Anda di halaman 1dari 14

DAMPAK POLIGAMI TERHADAP

PSIKOLOGI KELUARGA

A. Pendahuluan
Pembahasan poligami merupakan salah satu pembahasan
yang tidak pernah kehilangan peminatnya. Terlebih, baru-baru ini di
Indonesia dihebohkan oleh pelaksanaan poligami oleh salah seorang
mubaligh kondang Tanah Air, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Pro dan
kontra terus mengalir dalam menanggapi praktek poligami Aa Gym,
hingga akhirnya merembet ke pembahasan untuk mempertimbangkan
kembali undang-undang no:10 tahun: 1983 tentang pelarangan praktek
poligami.

Ternyata,

berdasarkan

jajak

pendapat,

60%

suara

mengusulkan untuk merevisi kembali undang-undang pelarangan


tersebut. Ini membuktikan bahwa praktek poligami tidak mungkin
dilarang secara total. Karena jika dilarang secara total akan
memberikan dampak yang sangat negatif didalam masyarakat,
selingkuh dan hubungan di luar nikah (zina). Itu jika kita perpegangan
terhadap poling yang ada.
Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu
dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar
pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan
bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima
suaminya berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun

1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan:


Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari
seorang.
Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), yang
pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh
mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh
memiliki seorang suami, maka terlihat ada ketidakkonsistenan
antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah
institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding
laki-laki
Dan

jika

kita

kembali

menelusuri

sejarah,

praktek

diperbolehkannya poligami, bukanlah hukum baru yang dibawa oleh


Islam. Akan tetapi, poligami sudah ada sebelum datangnya agama
Islam. Islam datang dengan memberikan syarat-syarat dan batasan
yang lebih jelas dalam pemraktekannya. Oleh karena itu, didalam fikih,
hukum poligami bukanlah hukum Tasisi melainkan hukum Imdhai.
B. Dasar Teologis Poligami
Dari sisi teori mayoritas, kaum muslimin sudah mengetahui
tentang

hukum

poligami,

paling

tidak

pernah

mendengarnya.

Dibolehkannya praktek poligami merupakan salah satu hukum yang

telah disahkan oleh agama Islam. Hukum ini merupakan kejelasan fikih
Islam (dzaruruyaatul-fiqh) yang tidak bisa diganggu gugat oleh
siapapun. Hanya saja, dari sisi prakteknya, mayoritas kaum Hawa
termasuk kaum muslimah sendiri- merasa gerah dan keberatan. Kita
selalu berharap, mudah-mudahan kebencian terhadap praktek
poligami tidak mengarah kepada kebencian terhadap hukum itu
sendiri. Karena jika demikian, secara tidak langsung berarti kita telah
membenci terhadap Penetap hukum poligami tersebut, Allah swt.
Tentu saja anti terhadap praktek poligami yang disebabkan oleh
penyalahgunaan oknum -seperti yang telah terjadi pula pada kasus
nikah mutah- tidak secara otomatis meniscayakan kebencian terhadap
hukum Allah. Jelas bahwa problem yang ada bukan berasal dari Islam,
akan tetapi berasal dari oknum yang mengaku telah melaksanakan
ajaran

Islam,

jelas

dengan

salah

dalam

memahami

atau

mempraktekannya. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus yang ada,


terkadang kita terpaksa harus memisahkan antara ajaran asli agama
dan pelaku penganut ajaran tersebut. Sudah seharusnya kita bersikap
dewasa dalam menghadapi sebuah permasalahan, agar kita tidak
terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas dalam berpikir dan berprilaku
(ifrath-tafrith). Islam mengajarkan pengikutnya untuk berpikir dan
bertindak secara logis dan proporsional (wajar dan pada tempatnya).
Kita sebagai manusia pengesa Tuhan (monoteis) meyakini
bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Maha Esa lagi Bijaksana. Meng-

