Anda di halaman 1dari 19

BAB I

REKAM MEDIK
1.1

1.2

Identifikasi Pasien
Nama

: An. Lia Audina

Umur

: 6 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status Perkawinan

: Belum kawin

Agama

: Islam

Alamat

: Air Bening, Rawas Ilir, Kab. Musi Rawas

Kebangsaan

: Indonesia

No. Rekam Medis

: 903931

Anamnesis
a.

Keluhan Utama : Pasien mengeluh gusi bengkak sejak 1 bulan yang lalu. Pasien
dikonsulkan dari bagian anak RSMH untuk dilakukan pemeriksaan gigi dan
mulut.

b.

Keluhan Tambahan : Gusi berdarah.

c.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien dirawat di bagian Anak RSMH dan didiagnosis dengan AML (Acute
Myeloblastic Leukemia). Pasien direncanakan untuk dilakukan kemoterapi
sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap adanya fokal infeksi. Pasien juga
mengeluh sering terasa ngilu apabila makan, terutama makanan panas atau dingin.
Pasien mengaku jarang menyikat gigi dan senang makan permen.

d.

Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik


Penyakit atau Kelainan Sistemik
Alergi : debu, dingin
Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
1

Ada Disangkal

Penyakit Ginjal
Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah
Epilepsy
e.

1.3

Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya


Penderita belum pernah melakukan pemeriksaan gigi sebelumnya
Riwayat trauma (-)

Pemeriksaan Fisik
a.

Status Umum Pasien


1.
Rujukan : dari teman sejawat bagian Anak RSMH
2.
Keadaan Umum Pasien : Kompos Mentis
3.
Berat Badan : 15 kg
4.
Tinggi Badan : 109 cm
5.
Vital Sign
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 24x/menit
T : 36,7 C
Pupil mata : normal

b.

Pemeriksaan Ekstra Oral


Wajah : Simetris
Bibir : Tidak ada kelainan
KGB : Pembesaran di regio colii (Ukuran multiple 1-2 cm. Nyeri tekan (-))
Pembesaran KGB inguinal (+) ukuran 1 cm
Kelenjar lainnya : Tampak normal
Pemeriksaan Intra Oral
Debris
: ada, di semua regio
Plak
: tidak ada
Kalkulus
: ada, di semua regio
Perdarahan Papilla Interdental
: tidak ada
Gingiva
: Hiperplasia, di semua regio
Mukosa
: tidak ada kelainan
Palatum
: tidak ada kelainan
Lidah
: tidak ada kelainan
Dasar Mulut
: tidak ada kelainan
Hubungan Rahang
: tidak ada kelainan
Kelainan Gigi Geligi
: lihat status lokalis
Lain-lain
: tidak ada

c.

d.

Status Lokalis

Gigi

Lesi

Sondase

CE

Perkusi

Palpasi

Diagnosis/ ICD

Terapi

5.1

D5

Td

Karies dentin

Pro konservasi

5.2

D5

Td

Karies dentin

Pro konservasi

6.1

D5

Td

Karies dentin

Pro konservasi

6.2

D5

Td

Karies dentin

Pro konservasi
2

Persi

6.4

sten

Td

Persistensi

Pro ekstraksi

6.5

GR

Td

Gangren radix

Pro ekstraksi

7.4

D5

Td

Kariess dentin

Pro konservasi

7.5

D5

Td

Karies dentin

Pro konservasi

8.4

GP

Td

Gangren pulpa

Pro ekstraksi

8.5

GP

Td

Gangren pulpa

Pro ekstraksi

Td: Tidak dilakukan

e.

f.

