Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.1
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe 1
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS tipe 2 biasanya terjadi
pada decade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. 1,

2,7,9

Infeksi genital HSV-2 pada anak-anak dapat diperoleh dari transmisi ibu yang
terinfeksi. Penelitian kesehatan nasional terbaru menunjukkan antobodi terhadap HSV-2
di Amerika Serikat sebanyak 45% pada kulit hitam, 22% pada Meksiko-Amerika, dan
17% pada kulit putih.7
Sekitar 30% - 95% orang dewasa ditemukan seropositif terhadap virus herpes
simpleks tipe 1. , pada usia 20-25 tahun, 80% orang dewasa di Amerika Serikat adalah
seropositif, dan banyak negara lain Eropa, Afrika, FarEast, prevalensi antibodi terhadap
HSV-1 meningkat 95% di usia 20-40 tahun. Seroprevalensi untuk virus herpes simpleks
tipe 2 adalah rendah, dan terjadi pada usia dengan aktivitas seksual. Di Skandinavia,
laju infeksi oleh HSV-2 meningkat dari 2% pada usia 15 menjadi 25% di pada usia 30
tahun. 2,4% orang dewasa terinfeksi HSV-2 pada masa decade III mereka. Di Amerika
Serikat, 25% orang dewasa terinfeksi dengan HSV-2. Pada pasien penyakit transmisi
seksual, laju kasus infeksi sekitar 30% dan 50%. Di Sahara, Afrika, laju infeksi antara
60% dan 95%. Seroprevalensi lebih tinggi pada orang dengan infeksi HIV.3,8 Di
Amerika Serikat,HSV-1 merupakan penyebab penting pada herpes genital, dan
kasusnya meningkat pada usia pelajar.6
Pada infeksi HSV-1, sekitar 50% penderita yang terinfeksi memberikan riwayat
lesi pada orolabial.3 Herpes orolabial yang rekurens juga meningkat 20% pada usia
dewasa.9 Sedangkan pada HSV-2, 20% penderita yang terinfeksi adalah asimptomatis

(infeksi laten), 20% terkena herpes genital yang rekurens, dan 60% memiliki lesi klinis.
Sebagian besar penderita dengan infeksi HSV-2 adalah asimtomatis, yaitu sekitar 80%.3
VHS tipe 1 dan 2 merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA.
Pembagian tipe 1 dan 2 berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).

Virus herpes simpleks tipe 1

menginfeksi daerah wajah, sedangan virus herpes simleks tipe 2 adalah yang
menyerang daerah genital.11
Kedua tipe tersebut dapat diperoleh melalui kontak langsung, droplet, ataupun
cairan tubuh yang terinfeksi yang masuk melalui kulit atau mukosa membran, maka
terjadilah infeksi primer dari herpes simpleks. Sedangkan infeksi laten terjadi ketika
virus tersebut terus berada dalam ganglia saraf sensorik yang awalnya telah diserang
oleh virus herpes simpleks pda infeksi primer. Pada infeksi laten, virus dalam ganglia
tidak menghasilkan protein virus sehingga tidak terdeteksi oleh sistem imunitas tubuh.
Dari infeksi laten ini, virus dapat berjalan ke saraf perifer, bereplikasi di kulit atau
membrane mukosa, sehingga dapat menyebabkan infeksi rekurens. Virus ini dapat
ditemukan pada saliva dan cairan vagina dari orang yang asimptomatik. Infeksi primer
tipe 1 sering terjadi pada bayi dan anak-anak, yang lebih sering subklinis. Sedangkan
tipe 2 menyerang setelah pubertas, dan sering melalui transmisi seksual. 9, 11, 12 HSV-2
juga dapat menyebar melalui genital ibu kepada bayinya yang baru lahir.3