Esa-kan Allah dalam segala hal, termasuk didalamnya meyakni bahwa


hanya Allah-lah yang berhak menentukan hukum, inil-hukmu illa lillah.
Dia Maha pencipta, dan Dia pulalah Yang Mengetahui segala apa yang
dibutuhkan oleh hasil ciptaan-Nya. Dia pun Maha Bijak, dalam arti
segala prilaku-Nya berdasarkan tujuan dan hikmah. Dia tidak pernah
melakukan perbuatan yang sia-sia dan tanpa dasar. Karena Dia
merupakan sumber segala kesempurnaan. Tiada satupun dari ciptaanNya yang luput dari pantauan-Nya. Berdasarkan sifat Maha Bijaksana
dan Maha Sempurna-Nya, Dia telah menetapkan dalam al-Quransebuah hukum yaitu diperbolehkannya berpoligami. Tiada yang berhak
merubah hukum ini melainkan Allah swt sendiri. Jika ada seseorang
yang mengaku muslim ingin merubahnya berdasarkan bisikan egoemosional ataupun ego-intelektual yang bersumber dari hawa
nafsunya, niscaya ia telah mempersekutukan Allah swt dengan emosi
dan perasaan inteleknya. Naudzubillah min dzalik
Dalam berbagai kitab ushul-fikih dijelaskan, Allah dalam
menentukan sebuah hukum pada obyek-obyeknya berlandaskan pada
landasan-landasan hukum yang dilihat dari sisi maslahat dan bahaya
(mafsadah)-nya.

Sebagai

misal,

sebuah

obyek

hukum

akan

diharamkan dikarenakan terdapat dampak negatif yang sangat kuat


(mafsadah syadidah). Namun sebaliknya, akan diwajibkan karena
terdapat kemaslahatan yang sangat kuat (maslahah syadidah)[5], dan
seterusnya

berkaitan

dengan

hukum-hukum

yag

lain

(mubah,

mustahab/sunah dan makruh). Di saat kita meyakini bahwa Allah swt

tidak mungkin menetapkan suatu hukum melainkan terdapat hikmah


dibaliknya, maka hukum poligami pun berlaku hal tersebut. Artinya,
disana

terdapat

kemaslahatan

dan

hikmah

dibalik

poligami.

Ringkasnya, jika seseorang benar-benar meyakini akan sifat Maha


Sempurna dan Maha Bijaksananya Allah swt, niscaya tidak akan
pernah terbesit kebencian dalam hatinya atas hukum yang telah
ditetapkan Tuhan-Nya, baik secara terang-terangan yang diungkapkan
melalui lisan dan prilaku, ataupun hanya dipendam dalam hati yang
sewaktu-waktu siap dimuntahkan keluar.
C. Hukum Poligami
Dalam Islam, hukum poligami adalah diperbolehkan, bukan
diwajibkan. Artinya, boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Kalau
melihat zahir ayat, penggunaan bentuk perintah fankihuu yang berarti
maka nikahilah, berarti di situ Allah menggunakan kalimat perintah
(amr). Dimana dalam kaidah ushul fikih dijelaskan, bentuk perintah
menunjukkan wajib (shighatu filil-amr tadullu alal wujub), berarti ayat
itu meniscayakan suatu kewajiban. Penentuan akan hukum wajib
tersebut akan terjadi jika seseorang melihat ayat tersebut secara
sepenggal-sepenggal saja, tanpa memperhatikan potongan ayat
sebelumnya. Padahal jika diperhatikan potongan ayat sebelumnya
berupa larangan menikahi perempuan yatim[8] dan karena takut tidak
dapat berlaku adil terhadap mereka, lantas tiba-tiba Allah swt
memerintahkan untuk menikahi perempuan ke-dua, ke-tiga atau ke-

