Anda di halaman 1dari 29

MODUL PRAKTIKUM

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

TIM DOSEN DAN ASISTEN PENGAMPU


MK MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
MALANG
2015

JADWAL KEGIATAN PRAKTIKUM MANAJEMAN AGROEKOSISTEM


SEMESTER GENAP 2015/2016
No
1
2
3

6
7

Kegiatan

JADWAL
KULIAH
V VIII IX X

Sasaran

Kontrak praktikum
Penjelasan sub materi 1-3
Penjelasan sub materi 4-5
Penyusunan system terpadu
produksi tanaman pada suatu
wilayah dengan memaparkan
konsep manajemen agroekosytem
untuk menunjang produksi.
Penjelasan kuisioner untuk
mengetahui mekanisme
manajemen agroekosistem dan
Teknis pembuatan maket sebagai
hasil akhir dari proses praktikum
manajemen agroekosistem

Praktikan
Praktikan
Praktikan

Rekapitulasi nilai akhir praktikum

Asisten

Praktikan

Praktikan

Praktikan

Ket.

PERATURAN PRAKTIKUM MANAJEMEN AGROEKOSISTEM


1. Praktikum Manajemen Agroekosistem memiliki bobot 1 sks.
2. Praktikum Manajemen Agroekosistem merupakan kegiatan yang terintegrasi
dari jurusan BP, Tanah, dan HPT.
3. Nilai praktikum Manajemen Agroekosistem memberikan kontribusi 25% untuk
nilai akhir MK Manajemen Agroekosistem.
4. Praktikum dimulai tepat waktu yang telah ditentukan dengan keterlambatan 15
menit nilai kehadiran dikurangi 50%.
5. Presensi kehadiran peserta praktikum minimal 80% (dilampirkan surat dokter
apabila dalam keadaan sakit/ijin).
6. Absensi dilakukan 1 kali setiap praktikum.
7. Pada waktu pelaksanaan praktikum assisten menilai kemampuan mahasiswa
secara kelompok dan individu.
8. Penilaian selama praktikum ada 2 macam, yaitu kelompok dan individu.
Unsur-unsur penilaian meliputi: kognitif, psikomotorik, dan afektif dengan
rincian sebagai berikut:
Sikap 20 %
Tugas 30 %
Presentasi dan keaktifan 30%
Laporan akhir 10%
Asistensi/kuis 10%
Tujuan praktikum Manajemen Agroekosistem pada aspek Budidaya
Pertanian ialah praktikan mengetahui proses manajeman lahan basah dan kering
secara terukur dengan memahami semua aspek yang terkait serta mampu
memberikan solusi dalam suatu permasalahan agroekosistem.

INDIKATOR CAPAIAN PELAKSANAAN


Tahap 1. Mahasiswa mengetahui proses budidaya yang ideal dan proses budidaya
yang lebih adaptif artinya sebuah proses manajemen lahan dengan
praktek budidaya yang dilakukan dan pengelolannya menyesuiakan
terhadap lingkunganya (dibangun secara sengaja dan sadar) serta
bertujuan melaksanakan praktek budidaya yang efisien dan berlanjut.
Tahap 2. Mahasiswa mampu menganalisis kondisi lingkungan yang sudah
dikelola kemudian dikaji apakah sesuai dan ideal berdasarkan pada
aspek syarat tumbuh suatu tanaman.

Proses menganalisis kondisi

lingkungan mengunakan alat-alat yang tersedia untuk sejauh ini pada


aspek kebutuhan cahaya/intensitas menggunakan lux Meter, unsur hara
(BWD), air (Humidity), ketinggian tempat (GPS), dan analisis pH
menggunakan pH meter.
Tahap 3. Mahasiswa mengetahui dan menterjemakan data dilapang dengan
melakukan wawancara atau indept-interview berdasarkan kuisioner
pada berbagai aspek. Ketidak sesuaian suatu tanaman dengan syarat
budidaya dan cara budidaya harus dibahas sebagai temuan yang perlu
dikaji dengan kesimpulan diarahkan untuk menjawab apa yang
dilakukan oleh petani dalam praktek budidaya merupakan proses
budidaya yang adaptif atau ideal?
Tahap 4. Mahasiswa mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan
analisis informasi dan data, serta mampu memberikan petunjuk dalam
memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok.

Materi I
TINJAUAN MANAJEMEN AGROEKOSISTEM PADA ASPEK
PRODUKSI TANAMAN

Sistematika Mahasiswa dikenalkan bagaimana melaksanakan Manajemen


Agroekosistem pada tataran lapang dalam luasan tertentu (kecil atau besar)
meliputi:
1. Pengelolaan elemen penyusun agroekosistem, fungsi, hirarki (food & energy
chain) dan nilai ekonomi.
2. Proses manajemen pada faktor-faktor lingkungan biotis dan abiotis lahan basah
serta lahan kering (pengertian, masalah dan pengelolaan tanaman).
3. Proses budidaya atau manajemen tanaman mencakup kriteria dan indikator
dalam skala hamparan dalam agroekosistem yang sama meliputi aspek-aspek
tanaman, pola pertumbuhan tanaman, biodiversitas tumbuhan dan pola tanam
serta aspek ekonomi.
4. Output manajemen agroekosistem berupa peningkatan produksi, stabilitas
produksi, keberlanjutan lingkungan dan pemeratan produk.