Temuan Masalah
a. Debris di semua regio
b. Kalkulus di semua regio
c. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5
d. Gigi susu persisten 6.4
e. Gangren radix 6.5
f.
Gangren pulpa 8.4, 8.5
g. Hiperplasi gingiva di semua regio
Perencanaan Terapi
1. Kalkulus di semua regio pro scaling
2. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5 Pro konservatif
3. Gigi susu persisten 6.4 Pro ekstraksi
4. Gangren radix 6.5 Pro ekstraksi
5. Gangren pulpa 8.4, 8.5 Pro ekstraksi
6. Hiperplasi gingiva di semua regio pro scaling

g. Diagnosa
a. AML
b. Kalkulus di semua regio
c. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5
d. Gigi susu persisten 6.4
e. Gangren radix 6.5
f.
Gangren pulpa 8.4, 8.5
g. Hiperplasi gingiva marginalis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acute Myeloblastic Leukemia (AML)
2.1.1

Definisi AML

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga dikenal
dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan
penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk
hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga
menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal.
Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut
myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah
putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam
keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera
akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. 1
2.1.2. Klasifikasi
AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi, diferensiasi
dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta penelitian sitokimia.
Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi
yang terbaik.2
Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh French
American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut menjadi 7 subtipe
yaitu sebagai berikut 2
Tabel 1. Klasifikasi AML menurut FAB 2
Subtipe Menurut FAB
(French American British)
MO
M1
M2
M3
M4
M4Eo

Nama Lazim
( % Kasus)
Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi Minimal
(3%)
Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-20%)
Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi
granulositik (25-30%)
Leukimia Promielositik Akut
(5-10%)
Leukimia Mielomonositik Akut (20%)
Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil
abnormal (5-10%)
4

Leukimia Monositik Akut (2-9%)

M5

Eritroleukimia (3-5%)

M6

Leukimia Megakariositik Akut

M7

(3-12%)

2.1.3. Epidemiologi
Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini berkaitan
dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok usia, tetapi
kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML merupakan 20% kasus leukemia
pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada
anak berjumlah kira-kira 15% dari leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai
umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4
per 100.000 penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun
menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur,
puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih. Yayasan
Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus leukemia di seluruh
Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML.3
Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita AML subtipe
M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama dengan
Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan kromosom
pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA.
Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan
trisomi 8.2
2.1.4. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.14-18 Menurut hasil
penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
leukemia. Faktor risiko tersebut adalah4
Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di
Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini.
Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi.
Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan
tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia.
Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida, pestisida
5

Obat obatan

: golongan alkilasi

(sitostatika),

kloramfenikol,

fenilbutazon,

heksaklorosiklokeksan
Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita
leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun
pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio
manfaat-risikonya.
Faktor keluarga / genetik : pada kembar identik bila salah satu menderita AML maka
kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada
saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya menderita AML.
Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan
oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.
Kondisi perinatal : penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen, asfiksia
post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil dan ibu hamil yang
mengkonsumsi alkohol.
Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-cell
yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah
retrovirus dan virus leukemia feline.
Sindroma mielodisplastik : sindroma

mielodisplastik

adalah

suatu

kelainan

pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada
sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan
kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.
2.1.5. Patofisiologi
AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-sel
hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa berkembang menjadi
bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis pluripoten yang
kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten.
Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi
menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi
dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui penyebabnya.
Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan
menekan pembentukan sel darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat
masuk kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga
menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ.2
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan berasal
dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel yang mengalami
6

transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis
bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui progeni sel. 5 Defek kualitatif dan kuantitatif
pada semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan
sel normal. 5
Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan
menggantikan

sel-sel

yang

menghasilkan

sel

darah

yang

normal.

Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya,
dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa membentuk
tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan meningitis,
anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.4
Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan
sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel
leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.3
2.1.6. Gejala Klinis
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah
yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari
jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala
umum yang dapat ditemukan pada pasien AML antara lain 1
a. Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata
mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan.

Sekitar 90 %

mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati
keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosis AML dapat
ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini
sebanding dengan anemia.

b. Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga
didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya demam ini timbul
karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga
didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain.
c. Perdarahan
7

Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita
mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain.
Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan beratnya trombositopenia. 1
d. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan
ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama. Penurunan berat badan juga
sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan.
e. Nyeri tulang
Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri ini
disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang
mengakibatkan terjadi infark tulang.
Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML1
a. Kepucatan, takikardi, murmur
Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena
adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom kaardiorespirasi
seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina.
b. Pembesaran organ-organ
Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa abnomen atau
limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita AML. Splenomegali
lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala
begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.
c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML tertentu, misalnya
leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4). Kelainan kulit yang
didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan
biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa
dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 % M5a dan 50 % M 4. Namun hanya didapatkan
sekitar 5 % pada subtipe AML yang lain.3
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan darah tepi
dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan immnunophenotype,
karyotype, atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).

