.
2) Pencegahan:
111
112
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
40. HIPERTENSI
Kompetensi
Laporan Penyakit
Klasifikasi
ICD X : I10
a. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg
(sistolik) dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg (diastolik) pada seseorang
yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Secara umum, hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal
tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal.
b. Penyebab
1) Hipertensi primer: 9095% tidak diketahui penyebabnya.
2) Hipertensi sekunder: 510%.
a) Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah
kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan
darah.
b) Penyakit ginjal.
c) Kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil
KB).
d) Feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang
menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin
(noradrenalin).
e) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah
raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan.
f) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk
sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah
biasanya akan kembali normal.
c. Gambaran Klinis
Pada pengukuran tekanan darah dan jika pada pengukuran pertama
memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan
kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan
adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya
tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya
hipertensi. Kriteria Diagnosis Hipertensi dapat dilihat pada Tabel 13.
113
Normal
Pre-hipertensi
Hipertensi stage I
Hipertensi stage II
TD
Sistolik
(mmHg)
<120
120-139
140-159
160
dan
atau
atau
atau
TD
Diastolik
(mmHg)
<80
80-89
90-99
100
114
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Rekomendasi
Penurunan
berat badan
Diet
Pembatasan
intake natrium
Aktivitas fisik
aerobik
Pembatasan
konsumsi
alkohol
f.
Rerata
penurunan TDS
520 mmHg/ 10
kg
814 mmHg
ICD X : O13
a. Definisi
Hipertensi yang terjadi selama kehamilan.
b. Penyebab
Belum diketahui secara pasti.
28 mmHg
49 mmHg
24 mmHg
KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan darah senormal mungkin
2) Terapi dilakukan secara terus-menerus, pengobatan tidak dihentikan
meskipun tekanan darah telah normal.
3) Cari juga faktor risiko kardiovaskuler lainnya
a) Merokok
b) Obesitas (IMT > 30 kg/m2)
c) Inaktivitas fisik
d) Dislipidemia
e) Diabetes melitus
f) Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit/1,73 m2
g) Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan >65 tahun)
h) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (first degree
relatives laki-laki <55 tahun, perempuan <65 tahun)
4) Efek samping:
a) Propranolol kontra indikasi untuk pasien asma.
b) Kaptopril kontraindikasi pada kehamilan selama janin hidup dan
pasien asma.
c) Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor
angiotensin II: evaluasi kreatinin dan kalium serum (hentikan bila
kreatinin meningkat >25% atau kreatinin meningkat 0,3 mg/dl atau
hiperkalemi)
115
c. Gambaran Klinis
Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam penanganan hipertensi
dalam kehamilan, oleh karena tekanan diastolik mengukur tahanan perifer
dan tidak tergantung pada keadaan emosional pasien.
Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik 90 mmHg pada
2 pengukuran berjarak 1 jam atau lebih.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi dalam:
1) Hipertensi karena kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama kali
sesudah kehamilan 20 minggu, selama persalinan dan/atau dalam 48
jam post partum.
2) Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum kehamilan 20
minggu.
d. Diagnosis
Penegakan diagnosis hipertensi dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Diagnosis Hipertensi Karena Kehamilan dan Hipertensi Kronik
DIAGNOSIS
TEKANAN DARAH
TANDA LAIN
Proteinuria (-)
Kehamilan > 20 minggu
- Preeklampsia
Ringan
Idem
Proteinuria 1+
116
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
- Preeklampsia
Berat
Proteinuria 2+ Oliguria
Hiper-refleksia
Gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium
- Eklampsia
Hipertensi
Kejang
HIPERTENSI KRONIK
- Hipertensi
kronik
- Superimposed
preeclampsia
Hipertensi
Hipertensi kronik
117
118
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Preeklampsia Ringan
(1) Jika kehamilan < 35 minggu dan tidak terdapat tanda perbaikan
selama ANC.
(a) Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan:
Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria,
refleks dan kondisi janin
Lebih banyak istirahat
Diet biasa
Tidak perlu pemberian obat
(b) Jika tidak memungkinkan rawat jalan, rawat di rumah
sakit:
Diet biasa
Lakukan pemantauan tekanan darah 2x sehari,
proteinuria 1x sehari
Tidak memerlukan pengobatan
Tidak memerlukan diuretik, kecuali jika terdapat
edema paru, dekompensasi jantung atau gagal ginjal
akut
Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal,
pasien dapat dipulangkan, nasehatkan untuk istirahat
dan perhatikan tanda preeklampsia berat, periksa ulang
2 kali seminggu dan jika tekanan diastolik naik lagi
rawat kembali.
Jika tidak terdapat tanda perbaikan tetap dirawat.
Jika terdapat tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan.
Jika
proteinuria
meningkat,
kelola
sebagai
preeklampsia berat.
(2) Jika kehamilan > 35 minggu, pertimbangkan terminasi
kehamilan
(a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan Oksitosin 5
UI dalam 500 mL Ringer Laktat/ Dekstrose 5% i.v 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.
(b) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter Foley atau lakukan terminasi
dengan seksio sesarea.
119
120
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Dosis
Pemeliharaan
Alternatif II
Dosis awal
Dosis
pemeliharaan
Sebelum
pemberian
MgSO4 ulangan,
lakukan
pemeriksaan:
Hentikan
pemberian
MgSO4, jika:
Siapkan
antidotum
121
Dosis
pemeliharaan
122
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(7) Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, jika:
(a) Terdapat oliguria (< 400 mL/24 jam)
(b) Terdapat sindroma HELLP (Haemolysis, Elevated Liver
enzymes, Low Platellets count).
(c) Koma berlanjut lebih dari 24 jam setelah kejang.
d) Hipertensi Kronik
(1) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapatkan pengobatan
dengan obat anti hipertensi dan terpantau dengan baik,
lanjutkan pengobatan tersebut.
(2) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg atau tekanan sistolik
160 mmHg, berikan anti hipertensi.
(3) Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed preeklampsia.
(4) Istirahat.
(5) Lakukan pemantauan pertumbuhan dan kondisi janin.
(a) Jika tidak terdapat komplikasi, tunggu persalinan sampai
aterm.
(b) Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat
atau gawat janin, lakukan:
- Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin
25 UI dalam 500 mL dekstrose melalui infus 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.
- Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter Foley.
(c) Observasi komplikasi seperti solusio plasenta atau
superimposed preeklampsia.
Ringkasan penanganan hipertensi dapat dilihat pada Tabel 18.
123
Preeklampsia
ringan
Preeklampsia
berat/Eklampsia
Hipertensi Kronik
- Rawat jalan 1 x
seminggu
- Pantau
TD,
proteinuria,
kesejahteraan
janin
- Tunggu
persalinan
- Rawat jalan
- Istirahat cukup
- Bila
TD
>
160/110
beri
antihipertensi
- Tidak
ada
perbaikan, rujuk
ke RS
f.
Rawat jalan
Istirahat baring
Diet biasa
Tak perlu obat
Bila tidak ada
perbaikan
rujuk
KIE
1) Tujuan terapi: mengontrol tekanan darah sehingga tidak terjadi kejang.
2) Pencegahan:
a) Pembatasan kalori, cairan dan diet rendah garam tidak dapat
mencegah hipertensi karena kehamilan, malah dapat
membahayakan janin.
b) Yang lebih perlu diperhatikan adalah deteksi dini dan penanganan
cepat tepat. Pasien harus kontrol secara reguler dan teratur dan
diberi penerangan yang jelas kapan harus kembali ke pelayanan
kesehatan.
c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau keluarga
d) Pemasukan cairan terlalu banyak akan menyebabkan edema paru.
124
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
42. HIV-AIDS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 2
: 04
ICD X : B20-B24
a. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
merupakan golongan retrovirus yang merusak sistem kekebalan tubuh
manusia sehingga menyebabkan penyakit AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya tidak
diturunkan, tetapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; Immune
adalah sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya
tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan
gejala penyakit) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang muncul
akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh sehingga manusia menjadi rentan
dan mudah tertular penyakit.
b. Gambaran Klinis
Stadium klinis HIV-AIDS menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Stadium Klinis HIV-AIDS menurut WHO
Stadium
125
HIV
wasting
syndrome
kandidiasis esofagus
herpes simpleks > 1 bulan
limfoma
toksoplasmosis otak
diare kriptospridiosis > 1 bulan
cytomegalovirus
sarkoma kaposi
ca cerviks infasif
PCP
TB ekstrapulmonal
meningitis criptococcus
ensefalopati HIV
c. Penularan
Virus HIV terdapat didalam cairan tubuh terutama darah, cairan vagina,
sperma dan air susu ibu.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui:
1) Hubungan seksual yang tidak aman yaitu berganti-ganti pasangan tanpa
pelindung (kondom) atau hubungan seksual dengan pasangan yang
terinfeksi HIV-AIDS tanpa menggunakan kondom.
2) Jarum suntik dan peralatan lain (alat kedokteran, jarum tatto, alat
tindik, pisau cukur, dan lain-lain) yang tidak steril dan digunakan
bersama-sama. Selain itu penularan virus HIV melalui darah juga dapat
terjadi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang
tercemar HIV.
3) Penularan dari ibu yang menderita HIV-AIDS ke anak selama
kehamilan, persalinan dan menyusui.
d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Laboratorium dan Klinis
(berdasarkan stadium klinis) serta penggalian faktor risiko.
e. Infeksi Oportunistik (IO) Penyakit terkait HIV
Adalah infeksi yang mengambil manfaat dari melemahnya sistem
kekebalan tubuh. Pada tahun-tahun pertama epidemi HIV-AIDS, IO
menyebabkan banyak kesakitan dan kematian. Namun setelah ada terapi
antiretroviral (ART), lebih sedikit orang yang meninggal akibat IO.
IO yang paling umum terjadi adalah:
1) Kandidiasis (thrush) adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan atau
vagina. Kandidiasis dapat meluas sampai esofagus pada pasien AIDS.
126
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Penatalaksanaan
ART (Anti Retroviral Therapy) yaitu terapi yang diberikan kepada ODHA
dengan menggunakan obat anti HIV (ARV=Anti Retro Viral). Tujuan
utama ART adalah untuk menjaga agar jumlah virus HIV didalam tubuh
pada tingkat yang rendah, dan mengurangi atau memulihkan kerusakan
pada sistem kekebalan tubuh akibat infeksi HIV, sehingga dapat
mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat HIV serta meningkatkan
mutu hidup pengidap ODHA.
1) Persyaratan pemberian ART:
a) HIV positif dengan dokumentasi tertulis
b) Memenuhi persyaratan medis
Jika tes CD4 tersedia:
(1) CD4 < 350 sel/mm3 pada tanpa memandang stadium klinisnya
(2) Stadium klinik 3 dan stadium 4 tanpa memandang jumlah CD4
(3) Pemeriksaan jumlah CD4 diperlukan untuk mengidentifikasi
pasien dengan stadium klinik 1 dan 2 yang perlu memulai
terapi ARV
(4) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif
tanpa memandang jumlah CD4
Jika tes CD4 tidak tersedia
(1) Stadium klinik 3 WHO
(2) Stadium klinik 4 WHO
127
c)
d)
e)
f)
128
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
129
c) Kepatuhan pengobatan.
d) Paduan (kombinasi) obat ARV.
e) Identifikasi efek samping obat ARV.
8) Mengintensifkan penemuan kasus TB dan menjamin pengendalian
infeksi TB, serta menyediakan layanan konseling dan testing HIV bagi
pasien TB.
9) Menyediakan layanan perawatan paliatif bekerjasama dengan keluarga
ODHA dan RS rujukan.
10) Menyediakan layanan konseling dan tatalaksana gizi pada ODHA.
11) Merujuk kasus HIV-AIDS dengan komplikasi berat ke RS rujukan
ODHA.
12) Melakukan pencatatan dan pelaporan, serta monitoring dan evaluasi
sesuai pedoman.
h. KIE
Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap yang dapat
mendorong perubahan perilaku dalam mengurangi risiko terinfeksi HIV
serta menyediakan dan memberikan informasi yang benar dan tepat guna.
Peningkatan pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk
usia 15-24 tahun sangat penting sebagai bekal untuk mencegah terjadinya
HIV-AIDS. Promosi Kondom pada kelompok perilaku seksual berisiko
juga sangat penting untuk mencegah penularan HIV-AIDS.
Pencegahan penularan HIV-AIDS yang terbaik adalah :
1) Pencegahan Pola A (Abstinance), yaitu Puasa Seks, artinya seseorang
tidak melakukan hubungan seksual sebelum atau diluar nikah.
2) Pencegahan Pola B (Be faithful), yaitu saling setia dengan satu
pasangan, artinya hubungan seksual dilakukan hanya dengan satu
pasangan tetap (suami/istri).
3) Pencegahan Pola C (Condom). Kondom merupakan salah satu alat
pencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.
4) Pencegahan Pola D (Dont inject), yaitu tidak menyalahgunakan
narkoba suntik. Penyalahgunaan narkoba juga menjadi salah satu jalan
yang potensial untuk menularkan HIV karena ada kebiasaan buruk
diantara pengguna narkoba yaitu menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama.
5) Pencegahan Pola E (Education), yaitu pendidikan mengenai HIVAIDS untuk menanggulangi penyebaran HIV-AIDS.
130
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
i.
131
132
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
43. HORDEOLUM
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 1005
ICD X : H00-H01
a. Definisi
Hordeolum adalah suatu infeksi pada satu atau beberapa kelenjar di tepi
atau di bawah kelopak mata. Bisa terbentuk lebih dari 1 hordeolum pada
saat yang bersamaan. Hordeolum biasanya muncul dalam beberapa hari dan
bisa kambuh secara spontan.
Hordeolum internum adalah abses akut pada kelopak mata yang disebabkan
oleh infeksi Stafilokokus pada kelenjar Meibomian, dengan penonjolan
mengarah ke konjungtiva.
Hordeolum eksternum disebabkan oleh infeksi stafilokokus yang
memberikan gambaran abses akut yang terlihat pada folikel bulu mata dan
kelenjar Zeis atau Moll. Hordeolum eksternum sering ditemukan pada
anak-anak.
b. Penyebab
Hordeolum adalah infeksi akut pada kelenjar minyak di bawah kelopak
mata yang disebabkan oleh bakteri dari kulit (biasanya di sebabkan oleh
bakteri stafilokokus). Hordeolum sama dengan jerawat kulit. Kadang
timbul bersamaan dengan atau sesudah blefaritis, bisa juga secara berulang.
c. Gambaran Klinis
1) Biasa berawal dengan kemerahan, nyeri bila ditekan dan nyeri pada tepi
kelopak mata.
2) Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan pasien merasa
ada sesuatu di dalam matanya. Biasanya hanya sebagian kecil di daerah
kelopak yang membengkak, meskipun ada seluruh
kelopak
membengkak.
3) Di tengah daerah yang membengkak sering kali terlihat bintik kecil
yang berwarna kekuningan.
4) Bisa terbentuk abses yang cenderung pecah dan melepaskan sejumlah
nanah.
5) Hordeolum Internum:
a) Benjolan pada kelopak mata yang dirasakan sakit.
b) Benjolan dapat membesar ke posterior (konjungtiva tarsal) atau
anterior (kulit).
133
134
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Hordeolum Eksternum:
a) Benjolan yang dirasakan sakit pada kelopak di daerah margo
palpebra.
b) Penonjolan mengarah ke tepi kulit margo palpebra.
c) Kemungkinan terjadi lesi multiple.
d. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Hordeolum bisa diobati dengan kompres hangat selama 10 menit
sebanyak 4x sehari. Jangan mencoba memecahkan hordeolum.
2) Pemberian oksitetrasiklin salep mata.
3) Kondisi akut: antibiotik sistemik oral, misalnya tetrasiklin, eritromisin.
f.
KIE
1) Tujuan: mengatasi infeksi.
2) Pencegahan: selalu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh
di sekitar mata, bersihkan minyak yang berlebihan di tepi kelopak mata
secara perlahan.
3) Alasan rujukan: apabila keadaan nodul residual tetap ada (lebih dari 2
minggu) setelah infeksi akut perlu dilakukan rujukan untuk tindakan
insisi dan kuretase.
ICD X : O86
a. Definisi
Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan, ditandai
dengan meningkatnya temperatur suhu 380C atau lebih yang terjadi antara
hari ke 2 10 post partum dan diukur per oral 4 kali sehari.
b. Penyebab
Dapat disebabkan oleh bakteri Gram negatif maupun positif. Sebagian
besar infeksi terjadi selama proses persalinan.
Beberapa faktor predisposisi: kurang gizi atau malnutrisi, anemia, higiene
buruk, kelelahan, proses persalinan bermasalah (partus lama/macet,
korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan
infeksi, periksa dalam yang berlebihan).
c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam dan perineum atau dinding vagina yang
terinfeksi tampak bengkak dan bernanah, menimbulkan nyeri.
2) Infeksi di bagian lebih dalam dapat berupa endometritis, salpingitis,
parametritis, peritonitis, dan tromboflebitis, yang pada umumnya
dimulai dari endometrium. Lebih berat lagi dapat terjadi sepsis.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang selalu didapat
serta gejala lain yang mungkin didapat.
e. Penatalaksanaan
1) Pada Puskesmas non PONED: rujuk ke Puskesmas PONED atau RS
2) Pada Puskesmas PONED:
a) Bila terdapat luka perineum, rawat dengan povidon iodin 10%, atau
kompres Rivanol bila terdapat pus.
b) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi:
(1) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam
(2) Ditambah Gentamisin 5 mg/kgBB i.v. sebagai dosis
tunggal/hari dan metronidazol 500 mg i.v. tiap 8 jam.
(3) Lanjutkan antibiotik ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam.
135
136
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Pencegahan:
a) Prinsip universal precaution.
b) Jaga kebersihan tempat persalinan.
2) Konseling ke pasien:
a) Jaga kebersihan diri.
b) Tidak menggunakan obat/ ramuan.
45. INFLUENZA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 1302
ICD X : J00
a. Definisi
Influenza tergolong infeksi saluran napas akut (ISPA) yang biasanya terjadi
dalam bentuk epidemi. Disebut common cold atau selesma bila gejala di
hidung lebih menonjol, sementara influenza dimaksudkan untuk kelainan
yang disertai faringitis dengan tanda demam dan lesu yang lebih nyata.
b. Penyebab
Banyak macam virus penyebabnya, antara lain Rhinovirus, Coronavirus,
virus Influenza A dan B, Parainfluenza, Adenovirus. Biasanya penyakit ini
sembuh sendiri dalam 35 hari.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala sistemik khas berupa gejala infeksi virus akut yaitu demam,
sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nafsu makan hilang, disertai
gejala lokal berupa rasa menggelitik sampai nyeri tenggorokan, kadang
batuk kering, hidung tersumbat, bersin, dan ingus encer.
2) Tenggorokan tampak hiperemia.
3) Dalam rongga hidung tampak konka yang sembab dan hiperemia.
4) Sekret dapat bersifat serus, seromukus atau mukopurulen bila ada
infeksi sekunder.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Anjuran istirahat dan banyak minum sangat penting pada influenza ini.
Pengobatan simtomatis diperlukan untuk menghilangkan gejala yang
terasa berat atau mengganggu.
2) Parasetamol 500 mg tiap 8 jam untuk menghilangkan nyeri dan demam.
3) Untuk anak, dosis parasetamol adalah 10 mg/kgBB/kali, tiap 6-8 jam.
4) Dekongestan efedrin.
5) Antibiotik amoksisilin atau eritromisin hanya diberikan bila terjadi
infeksi sekunder.
137
138
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: istirahat cukup, makan makanan bergizi.
46. KANDIDIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4, 3A
: 2001
ICD X : B37
a. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida sp.
Infeksi ini menyerang kulit, mukosa maupun alat dalam. Beberapa faktor
predisposisi seperti kehamilan, obesitas, DM, pemakaian antibiotik,
antiseptik atau kortikosteroid yang lama, penyakit kronik (HIV-AIDS,
TBC, tumor ganas), kurang gizi, serta kulit yang kotor, lembab, dan basah
mempermudah terjadinya kandidiasis (kandidosis) ini.
b. Penyebab
Agen penyebab paling sering dari kandidiasis murni adalah Candida
albicans.
Bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena dot yang
tidak steril.
c. Gambaran Klinis
1) Kandidosis pada kulit memberikan keluhan gatal dan perih.
Kelainannya berupa bercak merah dengan maserasi di daerah sekitar
mulut, di lipatan payudara (intertriginosa) dengan bercak merah yang
terpisah di sekitarnya (satelit).