Gambar 1 . Patogenesis Human Herpes Virus3

Transmisi HSV dapat terjadi selama dua periode tanpa gejala dan gejala dari
pelepasan virus . HSV-1 menyebar terutama melalui kontak langsung lewat air liur atau

sekresi yang terinfeksi lainnya. HSV-2 menyebar terutama melalui hubungan seksual.
Virus akan bereplikasi di lokasi permukaan (muccocutaneous), perjalanannya melewati
akson retrograd ke dorsal root ganglia sampai reaktivasi. Pada fase laten
memungkinkan virus ada dalam keadaan relatif tidak menular dari berbagai periode
waktu dalam inangnya. HSV-1 terbukti dapat menyebabkan akumulasi intraseluler
molekul CD1d dalam anitigen presenting cell (APC), memberikan penjelasan yang
mungkin bagaimana virus ini menghindar dan menetapkan fase laten. molekul CD1d
diangkut ke permukaan, kemudian lipid merangsang natural killer T (antiviral host
defense), sehingga memungkinkan terjadi kekebalan tubuh4
Kemudian, virus dapat diaktifkan baik secara spontan atau dengan stimulus yang
tepat seperti stres, sinar UV, demam, kerusakan jaringan atau imunosupresi. Biasanya,
reaktivasi akan menghasilkan lesi vesikular lokal pada kulit keterlibatan organ tersebar
luas. Namun dapat terjadi jika replikasi virus tidak terbatas pada permukaan mukokutan
(immunocompromised host). Infeksi primer menunjukkan infeksi HSV awal pada
individu

tanpa

pra-antibodi

terhadap

HSV-1

atau

HSV-2.

Infeksi

rekuren

menggambarkan reaktivasi HSV setelah pembentukan laten. Infeksi awal non primer
mengacu pada infeksi dengan satu jenis HSV pada individu yang sudah memiliki
antibodi yang sudah ada dengan jenis HSV lainnya.4
Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens
lebih jarang. Pada orang dengan gangguan imunitas dapat menyebabakan infeksi
menyebar ke organ dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan
meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.1

BAB II
DIAGNOSIS

A. Anamnesis & Gejala Klinis


Anamnesis yang perlu ditanyakan dalam menegakkan diagnosis herpes simpleks
virus ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien, seperti umur, kapan keluhan
tersebut mulai muncul, dimana lokasi awalnya, apakah mengalami penyebaran atau
tidak, apakah disertai rasa nyeri, panas atau terbakar,

apakah ada riwayat kontak

seksual (kissing dan oral sex) dengan penderita yang memiliki penyakit seperti ini
sebelumnya, apakah ada riwayat keluhan yang sama sebelumnya dan apakah telah
mendapat terapi sebelumnya. Semua hal tersebut dibutuhkan untuk menyingkirkan
dignosis banding dari herpes simpleks.2
Gejala klinis HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat, yaitu:
a. Infeksi Primer
Tempat predileksi HSV tipe 1 didaerah pinggang ke atas terutama didaerah
mulut dan hidung,biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi
secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada
orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai
penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II mempunyai tempat
predileksi didaerah pinggang ke bawah, terutama didaerah genital juga dapat
menyebabkan herpes meningitis dan infeksi meningitis.1
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya hubungan seksual seperti
oro-genital, sehingga herpes yang terdapat didaerah genital kadang-kadang
disebabkan oleh HSV tipe I sedangkan didaerah mulut dan rongga mulut dapat
disebabkan oleh HSV II.1
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan
sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia dan dapat
ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.1
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok diatas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang
dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi.
Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang
tidak jelas. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi pada
serviks.1
b. Fase Laten

Fase laten ini berarti penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV
dapat ditemukan keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
c. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik
(demam,infeksi, kurang tidur,hubungan seksual dan sebagainya).
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal
sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini
dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat yang lain/disekitarnya
(non loco).
1. Herpes orolabial: labialis herpes (misalnya, cold sores, fever blisters) paling
sering dikaitkan dengan infeksi HSV-1. Lesi oral disebabkan oleh HSV-2 telah di
identifikasi, biasanya sekunder dari kontak orogenital. Infeksi HSV-1 primer
seringkali terjadi pada masa kanak-kanak dan biasanya tanpa gejala.

Gambar 2. Orolabial Herpes simplex3

Infeksi primer: Gejala-gejala herpes labialis mungkin termasuk demam


prodrom, diikuti dengan sakit tenggorokan dan mulut dan submandibular atau
limfadenopati servikal. Pada anak-anak, gingivostomatitis dan odynophagia
juga diamati. Vesikel yang nyeri terbentuk pada bibir, gingiva, langit-langit
mulut, atau lidah dan sering dikaitkan dengan eritema dan edema. Lesi

memborok dan menyembuhkan dalam 2-3 minggu.