empat, ini akan menjadi tanda tanya buat sebagian orang. Padahal
jawabannya sudah jelas, berdasarkan kaidah ushul fikih pula, jika
perintah datang setelah larangan menunjukkan boleh (Jaiz), bukan
wajib atau haram.
Poin lain yang menarik dari ayat tadi, ayat itu langsung
mengisyaratkan tentang poligami dengan mengatakan: Nikahilah,
dua, tiga, dan empat, baru hanya satu istri saja jika terdapat rasa
khawatir (takut) tidak dapat berlaku adil. Sekilas, seakan yang sangat
dasar dalam hukum Islam adalah ber-poligami, bukan ber-monogamy.
Hal itu dikarenakan satu istri (monogami) merupakan hak semua
manusia, dan tentu semua dapat menerimanya, tidak ada seorangpun
yang akan menggugatnya. Oleh karenanya praktek monogami tidak
dijelaskan kembali dalam ayat al-Quran tersebut, karena sudah badihi
[aksiomatis].
D. Syarat-Syarat Poligami
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syaratsyarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami,
yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka (immaterial).

Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat


mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan
tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada
bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan.
Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada
persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
Terdapat dua ayat dalam-Quran yang menjelaskan tentang
poligami, dalam ayat 3 dan ayat 129 yang keduanya terdapat dalam
surat an-Nisa. Dalam ayat ke-3 dijelaskan tentang syarat poligami
dengan menyatakan: jika kalian takut tidak dapat berlaku adil,
hendaknya nikahilah seorang saja,. Jadi, berdasarkan ayat di atas,
syarat poligami adalah; jika dapat berlaku adil. Dalam tafsir al-Mizan,
Allamah Thabathai ra menjelaskan; Allah swt telah melarang orang
untuk poligami di saat takut (baca: khawatir) tidak dapat berlaku adil,
bukan atas dasar tahu (memiliki pengetahuan)[9]. Ini menunjukkan
betapa sensitifnya keadilan tersebut. Namun ini tidak berarti hal itu
(berlaku adil) bersifat mustahil. Sedang, dalam ayat ke-129, Allah swt
menyatakan bahwa seorang suami tidak akan pernah dapat berlaku
adil. Atau dengan bahasa lain, seorang lelaki mustahil dapat berlaku
adil: Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Lantas,
bukankah ini paradoks? Mungkinkah Allah swt menetapkan sesuatu
akan tetapi sesuatu tersebut di luar batas kemampuan seluruh lelaki

(taklif bimaa laa yuthoq)? Bukankah hal itu berarti Allah swt telah
melakukan perbutan sia-sia dan tidak proposional (zalim) terhadap
kaum lelaki? Tentu jawabannya sudah sangat jelas, Allah swt tidak
mungkin melakukan hal tersebut. Lantas, keadilan yang bagaimana
yang disyaratkan dalam praktek poligami, dan keadilan mana yang
sama sekali diluar batas kemampuan manusia? Keadilan yang telah
disyaratkan dalam poligami adalah keadilan yang bersifat lahiriyah,
seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan lainnya
yang bersifat primer maupun sekunder. Namun harus diingat bahwa
keadilan bukan berarti harus sama.
Dalam banyak kasus hal itu terbukti kebenarannya. Karena tidak
mungkin menyamakan fasilitas hidup istri yang memiliki tiga anak
dengan istri yang hanya memiliki satu anak.
Adil adalah memberikan haknya sesuai dengan kelayakan
penerimanya

atau

menempatkan

sesuatu

pada

tempatnya.

Sementara keadilan yang mustahil dapat diberlakukan diantara para


istri ialah keadilan yang bersifat batiniyah, yang berkaitan dengan
urusan hati. Itu semua karena prilaku dan urusan hati tidak dapat
dikontrol secara penuh (diluar sadar). Inilah yang dimaksudkan oleh
ayat ke-129 tadi. Dalam sejarah dijelaskan, ketika imam Ali as memiliki
dua istri, beliau tidak melakukan sesuatu di tempat istri yang bukan
gilirannya, meskipun hanya untuk berwudlu.

