Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI
SKENARIO I
SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN

KELOMPOK XII
Agil NoviarAlvirosa

G0012006

Alexander Adi A. U.

G0012010

ArinaSabilaHaq

G0012026

Dessy Rachmawati

G0012056

Dicky Maulana Lazuardi

G0012060

MasyolaGusta A.

G0012128

Meda Mitasari

G0012130

Muhammad Mardhiya A.

G0012138

Nanda E.S Sejati

G0012146

Nopriyan Pujokusuma

G0012152

ReinitaVany

G0012176

Soraya Sahidha

G0012214

TUTOR : YUSUF ARI MASHURI, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015

BAB I
SKENARIO
Skenario I
Sesak Nafas dan Patah Tulang Setelah Kecelakaan
Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan
lalu-lintas seorang laki-laki berusia 35 tahun diantar oleh patroli polisi lalu lintas. Pasien
sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri terasa nyeri.
Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey dan secondary survey.
Menurut keterangan pengantar, 3 jam SMRS pasien membonceng sepeda motor dengan
kecepatan tinggi, menabrak pohon ketika menghindari hewan yang melintas. Penderita
terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah kiri.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara tambahan tidak
didapatkan (gurgling -, snoring -). Vital sign: Nadi 120x/menit, tekanan darah 90/70 mmHg,
suhu 37oC, RR 32x/menit.
Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor,
auskultasivesiculer menurun, emfisema sub cuti (+).
Regio bahu kiri terdapat jejas (+), perdarahan aktif (-), oedem (+), deformitas (+), nyeri tekan
(+) dan krepitasi (+). Dokter melakukan pemeriksaan klinis dan imobilisasi.
Dokter IGD menduga adanya pneumothoraxventil kanan dan berencana untuk melakukan
thorakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang datang. Sambil menunggu keluarga,
dokter melakukan informedconsent, permintaan cek lab darah dan radiologi.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Diskusi
Jump 1
1. Primary & secondarysurvey merupakan pemeriksaan pada pasien trauma, primary
survey merupakan pemeriksaan dasar meliputi Airways, breathing dan circulation.
Sedangkan secondary survey merupakan pemeriksaan terhadap kemungkinan
kerusakan lebih lanjut akibat trauma yang dialami
2. Triage pengelompokan korban berdasar berat ringan penyakit, prioritas penanganan
dan pemindahan.
3. Gorgling seperti suara berkumur akibat adanya cairan di jalur napas
4. Snoring suara seperti mengorok/mendengkur akibat adanya sedikit obstruksi
5. Jejas trauma/luka
6. Krepitasi suara karena gesekan sendiri berbunyi kerek-krek
7. Pneumothorax keadaan terdapatnya udara bebas di cavum pleura
8. Emphisemasubkutis adanya udara di jaringan subkutis
9. Auskultasi vaskuler menurun adanya peningkatan volume sehingga menghambat
terkembangnya paru/compliance

Jump 2
1. Apakah yang dilakukan dokter saat primary survey dan secondary survey(Vany)
2. Mengapa pasien nyeri dada, sesak nafas dan indikasinya apa? (Agil)
3. Apakah tujuan dilakukannya imobilisasi? (Masyola)
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan yang dilakukan? (Agil)
5. Mengapa terdapat jejas dan pengembangan dada kanan tertinggal? (Agil)
6. Mengapa perlu dilakukan triage? Apa tujuan dan manfaatnya?(Dessy)
7. Mengapa dilakukan cek lab untuk darah? Dan meliputi apa saja?
8. Informconsent untuk pasien apa bila keluarga belum datang?(Aghfa)
9. Sejauh mana tindakan dokter triage sebelum melakukan informedconsent? (Aghfa)
10. Apa saja yang dilakukan polisi patroli? (Vany)
11. Mengapa dilakukan thoracocentesis? Apa indikasinya? Dan kontra indikasi? (Aya)
Jump 3
1. Bagaimanakah prinsip penanganan pasien trauma thoraxemergencybagi kalangan
medismaupun orang awamdan bagaimanakah aspek medikolegalnya? (1, 3, 8, 9, 10)
2. Mengapa pasien nyeri dada, sesak nafas dan indikasinya apa?
3. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan yang dilakukan?
4. Mengapa jejas dan pengembangan dada kanan tertinggal?
5. Mengapa perlu dilakukan triage? Apa tujuan dan manfaatnya
6. Mengapa dilakukan cek lab untuk darah? Dan meliputi apa saja?
7. Mengapa dilakukan thoracocentesis? Apa indikasinya? Dan kontra indikasi?