Rekurensi: Penyakit ini masih aktif .Reaktivasi HSV-1 di ganglia sensoris
trigeminal menyebabkan kekambuhan di wajah dan mukosa oral, bibir, dan

okular. Nyeri, rasa terbakar, gatal, atau paresthesia biasanya mendahului lesi
vesikuler berulang yang akhirnya memborok atau membentuk krusta. Lesi
yang paling sering terjadi di perbatasan Vermillion, dan gejala berulang yang
tidak diobati berlangsung sekitar 1 minggu. Lesi eritema multiforme berulang
berhubungan dengan orolabial-1 recurrences HSV. Sebuah studi baru-baru ini
melaporkan bahwa shedding virus HSV-1 memiliki durasi rata-rata 48-60 jam
dari onset gejala herpes labialis. Mereka tidak mendeteksi virus lebih dari 96
jam dari timbulnya gejala.
2. Herpes genitalis: HSV-2 telah diidentifikasi sebagai penyebab paling umum dari
herpes genital. Namun, HSV-1 telah diidentifikasi semakin meningkat sebagai
agen penyebab pada 30% kasus infeksi herpes genital primer dari dua
kemungkinan kontak orogenital. Infeksi herpes genital berulang hampir secara
eksklusif disebabkan oleh HSV-2.

Gambar 3. Herpes Genital3

Infeksi primer: herpes genital primer terjadi dalam waktu 2 hari sampai 2
minggu setelah terpapar virus dan memiliki manifestasi klinis yang paling
parah. Gejala dari episode primer biasanya berlangsung 2-3 minggu.

Pada pria, lesi vesikuler yang nyeri, erythematous, yang membentuk ulkus
paling sering terjadi pada penis, tetapi mereka juga dapat terjadi di anus dan
perineum. Pada wanita, herpes genital primer terlihat sebagai vesikular /ulkus
lesi pada serviks dan vesikel yang nyeri pada genitalia eksternal bilateral. Ia

juga dapat terjadi pada vagina, perineum, bokong, dan kaki pada distribusi
saraf sakral. Gejala yang menyertai termasuk demam, malaise, edema,
limfadenopati inguinal, disuria, dan cairan vagina, atau penis.

Gambar 4. Primary herpetic vulvitis3

Wanita juga bias mendapat radikulopati lumbosakral, dan sebanyak 25% dari
wanita dengan infeksi primer HSV-2 mungkin terkena associated aseptik
meningitis.

Rekurensi: Setelah infeksi primer, virus akan laten selama berbulan-bulan


sampai bertahun-tahun sampai rekurensinya kembali dipicu. Reaktivasi HSV-2
di ganglia lumbosakral menyebabkan kekambuhan di bawah pinggang.
Outbreak klinis, biasanya lebih ringan dan sering didahului oleh rasa sakit,

gatal, kesemutan terbakar, atau paresthesia yang prodormal.


Orang yang terkena HSV dan infeksi primer asimtomatik dapat mengalami
sebuah episode klinis awal herpes genital dapat bulan hingga tahunan setelah

infeksi. Episode tidak begitu separah seperti wabah utama sejati.


Lebih dari setengah individu yang seropositif HSV-2 tidak memiliki wabah
klinis yang jelas. Namun, orang-orang ini masih memiliki episode shedding
virus dan dapat menularkan virus ke pasangan seks mereka.

3. Herpes whitlow, wabah vesikel di tangan dan digiti, paling sering disebabkan oleh
infeksi HSV-1. Ini biasanya terjadi pada anak-anak yang menghisap jempol dan,
sebelum meluasnya penggunaan sarung tangan, terhadap pekerja kesehatan gigi

dan perawatan medis. Terjadinya herpes whitlow karena HSV-2 semakin dikenal,
mungkin karena kontak yang digiti-genital.

Gambar 5. Herpetic Whitlow, classic group blister3

4. Herpes gladiatorum disebabkan oleh HSV-1 dan dilihat sebagai erupsi papular
atau vesikel pada torsos atlet dalam olahraga yang melibatkan kontak fisik dekat
(gulat klasik).