Sub Materi I
PENGELOLAAN ELEMEN PENYUSUN AGROEKOSISTEM

1.1 Manajemen Agroekosystem


AMP (Agroecosystems Management Program) dari The Ohio State
University menyatakan bahwa Manajemen Agroekosistem merupakan
integrasi antara ekonomi, lingkungan, dan nilai sosial untuk menghadapi
tantangan dan mendapatkan keuntungan (AMP, 2015). Pernyataan tersebut
juga mendukung dari definisi Manajemen Produksi Tanaman Terpadu yakni
kombinasi antara komponen ekonomi dan ekologi. Dalam proses produksi
tanaman, hasil ialah kombinasi genetik dan lingkungan tersebut. Secara
spesifik dapat digambarkan bahwa masukan tersebut ialah Lokasi budidaya
yang meliputi jenis tanah, struktur tanah, iklim dan cuaca; Perlindungan
tanaman meliputi bagaimana perlindungan secara mekanik, secara biologi dan

kimia; Pemupukan meliputi pupuk organik, pupuk kimia sisntetis (N, P, K)


berfungsi meningkatkan kesuburan tanah; Rotasi tanaman meliputi waktu
rotasi, waktu tanam dan sistem bero; Varietas Benih meliputi spesifik lokasi,
ketahanan hama dan produktifitas; Tanaman pakan ternak meliputi cara
budidaya, teknik perkecambahan dan cara panen.
Dasar dan fungsi agroekosystem ialah untuk mewujudkan kebijakan
pangan nasional yang menyangkut diantaranya sebagai berikut:
Terjaminnya pangan (food availability),
Ketahanan pangan (food security),
Akses pangan (food accessibility),
Kualitas pangan (food quality) dan
Keamanan pangan (food safety).
Disamping itu ada empat hal yang menjadi bagian penting dalam
menjalankan mengevaluasi suatu agroekosystem meliputi; Productivity, yang
berarti bahwa pengelolaan agroekosystem salah satunya harus bisa diukur
dari produksi panen per Ha dibandingkan dengan masukan yang diberikan;
Stability, yang berarti dapat diukur dari konsistensi produksi; Sustainability,
yang berarti kemampuan suatu agroekosyestem dalam menjaga produktifitas
sebagai respon perubahan lingkungan; Equitability, yang menunjukan
bagiamana pada produk dari agroekosystem ialah untuk mengubah
kesejahteraan

petani

dalam

hal

ini

agroekosystem

meningkatkan

kesejahteraan.

1.2 Sistematika Pendekatan Agroekosystem


a. Penentuan Lokasi
Budidaya mengambarkan ketersedian dan kebutuhan untuk
melaksanakan produksi dengan target tinggi, efisien dan murah
selanjutnya dekat pada akses pasar.
b. Data Bio-Fisik, Sosial, dan Ekonomi Demografi
Pada aspek ini yang perlu diketahui ialah kondisi lingkungan biotik
dan abiotik suatu kawasan. Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang
meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik yang mempengaruhi ekosistem

antara lain suhu, sinar matahari, air, tanah, ketinggian, dan angin. Faktor
biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi,
baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan
sebagai

produsen,

hewan

berperan

sebagai

konsumen,

dan

mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.


Pada aspek Sosial dan ekonomi, data demografi menunjukkan
dengan pertumbuhan penduduk 1,49 % pertahun, Indonesia harus mampu
menyediakan pangan untuk 230 juta penduduknya saat ini dan
pertambahan setidaknya 3 juta konsumen baru setiap tahun. Pada saat yang
sama ditengarai sekitar 100.000 hektar lahan pertanian umumnya pangan
terkonversi setiap tahunnya untuk berbagai kepentingan non-pertanian.
Juga telah semakin seriusnya penurunan kesediaan air dan meningkatnya
kompetisi penggunaan air tersebut antara keperluan konsumsi rumah
tangga dan industri dengan keperluan pertanian.
Kondisi ini perlu dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan
pola konsumsi beraneka ragam bagi konsumen baru yang cukup besar,
sekaligus tantangan yang besar karena sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan pangan tersebut semakin terbatas. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang beragam. Keragaman sosial ekonomi tersebut sekaligus
juga menjadi peluang dan potensi untuk mengembangkan pangan yang
beragam. Kebutuhan tersebut tidak hanya dari jenis pangannya tetapi juga
dari pengolahan, tambahan kandungan nutrisi, penampilan, pengemasan,
dan sebagainya.
c. Penentuan dan Pemetaan Kawasan
Dalam praktek budidaya perlu dilakukan Analisis Erosi Tanah,
Analisis Kesesuaian lahan, Analisis Pendapatan, Usaha Tani, Daya
Dukung dan Analisis Agroteknologi agar kemudian tercapai kondisi yang
ideal dan adaptif terhadap perkembangan kondisi lahan dan faktor
budidaya
d. Melakukan Analisis Agroekosistem
Pelaksananan

point

ini

meliputi

Produktivitas,

Pemeratan,

Stabilitas produksi, dan keberlanjutan dengan tujuan sasaran yang akan

dicapai pada proses manajemen agroekosystem tidak salah dengan point


diatas maka akan tercapai Alternatif pemanfaatan yang optimal dan
berwawasan lingkungan.