7,29,30

Aspirasi sumsum tulang

belakang (Bone Marrow Aspiration) merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa
definitif dan menentukan jenis leukemia akut.6
8

Pemeriksaan

immunophenotypic

sangat

penting

untuk

mendiagnosis

acute

megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan diferensiasi minimal dan


leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan genetik pada pasien AML
terlihat dalam tabel berikut :6
Tabel . Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe AML

2.1.8. Terapi
Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis dan kausatif.
Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar
Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis yang
muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana
tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif
yang dilakukan yaitu kemoterapi. 4
Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun 1970an. Angka
Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun 1970 menjadi 43% sekarang
ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan intensif, gabungan dari transplantasi stem sel
sebagai terapi primer dan adanya perawatan suportif.1
Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan produksi
sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali dilakukan adalah
9

menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan, leukositosis dan sindrom tumor lisis.
Kemajuan terapi juga ditentukan oleh penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan
transfusi trombosit sebagai profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya
survival. 1
Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat mengalami
angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil mengalami
remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan separuhnya lagi akan
meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat efek samping pengobatan itu
sendiri. Terapi AML merupakan kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya
regimen terapi untuk anak digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan
dengan agen lain seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak
digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin.

Berbagai penelitian

mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide (ADE)


lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin, Cytosine arabinase
& Thioguanine (DAT).4
Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk memperpanjang
durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. Pada prakteknya,
kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi intensif setelah remisi dicapai karena
hanya sebagian subset yang cocok dengan donor keluarga.4
Setelah tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi konsolidasi)
beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi. Kemoterapi konsolidasi
jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell
Transplantation) cukup efektif.36 Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang
tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada
awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.37 Pada AML terapi rumatan tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan
kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable side effect).
Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut5:
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status
2.
3.
4.
5.
6.

penampilan 2
Jumlah lekosit 3000/ml
Jumlah trombosit 120.0000/ul
Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal
10

7. Elektrolit dalam batas normal.


8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas
70 tahun.
Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi tiap
individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau
sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih
mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. 38 Pasien AML
hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat
penderita lebih sakit sebelum mereka membaik. Penderita menjadi lebih sakit karena
pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin
sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi.39
2.1.9. Prognosis
Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok
berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate)
dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun
atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar
leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten
terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia
sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini
adalah 50-85% 5

Tabel 4. Prognosis AML5

11

Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2
tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ,
kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi, resisten
terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia
sekunder.11,29 Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok
ini adalah 10-20%.6 Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari
baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok
prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup dua tahun kedepan (two years
survival rate) sekitar 40-50% .6
2.2 Infeksi Fokal2
12

Fokus infeksi merupakan area jaringan berbatas tegas yang terinfeksi oleh mikroorganisme
patogen eksogen yang biasanya terletak dekat permukaan kulit atau mukosa. Infeksi fokal
adalah metastasis dari fokus infeksi, organisme, atau produknya yang memiliki kemampuan
untuk merusak jaringan.
2.2.1 Mekanisme Infeksi Fokal

Metastasis

mikroorganismedapat

menyebar

secara

hematogen

atau

limfogen.

Mikroorganisme ini kemudian akan menetap pada jaringan. Organisme tertentu memiliki

predileksi untuk mengisolasi dirinya pada daerah tertentu pada tubuh.


Toksin dan produk toksinmenyebar melalui aliran darah atau saluran limfatikus, dari
fokus yang jauh di mana dapat terjadi reaksi hipersensitivitas pada jaringan. Contoh:
scarlet fever, akibat toksin eritrosit yang berasal dari streptokokus.
2.2.2 Fokus Infeksi Oral

Lesi periapikal terinfeksikhususnya, pada kasus kronik, daerah terinfeksi akan


dikelilingi oleh kapsul fibrosa, yang akan melindungi area bebas infeksi dari area
terinfeksi, tetapi tidak dapat mencegah absorpsi bakteri atau toksin. Granuloma periapikal
dideskripsikan sebagai manifestasi pertahanan tubuh dan reaksi penyembuhan, sementara
kista adalah bentuk lanjut dari granuloma. Abses terjadi ketika fase penyembuhan dan

pertahanan tubuh rendah.