E. Analisa Dampak Poligami Bagi Keluarga


Terlepas dari status kita sebagai makhluk agamis, siapapun
dan apapun agamanya, jika kita dihadapkan pertanyaan semacam
diatas itu, lantas apakah jawaban kita; dapatkah poligami dilarang
secara total? Apa dampak sosial dan moral jika poligami dihapuskan?
Apakah selamanya istri muda selalu disebut sebagai perebut suami
dan

perusak

rumahtangga

orang?

Apakah

seorang

wanita

membutuhkan seorang lelaki (suami) hanya terbatas pada masalah


pemenuhan

kebutuhan

biologis

atau

perempuan

pada

tertentu

dapat

usia

materi

saja?

mengalami

Bukankah
monopouse

sementara tidak ada istilah manupause pada lelaki, lantas siapakah


yang akan memenuhi kebutuhan seorang lelaki ketika istri telah
mengalami manupouse? Lantas apakah solusinya jika poligami
dilarang?
Sebagian wanita mengatakan: Saya tidak dapat menerima
poligami karena saya merasa cemburu, dan bukankah Tuhan sendiri
yang telah memberikan rasa cemburu kepada saya?. Benar, Tuhan
jualah yang telah menganugrahkan rasa cemburu. Hal itu karena rasa
cemburu merupakan salah satu perwujudan rasa cinta, kasih dan
sayang. Akan tetapi, rasa cemburu yang mana dan yang bagaimana?
Apakah cemburu yang berlebihan yang membuat mata kita buta
sehingga tidak dapat menerima hukum Tuhan -walaupun dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh-Nya sehingga kita menyangka

bisa dijadikan sebagai tameng menentang hukum Tuhan- pun


termasuk anugerah Tuhan? Hanya rasa cemburu yang sesuai dengan
kadarnya (sesuai dengan ajaran akal sehat) saja yang anugerah
Tuhan, bukan semua semua cemburu. Atas dasar itu imam Ali as
pernah bersabda: Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran,
sedang kecumburuan seorang lelaki adalah keimanan[12]. Hanya
cemburu yang wajar saja yang merupakan anugerah Ilahi. Hal itu
sesuai hadis Imam Musa Kadzim as berkata :Sebaik-baiknya perkara
ialah pertengahan.
Walau tanpa melakukan sensus secara ilmiyah, namun secara
umum realitas yang ada, kebanyakan dari pasangan suami istri yang
lebih dahulu meninggal adalah suami, bukan istri. Hal itu karena salah
satu sebab adalah pekerjaan mereka (suami) lebih keras dan sulit
dibanding perempuan, belum lagi dengan adanya peperangan yang
lebih banyak melibatkan kaum lelaki. Selain itu, menurut medis, daya
tahan

tubuh

perempuan

lebih

kuat

dibanding

laki-laki

dalam

menghadapi berbagai penyakit. Lantas bagaimana nasib para janda


yang ditinggal oleh suaminya, serta serta anak-anak yatim yang
diasuhnya? Mungkin dan boleh jadi kita akan mengatakan; Asuh saja
anak yatimnya, urusan akan selesai!?. Sekali lagi, apakah kebutuhan
seorang janda akan suami hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan
materi (baca: harta) saja sehingga akan selesai dengan mengasuh
anaknya yang yatim? Jadi ungkapan seseorang yang mengatakan:
Toch menolong bukan berarti harus menikahinya. Berikan saja

bantuan dana untuk mencukupi kehidupannya, ini contoh dari


ungkapan yang egois. Coba kita tanyakan kembali kepadanya; apakah
kasih sayang seorang ayah dapat diganti dengan uang (harta)?
Apakah anda perlu terhadap seorang suami karena masalah biologis
dan materi saja? Jawabannya mari kita kembalikan kepada diri kita
masing-masing.
Kita akan senang jika fungsi suami tidak hanya sekedar itu,
akan tetapi suami berfungsi sekaligus sebagai teman hidup, tempat
curhat

(dard-e-del),

pelindung

dan

sebagainya.