Sub Materi II
PROSES MANAJEMEN PADA FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN
BIOTIS ABIOTIS LAHAN KERING DAN BASAH
2.1 Lahan Kering
Lahan kering ialah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian
dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan
dari curah hujan (Setiawan, 2008). Selain itu, menurut FAO (2012), lahan
kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari 2/3 dari
evaporasi potensial, dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan
air. Sehingga Rukmana (1995), menyatakan bahwa Pertanian lahan kering
adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi yang ditanami dengan jenis
tanaman umur pendek saja. Pertanian lahan kering meliputi: tegalan/ladang,
kebun campuran (agroforestry), perkebunan, dan sawah tadah hujan.

15200000

Luas Lahan (Ha)

15000000
14800000
14600000
14400000
14200000
14000000
13800000
2008

2009

2010

2011

2012

Lahan Kering Sementara Tidak diusahakan

Gambar 1. Luas Lahan yang Sementara tidak Diusahakan di Indonesia, 20082012 (sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013)
Pertanian,

Adapun ciri-ciri yang terdapat pada lahan kering umumnya adalah


sebagai berikut:
a.

Terbatasnya air

b.

Peka terhadap erosi

c.

Makin menurunnya produktifitas lahan

d.

Tingginya variabilitas kesuburan tanah

e.

Macam species yang ditanam

f.

Adopsi teknologi maju masih rendah

g.

Ketersediaan modal sangat terbatas

h.

Infrastruktur kurang baik

Manajemen Lahan Kering:


1. Alley cropping (Budidaya Lorong)
Adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong
(alley) di antara barisan tanaman pagar yang sebenarnya alley cropping ini
merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim
atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman
pohonan atau semak (Kang et al., 1984) .
Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia berupa lahan kering yang
umumnya tersebar di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk
wilayahnya berombak sampai berbukit dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini
akan

memicu

terjadinya

erosi,

sehingga

mengakibatkan

penurunan

produktivitas lahan.
Keuntungan alley cropping:

Dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk


tanaman lorong

Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi apabila tanaman pagar


ditanam secara rapat menurut garis kontur

2. Mulsa Vertikal
Mulsa pada umumnya disebar secara merata di permukaan tanah.
Tetapi mulsa vertical adalah mulsa sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam
tanah sevara vertical untuk mengisi retak-retak dan rengkah pada penampang
tanah. Mulsa vertical cocok untuk tanah yang sering mengalami rengkah di

musim kemarau, seperti tanah Vertisols (Grumusol) yang banyak dijumpai


pada daerah beriklim kering (World Agroforestry Centre, 2004).

Gambar 2. Tanah Liat yang retak dan rengkah diisi dengan jerami sebagai
mulsa vertical (Sumber: World Agroforestry Centre, 2004

Keuntungan mulsa vertikal:


Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan dapat
memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur
hara dari subsoil untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien.
Saluran bermulsa sangat penting untuk menampung dan meresapkan air aliran
permukaan, sekaligus dapat membatasi persaingan air dan unsur hara oleh
perkembangan akar tanaman pagar ke bidang pertanaman budidaya.
Saluran juga berfungsi untuk mengumpulkan sisa tanaman dan hasil pangkasan
tanaman pagar yang bermanfaat untuk: (1) sebelum mengalami pelapukan sisa
tanaman dapat mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi
permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh
sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu proses pelapukan sisa
tanaman dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan
meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama
proses pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat
dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman

2.2 Lahan Basah


Adalah wilayah-wilayah dimana tanahnya jenuh dengan air, baik yang
bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.

Lahan Basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman


hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem.
Luas lahan basah di Indonesia sekitar 20% dari luas daratannya atau
mencapai 40 juta hektar. Semua tipe ekosistem lahan basah di dunia tercakup
di Indonesia, seperti kawasan laut (marin), muara ( estuarin), rawa (palustrin)
danau (lakustrin) dan sungai (riverin).
Digolongkan ke dalam lahan basah ini diantaranya adalah rawa-rawa
(termasuk rawa bakau), dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah
dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin. Sebagian besar kawasan
lahan basah merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan
dan dikonversi menjadi pertanian, baik sebagai lahan persawahan, lokasi
pertambakan, maupun sebagai wilayah transmigrasi.
1. Sawah Irigasi
Sawah Irigasi Teknis
Sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi,
terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi
dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah.
Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder
dan tersier. Saluran induk, sekunder serta bangunannya dibangun,
dikuasai dan dipelihara oleh pemerintah.
Sawah Irigasi Setengah Teknis
Merupakan sawah berpengairan teknis, akan tetapi pemerintah
hanya menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan
mengukur pemasukan air, sedangkan jaringan selanjutnya tidak diukur
dan dikuasai pemerintah.
Sawah Irigasi Sederhana
Adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana cara
pembagian dan pembuangan airnya belum teratur, walaupun pemerintah
sudah ikut membangun sebagian dari jaringan tersebut (misalnya biaya
membuat bendungannya)