Gigi dengan saluran akar yang terinfeksi merupakan sumber potensial dari penyebaran
mikroorganisme dan toksin. Sering kali terjadi akibat streptokokus hemolitikus; yang

merupakan penyebab penting dari artritis reumatoid dan demam rematik.


Penyakit periodontal merupakan sumber infeksi potensial yang signifikan. Organisme
yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans. Masase ringan pada gusi dapat
menyebabkan bakteremia transitori. Menggoyangkan gigi dari soketnya dengan
menggunakan forsep sebelum melakukan ekstraksi dapat menyebabkan bakteremia pada
pasien dengan penyakit periodontal. Profilaksis oral dapat diikuti dengan bakteremia.
Sehingga dianjurkan untuk memberikan antibiotik pada anak dengan penyakit jantung
kongenital atau penyakit jantung rematik untuk mencegah terjadinya endokarditis
bakterialis.
2.2.3 Dampak Penyebaran Fokus Infeksi Oral

13

Ada beberapa laporan bahwa fokus infeksi oral dapat menyebabkan atau memperparah
penyakit-penyakit sistemik. Contoh yang paling sering adalah:

Artritistermasuk artritis rematoid dan demam rematik. Artritis rematoid merupakan jenis
yang tidak diketahui etiologinya. Pasien ini memiliki titer antibodi terhadap streptokokus

hemolitikus yang tinggi. Ini merupakan reaksi hipersensitivitas jaringan.


Penyakit katup jantungendokarditis bakterialis subakut berkaitan dengan infeksi oral.
Ada kemiripan antara keduanya, yaitu antara agen penyebab penyakit dan
mikroorganisme pada lesi di rongga mulut, pulpa, dan periapikal gejala endokarditis
bakterialis subakut ditemukan pada beberapa kasus segera setelah ekstraksi gigi.
Bakteremia transien terjadi segera setelah ekstraksi gigi. Streptokokus jenis viridan
merupakan sebagian besar penyebab endokarditis bakterialis subakut. Setelah kestraksi
gigi, terjadi bakteremia streptokokus, sehingga kejadian endokarditis bakterialis subakut

dapat terjadi setelah operasi dan ekstraksi gigi.


Penyakit gastrointestinalbeberapa pekerja menyatakan bahwa menelan mikroorganisme
secara spontan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit gastrointestinal. Ulkus

gaster dan ulkus duodenum dapat diakibatkan oleh penetrasi streptokokus.


Penyakit matafaktor-faktor mendukung hipotesis Woods tentang peranan fokus infeksi

pada penyakit mata


Penyakit ginjal mikroorganisme yang sering ditemukan pada infeksi saluran kemih
adalah E.coli, stafilokokus, dan streptokokus. Streptokokus hemolitikus tampaknya
merupakan mikroorganisme yang paling sering. Streptokokus merupakan inhabitan
saluran akar gigi atau area periapikal dan gingiva yang jarang. Karena mikroorganisme
ini sering berhubungan dengan infeksi renal, tampaknya hubungan antara fokus infeksi
oral dan penyakit ginjal sedikit.

2.3. Penyakit Pulpa9


Pulpa Normal
Gigi dengan pulpa normal tidak menunjukkan gejala spontan. Pulpa akan respon
terhadap tes pulpa, dan gejala yang timbul akibat tes tersebut bersifat ringan, tidak
mengganggu pasien, dan bersifat sementara dan hilang dalam beberapa detik. Dari
pemeriksaan radiografi, dapat ditemukan berbagai derajat kalsifikasi pulpa, tetapi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda resorpsi, karies, atau paparan pulpa mekanik. Pada kasus
seperti ini tidak diperlukan terapi endodontik.9
2.3.1 Pulpitis Reversibel
14

