PENDAHULUAN
Meskipun analisis di atas baru berdasarkan pertimbangan akal sehat (common sense),
namun para calon guru seyogianya berjaga-jaga untuk mengantisipasinya. Oleh karena itu,
dengan adanya makalah ini kami akan membahas dengan seksama bagaimana sebenarnya
hubungan atau keterkaitan antara tugas professional kependidikan itu, baik dengan tujuan
pendidikan jangka panjang maupun tujuan utuh pendidikan. Selain itu, bagaimana pula
seyogianya setiap guru itu menyikapi tugasnya agar mampu menjadi panutan yang
didambakan.
Dirancang (TYD) ?
Bagaimana hubungan Tujuan Utuh Pendidikan (TUP) dengan Tugas yang
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.2.8
Dirancang (TYD) ?
Bagaimana tindakan yang mengacu pada Tujuan Utuh Pendidikan (TUP) ?
Apa hakikat refleksi professional ?
Mengapa hakikat refleksi professional ?
Bagaimana hakikat refleksi professional ?
Bagaimana sikap guru atau pendidik terhadap tugas-tugasnya ?
Apa eksistensi organisasi profesi dan manfaatnya bagi pengembangan profesi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui hubungan Tujuan Pendidikan Jangka Panjang (TPJP) dengan
1.3.2
1.3.3
1.3.4
Dirancang (TYD).
Mengetahui tindakan yang mengacu pada Tujuan Utuh Pendidikan (TUP).
Mengetahui hakikat refleksi professional (apa, mengapa, dan bagaimana
1.3.5
1.3.6
refleksi profesional).
Mengetahui sikap guru atau pendidik terhadap tugas-tugasnya .
Mengetahui eksistensi organisasi profesi dan manfaatnya bagi pengembangan
profesi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
manusia seutuhnya. Bagi bangsa Indonesia, rumusan TUP sebagaimana tertuang dalam UU
2
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang berbunyi :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Karakteristik hubungan antara TUP dengan TYD baik secara derivative-vertikal
maupun derivative-horisontal, mengimplikasikan bahwa tindakan-tindakan yang dimaksudkan
seyogianya dilakukan secara berkembang dan bertahap. Tahapan dan jenjangnya, antara lain :
1) Tingkat Struktural merupakan organisasi penyelenggara sistem pendidikan nasional di
tingkat pusat dan daerah. Secara makro nasional dan regional, tindakan-tindakan yang
seyogianya dilakukan antara lain :
a. Digariskan dan ditetapkan criteria standar minimal bobot muatan isi kurikulum berikut
proporsi antar komponennya, serta rambu-rambu prosedur pengembangannya yang
menjamin keterpaduan kontribusi relative dari keseluruhan perangkat komponen
tersebut secara harmonis, sinergis, dan sistemik sesuai dengan ketentuan TUP, untuk
setiap program studi pada semua kategori jalur, jenjang, jenis satuan pendidikan.
b. Digariskan dan ditetapkan criteria standar minimal penilaian keberhasilan sistem
pembelajaran/ pendidikan secara menyeluruh berikut indicator bobot kontribusirelatifnya dari keseluruhan perangkat komponen kurikulum/ sistem pembelajaran/
pendidikan yang terhitung esensial (core componen) sehingga dipandang merefleksikan
tingkat jaminan mutu (quality assurance) atas ketercapaian TUP, untuk setiap program
studi pada semua kategori jalur/ jenjang/ jenis satuan pendidikan.
c. Digariskan dan ditetapkan criteria standar minimal penilaian kelayakan kuantitatif dan
kualitatif bahan sumber pembelajaran, buku ajar yang relevan dengan tuntutan TUP
secara menyeluruh dan untuk setiap komponen kurikulum atau sistem pembelajaran
sebagai refleksi jaminan mutu (quality assurance) kredibilitas setiap program studi pada
semua kategori jalur, jenjang, jenis satuan pendidikan.
d. Digariskan dan ditetapkan criteria standar minimal penilaian kecocokan dan kepantasan
(fit and proper) kualifikasi guru/ tenaga kependidikan secara professional sesuai dengan
tuntutan TUP sebagai refleksi jaminan mutu (quality assurance) kredibilitas setiap
program studi untuk semua kategori jalur, jenjang, jenis satuan pendidikan.
e. Digariskan dan ditetapkan criteria standar minimal penilaian kelayakan prasarana/
sarana pendukung (support systems) lainnya sesuai dengan tuntutan TUP sebagai
3
jaminan mutu (quality assurance) untuk setiap program studi pada semua kategori jalur,
jenjang, jenis satuan pendidikan.