2. Sawah Non-irigasi/ Tadah hujan


Sawah Pasang Surut
Sawah Pasang Surut adalah sawah yang pengairannya
tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air
laut.
Sawah Lebak
Sawah Lebak adalah sawah yang sumber airnya berasal dari
reklamsi rawa bukan pasang surut. Sawah Lebak dapat diartikan juga
sebagai sawah rendahan yang tergenang secara periodik sekurangkurangnya tiga sampai enam bulan secara kumulatif dalam setahun, dan
dapat kering atau lembab tiga bulan secara komulatif dalam setahun.
Lahan lebak yang berpotensi sebagai sawah lebak banyak
dijumpai di seluruh nusantara, tersebar di pulau sumatera dan
Kalimatan yang mempunyai banyak sungai dan berpeluang baik.
Kendala:
Alih fungsi lahan
Alih fungsi lahan pertanian juga berdampak pada hilangnya investasi
yang telah dilakukan untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya.
Berdampak pula pada hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan
air limpahan yang dapat membantu mengurangi banjir, serta mengakibatkan
hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani,
penggilingan padi, serta sektor pedesaan lainnya.
Degradasi lahan
Degradasi lahan basah disebabkan oleh input pupuk anorganik secara
terus-menerus yang mengakibatkan tanah menjadi masam, kemudian disusul
oleh pengolahan tanah yang intensif secara terus-menerus yang mengakibatkan
tanah menjadi lebih padat. Dan penyebab yang terakhir adalah rotasi tanaman
yang jarang dilakukan. Solusi sederhananya adalah aplikasi bahan organik
yang dapat memperbaiki sifat fisik, maupun kimia pada tanah.

Sub Materi III


PROSES DAN MANAJEMEN PRODUKSI TANAMAN
3.1 Proses Budidaya Pertanian Pada Lahan Basah Meliputi:
1. Pembukaan lahan dan pengelolaan air
Pembukaan lahan hutan merupakan awal dari pengelolaan lahan
dan sekaligus merupakan upaya pertama pengelolahan air. Langkah yang
pertama yang dilakukan dalam pembukaan lahan meliputi pembukaan
suatu jalur hutan dimana sebuah parit sempit akan digali sehingga lahan
didrainase secara buatan. anjir dibuat untuk memperluas pengaruh pasang
surut air, yang akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian.
2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah di persawahan lahan basah yang dilakukan
adalah pembersihan lahan dengan cara pengendalian gulma yang dominan
pada lahan rawa.
3. Dari persemaian hingga panen
Pada lahan gambut atau pasang surut umumnya permukaan air
cukup tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk menyebarkan benih
secara langsung di areal pertanaman. Untuk mengatasi hal ini, para petani
lahan basah melakukan persemaian (tanam pindah, transplantasi) yang ada
kalanya dilakukan sampai tiga kali persemaian.
a. Persemaian Taradakan/Tugal (Dry Bed Nursery)
Persemaian dengan cara taradakan/ tugal paling banyak
dilakukan petani. Persemaian ini dilakukan pada permulaan musim
hujan (Oktober-November). Lahan persemaian dipilih pada daerah
yang cukup tinggi agar tidak terndam ketika air pasang datang. Setelah
dibersihkan dari rerumputan, pada lahan itu dibuat lubang dengan tugal
atau alat penumbuk lainnya untuk memasukkan benih pada tanah yang
telah disiapkan. Setelah dua kali pemindahan (transplantasi) tanaman
persemaian itu cukup untuk menanam 1 hektar sawah (Noorsyamsi dan
Hidayat, 1974; Noorsyamsi et al., 1984).

b. Palaian (dapong, raft nursery)


Cara lain untuk melakukan persemaian adalah palaian, suatu
versi Kalimantan dari persemaian dapog yang dilakukan di Filipina.
Benih disiapkan dengan cara memasukkannya ke dalam Ember dan
menutupnya. Ember tersebut ditempatkan pada lokasi yang lembab
(dekat pencucian alat dapur atau di pemandian) atau direndam di
sungai. Benih yang telah tumbuh (akarnya telah keluar) kemudian
disemaikan di palaian yang telah disiapkan sebelumnya. Dibandingkan
dengan bibit taradakan, bibit palaian tumbuh lebih cepat namun
umumnya lebih lemah. Palaian dapat dianggap sebagai persemaian
darurat (Noorsyamsi dan Hidayat, 1974; Noorsyamsi et al, 1984).
c. Ampakan (first transplanted seedlings)
Bibit taradakan dipelihara di persemaian selama 40 hari
kemudian bibit palaian selama 15 hari. Sampai tahap ini, air terus
meninggi, sehingga bibit belum bisa ditanam langsung di sawah. Bibit
dari persemaian taradakan atau palaian itu kemudian dipindahkan
(transplantasi) ke bagian lahan yang lain. Bibit yang pertama
dipindahkan ini disebut ampakan, dilakukan antara bulan Desember
Januari. Alasan untuk dilakukan pemindahan ini terutama untuk
meningkatkan kemampuan tumbuh bibit dan mendorong perbanyakan
anakan tanaman. Luasan areal persemaian ampakan ini sekitar 20 %
dari luas areal pertanaman yang sesungguhnya, atau dengan cara
membagi bibit dari persemaian I menjadi 4 5 bagian. Pada
ampakan ini tanaman dipertahankan sampai berumur 35-45 hari
(Noorsyamsi dan Hidayat, 1974; Noorsyamsi et al., 1984). Selama
tahap persemaian ampakan, lahan lainya dipersiapkan untuk memindah
bibit untuk kedua kalianya. Pada saat ini curah hujan sudah sangat
tinggi dan lahan tempat bibit akan dipindahkan sudah penuh tergenang.
Persemaian lahan untuk memindahkan kedua ini mencangkup
penebasan