Ketika pulpa di dalam gigi mengalami iritasi, hal ini menyebabkan stimulasi sehingga
pasien merasa tidak nyaman, tetapi apabila iritan atau stimulus dihilangkan, nyeri akan hilang,
menandakan keterlibatan serabut saraf A. Kondisi ini dinamakan dengan pulpitis reversibel.
Etiologi pulpitis reversibel antara lain karies, atrisi, abrasi, erosi, atau defek perkembangan
yang menyebabkan dentin yang terekspos, serta terapi gigi yang baru dilakukan. 9,10 Apabila
iritan dihilangkan secara konservatif maka gejala akan hilang. Dapat terjadi kebingungan
apabila terdapat dentin yang terekspos, tanpa adanya bukti patosis pulpa yang terkadang
respon dengan nyeri tajam dan reversibel secara cepat ketika diberikan rangsangan suhu,
evaporatif, taktil, mekanik, osmotik, atau kimiawi. Hal ini disebut dengan sensitivitas dentin
(atau hipersensitivitas dentinal). Dentin yang terekspos pada area servikal gigi pada
kebanyakan kasus didiagnosis sebagai sensitivitas dentin. Perpindahan cairan di dalam tubulus
dentin menstimulasi odontoblas dan serabut saraf A-delta konduksi cepat, sehingga
menyebabkan nyeri tajam dan reversibel cepat dari dentin (Gambar 1).9

Gambar 1. Perpindahan cairan dalam saluran dentin9

Semakin terbuka tubulus dentin (akibat dekalsifikasi dentin, scaling periodontal, material
pemutih gigi, atau fraktur koronal gigi), semakin besar pergerakan cairan tubulus dan
sensitivitas akan lebih jelas. Anamnesis rinci mengenai perawatan gigi terakhir akan
membantu membedakan antara sensitivitas dentin dengan kelainan pulpa lainnya.9
Terapi pulpitis reversibel meliputi ekskavasi karies, restorasi, atau sealing dentin. Apabila
gejala terjadi setelah prosedur terapi seperti placement, restorasi, atau scaling, maka
dibutuhkan waktu agar gejala reda. Jaringan periradikular tampak normal. 10 Pemeriksaan
15

radiologis dapat membuktikan adanya karies atau restorasi defektif; semetara jaringan
periapikal normal. Dengan menghilangkan faktor kausal, umumnya gejala inflamasi pulpa
akan berkurang.11
2.3.2 Pulpitis Ireversibel
Adalah keadaan penyakit pulpa yang berlanjut, dan diperlukan pembuangan jaringan
yang sakit. Etiologi pulpitis ireversibel sama seperti pulpitis reversibel, kecuali gejalanya
yang lebih berat dan konsisten akibat stimulasi serabut saraf C. ABE menyarankan untuk
mengklasifikasikan pulpitis ireversibel menjadi simptomatik dan asimptomatik.9
a. Pulpitis Ireversibel Simptomatik
Gigi ini mengimbulkan nyeri spontan atau intermiten. Paparan gigi terhadap
perubahan suhu yang dramatis akan meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri bahkan
setelah stimulus telah dihilangkan. Tanda khas pulpitis ini adalah nyeri terhadap panas yang
berkurang dengan dingin. Nyeri pada kasus ini dapat timbul sebagai nyeri tajam atau tumpul,
lokal, difus, atau referred. Pada pulpitis ireversibel simptomatik biasanya tidak ada perubahan
atau ditemukan perubahan minimal pada pemeriksaan radiografi pada tulang periradikular.
Pada pulpitis ireversibel lanjut dapat ditemukan penebalan ligamen periodontal dan dapat
menandakan adanya iritasi pulpa oleh kalsifikasi ruang kanalis akar dan pulpa ekstensif.
Apabila pulpitis ireversibel simptomatik tidak diterapi, pulpa akan menjadi nekrotik. Terapi
meliputi perawatan saluran akar, vital pulp therapy, atau ekstraksi.3 Umumnya, jaringan
periradikular tampak normal, kecuali pada beberapa kasus lamina dura tampak melebar atau
menunjukkan adanya condensing osteitis.9,10
b. Pulpitis Ireversibel Asimptomatik
Pada beberapa keadaan, karies dalam tidak akan menyebabkan gejala apapun,
meskipun secara klinis atau radiografi karies dapat mencapai pulpa. Apabila dibiarkan, maka
akan menimbulkan gejala atau nekrosis pulpa. Pada kondisi pulpitis ireversibel asimptomatik,
perawatan endodontik harus dilakukan sedini mungkin sehingga kondisi ini tidak menjadi
simptomatik yang menyebabkan nyeri hebat dan mengganggu kenyamanan pasien.9
2.3.3 Nekrosis pulpa
Terdapat dua bentuk nekrosis pulpa: kering dan likuefaktif. Nekrosis kering ditandai
dengan sistem saluran akar devoid of tissue elements. Nekrosis jenis ini sering menyebabkan
16