2) Bentuk kronik ditemukan di sela-sela jari kaki, sekitar anus dan di kuku
(paronikia atau onikomikosis).
3) Pada pasien DM biasanya terdapat sebagai vulvo vaginitis.
4) Tampilan di mukosa mulut dikenal sebagai guam atau oral thrush yang
diselaputi pseudomembran. Daya kecap pasien berkurang disertai rasa
metal.
5) Tampilan di usus dapat berupa diare.
6) Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10%
atau pewarnaan Gram berupa hyfe.
d. Diagnosis
Bercak putih di mukosa mulut atau lidah, bercak merah pada kulit dengan
maserasi dan bercak satelit.
139
140
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Faktor predisposisi yang dapat diatasi dihilangkan dahulu dan
kebersihan perorangan diperbaiki karena kalau tidak penyakit ini akan
bersifat kronik-residif.
2) Untuk lesi kulit menggunakan mikonazol krim.
3) Kandidosis di mukosa mulut atau lidah menggunakan gentian violet
1% yang dibuat baru.
4) Cara mengobati luka/trush di mulut:
a) Cuci tangan sebelum mengobati
b) Bersihkan mulut dengan ujung jari yang terbungkus kain bersih dan
telah dicelupkan ke larutan air matang hangat bergaram (1 gelas air
hangat ditambah seujung sendok teh garam)
c) Olesi rongga mulut dengan gentian violet 1% (bayi 0,25%) yang
dibuat baru
d) Cuci tangan kembali
e) Obati luka atau bercak di mulut 3 kali sehari selama 7 hari.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi
2) Pencegahan: jaga higiene rongga mulut.
3) Jika gentian violet tertelan tidak berbahaya.
4) Alasan rujuk: kandidiasis oral pada dewasa, perlu dicurigai
kemungkinan immunocompromissed.
: 4
: 1501
ICD X : K02
a. Definisi
Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi pada jaringan keras gigi yang
mengakibatkan kerusakan struktur gigi dan bersifat kronik.
b. Penyebab
Hal hal yang mendukung terjadinya karies gigi:
1) Gigi yang peka, yaitu gigi yang mengandung sedikit flour atau
memiliki lubang, lekukan maupun alur yang menahan plak.
2) Bakteri yang paling sering adalah bakteri Streptococcus mutans.
3) Dalam keadaan normal, di dalam mulut terdapat bakteri. Bakteri ini
mengubah semua makanan (terutama gula sukrosa) menjadi asam.
Bakteri, asam, sisa makanan dan ludah bergabung membentuk bahan
lengket yang disebut plak, yang menempel pada gigi.
4) Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang. Jika tidak
dibersihkan maka plak akan membentuk mineral yang disebut karang
gigi (kalkulus, tartar). Plak dan kalkulus bisa mengiritasi gusi sehingga
timbul gingivitis.
c. Gambaran Klinis
Biasanya, suatu kavitasi di dalam enamel tidak menyebabkan sakit, nyeri
baru timbul jika pembusukan sudah mencapai dentin. Nyeri yang dirasakan
jika meminum dingin atau makan permen menunjukkan bahwa pulpa masih
sehat. Jika pengobatan dilakukan pada stadium ini maka gigi bisa
diselamatkan dan tampaknya tidak akan timbul nyeri maupun kesulitan
menelan.
Suatu kavitasi yang timbul di dekat atau telah mencapai pulpa
menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Nyeri ada walaupun
perangsangnya dihilangkan (contohnya air dingin). Bahkan gigi terasa sakit
meskipun tidak ada perangsang (sakit gigi spontan).
d. Diagnosis
Gigi berlubang.
141
142
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas dan
masukkan pellet kapas yang ditetesi eugenol.
2) Penanganan selanjutnya yaitu penambalan (restorasi) dengan tumpatan
tetap (amalgam, glass ionomer).
3) Jika dentin yang menutup pulpa sudah tipis maka dapat dilakukan pulp
capping indirect dengan menggunakan pelapis dentin Ca(OH)2.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah), kurangi makanan yang mengandung gula.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
48. KECACINGAN
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0703
ICD X : B76-B79
ICD X : B76.0
a. Definisi
Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan cacing
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus. Cacing tambang
mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan
anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat
menyebabkan retardasi mental.
b. Penyebab
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan
tergantung dari beratnya infeksi dan keadaan gizi pasien.
2) Pada saat larva menembus kulit, pasien dapat mengalami dermatitis.
Ketika larva lewat di paru dapat terjadi batuk-batuk
3) Akibat utama yang disebabkan cacing ini ialah anemia yang kadang
demikian berat sampai menyebabkan gagal jantung.
143
144
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses segar atau
biakan feses dengan cara Harada-Mori.
e. Penatalaksanaan
1) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan selama
hamil.
2) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari.
3) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg tiap 12 jam selama 3
hari berturut-turut.
4) Sulfas ferosus 1 tablet tiap 8 jam untuk orang dewasa atau 10
mg/kgBB/kali untuk anak untuk mengatasi anemia.
f.
KIE
Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan perbaikan higiene
perorangan terutama penggunaan alas kaki. Albendazol tidak boleh pada
wanita hamil.
ICD X : B77.9
a. Definisi
Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit parasitik yang
disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.
e. Penatalaksanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal.
2) Mebendazol 500 mg dosis tunggal. Tidak dianjurkan untuk anak <2
tahun.
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan oleh
wanita hamil. Tidak dianjurkan untuk anak <2 tahun. Merupakan obat
pilihan pada gejala sistemik.
4) Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis harus diterapi
lebih dahulu dengan pirantel pamoat.
f.
b. Penyebab
Ascaris lumbricoides.
c. Gambaran Klinis
1) Pada infeksi masif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius
antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing gelang dapat
bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya saluran empedu dan
menyumbat lumen sehingga berakibat fatal.
2) Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian menembus
dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru dan menimbulkan
gejala seperti batuk, bersin, demam, eosinofilia, dan pneumonitis
askaris. Larva menjadi cacing dewasa di usus halus dalam waktu 2
bulan.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau
telur Ascaris pada pemeriksaan feses.
145
KIE
1) Tujuan pengobatan: membunuh cacing dan mencegah penyebaran
2) Efek samping: mebendazol dan albendazol dapat menyebabkan eratic
migration sehingga dapat mengganggu pernapasan.
3) Pencegahan:
a) Pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik (>20%) atau
di daerah yang rawan askariasis. Bila <20% 1 tahun sekali
b) Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, higiene keluarga
dan higiene pribadi seperti:
(1) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sehabis bermain,
setelah buang air besar.
(2) Menggunting kuku secara rutin tiap minggu.
(3) Tidak menggunakan feses sebagai pupuk tanaman.
146
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
: 3A
: 0702
ICD X : B74.9
a. Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular kronik yang
disebabkan sumbatan cacing filaria di kelenjar getah bening, menimbulkan
gejala klinis akut berupa demam berulang, radang kelenjar getah bening,
edema dan gejala kronik berupa elefantiasis.
b. Penyebab
Di Indonesia ditemukan 3 spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang masing-masing sebagai
penyebab filariasis bancrofti, filariasis malayi dan filariasis timori.
Beragam spesies nyamuk dapat berperan sebagai penular (vektor) penyakit
tersebut.
c. Cara Penularan
Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang mengandung larva
infektif cacing filaria. Nyamuk yang menularkan filariasis adalah
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut
tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan
habitatnya (got/saluran air, sawah, rawa, hutan).
e. Diagnosis
Diagnosis filariasis dapat ditegakkan secara klinis. Diagnosis dipastikan
dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi yang diambil malam hari
(pukul 22.0002.00 dinihari) dan dipulas dengan pewarnaan Giemsa. Pada
keadaan kronik pemeriksaan ini sering negatif.
f.
d. Gambaran Klinik
1) Filariasis tanpa gejala
Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan
pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah inguinal. Pada
pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar dan
eosinofilia.
2) Filariasis dengan peradangan
Demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan lemah yang dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Organ yang
terkena terutama saluran limfe tungkai dan alat kelamin. Pada laki-laki
147
Penatalaksanaan
1) Perawatan Umum
Antibiotik atau antimikotik untuk infeksi sekunder dan abses.
Perawatan elefantiasis dengan mencuci kaki secara teratur dan merawat
luka. Melakukan elevasi tungkai pada waktu duduk atau tidur.
2) Pengobatan Spesifik
Untuk pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate
(DEC) 6 mg/kgBB 3 x sehari selama 12 hari.
Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6 mg/kgBB dan
albendazol 400 mg (+ parasetamol) dosis tunggal, sekali setahun
selama 5 tahun.
148
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
kulit di sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian
selotip tersebut ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan
mikroskop.
e. Penatalakasanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal diulang 2 minggu
kemudian.
2) Mebendazol 100 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian.
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian.
f.
OKSIURIASIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
:
ICD X : B80
a. Definisi
Infeksi cacing kremi (oksiuriasis, enterobiasis) adalah infeksi parasit yang
disebabkan Enterobius vermicularis. Parasit ini terutama menyerang anakanak; cacing tumbuh dan berkembang biak di dalam usus.
b. Penyebab
Enterobius vermicularis.
c. Gambaran Klinis
1) Rasa gatal hebat di sekitar anus, kulit di sekitar anus menjadi lecet atau
kasar atau terjadi infeksi (akibat penggarukan).
2) Rewel (karena rasa gatal).
3) Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari
ketika cacing betina bergerak ke daerah anus dan meletakkan telurnya
disana).
4) Napsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang, tetapi dapat
terjadi pada infeksi berat) rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak
perempuan, jika cacing masuk ke dalam vagina).
d. Diagnosis
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus pasien,
terutama dalam waktu 12 jam setelah anak tertidur pada malam hari.
Cacing kremi aktif bergerak, berwarna putih dan setipis rambut. Telur
maupun cacingnya bisa didapat dengan menempelkan selotip di lipatan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
149
KIE
1) Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus minum obat tersebut
karena infeksi dapat menyebar dari satu orang kepada yang lainnya.
2) Pencegahan:
a) Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.
b) Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku.
c) Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu.
d) Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari
tangan dan tiap benda yang dipegang/disentuhnya.
SISTOSOMIASIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
:
ICD X : B65
a. Definisi
Sistomiasis merupakan penyakit parasit (cacing) menahun yang hidup di
dalam pembuluh darah vena, sistem peredaran darah hati, yaitu pada sistem
vena porta, mesenterika superior. Dalam siklus hidupnya cacing ini
memerlukan hospes perantara sejenis keong Oncomelania hupensis
lindoensis yang bersifat amfibi.
b. Penyebab
Cacing trematoda. Penyakit ini ditularkan melalui bentuk infektif larvanya
yang disebut sekaria yang sewaktu-waktu keluar dari keong tersebut di atas.
Larva ini akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pori-pori kulit yang
kontak dengan air yang mengandung sekaria. Penyakit ini telah lama
diketahui terdapat di Indonesia, pertama kali dilaporkan pada tahun 1937
oleh Brug dan Tesch. Adapun cacing penyebabnya adalah Scistosoma
150
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Pencegahan: air minum harus dimasak dahulu. Di daerah endemis, air
mandi didiamkan dulu minimal 2 hari dalam penampungan air.
2) Alasan rujuk: bila terjadi komplikasi.
TAENIASIS / SISTISERKOSIS
Kompetensi
: 4 dan 3A
Laporan Penyakit
:
ICD X : B68
a. Definisi
Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasitik yang disebabkan cacing dewasa
Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia asiatica). Infeksi larva
T. solium disebut sistiserkosis dengan gejala benjolan (nodul) di bawah
kulit (subcutaneous cysticercosis). Larva Taenia solium dapat
menyebabkan sistiserkosis otak dan sistiserkosis subkutan.
b. Penyebab
Cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia
asiatica); larva T. solium.
151
c. Penularan
Sumber penularan taeniasis adalah hewan terutama babi, sapi yang
mengandung larva cacing pita (cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis
adalah pasien taeniasis solium sendiri yang fesesnya mengandung telur atau
proglotid cacing pita dan mencemari lingkungan. Seseorang dapat
terinfeksi cacing pita (taeniasis) bila makan daging yang mengandung larva
yang tidak dimasak dengan sempurna, baik larva T.saginata yang terdapat
pada daging sapi (cysticercus bovis) maupun larva T.solium (cysticercus
cellulose) yang terdapat pada daging babi atau larva T.asiatica yang
terdapat pada hati babi. Sistiserkosis terjadi apabila telur T.solium tertelan
oleh manusia. Telur T. saginata dan T.asiatica tidak menimbulkan
sistiserkosis pada manusia.
Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat di daerah endemis. Hingga saat ini kasus
taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di beberapa
propinsi di Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera Utara.
d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar antara 814 minggu.
2) Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
3) Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau
toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak
nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, napsu
makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing, diare dan pruritus ani.
4) Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing pita bersarang di jaringan otak
sehingga dapat mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga dapat
bersarang di subkutan, mata, otot, jantung dan lain-lain.
e. Diagnosis
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
feses secara mikroskopis. Adanya riwayat mengeluarkan proglotid
(segmen) cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara
spontan. Pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing Taenia.
f.
Penatalaksanaan
Pasien taeniasis diobati dengan prazikuantel dengan dosis 10 mg/kg BB
dosis tunggal. Cara pemberian prazikuantel adalah sebagai berikut :
1) Satu hari sebelum pemberian prazikuantel, pasien dianjurkan untuk
makan makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
152
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
: 4
:
KIE
Pencegahan trikuriasis sama dengan askariasis yaitu buang air besar di
jamban, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah (lalapan),
pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan seperti mencuci
tangan sebelum makan.
ICD X : B79
a. Definisi
Trikuriasis atau infeksi cacing cambuk adalah penyakit yang disebabkan
oleh cacing Trichuris trichiura.
b. Penyebab
Trichuris trichiura.
c. Gambaran Klinis
1) Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis.
2) Infeksi berat terutama pada anak memberikan gejala diare yang sering
diselingi dengan sindroma disentri. Gejala lainnya adalah anemia, berat
badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti.
d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
153
154
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
49. KEILOSIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 1505
ICD X : K09-K13
a. Definisi
Keilosis adalah radang dangkal pada sudut mulut yang menyebabkan sudut
mulut pecah-pecah.
b. Penyebab
Biasanya karena defisiensi riboflavin, asam pantotenat dan piridoksin.
Kelainan serupa dapat pula disebabkan oleh mikosis atau virus herpes.
c. Gambaran Klinis
Tampak fisur atau luka-luka berkerak di kedua sudut mulut yang terasa
perih bila terkena makanan pedas.
d. Diagnosis
Pecah-pecah pada sudut mulut.
e. Penatalaksanaan
1) Vitamin B-kompleks 1 tablet tiap 8 jam diberikan selama 1 minggu.
2) Dapat ditambahkan vitamin C 50 mg tiap 8 jam.
f.
KIE
Pencegahan: konsumsi buah secara teratur.
ICD X : R56.0
a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun.
Anak yang pernah pengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam.
b. Penyebab
Faktor risiko berulangnya kejang demam:
1) Riwayat kejang demam dalam keluarga
2) Usia <12 bulan
3) Temperatur yang rendah saat kejang
4) Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang demam paling besar pada tahun pertama.
c. Gambaran Klinis
Klasifikasi:
1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 10 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu
24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh
kejang demam.
2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a) Kejang lama, adalah kejang yang berlangsung >15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang,
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
155
156
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Kejang fokal, adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial.
c) Kejang berulang, adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 24 jam,
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada kasus kejang untuk anak <18 bulan dianjurkan untuk dilakukan
pungsi lumbal, dan anak <12 bulan harus dilakukan pungsi lumbal.
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
f.
Diagnosis banding
Bila anak berumur kurang dari 18 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam, perlu dirujuk untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
g. Penatalaksanaan
1) Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
i.v. dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
2) Obat yang praktis dan dapat diberikan di rumah adalah diazepam per
rektal dosis 0,5-0,75 mg/kg; atau diazepam per rektal 5 mg (untuk anak
berat <10 kg atau umur < 3 tahun) dan 10 mg (untuk anak berat >10 kg
atau umur >3 tahun).
Bila kejang belum berhenti, diazepam per rektal dosis yang sama dapat
diulang dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2x pemberian diazepam per rektal masih tetap kejang,
pasien harus dirujuk ke RS.
157
mempunyai
158
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3)
4)
5)
6)
159
160
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
Pengobatan sindroma duh tubuh vagina karena servisitis sesuai dengan
pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
P2PL Kemenkes (Tabel 20 dan Tabel 21).
Tabel 20. Pengobatan Gonore Tanpa Komplikasi dan Klamidiasis
Pengobatan
Gonore
Tanpa Komplikasi
Pengobatan Klamidiasis
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan penyakit dan pemutusan rantai
penularan.
2) Efek samping metronidazol: mual dan lemas. Tetrasiklin dan
doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
3) Pencegahan: hindari kontak langsung.
4) Alasan rujuk: jika ditemukan keganasan.
Pilihlah salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Siprofloksasin*) 500 mg
per oral, dosis tunggal
*) Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak usia <12 tahun
dan remaja
**)Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia < 12
tahun
Tabel 21. Pengobatan Sindroma Duh Tubuh Vagina karena Vaginitis
(pengobatan program)
Trikomoniasis
Bakterial Vaginosis
( bukan IMS )
Kandidosis Vagina
(bukan IMS)
Pilih salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Metronidazol, 2 g per
oral, dosis tunggal
Pilihan pengobatan lain
161
162
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
: 3B
: 1903
KERACUNAN BONGKREK
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903
ICD X : A05.1
a. Definisi
Botulismus merupakan keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang
tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum. Keracunan ini ditandai
oleh kelainan neuromuskuler, jarang terjadi diare. Kematian sekitar 65%.
b. Penyebab
Makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum.
c. Gambaran Klinis
1) Inkubasi penyakit ini kira-kira 1836 jam, namun dapat beragam dari
beberapa jam sampai 3 hari.
2) Tanda awal adalah rasa lelah dan lemas, serta gangguan penglihatan.
3) Diare lebih sering tidak ada.
4) Gejala neurologi seperti disartria dan disfagia dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi.
5) Otot-otot tungkai, lengan dan badan lemah.
6) Sementara itu daya rasa (sensoris) tetap baik, dan suhu tidak
meningkat.
7) Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah poliomielitis,
miastenia gravis, dan ensefalitis virus.
d. Diagnosis
Pada anamnesis didapatkan riwayat konsumsi
Pemeriksaan fisik ditemukan defisit neurologi.
makanan
tertentu.
e. Penatalaksanaan
1) Tindakan penanggulangan: bila perlu, berikan pernapasan buatan. Jika
tidak muntah, usahakan untuk muntah. Jika perlu, lakukan bilas
lambung.
2) Bila terdapat tanda-tanda syok pasang infus glukosa 5% dan kalau
perlu lakukan pernapasan buatan.
3) Pengobatan spesifik, terutama bila timbul gejala dengan antitoksin.
4) Setelah penanganan kegawatan, pasien harus segera dirujuk ke rumah
sakit.
163
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : T62
a. Definisi
Racun bongkrek dihasilkan oleh Bacillus cocovenevans, yaitu kuman yang
tumbuh dari bongkrek yang diproses kurang baik. Pertumbuhan kuman ini
dapat dihambat oleh suasana asam (diolah dengan daun calincing).
b. Penyebab
Keracunan tempe bongkrek disebabkan oleh toksoflavin dan asam
bongkrek yang dihasilkan oleh Pseudomonas cocovenans yang dikenal juga
sebagai bakteri asam bongkrek. Toksin tersebut dihasilkan dalam media
yang mengandung ampas kelapa.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala timbul 46 jam setelah makan tempe bongkrek yaitu berupa
mual dan muntah.
2) Pasien mengeluh sakit perut, sakit kepala dan melihat ganda (diplopia).
3) Pasien lemah, gelisah dan berkeringat dingin kadang disertai gejala
syok.
4) Pada hari ke-3 sklera menguning, pembesaran hati dan urin keruh
dengan protein (+).
d. Diagnosis
Riwayat konsumsi tempe bongkrek.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien harus dirujuk ke rumah sakit, sementara itu bila pasien masih
sadar usahakan mengeluarkan sisa makanan.
2) Berikan norit 20 tablet (digerus dan diaduk dengan air dalam gelas)
sekaligus, dan ulangi 1 jam kemudian.
3) Kalau perlu atasi syok dengan infus glukosa 5% dan pernapasan
buatan.
4) Tidak ada antidotum spesifik.