vegetasi.

Vegetasi

yang

ditebas

dibiarkan

untuk

terdekomposisi dalam air dan setelah itu dipergunakan dilahan sebagai


sebaghai pupuk hijau. Sepertiga total lahan yang akan ditanami

disiapkan menurut pola berjalur (strips). Persemaian ampakan


dipindahkan pada bulan januari dan memindahkan yang kedua kali
disebut lacakan.
d. Penyimpanan Lahan Untuk Transplanting Terakhir
Sekitar sebulan setelah bibit lacakan ditanam, lahan yang
tersisa disiapkan untuk penanaman terakhir. Pekerjaan ini biasanya
dilkukan pada bulan februari mengikuti hala yang sama sebagaimana
untuk transpalanting terdahulu.
e. Penanaman Dilahan Utama
Permukaan air dilahan sawah cukup rendah untuk penanaman
terakhir. Persemaian lacakan yang kini mempunyai anakan melimpah
digali dan ditanam, setelah bagaian atas dan akarnya dipangkas. Tak
ada batasan mengenai jarak tanam yang diperlukan. Metoda yang
sering dikenal senagai sedepa lima. Lubnang tanam di Tanami
dengan 2-3 bibit/lubang tergantung varietas. Pada pertanian lahan
basah ini kecuali pupuk hijau tak ada pupuk lain digunakan.
Permukaan tinggi selama pertumbuhan vegetative dari tanaman padi
dan pengruh penutupan (shading) dari verietas tradisiomal tinggi.
Karena itu populasi gulama relative sedikit dan taj dilakukan
penyiangan gulma.
f. Panen
Panen biasanya dilakukan pada bulan agustus-september
dengan memotong tangkal pada dasarnya dengan alat ani-ani
(ranggaman). Sabit tidak umum digunakan didaerah ini. Padi itu
dikumpulkan dan dirontokkan dengan kaki. Dibersihkan dengan
gumbaan, sebuah mesin penampi yang dioperasikan dengan tangan.
Padi kemudian dijemur sebelum disimpan di limbung kecil.
3.2 Proses Budidaya pada Lahan kering
Secara umum, proses budidaya pada lahan kering tidak jauh berbeda
dengan teknik budidaya di lahan basah, yakni sebagai berikut:

1. Pemilihan bibit atau benih


Bibit atau benih merupakan salah satu persyaratan teknik budidaya
yang menentukan keberhasilan usahatani, bibit atau benih yang cocok
digunakan pada budidaya dilahan kering yaitu benih atau bibit yang sudah
cukup tua selain itu pilih bibit atau benih yang secara genetis memiliki
ketahan terhadap cekaman kekeringan.
2. Persiapan lahan
Lahan kering/tegalan perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan
tanah dilakukan secara sempurna, yakni diolah sedalam sekitar 30 cm,
digemburkan, dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibersihkan. dibuat
system Bedengan dan di bagian luar bedengan dibuat guludan keliling
untuk mengurangi tingkat erosi pada lahan nantinya. Setelah pembuatan
bedengan selesai, taburkan pupuk kandang (sebagai pupuk dasar) untuk
menambah serapan unsure hara pada lahan kering .
3. Penanaman
Penanaman sebaiknya dilakukan setelah tujuh hari pemberian
pupuk kandang, Teknis penanaman sama dengan teknik penanaman yang
dilakukan pada umumnya yaitu dengan membenamkan 2/3 bagian bibit ke
dalam tanah. Penyiraman tanah perlu dilakukan sebelum maupun sesudah
tanam.
4. Pemupukan
Pemupukan perlu dilakukan untuk mengembalikan dan menambah
asupan unsure hara yang dibutuhkan oleh tanaman pada lahan. pada
umumnya lahan kering memiliki kandungan unsure hara yang kurang
sehingga perlu ditambahkan lagi pasokan hara melalui system pemupukan.
5. Penyiraman dan Penyiangan
Untuk penyiraman pada lahan kering pada awal tanam dilakukan 2
(dua) kali yakni pagi dan sore hari, sedangkan sesudah umur
tersebut penyiraman cukup dilakukan sekali sehari (sebaiknya dilakukan
pada pagi hari. Cara penyiraman lainnya yakni cara leb (memasukkan
air ke bedengan hingga merata). Apabila digunakan cara ini (leb),
sebaiknya

dilakukan

setelah

tanaman

berumur

lebih

dari

10

hari. Pengairan secara leb dapat dilakukan setiap 3 -4 hari sekali.


Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma di sekitar tanaman.

Sub Materi IV
KOMPONEN DALAM MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
4.1 Agroekosistem
Agroekosistem ialah ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan akan pangan dan atau sandang (Conway, 1985). Pengembangan
sumber daya alam harus didekati secara komprehensif sehingga harus
menekankan pada hubungan satu sama lain antara pengaruh suatu
sumberdaya alam terhadap sumberdaya lain (Sorianegara, 1977).
4.2 Komponen Penting Agroekosistem
Terdapat 4 komponen penting dalam manajemen agroekosistem. Ke
empat komponen tersebut ialah; 1) Produktivitas (Productivity), 2) Stabilitas
(Stability), 3) Keberlanjutan (Sustainability), 4) Kemerataan (Equitability).
1. Produktivitas (Productivity) merupakan produksi atau pendapatan bersih
yang diperoleh setiap satuan sumberdaya

2. Stabilitas (Stability) merupakan Kemantapan produktivitas akibat


gangguan kecil yang disebabkan oleh gejolak normal setiap waktu tertentu
seperti iklim dan harga.

3. Keberlanjutan

(Sustainability)

merupakan

kemampuan

sistem

mempertahankan produktivitas dalam jangka waktu panjang meskipun


mengalami goncangan seperti banjir, serangan hama atau erosi.

4. Kemerataan (Equitability) merupakan menggambarkan sejauh mana hasil


suatu agroekosistem terbagi diantara orang-orang dalam suatu sistem.

Kriteria yang digunakan dalam karakteristik agroekosistem :


1. Ekosistem
2. Ekonomi
3. Sosial
4. Teknologi konservasi yang sesuai

4.3 Teknik Pengumpulan Data


1. Sumber Data
Berupa data primer (wawancara) dan data sekunder (pustaka, peta,
laporan, data cuaca, dll).
2. Jenis Data
Berupa data biofisik (iklim, hidrologi, topografi, vegetasi, sifat
tanah) dan sosial ekonomi.
a. Data biofisik
1) Iklim

: curah hujan, hari hujan, dan suhu.

2) Hidrologi

: sistem irigasi.

3) Topografi

: kemiringan dan panjang lereng.

4) Vegetasi

: tanaman budidaya dan non budidaya (didalam plot

utama & plot pendukung).


5) Sifat tanah

: tekstur, struktur, kedalaman, permeabilitas

b. Data Sosial Ekonomi


1) Kependudukan (demografi & wilayah pertanian).
2) Latar belakang pendidikan & engalaman berusaha tani.
3) Kelembagaan dan persepsi petani tentang teknologi konservasi.
4) Produktivitas tenaga kerja, status lahan dan luas garapan.
5) Pemahaman petani tentang pola usaha tani.
6) Biaya input (teknologi,saprodi, tenaker) dan output (produksi).
7) Rata-rata penggunaan sarana produksi dan tenaga kerja.
8) Rata-rata jenis tanaman pada lahan pengamatan

Contoh pola pergiliran tanaman dan penggunaan sarana prasarana


pertanian

Contoh penggunaan sarana

Contoh total produksi, konsumsi dan penjualan usaha tani

Contoh penerimaan, biaya dan pendapatan usaha tani

Sub Materi V
LER (Land Equivalent Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan)
Multiple cropping merupakan salah satu bentuk dari program intensifikasi
pertanian alternatif yang tepat untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal.
Keuntungan pola tanam Multiple cropping selain diperoleh frekuensi panen lebih
dari satu kali dalam setahun, juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah. Pola
tanam Multiple cropping dalam implementasinya harus dipilih dua atau lebih
tanaman yang cocok sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien
mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif sekecil-kecilnya (Prajitno,
1988 dalam Safuan et al., 2008). Francis (1986) menyatakan bahwa tingkat
produktivitas tanaman Multiple cropping lebih tinggi dengan keuntungan panen
antara 20 - 60% dibandingkan pola tanam monokultur. Untuk mengevaluasi
keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam polikultur dengan
monokultur dapat dihitung dari LER (Land Equivalent Ratio) atau Nilai

Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai NKL ini menggambarkan suatu areal yang
dibutuhkan untuk total produksi monokultur yang setara dengan satu ha produksi
Multiple cropping.
Prasetyo et al., (1997) menyatakan bahwa Multiple cropping tanaman
pangan

di

lahan

tanaman

tahunan

yang

belum

menghasilkan

perlu

dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan tanaman pangan. Pada kondisi