kelainan periradikular. Nekrosis likuefaktif ditandai dengan jaringan pulpa berstruktur tetapi
kurang elemen pembuluh darah. Nekrosis likuefaktif lebih sering menimbulkan gejala dan
lebih jarang melibatkan kelainan periradikular.9,10
Apabila terjadi nekrosis pulpa, aliran darah pulpa tidak ada dan serabut saraf pulpa
tidak berfungsi. Kondisi ini merupakan klasifikasi klinis yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi histologis pulpa. Kondisi ini terjadi setelah pulpitis ireversibel
asimptomatik atau simptomatik. Setelah seluruh pulpa menjadi nekrotik, gigi akan menjadi
asimptomatik sampai akhirnya proses ini akan berlanjut mencapai jaringan periradikular. Pada
kasus nekrosis pulpa, gigi tidak respon terhadap tes listrik pulpa atau stimulasi dingin. Tetapi,
apabila panas diaplikasikan dalam rentang waktu tertentu, gigi dapat respon terhadap stimulus
ini. Hal ini dapat terjadi akibat sisa dari cairan atau gas di dalam ruang kanalis pulpa yang
meluas hingga jaringan periapikal. Nekrosis pulpa dapat terjadi parsial atau komplit dan dapat
hanya belibatkan sebagian kanal pada gigi dengan akar lebih dari satu. Oleh karena itu, gigi
dapat menimbulkan gejala yang membingungkan dan pemeriksaan pada satu akar dapat tidak
menimbulkan gejala dan pada akar lainnya dapat memberikan respon vital. Gigi dapat juga
menimbulkan gejala seperti pada pulpitis ireversibel simptomatik.9,10
Setelah pulpa mengalami nekrosis, pertumbuhan bakteri dapat terhambat di dalam
kanal. Ketika infeksi ini meluas ke ruang ligamen periodontal, gigi dapat menjadi
simptomatik terhadap perkusi atau menimbulkan nyeri spontan. Gigi dengan akar tunggal
umumnya tidak respon terhadap tes sensitivitas. Tetapi pada gigi dengan akar ganda, sebagian
dari pulpa masih mungkin vital; sehingga pemeriksaan sensitivitas dapat menimbulkan respon
negatif atau positif, tergantung dari keadaan suplai saraf pada permukaan gigi yang
diperiksa.9,10,11 Perubahan radiografi dapat terjadi, berkisar dari penebalan ruang ligamen
periodontal hingga adanya lesi radiolusen periapikal. Gigi dapat menjadi hipersensitif
terhadap panas, bahkan terhadap kehangatan kavitas oral, dan seringkali berkurang dengan
aplikasi dingin. Hal ini dapat membantu melokalisir gigi yang nekrosis apabila nyeri beralih
atau tidak terlokalisir. Perawatan saluran akar diperlukan pada kasus nekrosis pulpa.9,10,11