Yang

menjadi

pertanyaan adalah apakah kita membutuhkan keberadaan akan suami


hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja atau hanya untuk
memenuhi kebutuhan materi saja, ataukah lebih dari sekedar itu?
Kita juga harus melihat, bagaimana nasib seorang gadis yang
karena alasan tertentu tidak dapat cepat mendapat pasangan hidup,
sementara ia tidak bisa mendapatkan yang sama-sama single
(bujang). Padahal ia juga punya hak untuk memiliki pasangan dan
teman hidup? Bukankah memiliki pasangan hidup merupakan hak
setiap wanita? Namun karena berbagai alasan seperti yang telah
disebutkan di atas, sebagian wanita tidak sampai kepada haknya
tersebut, melainkan dengan status bukan istri pertama. Coba kta
dibayangkan jika perempuan itu adalah kita !? Jika kita tetap gelap
mata dan besikeras untuk tetap menolak hukum dan pelaksanaan
hukum Allah tersebut oleh pribadi-pribadi yang telah merasa mampu

untuk berlaku adil, lantas masihkah kita marah jika disebut egois?
Tidakkah kita layak disebut egois ketika kita ingin memiliki teman
hidup, teman curhat, dan sekaligus pelindung, sementara wanita lain
dilarang untuk mendapatkan hak-haknya tersebut, walau melalui cara
poligami yang diperbolehkan Allah swt, Tuhan kita semua?
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya
berpoligami:
a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa
tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan
dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa
suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi
seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri
muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu.
Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan
menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik,
ekonomi, seksual maupun psikologis.
d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering
terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak
dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau
Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap
tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut

agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak


perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga
dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan
menyebabkan

suami/istri

menjadi

rentan

terhadap

penyakit

menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus


HIV/AIDS

F. Penutup
Praktek poligami tidak mungkin dilarang. Berdasarkan hikmah
Ilahi, pasti akan terdapat efek samping yang lebih bahaya dari sekedar
pelarangan tersebut. Dengan ditiadakan poligami niscaya akan muncul
problem sosial dan praktek mesum illegal.
Penyalahgunaan hukum, pada dasarnya yang salah bukan
hukum itu sendiri, akan tetapi oknumnya. Islam dengan jelas telah
membolehkan poligami, dengan syarat-syarat yang tertentu. Masalah
syarat berlaku adil sangat ditekankan sekali bahkan syarat utama
dalam ber-poligami. Syahid Ayatullah Muthahari ra menuliskan;
terdapat sabda Rasul saww -yang telah disepakati oleh semua
mazhab dimana beliau bersabda: Barang siapa yang memiliki dua istri
sedangkan ia tidak berlaku adil diantara keduanya, maka di hari kiamat
ia akan dibangkitkan dalam keadaan sebelah badannya terseret

sampai masuk ke dalam api neraka. Sebaiknya, bahkan seharusnya,


riwayat-riwayat semacam inipun harus dijadikan bahan renungan dan
pertimbangan bagi para suami yang ingin dan berencana untuk
berpoligami. Jangan sampai mereka hanya melihat satu sisi enaknya.
Dan jangan sampai prilaku mereka dalam berpoligami menjadi
penyebab tercorengnya Islam dan hukum Islam. Apalagi jika praktek
poligami menyebabkan ia melupakan istri tua, tidak mengindahkan
hak-hak istri muda, tidak berlaku adil di antara beberapa istri atau
menyebabkan

terputusnya

hubungan

silaturahmi antar sesama

muslim. Jika itu terjadi maka celakalah lelaki yang berpoligami


semacam ini. Celaka di dunia sebelum merasakan celaka di akherat
kelak

Anda mungkin juga menyukai