5) Pasien dirangsang secara mekanis agar muntah. Bila tidak berhasil
lakukan bilas lambung di rumah sakit.
f.
KIE
Perhatikan warna tempe,bila jamur tidak tumbuh maka harus dibuang.
164
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KERACUNAN JENGKOL
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903
ICD X : T62
a. Definisi
Keracunan akibat terjadinya pengendapan kristal asam jengkol di saluran
kemih. Ciri orang yang rentan pengendapan kristal asam jengkol ini belum
dapat ditentukan.
b. Penyebab
Asam Jengkolat.
c. Gambaran Klinis
1) Bau khas jengkol tercium dari mulut dan urin pasien.
2) Timbul kolik ginjal seperti pada batu ginjal.
3) Pasien mengeluh nyeri sewaktu buang air kecil.
4) Urin pasien merah karena darah (hematuria). Secara mikroskopis,
selain eritrosit tampak kristal asam jengkol seperti jarum.
5) Dalam keadaan berat terdapat anuria dan mungkin pasien pingsan
karena menahan sakit.
d. Diagnosis
Hematuria, nyeri pada saat buang air kecil.
e. Penatalaksanaan
1) Keracunan ringan dapat diobati dengan minum banyak dan pemberian
Natrium bikarbonat 2 g per oral 4 x sehari sampai gejala hilang.
2) Pada keracunan berat dengan anuria pasien perlu dirujuk.
f.
KIE
Pencegahan: disarankan tidak mengkonsumsi makanan tersebut berlebihan.
KERACUNAN SINGKONG
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1903
ICD X : T62
b. Penyebab
Singkong yang mengandung sianida (HCN).
c. Gambaran Klinis
1) Tanda keracunan timbul akut kira-kira setengah jam setelah makan
singkong beracun.
2) Gejala berawal dengan pusing dan muntah.
3) Dalam keadaan yang berat pasien sesak napas dan kesadaran menurun.
4) Bibir, kuku, kemudian muka dan kulit berwarna kebiruan (sianosis).
Sianosis perlu dibedakan dengan methaemoglobinemia yang timbul
karena keracunan sulfa, DDS, nitrat atau nitrit, yang memerlukan
pengobatan lain (metilen-biru).
d. Diagnosis
Berdasarkan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan riwayat makan
singkong.
e. Penatalaksanaan
1) Berikan Na-tiosulfat 25% 20 ml secara i.v. perlahan dan diulangi tiap
7-10 menit sampai gejala teratasi. Dosis total diberikan sampai pasien
bangun, jumlahnya bergantung pada beratnya gejala.
2) Berikan oksigen dan pernapasan buatan bila terdapat depresi napas.
3) Pasien perlu diobservasi 24 jam dan dikirim ke rumah sakit bila
keracunannya berat.
f.
KIE
Kenali tanda-tanda singkong beracun: rasa pahit. Bila memberikan
singkong pada anak-anak, orang tua harus memeriksa dulu. Bila ada kasus
keracunan pada salah satu anggota keluarga, periksakan juga anggota
keluarga lainnya.
a. Definisi
Keracunan singkong adalah keadaan sakit yang timbul setelah makan
singkong yang ditandai oleh kesadaran yang menurun dan sianosis.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
165
166
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KERACUNAN INSEKTISIDA
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan
sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia
adalah golongan organofosfat dan organoklorin. Golongan karbamat efeknya
mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan kasus keracunan.
Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng
fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan
golongan ini jarang terjadi. Penatalaksanaannya dapat dilihat dalam Pedoman
Pengobatan Keracunan Pestisida yang diterbitkan oleh Bagian Farmakologi
FKUI.
KERACUNAN GOLONGAN ORGANOFOSFAT
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1902
ICD X : T60
a. Definisi
Keracunan organofosfat adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya zat
golongan organofosfat. Golongan organofosfat bekerja selektif, tidak
persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga.
Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim
kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa.
b. Penyebab
Keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin
yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus menerus saraf
muskarinik dan nikotinik.
c. Gambaran Klinis
Gejala klinis keracunan pestisida golongan organofosfat pada:
1) Mata: pupil mengecil dan penglihatan kabur.
2) Pengeluaran cairan tubuh: pengeluaran keringat meningkat, lakrimasi,
salviasi dan juga sekresi bronchial.
3) Saluran cerna: mual, muntah, diare dan sakit perut.
4) Saluran napas: batuk, bersin, dispnea dan dada sesak.
5) Kardiovaskular: bradikardia dan hipotensi.
6) Sistem saraf pusat: sakit kepala, bingung, berbicara tidak jelas, ataksia,
demam, konvulsi dan koma.
7) Otot-otot: lemah, fasikulasi dan kram.
8) Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain edema paru, pernapasan
berhenti, blockade atrioventrikuler dan konvulsi.
167
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Pada anamnesis ditemukan riwayat tertelan insektisida golongan
organofosfat, baik disengaja (pasien depresi berat dan mencoba bunuh diri)
atau tidak disengaja (kecelakaan).
e. Penatalaksanaan
Keracunan akut :
1) Tindakan gawat darurat:
a) Jaga jalan napas dengan tindakan resusitasi.
b) Pantau tanda-tanda vital.
c) Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri oksigen.
d) Berikan atropin sulfat 2 mg i.v., ulangi tiap 38 menit sampai
gejala keracunan parasimpatik terkendali.
e) Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropin sulfat, kulit dan
selaput lendir yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan air
dan sabun.
f) Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung dengan air.
2) Tindakan umum:
a) Sekresi paru disedot dengan kateter.
b) Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan barbital,
golongan fenotiazin dan obat-obat yang menekan pernapasan.
f.
KIE
Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase menurun,
maka perlu dihindari kontak lebih lanjut sampai kadar kolinesterase
kembali normal.
Pencegahan: konsultasi dengan psikiater pada pasien depresi. Keluarga
perlu berhati-hati dalam penyimpanan bahan-bahan pestisida atau
insektisida.
KERACUNAN ORGANOKLORIN
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1902
ICD X : T60
a. Definisi
Keracunan organoklorin adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya
bahan yang mengandung pestisida golongan organoklorin. Pestisida
golongan organoklorin pada umumnya merupakan racun perut dan racun
168
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Pestisida golongan organoklorin.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama muntah,
tremor dan konvulsi.
2) Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g DDT akan
menyebabkan muntah-muntah berat setelah 0,51 jam, selain
kelemahan dan mati rasa pada anggota badan yang terjadi secara
bertahap, rasa takut, tegang dan diare juga dapat terjadi.
3) Dengan 20 g DDT dalam waktu 812 jam kelopak mata akan bergerakgerak disetai tremor otot mulai dari kepal dan leher, selanjutnya
konvulsi klonik kaki dan tangan seperti gejala keracunan pada
strichnin. Nadi normal, pernapasan mula-mula cepat kemudian
perlahan.
d. Diagnosis
Riwayat kontak dengan insektisida golongan organoklorin.
e. Penatalaksanaan
Penanggulangan keracunan pestisida golongan keracunan organoklorin
pada umumnya:
1) Tindakan gawat darurat:
a) Pantau tanda-tanda vital.
b) Berikan minum air sebanyak-banyaknya sampai muntah.
c) Berikan karbon aktif sebanyak 20 tablet yang digerus dan dicampur
dengan air,
d) Bilas lambung dengan air 24 L. Kemudian berikan obat pencuci
perut.
e) Pembersihan usus, juga dapat dilakukan dengan 200 mL larutan
manitol 20 % dengan melalui pipa naso gastrik (NGT),
f) Jangan diberi lemak atau minyak.
g) Jika kulit juga terkena, bersihkan dengan air dan sabun.
f.
KIE
Tindakan pencegahan :
1) Pestisida sebaiknya disimpan dalam tempat aslinya dengan etiket yang
jelas dan disimpan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak-anak,
serta jauh dari makanan dan minuman.
2) Pada waktu menggunakan pestisida, perlu diikuti dengan cermat dan
tepat, sesuai prosedur dan petunjuk lain yang telah ditentukan.
3) Hindari kontak atau menghisap pestisida.
4) Pada waktu bekerja dengan pestisida, sebaiknya tidak sambil makan,
minum atau merokok.
5) Tempat atau wadah pestisida yang telah kosong, sebaiknya dibuang
atau dimusnahkan, demikian juga pestisida yang tidak berlabel atau
etiketnya sudah rusak, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti.
6) Tergantung pada tingkat toksisitasnya, jika bekerja yang berhubungan
dengan pestisida, sebaiknya tidak lebih dari 45 jam.
2) Tindakan umum:
169
170
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
54. KOLERA
Kompetensi
Laporan Penyakit
ICD X : H16
a. Definisi
Keratitis (Ulkus Kornea) adalah suatu keadaan infeksi pada kornea yang
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus dan faktor imunologis.
Pada umumnya didahului oleh keadaan trauma pada kornea, penggunaan
lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan dan mata
merah.
2) Rasa nyeri dan mengganjal pada mata.
3) Didapatkan lesi putih di kornea.
4) Fotofobia
5) Mata berair, keluarnya sekret
d. Diagnosis
Penurunan visus, lesi pada kornea, palpebra spasme, epifora dan sekret.
e. Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal, berikan kloramfenikol tetes mata tiap 4 jam, sekurangkurangnya selama 3 hari.
Segera rujuk ke spesialis mata tanpa dilakukan pemasangan verban.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi infeksi sesuai dengan penyebab dan
mencegah kebutaan yang lebih berat.
2) Perhatian:
a) Jangan diberikan obat yang mengandung kortikosteroid topikal.
b) Jangan mencuci mata dengan air sirih
c) Hentikan penggunaan lensa kontak.
ICD X : A00
a. Definisi
Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae.
Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan
lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi.
b. Penyebab
Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus
melepaskan sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan
mineral. Karena bakteri sensitif terhadap asam lambung, maka pasien
kekurangan asam lambung cenderung menderita penyakit ini.
b. Penyebab
1) Infeksi
2) Non Infeksi.
f.
: 4
: 0101
171
c. Gambaran Klinis
1) Gejala dimulai dalam 13 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi
mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa
berakibat fatal. Beberapa orang pasien yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala.
2) Penyakit biasanya dimulai dengan diare akut encer seperti air cucian
beras yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit disertai mual
muntah-muntah.
3) Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1
liter dalam 1 jam. Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan
menyebabkan dehidrasi disertai rasa haus yang hebat, kram otot, lemah
dan penurunan produksi air kemih.
4) Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata
menjadi cekung dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput.
5) Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan peningkatan
konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan koma.
6) Gejala biasanya menghilang dalam 36 hari. Kebanyakan pasien akan
terbebas dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa
diantara pasien menjadi pembawa dari bakteri ini.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
2) Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apusan
rektum (rektal swab) atau contoh feses segar.
172
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Yang sangat penting adalah segera mengganti kehilangan cairan, garam
dan mineral dari tubuh, dengan menilai derajat dehidrasi, dengan
pemberian oralit sebanyak perkiraan cairan diare yang keluar.
Pemberian cairan mengacu pada Bab Diare Akut Non Spesifik.
2) Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, cairan rehidrasi
diberikan melalui infus (cairan Ringer Laktat atau bila tidak tersedia
bisa menggunakan larutan NaCl 0,9%). Di daerah wabah, kadangkadang cairan diberikan melalui selang yang dimasukkan lewat hidung
menuju ke lambung.
3) Penggunaan antibiotik
a) Tetrasiklin, dewasa: 500 mg tiap 6 jam selama 3 hari.
b) Trimetoprim (TMP) Sulfamethoxazole (SMX):
Anak-anak: TMP 5 mg/kgBB dan SMX 25 mg/kgBB (tiap 12 jam
selama 3 hari)
Dewasa: TMP 160 mg dan SMX 800 mg (tiap 12 jam selama 3
hari).
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman, mencegah komplikasi
dehidrasi dan mencegah penularan.
2) Pencegahan:
a) Penjernihan cadangan air dan pembuangan feses yang memenuhi
standar sangat penting dalam mencegah terjadinya kolera.
b) Usaha lainnya adalah meminum air yang sudah terlebih dahulu
dimasak dan menghindari sayuran mentah atau ikan dan kerang
yang dimasak tidak sampai matang.
173
174
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
ICD X : H10
a. Definisi
Konjungtivitis bakterial sering dijumpai pada anak-anak, biasanya dapat
sembuh sendiri.
KIE
1) Tujuan pengobatan: menyembuhkan infeksi dan mencegah komplikasi.
2) Pembersihan sekret dengan kassa steril yang dibasahi dengan NaCl atau
air matang.
3) Cara pemakaian tetes mata: setelah diteteskan, tutup mata, tekan daerah
punctum lakrimal (kantus medial) di daerah nasal.
b. Penyebab
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh bakteri Staph. epidermidis, Staph.
aureus, Strep. pneumoniae dan H. influenza. Penyebaran infeksi melalui
kontak langsung dengan sekret air mata yang terinfeksi.
c. Gambaran Klinis
1) Mata terlihat merah.
2) Rasa mengganjal dan panas pada mata.
3) Sekret yang banyak, pada saat bangun tidur kelopak mata lengket dan
sulit dibuka.
4) Kelopak mata bengkak dan berkrusta. Pada keadaan awal sekret
berbentuk serosa (watery) menyerupai konjungtivitis virus, namun
dalam beberapa hari sekret menjadi mukopurulen, kadang disertai
dengan air mata berwarna merah (darah).
5) Injeksi konjungtiva dapat terlihat dengan jelas.
6) Pada pemeriksaan dengan membuka kelopak mata bawah dan
membalik kelopak mata atas, tampak selaput (membran) yang dapat
dilepaskan dengan menggunakan cottonbuds (sebelumnya diberikan
tetes mata anestesi topikal).
d. Diagnosis
Sekret mukopurulen.
e. Penatalaksanaan
1) Pemberian antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes mata dan salep
mata. Kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 4-6 jam. Salep mata
kloramfenikol dapat diberikan untuk mendapatkan konsentrasi yang
tinggi. Diberikan sebelum tidur agar tidak mengganggu aktivitas seharihari, karena pemberian salep mata dapat mengganggu penglihatan.
2) Antibiotik oral (amoksisilin) dapat diberikan bila radang meluas
(terutama pada pasien anak).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
175
176
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Konjungitivitis Viral adalah peradangan pada konjungtiva yang biasanya
disebabkan oleh Adenovirus. Penyakit ini sangat tinggi tingkat
penyebarannya, melalui jalan napas atau sekresi air mata, baik secara
langsung maupun melalui bahan pengantar seperti handuk, sapu tangan
yang digunakan bersama.
b. Penyebab
Infeksi ini disebabkan Adenovirus.
c. Gambaran Klinis
1) Timbul secara akut
2) Mata merah dan berair, biasanya mengenai dua mata
3) Pada konjungtiva terlihat folikel dan sekret serosa (warna bening)
4) Pada kasus berat dapat terjadi subkonjungtiva, kemosis dan
pseudomembran
5) Bila terjadi keratitis, akan terlihat lesi putih di kornea berbentuk
pungtata di epitel atau sub-epitel, dalam keadaan berat dapat terjadi di
stroma kornea.
6) Dapat terjadi edema kelopak mata
7) Dapat disertai dengan demam, batuk pilek
8) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening preaurikuler
d. Diagnosis
Edema palpebra, konjungtiva merah, sekret serosa, tidak terjadi penurunan
visus.
e. Penatalaksanaan
1) Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri.
2) Dapat ditambahkan antibiotik topikal seperti kloramfenikol tetes mata
bila terdapat tanda infeksi sekunder, seperti sekret menjadi purulen.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: penyembuhan dan mencegah komplikasi.
2) Pasien harus istirahat, kurangi aktivitas membaca atau menonton tv.
3) Pencegahan: hindari kontak dengan penderita.
177
178
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : H10
a. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan pada konjungtiva yang disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas (atopi).
Keratokonjungtivitis vernal biasanya bersifat rekuren, bilateral dan terjadi
pada masa anak-anak yang tinggal di daerah kering dan hangat. Onset
terjadi pada usia > 5 tahun dan berkurang setelah masa pubertas. Pada
umumnya didapatkan riwayat atopi pada pasien atau keluarga.
b. Penyebab
Riwayat Alergi/Atopi.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala utama yang paling sering dikeluhkan adalah rasa gatal yang
diikuti dengan lakrimasi, fotopobia, mengganjal dan rasa terbakar.
2) Pada anak dijumpai frekuensi berkedip yang meningkat.
3) Pada pemeriksaan dapat terlihat papil di konjungtiva tarsal superior.
4) Dalam keadaan berat dapat dijumpai Giant Papillae atau Cobblestone
(bila kelopak mata atas dibalik, terlihat benjolan yang multipel).
5) Di daerah limbus, gambaran klinis yang terlihat adalah nodul berwarna
putih (trantas dot) dan bila kornea terkena dapat terjadi Shield
Ulceration (adanya ulkus di tengah kornea yang noninfeksius, karena
gesekan dari cobblestone).
d. Penatalaksanaan
1) Mast cell stabilizers seperti Natrium kromoglikat tetes mata 2% 1-2
tetes tiap 6-8 jam dapat diberikan untuk mencegah eksaserbasi akut.
2) Pemberian antihistamin oral dan steroid oral.
e. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan gejala dan mengurangi rekurensi.
2) Hindari faktor pencetus seperti debu, serbuk bunga, perubahan iklim
3) Jangan pernah memberikan kortikosteroid topikal untuk jangka
panjang.
179
180
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan menghindari
komplikasi.
2) Kedua orang tua sebagai sumber infeksi juga harus diperiksa dan
diobati (lihat penatalaksanaan gonore).
3) Penyakit ini sangat menular, hati-hati untuk keluarga dan tenaga medis.
4) Tiap bayi baru lahir dengan metode partus normal, diberikan tetes mata
atau salep mata kloramfenikol sebagai pencegahan.
5) Alasan rujuk: jika dalam 24 jam sekret mukopurulen tidak berkurang.
d. Diagnosis
Pada anamnese didapatkan riwayat keputihan ibu pada saat hamil.
e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pemeriksaan gram pada sekret. Jika ditemukan gonore, pasien
harus dirawat di puskesmas perawatan dan dipisahkan dari pasien lain
untuk menghindari penularan. Jika non-gonore, dapat dipertimbangkan
untuk rawat jalan di puskesmas
2) Pengobatan harus segera diberikan dengan intensif karena gonore ini
dapat menyebabkan perforasi kornea yang berakhir dengan kebutaan.
3) Sekret harus dibersihkan tiap jam dengan kassa steril yang dibasahi
dengan NaCl. Kelopak mata dibuka saat dibersihkan untuk memastikan
sudah tidak ada sekret saat memberikan salep mata.
4) Kemudian diberi kloramfenikol salep mata tiap jam (untuk infeksi
gonore) atau oksitetrasiklin salep mata tiap 6 jam (untuk infeksi nongonore) sampai sekret yang mukopurulen tidak timbul lagi.
5) Secara sistemik diberikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB/hari i.m.
dosis tunggal selama 5 hari (untuk infeksi gonore).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
181
182
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
59. KUSTA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 0301
ICD X : A30
a. Definisi
Kusta atau lepra adalah suatu penyakit kulit menular menahun yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Serangan kuman yang
berbentuk batang ini biasanya pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir
hidung, otot, tulang dan buah zakar.
8) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam
waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga
dapat ditularkan melalui udara pernapasan dari pasien yang selaput
hidungnya terkena. Tidak semua orang yang berkontak dengan kuman
penyebab akan menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja yang
kemudian tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami.
9) Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun. Gejala awal
penyakit ini biasanya berupa kelainan kulit seperti panau yang disertai
hilangnya rasa raba pada kelainan kulit tersebut.
b. Penyebab
Kuman Mycobacterium leprae.
d. Diagnosis
Dari gejala klinik dan tes sensitivitas.
c. Gambaran Klinis
Tanda utama (Cardinal sign):
1) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang
mati rasa (makula anestesia).
2) Penebalan saraf tepi.
3) Gejala pada kulit, pasien kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol
kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar
berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga
timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.
4) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau
bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang saraf yang
nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering
hilang akibat serangan penyakit ini. Pasien merasa demam akibat reaksi
penyakit tersebut.
5) Gejala pada mata, ditandai dengan mata merah, kehilangan alis, adanya
sekret, dapat disertai dengan penurunan visus.
6) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk
leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada
tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung
banyak kuman.
7) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan
saraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular
karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk
leproma dan tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan
mudah berubah-ubah.
e. Penatalaksanaan
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di
lapangan:
1) PB ( Pauci Bacillery), lesi <5, tidak ditemukan basil
2) MB ( Multi Bacillary), lesi >5, ditemukan basil
183
184
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Anak 10 14 tahun
: 50 mg/hari (12 mg/kgBB/hari)
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen dengan
jangka waktu maksimal 9 bulan.
2) Regimen MDT-Multibasiler
a) Rifampisin
- Dewasa
: 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 450 bulan (12 15 mg/kgBB/bulan)
Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama)
- Dewasa
: 600 mg/bulan
- Anak 1014 tahun : 450 mg/bulan
- Anak 59 tahun : 300 mg/bulan
Klofazimin :
- Dewasa
: 300 mg/bulan
- Anak 1014 tahun : 150 mg/bulan
- Anak 59 tahun : 100 mg/bulan
Dapson :
- Dewasa
: 100 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 50 mg/hari
- Anak 59 tahun : 25 mg/hari
Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 1218 bulan.
b) Klofazimin
- Dewasa
: 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 1014 tahun : 200 mg/bulan, disupervisi.
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari
c) Dapson
- Dewasa
: 100 mg/hari.
- Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
- Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(12 mg/hari/kgBB/hari)
- Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan
jangka waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai
apusan kulit menjadi negatif.
Bila sudah mengenai mata, dapat dilakukan pembersihan sekret disertai
pemberian kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 6 jam. Bila terjadi
penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.
185
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk pengobatan dan memutuskan rantai
penularan.
2) Efek samping klofazimin: kulit berwarna coklat kemerahan dan akan
pulih pasca pengobatan.
3) Pencegahan: melaporkan kasus kusta yang ditemukan.
4) Bila ditemukan kasus reaksi kusta segera dirujuk.
5) Berikan motivasi bahwa penyakit kusta dapat sembuh total.
6) Perlu diberikan pemeriksaan pada seluruh anggota keluarga pasien
kusta.
7) Alasan rujukan: bila terjadi penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.
186
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
60. LEPTOSPIROSIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 100
ICD X : A27
a. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri
Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan
kematian.
b. Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira
yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae.
Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya
berbentuk seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung. Ukuran bakteri
ini 0,1 m x 0,6 m sampai 0,1 m x 20 m.
c. Cara Penularan
Kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah tercemar oleh air seni
hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh
manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau
makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospira.
d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari, biasanya ratarata 7-10 hari.
Manifestasi klinis dari Leptospirosis sangat bervariasi mulai dari gejala
infeksi subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan
yang berat dan berpotensi fatal (weills syndrome).
Terdapat dua sindroma manifestasi klinis:
1) Leptospirosis ringan/leptospirosis anikterik
Dari seluruh kasus Leptospirosis yang ada di masyarakat sebanyak 85
90% merupakan Leptospirosis anikterik. Sering terjadi salah diagnosa
karena menyerupai influenza, demam dengue atau penyakit demam
akut lainnya.
2) Leptospirosis berat/Leptospirosis ikterik
Diperkirakan sekitar 515 % merupakan kasus Leptospirosis berat
dimana perjalanan kliniknya sering progresif dan menyebabkan
gangguan multi organ, yaitu :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
187
a) Stadium Pertama
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; nyeri
kepala; menggigil; mialgia; mual, muntah dan anoreksia; nyeri
kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai
nyeri retro-orbital dan fotopobia; nyeri otot terutama di daerah betis
sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha, sklera ikterik
dan conjunctival suffusion atau mata merah dan pembesaran
kelenjar getah bening, limpa maupun hati; kelainan mata berupa
uveitis dan iridosiklitis. Gejala yang khas: konjungtivitis tanpa
disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata); rasa nyeri
pada otot-otot.
b) Stadium Kedua
Terbentuk antibodi di dalam tubuh pasien; gejala yang timbul lebih
bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama; apabila demam
dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi
meningitis; stadium ini terjadi biasanya antara minggu ke-2 dan ke4.
e. Diagnosis
Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
Leptospirosis yaitu:
1) Kasus Suspek
a) Demam akut (>38.50C) dengan atau tanpa sakit kepala hebat
disertai mialgia (pegal-pegal), malaise (lemah) dan/atau
Conjuctival suffusion,
b) Ada riwayat kontak dengan faktor risiko (hewan terinfeksi atau
lingkungan yang tercemar bakteri Leptospira) dalam 2 minggu
sebelumnya:
(1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/
urine tikus saat terjadi banjir.
(2) Kontak dengan sungai, danau dalam aktivitas mencuci, mandi
berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll.
(3) Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan
pekerjaan sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak
mengunakan alas kaki.
(4) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing
yang dinyatakan secara Laboratorium terinfeksi Leptospira.
188
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
190
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : S02,T02
a. Definisi
Luka Bakar adalah cedera pada jaringan tubuh akibat panas, bahan kimia
maupun arus listrik.
e. Penatalaksanaan
Sekitar 85% luka bakar bersifat ringan dan pasiennya tidak perlu dirawat di
rumah sakit. Untuk membantu menghentikan luka bakar dan mencegah
luka lebih lanjut, sebaiknya lepaskan semua pakaian pasien. Kulit segera
dibersihkan dari bahan kimia (termasuk asam, basa dan senyawa organik)
dengan mengguyurnya dengan air.
Luka Bakar Ringan
Jika memungkinkan, luka bakar ringan harus segera dicelupkan ke dalam
air dingin. Luka bakar kimia sebaiknya dicuci dengan air sebanyak dan
selama mungkin. Di tempat praktek dokter atau di ruang emergensi, luka
bakar dibersihkan secara hati-hati dengan sabun dan air untuk membuang
semua kotoran yang melekat. Jika kotoran sukar dibersihkan, daerah yang
terluka diberi obat bius dan digosok dengan sikat. Lepuhan yang telah
pecah biasanya dibuang. Jika daerah yang terluka telah benar-benar bersih,
maka dioleskan krim antibiotik (misalnya perak sulfadiazin).
b. Penyebab
Akibat panas, bahan kimia maupun arus listrik.
c. Gambaran Klinis
Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan yang terkena dan
kedalaman luka:
1) Luka bakar derajat I
Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang terbakar menjadi
merah, nyeri, sangat sensitif terhadap sentuhan dan lembab atau
membengkak. Jika ditekan, daerah yang terbakar akan memutih; belum
terbentuk lepuhan.
2) Luka bakar derajat II
Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Kulit melepuh, dasarnya
tampak merah atau keputihan dan terisi oleh cairan kental yang jernih.
Jika disentuh warnanya berubah menjadi putih dan terasa nyeri.
3) Luka bakar derajat III
Menyebabkan kerusakan yang paling dalam.
Permukaannya bisa berwarna putih dan lembut atau berwarna hitam,
hangus dan kasar. Kerusakan sel darah merah pada daerah yang
terbakar bisa menyebabkan luka bakar berwarna merah terang. Kadang
daerah yang terbakar melepuh dan rambut/bulu di tempat tersebut
mudah dicabut dari akarnya. Jika disentuh, tidak timbul rasa nyeri
karena ujung saraf pada kulit telah mengalami kerusakan. Jika jaringan
mengalami kerusakan akibat luka bakar, maka cairan akan merembes
dari pembuluh darah dan menyebabkan pembengkakan. Kehilangan
sejumlah besar cairan karena perembesan tersebut bisa menyebabkan
terjadinya syok. Tekanan darah sangat rendah sehingga darah yang
mengalir ke otak dan organ lainnya sangat sedikit.
Untuk melindungi luka dari kotoran dan luka lebih lanjut, biasanya
dipasang verban. Sangat penting untuk menjaga kebersihan di daerah yang
terluka, karena jika lapisan kulit paling atas (epidermis) mengalami
kerusakan maka bisa terjadi infeksi yang dengan mudah akan menyebar.
Jika diperlukan, untuk mencegah infeksi bisa diberikan antibiotik, Untuk
mengurangi pembengkakan, lengan atau tungkai yang mengalami luka
bakar biasanya diletakkan/digantung dalam posisi yang lebih tinggi dari
jantung. Pembidaian harus dilakukan pada persendian yang mengalami luka
bakar derajat II atau III, karena pergerakan bisa memperburuk keadaan
persendian. Mungkin perlu diberikan obat pereda nyeri selama beberapa
hari. Pemberian booster tetanus disesuaikan dengan status imunisasi pasien.
f.
KIE
Pasien langsung dirujuk jika:
1) Luka bakar yang sedang, berat atau membahayakan nyawa pasien
2) Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki.
3) Terkena arus listrik dan sambaran petir.
4) Pasien akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik
dan benar di rumah.
d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
191
192
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
62. MALARIA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4 dan 3B
: 0503
ICD X : B54
a. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit
ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
b. Penyebab
Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu:
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan
Plasmodium malariae.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar 1-2 minggu.
2) Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam, menggigil,
berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual, muntah diare dan nyeri
otot atau pegal-pegal.
3) Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat): gangguan
kesadaran, keadaan umum yang lemah, kejangkejang, panas sangat
tinggi, perdarahan, warna air seni seperti teh tua dan gejala lainnya.
4) Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya malaria
dengan komplikasi (malaria berat)
d. Diagnosis
Diagnosis malaria dilakukan dengan pemeriksaan yaitu :
1) Pemeriksaan dengan mikroskop
Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria. Dilakukan
dengan menemukan parasit dalam pulasan darah yang diwarnai Giemsa
dan diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan mikroskop dilakukan
dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis.
2) Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja berdasarkan
deteksi antigen parasit malaria, yang bermanfaat digunakan pada unit
gawat darurat, saat kejadian luar biasa dan daerah terpencil yang tidak
terdapat fasilitas laboratorium. Pemeriksaan ini hanya digunakan pada
fasilitas kesehatan yang tidak ada pemeriksaan mikroskopis dan dalam
keadaan pasien dicurigai dengan malaria berat.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
193
194
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
Obat malaria hanya diberikan setelah ada hasil pemeriksaan konfirmasi dan
harus tuntas.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi:
1) Malaria Falciparum (Tabel 22 dan Tabel 23)
a) Lini I: DihidroartemisininPiperakuin
atau
Artesunat+
Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari + primakuin hari I
Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632 mg/
kgbb/hari.
Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari
Ditambah dengan: Primakuin: 0,75 mg/kgbb/hari
(1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan bayi <1
tahun dan penderita G6PD
Tabel 22. Pengobatan Malaria Falciparum (1)
Jumlah tablet perhari menurut berat badan
Hari Jenis
obat
1-3
1
DHP
Prima
kuin
<5 kg 6-10
kg
0 -1 2 -11
bulan bulan
11- 17
kg
1-4
tahun
18-30
kg
5-9
Tahu
n
31-40
kg
10 -14
tahun
41-59
kg
> 15
tahun
1/4
1/2
3/4
> 60 kg
> 15
tahun
4
3
1-3
<5kg
0 -1
bulan
6-10
kg
2 -11
bulan
11-17
kg
1-4
tahun
Artesunat
1 2
Amodia
kuin
1 2
3/4
1 2
Primakuin -
18-30
kg
5-9
tahun
31-40
kg
10-14
tahun
41-49
kg
> 15
tahun
3
3
50-59
kg
> 15
tahun
4
4
2
>60
kg
> 15
tahun
4
Hari Jenis
obat
1-3
DHP
1-14 Primakuin
2 -11
Bulan
1/2
-
1-4
5 - 9 10 -14
Tahun tahun Tahun
1
1
2
1/4
1/2
3/4
> 15
Tahun
3
1
> 15
Tahun
4
1
195
196
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Artesunat
Artesunat
1-3
0 -1
2 -11 1 - 4
Bulan Bulan Tahun
5-9
tahun
10 -14
Tahun
> 15 > 15
Tahun Tahun
> 15
Tahun
Amodiakuin
1/2
1-14
P vivax
Primakuin
b) Lini II :
Kina (3x sehari) selama 7 hari + Primakuin selama 14 hari
Kina: 10 mg/kgbb/kali (3x sehari) selama 7 hari
Primakuin
: 0,25 mg/kgbb/hari
(1) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan di hari ke 428 gejala klinis semakin memburuk atau jumlah parasit
menetap/semakin banyak.
3) Malaria mix (malaria falciparum+ malaria vivax) (Tabel 24)
Pengobatan diberikan:
DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+Amodiakuin dosis
tunggal selama 3 hari+primakuin selama 14 hari
Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan
Piperakuin: 1632
mg/kgbb/ hari, Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari
Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14 hari.
Tabel 26. Pengobatan Malaria Mix
Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5 kg
Hari Jenis obat
0 -1
Bulan
6-10
kg
11- 17 18-30
kg
kg
2 -11 1 4
Bulan Tahun
5-9
tahun
31-40
kg
41-59
kg
> 60
kg
10 -14
Tahun
> 15
Tahun
> 15
Tahun
1-3 DHP
1/4
1/2
1,5
1-14 Primakuin
1/4
1/2
3/4
Amodiakuin
Primakuin
1-3
1-14
197
KIE
1) Tujuan Pengobatan adalah membunuh semua parasit malaria yang ada
didalam tubuh manusia dan memutus rantai penularan.
2) Efek samping pengobatan:
a) Amodiakuin: mual, muntah, sakit kepala, diare.
b) Kina: tinnitus, gangguan pendengaran,vertigo, hipotensi,
hipoglikemia.
3) Pencegahan:
a) Menghindari gigitan nyamuk dengan penggunaan kelambu
berinsektisida, repellent, baju lengan panjang dan celana panjang.
b) Membersihkan tempat perindukan nyamuk.
c) Pengobatan harus diberikan sampai tuntas.
d) Alasan rujuk: malaria dengan komplikasi.
198
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
63. MIGREN
Kompetensi
Laporan Penyakit
f.
ICD X : N13
a. Definisi
Serangan nyeri kepala sesisi yang berulang, beragam beratnya, lamanya
dan kekerapannya mungkin merupakan serangan migren. Migren klasik
diawali selama + 60 menit.
b. Penyebab
Vasodilatasi pembuluh darah di otak.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan serangan.
2) Pencegahan: hindari faktor pencetus seperti makanan tertentu (coklat,
MSG), ketegangan emosi dan kelelahan fisik. Hal-hal itu harus
diidentifikasi.
3) Alasan rujukan: pada kasus migren dengan aura, migren komplikata
yang memerlukan terapi profilaksis, migren dengan intensitas dan
frekuensi tinggi.
4) Efek samping pengobatan: palpitasi.
c. Gambaran Klinis
1) Nyeri kepala khas berdenyut, unilateral dan bertambah berat setelah
aktivitas fisik.
2) Frekuensi lebih dari 5 kali serangan per hari dengan durasi masingmasing 4-72 jam.
3) Pasien mengeluh mual sampai muntah dan terdapat anoreksia,
fotofobia atau fenofobia.
4) Migren dengan aura mempunyai gejala tambahan:
a) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral.
b) Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual 5 menit
dan/atau jenis aura yang lainnya 5 menit.
c) Tiap gejala berlangsung 5 menit dan 60 menit.
d. Diagnosis
1) Migren tanpa aura
2) Migren dengan aura
3) Status migrenosus
e. Penatalaksanaan
1) Hindari faktor pencetus
2) Terapi serangan akut (abortif)
3) Serangan diatasi dengan:
a) Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein, dosis
disesuaikan kondisi penyakit.
b) Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen 400 mg
c) Obat penunjang: metoklopramid tablet
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
199
200
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Bercak kemerahan terutama pada bagian atas badan.
ICD X : B05
a. Definisi
Morbili ialah penyakit infeksi virus akut yang bermanifestasi dalam 3
stadium yaitu stadium kataral, erupsi dan konvalens.
b. Penyebab
Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili. Pada
awalnya, gejala campak agak sulit dideteksi.
c. Gambaran Klinis
Secara garis besar penyakit campak dibagi menjadi 3 fase:
1) Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 1012
hari. Pada fase ini anak sudah mulai terkena infeksi tapi pada dirinya
belum tampak gejala apapun. Bercak-bercak merah yang merupakan
ciri khas campak belum keluar.
2) Pada fase kedua (fase prodormal) barulah timbul gejala yang mirip
penyakit flu seperti batuk, pilek dan demam. Mata tampak kemerahmerahan dan berair. Bila melihat sesuatu, mata akan silau (fotofobia).
Di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan
34 hari. Terkadang anak juga mengalami diare. 12 hari kemudian
timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 3840,5oC.
3) Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring dengan
demam tinggi yang terjadi. Namun bercak tak langsung muncul di
seluruh tubuh melainkan bertahap dan merambat. Bermula dari
belakang telinga, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Warnanya pun
khas; merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak
terlalu kecil.
Bercak-bercak merah ini dalam bahasa kedokterannya disebut
makulopapuler. Biasanya bercak memenuhi seluruh tubuh dalam waktu
sekitar 1 minggu, tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing
anak. Umumnya jika bercak merahnya sudah keluar, demam akan turun
dengan sendirinya. Bercak merah pun makin lama menjadi kehitaman
dan bersisik (hiperpigmentasi), lalu rontok atau sembuh dengan
sendirinya. Periode ini merupakan masa penyembuhan yang butuh
waktu sampai 2 minggu.
201
e. Penatalaksanaan
Penanganan yang benar
1) Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau
campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus dirawat di
rumah sakit.
2) Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak menularkan
penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada bayi di rumah yang
belum mendapat imunisasi campak.
3) Beri pasien asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah dicerna
karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain seperti radang
tenggorokan, flu atau lainnya. Masa rentan ini masih berlangsung 1
bulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh pasien yang masih
lemah.
4) Pengobatan secara simtomatik sesuai dengan gejala yang ada.
5) Pemberian fortivikasi vitamin A 50.000 UI untuk anak <6 bulan,
100.000 UI untuk anak 6-11 bulan, 200.000 UI untuk anak 12 bulan 5
tahun, untuk mempercepat proses penyembuhan. Untuk pasien dengan
gizi buruk diberikan vitamin A 3x.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: pemberian Imunisasi morbili (campak).
3) Alasan rujuk: campak dengan komplikasi.
202
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah radang akut telinga tengah yang terjadi
terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas bagian atas.
b. Penyebab
Kuman penyebab OMA adalah bakteri pirogenik seperti: Streptococcus
hemolitikus, Pneumococcus atau Haemophylus influenza.
c. Gambaran Klinik
1) Keluhan dan gejala yang timbul tergantung dari stadium OMA yaitu:
a) Stadium oklusi tuba
b) Stadium hiperemis
c) Stadium supurasi
d) Stadium perforasi
e) Stadium resolusi
2) Gejala OMA adalah:
a) Anak gelisah atau ketika sedang tidur tiba-tiba terbangun, menjerit
sambil memegang telinganya.
b) Demam dengan suhu tubuh yang tinggi dan kadang-kadang sampai
kejang.
c) Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare.
d. Diagnosis
Tanda OMA adalah:
1) OMA Stadium oklusi tuba
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram, refleks cahaya
memendek dan menghilang.
2) OMA Stadium hiperemis
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis dan edem
serta refleks cahaya menghilang.
3) OMA Stadium supurasi
Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat.
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani menonjol keluar
(bulging) dan ada bagian yang berwarna pucat kekuningan.
4) OMA Stadium perforasi
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
203
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan
stadiumnya.
1) Stadium oklusi tuba
a) Berikan antibiotik selama 7 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik.
2) Stadium hiperemis
a) Berikan antibiotik selama 1014 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya.
3) Stadium supurasi.
a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
Berikan antibiotik ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral
selama 3 hari. Bila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik peroral selama 14 hari.
b) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis
THT untuk dilakukan miringotomi.
4) Stadium perforasi
a) Berikan antibiotik selama 14 hari.
b) Cairan telinga dibersihkan dengan Solutio H2O2 3% 23 kali.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi
204
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
205
206
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) OMSK tipe benigna/aman
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali
b) Antibiotik selama 7 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam
atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam
c) Antihistamin apabila ada tanda-tanda alergi
d) Nasehatkan agar tidak berenang dan tidak mengorek telinga
e) Bila selama 2 bulan tidak kering atau hilang timbul, rujuk ke dokter
spesialis THT.
2) OMSK tipe maligna / bahaya
Apabila belum memungkinkan dirujuk ke spesialis THT, dilakukan
terapi sebagai berikut:
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali
b) Antibiotik selama 14 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam
atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam.
f.
KIE
207
208
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Gondongan (Parotitis Epidemika) adalah penyakit infeksi akut dan menular
yang disebabkan virus. Virus menyerang kelenjar air liur di mulut, terutama
kelenjar parotis pada sisi muka tepat di bawah dan di depan telinga.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: pencegahan dan penyembuhan penyakit.