2) Pada tingkat institusional merupakan satuan pelaksana penyelenggaraan sistem pendidikan,
baik pada jalur/ jenjang/ jenis persekolahan maupun luar sekolah. Tindakan-tindakan yang
seyogianya dilakukan, antara lain :
a. Dikembangkan dan ditetapkan GBPP perangkat kurikulum lengkap setiap satuan
pendidikan yang isi muatan dan proporsinya mengindahkan criteria standar secara
nasional sehingga mencerminkan keselarasan (sinergis), keseimbangan (harmonis dan
proporsional) secara terpadu dari keseluruhan perangkat komponen (mata pelajaran/
bidang studi dan program kegiatan) sehingga merefleksikan jaminan mutu bagi
perwujudan manusia seutuhnya.
b. Dikembangkan dan ditetapkan criteria acuan standar penilaian berikut perangkat
instrument evaluasinya yang juga memadai sesuai dengan standar kelayakan/ validitas
dan reliabilitasnya, baik untuk setiap komponen maupun totalitas (keseluruhan) sistem
pembelajarannya yang dapat mengungkapkan dan mendeskripsikan profil manusia
seutuhnya yang diharapkan oleh setiap satuan pendidikan yang bersangkutan.
c. Dipilih atau dikembangkan serta ditetapkan perangkat sumber bahan ajar serta
disediakan secara memadai sesuai dengan tuntutan TUP pada setiap satuan pendidikan
dengan mengindahkan standar kelayakan minimal yang ditetapkan secara rasional yang
mencerminkan keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan sebagai media pencapaian
manusia seutuhnya.
d. Dipilih, ditempatkan, ditugaskan, disediakan, dan dikembangkan tenaga guru secara
memadai pada setiap satuan pendidikan dengan mengindahkan criteria standar
kualifikasi professional dengan kecocokan dan kepantasannya, sebagai ujung tombak
pelaksana upaya mewujudkan manusia seutuhnya.
e. Dipilih, dikembangkan, dibangun, disediakan secara mewadai sumber daya pendukung
sistem pembelajaran pada setiap satuan pendidikan. Sehingga dapat menjamin
tercapainya prakondisi bagi tumbuh kembangnya manusia seutuhnya, misalnya sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan yang mewadai.
3) Tingkat operasional merupakan satuan pelaksana kegiatan proses pembelajaran pendidikan
pada jalur/ jenjang/ jenis persekolahan dan pendidikan luar sekolah.
2.2
refleksi diri. Kemampuan itu sangat penting bagi mereka yang mengemban tugas-tugas
professional terutama yang termasuk kategori helping profession atau profesi pelayanan
bantuan, seperti dokter, psikiater, guru, dan lain-lainnya (Blocher, 1987).
Kemampuan melakukan refleksi professional itu dipandang amat penting dalam kajian
keprofesionalan pelayanan bantuan karena dapat dikatakan bahwa tugas pekerjaan helping
profession itu sangat erat dengan masalah kelangsungan hidup dan nasib masa depan klien
atau customer. Contohnya : jika konselor keliru mendiagnosis masalah yang dialami kliennya
atau siswa, ia akan memberikan penanganan yang salah, yang pada awalnya bertujuan
membantu, akhirnya justru malah sebaliknya, merusak perkembangan peserta didik yang
bersangkutan. Bagi profesi keguruan bahkan dampak itu mungkin lebih jauh lagi, ialah
terhadap kinerja pembangunan kesejahteraan hidup umat manusia. Mochtar Buchori (1994)
menekankan betapa pentingnya kemampuan refleksi professional itu dimiliki oleh pengemban
tugas kependidikan, khususnya para guru.
Urgensi refleksi professional itu bagi bidang profesi keguruan lebih mendasar lagi
dengan memperhatikan pertimbangan berikut ini.
a. Meskipun secara umum dan universal telah diakui bahwa bidang pekerjaan kependidikan
itu sebagai suatu profesi, namun posisinya masih belum sepenuhnya setara dengan profesi
yang telah mapan, seperti profesi dokter, jaksa, dan sebagainya, yang bersifat mandiri.