Gambar 6. Herpes gladiatorum , lesi HSV tipe 1 di leher3

Infeksi HSV disseminasi (yang menyebar) dapat terjadi pada wanita yang
sedang hamil dan individu immunocompromised. Pasien-pasien ini

mungkin diketemukan dengan tanda-tanda dan gejala HSV atipikal, dan


kondisi yang mungkin sulit untuk mendiagnosa.
5. HSV Neonatus
Infeksi HSV-2 pada kehamilan dapat memiliki pengaruh yang sangat
buruk pada janin. HSV neonatal biasanya bermanifestasi dalam 2 minggu
pertama kehidupan dari batasan klinis lokal kulit, mukosa, atau infeksi

mata sehingga ensefalitis, pneumonitis, penyebaran infeksi, dan kematian.


Kebanyakan wanita yang melahirkan bayi dengan HSV neonatal tidak
memiliki riwayat, tanda, atau gejala infeksi HSV sebelumnya. Risiko
penularan tertinggi pada wanita hamil yang seronegatif untuk kedua HSV
1 dan HSV-2 dan mendapatkan infeksi HSV baru pada trimester ketiga

kehamilan.
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko penularan dari ibu ke bayi
termasuk jenis infeksi kelamin pada saat kelahiran (risiko lebih tinggi
dengan infeksi primer aktif), lesi aktif, ketuban pecah lama, kelahiran
pervaginam, dan kurangnya antibodi transplasenta. Angka kematian
neonatal sangat tinggi (> 80%) jika tidak diobati.

Gambar 7. Herpes Neonatus 8

B. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Tzanck
Tes positif akan menunjukkan virus herpes keratinosit dengan inti baloon
dan sel raksasa berinti dengan perubahan serupa.

Gambar 8. Tes Tzanck Positif untuk Herpes Simpleks Virus2

b.

Biopsy

Biopsi lesi herpes menunjukkan fitur patognomonik , tetapi biasanya


dilakukan hanya untuk menyelidiki lesi yang secara klinis atipikal . Biopsi
tidak membedakan HSV - 1 dari HSV - 2 atau herpes virus zooster ( HZV )
5

C. Diagnosis Banding
Herpes simpleks didaerah mulut dan hidung harus di bedakan dengan
Herpangina. Pada Herpangina, lesi berada di bagian posterior mulut (palatum molle,
dan tonsil) . Sedangkan untuk herpes di daerah genitalia harus dibedakan ulkus molle
dan limfogranuloma venerum. Pada ulkus molle,umemiliki ulserasi yang dalam. Pada
Limfogranuloma venerum,ulserasi tidak nyeri.
D. Komplikasi
1. Infeksi bakteri dan fungi
Balanitis dapat terjadi sebagai hasil dari infeksi bakteri pada ulkus herpes
Kandidiasis vaginitis, ditemukan sebanyak 10 % pada wanita dengan herpes
genital primer, sebagian ditemukan pada wanita dengan riwayat diabetes
2. Infeksi okular. Jarang terjadi pada anak-anak sebagai hasil dari autoinokulasI selama
infeksi HSV orofangial asimptomatis

10

3. Infeksi viseral, biasanya terjadi karena viremia .Hal ini dapat terjadi saat infeksi
primer

yang

asimptomatis.

Hal

ini

berhubungan

dengan

leukopenia,

trombositopenia dan DIC


4. Komplikasi sistem syaraf pusat
Aseptic meningitis. Kondisi akut biasanya dengan limfositik jinak
Ganglionitis dan myelitis. Infeksi HSV pada genital dan anorektal bisa
berkomplikasi kepada retensi urin, neuralgia sakral dan anastesi sakral7
BAB III
PENATALAKSANAAN