2) Pencegahan: hindari kontak langsung dengan pasien, melakukan
vaksinasi.
b. Penyebab
Virus Mumps.
c. Gambaran Klinis
1) Penyakit ini paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun. Gejalanya, nyeri
sewaktu mengunyah dan menelan, apalagi bila menelan cairan asam
seperti cuka dan air jeruk.
2) Pembengkakan nyeri terjadi pada sisi muka dan di bawah telinga.
Kelenjar-kelenjar di bawah dagu juga akan lebih besar dan
membengkak. Pasien juga merasa demam. Suhu tubuh dapat meningkat
hingga 39,5oC. Komplikasi mungkin terjadi pada anak laki-laki pada
umur belasan tahun, nyeri pada perut dan alat kelamin. Pada pasien
remaja perempuan, nyeri akan terasa juga di bagian payudara.
Komplikasi serius terjadi jika virus gondong menyerang otak dan
susunan saraf. Ini menyebabkan radang selaput otak dan jaringan
selaput otak.
3) Penularan melalui kontak langsung dengan pasien, seperti tersentuh
cairan muntah, air seni atau melalui udara ketika pasien bersin/batuk.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik.
e. Penatalaksanaan
1) Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan secara aktif dengan
pemberian vaksin parotitis atau secara pasif dengan pemberian gama
globulin.
2) Istirahat di tempat tidur hingga suhu tubuh normal kembali. Makanan
yang dikonsumsi adalah yang cair dan lunak. Bila perlu beri obat
penurun panas dan kompres pada bagian tubuh yang nyeri. Pakailah
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
209
210
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
211
b) Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang
dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
(1) Inspeksi
(a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
(b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup)
(c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot
bantu napas
(d) Pelebaran sela iga
212
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Perkusi
Hipersonor
(3) Auskultasi
(a) Fremitus melemah,
(b) Suara napas vesikuler melemah atau normal
(c) Ekspirasi memanjang
(d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
(e) Ronki
c) Pemeriksaan penunjang:
(1) Pemeriksaan penunjang pada diagnosis PPOK antara lain :
(a) Radiologi (foto toraks)
(b) Spirometri
(c) Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia
menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)
(d) Analisa gas darah
(e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan
antibiotik bila terjadi eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini
berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
(2) Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan:
(a) Paru hiperinflasi atau hiperlusen
(b) Diafragma mendatar
(c) Corakan bronkovaskuler meningkat
(d) Bulla
(e) Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau
yang lebih tua.
Catatan:
Untuk menegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan
kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB
Paru dan sindrom obstruktif pasca TB Paru. Penegakan diagnosis
PPOK secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit
tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan diagnosis dan
213
Klinis
Sesak kadang-kadang tapi
tidak selalu, batuk kronik
dan berdahak
Derajat II :
PPOK
Sedang
Perburukan
dari
penyempitan jalan napas,
ada sesak napas terutama
pada saat exercise
Derajat III
PPOK
Berat
Perburukan penyempitan
jalan napas yang semakin
berat,
sesak
napas
bertambah,
kemampuan
exercise
berkurang,
berdampak pada kualitas
hidup
Penyempitan jalan napas
yang berat
Derajat
IV:
PPOK
Sangat
Berat
Keterangan:
VEP1
KVP
Faal Paru
VEP1/ KVP < 70
%.
VEP1
80%
prediksi
VEP1/KVP < 70 %
50% VEP1 <
80% prediksi
Keterangan
Pasien
belum
menyadari terdapatnya
kelainan fungsi paru
Pada
kondisi
ini
pasien datang berobat,
karena
eksaserbasi
atau
keluhan
pernapasan kronik
VEP1/KVP < 70 %
30% VEP1 <
50% prediksi
Sering
disertai
komplikasi.
Pada
kondisi ini kualitas
hidup rendah dan
sering
disertai
eksaserbasi berat /
mengancam jiwa
d. Penatalaksanaan
214
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
215
2) Pengobatan penunjang
a) Rehabilitasi: latihan fisik, latihan endurance, Chest physiotherapy
rehabilitasi psikososial
b) Edukasi
c) Berhenti merokok
d) Latihan fisik dan respirasi
e) Nutrisi: Overweight maupun underweight adalah masalah.
Penurunan BMI adalah faktor risiko tergantung pada mortalitas
pasien PPOK. Pasien yang mengalami kesulitan bernapas saat
makan disarankan makan dalam jumlah kecil tapi sering.
Sedangkan pada pasien yang kehilangan berat badan, dengan
memperbaiki keadaan nutrisi, dapat meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, diet rendah karbohidrat
3) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki
kualitas hidup. Tata laksana oksigen jangka panjang (>15 jam sehari),
yaitu pada pasien dengan exertional hypoxemia dan nocturnal
hypoxemia
4) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.
Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah
sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi
paru (masih dalam proses penelitian di negara maju).
6) Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi
influenza diberikan pada:
a) Pasien usia > 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat.
e. KIE
Indikasi rujuk atau rawat inap di rumah sakit:
1) Peningkatan intensitas gejala seperti sesak napas
2) PPOK berat sebelumnya
3) Onset dari tanda-tanda fisik baru seperti sianosis, edema peripheral
216
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : O46
a. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 mL yang terjadi
setelah bayi lahir.
Perdarahan post partum dini yaitu perdarahan setelah bayi lahir dalam 24
jam pertama persalinan dan perdarahan post partum lanjut yaitu perdarahan
setelah 24 jam persalinan.
b. Penyebab
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan
lahir, retensio plasenta, sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah.
c. Gambaran Klinis
Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara akurat
karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pada pakaian atau kain
alas. Oleh karena itu bila terdapat perdarahan lebih banyak dari normal,
sudah dianjurkan untuk melakukan pengobatan sebagai perdarahan post
partum.
d. Diagnosis
Gejala, tanda dan diagnosis perdarahan post partum dapat dilihat pada
Tabel 30.
Tabel 30. Gejala, Tanda dan Diagnosis Perdarahan Post Partum
DIAGNOSIS
KERJA
Atonia
Uterus tidak berkontraksi dan Syok
lembek
Bekuan darah pada serviks atau uteri
Perdarahan segera setelah bayi posisi
terlentang
akan
lahir
menghambat aliran darah ke luar
GEJALA DAN TANDA
Plasenta lengkap
217
Pucat
Lemah
Menggigil
Robekan
jalan lahir
218
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Sub-involusi uterus
Perdarahan
j)
Retensio
plasenta
Tertinggalnya
sebagian
Uterus
berkontraksi tapi plasenta atau ketuban
tinggi
fundus
tidak berkurang
Inversio uteri
Neurogenik
syok
Pucat
dan
limbung
Endometritis
atau
sisa
Anemia
fragmen plasenta (terinfeksi
Demam
atau tidak)
Late
post
partum
hemorrhage
Perdarahan post partum
sekunder
e. Pengelolaan
1) Pengelolaan Umum
a) Selalu siapkan tindakan gawat darurat
b) Tata laksana persalinan kala III secara aktif
c) Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila
dimungkinkan
d) Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran
nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu
e) Jika terdapat syok lakukan segera penanganan
f) Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan
g) Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk
menentukan penyebab perdarahan
h) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa
plasenta dapat dikeluarkan secara manual.
i) Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena
dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
219
2) Pengelolaan Khusus
a) Pada Puskesmas non PONED:
(1) Stabilisasi
(2) Segera rujuk ke Puskesmas PONED atau RS terdekat
b) Pada Puskesmas PONED: dikelola sesuai diagnosis kerja.
f. Diagnosis kerja
1) Atonia Uteri
Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi
lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta
terbuka lebar. Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan post
partum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan post partum
disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan post partum
disebabkan atonia uteri harus dimulai dengan mengenal ibu yang
memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri.
Kondisi ini mencakup:
a) Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi
normal seperti pada polihidramnion, kehamilan kembar atau
makrosomi
b) Persalinan lama
c) Persalinan terlalu cepat
d) Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
e) Infeksi intrapartum
f) Paritas tinggi.
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi yang berisiko ini,
maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya atonia uteri post partum. Meskipun demikian,
20% atonia uteri post partum dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor
risiko ini. Penting bagi semua penolong persalinan untuk
mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap
masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Jika tidak mempunyai kemampuan dan fasilitas, semua keadaan di atas
sebaiknya segera dirujuk ke dokter spesialis obstretik ginekologi
Rumah Sakit.
220
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
221
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras).
e) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan.
(1) Kelengkapan plasenta dan ketuban.
(2) Kontraksi uterus.
(3) Perlukaan jalan lahir.
Jenis uterotonika dan cara pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Jenis Uterotonika Dan Cara Pemberiannya
JENIS
DAN
OKSITOSIN
ERGOMETRIN
CARA
Dosis dan cara i.v. : 20 UI dalam 1 L i.m.
atau
i.v.
pemberian
larutan garam
(lambat) : 0.2 mg
fisiologis dengan tetesan
cepat
i.m. : 10 UI
Dosis lanjutan
i.m. : 20 UI dalam 1 L Ulangi 0.2 mg i.m.
larutan garam fisiologis setelah 15 menit
dengan 40 tetes/menit
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5
per hari
larutan dengan Oksitosin dosis
Kontra Indikasi
Pemberian i.v. secara Preeklampsia,
cepat atau bolus
vitium
cordis,
hipertensi
2) Perlukaan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir terdiri dari:
a) Robekan perineum.
Dibagi atas 4 tingkat:
Tingkat I
: robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau
tanpa mengenai kulit perineum.
Tingkat II :robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot
perinei transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani.
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter
ani.
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum.
222
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
223
b)
c)
d)
e)
sepanjang
kehidupannya,
maka
dianjurkan
apabila
memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana
tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.
Hematoma vulva.
(1) Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar
hematoma. Pada hematoma kecil, tidak perlu tindakan operatif,
cukup dilakukan kompres.
(2) Pada hematoma yang lebih besar, apalagi disertai dengan
anemia dan presyok, perlu segera dilakukan pengosongan
hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian
hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan
sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber
perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam
perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa
steril sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.
Robekan dinding vagina.
(1) Robekan dinding vagina harus dijahit.
(2) Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke
rumah sakit.
Robekan serviks.
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan
dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian
serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung
robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai
dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.
Ruptura uteri.
3) Retensio Plasenta
Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam
setelah janin lahir.
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim karena
kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta disebut plasenta
adhesiva. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim
karena villi korialisnya menembus desidua sampai miometrium disebut
plasenta akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi
belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah
rahim disebut plasenta inkarserata.
224
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
0,2 mg i.m atau i.v sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio
plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan
tindakan pencegahan perdarahan post partum. Apabila kontraksi rahim
tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada
atonia uteri. Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi oleh karena
itu harus dirujuk ke rumah sakit.
4) Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan
pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 610 hari pasca persalinan).
Pada perdarahan post partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim yaitu perdarahan.yang berulang atau berlangsung
terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta
jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali
bila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau
terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya
sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat
bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.
Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan
kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang
tertinggal dalam rongga rahim.
225
226
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
70. PERIODONTITIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 1503
ICD X : K05-K06
a. Definisi
Peradangan jaringan periodontium yang lebih dalam yang merupakan
lanjutan dari peradangan ginggiva.
b. Penyebab
Sebagian besar periodontitis merupakan akibat dari penumpukan plak dan
karang gigi (tartar) diantara gigi dan gusi.
Akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi, dan meluas ke bawah
diantara akar gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini mengumpulkan plak
dalam suatu lingkungan bebas oksigen yang mempermudah pertumbuhan
bakteri.
c. Gambaran Klinis
1) Perdarahan gusi
2) Perubahan warna gusi
3) Bau mulut (halitosis)
4) Gigi goyah kalau kerusakan tulang penyangganya cukup luas
d. Diagnosis
Nyeri pada ginggiva.
e. Penatalaksanaan
1) Karang gigi, saku gigi, food impaction dan penyebab lokal lainnya
harus dibersihkan/diperbaiki.
2) Antibiotik amoksisilin 500 mg + metronidazol 250 mg tiap 8 jam
selama 5 hari.
3) Dianjurkan berkumur 1 menit dengan larutan povidon 1%, tiap 8
jam.
4) Bila sudah sangat goyah, gigi harus segera dicabut.
5) Analgesik parasetamol jika diperlukan.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
227
228
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
71. PERTUSIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4 dan 3B
: 0304
ICD X : A37
a. Definisi
Pertusis (Batuk Rejan) adalah penyakit akut pada saluran pernapasan.
Biasanya pada anak berumur <5 tahun, terutama pada anak umur 23
tahun.
b. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh kuman gram negatif Bordetella pertusis.
c. Gambaran Klinis
Gejala penyakit ini timbul 12 minggu setelah berhubungan dengan
pasiennya dan didahului masa inkubasi selama 714 hari. Biasanya
penyakit ini berlangsung selama 6 minggu atau lebih. Itulah sebabnya
penyakit tersebut dinamakan batuk seratus hari.
e. Penatalaksanaan
1) Oksigen
2) Pengobatan pertusis ditujukan pada kuman penyebabnya dengan
pemberian antibiotik yang sesuai, seperti eritromisin 3050 mg/kgBB
tiap 6 jam.
3) Untuk batuk dapat diberikan kodein 0,5 mg/tahun/kali.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) dasar dan
ulangan (booster). Imunisasi ini diberikan 3 kali berturut-turut pada
bayi usia 3, 4, 5 bulan.
3) Alasan rujukan: bila ada komplikasi pneumonia, perdarahan
subkonjungtiva dan lain-lain.
229
230
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
72. PIELONEFRITIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: 16
a. Definisi
Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal.
b. Penyebab
Disebabkan oleh Escherichia coli (paling sering), selain itu disebabkan juga
antara lain Enterobacter, Klebsiella, Pseudomonas dan Proteus.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil,
nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah.
2) Beberapa pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian
bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.
3) Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut
berkontraksi kuat.
4) Bisa terjadi kolik renalis, dimana pasien merasakan nyeri hebat yang
disebabkan oleh kejang ureter.
5) Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena
lewatnya batu ginjal.
6) Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih
sulit untuk dikenali.
7) Pada infeksi menahun (pielonefritis kronik), nyerinya bersifat samar
dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali.
8) Pielonefritis kronik hanya terjadi pada pasien yang memiliki kelainan
utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau
arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak
kecil).
9) Pielonefritis kronik pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).
e. Penatalaksanaan
1) Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik. Terapi kausal
dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet tiap 12 jam selama 5 hari, atau
amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau siprofloksasin 500
mg tiap 12 jam selama 5 hari. Antibiotik dapat diperpanjang sampai 21
hari.
2) Pada 46 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan pemeriksaan
urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi.
3) Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin perlu
dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah sakit.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi.
2) Pencegahan: kenali gejala penyakit untuk pengobatan sedini mungkin.
3) Alasan rujuk: pasien anak dan dewasa yang didiagnosa pielonefritis,
pielonefritis dengan komplikasi atau pada wanita hamil harus dirujuk.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.
2) Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis
adalah:
a) pemeriksaan urin dengan mikroskop.
231
232
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
73. PIODERMA
Kompetensi
Laporan Penyakit
ICD X : L00-L08
a. Definisi
Pioderma superfisial dapat berbentuk impetigo atau furunkel. Furunkolis
yang menyatu membentuk kurbunkel. Bentuk lain pioderma diantaranya
folikulitis, ektima, selulitis, flegmon, pionikia.
b. Penyebab
Impetigo umumnya disebabkan oleh Streptococcus betahaemoliticus,
sedangkan furunkel oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor
predisposisi umumnya daya tahan tubuh (anemia, kurang gizi, diabetes
melitus) atau adanya kelainan kulit yang dapat mempercepat terjadinya
pioderma.
c. Gambaran Klinis
1) Keadaan umum pasien biasanya baik.
2) Impetigo bentuk krustosa biasanya terjadi pada anak yaitu di kulit
disekitar hidung dan mulut. Tampak vesikel atau pustula yang cepat
pecah dan menyebar ke sekitarnya.
3) Impetigo bentuk vesikosibola disebut juga cacar monyet, menyerang
daerah ketiak, dada, dan punggung. Bentuk ini sering ditemukan
bersama miliaria, hipopion (endapan nanah di bagian bawah
vesikel/bula) dan pada saat penyembuhan mengering membentuk
koleret (warna kemerahan melingkar di bekas kelainan).
4) Impetigo neonatorium menyerang hampir seluruh kulit, biasanya
disertai demam.
5) Furunkel banyak ditemukan di ketiak atau bokong. Folikel yang
terinfeksi membengkak membentuk nodus bernanah yang nyeri dengan
eritema di sekitarnya. Kelainan ini dapat menjadi abses atau
membentuk fistula. Pada pasien yang berdaya tahan tubuh rendah
misalnya pasien penyakit kronik (diabetes melitus), furunkel ini sering
kambuh dan sukar sembuh.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien berobat jalan kecuali pada erisipelas, selulitis, flegmon
dianjurkan rawat inap.
2) Bila dijumpai pus banyak, asah atau krusta dilakukan kompres terbuka
dengan NaCl 0,9%
3) Pada lesi dalam dan / atau luas diberikan antibiotik sistemik:
a) Lini 1
: golongan penisilin
: amoksisilin
b) Lini 2
: golongan makrolid
: eritromisin 500 mg tiap 6
jam
4) Antibiotik diberikan 7 hari.
f.
KIE
1) Mencari faktor predisposisi:
a) Higiene
b) Menurunnya daya tahan tubuh: kurang gizi, anemia, penyakit
kronik/ metabolik, dan keganasan
c) Telah ada kelainan kulit primer
2) Pada pioderma letak dalam, perhatikan keadaan umum dan status imun
secara keseluruhan.
3) Alasan rujuk: erisipelas, selulitis, flegmon.
d. Diagnosis
1) Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram
2) Kultur dan resistensi spesimen lesi (misalnya untuk flegmon,
hidradenitis, ulkus).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
233
234
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : J18.9
a. Definisi
Pneumonia komunitas adalah peradangan paru yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus maupun jamur yang terjadi di komunitas.
Pneumonia secara klinis dibedakan atas pneumonia lobaris,
bronkopneumonia aspirasi misalnya akibat aspirasi minyak tanah. Kuman
penyebab banyak macamnya dan berbeda menurut sumber penularan
(komunitas/nosokomial).
Jenis komunitas 4774% disebabkan oleh bakteri, 520% oleh virus atau
mikoplasma, dan 1743% tidak diketahui penyebabnya. Pengobatan jenis
komunitas ini sangat memuaskan apapun penyebabnya.
b. Penyebab
1) Penyebab pneumonia adalah:
a) Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa):
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Legionella
atau Hemophilus influenza.
b) Virus: virus influenza, chicken-pox (cacar air)
c) Organisme mirip bakteri: Mycoplasma pneumoniae (terutama pada
anak-anak dan dewasa muda)
d) Jamur tertentu.
2) Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh virus
pernapasan, dan puncaknya terjadi pada umur 23 tahun. Pada usia
sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma
pneumoniae.
c. Gambaran Klinis
1) Secara klinis gambaran pneumonia bakterialis beragam menurut jenis
kuman penyebab, usia pasien, dan beratnya penyakit. Beberapa bakteri
penyebab memberikan gambaran yang khas, misalnya pneumonia
lobaris karena S. pneumoniae, atau empiema dan pneumatokel oleh S.
aureus.
2) Klasifikasi pneumonia pada balita sesuai dengan manajemen terpadu
balita sakit yaitu batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan, >
60 x/menit; 2 bulan 1 tahun, > 50 x/menit; 1-5 tahun > 40 x/menit)
3) Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
235
236
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Alasan rujuk: pada balita usia 2 bulan - < 5 tahun; bila terdiagnosa
klinis pneumonia komunitas maka perlu dirujuk.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi gejala, menyembuhkan penyakit,
dan mencegah transmisi/memutuskan rantai penularan.
2) Beri penjelasan dengan seksama kepada pasien dan keluarganya bahwa
penyakit ini bisa berbahaya.
3) Jika terdapat tanda bahaya pada balita usia <2 bulan berupa kurang bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezzing/mengi, demam
atau teraba dingin; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali,
kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.
4) Pada balita usia 2 bulan - <5 tahun; bila didapatkan tanda bahaya
berupa: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi
buruk; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian
dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.