Profesi kependidikan cenderung masih baru merupakan profesi yang digaji/ dibayar oleh
instansi yang memperkerjakannya, terutama pemerintah, dan bukan oleh klien langsung
yang menerima pelayanannya. Tidak mengherankan jika diangkat menjadi PN itu selalu
menjadi dambaan para guru. Padahal di Negara yang telah maju tidak demikian halnya.
Menuju globalisasi yang akan bersifat kompetitif (dengan sistem kontrak kerja), sudah
jelas para pengemban profesi kependidikan dan keguruan harus selalu berupaya
meningkatkan dan mempertahankan standar kualitas keprofesionalannya agar mampu
bersaing (Blocher, 1987). Perkembangan IPTEK sangat mempengaruhi bidang profesi
kependidikan dan keguruan, terutama dalam hal antara lain :
- Muatan dan kemasan kurikulum dan bahan ajarnya (curriculum content and learning
-
Secara umum, Fishbein dan Ajzen (1975), menjelaskan bahwa orang akan
menunjukkan tiga dimensi kemungkinan kecenderungan arah sikap terhadap suatu hal yang
dihadapinya., termasuk profesi kependidikan atau keguruan di dalamnya.
Kecenderungan pertama, orang akan menerima kenyataan apa adanya. Dengan
kemungkinan ia menerima sepenuhnya (strongly agree, sangat setuju), atau menerima
sepenuhnya (agree, setuju), atas objek yang disikapinya. Dengan kata lain, yang bersangkutan
menyikapi secara positif atau sangat positif suatu hal yang dihadapinya. Dalam konteks bahan
telaahan ini berarti seorang guru atau pendidik itu menyikapi tugas-tugas profesionalnya
secara positif.
Kecenderungan kedua, orang sebaliknya akan menolak (disagree, tidak setuju) bahkan
mungkin secara sadar atau tidak sadar sangat menolak (stongly disagree, sangat tidak setuju)
terhadap suatu hal yang dihadapinya. Hal itu berarti, seorang guru atau pendidik juga, sangat
boleh jadi sesungguhnya menolak atas tugas jabatan profesionalnya, walaupun secara realitas
ia terlibat dengan kegiatan yang bersangkutan. Dengan kata lain, seorang guru sangat
mungkin menyikapi tugas-tugas profesionalnya secara negative.
Kecenderungan ketiga, seseorang kemungkinan menyikapi suatu hal yang dihadapinya
dengan diliputi keragu-raguan (embivalencies). Dalam hal tertentu sangat boleh jadi yang
bersangkutan dapat menerima dan dalam hal lain ia menolaknya. Hal itu sangat mungkin
terjadi pada para guru dalam menyikapi tugas profesionalnya.
Secara teoritis dapat dinyatakan bahwa sikap itu pada hakikatnya merupakan
kecenderungan untuk bertindak (menerima/melakukan, tidak menerima/tidak melakukan,
meragukan/setengah hati) atas sesuatu hal yang dihadapinya. Dengan sendirinya, hal itu akan
sangat berpengaruh pada kinerja yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya, termasuk
para guru. Atas dasar itu, Johnson dan kawan-kawan (1972) menempatkan unsur sikap dan
kepribadian guru atau pendidik itu dalam posisi structural perangkat komponen kompetensi
atau kemampuan professional tenaga kependidikan. Dengan kata lain, komponen sikap
kepribadian guru itu merupakan fondasi bagi terbentuknya komponen prasyarat kemampuan
lainnya, seperti penguasaan bahan, penguasaan teknis professional/metodologis, penguasaan
pola berpikir dan bertindak, penggunaan kemampuan penyesuaian diri secara luwes.
Kesemuanya itu membangun perangkat komponen kompetensi prasyarat (enabling
competencies) bagi terbentuknya kemahiran penampilan professional dan dirasakan langsung
oleh klien atau siswa yang menerima pelayanan atau perlakuan dari guru yang bersangkutan.
Yang masih menjadi permasalahan besar bagi nasib pendidikan di Indonesia hingga
saat ini adalah FKIP-FKIP yang diasuh oleh perguruan tinggi yang bukan berasal dari LPTK
sama sekali sudah tidak mengembangkan jurusan/program studi Ilmu Pendidikan lagi.