ini lahan masih terbuka dan pemanfaatan cahaya menjadi sangat tidak efisien
karena energi cahaya matahari masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Selanjutnya dikatakan oleh Prasetyo (2003) bahwa system tanam Multiple
cropping merupakan bagian integral darikegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi
yangbertujuan untuk melipat gandakan hasil pangan, dan memecahkan masalah
kerusakan sumber daya alam atau memperbaiki lingkungan hidup. Multiple
cropping atau sistem tanam ganda merupakan usaha petanian untuk mendapatkan
hasil panen lebih dari satu kali dari jenis atau beberapa jenis pada sebidang tanah
yang sama dalam satu tahun. Ada beberapa jenis multiple cropping, seperti mixed
cropping, relay planting, intercropping dan lain-lain. Intercropping (tumpan sari)
merupakan salah satu jenis multiple cropping yang paling umum dan sering
dilakukan oleh petani di Indonesia. Biasanya pada system tumpangsari, hasil dari
masing-masing jenis tanaman akan berkurang apabila dibandingkan dengan
system monokultur, tetapi hasil secara keseluruhan lebih tinggi.
Multiple cropping merupakan system budidaya tanaman yang dapat
meningkatkan produksi lahan. Peningkatan ini dapat diukur dengan besaran yaitu
LER (Land Equivalent Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan). Sebagai
contoh nilai NKL atau LER = 1.8; artinya bahwa untuk mendapatkan hasil atau
produksi yang sama dengan 1 hektar diperlukan 1.8 hektar pertanaman secara
monokultur.
HA 1
LER/NKL =

HB 1
+

HA 2

HB 2

HA1= Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari.


HB1= Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpangsari.
HA2= Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur.
HB2= Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur.

Ex. Komoditas: Tanaman Buncis dan cabai


1. Multiple Cropping
No

Jenis tanaman

Cabai

Buncis

Luas Lahan

Dalam kg
60 Kg

200 m2

150 Kg

2. Monokultur
No

Jenis tanaman

Cabai

Buncis

Luas Lahan
200 m

Dalam kg
80 kg

220 Kg

Jadi, LER/NKL
HA1 = 60
HB1 = 150
HA2 = 80
HB2 = 220

HA 1
LER/NKL =

HB 1
+

HA 2

HB 2

60
=

150
+

80

220

0.75 + 0.68

1.43

Nilai LER/NKL dari 143 menunjukkan bahwa 43 persen hasil keuntungan


diperoleh ketika ditanam sebagai tumpang sari dibandingkan bila sebagai ditanam
monokultur. Dengan kata lain tanaman harus ditanam pada luasan lahan 1,43 ha
dengan system monokultue untuk mendapatkan tingkat hasil yang sama seperti
yang diperoleh dari luasan lahan 1 ha dengan system tanaman tumpang sari.

TUGAS PRAKTIKUM
RINCIAN TUGAS
Pada praktikum ini mahasiswa dibadi kelompok untuk menyusun sebuah
rencangan kegiatan manajemen agroekosistem dengan melaksanakannya di lokasi
tempat tinggal atau lokasi yang secara historis dikenal.

Posisikan anda dan

kelompok sebagai pengembang suatu wilayah untuk praktek produksi tanaman.


Pahami semua aspek yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
melaului manajeman agroekosystem.

PETUNJUK PENULISAN
Halaman sampul
Daftar isi
Ringkasan
Bab 1 Pendahuluan
Uraikan analisis situasi dimana anda akan melaksanakan kegiatan tersebut.
Bab 2 Problematikan wilayah
Rincikan atau diskripsikan permasalahan atau Kendal-kendala
dalam praktek budidaya di wilayah tersebut (jika mungkin analisis SWOT
wilayah tempat tinggal dan spesifik pada tinjauan Analisis Erosi Tanah,
Analisis Kesesuaian lahan, Analisis Pendapatan, Usaha Tani, Daya
Dukung dan Analisis Agroteknologi)
Bab 3 Pelaksanan atau praktek budidaya
Analisis kesesuian lokasi untuk tanaman yang akan ditanam berdasar
komponen biotic dan abiotik suatu kawasan.
Sertakan metode yang akan anda gunakan untuk paktek budidaya dan
kemukanan alasan mengapa anda mengunakan metode tersebut.
Bila ada kearifan local atau praktek budidaya yang anda anggap Khas
dan Spesifik ceritakan dan jelaskan.
Bab 4 Analisis Usahatani
Susun secara ringkas usahatani di wilayah yang anda kembangkan
Bab 5 Kesimpulan
Simpulkan visibelitas proses produksi tersebut

PRESENTASI
Kelompok Mahasiswa menyampaikan tulisanya dalam bentuk prsentasi
setelah diberikan tugas minggu sebelumnya dengan melakukan proses manajeman
produksi tanaman di wilayah tempat tinggalnya (memaparkan dengan jelas proses
manajemen agroekositem sehingga memunculkan output berupa penigkatan
produksi, stabilitas produksi, keberlanjutan lingkungan dan pemeratan produk).

Materi 2.
PENJELASAN KUISIONER UNTUK MENGETAHUI MEKANISME
MANAJEMEN AGROEKOSYSTEM
Mekanisme wawancara mengunakan kuisioner yang sudah disiapkan
bertujuan untuk mengetahui sejauhmana suatu lingkungan yang sudah dilakukan
manajemen memberikan hasil dan bagaimana proses manajemen lingkungan
tersebut.
A. INDIKATOR PRODUKTIVITAS
Nama petani :
Luas lahan yang dikelola dalam satu hamparan :
Jenis tanah :
Isilah pertanyaan di bawah ini berdasarkan pengamatan di lapangan atau
wawancara dengan petani!
1. Sistem tanam yang digunakan:
a. Monokultur
b. Tumpangsari
c. Agroforestry

2. Apabila monokultur, isilah table di bawah ini:


No

Uraian

1.
2.