5) Dalam perjalanan rujukan, ibu diminta menjaga agar anak tetap hangat
selama perjalanan, tetap berikan minum bila anak masih bisa minum
237
238
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
75. PTERIGIUM
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
: 1005
76. PULPITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
ICD X : H00-H01
a. Definisi
Merupakan pertumbuhan abnormal dari konjungtiva, ditandai dengan
penebalan mukosa konjungtiva yang berbentuk segitiga yang puncaknya di
kornea. Secara histopatologi, didapatkan gambaran degenerasi hialin
dengan adanya neovaskularisasi. Kelainan ini dapat dijumpai pada semua
kelompok umur. Umumnya terdapat di sisi nasal bilateral atau unilateral.
b. Penyebab
Patogenesis pterigium belum jelas, tetapi diduga karena iritasi kronik
terutama karena paparan sinar ultraviolet.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh mata lekas merah, berair, dan ada rasa mengganjal.
Bila penebalan jaringan ini mencapai pupil maka penglihatan dapat
terganggu.
2) Jaringan ini kaya pembuluh darah, semuanya menuju ke puncak
pterigium.
d. Diagnosis
Penebalan mukosa pada selaput mata.
e. Penatalaksanaan
1) Dalam keadaan meradang diberikan astringen-dekongestan 1 tetes tiap
6-8 jam sehari: kombinasi seng-sulfat 0,25% dengan fenilefrin 0,12%
atau nafazolin 0,7%.
2) Pterigium lanjut yang telah mengganggu penglihatan memerlukan
pembedahan (rujuk ke rumah sakit).
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan menghindari faktor risiko
terjadinya iritasi.
2) Hindari paparan ultraviolet, misalnya menggunakan sun-glasses, topi
caping.
239
: 4
: 1502
ICD X : K04
a. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri,
merupakan reaksi terhadap toksin bakteri pada karies gigi.
b. Penyebab
Penyebab pulpitis yang paling sering ditemukan adalah pembusukan gigi,
penyebab kedua adalah cedera. Pulpa terbungkus dalam dinding yang keras
sehingga tidak memiliki ruang yang cukup untuk membengkak ketika
terjadi peradangan. Yang terjadi hanyalah peningkatan tekanan di dalam
gigi. Peradangan yang ringan, jika berhasil diatasi, tidak akan menimbulkan
kerusakan gigi yang permanen. Peradangan yang berat bisa mematikan
pulpa. Meningkatnya tekanan di dalam gigi bisa mendorong pulpa melalui
ujung akar, sehingga bisa melukai tulang rahang dan jaringan di sekitarnya.
c. Gambaran Klinis
1) Gigi yang mengalami pulpitis akan nyeri berdenyut, terutama malam
hari. Nyeri ini mungkin menjalar sampai ke daerah sinus dan pelipis
(pulpitis gigi atas) atau ke daerah telinga (pulpitis gigi bawah).
2) Bila kemasukan makanan, karena rangsangan asam, manis, atau dingin
akan terasa sakit sekali. Sakit saat mengunyah menunjukkan bahwa
peradangan telah mencapai jaringan periapikal.
3) Gigi biasanya sudah berlubang dalam dan pulpa terbuka.
d. Diagnosis
Nyeri dan tanda peradangan.
e. Penatalaksanaan
1) Lubang gigi dibersihkan dengan ekskavator dan semprit air, lalu
dikeringkan dengan kapas dan dijejali pellet kapas yang ditetesi
eugenol.
2) Berikan analgetik bila diperlukan:
3) Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
4) Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB tiap 6-8 jam
5) Bila sudah ada peradangan jaringan periapikal, lihat Bab Abses gigi
240
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah). Bila ada gigi yang berlubang segera ditambal
walaupun tidak merasa sakit.
77. RABIES
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3B
: 0404
ICD X : A82
a. Definisi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan
hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera.
Di Indonesia, 98% kasus rabies ditularkan dari gigitan anjing.
b. Penyebab
Virus rabies, termasuk rhabdo virus bersifat neurotrop.
c. Gambaran Klinis
1) Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2) Stadium Sensoris
Pasien merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
gigitan. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang sensorik.
3) Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meningkat dengan gejala
hiperhidrosis (banyak berkeringat), hipersalivasi (banyak air liur),
hiperlakrimasi (banyak air mata) dan dilatasi pupil. Bersamaan dengan
stadium eksitasi penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada
stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobia, yang sangat terkenal
diantaranya ialah hidrofobia (takut air). Kontraksi otot-otot faring dan
otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik
seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerophobia) atau dengan
menjatuhkan sinar ke mata (photophobia) atau dengan bertepuk tangan
ke dekat telinga pasien (audiophobia). Pada stadium ini dapat terjadi
apneu, sianosis, kejang dan takikardi, cardiac arrest, tingkah laku
pasien tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan respons
yang berlebihan. Gejala-gejala eksitasi dapat berlangsung sampai
pasien meninggal, tetapi pada saat kematian justru lebih sering terjadi
otot-otot melemas, sehingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
241
242
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Stadium Paralisis.
Sebagian besar pasien rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan
paralisis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan
saraf tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot
pernapasan.
d. Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
e. Penatalaksanaan
1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies
Tiap ada kasus gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera)
harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin. Untuk mematikan
virus rabies yang masuk pada luka gigitan, cuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun selama 1015 menit, kemudian
diberi alkohol 70%.
2) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) sesudah digigit (Post Exposure
Treatment). Dosis dan cara pemberian VAR (Purified Vero Rabies
Vaccine = PVRV): diberikan 4 x suntikan @ 0,5 mL pada hari ke-0
sebanyak 2 dosis sekaligus di regio deltoideus kanan dan kiri, hari ke-7
dan 21 masing-masing 1 dosis secara i.m. Dosis sama untuk semua
umur.
3) Perawatan rabies pada manusia
a) Pasien dirujuk ke rumah sakit.
b) Sebelum dirujuk, pasien diinfus dengan Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, kalau perlu diberi antikonvulsan dan sebaiknya pasien
difiksasi selama dalam perjalanan dan waspada terhadap tindaktanduk pasien yang tidak rasional, kadang-kadang maniak disertai
saat-saat responsif.
c) Penanganan luka gigitan dengan pencucian luka, pemberian
antiseptik dan pemberian vaksin antirabies.
f.
KIE
1) Sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rabies.
2) Bila terkena cakaran atau gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing,
kera) segera melakukan pencucian luka dengan air mengalir selama 15
243
244
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : J- 30.4
a. Definisi
Rinitis alergika adalah suatu kelainan hidung yang disebabkan oleh proses
inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh hipersensitivitas atau alergi
tipe 1 dengan gejala karakteristik berupa hidung gatal, bersin-bersin,
rinorhea dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan
maupun dengan pengobatan.
b. Penyebab
Berdasarkan terdapatnya gejala:
1) Rinitis alergi intermiten, bila gejala <4 hari/minggu atau bila <4
minggu
2) Rinitis alergi persisten, bila > 4 hari/minggu atau >4 minggu.
Serbuk sari di dalam udara yang menyebabkan rinitis alergika bervariasi,
tergantung kepada daerah dan individu. Tanaman yang sering
menyebabkan rinitis alergika adalah pohon-pohonan, rumput, bunga dan
rumput liar. Selain kepekaan individu dan daerah tempat tumbuhnya
tanaman, faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya rinitis alergika
adalah jumlah serbuk yang terkandung di dalam udara. Cuaca panas,
kering dan berangin lebih banyak mengandung serbuk, cuaca dingin,
lembab dan hujan menyebabkan serbuk terbuang ke tanah.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah antihistamin.
Pemberian antihistamin kadang disertai dengan dekongestan (misalnya
pseudoefedrin atau fenilpropanolamin) untuk melegakan hidung tersumbat.
Pemakaian dekongestan pada pasien tekanan darah tinggi harus diawasi
secara ketat. Pemberian amoksisilin atau eritromisin jika ada infeksi
sekunder.
Jika keadaan kronis rujuk ke dokter spesialis THT.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala akibat paparan alergen
dan eradikasi infeksi, perbaikan kualitas hidup pasien.
2) Pencegahan: hindari alergen (misalnya udara dingin, debu).
c. Gambaran Klinis
Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan mata terasa
gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara berangsur-angsur. Biasanya
akan diikuti dengan mata berair, bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa
pasien mengeluh sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); kehilangan nafsu
makan dan mengalami gangguan tidur. Terjadi peradangan pada kelopak
mata bagian dalam dan pada bagian putih mata (konjungtivitis). Lapisan
hidung membengkak dan berwarna merah kebiruan, menyebabkan hidung
meler dan hidung tersumbat.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa
gambaran klinis diatas.
245
246
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
79. SALPINGITIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: -
80. SERUMEN
Kompetensi
Laporan Penyakit
ICD X : N70
: 3A
: -
a. Definisi
Infeksi saluran tuba uterina
a. Definisi
Kotoran pada liang telinga.
b. Penyebab
Salpingitis akut kebanyakan disebabkan oleh infeksi gonore. Salpingitis
kronik dapat berbentuk sebagai piosalping, hidrosalping atau salpingitis
ismika nodosa.
Pada salpingitis akut perlu dipikirkan kemungkinan kehamilan ektopik atau
apendisitis sebagai diagnosis banding.
b. Penyebab
Tertimbunnya kotoran pada liang telinga.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, unilateral atau bilateral.
Nyeri ini bertambah pada gerakan.
2) Kadang terdapat perdarahan di luar siklus dan sekret vagina berlebihan.
3) Pada yang akut terdapat demam yang kadang disertai keluhan
menggigil.
4) Terdapat nyeri tekan di abdomen bagian bawah disertai nyeri pada
pergerakan serviks. Parametrium nyeri unilateral atau bilateral.
d. Diagnosa
Anamnesis dan pemeriksaan fisik (telinga).
d. Diagnosis
Nyeri tekan dan kaku daerah tuba pada pemeriksaan dalam ginekologi.
e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk tirah baring pada posisi Fowler.
2) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi:
a) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam.
b) ditambah gentamisin 5 mg/kgBB i.v dosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg i.v tiap 8 jam.
c) Lanjutkan antibiotik ini sampai pasien tidak demam selama 24 jam.
3) Pilihan lain: doksisiklin 100 mg tiap 12 jam selama 10 hari.
4) Jika pasien menggunakan AKDR, maka AKDR tersebut harus dicabut.
5) Jika tata laksana ini tidak menolong, pasien sebaiknya dirujuk.
247
ICD X : A60. 4
c. Gejala Klinis
Keluhan rasa tersumbat di telinga, pendengaran berkurang dan kadangkadang berdengung. Pada pemeriksaan liang telinga tampak serumen dalam
bentuk lunak, liat, keras dan padat.
e. Penatalaksanaan
1) Serumen cair
Bila serumen sedikit, bersihkan dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas atau disedot dengan pompa penghisap.
2) Serumen lunak
Bila serumen banyak dan tidak ada riwayat perforasi membran timpani,
lakukan irigasi liang telinga dengan air bersih sesuai dengan suhu
tubuh.
Bila ada riwayat perforasi membran timpani, maka tidak dapat
dilakukan irigasi. Bersihkan serumen dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas.
3) Serumen liat
Dikait dengan pengait serumen, apabila tidak berhasil lakukan irigasi
dengan syarat tidak ada perforasi membrana timpani.
4) Serumen keras dan padat
Apabila serumen berukuran besar dan menyumbat liang telinga,
lunakkan terlebih dahulu dengan meneteskan karbogliserin 10% selama
3 hari, kemudian keluarkan dengan pengait atau dilakukan irigasi.
248
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperbaiki pendengaran akibat sumbatan
serumen.
2) Pencegahan: hindari mengkorek telinga.
81. SIFILIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 31
ICD X : A51
a. Definisi
Sifilis atau yang disebut dengan 'raja singa' disebabkan oleh sejenis bakteri
yang bernama Treponema pallidum. Bakteri yang berasal dari famili
spirochaetaceae ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan dapat hidup
hampir di seluruh bagian tubuh.
b. Penyebab
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya
vagina, mulut atau melalui kulit). Spirochaeta penyebab sifilis dapat
ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genitogenital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga
dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan.
c. Gambaran Klinis
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 113 minggu setelah terinfeksi;
rata-rata 34 minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan
jarang menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun kematian.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:
1) Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang
terinfeksi; yang tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker
juga bisa ditemukan di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher
rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Luka tersebut tidak
mengeluarkan darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan cairan
jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya
akan membesar, juga tanpa disertai nyeri. Luka tersebut hanya
menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan. Luka
biasanya membaik dalam waktu 312 minggu dan sesudahnya pasien
tampak sehat secara keseluruhan.
2) Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul
dalam waktu 612 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung
hanya sebentar atau selama beberapa bulan. Meskipun tidak diobati,
249
250
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Fase Laten.
Setelah pasien sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase
laten dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung
bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup
pasien. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali
muncul.
4) Fase Tersier.
Pada fase tersier pasien tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala
bervariasi mulai ringan sampai sangat parah, misalnya sifilis mengenai
medulla spinalis (tabes dorsalis).
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk penyembuhan dan pemutusan rantai
penularan.
2) Efek samping: perlu hati-hati kemungkinan reaksi anafilaktik terhadap
benzatin penisilin G. Siapkan perangkat penanganan reaksi syok
anafilaktik.
3) Edukasi tentang penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan
pengobatan.
4) Sedapat mungkin penanganan pasangan seksualnya.
5) Merujuk spesimen darah untuk pemeriksaan laboratorium VDRL dan
TPHA untuk penegakan diagnosis pasti.
6) Alasan rujuk: jika terjadi komplikasi atau kondisi parah.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
fisik.
e. Penatalaksanaan
1) Obat pilihan: benzatin penisilin G dengan dosis tergantung stadium:
a) Stadium I dan II
: 4,8 juta UI
b) Stadium laten
: 7,2 juta UI
2) Cara : injeksi i.m. 2,4 juta UI/ kali dengan interval 1 minggu
3) Obat alternatif:
a) Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam, 14 hari untuk fase awal, 28 hari
untuk fase lanjut; atau
b) Eritromisin 500 mg tiap 6 jam
4) Lama pengobatan 30 hari (stadium I dan II) atau waktu yang lebih lama
untuk stadium laten.
5) Evaluasi serologis (VDRL):
1 bulan setelah pengobatan selesai, ulangi tes serologis sifilis (TSS):
a) Titer turun: tidak diberikan pengobatan lagi
251
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
252
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang
terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:
1) proteinuria (protein di dalam air kemih lebih dari 3,5 g tiap 24 jam)
2) menurunnya kadar albumin dalam darah (<3,5 g/dL pada dewasa dan
<2,5 g/dL pada anak)
3) penimbunan garam dan air yang berlebihan
4) meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak, paling sering timbul
pada usia 18 bulan 4 tahun dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Klasifikasi dan penyebab Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik
Glomerulonefritis primer:
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomeruloklerosis fokal (GSF)
3. GN membranosa (GNMN)
4. GN membranoproliferatif ( GNMP)
5. GN proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat:
1. Infeksi (HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistotoma,
tuberkulosis, lepra)
2. Keganasan (Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal)
3. Penyakit jaringan penghubung: Lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
4. Efek obat dan toksin
5. Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heroin
6. Lain-lain: Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
b. Gambaran Klinis
1) Gejala awalnya bisa berupa:
a) berkurangnya nafsu makan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
253
254
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
255
256
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : L20-L30
a. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiforme mayor, eritema poliforme bulosa, sindroma mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.
b. Penyebab
Reaksi imunologi berat, lebih sering karena obat seperti kotrimoksazol,
karbamazepin.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala prodromal berkisar antara 114 hari berupa demam, malaise,
batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
artralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi
gejala tersebut.
2) Setelah itu akan timbul lesi di :
a) Kulit berupa eritema, papula, vesikel, atau bula secara simetris
pada hampir seluruh tubuh.
b) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan
kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari
gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran
hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
c) Mata: konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai
31 tahun.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
257
d. Diagnosis
1) Anamnesa: ada riwayat demam yang tidak diketahui penyebabnya saat
pasien minum obat.
2) Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor
penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau
mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
e. Penatalaksanaan
Pada umumnya pasien SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah:
1) Hentikan pemberian obat yang dicurigai.
2) Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
3) Kortikosteroid parenteral: deksametason i.v. 0,15-0,2 mg/kgBB/hari,
dapat diberikan sampai 4-6 kali 5 mg/hari, setelah masa kritis diatasi
(2-3 hari), dosis segera diturunkan cepat (5 mg/hari), setelah dosis
rendah bisa diganti per oral (prednison 2x20 mg/hari) dilanjutkan
dengan tappering off.
4) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Klorfeniramin
maleat (klortrimeton) dapat diberikan dengan dosis untuk anak usia 1
3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk anak usia 312 tahun 15 mg/dosis, tiap 8
jam.
5) Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan NaCl 0,9%.
6) Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan inisial dan penatalaksanaan fungsi
vital.
2) Segera dilakukan rujukan.
3) Jika Sindroma Stevens-Johnson berulang, dapat menjadi Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).
4) Dokter perlu menanyakan riwayat alergi obat pada pasien sebelum
memberikan obat.
5) Pasien juga harus secara aktif memberikan informasi bahwa pernah
mengalami Sindroma Stevens-Johnson dan perlu mengingat jenis obat
yang menyebabkannya.
258
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
84. SINUSITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 1; 2; 3A
: 1303
ICD X : J10-J11
a. Definisi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu
dari keempat sinus.
b. Penyebab
Ostium sinus tersumbat, atau rambut-rambut pembersih (ciliary) rusak
sehingga sekresi mukus tertahan dalam rongga sinus yang selanjutnya
menyebabkan peradangan.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan
ketika pasien bangun pada pagi hari.
2) Sinusitis akut dan kronik memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan
dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu
yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:
a) Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata,
sakit gigi dan sakit kepala.
b) Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
c) Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara
mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga
bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung ditekan,
berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
d) Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat
dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan
ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit
leher.
3) Gejala lainnya adalah:
a) Tidak enak badan.
b) Demam, demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah
menyebar ke luar sinus.
c) Letih, lesu
d) Batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari.
e) Hidung meler atau hidung tersumbat.
259
260
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : K74
a. Definisi
Penyakit hati menahun yang secara patologis menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progesif dan difus, ditandai dengan
distorsi arsitektur hepar berupa nekroinflamasi, pembentukan jaringan ikat
disertai nodul regenerasi.
b. Penyebab
Meliputi antara lain infeksi virus, parasit, obat dan bahan kimia, kelainan
bawaan dan obstruksi bilier. Semua hal yang menyebabkan jejas pada hati
pada akhirnya akan menyebabkan sirosis hati.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien sirosis Child-pugh A dapat tidak memiliki gejala dan nampak
sehat selama bertahun-tahun, namun terdapat tanda-tanda (stigmata)
sirosis. Pasien lainnya mengalami kehilangan nafsu makan, penurunan
berat badan dan merasa sakit.
a) Gejala awal sirosis (kompensata):
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun.
b) Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam subfebris, perut
membesar. Bisa terdapat gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid,
serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
2) Pada pemeriksaan fisik dicari stigmata sirosis: palmar eritema, spider
naevi, fetor hepatikum, vena kolateral dinding perut, ikterus, edema
pretibial, asites, splenomegali, liver nail, clubbing finger, kontraktur
dupuytren, ginekomastia, atrofi testis, hipogonadisme, ukuran hati bisa
membesar/normal/kecil, asterixis bilateral, demam subfebris.
3) Malnutrisi biasa terjadi karena buruknya nafsu makan dan
terganggunya penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak, yang disebabkan oleh berkurangnya produksi garam-garam
empedu.
261
262
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan untuk sirosis berupa:
a) Istirahat cukup
b) Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
c) Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet
rendah garam.
d) Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
e) Menghilangkan etiologi (misalnya alkohol, pengobatan hepatitis).
f) Pengobatan komplikasi. Bila terdapat komplikasi rujuk ke
spesialis.
2) Pemantauan:
a) USG hati untuk mencari nodul hepatoma (612 bulan 1 x).
b) Endoskopi Esofagogastroduodenoskopi untuk ligasi profilaksis
varises esofagus (frekuensi kontrol tergantung derajat Varises).
c) Mencari secara aktif tandatanda ensefalopati hepatikum di tiap
kunjungan pasien: konsentrasi menurun, gangguan tidur/perilaku.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mempertahankan kualitas hidup pasien.
2) Pencegahan: pola makan yang baik dan teratur, kontrol segera bila ada
demam, penurunan konsentrasi, hindari mengoperasikan kendaraan.