Jika keadaan tersebut dilewatkan saja maka dapat dibayangkan seperti apa kualitas
kinerja para guru di negeri ini, mereka mahir dalam teknik mekanisme pembelajaran, tetapi
8
sikap profesionalnya diragukan. Dapat dimaklumi juga jika pelaksanaan tugasnya dikerjakan
dengan setengah hati. Mereka akan dengan mudah pindah atau meninggalkan tugasnya kalau
ada kesempatan pekerjaan yang lain yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain, jabatan guru
hanya sekedar batu loncatan semata-mata. Implikasinya, kualitas pendidikan (SDM) dewasa
ini sulit diharapkan untuk dapat meningkat. Namun demikian, analisis jati diri sikap
professional itu penting bagi siapapun yang ingin sukses dalam menunaikan tugas jabatannya.
2.3
Indonesia (PGRI). Namun yang akan kita bahas kali ini adalah salah satu ciri profesi yaitu
adanya asosiasi profesi yang dibentuk berdasarkan tujuan profesional dan bertujuan untuk
mengembangkan profesi itu sehingga memperoleh pengakuan dari masyarakat.
Di dalam perkembangannya, organisasi guru/kependidikan telah banyak mengalami
diferensiasi dan diservisikasi. Hal ini sejalan dengan terjadinya diferensiasi dan diservisikasi
prfesi kependidikan.sebagaimana dinyatakan dalam UU No.20 tahun 2003 Pasal 1 ayat (6)
bahwa Pendidik adalah tenaga kependidikan yag berkualifikasi sebagai guru ,dosen,
konselor, pamong belajar, widyariswara, tutor, instruktur, fasilisator dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Beberapa organisasi profesi di indonesia, disamping PGRI
1. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), beranggotakan para sarjana, di dalamnya
mempunyai sejumlah himpunan sejenis, seperti Himpunan Sarjana pendidikan Biologi
2. Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah organisasi profesi
konselor disekolah (guru pembimbing/ guru BP). ABKIN memiliki empat divisi, yaitu:
(1) Divisi Ikatan Pendidikan Konselor Indonesia, (2) Divisi Ikatan Sarjana Konseling
Indonesia, (3) Divisi Ikatan Konselor indonesia, (4) Divisi Ikatan Instrumentasi
Bimbingan Konseling Indonesia.
Selain itu ada organisasi yang mengarah pada Internasionalisasi profesi, Indonesian
Society for Special Needs Education (ISSE) dan Indonesian Society for Adapted Phisical
Education.
Organisasi apapun yang dibentuk oleh sebuah profesi, akhirnya harus memberi
manfaat untuk para anggota organisasi itu, terutama dalam meningkatkan kemampuan
profesional.
2.4
dan Blocher, 1986: 7) yang menopang suatu profesi. Kepercayaan masyarakat tersebut
9
masyarakat.
Ketiga, presepsi yang melahirkan kepercayaan itu ialah anggota anggota suatu profesi
memiliki motivasi untuk memberikan layanan kepada orang orang dengan siapa
mereka bekerja.
Suatu profesi mengandung unsur pengabdian (Oemar Hamalik, 1984: 3). Menurutnya,
suatu profesi bukanlah dimaksudkan untuk mencari keuntungan materi belaka. Melainkan
untuk pengabdian kepada masyarakat. Dalm pengabdiannya itu, profesi harus berusaha
menimbulkan kebaikan, keberuntungan dan kesempurnaan, serta kesejahteraan bagi
masyarakat.
1. Ciri ciri profesi
Erick Hoyle (1968: 80-85) mengemukakan enam ciri profesi, yaitu:
a. A profession perform an essential social service (suatu profesi menunjukkan suatu
pelayanan sosial);
b. A profession is founded up on sysmatic body of knowledge (suatu profesi didasari oleh
tubuh keilmuan yang sistematis);
c. A profession requires a lengthy period of academic and practicel training (suatu profesi
memerlukan suatu pendidikan dan latihan dalam periode waktu yang cukup lama);
d. A profession has a light degree of autonomy (suatu profesi memiliki anatomi yang
tinggi);
e. A profession has a code of ethics (suatu profesi memiliki kode etik);
f. A profession generate in service growth (suatu profesi berkembang dalam proses
pemberian layanan);
Menurut sutan zanti dan syahmiar syahrun (1992: 133), suatu jabatan profesional
harus mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu:
a. Pekerjaan itu disiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara formal;
b. Pekerjaan itu mendapat pengakuan dari masyarakat;
c. Adanya pengawasan dari suatu organisasi profesi, seperti IDI, PGRI dan IPBI;
d. Mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
dalam melaksanakan profesi tersebut;
Dedi supriadi (1998: 96) mengemukakan lima ciri suatu profesi. Pertama, pekerjaan
itu mempunyai fungsi dan signifikasisosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat.