Primary survey
-

Dilkukan Pemeriksaan Airways, breathing, circulation, disability, dan Environment


Skenario A: cepat dangkal; B: 32x, emphisemasubkutis, dada kanan tertinggal ;
C:90/70mmHg; D: GCS 15; E: semua pakaian dilepas triage merah (gawat dan
darurat)

Jump 4

Laki-laki 35 th,
lakalantas

Keadaan Umum

GCS 15

RR meningkat
(32x/menit);
tekanan darah
90/70 mmHg

nyeri dada; sesk


napas; jejas

Penanganan
awal

imobilisasi

medikolegal?

triage

warna Merah

suspek
pneumotorax

Terapi?

pengembangan
dada kanan
tertinggal

Jump 5
Lo:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Aspek medikolegal traumatologi (Aghfa)


Emfisema sub-kutis (Aya)
Penatalaksanaan skenario (Dessy)
Patofisiologi, etiologi trauma pada skenario dan secara umum (Arin)
Jenis-jenis pneumothorax, hemothorax, pyothorax (Meda)
GCS pada traumatologi (Masyola)
Syok dan macam-macamnya (Masyola)
Fraktur pada skenario (Alex)
Radiologi dan cek darah kapan perlu dilakukan (Alex)

Jump 7
1. Aspek mediko legal traumatologi
a. Informedconsent? Bisa tertulis bisa lisan
2. Emfisema subkutis
a. Tanda
i. Ada udara subcutan
ii. Dera intrathorax
iii. Diikuti pneumothorax dan pneumomediastinum dan Vistula
b. Kondisi penyebab
i. Trauma tumpul
ii. Komplikasi tindakan medis
c. Manifestasi klinis(wheezing dan bengkak)
d. Berbeda dengan empiema ditandai adanya nanah pada empiema karena
infeksi
e. Terdapat gelembung ricecrispy krepitasi
f. Penatalaksanaan kateter subcutan
g. Bukan suatu kegawatdaruratan
3. Jenis-jenis pneumothorax
a. Pneumothorax spontan
i. Tiba-tiba tanpa sebab - spontan
1. Primer tanpa ada suatu penyakit yang mendasari
2. Sekunder ada penyakit yang mendasari
ii. Trauma
1. Karena trauma tumpul (noniatrogenik
2. Iatrogenik
a. Accidental kesalahan tindakan medis
b. artifisial
b. Simpel pneumothorax pneumothorax tertutup
c. Pneumothorax terbuka
d. Pneumothoraxtension

4. Jenis- jenis hemothorax


a. Penyebab karena traumatik dan non traumatik
5. Pneumo vs hemothorax?
6. Syok dan macam-macamnya
a. Syok hipovolemik hilangnya cairan/plasma terjadi vasokonstriksi
b. Syok anafilaktik (syok distributif) karena pajanan alergen, terjadi
vasodilatasi, disertai gangguan pernafasan
c. Syok neurogenik (syok distributif) hilangnya tonus vaskular di seluruh
tubuh, biasanya karena trauma spinal
d. Syok sepsis (syok distributif) infeksi patogen
e. Syok kardiogenik (syok obstruktif) karena kegagalan jantung memompa
darah
f. Syok kompresi didahului trauma thorax, diikuti kegagalan respirasi
7. GCS
8. Fraktur
a. Fraktur costae flailchest mempersulit pernapasan
b. Fraktur sternum 37% komplikasinya?
c. Fraktur clavicula
9. Penanganan
10. Indikasi rontgen dan cek lab
B.

Tinjauan Pustaka
1.

Aspek medikolegal pada pasien trauma


Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan
pengertian medis.Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah
hilangnya diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma
adalah pengetahuan tentang alat atau bendayang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan seseorang. Artiya orang yang sehat, tiba-tibaterganggu kesehatannya
akibat efek dari alat atau benda yang dapat menimbulkankecelderaan.
Aplikasinya dalam pelayanan kedokteran forensik adalah untuk membuatterang
suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseoang.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan
medikolegal sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk
kepentingan pengobatan. Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban
adalah untuk menegakkan hukum pada peristiwa pidana yang dialami korban
melalui penyusunan VeR (Visum et Repertum) yang baik. Tujuan pemeriksaan
klinis pada peristiwa perlukaan adalah untuk memulihkan kesehatan pasien
melalui pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis lainnya. Apabila seorang
dokter yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan medikolegal menggunakan

orientasi dan paradigma pemeriksaan klinis, penyusunan VeR dapat tidak


mencapai sasaran sebagaimana yang seharusnya.
Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci
luka dan kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa
penyebab terjadinya luka dan memperkirakan derajat keparahan luka (severity of
injury). Dengan demikian pada pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa
hal yang dianggap penting dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk
tujuan pengobatan, seperti misalnya lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya.
a. Penentuan Derajat Luka
Penentuan Derajat Luka Salah satu yang harus diungkapkan dalam
kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka.9
Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam
VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat
luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti
pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran
berkelanjutan dan sebagainya.
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,
ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan
penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus
dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga
tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana
maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8
bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5
tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan,
dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal
tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan
menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang
bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam
pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan


atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada
seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan
penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam
kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana
diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.
Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat
kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka
berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. Luka berat itu sendiri telah diatur
dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang
korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90
KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.4 Luka
berat menurut pasal 90 KUHP adalah :

jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau


pekerjaan pencarian

kehilangan salah satu panca indera;

mendapat cacat berat;

menderita sakit lumpuh;

terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak


menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara
konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu dan dua.
Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka tidak akan
menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak hukum dalam
proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan
dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua
akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu.
Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka
dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan korban, namun pada umumnya
para dokter cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan hal tersebut di
masa mendatang. Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau
tidak adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut
masih dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis.
Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis
yang terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma,
walaupunpun kecil akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk
memberikan kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada
daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri
karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah wajah
dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut
meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan
nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus,
namun pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma
seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic inflamatory response syndrome),
respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum mendapatkan perhatian
khusus dalam menentukan kualifikasi luka.
Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan
luka ringan yang tidak termasuk kategori penyakit dan halangan
sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352 KUHP. Contoh luka ringan atatu
luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan berukuran kecil atau
memar yang berukuran kecil. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu
diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu
mungkin menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang
terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup
parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau
keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat
dianggap sebagai luka sedang.

b. Medikolegal Kegawat Daruratan Traumatologi


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1
ayat (1) dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada

Peraturan

Menteri

290/MENKES/PER/III/2008

Kesehatan
tentang

Republik

Persetujuan

Indonesia
Tindakan

No.
Medik,

pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas


dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)
dijelaskan bahwa Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran.
Disahkannya

Permenkes

mengggugurkan

Permenkes

No.

290/MENKES/PER/III/2008

sebelumnya

yaitu

pada

sekaligus

Permenkes

No

585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11


hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien
pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien
tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh
pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat
perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam
keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun
yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan
anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed
consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu
keadaan dimana :

Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik


dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)

Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda

Suatu tindakan harus segera diambil

Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008


pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan
gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib
memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat.
Berikut pasal 4 ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar
atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan
tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter
berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau
kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik

Kedokteran

dan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

No.

209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat


sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH
Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain.
Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu
Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan
orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara
diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu
sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri. Dalam keadaan
yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan
pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter
berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya.
Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis
yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari
tindakan itu.
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan
persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan
Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan


diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
2.

Primary survey dan secondary survey


a.
Primary survey

1) Airway dengan kontrol servikal

Penilaian
a)

Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)

b)

Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi

Pengelolaan airway
a)

Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal inline immobilisasi

b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan


alat yang rigid
c)

Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal dan pasang airway


definitif sesuai indikasi

Fiksasi leher

Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap


penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau
perlukaan diatas klavikula.

2)

Evaluasi

Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi

Penilaian
a)

Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan


kontrol servikal in-line immobilisasi

b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan


c)

Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali


kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.

d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor


e)

Auskultasi thoraks bilateral

Pengelolaan
a)

Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12


liter/menit)

b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask


c)

Menghilangkan tension pneumothorax

d) Menutup open pneumothorax

e)

3)

Memasang pulse oxymeter

Evaluasi

Circulation dengan kontrol perdarahan

Penilaian
a)

Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal

b) Mengetahui sumber perdarahan internal


c)

Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.


Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.

d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.


e)

Periksa tekanan darah

Pengelolaan
a)

Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal

b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah


serta konsultasi pada ahli bedah.
c)

Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil


sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan
(pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta
Analisis Gas Darah (BGA).

d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan


cepat.
e)

Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada


pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.

f)

Cegah hipotermia

Evaluasi
4) Disability
a.

Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS

b.

Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda
tanda lateralisasi

c.

Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

5) Exposure/Environment
a. Buka pakaian penderita
b. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang

cukup hangat.
Secondary survey
1.

Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
S : Symptoms atau gejala
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

2.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen/pinggang, pelvis,
medula spinalis, kolumna vertebralis, ekstremitas. Masing-masing aspek
dilakukan identifikasi trauma terlebih dahulu, kemudian penilaian dengan
pemeriksaan fisik, kemudian temuan klinis dari pemeriksaan fisik dikonfirmasi
dengan pemeriksaan lanjutan sesuai dengan aspek.
Untuk pemeriksaan dibawah ini harus dilakukan tidak boleh lebih dari 3 menit
setelah terjadi trauma, yaitu :
1. Kepala : cek adanya deformitas, perdarahan, dan tanda perlukaan lain.
Pemeriksaan pada kepala meliputi mata, telinga, hidung dan mulut,
2. Leher : cek adanya deformitas pada servikal
3. Dada : cek adanya fraktur dan perlukaan benda tajam maupun tumpul.
4. Abdomen : cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul, bengkak, dan
nyeri.
5. Pelvis : cek adanya fraktur dan deformitas.
6. Genital : cek adanya cairan yang mengalir dari saluran urogenital apakah ada
perdarahan atau inkontinensia.
7. Ekstremitas bawah : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan
denyut.
8. Ekstremitas atas : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan
denyut.

3.