Varietas
Asal benih (produksi sendiri atau beli,
bersertifikat?)
Jarak tanam
Sistem tanam (jajar legowo, SRI, konvensional)
(khusus padi)
Jumlah benih/ha
Jenis pupuk yang digunakan

3.
4.
5.
6.

Keterangan

7.
8.
9.
10.
11.
12.

a. Pupuk organic (Nama kg/ha)


b. Pupuk N (Nama kg/ha)
c. Pupuk K (Nama kg/ha)
Umur panen (hst)
Cara panen
Hasil panen per ha
Harga jual
Harga pasaran rata-rata
Keuntungan petani (Rp/ha)

3. Apabila tumpangsari, isilah tabel di bawah ini!


No
1.
2.

Uraian

6.

Varietas
Asal benih
(produksi sendiri
atau beli,
bersertifikat?)
Jarak tanam
Jumlah benih/ha
Jenis pupuk yang
digunakan
a. Pupuk organic
(Nama kg/ha)
b. Pupuk N (Nama
kg/ha)
c. Pupuk K (Nama
kg/ha)
Umur panen (hst)

7.

Produksi

3.
4.
5.

Jenis Komoditas

4. Apabila agroforestri, isilah table di bawah ini!


No
1.
2.
3.
4.

Jenis Komoditas

Produksi

5. Sistem pengairan yang digunakan:


a. Tadah hujan

b. Irigasi teknis

c. Campuran

6. Apabila dalam satu tahun musim tanam melakukan rotasi tanaman, isilah
dengan mengarsir dan mengisi jenis tanaman yang ditanam.

Rotasi tanaman (jenis tanaman dan bulan)


Bulan
2
3
4
5
6
7
8
9

10

11

12

I
Komoditas
II
Komoditas
III
Komoditas
+ produktifitas
7. Masalah-masalah utama yang dihadapi (lingkari yang terdapat dilapang dan
isilah keterangan sebagai tingkat masalah - urutkan dari masalah yang
dianggap paling serius dan berdampak paling besar menggagalkan
produksi/sulit ditangani)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Uraian

Keterangan

Kekurangan modal
Mahalnya tenaga kerja
Langkanya ketersediaan pupuk (harga? Ketepatan
waktu)
Tingginya serangan Hama
Tingginya serangan Penyakit
Rendahnya harga jual
Rendahnya kesuburan tanah
Air terkena limbah
Bencana alam (longsor, banjir, dll)

8. Peluang untuk penanaman baru (berdasarkan kondisi lahan iklim, dan pasar):
a. pola tanam (tumpangsari/monokultur) b. Jenis komoditas
9. Lengkapi dengan dokumentasi!

B. INDIKATOR STABILITAS & KEBERLANJUTAN (STABILITY&


SUSTAINABILITY)
1. Kecukupan dan ketersediaan pangan dan gizi seimbang:
tersedia di tempat itu (3) dapat diakses dengan mudah (3) bisa
diusahakan (3)
2. Pangan yang diproduksi di dalam masyarakat:
13-25% (3)

12% (1)

26-40%

atau lebih (5) Diperoleh dari produsen pangan local di luar masyarakat :
40% (3)

25% (1)

55%

atau lebih (5) Tumbuh secara organik:


50% (3)

25% (1)

65%

atau lebih (5) Dari tanaman indigenous/asli:


50% (3)

25% (1)

65% atau

lebih (5)
3. Produksi surplus pangan:
dalam masyarakat (12)
dalam wilayah (6)
tidak ada surplus (0)
pangan harus dibawa dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan gizi

(-1)
4. Penggunaan rumah kaca untuk produksi pangan:
beberapa (3)

besar (6)

sedikit (2)

tidak ada (0)


tidak perlu-produksi pangan di lapangan sudah cukup (4)

5. Kelebihan pangan:
disimpan untuk penggunaan masa depan (1) dijual (1) didermakan (1)
diberikan untuk makanan ternak (1) dikomposkan (1)
dibuang seperti sampah (-3)

6. Penggunaan

pestisida,

herbsida,

pupuk

kima

dalam

produksi

pangan/pertanian:
biasa digunakan (-3) beberapa (-1) secara minimal (1) tidak pernah

(6)

7. Penggunaan benih dalam produksi makanan:


benih hibrida (-2)

benih diserbukkan terbuka (6)

SKORING
50+

menunjukkan kemajuan sempurna kea rah keberlanjutan

25-49

menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan

0-24

menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan

C. INDIKATOR KEMERATAAN
1.

Pendapatan petani setiap musim tanam :


O < Rp 1.000.000

2.

O > Rp 5.000.000

Sifat kepemilikan lahan petani :


O Lahan sendiri

3.

O Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000

O Lahan orang lain

Luas lahan yang dimiliki setiap petani :


a. < 0,25 ha

b. 0,25 1 ha

c. > 1 ha

O Lahan sewa

Anda mungkin juga menyukai