Kedua, profesi menuntut ketrampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan
yang lama dan intensif melalui lembaga tertentu yang secara sosial dapat
dipertanggungjawabkan. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a sysmatic body
of knowledge), bukan hanya common sense. Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman
perilakuanggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima,
10
Sebagaimana dijelaskan dalam PP No.38 1992, Pasal 61, ada lima misi dan tujuan
organisasi kependidikan, yaitu: meningkatkan dan atau mengembangkan (1) karier, (2)
kemampuan, (3)kewenangan profesional, (4) martabat, (5) kesejahteraan seluruh tenaga
kependidikan. Sedangkan visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga kependidikan yang
profesional.
1. Meningkatkan dan/ataumengembangkan karier anggota, merupakan upaya organisasi
profesi kependidikan dalam mengembangkan karier anggota sesuai dengan bidang
pekerjaan yang diembannya.
2. Meningkatkan dan/atau mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya
terwujudnya kompetensi kependidikan yang handal dalam diri tenaga kependidikan atau
guru, yang mencangkup (1) performance component, (2) subject component, (3)
profesional component, (4) proscess component, (5) adjustment component, (6)
attitudes component.
3. Meningkatkan dan mengembangkan kewenangan profesional anggota, merupakan
upaya para profesional untuk menempatkan anggota suatu profesi sesuai dengan
kemampuannya.
4. Meningkatkan dan/atau mengembangkan martabat anggota, merupakan upaya
organisasi profesi kependidikan agar anggotanya terhindar dari perlakuan tidak
manusiawi dari pihak lain dan tidak melakukan praktik yang melecehkan nilai nilai
kemanusiaan.
5. Meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan, merupakan upaya organisasi
profesikependidikan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya.
2.6
komunikasi profesional. Eksistensi dan identitas sebuah profesi dapat diperkokoh melalui
berbagai bentuk kegiatan profesional yang dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan
profesional yang dilakukan melalui organisasi profesi. Oleh karena itu, partisipasi aktif
dariseluruh anggota profesi akan sangat membantu memperkokoh eksistensi dan identitas
sebuah profesi di masyarakat, sehinngga apa yang disebut dengan public trust dapat tercapai
dengan baik.
Beberapa bentuk partisipasi (guru) dalam organisasi profesi guru/kependidikan bisa
berupa.
1. Aktif mengomunikasikan berbagai pikiran dan pengalaman yang mengarah pada
pembaharuana dan perbaikan mutu pendidikan. komunikasi ini bisa dalam bentuk
seminar, simposium dan sejenisnya. Atau tertulis dalam bentuk jurnal profesi atau
media lainnya.
2. Secara aktif melakukan evaluasi diri, baik secara perorangan maupun kelompok dalam
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agar ada kesesuaian antara Tujuan Pendidikan Jangka Panjang (TPJP), Tujuan Utuh
Pendidikan (TUP) dengan Tugas Yang Dirancang (TYD) diperlukan tindakan-tindakan
yang sistematik berdasarkan :
Tingkat structural
Tingkat institusional
Tingkat operasional
Untuk lebih meningkatkan dan mengangkat citra profesi kependidikan, seorang guru,
selain harus mampu mengejawantahkan TPJP, dan TUP, pada TYD, ia juga dipandang
perlu untuk melakukan refleksi professional dan memilih serta memutuskan tindakan
(1) performance component, (2) subject component, (3) profesional component, (4)
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin. (1999). Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan.
Bandung : PPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Blocher, D.H. (1987). The Professional Counselor. New York : Mac Millan.
Buchori, M. (1994). Ilmu Pendidikan dan Praktik Pendidikan dalam Renungan. Jakarta : IKIP
Muhammadiyah Jakarta Press.
Fishbien, M. & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Attention, And Behavior. Sydney : Addison
Wesley Publishing Co.
Harbison, F. & Myers, CH. A. (1964). Education Men Power and Economic Growth
Strategies of Human Resource Development. New York : Me Grow Hill.
Jervis, P. (1983). Professional Education. London : Croon Helm.
Morries, V.C. (1963). Becoming an Educators. New York : Houghton Mifflin.
Landsbury, R.D. (1978). Professional and Management A Study of Behavior in Organization.
Queensland : University of Queensland Press.
LP IKIP Bandung. (1990). Laporan Studi Telusuran Kompleksitas dan Sikap Profesional
Lulusan Program Diploma LPTK dan Non-LPTK.
14
15