Triage
Triage adalah suatu sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan
tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien (DepKes RI, 2005). Sistem
triage merupakan salah satu penerapan sistem manajemen risiko di unit gawat
darurat sehingga pasien yang datang mendapatkan penanganan dengan cepat dan
tepat sesuai kebutuhannya dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia.
Triage juga membantu mengatur pelayanan sesuai dengan alur pasien di unit
gawat darurat. Tujuan dilakukan Triage adalah menangani korban/pasien dengan
cepat, cermat dan tepat sesuai dengan sumber daya yang ada.
Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam Rumah Sakit
(RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau
dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage lapangan, harusnya seorang
first responder (yang pertama kali menangani bencana) menguasai triage.
Tingkat Prioritas Dalam Triage :
a) Prioritas I : warna merah untuk kondisi gawat darurat dan biru untuk
kondisi

gawat

darurat

dan

membutuhkan

resusitasi

(sangat

berat/mengancam jiwa). Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu


gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25%
b) Prioritas II : warna Kuning untuk kondisi gawat tetapi tidak darurat.
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan
III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
c) Prioritas II : warna Hijau (ringan). Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka ringan.
d) Prioritas 0 : warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka
sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.
Penilaian dalam Triage :

Primary survey (Airway, Breathing, dan Circulation) untuk menghasilkan


prioritas I dan seterusnya

Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0 dan
selanjutnya

Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada


A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.

Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban

Metode yang biasa dipakai yaitu START (Simple Triage and Rapid
Treatment). Sistem ini dilakukan oleh penolong dalam 60 detik atau kurang
untuk tiap korban, dan mencakup pemeriksaan Respirasi, Sirkulasi, dan Status
Mental.

4.

Patofisiologi, etiologi trauma secara umum


Pada kejadian trauma, ada dua hal penting yang harus dipahami:
1. Biomekanik trauma, yaitu proses trauma atau kecelakaan yang
mengakibatkan benturan pada tubuh manusia dan berdampak terjadinya
cedera pada organ dalam tubuh. Biomekanika trauma ini penting untuk
diketahui karena membantu dalam menyelidiki akibat trauma terhadap
tubuh dan meingkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan perlukaan
yang lain.
2. Respon metabolik terhadap trauma. Tubuh manusia melakukan reaksi
terhadap trauma berupa perubahan metabolisme yang bertujuan untuk
mengatasi akibat dari trauma yang diterima.
Cedera organ-organ tersebut dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut:
1. Trauma tembus, biasanya terjadi karena tembakan atau tusukan pisau.
2. Trauma tumpul, biasanya terjadi pada tabrakan mobil dan sepeda motor,
tabrakan pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, dan trauma pada ledakan.

Cedera langsung
Misalnya pada hepar atau limpa yang menerima benturan langsung sehingga
terjadi ruptur atau laserasi, tergantung besarnya gaya yang diterima organ ini.

Cedera akselerasi-deselerasi
Timbul saat bagian yang menstabilkan organ seperti pedikel ginjal,
ligamentum teres, aorta desenden, sudah berhenti bergerak semnetara organ
yang mobile masih bergerak ke depan, contohnya ginjal, limpa, jantung, dan
arkus aorta.

Cedera kompresi
Terjadi jika tubuh bagian depan sudah berhenti bergerak namun bagian
dalamnya masih bergerak. Organ-organ (umumnya paru dan organ abdomen)
akan terjepit oleh bagian belakang dinding thorakoabdominal dan kolumna
vertebralis. Contohnya pada benturan frontal pengemudi dan pengemudi tanpa
seatbelt.

Cedera akibat memakai sabuk pengaman (seatbelt)


Sabuk pengaman yang baik adalah tipe lap-shoulder belt yang jika dipakai
dengan benar komponen panggul dari sabuk ini berada tepat di depan tulang
panggul, bukan di depan perut.

Cedera karena kantung udara (airbag)


Kantung udara biasanya hanya mengembang jika terjadi tabrakan dari arah
frontal. Airbag yang mengembang dapat menimbulkan perlukaan seperti patah
tulang lengan bawah, atau perlukaan mata jika memakai kaca mata. Pada anak
kecil airbag ini dapat menyebabkan kematian karena anak terbekap.

Trauma dada atau trauma thorax adalah kondisi terjadinya benturan baik tumpul
maupun tajam pada thorax yang menyebabkan abnormalitas bentuk pada rangka
thorax, sehingga menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian dalam
thorax seperti jantung dan paru-paru, menyebabkan beberapa kondisi patologis
seperti hematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya.
Etiologi trauma thorax adalah sebagai berikut:

Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada

Penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan

Penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.

Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.

Tusukan paru dengan prosedur invasif.

Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa


benda berat.

Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)

Pukulan daerah thorax dan Fraktur tulang iga

Tindakan medis (operasi)

Patofisiologi pada trauma thorax :


Trauma benda tumpul pada thorax baik dalam bentuk kompresi maupun ruda
paksa (deselerasi atau akselerasi) biasanya menyebabkan memar atau jejas trauma
pada bagian yang terkena trauma.
Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio otot jantung
atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan tamponade pada
jantung, atau kesulitan bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai dinding thorax juga seringkali
menyebabkan fraktur baik tertutup maupun terbuka. Kondisi fraktur tulang iga dapat

menyebabkan Flail Chest, yaitu segmen dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada karena fraktur pada dua atau lebih tulang iga
dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen iga yang mengambang
menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan
hipoksia yang serius.
Trauma thorax dengan benda tajam seringkali berdampak lebih buruk daripada
yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Benda tajam dapat langsung menusuk dan
menembus dinding dada dengan merobek pembuluh darah intercosta, dan menembus
organ yang berada pada posisi tusukannya. Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada
rongga dada atau hemothorax, dan jika berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam rongga thorax maupun rongga pleura jika tertembus.
Akibatnya akan muncul dalam waktu relatif singkat seperti Pneumothorax, penurunan
ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan gagal jantung.
Manifestasi klinik dari trauma thorax yaitu:

Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi

Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi

Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek

Dyspnea, takipnea

Takikardi

Tekanan darah menurun

Gelisah dan agitasi

Kemungkinan sianosis

Batuk mengeluarkan sputum bercak darah

Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit

Ada jejas pada thorak

Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher

Bunyi muffle pada jantung

Perfusi jaringan tidak adekuat

Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan


pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung

5.

Syok
a.

Definisi
Syok merupakan gangguan sistem sirkulasi yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara volume darah dengan lumen pembuluh darah
sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.

b. Macam-macam Syok
Berdasarkan sumber penyebabnya terdapat 5 macam syok, yaitu
1) Syok hipovolemik
Syok hipovolumik meruakan syok yang disebabkan oleh hilangnya
cairan/plasma (luka bakar, gagal ginjal, diare, muntah), kehilangan darah
(cedera parah, pasca operasi).
2) Syok anafikaltik
Syok anafilaktik merupakan syok yang disebabkan oleh pajanan zat
allergen sehingga memicu reaksi elergi yang akhirnya diikuti oleh
vasodilatasi pembuluh darah massif.
3) Syok neurogenik
Merupakan syok yang disebabkan kegagalan pusat vasomotor yang
ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di
seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara massif.
4) Syok sepsis
Merupakan sindroma klinik ketidakadekuatan perfusi jaringan akibat
terjadinya sepsis.
5) Syok kardiogenik
Merupakan syok yang disebabkan kegagalan jantung yang ditandai
dengan

menurunnya

kardiak

out

put

sehingga

mengakibatkan

ketidakadekuatan volume intravascular.


c.

Etiologi Syok
Setiap jenis syok memiliki penyebab utama yang berbeda-beda, seperti yang
terlihat dalam tabel 1.Berikut ini.

Tabel 1. Etiologi Syok

NO JENIS SYOK

ETIOLOGI

1. Perdarahan

Syok hipovolumik

2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)


3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain

Syok Anafilaktik

1. Antibiotic
Penisilin,

sofalosporin,

kloramfenikol,

polimixin,

ampoterisin B
2. Biologis
Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan gamma
globulin
3. Makanan
Telur, susu, dan udang/kepiting
4. Lain-lain
Gigitan binatang, anestesi local.
2

Syok Neurogenik

1. Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang


belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis
dengan quadriflegia atau para flegia)
2. Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal nyeri
hebat
3. Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan
obat anestesi
4. Rangsangan

parasimpatis

pada

jantung

yang

menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini


terjadi pada orang yang pingan mendadak akibat
gangguan emosional
3

Syok Sepsis

1. Infeksi bakteri gram negative, misalnya: eschericia coli,


klibselia pneumonia, enterobacter, serratia, proteus, dan
providential.
2. Kokus gram positif, misal: stafilokokus, enterokokus, dan

streptokokus.
4

Syok Kardiogenik

1. Aritmia
Bradikardi / takikardi
2. Gangguan fungsi miokard
Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan
Penyakit jantung arteriosklerotik
Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
Regurgitasi mitral/aorta
Rupture septum interventrikular
Aneurisma ventrikel massif
Obstruksi:
Out flow : stenosis atrium
Inflow

stenosis

mitral,

miksoma

atrium

kiri/thrombus.

d. Patofisiologi
1)

Syok hipovolumik
Syok jenis ini dikenal pula sebagai syok preload yang ditandai denga
menurunnya volume inravaskular karena perdarahan, dehidrasi, dan
lain-lain. Menurunnya volume intravascular menyebabkan penurunan
intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akan diikuti oleh
menurunnya curah jantung.
Kondisi

ini

secara

fisiologis

akan

menimbulkan

mekanisme

kompensasi berupa vasokontriksi pembuluh darah oleh kotekolamin


sehingga makin memperburuk perfusi ke jaringan tubuh.
2)

Syok anafilaktik
Ketika terjadi kontak dengan antigen makan akan terjadi reaksi enzim
pada sel mast dan sel basophil sehingga menyebabkan lepasnya
berbagai mediator seperti histamine, slo reacting substance of
anaphylaxis, serotonin, dan kinin.
Pelepasan mediator-mediator tersebut menyebabkan dilatasi pembuluh
darah, peningkatan permebilitas, perangsanga sekresi mucus, dan

kontraksi otot bronkus.