263
264
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Sistitis adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih
umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa
wanita menderita infeksi kandung kemih secara berulang.
b. Penyebab
E.coli (organisme paling sering, pada 8090% kasus); juga Klebsiella,
Pseudomonas, grup B Streptococcus dan Proteus mirabilis.
c. Gambaran Klinis
1) Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air
kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil.
2) Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga
dirasakan di punggung sebelah bawah.
3) Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari).
4) Urin tampak berawan dan mengandung darah.
5) Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan
diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.)
6) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa
menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya.
e. Penatalaksanaan
1) Pada usia lanjut, infeksi tanpa gejala biasanya tidak memerlukan
pengobatan.
2) Antibiotik diberikan jika pasien memenuhi kriteria disuria, leukosituria
dan nitrit urin positif
3) Untuk sistitis ringan, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah
minum banyak cairan. Aksi pembilasan ini akan membuang banyak
bakteri dari tubuh, bakteri yang tersisa akan dilenyapkan oleh
pertahanan alami tubuh.
4) Pemberian antibiotik peroral seperti kotrimoksazol 480 mg tiap 12 jam
atau siprofloksasin selama 5 hari biasanya efektif, selama belum timbul
komplikasi.
5) Jika infeksinya kebal, biasanya antibiotik diberikan selama 710 hari.
6) Gejalanya seringkali bisa dikurangi dengan membuat suasana urin
menjadi basa, yaitu dengan meminum baking soda yang dilarutkan
dalam air.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk eradikasi kuman penyebab.
2) Alasan rujuk: pada kasus komplikasi, anak, wanita hamil, dan indikasi
pembedahan.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas: disuria,
leukosituria dan nitrit urin positif.
2) Diambil contoh urin aliran tengah (midstream), agar urin tidak tercemar
oleh bakteri dari vagina atau ujung penis. Urin kemudian diperiksa
dibawah mikroskop untuk melihat adanya sel darah merah atau sel
darah putih atau zat lainnya.
3) Dilakukan penghitungan bakteri dan dibuat biakan untuk menentukan
jenis bakterinya. Jika terjadi infeksi, maka biasanya 1 jenis bakteri
ditemukan dalam jumlah yang banyak.
4) Pada pria, urin aliran tengah biasanya cukup untuk menegakkan
diagnosis. Pada wanita, contoh urin ini kadang dicemari oleh bakteri
dari vagina, sehingga perlu diambil contoh urin langsung dari kandung
kemih dengan menggunakan kateter.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
265
266
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
87. SKABIES
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 0704
ICD X : B86
a. Definisi
Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan dapat
ditularkan melalui kontak erat dengan orang yang terinfeksi merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap kutu
Sarcoptes scabiei var hominis dan fesesnya pada kulit manusia. Sarcoptes
scabiei adalah kutu yang transparan, berbentuk oval, punggungnya
cembung, perutnya rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas
dengan memutus rantai penularan dan memberi obat yang tepat.
b. Penyebab
Kutu Sarcoptis scabiei.
c. Gambaran klinik
Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama,yaitu:
1) Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang disebabkan
aktivitas tungau yang lebih tinggi dalam suhu lembab.
2) Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok. Mereka yang
tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan
berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah
menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara
bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat
kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.
3) Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit (kanalikuli),
yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok, menimbulkan eritem yang
berpasangan. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, maka akan
timbul gambaran pustul (bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah
lipatan kulit yang tipis, seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar
kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit sekitar payudara, bokong
dan perut bagian bawah.
4) Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis,
merupakan diagnosis pasti penyakit ini.
d. Diagnosis
267
e. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit ini menggunakan obat berbentuk krim atau salep yang
dioleskan pada bagian kulit yang terinfeksi. Banyak sekali obat yang
tersedia di pasaran. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara
lain; tidak berbau, efektif terhadap semua stadium kutu (telur, larva maupun
kutu dewasa), tidak menimbulkan iritasi kulit, juga mudah diperoleh dan
murah harganya.
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif ringan untuk mengurangi gatal,
misalnya klorfeniramin maleat 0,34 mg/kg BB tiap 8 jam.
b) Antibiotik bila ditemukan infeksi sekunder misalnya amoksisilin.
2) Topikal
Obatan-obatan yang dapat digunakan antara lain:
a) Lini 1: Permetrin HCl 5%, dioleskan pada kulit dan dibiarkan
selama 10 jam, dapat diulang setelah 1 minggu.
b) Salep 24, biasanya dalam bentuk salep atau krim.
Obat ini tidak efektif membunuh stadium telur, dan penggunaannya
harus lebih dari 3 hari berturut-turut.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: penyembuhan dan pemutusan rantai
penularan.
2) Pencegahan: penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan. Hindari
kontak dengan pasien serupa.
3) Mencuci bersih bahkan sebagian ahli menganjurkan merebus handuk,
seprai maupun baju pasien skabies, kemudian menjemurnya hingga
kering. Menghilangkan faktor predisposisi, antara lain dengan
penyuluhan mengenai higiene perorangan dan lingkungan.
4) Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama.
5) Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi
untuk memutuskan rantai penularan.
268
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Dianjurkan kontrol 1 minggu kemudian, bila ada lesi baru obat topikal
dapat diulang kembali.
269
270
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
271
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala, mengurangi kekambuhan dan
mengembalikan fungsi.
2) Efek Samping
a) Efek samping tersering dari haloperidol adalah gejala-gejala ekstra
piramidal seperti: tremor, akut distonia, rigiditas, dan drooling,
diberikan antikolinergik (triheksifenidil) 2 mg tiap 8-24 jam atau
injeksi i.m. difenhidramin 25 mg (jika berat seperti distonia akut
dengan oculogyric crises), dapat diulang. Jika ada riwayat efek
samping ini, dapat diberikan triheksifenidil bersamaan dengan
pemberian haloperidol.
b) Efek samping tersering klorpromazin adalah hipotensi ortostatik
dan sedasi kuat, hati-hati untuk pemberian bagi lansia. Tidak
diperbolehkan bagi pasien epilepsi, dapat mencetuskan status
epileptikus karena menurunkan ambang kejang.
3) Jelaskan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa dengan
penyebab biopsikososial.
4) Gejala skizofrenia bisa hilang timbul. Diperlukan kepatuhan minum
obat untuk mencegah kekambuhan. Informasikan kepada keluarga dan
pasien mengenai efek samping.
5) Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk ketaatan terhadap
pengobatan dan rehabilitasi yang efektif.
6) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
7) Organisasi kemasyarakatan bisa memberikan dukungan yang berarti
bagi pasien dan keluarga.
8) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
9) Kurangi stres dan stimulasi. Jangan berargumentasi terhadap pikiran
psikotik. Hindari konfrontasi atau mengkritik.
10) Pada saat gejala lebih berat, sebaiknya istirahat dan menghindari
dari stres.
272
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : K12
a. Definisi
Stomatitis aftosa (sariawan) adalah suatu luka terbuka yang kecil di dalam
mulut yang menimbulkan nyeri.
e. Penatalaksanaan
1) Anjurkan pasien untuk meningkatkan kebersihan mulutnya,
menghindari makan makanan yang merangsang (asam, pedas),
perbanyak makan buah-buahan dan hindari stress.
2) Pemberian suplemen vitamin C
3) Jika sariawan tidak hilang setelah 2 minggu, rujuk ke Rumah Sakit.
f.
b. Penyebab
Penyebabnya macam-macam misalnya kebersihan mulut yang buruk, gizi
kurang, infeksi kuman, gangguan hormonal (gingivostomatitis
deskuamatif),
kelainan
darah,
pemakaian
obat
(stomatitis
medikamentosa/venenata) atau makanan yang merangsang misalnya cabe.
Stomatitis Vincent disebabkan oleh kuman Gram negatif, sedangkan
stomatitis aftosa (sariawan) merupakan salah satu bentuk yang tidak
diketahui penyebabnya.
Beberapa faktor diduga berperan dalam terjadinya sariawan, misalnya
demam, stres, trauma, cemas, gangguan hormonal.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan
gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap
pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter
gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair
(sayur dan buah).
c. Gambaran Klinis
1) Sariawan dapat terjadi di semua bagian mulut. Bila sariawan ini terletak
di dekat faring, pasien biasanya mengeluh sakit menelan.
2) Stomatitis Vincent atau gingivostomatitis nekrotik biasanya timbul
akut. Pasien mengeluh mulutnya rasa terjadi perdarahan spontan pada
gusi dan gigi sering terasa memanjang. Ulkus pada stomatitis ini
biasanya terdapat di daerah gusi antargigi dan diselaputi
pseudomembran berwarna kuning keabu-abuan yang mudah diangkat.
Tetapi ulkus ini dapat meluas ke bagian lain mulut sampai ke faring.
d. Diagnosis
1) Nyeri dan lesi pada rongga mulut.
2) Diagnosis banding:
a) Infeksi oportunistik HIV-AIDS atau immunocompromised lain
b) Bagian dari autoimun
c) Bagian dari penyakit menular seksual
d) Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD)
273
274
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
90. STROKE
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3A
:
ICD X : -
a. Definisi
Stroke menurut Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization
(WHO) tahun 1970, adalah sindroma klinik yang ditandai oleh kelainan
fungsi otak baik fokal maupun global (misalnya koma) yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa penyebab lain
kecuali gangguan pembuluh darah otak.
Sindroma klinik lain yang disebut Transient Ischaemic Attack (TIA)
yang gejalanya persis sama seperti stroke, namun kembali normal dalam
waktu 24 jam dan dalam pemeriksaan pencitraan (imaging) tidak
ditemukan kelainan.
b. Penyebab
Stroke menurut patologinya dibagi :
1) Stroke Iskemik terjadi karena kurang atau hilangnya aliran darah ke
otak. Ini disebabkan karena adanya blockade/hambatan oleh trombosis
atau emboli arteri. Angka kejadiannya 80-85%
a) Stroke infark trombotik
b) Stroke infark emboli
2) Stroke Perdarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak. Angka
kejadiannya 15-20%
a) Stroke perdarahan intraserebral
b) Stroke perdarahan sub arachnoid.
c. Faktor Risiko Stroke:
1) Tidak dapat dimodifikasi: usia, ras, jenis kelamin, riwayat keluarga
menderita penyakit vaskuler
2) Dapat dimodifikasi: hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung,
kegemukan, sindroma metabolik, merokok, dislipidemi, pernah
menderita TIA atau stroke sebelumnya.
d. Gambaran Klinis
Gejala-gejala Stroke terjadi secara mendadak, yaitu:
1) Secara garis besar disebut AKSI
a) Asimetri wajah
b) Kelumpuhan sesisi (hemiparese)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
275
2)
3)
4)
5)
e. Penatalaksanaan
1) Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi cepat terhadap tanda-tanda stroke dan TIA
dari dokter, petugas medis maupun petugas terkait karena konsep Time
is Brain yang berarti bahwa pengobatan Stroke merupakan keadaan
gawat darurat. Jadi keterlambatan pertolongan fase prahospital harus
dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan
keluarga
2) Pengiriman pasien
Segera panggil ambulans gawat darurat hal ini sangat berperan penting
dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat untuk penanganan
stroke.
3) Transportasi/ambulans
Transporasi pengiriman pasien fasilitas kesehatan yang dituju, petugas
ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian
pasien stroke pra rumah sakit.
Fasilitas yang harus ada dalam ambulans adalah sebagai berikut:
a) Personil yang terlatih
b) Peralatan dan obat resusitasi dan gawat darurat.
c) Ambulans dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, a.l.
pemeriksaan glukosa (glucometer), Oksigen dan pemeriksa kadar
saturasi O2.
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu
mengerjakan:
a) pemeriksaan dan menilai tanda-tanda vital
b) tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway, Breathing
Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan koma yang dalam,hipoventilasi, dan aspirasi.
c) bila kardiopulmoner stabil pasien diposisikan setengah duduk
d) pemasangan infus dengan cairan normal salin
e) pemberian oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
f) pencatatan waktu onset serangan
276
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
Pencegahan primer
Pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan pengendalian
berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat dan kelompok
risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
1) Mengatur pola makan yang sehat
2) Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan
risiko terkena serangan stroke.
3) Jenis makanan yang sehat adalah:
a) Makanan biji-bijian a.l; beras merah, bulgur, jagung, gandum,
kacang kedelai
b) Makanan yang bervitamin dan antioksidan: susu, sayuran, buah
c) Teh hitam dan teh hijau yang banyak mengandung antioksidan
4) Menambah asupan kalium dan mengurangi natrium (monosodium
glutamate, sodium natrium), makanan sebaiknya segar
5) Mengutamakan makanan berserat dan protein nabati serta bervariasi
dan perhatikan menu seimbang
6) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong dan
kacang-kacangan serta banyak mengandung polisakarida seperti nasi,
roti, pasta, sereal dan kentang.
7) Hindari makanan yang mengandung gula.
8) Penanganan stress dan beristirahat yang cukup.
a) Istirahat cukup dan tidur teratur sekitar 68 jam/hari.
b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai jiwa sehat
menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap
ramah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
9) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam hal
diet dan obat. Apabila mempunyai faktor risiko stroke (misalnya:
hipertensi, diabetes, dislipidemia) harus dikendalikan dengan
pengobatan dan gaya hidup sehat (menu makanan seimbang dan tidak
merokok/alkohol).
277
278
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid. Disebut struma
endemik (gondok) bila struma ini ditemukan pada banyak orang dalam
suatu populasi. Ini biasanya terjadi di daerah yang makanan penduduknya
kurang mengandung iodium. Penyakit ini umumnya muncul pada masa
pubertas atau kehamilan.
b. Penyebab
Pada keadaan tertentu struma disebabkan oleh zat goitrogenik seperti PAS,
sulfonilurea, litium atau iodium dosis tinggi.
c. Gambaran Klinis
Adanya kelainan dishormonogenesis tiroid perlu dicurigai apabila
ditemukan:
1) Gondok yang secara familial terdapat di daerah nonendemis.
2) Adanya kretin di daerah nonendemis.
3) Adanya gondok dengan hipotiroidisme tanpa tanda Hashimoto.
4) Adanya gondok disertai dengan gangguan pendengaran (tuli dan
sebagainya).
5) Pasien dengan hipotiroidisme ringan datang dengan keluhan lelah,
nyeri otot, rambut rontok atau konstipasi, kadar T4 bebas biasanya
rendah atau normal rendah, dengan kadar TSH meningkat.
6) Sedangkan manifestasi klinik pasien dengan hipotiroidisme nyata,
berupa kurang energi, rambut rontok, intoleransi dingin, berat badan
naik, konstipasi, kulit kering dan dingin, suara parau, serta lamban
dalam berpikir.
7) Pada hipotiroidisme, kelenjar tiroid sering tidak teraba. Kemungkinan
terjadi karena atrofi kelenjar akibat pengobatan hipertiroidisme
memakai yodium radioaktif sebelumnya atau setelah tiroditiditis
autoimun.
Gejala dan tanda hipotiroid dapat dilihat pada Tabel 34.
279
No
1.
Organ
Otak
(Gangguan mental)
2.
3.
Mata
Telinga , Hidung
dan Tenggorokan
Kelenjar Tiroid
4.
5.
6.
7.
8.
Jantung
dan
pembuluh darah
Saluran Cerna
Sistem Reproduksi
Otot dan saraf
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan ditujukan untuk:
a) Mengurangi besarnya kelenjar gondok.
b) Mengoreksi adanya keadaan hipotiroidisme, kalau memang ada.
2) Larutan Lugol 5 tetes/hari dalam 1/2 gelas air bersama dengan iodium
1015 mg/hari selama beberapa minggu sampai kelenjar tiroid kembali
normal.
3) Selanjutnya pasien dianjurkan menggunakan garam dapur beriodium.
f.
KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah :
a) Meringankan keluhan dan gejala
b) Menormalkan metabolisme
c) Mencegah komplikasi dan risiko penyakit jantung
2) Pencegahan: dianjurkan untuk mengkonsumsi garam beriodium.
3) Alasan rujukan: jika dipertimbangkan perlu tindakan operasi, tidak ada
respon dengan pengobatan yang diberikan, ada krisis tiroid atau bila
ada persangkaan keganasan.
280
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : -
a. Definisi
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak
lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen
yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga
terjadi degranulasi, pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang
mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan edema. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme
yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat,
terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras.
Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang
yang rentan.
b. Penyebab
Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat secara
suntikan, tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang diberikan secara oral
atau oleh makanan. Obat suntik yang paling sering menimbulkan syok
anafilaksis antara lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali dan
kombinasi vitamin neurotropik.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala-gejala pertama: eritema, rasa terbakar pada kulit, rasa tersengat,
takikardi, rasa tebal di faring dan dada, batuk, mungkin mual dan
muntah.
2) Gejala-gejala sekunder: Pembengkakan kulit (khususnya palpebra dan
bibir), urtikaria, edema laring, serak, wheezing, serangan batuk, nyeri
abdomen, mual, muntah, diare, hipotensi, berkeringat, pucat.
3) Pada kasus-kasus berat, spasme laring, syok, henti napas dan henti
jantung.
d. Diagnosis
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik.
281
e. Penatalaksanaan
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab pasien
berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi
gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena
kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau
cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral,
maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1) Hentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab syok anafilaktik.
2) Segera baringkan pasien pada alas yang keras dan rata. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
3) Segera berikan adrenalin 0,30,5 mg larutan 1 : 1000 untuk pasien
dewasa atau 0,01 g/kgBB untuk pasien anak-anak, i.m. Pemberian ini
dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24
g/menit.
4) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB i.v
dosis awal yang diteruskan 0,40,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 510 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
6) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk pasien yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edema laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Pasien yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Pasien dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
282
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
(a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung
luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan
hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi
jantung paru.
7) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian
cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 2040% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi,
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dekstran
juga bisa melepaskan histamin.
8) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila pasien syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan pasien di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi pasien harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.
9) Kalau syok sudah teratasi, pasien jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan pasien yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 x
suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
Pencegahan:
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam tiap
pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:
1) Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
283
KIE
Kepada keluarga perlu diberitahukan bahwa kasus ini adalah kondisi
emergensi, dan sedang dilakukan upaya penyelamatan hidup (life saving)
284
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
93. TETANUS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 3B
: 0305
ICD X : A-35
a. Definisi
Penyakit sistem saraf yang disebabkan oleh Clostridium tetani, berlangsung
akut dengan karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
b. Penyebab
Bakteri anaerob Clostridium tetani. Spora dari Clostridium tetani dapat
hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah dan kotoran hewan. Jika
bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh manusia, bisa terjadi infeksi baik
pada luka yang dalam maupun luka yang dangkal. Setelah proses
persalinan, bisa terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang baru
lahir (tetanus neonatorum). Gejala-gejala infeksi ditimbulkan oleh racun
yang dihasilkan oleh bakteri, bukan bakterinya.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas: kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi pasien
seperti menyeringai (risus sardonikus) dengan kedua alis yang
terangkat.
2) Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 510 hari setelah
terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari
setelah terinfeksi.
3) Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit
dibuka (trismus) karena yang pertama terserang adalah otot rahang.
4) Gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala, demam,
nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan serta
tungkai.
5) Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung bisa
menyebabkan kepala dan tumit pasien tertarik ke belakang sedangkan
badannya melengkung ke depan yang disebut epistotonus.
6) Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi
urin dan konstipasi.
7) Gangguan-gangguan ringan seperti suara berisik, aliran angin atau
goncangan, bisa memicu kejang otot disertai nyeri dan keringat
berlebih.
8) Selama kejang pasien tidak dapat berbicara karena otot dadanya kaku
atau terjadi kejang tenggorokan sehingga terjadi kekurangan oksigen
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
285
d. Diagnosis
Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada seseorang
yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan
pembiakan bakteri dari apusan luka.
e. Penatalaksanaan
Pasien tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia harus selalu
mendapat pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk lakukan hal-hal di
bawah ini:
1) Lakukan langkah-langkah ABC
2) Segera diberikan diazepam dosis 10 mg i.v. perlahan 23 menit. Dapat
diulangi bila diperlukan.
3) Berikan IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 tiap 6 jam
4) Bila tersedia, berikan Antitoksin tetanus:
a) Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 UI/hari i.m.
selama 3 5 hari. Tes kulit sebelumnya, atau
b) Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000 UI i.m.
tergantung beratnya penyakit. Diberikan dosis tunggal.
5) Berikan penisilin prokain 2 juta UI i.m pada orang dewasa atau 50.000
UI/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. Bila
tidak ada atau alergi terhadap Penilisin dapat diberikan:
a) Eritromisin per oral 500 mg tiap 6 jam, atau
b) Tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam.
6) Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan
membersihkannya dengan H202 3%. Port dentre lain seperti OMSK
atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan kejang, meningkatkan kualitas
hidup, mencegah komplikasi, mencegah kematian.
2) Diberikan nutrisi dan makanan yang cukup. Bila perlu, diberikan
melalui pipa nasogastrik.
286
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : A33
a. Definisi
Tetanus neonaturom adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus
(bayi usia <1 bulan). Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi melalui
pintu masuk satu-satunya yaitu tali pusat, yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun perawatannya sebelum
puput (terlepasnya tali pusat).
b. Penyebab
Kuman Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun)
dan menyerang sistem saraf pusat.
c. Gambaran Klinis
1) Bayi biasanya tidak mau menyusu dengan tanda khas mulut yang
mencucu (trismus).
2) Kaku kuduk dan kejang sampai epistotonus sering dijumpai.
3) Perut papan
4) Tidak jarang bayi demam tinggi dan tampak sianosis.
d. Diagnosis
Kejang pada bayi usia <1 bulan dengan gejala khas.
e. Penatalaksanaan
Pasien sebaiknya dirujuk untuk dirawat di rumah sakit karena sering terjadi
komplikasi terutama sepsis. Sebelumnya pasang infus cairan rumat yaitu
glukosa 5% NaCl (4:1) sebanyak 75ml/kgBB/hari, kemudian diberikan:
1) ATS 10.000 UI/hari selama 2 hari berturut-turut.
2) Diazepam i.v. secara perlahan dengan titrasi dosis sampai kejang
hilang, maksimal 2,5 mg; kemudian dilanjutkan dengan 34
mg/kgBB/hari dalam cairan infus.
3) Berikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB
f.
287
KIE
1) Imunisasi TT pada ibu hamil dan sebelum menikah.
2) Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.
288
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ICD X : A01
a. Definisi
Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi yang ditularkan
melalui makanan yang tercemar oleh feses dan urin pasien.
b. Penyebab
Bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi.
c. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
a) Pada minggu pertama dapat ditemui demam naik secara bertahap
pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu). Demam
terutama sore/malam hari, dapat disertai sakit kepala, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
b) Pada minggu kedua demam berupa tipe remiten (demam naikturun, tetapi suhu tidak pernah mencapai normal). Keadaan pasien
menurun, dapat apatis, bingung, kehilangan kontak dengan orang
sekitarnya, tidak bisa tidur.
c) Memasuki minggu ketiga, pasien masuk ke tahap typhoid state,
ditandai dengan disorientasi, bingung, insomnia, dapat pula
delirium. Sewaktu-waktu dapat timbul komplikasi perdarahan atau
perforasi (lemah, pucat, nyeri seluruh perut akibat peritonitis,
bahkan ensefalopati disertai dengan syok). Saat ini pasien
mengalami BAB lembek, berwarna coklat tua atau kehijauan,
berbau (pea soup diarrhea), tapi mungkin juga masih mengalami
konstipasi. Pada akhir minggu ketiga suhu mulai turun dan normal
pada minggu berikutnya.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Minggu pertama terkadang hanya didapati demam yang meningkat
perlahan-lahan terutama sore/malam hari. Minggu kedua tanda
menjadi lebih jelas berupa kesadaran berkabut, bradikardi relatif
(frekuensi nadi yang tidak sesuai dengan suhu tubuh pasien; tiap
peningkatan suhu 1oC seharusnya disertai dengan peningkatan
denyut nadi 8-10 x/menit), thyphoid tongue (lidah kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, tremor), organomegali: hepatomegali,
289
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa kurva panas yang
spesifik dan pemeriksaan fisik.
e. Penatalaksanaan
Tirah baring untuk pasien dengan komplikasi. Diet harus mengandung
kalori dan protein yang cukup sebaiknya rendah serat, makanan lunak.
f.
Pengobatan :
1) Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% pasien dapat
disembuhkan.
a) Kloramfenikol, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas
demam,
b) Anak : 50-100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam.
c) Amoksisilin, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas
demam,
d) Anak : 50100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam.
e) Siprofloksasin, Dewasa: 500 mg tiap 12 jam selama 6 hari.
2) Terapi simtomatik (anti piretik, anti emetik)
3) Roboransia.
4) Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus sampai pasien
dapat mencerna makanan.
g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman dan mencegah komplikasi.
2) Pencegahan:
a) Pencegahan terhadap carier dan kasus relaps.
290
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
96. TIROTOKSIKOSIS
Kompetensi
: 3A
Laporan Penyakit
: -
ICD X : E00-E07
a. Definisi
Tirotoksikosis adalah suatu keadaan dimana didapatkan konsentrasi
hormon tiroid yang berlebihan.
Tirotoksikosis dibagi dalam 4 kategori:
1) Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
2) Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
3) Kerusakan Tiroid: tiroiditis subakut, silent thyroiditis, amiodaron,
paparan radiasi
4) Sumber hormon tiroid ekstratiroidal: thyrotoxicosis factitia, struma
ovarii, karsinoma folikuler fungsional.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan produksi hormon
tiroid berlebih akibat peningkatan aktivitas kelenjar tiroid yang meningkat.
Penyebab tirotoksikosis dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme primer
- Penyakit Graves
- Gondok multinodula toksik
- Adenoma toksik
- Obat: yodium berlebihan,
lithium
- Karsinoma tiroid
- Struma ovarii (ektopik)
- Mutasi TSH-r1 Gs
Tirotoksikosis
tanpa
Hipertiroidisme
- Hormon tiroid berlebih
(tirotoksikosis faktisia)
- Tiroiditis subakut (viral
atau De Quervain)
- Silent thyroiditis
- Destruksi
kelenjar:
amiodaron, I-131, radiasi,
adenoma, infark
Hipertiroidisme
Sekunder
- TSH-secreting
tumor
chGH
secreting tumor
- Tirotoksikosis
gestasi
(trimester
pertama)
- Resistensi hormon
tiroid
291
292
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5
10
15
20
25
30
Disfungsi Kardiovaskuler
Takikardi
99-109
110-119 10
120-129 15
130-139 20
>140
Gagal Jantung
Tidak ada
25
0
293
Tidak ada
0
Ringan (agitasi)
10
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat)
20
Berat (koma, kejang)
30
Disfungsi gastrointestinal hepar
Tidak ada
0
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)
20
5
10
15
0
10
0
10
294
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
97. TONSILITIS
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 1301
ICD X : J03
a. Definisi
Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di puncak
tenggorokan) yang berfungsi membantu menyaring bakteri dan
mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang dapat
menyerang semua golongan umur.
Pada anak, tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi. Bila tonsilitis
akut sering kambuh walaupun pasien telah mendapatkan pengobatan yang
memadai, maka perlu diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik.
Faktor-faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya tonsilitis: rangsangan
menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca, pengobatan tonsilitis
yang tidak memadai, dan higiene rongga mulut yang kurang baik.
Tonsilitis kronik dapat tampil dalam bentuk hipertrofi hiperplasia atau
bentuk atrofi. Pada anak, tonsilitas kronik sering disertai pembengkakan
kelenjar submandibularis adenoiditis, rinitis dan otitis media.
b. Penyebab
Infeksi bakteri
streptokokus
atau
infeksi
virus
(lebih
jarang).
c. Gambaran Klinik
1) Pasien biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh tubuh, nyeri
sendi, dan kadang atalgia sebagai nyeri alih dari N. IX.
2) Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak.
3) Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa folikel atau
membran. Pada anak, membran pada tonsil mungkin juga disebabkan
oleh tonsilitis difteri.
4) Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis.
5) Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan permukaan
tidak rata, kripta lebar berisi detritus. Tonsil melekat ke jaringan
sekitarnya. Pada bentuk atrofi, tonsil kecil seperti terpendam dalam
fosa tonsilaris.
6) Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala dan
muntah.
295
296
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak perdarahan. Ditemukan
nanah dan selaput putih tipis yang menempel di tonsil. Membran ini bisa
diangkat dengan mudah tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan
pembiakan apus tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri
penyebabnya.
e. Penatalaksanaan
1) Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral atau
suntikan (jika sukar menelan) selama 10 hari.
a) Pemberian antibiotik amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari.
b) Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg tiap 8 jam. Dosis pada anak:
eritromisin 40 mg/kgBB/hari, amoksisilin 3050 mg/kgBB/hari.
2) Analgetik (parasetamol dan ibuprofen) lebih efektif daripada antibiotik
dalam menghilangkan gejala. Antibiotik hanya sedikit memperpendek
durasi gejala dan mengurangi risiko demam rematik.
3) Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 13 hari tidak
meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit.
4) Bila suhu badan tinggi, pasien harus tirah baring dan dianjurkan untuk
banyak minum. Makanan lunak diberikan selama nyeri menelan.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah dan menghindari komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga higiene oral.
3) Alasan rujukan:
a) bila tonsilitiskronis yang diindikasikan untuk dilakukan
tonsilektomi
b) Tonsilitis bakteri rekuren (> 4x/tahun) apa pun tipe bakterinya.
c) Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia yang
berasal dari tonsil.
d) Obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh tonsil (yang dapat
hampir saling bersentuhan satu sama lain), apneu saat tidur,
gangguan oklusi gigi
e) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
f) bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, segera berikan serum anti
difteri (ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan napas, segera rujuk
ke RS.
297
298
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
97. TRAKOMA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 40
99. TUBERKULOSIS
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 0201
ICD X : A71
a. Definisi
Trakoma merupakan infeksi mata yang berlangsung lama yang
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut pada konjungtiva dan kelopak
mata serta kebutaan.
b. Penyebab
Trakoma terjadi akibat infeksi oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Masa
inkubasi berlangsung selama 512 hari.
c. Gambaran Klinis
1) Kedua mata tampak merah dan berair. Pasien sukar melihat cahaya
terang (silau) dan merasa gatal di matanya.
2) Pada stadium awal, konjungtiva tampak meradang, merah dan
mengalami iritasi serta mengeluarkan kotoran (konjungtivitis).
3) Pada stadium lanjut, konjungtiva dan kornea membentuk jaringan parut
sehingga bulu mata melipat ke dalam dan terjadi gangguan penglihatan.
4) Gejala lainnya adalah:
a) pembengkakan kelopak mata
b) pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat di depan
mata
c) kornea tampak keruh.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
Apusan mata diperiksa untuk mengetahui organisme penyebabnya
e. Penatalaksanaan
Pengobatan meliputi pemberian salep mata antibiotik yang berisi
oksitetrasiklin 1% tiap 12 jam selama 4-6 minggu. Selain itu diberikan
kapsul tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam selama 4-6 minggu.
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk penyembuhan dan pencegahan komplikasi
2) Jika ada kasus maka dilaporkan segera.
3) Penyakit ini dapat menular melalui udara dan air.
299
ICD X : H16. 2
a. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat
fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
bovis atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis paru kini bukan
penyakit yang menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi
penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian.
Penularan TB paru hanya terjadi dari pasien tuberkulosis terbuka.
b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis.
c. Gambaran Klinis
1) Pada awalnya pasien hanya merasakan tidak sehat atau batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
2) Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sejalan dengan
perkembangan penyakit. Pada akhirnya dahak akan berwarna
kemerahan karena mengandung darah.
3) Masa inkubasi berkisar antara 412 minggu.
4) Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah berkeringat di
malam hari tanpa aktivitas.
5) Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan berat badan, nyeri
dada, batuk darah, sesak napas.
6) Sesak napas merupakan pertanda adanya udara (pneumotoraks) atau
cairan (efusi pleura) di dalam rongga pleura. Sekitar sepertiga infeksi
ditemukan dalam bentuk efusi pleura.
7) Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paruparu ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika
sistem pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka
infeksi tidak akan berlanjut dan bakteri menjadi dorman.
8) Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan
tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin
menyebabkan penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran
getah bening dan membentuk sekelompok kelenjar getah bening di
leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit dan
menghasilkan nanah.
300
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis.
2) Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis adalah foto
rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai daerah putih yang bentuknya
tidak teratur dengan latar belakang hitam. Rontgen juga bisa
menunjukkan efusi pleura atau pembesaran jantung (perikarditis).
3) Minimal 2 kali sputum BTA (+): didiagnosis sebagai TB paru BTA (+)
4) Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada
atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
5) Upaya pertama dalam diagnosis TB paru pada anak adalah melakukan
uji Tuberkulin. Hasil positif yaitu > 10 mm atau > 15 mm pada anak
yang telah mendapatkan BCG, ditambah dengan gambaran radiologi
dada yang menunjukkan infeksi spesifik, LED yang tinggi, limfadenitis
leher dan limfositisis relatif sudah dapat digunakan untuk membuat
diagnosis kerja TB paru.
e. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, sinar ini bisa membunuh
bakteri yang terdapat di dalam udara.
b) Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan
risiko tinggi tuberkulosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil
tes tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan
adanya penyakit. Isoniazid diminum tiap hari selama 69 bulan.
c) Di negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan untuk
mencegah infeksi oleh M. tuberculosis.
2) Pengobatan: DOTS
Pengobatan TB paru memerlukan panduan antituberkulosis untuk
memperoleh hasil terapi yang baik dan mencegah/memperkecil
kemungkinan timbulnya resistensi.
a) Antibiotik yang paling sering digunakan adalah: isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin; dan etambutol, isoniazid,
rifampisin dan pirazinamid dapat digabungkan dalam 1 kapsul,
sehingga mengurangi jumlah pil yang harus ditelan oleh pasien.
b) Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif tinggi untuk
membantu mengurangi jumlah bakteri dengan segera. Setelah 2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
301
302
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
Sesuai dengan program P2TB.
100. URTIKARIA
Kompetensi
: 4
Laporan Penyakit
: 2002
ICD X : L20-L30
a. Definisi
Merupakan suatu reaksi (alergi) pada kulit yang umumnya dalam bentuk
edema lokal dan bersifat self-limited atau dapat sembuh sendiri dalam
waktu singkat, meskipun beberapa dapat berkembang menjadi kronik.
Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan
urtikaria kronik biasanya keberlangsungannya lebih dari 6 minggu.
b. Penyebab
Sebagian besar penyebab urtikaria telah diketahui, diantaranya:
1) Alergi terhadap obat, makanan, alergen inhalasi, gigitan atau sengatan
serangga.
2) Penyakit infeksi (virus, parasit).
3) Agen fisik (panas, dingin, penekanan, matahari).
4) Penyakit sistemik (contoh: lupus eritematosus sistemik).
c. Gambaran Klinis
1) Lesi umumnya berwarna merah muda, edematus dengan berbagai
bentuk dan ukuran dan di sekelilingnya eritema.
2) Lesi umumnya memberi rasa gatal hingga nyeri dan seperti sensasi
terbakar.
3) Jarang bertahan > 124 jam.
4) Edema di saluran napas menyebabkan sumbatan jalan napas.
d. Diagnosis
Diagnosis urtikaria umumnya dapat ditegakkan secara klinis, kecuali
terdapat diagnosis banding lain maka diagnosis disokong oleh hasil
pemeriksaan histopatologis pada lesi urtikaria yang bertahan lebih dari 48
jam.
e. Penatalaksanaan
1) Terapi yang ideal adalah identifikasi dan menghilangkan penyebab
(bila ditemukan).
2) Pengobatan sistemik
a) Diberikan antihistamin (AH) klorfeniramin maleat.
303
304
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menghilangkan keluhan gatal.
2) Efek samping kortikosteroid akan timbul pada penggunaan jangka
panjang dan diluar pengawasan dokter, antara lain moonface,
osteoporosis, gangguan menstruasi, iritasi lambung, katarak, penurunan
daya tahan tubuh, striae dan lain-lain.
3) Pencegahan: hindari faktor pencetus.
101. VARISELA
Kompetensi
Laporan Penyakit
: 4
: 0406
ICD X : B01
a. Definisi
Varisela atau cacar air yang ditandai dengan vesikel di kulit dan selaput
lendir ini sangat mudah menular melalui percikan ludah dan kontak.
Penularan sudah dapat terjadi sejak 24 jam sebelum timbul kelainan kulit
sampai 6 7 hari kemudian.
b. Penyebab
Virus Varicella zoster.
c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi 13 17 hari.
2) Gejala awal berupa pusing, sakit kepala, dan demam yang tidak begitu
tinggi. Gejala ini tidak begitu jelas pada anak balita, tetapi menonjol
pada anak usia diatas 10 tahun.
3) Pada orang dewasa keluhan ini dapat berat sekali.
a) Kelainan kulit muncul mula-mula seperti pada morbili, berupa
makula dan papula yang kemudian menjadi vesikel berisi cairan
jernih. Perubahan ini berlangsung dalam waktu 24 48 jam.
b) Ruam biasanya lebih banyak di badan dibandingkan dengan di
anggota gerak. Yang khas pada varisela ini adalah berbagai macam
ruam dapat ditemukan dalam satu saat.
c) Pada bentuk yang berat kelainan kulit timbul di seluruh tubuh.
d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dengan bentuk rash yang karakteristik
(fluorosensi yang sifatnya papulo vesikuler yang multiforme dan proses
penjalarannya sentrifugal).
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatis: parasetamol bila
demam sangat tinggi. Jangan memberikan asetosal pada anak, karena
dapat menimbulkan sindroma Reye.
2) Pasien dianjurkan tetap mandi. Kalium permanganat dan antiseptik lain
tidak dianjurkan.
305
306
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Kemudian beri bedak salisil 2%. Usahakan agar vesikel tidak pecah dan
mengalami infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder berikan amoksisilin per oral 2550
mg/kgBB/hari atau eritromisin 20-50 mg/kgBB.
5) Obat antivirus bermanfaat bila diberikan <24 jam setelah timbulnya
kelainan kulit.
6) Antivirus dapat diberikan pada usia pubertas, dewasa, pasien yang
tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang menderita varisela 2 hari
sebelum 4 hari sesudah melahirkan.
7) Dosis asiklovir:
dewasa: 5 x 800 mg sehari selama 7 hari.
bayi dan anak: 4 x 20-40 mg/kgBB (maksimal 800 mg/hari)
f.
KIE
1) Tujuan pengobatan: simtomatik (mengurangi gejala).
2) Pencegahan: hindari kontak dengan pasien, menjaga personal higiene.
102. XEROFTALMIA
Kompetensi
: 3B
Laporan Penyakit
: 1005
ICD X : H00-H01
a. Definisi
Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan vitamin A, terutama
pada anak balita dan sering ditemukan pada pasien gizi buruk dan gizi
kurang.
b. Penyebab
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia:
1) Konsumsi makanan yang kurang/tidak mengandung cukup Vitamin A
atau pro-vitamin A untuk jangka waktu lama
2) Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif
3) Gangguan penyerapan vitamin A
4) Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare)
c. Gambaran Klinis
1) Gejala reversible :
a) buta senja (Hemeralopia)
b) xerosis konjungtiva: yaitu konjungtiva yang kering, menebal,
berkeriput, dan keruh karena banyak bercak pigmen.
c) xerosis kornea: konjungtiva kornea yang kering, menebal,
berkeriput dan keruh karena banyak bercak pigmen.
d) bercak Bitot: benjolan berupa endapan kering dan berbusa yang
berwarna abu-keperakan berisi sisa-sisa epitel konjungtiva yang
rusak.
2) Gejala irreversible : ulserasi kornea dan sikatriks (scar).
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
e. Penatalaksanaan
1) Berikan vitamin A 200.000 UI per oral atau vitamin A 100.000 UI
injeksi.
2) Hari berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral.
3) Satu-dua minggu berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral.
4) Obati penyakit infeksi yang menyertai.
5) Obati kelainan mata, bila terjadi.
307
308
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
DAFTAR PUSTAKA
KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan mencegah kebutaan.
2) Pencegahan: berikan vitamin A pada bayi dan anak tiap 6 bulan,
lakukan skrining pada bayi dan anak yang kurang gizi, diet tinggi
vitamin A seperti sayuran dan buah berwarna merah dan hijau (wortel,
tomat, stroberi), ikan, hati ayam dan lain-lain.
3) Alasan rujuk: bila terjadi ulserasi kornea dan sikatrik.
MENTERI KESEHATAN,
NAFSIAH MBOI
1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Disease of respiratory system : Asthma. Harrissons: Principle of Internal
Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009 : 1596
1607.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
309
310
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
29. Heru Sundaru, Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009:
404414.
30. IDI, Standar Pelayanan Medis, DitJen Yanmed DepKes, Jakarta, 1997.
dalam
311
312
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011