A. Penatalaksanaan
1. PENCEGAHAN
Kekambuhan herpes labialis dapat dihindari dengan sederhana, terutama
ketika ada pemicu spesifik. Banyak kasus yang dipicu oleh sengatan matahari atau
paparan ultraviolet secara intens tanpa rasa terbakar. Penggunaan pomade bibir dan
tabir surya SPF 30 akan mencegah serangan berulang yang lebih besar, bahkan tanpa
pengobatan sistemik.5
Menghindari kontak langsung dari lesi aktif dalam transmisi selama infeksi
asimtomatik HSV. Namun ada, transmisi potensial selama periode asimtomatik
pelepasan virus, terutama di herpes genital. Sampai dengan 70 % kasus dapat
ditularkan dengan cara ini, oleh karena itu, konseling tentang pencegahan sangat
penting. Ini juga merupakan argumen yang baik untuk terapi antiviral sistemik
suppresive kronis, terutama pada infeksi 12 bulan pertama setelah infeksi asimtomatik
tertinggi.5
2. ANTIVIRUS
Banyak infeksi HSV tidak memerlukan pengobatan spesifik. Lesi bersih dan
kering sementara bisa sembuh sendiri. Pengobatan untuk infeksi yang berlarut-larut,
sangat gejala, atau rumit.
Acyclovir, guanosin siklik analog, memiliki indeks terapeutik yang sangat
menguntungkan karena aktivasi preferensial dalam sel yang terinfeksi dan
penghambatan prefential dari polimerase DNA virus. Terfosforilasi aktif, dan
memerlukan timidin kinase virus (TK) untuk phosporylation awal. Acylovir

11

menghambat HSV-1 dan HSV2 replikasi oleh 50 % konsentrasi 0,1 dan 0,3 ug/ml
(0,01-9,9 ug/ml), masing-masing tetapi konsentrasi beracun >30 ug/ml. Setiap strain
yang membutuhkan lebih dari 3 ug/ml asiklovir menjadi terhambat dan relative
resisten. Indikasi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk keratitis
herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, herpes labialis) dan
infeksi VZV (varicella dan herpes zoster).
Dosis dewasa pengobatan infeksi herpes simpleks : 200 mg, 5 kali sehari
dengan interval 4 jam, selama 5 hari, tetapi pada beberapa infeksi awal pengobatan
dapat diperpanjang. Pada pasien immuno-compromised (misal : setelah transplantasi
sumsum) atau pasien dengan gangguan absorpsi usus, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 400 mg. Pemberian obat harus diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya
infeksi.
Anak-anak usia lebih dari 2 tahun : sama dengan dosis dewasa
Anak-anak usia kurang dari 2 tahun : diberikan setengah dosis dewasa untuk
pengobatan herpes simpleks dan profilaksis herpes simpleks.
Mekanisme kerja ,pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalisis oleh
timidin kinase pada sel hospes yang terinfeksi oleh virus herpleks atau varicella zoster
atau oleh fosfotransferase yang dihasilkan oleh sitomegalo virus. Kemudian enzim
seluler menambahkan gugus fosfat untuk membentuk asiklovir difosfat dan asiklovir
trifosfat. Asiklovir trifosfat menghambat sintetsi dna virus dengan cara berkompetisi

dengan 2 deoksiguanosin trifosfat sebagai substrat dna polimerasi virus.


Efek Samping :
Gatal-gatal/ruam kulit.
Gangguan gastrointestinal, termasuk : mual, muntah, diare, dan nyeri
abdominal.
Peningkatan sementara enzim-enzim yang berhubungan dengan bilirubin dan
hati, sedikit peningkatan urea dan kreatinin darah; sakit kepala, reaksi
neurologis dan fatigue. 12
Famcyclovir. Indikasi ,HZV-1, HZV-2, dan VZV.
Dosis, peroral 750 mg/hari (250 mg tablet setiap 8 jam 3 kali sehari) dan 1500
mg/hari (500 mg setiap 8 jam).
Mekanisme Kerja,Famcyclovir merupakan prodrak pencyclovir. Famcyclovir
diubah melalui proses hidrolisis pada 2 gugus asetilnya dan oksidasi pada posisi 6-,
kemudian bekerja seperti pada pencyclovir.
Efek samping, umumnya dapat ditoleransi dengan baik, namun dapat juga
menyebabkan sakit kepala, diare dan mual. Urtikaria, ruam sering terjadi pada pasien