Oleh karena itulah disamping mengalami

penurunan darah yang cepat, juga disertai dengan gangguan pada


sistem pernafasan
3)

Syok neurogenik
Cedera pada tulang belakang atau medulla spinalis menyebabkan
kegagalan pada pusat

vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan

penimbunan darah pada vena perifer. Gagalnya pusat vasomotor akan


diikuti dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak
diseluruh tubuh sehingga terjadi penurunan darah sistemik akibat
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan penurunan curah jantung
Selain karena cedera, rangsangan pada medulla spinalis juga bisa
disebabkan oleh penggunaan obat ansestesi spinal.Sedangkan letupan
rangang parasimpatis ke jantung dapat memperlambat denyut jantung
dan menurunkan rangsangan simpatis pada pembuluh darah. Proses ini
terjadi katika seseorang mendapatkan rangsangan emosional yang
sangat kuat, misal mendengar/menyaksikan sesuatu yang membuatnya
sangat marah atau sedih.

4)

Syok sepsis
Syok ini disebabkan karena adanya sumber infeksi dalam tubuh
terutama bakteri gram negatif. Endotoksin basil gram negative dapat
menyebabkan beberapa hal yaitu:
a. vasodilatasi kapilerdan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer
b. peningkatan permeabilitas kapiler.
Vasodilatasi perifer akan meningkatkan kapasitas vaskuler sehingga
menyebabkan

hipovolumia

relative,

sedangkan

peningkatan

permeabilitas kapiler menyebabkan hilangnya cairan intravascular ke


interstitial dan menyebabkan udem. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan syok
Pada syok sepsis hipoksia sel, tidak terjadi karena adanya penurunan
perfusi jaringan, melainkan karena ketidakmampuan sel menggunakan
oksigen karena toksin kuman.
5)

Syok kardiogenik

Respon neurohormonal dan reflex adanya hipoksia akan menaikan


frekuensi denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard.
Kondisis diatas akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard,
sehingga makin memperburuk keadaan dimana sebelumnya perfusi
miokard telah menurun.
Efek selanjutnya adalah penurunan curah jantung, penurunan tekanan
darah, dan jika indeks jantung telah kurang dari 1,8 L/menit/m2 maka
terjadilah syok kardiogenik tersebut.
e.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada semua jenis shock hampir sama, yaitu timbulnya
tanda dan gejala sebagai berikut:
1.

sistem kardiovaskular

gangguan sirkulasi perifer: pucat, akral dingin, capillary refill


lambat. dan penurunan tekanan darah

nadi cepat dan halus

tekanan darah rendah tanda ini tidak bisa dijadikan


pegangan karena terdapatnya mekanisme kompensasi hingga
kehilangan darah 1/3 volume total.

Vena perifer kolap, dimana vena leher merupakan penilaian


paling baik

2.

sistem respirasi

3.

CVP rendah.

nafas cepat dan dangkal

sistem saraf pusat

perubahan status mental pasien. Bila tekanan darah rendah


makan akan menyebabkan hipoksia otak sehingga pasien
tampak gelisah hingga kehilangan kesadaran.

4.

sistem gastrointestinal

kurangnya asupan oksigen ke saluran pencernaan dapat


menyebabkan rasa mual hingga muntah

5.

sistem perkemihn

produksi urin yang berkurang. Normal rata-rata produksi urin


dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)

f.

Pemeriksaan Diagnostik
1.

Anamnesa
Beberapa hal penting yang perlu diketahui pada pasien baik dari
keluarga maupun teman dekatnya, antara lain:

2)

Riwayat trauma

Riwayat penyakit jantung

Riwayat infeksi

Riwayat pemakaian anafilaktik

Pemeriksaan Fisik

Kulit:

suhu dingin (hangat pada syok septic hanya bersifat sementara)

warna pucat (pada syok septi biasanya kemerahan, sedangkan


pada syok kardiogenik biasanya sianosis)

3)

basah, terjadi jika syok telah memasuki fase lanjutdan basah.

Tekanan darah:
Hipotensi dengan sistol < 80 mmHg

4)

Jantung
Takikardi, denyut lemah, dan sulit diraba

5)

Respirasi
Respirasi meningkat dan dangkal dan kemudian melambat

6)

Status mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan, kesadaran menurun, spoor,
dan koma.

7)

Ginjal
Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam

8)

9)

Fungsi metabolic

Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan

Alkaliosis respirasi akibat takipneu

Sirkulasi
Tekanan darah vena sentral menurun pada syok hipovolumik tetapi
meninggi pada syok kardiogenik

10)

Keseimbangan asam basa

Pada awal syok, pO2 dan pCO2 menurun.Penurunan pCO2 karena


adanya takipne, sedangkan penurunan pO2 karena adanya aliran pintas
paru.
11)

6.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah: Hb, Hmt, Leukosit, dan golongan darah

Kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, dan glukosa darah

Analisa gas darah

EKG

Penilaian GCS

1 Eye :
-

saat dokter mendatangi pasien,pasien spontan membuka mata dan


memandang dokter : skor 4.

pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau diperintahkan


untuk membuka mata oleh dokter : skor 3.

pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.

pasien tidak membuka mata dengan pemberian rangsang apapun: skor


1

2 Verbal :
-

pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab pertanyaan dokter


dengan

benar

(pasien

menyadari

bahwa

ia

ada

di

rumah

sakit,menyebutkan namanya,alamatnya,dll) : skor 5.


-

pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung,pasien tidak tahu


secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya,dan memberikan
jawaban yang salah saat ditanya oleh dokter : skor 4.

pasien mengucapkan kata jangan/stop saat diberi rangsang nyeri,tapi


tidak bisa menyelesaikan seluruh kalimat,dan tidak bisa menjawab
seluruh pertanyaan dari dokter : skor 3.

pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali,dan hanya


mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.

pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri (cubitan)


: skor 1.

3 Motoric :
-

pasien dapat mengikuti perintah dokter,misalkan Tunjukkan pada


saya 2 jari! : skor 6.

pasien tidak dapat menuruti perintah,tapi saat diberi rangsang nyeri


(penekanan ujung jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor 5.

pasien berusaha menolak rangsang nyeri : skor 4.

saat diberi rangsang nyeri,kedua tangan pasien menggenggam dan di


kedua sisi tubuh di bagian atas sternum (posisi dekortikasi) : skor 3.

saat diberi rangsang nyeri,pasien meletakkan kedua tangannya secara


lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) : skor 2.

7.

pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang nyeri : skor 1.

Analisis skenario
Pada skenario dilaporkan bahwa dari pasien didapatkan dua jejas, yaitu region
bahu kiri dan pada hemithorax kanan. Kedua jejas ini menghasilkan manifestasi
yang berbeda. Pada regio bahu kiri, akan didapatkan nyeri, deformitas, dan
krepitasi. Hal ini dikarenakan regio bahu disusun oleh acromion oss scapula dan
oss humerus dan beberapa ligamentum yang rawan mengalami dislokasi atau
deformitas akibat jatuh. Krepitasi terjadi karena terdapat gangguan sendi,
sedangkan nyeri bahu terjadi karena syaraf yang menginnervasi gelang bahu
terstimulasi akibat perubahan anatomis gelang bahu yang terjadi karena benturan
akibat trauma.
Sedangkan jejas pada hemithorax kanan akan memunculkan manifestasi klinis
berupa pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor, dan auskultasi
vesikuler menurun, serta emfisema subkutis. Jejas yang ada pada hemithorax
kanan di skenario mengindikasikan adanya riwayat trauma tumpul. Trauma
tumpul bisa membuat rongga thorax terganggu, salah satunya akan terjadi
pneumothorax. Pneumothorax merupakan suatu keadaan terdapatnya udara dalam
cavum pleura. Hal ini terjadi karena trauma tersebut membuat udara masuk ke
cavum pleura. Pneumothorax ada dua, pneumothorax terbuka dan tension
pneumonia. Pneumothorax terjadi saat ada hubungan langsung rongga plerura
dengan lingkungan sehingga cepat mencapai titik seimbang. Namun tension

pneumothorax (pneumothorax ventil) terjadi di mana udara yang ada pada cavum
pleura tidak bisa keluar. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrapleura yang progresif sehingga mengakibatkan paru-paru sulit mengembang.
Paru-paru sulit mengembang karena udara pada cavitas pleura inilah yang akan
menimbulkan manifestasi klinis berupa sesak dan terjadi ketertinggalan
pergerakan dinding dada kanan saat inspirasi. Selain itu, dengan adanya udara
pada cavitas plerura, hal ini juga bisa didapatkan dari pemeriksaan fisik perkusi
dan auskultasi. Selain itu pada pasien di skenario didapatkan emfisema subkutan.
Hal ini dapat terjadi karena udara akan mengisi subkutan karena udara dari luar
yang masuk karena trauma, atau dari paru-paru menembus pleura visceralis dan
parietalis masuk ke subkutis. (Tanto, 2014)
Pada prinsipnya, perkusi akan terdengar sonor apabila kita mengetuk dinding
dada karena adanya udara dalam paru-paru, namun akan terdengar hipersonor
apabila terdapat udara berlebih, yaitu adanya udara pada cavum pleura.
Sedangkan auskultasi vesikuler akan menurun. Suara napas vesikuler merupakan
suara normal peru yang bernada rendah, terdengar lebih panjang pada fase
inspirasi daripada ekspirasi dan kedua fase bersambung. Suara napas vesikuler
pada skenario menurun akibat udara yang ada di cavum pleura meredam suara
vesikuler. (Bickley dan Szilagyi, 2007). Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS
15. Hal ini berarti pasien sadar penuh, tidak ada gangguan pada pusat
kesadarannya di batnang otak. Vital sign pasien juga tidak normal. Nafas cepat
(RR=32x/per menit) dan dangkal, nadi 120x/menit (tinggi), tekanan darah 90/70
mmHg

(rendah).

Hal

ini

terjadi

karena

kolapsnya

paru-paru

akibat

terakumulasinya udara pada cavum pleura akan membuat oksigen yang masuk ke
sirkulasi darah sedikit. Selain itu, penekanan pleura pada paru-paru yang
mengalami pneumothorax juga akan menekan mediastinum dan paru-paru ke
kontra lateralnya. Hal ini bisa mengakibatkan gangguan aliran balik vena menuju
atrium. Hipoksia dan gangguan aliran balik vena ini yang mengakibatkan
penurunan curah jantung yang akat berakibat terjadinya hipotensi, peningkatan
tekanan nadi, peningkatan frekuensi napas, dan bisa sampai mengakibatkan
kematian apabila tidak ditangani dengan baik dan segera. (Tanto, 2014)
8.

Penatalaksanaan pada skenario


Pada kasus traumatologi, hal yang perlu diperhatikan pertama dalam
penatalaksanaan adalah mengenai bantuan hidup dasar (Basic Life Support) yang

terdiri atas primary survey dan secondary survey. Berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan dokter IGD, diduga adanya pneumothorax ventil kanan serta terdapat
fraktur pada regio bahu kiri (klavikula).
1) Penanganan Pneumothorax Ventil
Pneumothorax ventil atau Tension Pneumothorax adalah suatu
kegawatdaruratan pada trauma dada. Pemberian oksigen teapi sangat
diperlukan pada kondisi ini, karena pemberian oksigen 100% dapat
meningkatkan absorpsi udara pada pleura. Selanjutnya penanganan dengan
jarum dekompresi yang dilakukan pada intercostal 2 pada garis midklavikula
(tindakan thorakosintesis). Penggunaan pipa torakostomi digunakan pada
pneumothorax dengan gejala klinis sulit bernapas, nyeri dada, hipoksia, dan
gagalnya pemasangan jarum aspirasi dekompresi. Pipa thorakostomi
disambungkan dengan alat yang disebut WSD (water seal drainage). WSD
mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water seal yang berfungsi sebagai
katup satu arah berisi pipa yang ditenggelamkan di bawah air, untuk
mencegah air masuk ke dalam pipa pada tekanan negatif rongga pleura, dan
ruang pegendali suction.
2) Penanganan Syok
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pasien mengalami takikardi dan
hipotensi (perbedaan tekanan darah sistol-diastol <= 20 mmHg), sehingga
kemungkinan pasien telah jatuh dalam kondisi syok. Pemberian terapi cairan
secara IV dilakukan untuk resusitasi awal pada penderita pneumothorax
dengan keadaan syok, dengan pemasangan kateter IV ukuran besar dengan
pemberian larutan elektroit isotonik untuk menstabilkan volume vaskuler
dengan mengganti cairan pada ruang interstitial dan interseluler.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.

Simpulan

Pada kasus traumatologi sangat penting untuk melakukan primary survey


maupaun secondary survey untuk menentukan triage pasien sehingga kasus
dapat tertangani dengan cepat serta memiliki angka morbiditas yang rendah.
Prioritas utama triage selain bergantung pada berat/ringanya kondisi pasien juga
bergantung pada ketersediaan tenaga medis dan fasilitas. Prioritas utama adalah
pasien gawat darurat dengan prognosis yang masih baik

Aspek medikolegal terutama dalam hal ini adalah informed consent sangat
penting dalam tindakan medis, namun dalam kondisi kondisi tertentu seperti
kegawat daruratan yang mengancam nyawa, informed consent dapat dilakukan
setelah kondisi pasien stabil.

Tension pneumothorax sering terjadi pada trauma dinding thorax, umumnya


terjadi pada usia muda, serta merupakan kegawatdaruratan paru yang
memerlukan penanganan segera, untuk menilai hal tersebut dapat melalui
manifestasi klinis yang ditunjukan pasien. Stabilisasi vital sign sedini mungkin
terutama airway. Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan setelah kondisi pasien
terkompensasi.Penanganan tension pneumothorax adalah dengan thoracostomy
yang dilakukan di SIC 2 linea midclavicularis tepat diatas permukaan kostae 3.
Hal ini bertujuan untuk menghindari n. Intercostalis.

B.

Saran
Sangat perlu untuk membedakan antara traumatologi dan kedaruratan medik, meskipun
antara keduanya beririsan, namun pada beberapa aspek terdapat perbedaan yang
memang akan lebih baik jika pembahasanya dipisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60, Nomor 4, April.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/722/717 - diakses
3 Mei 2015
American College Of Surgeons Committee On Trauma,Student Course Manual 7thEdition
:advanced Trauma Life Support for Doctors: Bab 5 Trauma Thoraks: 111-127
Bickley LS, dan Szilagyi PG. 2007. Chapter 7, The Thorax and Lungs. Dalam: Bickley L.S.
dan Szilagyi PG. Bates'

Guide to Physical Examination and History Taking.9th

edition.Lippincott Williams & Wilkins.


Jain D.G, Gosari S.N, Jain D.D :Understanding and Managing TensionPneumothorax.JIACN
2008; 9(1) :4250
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan
Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Wibisono E, Budianto IR. 2014. Pneumotoraks. Dalam: Tanto, C, et al. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. Hal 271-274

Anda mungkin juga menyukai