BAB III
ANALISIS KASUS
An. LA, perempuan berusia 6 tahun dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH
Palembang dengan leukemia myeloblastik akut dikonsulkan ke bagian poliklinik gigi dan
mulut RSMH untuk dilakukan pemeriksaan adanya fokal infeksi pada gigi untuk persiapan
17

kemoterapi. Pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter gigi. Pasien
mengeluhkan gusinya bengkak dan sering berdarah, pasien juga mengeluhkan ngilu saat
makan makanan panas atau dingin. Hal ini disebabkan iritasi pulpa pada gigi yang mengalami
pulpitis reversibel. Rasa panas atau dingin mengiritasi serabut saraf A sehingga rasa nyeri
timbul seketika, tetapi akan hilang dalam waktu beberapa detik setelah stimulasi hilang. Pada
gigi yang mengalami nekrosis atau gangren pulpa, gigi tidak akan merasakan nyeri atau ngilu
akibat serabut saraf yang telah mati.
Saat dikonsulkan ke Poli Gigi dan Mulut keadaan umum penderita tampak kompos
mentis, nadi 90 x/menit, pernapasan 24 x/menit, suhu 36,7C, dan tekanan darah 90/60
mmHg. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan intraoral
ditemukan kalkulus di semua regio. Pada status lokalis ditemukan adanya karies dentin pada
5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5, persisten 6.4, gangren radix 6.5, dan gangren pulpa 8.4, 8.5.
Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pro scaling untuk kalkulus dan
hiperplasi pada semua regio, pro konservasi pada karies dentin dan pro ekstraksi pada gigi
persisten, gangren radix dan gangren pulpa. Edukasi juga diberikan kepada pasien dalam
pemilihan makanan seperti menghindari makan makanan yang keras dan yang mengandung
banyak sukrosa seperti permen. Pasien juga diajarkan cara menyikat gigi yang benar dan
teratur. Pasien juga diberi konseling mengenai pentingnya kunjungan teratur ke dokter gigi
setiap 6 bulan.
Pada pasien ini penyebab dari karies dentin, gangren radix, dan gangren pulpa diduga
adalah karena oral hygiene yang buruk, dan riwayat pasien yang tidak pernah berobat ke
dokter gigi sehingga karies yang dialaminya terus berlanjut hingga menjadi nekrosis pulpa.
Karies dentin dan gangren radiks harus secepatnya ditatalaksana sebelum tindakan kemoterapi
karena kemoterapi akan menurunkan daya tahan tubuh pasien, sehingga fokal infeksi akan
dapat menyebar ke organ tubuh lain melalui penyebaran sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supriyadi E, Widjajanto PH, Purwanto I, Cloos J, Veerman AJ, Sutaryo S. Incidence of
childhood leukemia in Yogyakarta, Indonesia, 1998-2009. Pediatr Blood Cancer
2011;57:588-93, Epub ahead of print.

18

2. Bhatia S, Ross JA, Greaves MF, Robinson LL. Epidemiology and etiology. Dalam: Pui
CH, penyunting. Childhood Leukemias. Cambridge: Cambridge University Press; 1999.
h. 38-49.
3. Golub TR, Arceci RJ. Acute Myelogenous Leukemia. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG,
penyunting. Princples and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2002.h. 545-89.
4. Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute Lymphoblastic Leukemia. Dalam: Pizzo
PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology. Edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2002.h. 1605-16.
5. Shah M, Agarwal B. Recent advances in management of acute myeloid leukemia (AML).
Indian J Pediatr 2008;75:831-7.
6. Rubnitz JE, Gibson B, Smith FO. Acute myeloid leukemia. Hematol Oncol Clin North
Am 2010;24:35-63.
7. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-486.
8. Priantoro D, HA Sjakti. Leukemia Akut. Dalam: Tanto C, F Liwanag, S Hanifati, EA
Pradipta, penyunting. Kapita Selekta Kedokteran: essentials of medicine edisi IV. Jakarta:
Media Aesculapicus. 2014: hal. 55-57.
9. Berman LH, GR Hartwell. Pulpal Disease. Dalam: Hargreaves KM, S Cohen,
penyunting. Cohens Pathway of The Pulp, 10th ed. China: Elsevier Mosby. 2011: hal.3637.
10. Johnson, WT. Diagnosis of Pulpal and Periradicular Pathosis. Dalam: Color Atlas of
Endodontics. Philadelphia: Saunders. 2002: hal. 9-10.
11. Patel S, BS Chong. Differential Diagnosis. Dalam: BS Chong, penyunting. Hartys
Endodontics in Clinical Practice, 6th ed. Edinburgh: Elsevier Churcill Livingstone. 2010:
hal.26-27.

19

Anda mungkin juga menyukai