12

usia lanjut. Pernah juga terdapat laporan halusinasi dan konfusional state
(kebingungan).
Valacyclovir, ester L-valyl acyclovir, merupakan prodrug oral asiklovir yang
mencapai tiga sampai lima kali lipat lebih tinggi bioavailabilitas setelah pemberian
oral, dan dapat digunakan dalam dosis yang lebih convenint regimen. Famciclovir
adalah baik menyerap bentuk oral dari guanosin terkait penciclovir. Mirip dengan
acyclovir, famcyclovir diubah oleh phosporylation untuk metabolit penciclovir
Triphospate aktif. Khasiat dan efek famsiklovir sebanding dengan asiklovir.
Penciclovir 1 % cream disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) untuk
pengobatan herpes simplex labialis. Docosanol 10 % cream disetujui oleh FDA
selama pengobatan herpes labialis berulang dan menurun waktu penyembuhan dengan
18 jam jika dibandingkan dengan plasebo.
Indikasi, Valacyclovir terbukti efektif dalam terapi infeksi yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks, virus varicella zoster, dan sebagai profilaksis terhadap
penyakit yang disebabkan sitomegalo virus.12
Dosis ,untuk herpes genital peroral 2 kali sehari 500 mg tablet selama 10 hari.
Mekanisme kerja Bioavailibitas oralnya 3hingga 5 kali asiklovir (54%) dan waktu
paruh eliminasinya 2-3 jam. Waktu paruh intraselnya, 1-2 jam. Kurang dari 1% dan
dosis valasiklovir ditemukan diurin, selebihnya dieleminasi sebagai asiklovir.
Efek samping :

Gatal-gatal / ruam kulit.


Gangguan gastrointestinal, termasuk : mual, muntah, diare, dan nyeri

abdominal.
Peningkatan sementara enzim-enzim yang berhubungan dengan bilirubin dan
hati, sedikit peningkatan urea dan kreatinin darah; sakit kepala, reaksi
neurologis dan fatigue.12
Rekomendasi saat ini untuk pengobatan antivirus tergantung pada penyakit
klinis, status kekebalan host, dan apakah seseorang memiliki episode berulang
mempertimbangkan suppresive therapy. Untuk infeksi herpes berat, pengobatan
pilihan tetap intravena asiklovir 5-10 mg/kg setiap jam. Beberapa ahli menggunakan
asiklovir 15 mg/kg intravena setiap 8 jam untuk infeksi HSV yang mengancam
hidupnya, termasuk ensepalitis . Dosis intravena untuk herpes neonatal adalah 20 mg /
kg per dosis diberikan setiap 8 jam.11

13

14

15

16

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. Pg.380-382
2. Straus,SE.Oxman,MN.Schmader,KE. Herpes Simplex. In :Adriana.R, Marques,
Cohen I. Fitzpatricks Deramatology In General Medicine. 8thed: McGraw Hill; 2012.
Pg. 3368-3383
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin: Clinical
Dermatology. 11th ed. USA: Saunders Elsevier; 2011. Pg.368-367
4. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nded. New York: Madkan V, Sra
Karan, Brantley Julie.retains copyright of his original figures in chapter 79; 2008.Pg.
1199-1204
5. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa,
New Jersey: Human Press; 2006. Pg. 308-316
6. Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli M, Bellizzi A, Barucca V, Chiarini F, et al. Herpes
simplex virus infection in pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology,
diagnosis, therapy and prevention. Virology Journal 2009.
7. Salvaggio MR. herpes Simplex. Available at: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview#showall. Accessed 2014.
8. Mitchell BM, Bloom DC, Cohrs RJ, Gilden DH, Kennedy PG. Herpes simplex virus1 and varicella-zoster virus latency in ganglia. Journal of NeuroVirology 2003.
9. Hayderi LE, Raty L, Failla V, Caucanas M, Paurobally D, Nikkels AF. Severe herpes
simplex virus type-1 infection after dental procedures. 2010.
10. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of Dermatology: WileyBlackwell; 2010.Pg. 33.14-33.15
11. Gunawan, Sulistia. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2011.
12. Sauerbrei A, Deinhardt S, Zell P, Wurzler P. Testing of herpes simplex virus for
resistance to antiviral drugs. Virulence; 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai