Anda di halaman 1dari 99

SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI 2013

A. Latar Belakang
Praktek agroforestri telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia,
dengan berbagai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Sistem usaha tani ini di
Indonesia dikenal dengan berbagai model dan nama lokal, seperti parak di
Maninjau, Sumatera Barat; pelak di Kerinci, Jambi; repong damar di daerah Krui,
Lampung; tembawang di Kalimantan Barat; talun atau dudukuhan di Jawa
Barat; wono dan kitren di Jawa Tengah; tenganan di Bali danamarasi di
wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjonoet al. 2003).
Berdasarkan komponen-komponen penyusunnya, berbagai bentuk
agroforestri dapat dijumpai, yaitu agroforestri di lahan kering (agrosilviculture),
wanamina (silvofishery), wanahijauan pakan ternak (silvopasture), budidaya
perlebahan (apiculture), budidaya persuteraan alam (sericulture), dan budidaya
tanaman obat-obatan di bawah tegakan hutan (wanafarma). Hal ini menunjukkan
bahwa sistem ini bukan hanya menjadi domain sektor kehutanan. Agroforestri
merupakan bagian dari program pembangunan pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, kelautan, serta kesehatan. Bahkan agroforestri merupakan program
yang melibatkan sektor hulu hingga hilir, sehingga terkait pula dengan sektor
perindustrian dan perdagangan.
Sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang telah disesuaikan dengan
kearifan lokal masyarakat, agroforestri dapat berkontribusi terhadap strategi
pembangunan nasional dengan memberikan peluang tenaga kerja (pro job),
meningkatkan taraf hidup masyarakat dibawah garis kemiskinan yang saat ini
jumlahnya sekitar 30 juta jiwa (pro poor) dan berkontribusi terhadap peningkatan
ekonomi daerah terpencil (pro growth), dalam keseimbangan lingkungan (pro
environment) sehingga sesuai dengan kebijakan pemerintahan saat ini. Kontribusi
agroforestri (pro job, pro poor, pro growth, pro environment) dalam arti agroforestri
berperan aktif di tingkat lokal dalam bentuk kontribusi terhadap lapangan kerja,
ekonomi lokal, dan ketahanan lingkungan yang selanjutnya mampu diperluas pada
tingkat nasional.
Di dalam konteks ketahanan pangan, sektor kehutanan memiliki tiga fungsi
utama, yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang memungkinkan terjadinya
produksi pangan secara berkelanjutan; penyedia sumber genetik yang bisa
memperkuat produksi pangan; dan sebagai penyedia lahan. Melalui sistem
agroforestri, pemanfaatan lahan kehutanan dapat lebih dioptimalkan untuk
mendukung program ketahanan pangan tersebut.
1

Modernisasi dunia pertanian telah membawa praktek-praktek pertanian


yang intensif dan spesifik komoditas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa
praktek pertanian tersebut telah mampu meningkatkan produktifitas sebuah
komoditas per unit area, namun juga telah meninggalkan dampak negatif terhadap
peningkatan kerusakan alam erosi, emisi dan penurunan keragaman hayati yang
menyebabkan lingkungan menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim yang
pada akhirnya menurunkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat. Agroforestri
merupakan pendekatan jalan tengah yang diharapkan mampu meningkatkan
ekonomi masyarakatnya melalui diversifikasi penanaman tanaman pangan, pohon
dan pemeliharaan ternak sekaligus mempertahankan kelestarian lingkungan
dengan membangun kembali layanan-layanan ekosistem untuk penyediaan bahan
pangan, energi, keragaman hayati, pengembanagn pengetahuan, sosial-budaya,
layanan-layanan pendukung produksi pertanian seperti siklus nutrisi dan
pengendalian hama penyakit.
Dalam rangka pengembangan pengetahuan, penelitian dan implementasi
agroforestri, Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA) sebagai unit litbang
Kementerian Kehutanan yang secara khusus melaksanakan penelitian di bidang
agroforestri bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang
juga menaruh perhatian yang besar dalam pengembangan agroforestri
menyelenggarakan Seminar Nasional Agroforestri 2013. Penyelenggaraan Seminar
Nasional Agroforestri 2013 tidak lepas dari dukungan World Agroforestry Centre
(ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI). Seminar nasional ini
diharapkan mampu memperbaiki kondisi saat ini dengan pendekatan holistik dari
aspek lingkungan, budidaya, sosial-kebijakan, teknologi dan pengolahan hasil serta
keragaman hayatinya.
B. Tujuan
Seminar Nasional Agroforestri 2013 bertujuan:
1. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian agroforestri kepada masyarakat.
2. Menjadi media berbagi informasi dan umpan balik bagi semua pihak tentang
penelitian berbasis agroforestri.
3. Mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama yang aktif semua pihak dalam
mengimplementasikan hasil-hasil penelitian agroforestri.
C. Tema
Seminar Nasional Agroforestri 2013 ini bertemakan:
AGROFORESTRI UNTUK PANGAN DAN LINGKUNGAN YANG LEBIH BAIK
2

D. Penyelenggara
Seminar Nasional Agroforestri 2013 akan digelar atas kerjasama:
- Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Badan Litbang Kehutanan
- Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
- World Agroforestry Center Indonesia (ICRAF)
- Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI)
E. Waktu Pelaksanaan dan Lokasi
Seminar Nasional Agroforestri 2013 akan diselenggarakan selama satu hari penuh
pada tanggal 21 Mei 2013 di Kampus Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur.
F. Acara dan Kegiatan
Seminar Nasional Agroforestri 2013 dibagi dalam beberapa acara dan kegiatan
yaitu:
1. Presentasi Narasumber Kunci dalam Sidang Pleno
2. Presentasi makalah secara oral hasil seleksi yang akan dipresentasikan secara
simultan dalam komisi:
a. Budidaya
b. Lingkungan dan Perubahan Iklim
c. Sosial dan Kebijakan
d. Ekonomi dan Pemasaran
e. Pengolahan Hasil dan Bioteknologi
3. Presentasi makalah dalam bentuk pameran poster
4. Pameran produk agroforestri dan publikasi hasil litbang
G. Peserta
Peserta seminar direncanakan berjumlah 250 orang yang terdiri dari:
- Peneliti, Dosen dan mahasiswa, Wakil dari Kementerian dan pemerintah daerah
(SKPD),
- Organisasi Profesi, Penyuluh, Praktisi, LSM, dan masyarakat umum yang peduli
terhadap Agroforestri.
H. Narasumber
Narasumber yang akan presentasi pada saat pleno:
1. Dr. Iman Santosa, MSc. (Kepala Badan Litbang Kehutanan)
2. Dr. Meine van Noordwijk (ICRAF)
3. Prof. Dr. Kurniatun Hairiah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)
3

I. Susunan Acara
Waktu
08.00-08.30 WIB
08.30-08.50 WIB
08.50-10.15 WIB

10.15-10.45 WIB
10.45-12.15 WIB

12.15-13.15 WIB
13.15-15.45 WIB

15.45-16.15 WIB
16.15-16.45 WIB

Acara
PENDAFTARAN PESERTA
PEMBUKAAN
1. Laporan Penyelenggara
2. Sambutan selamat datang
Sidang Pleno (narasumber tamu)
1. Makalah dari Badan Litbang
Kehutanan
2. Makalah dari World Agroforestry
Centre (ICRAF)
3. Makalah dari Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya
REHAT SESI POSTER dan
PAMERAN
Sidang Komisi/Diskusi Panel
1. Komisi Budidaya I
2. Komisi Budidaya II
3. Komisi Lingkungan dan
Perubahan Iklim
4. Komisi Sosial dan Kebijakan I
5. Komisi Sosial dan Kebijakan II
6. Komisi Ekonomi dan Pemasaran
ISHOMA SESI POSTER
PAMERAN
Sidang Komisi/Diskusi Panel
1. Komisi Budidaya I
2. Komisi Budidaya II
3. Komisi Lingkungan dan
Perubahan Iklim
4. Komisi Sosial dan Kebijakan I
5. Komisi Sosial dan Kebijakan II
6. Komisi Pengolahan Hasil dan
Bioteknologi
REHAT SESI POSTER
PAMERAN
1. Pembacaan rumusan
2. Penutupan

Pembicara
Kepala BPTA
Rektor UB
Kepala Badan Litbang
Kehutanan
Dr. Meine van Noordwijk
Prof. Dr.
Hairiah

Kurniatun

Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi

dan
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
Pemakalah komisi
dan
Perwakilan tim perumus
Dekan Faperta UB

J. Daftar Presentasi Oral


A. Komisi Budidaya
1. Fenologi Surian (Toona sinensis) di Beberapa Lokasi
Agroforestri di Jawa Barat
Agus Astho Pramono
2. Peta Sebaran Surian (Toona sinensis) dengan Sistem
Agroforestri di Jawa
Agus Astho Pramono dan Danu
3. Pengaruh Subtistusi Media Terhadap Infeksi Mikoriza pada
Perakaran Semai Tusam (Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese)
Ari Darmawan, M. Mandira Budi utomo, dan Levina Augusta G.P
4. Kajian Pola Tanam terhadap Serangan Hama dan Penyakit di
Hutan Rakyat Sumatera Bagian Selatan
Asmaliyah
5. Produksi Buah Ganitri pada Berbagai Ukuran Pohon di
Tegakan Hutan Rakyat Campuran Salawu, Tasikmalaya
Gunawan dan Asep Rohandi
6. Pengaruh Asal Rimpang dan Paket Pemupukan terhadap
Pertumbuhan Tanaman Kunyit di Bawah Tegakan Pinus
Gunawan
7. Potensi Hama pada Pola Agroforestri Kayu Bawang di Provinsi
Bengkulu
Sri Utami, Agus Kurniawan
8. Kajian Struktur dan Komposisi Agroforestri Herbal pada
Beberapa Ketinggian Tempat di Pegunungan Menoreh
Kabupaten Kulon Progo D.I Yogyakarta
Nanang Herdiana, Budiadi, dan Prapto Yudono
9. Pengaruh Sistem Agroforestri Berbasis Jelutung terhadap
Kesuburan Lahan Gambut
Marinus Kristiadi Harun dan Budiman Achmad
10. Pertumbuhan Mangrove pada Tambak Silvofishery di Desa
Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang
M. Hidayatullah
11. Uji Pertanaman Tanaman Sukun dengan Pola Tumpangsari di
Gunung Kidul untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan
Hamdan Adma Adinugraha, Dedi setiadi, dan Ramli Hadun
5

12.
13.
14.
15.
16.

17.
18.

19.

20.

21.

Kajian Pola Agroforestry Ganitri (Elaeocarpus Ganitrus Roxb):


Pendekatan Pola Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Encep Rachman, Tati Rostiwati, dan Rachman Effendi
Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas sebagai Dampak Introduksi
Agroforestri di Lampung Utara
Sri Rahayu Utami dan Sri Hastuti
Konservasi Tumbuhan Bernilai Ekonomi Tinggi melalui
Pengembangan Model Agroforestri Spesifik
Albert Husein Wawo, Ning Wikan Utami, dan Fauzia Syarif
Produktivitas Kacang Tanah (Arachis hypogeae L) di Bawah
Tegakan Manglid dalam Sistem Agroforestry
Aris Sudomo
Pengaruh Tiga Pola Tanam dan Tiga Dosis Pupuk Kandang
terhadap Kemampuan Hidup dan Pertumbuhan Nyamplung
(Calophyllum inophyllum Linn) pada Lahan Pasir di Sepadan
Pantai Pangandaran
Aris Sudomo, Encep Rachman, Aditya Hani, dan Tati Rostiwati
Efek Naungan terhadap Penampilan Jagung P29 di Kawasan
Hutan Jati
Aryana Citra Kusumasari, Bambang Prayudi dan Agus Supriyo
Agroforestry Sorghum (Shorgum Spp.) pada HTI Acacia
Crassicarpa sebagai Sumber Pakan Lebah Apis Cerana di
Propinsi Riau untuk Mendukung Budidaya Lebah Madu
Avry Pribadi dan Purnomo
Peningkatan Produktivitas Komponen Agroforestri melalui
Penggunaan Pupuk Organik Guna Menunjang Keberhasilan
Rehabilitasi Lahan Kritis
Budi Hadi Narendra dan Ryke Nandini
Biodiversitas Komponen Agroforest Madang Bambang Lanang
di Hutan Rakyat pada Kawasan Lematang Ulu Sumatera
Selatan
Endah Kusuma Wardhani, Dona Octavia, dan Yuliah
Keanekaragaman Jenis Pohon Panjat dan Manfaatnya di
Agroforestri Rotan di Kabupaten Katingan
Johanna Maria Rotinsulu, Didik Suprayogo, Bambang Guritno, dan
Kurniatun Hairiyah

22.
23.
24.

25.
26.

Pengaruh Manajemen Pola Penanaman terhadap Produktifitas


Tegakan berdasarkan Simulasi Pemodelan
Degi Harja, Endri Martini, dan Betha Lusiana
Study Produktivitas Tiga Jenis Rumput Pakan Ternak di
Kawasan Hutan Jati Kabupaten Blora
Sajimin, S.N. Jarmani, dan A. Anggraeni
Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif, dan
Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan
Tanaman Sengon
Wahyudi
Pola Agroforestri yang Mampu Meningkatkan Fungsi Ekologi
dan Agronomi Hutan Rakyat
Nina Mindawati, A. Syaffari Kosasih, Sitompul, dan Setyono YT
Jenis-Jenis Rumput Penutup Tanah di Kebun Raya Purwodadi
Solikin

B. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim


1. Keragaman Jenis Pohon dan Potensi Karbon pada Sistem
Agrosilvopastoral di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
Mahrus Aryadi, Arfa Agustina, Eva Prihatiningtyas
2. Penaksiran Emisi Karbon di Casteel Timur, Kabupaten Asmat,
Papua
Marthinus Kendom, Kurniatun Hairiah, dan Sudarto
3. Penerapan Model Agroforestry versus Social Forestry
Menghadapi Perubahan Iklim Global pada Pulau-Pulau Kecil di
Maluku
Agustinus Kastanya, Ronny Lopies, dan Iskhar Bone
4. Pengelolaan Agroforestri untuk Keberlanjutan Lingkungan
pada Hutan Negeri Kilang di Kota Ambon
Debby V Pattimahu
5. Penaksiran Tingkat Emisi dan Sequestrasi Karbon di Jawa
Timur
Rika Ratna Sari, Kurniatun Hairiah, dan Suyanto
6. Erosi dan Limpasan Permukaan pada Pola-Pola Agroforestri di
Wuryantoro, Wonogiri
Irfan B. Pramono dan Rahardyan Nugoho

7.
8.
9.

10.
11.

12.

13.

14.

Revitalisasi Pekarangan sebagai Lanskap Agroforestri Skala


Mikro untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kaswanto dan Tatag Muttaqin
Pola Agroforestri di Kawasan Karst Gunung Kidul untuk
Pengelolaan Telaga sebagai Sumber Air Berkelanjutan
Pranatasari Dyah Susanti dan Adnan Ardhana
Kerusakan Mangrove serta Pengaruhnya terhadap Tingkat
Intrusi Laut (Studi Kasus di Desa Pantai Bahagia Kecamatan
Muara Gembong Kabupaten Bekasi)
Sodikin
Jasa Lingkungan Keanekaragaman Hayati Pohon pada
Agroforest Karet
Subekti Rahayu dan Harti Ningsih
Agroforest Kopi
dan Pengaruhnya terhadap Layanan
Ekosistem di Daerah Resapan Mata Air Krisik (Ngantang,
Kabupaten Malang)
Titut Yulistyarini
Evaluasi Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Penyusun
Hutan Rakyat Agroforestry di Desa Tenggerraharja, Kecamatan
Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat
Wuri Handayani dan Aris Sudomo
Analisis Manfaat Integrasi Sekolah Lapangan dalam Program
PHBM Plus untuk Penguatan Masyarakat Desa Hutan dalam
Pengembangan Agroforestri Berwawasan Lingkungan di
Wilayah Perhutani
Didik Suprayogo, Widianto, Syahrul Kurniawan, Iva Dewi
Lestariningsih, Prasodjo Hari Nugroho , Datin Waluyani
Pembangunan
Landscape
Kalimantan
Barat
yang
Berkelanjutan
Karuniawan Puji Wicaksono dan Nobukazu Nakagoshi

C. Komisi Sosial Dan Kebijakan


1. Media dan Metode Komunikasi dalam Penyuluhan Agroforestri:
Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan
Bulukumba) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan
Kolaka)
Enggar Paramita, Endri Martini, James M Roshetko, dan Robert F.
Finlayson
8

2.

3.
4.
5.
6.

7.

8.
9.

10.

11.

Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Dusung Agroforestry


di Hutan Lindung Gunung Nona (Hlgn) Ambon ( Studi Kasus di
Negeri Urimesing Kota Ambon)
Messalina L. Salampessy dan Iskar Bone
Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Produktivitas
Ternak dan Menjaga Kelestarian Hutan Jati
Sri Nastiti Jarmani
Persepsi Petani terhadap Adopsi Teknologi dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat Agroforestri
Devy Priambodo Kuswantoro dan Idin Saefudin Ruhimat
Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengembangan
Agroforestri Tradisional di Negeri Hative Besar, Kota Ambon
Jan W. Hatulesila dan Gun Mardiatmoko
Corporate Social Responsibility sebagai Alternatif Pembiayaan
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat untuk Mendukung
Sistem Agroforestri dan Ketahanan Pangan
Adnan Ardhana dan Pranatasari Dyah Susanti
Hubungan antara Migrasi Sirkuler dengan Perkembangan
Agroforestri: Studi Kasus Kecamatan Bulu dan Weru,
Kabupaten Sukoharjo
C. Yudilastiantoro, dan S. Andy Cahyono
Program PHBM di DAS Konto Malang: Pembelajaran
Keberhasilan dan Kegagalan Program
Noviana Khususiyah
Gaya Hidup Masyarakat Agroforestry Herbal dalam Rangka
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Kulon
Progo
Wahyu Tri Widayanti
Motivasi Masyarakat Desa Jetis Kecamatan Saptosari dalam
Pengelolaan Hutan Negara "Ab"(Afkiren Bosch) di Kabupaten
Gunung Kidul D.I Yogyakarta
Wahyu Tri Widayanti dan Zuni Hernawan
Identifikasi Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan Rakyat di
Kabupaten Gunungkidul
Wiyono dan Silvi

12.

13.

14.
15.
16.

17.

18.
19.
20.

21.

Strategi Penghidupan Petani Agroforest dalam Menghadapi


Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu: Contoh Kasus di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
Endri Martini, Sonya Dewi, Janudianto, Anang Setiawan, dan James
Roshetko
Konstruksi Pengetahuan Lokal Masyarakat Muluy dalam
Pemanfaatan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir
Kalimantan Timur
Catur Budi Wiati
Model Agroforestry Berbasis Tongkonan yang Berwawasan
Konservasi Lingkungan di Kabupaten Tana Toraja
Samuel Arung Paembonan
Prospek Agroforestri Karet dan Jenis Tanaman Lokal dalam
Rehabilitasi Lahan di Kalimantan Timur
Faiqotul Falah
Jelutung Rawa (Dyera polyphylla) sebagai Tanaman Pokok
pada Sistem Agroforestry di Lahan Rawa Gambut Kalimantan
Tengah
Reni Setyo Wahyuningtyas
Role and Practice of Agroforestry of Periau Community (Wild
Honey Farmers) in The Management of Conservation Forest
Area
Emi Roslinda
Pengembangan Kedelai di Kawasan Hutan Jati di Jawa Timur
Marwoto, Abdullah Taufiq, dan G.W. Anggoro
Praktik Agroforestri di Hutan Perum Perhutani
Purwanto, Datin Waluyani, Anton Sudiharto, Alim Sugiharto, dan
Corryanti
Kajian Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Model-Model
Agroforestri di Nusa Tenggara Timur
Eko Pujiono, S. Agung Sri Raharjo, Gerson Njurumana, Budiyanto,
Budiyanto Dwi Prasetyo, dan Heny Rianawati
Silvopasture di Kawasan Konservasi (Pendekatan dan
Kebijakan Pengelolaan Perumputan di Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi)
Gunawan

10

22.
23.
24.

25.
26.

27.
28.

Pola Agroforestri di Daerah Tapanuli, Sumatera Utara:


Keseimbangan antara Kepentingan Ekonomi dan Ekologi
Hesti L. Tata, Elok Mulyoutami, dan Endri Martini
Persepsi Petani tentang Input Kapulaga Jenis Sabrang (Elletaria
cardamommum (L) Maton) di Hutan Rakyat Pola Agroforestry
Dian Diniyati, Eva Fauziyah, dan Tri Sulistyati Widyaningsih
Upaya Pengembangan Agroforestry di Pulau Timor (Studi
Kasus di Desa Bosen Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor
Tengah Selatan)
Rahman Kurniadi, Ida Rachmawati, dan Siswadi
Agroforestry di Lahan Gambut untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Retno Maryani, Subarudi, dan Arwin Harahap
Adaptasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor melalui
Penguatan
Kapasitas
Masyarakat
dan
Peningkatan
Produktivitas Lahan melalui Sistem Agroforestri
Sri Astuti Soedjoko, Prasetyo Nugroho, Ambar Kusumandari, dan
Hero Marhaento
Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi dan Keberlanjutan Sistem
Agroforestri di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan
Hadi Pranoto, M.A Chozin, Hadi Susilo Arifin, Edi Santosa
Sinkronisasi Peraturan Perundang Undangan Dalam Kebijakan
Agrisilviculture pada Tanah Kawasan Hutan
Bambang Sudjito

D. Komisi Ekonomi Dan Pemasaran


1. Valuasi Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Agroforestri
di Sulawesi Selatan
Arif Rahmanulloh dan M. Sofiyuddin
2. Pengelolaan Hutan Rakyat Sengon di Sub DAS Citanduy Hulu:
Tinjauan Kelayakan Usaha dan Skenario Profitabilitasnya
Devy Priambodo Kuswantoro, Sanudin, dan Nana Sutrisna
3. Biochar: Rahasia Peningkatan Pendapatan Agroforestry pada
Hutan Tanaman Kayu Energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Rachman Effendi, Tati Rostiwati, dan Sofwan Bustomi
4. Strategi Peningkatan Efisiensi dan Margin Pemasaran melalui
Revitalisasi Tataniaga Produk Agroforestri
Wahyu Andayani
11

5.

Karakteristik dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri di


Kabupaten Bireuen Aceh
Halus Satriawan, Zahrul Fuady

E. Komisi Pengolahan Hasil dan Bioteknologi


1. Pengaruh Provenan terhadap Resistensi Karat Tumor pada
Semai Sengon
Levina Augusta, Asep Rohandi, dan Gunawan
2. Analisis Awal: Pemakaian Marka Molekuler Rapd untuk
Pendugaan Keragaman Genetik Plasma Nutfah Aren Sumatera
Utara
Lollie Agustina P. Putri, Mahyuni. K. H, M. Basyuni, Indra Eko Setyo
3. Dampak Pola Tanam Tumpangsari terhadap Adaptibilitas dan
Pertumbuhan Lima Provenan Tanaman Pulai Gading
Mashudi, Hamdan Adma Adinugraha, dan Dedi Setiadi
4.
Peningkatan Kualitas Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
dengan Perlakuan Panas
Agus Ngadianto dan Wiyono
5.
Yogurt Susu Kecipir sebagai Makanan Fungsional
Hipokolesterol
Siti Tamaroh
6.
Potensi Terpendam Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus)
sebagai Bahan Substitusi Pembuatan Keju Nabati Ramah
Lingkungan
Yunita Pane, Diah Nur Maulida
7.
Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Mangga Lokal dari Hutan
Masyarakat Kalimantan Selatan
Zahirotul Hikmah Hassan, Yanuar Pribadi, dan Achmad Rafieq
8.
Nilai Kalor Acacia Decurrens sebagai Bahan Baku Arang Kayu
Masyarakat Pegunungan Tinggi
Liliana Baskorowati, Mohammad Anis Fauzi, Dedi Setiadi, dan Mudji
Susanto
9.
Karakteristik Bentuk Dolok Manglid (Manglieta glauca Bi.) dan
Hubungannya dengan Rendemen Penggergajian
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto

12

K. Daftar Judul Presentasi Poster


A. Komisi Budidaya
1. Efektifitas Penggunaan Mikoriza dan Pupuk NPK dalam Pertumbuhan
Bibit Malapari (Pongamia pinnatal.)
Rina Kurniaty dan Yetti Heryati
2. Hama Kumbang Sastra SP pada Agroforestry Manglid
Endah Suhaendah
3. Kajian Pengembangan Tanaman Obat dalam Sistem Agroforestri
Tati Suharti, Yulianti Bramasto, dan Naning Suharti
4. Kemampuan Perakaran Stek Pucuk Beberapa Jenis Tanaman Hutan
Danu dan Kurniawati P. Putri
5. Penerapan Teknik Pemupukan dalam Menunjang Pertumbuhan
Tanaman Sukun di Lombok Barat
Ryke Nandini dan MM.Budi Utomo
6. Pengaruh Pemupukan Fosfat terhadap Pertumbuhan Awal Rotan
Jernang Pola Agrosilvikultur dengan Karet
Agung Wahyu Nugroho
7. Pengaruh Pola Agroforestri terhadap Pertumbuhan Tanaman Cendana
(Santalum album L.), Inang Turi (Sesbania grandiflora), Hasil Panen
Tanaman Semusim dan Kandungan Kimia Tanah
I Komang Surata
8. Pengaruh Tinggi Pangkasan terhadap Produksi Tunas pada Kebun
Pangkas Ganitri
Asep Rohandi
9. Pengembangan Sistem Agroforestri berbasis Indigenus Spesies dan
Kesesuaian Lahan di Wilayah Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur
Abban Putri Fiqa dan Rachmawan Adi Laksono
10. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman melalui Keragaman Jenis
Tanaman Agroforestri
Riskan Effendi dan Yetti Herdiyanti
11. Perbaikan Kualitas Tanah dari Lahan Pertanian ke Sistem Agroforestri
berbasis Tanaman Bioenergi Willow (Salix sp)
Cahyo Prayogo, Nina Dwi Lestari, dan Kurniawan Sigit Wicaksono
12. Pertumbuhan Bibit Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Umur 4 Bulan pada
Beberapa Macam Media dan Naungan
Rina Kurniaty, Ratna Uli Damayanti, dan Tati Rostiwati
13

13.

14.
15.
16.

Potensi Tanaman Lokal sebagai Pupuk Organik Cair dan Rumput


Pakan dalam Memperbaiki Produktivitas Lahan, Tanaman, dan Ternak
pada Praktek Agroforestry
INP Soetedjo dan Ida Rachmawati
Prospek Budidaya Tanaman Obat Jenis Bidara Laut (Strychnos lucida
R.Br.) dengan Wanafarma
Dewi Maharani
Prospek Shorea balangeran sebagai Jenis Penyusun Agroforestri di
Lahan Rawa Gambut (Tinjauan pada Aspek Silvikultur)
Purwanto B. Santosa dan Tri Wira Yuwati
Sistem Agroforestri Tradisional berbasis Tanaman Bambu Berperan
Penting dalam Menunjang Sosial Ekonomi Penduduk dan Pelestarian
Lingkungan di Jawa Barat
Johan Iskandar dan Budiawati Iskandar

B. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim


1. Dampak Penataan Ruang Lanskap Agroforestry terhadap Hasil Air
pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy Hulu
Edi Junaidi
2. Faktor-Faktor Biofisik yang Mendukung Kelestarian Agroforestry di
Hutan Marga
Christine Wulandari
3. Kapasitas Infiltrasi Tanah pada berbagai Karakter Agroforestri
Kapulaga di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon
Progo
Singgih Utomo dan Prasetyo Nugroho
4. Pendugaan Cadangan Karbon di Lahan Tembawang (Jasa Lingkungan
yang Terabaikan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)
Asef K. Hardjana
5. Pengaruh Pengelolaan Lahan Kebun dan Penerapan Teknologi
Konservasi terhadap Erosi di DAS Galeh Kabupaten Semarang
Forita Dyah Arianti
6. Potensi Arachis Pintoi sebagai Tanaman Penutup Tanah pada
Pertanaman Kakao untuk Pencegahan Erosi, Kesuburan Tanaman, dan
Bahan Pakan Ternak di NTB
Eni Fidiyawati

14

7.
8.

Respon Beberapa Pola Tanam Agroforestry berbasis Manglid terhadap


Laju Infiltrasi Tanah (Manglieta glauca Bl)
Wuri Handayani dan Ary Widiyanto
Simulasi Perubahan Tutupan Lahan terhadap Neraca Air di DAS Bialo,
Sulawesi Selatan dengan Menggunakan Model Genriver
Lisa Tanika, Chandra Irawadi Wijaya, Elissa Dwiyanti, dan Nimatul
Khasanah

C. Komisi Sosial dan Kebijakan


1. Agroforestri sebagai Alternatif Pemanfaatan Lahan Bawah Tegakan
untuk Meningkatkan Pendapatan Petani
Guntara
2. Agroforestry di Negara Berkembang dan Negara Maju: Suatu
Perbandingan
Sanudin dan Eva Fauziyah
3. Analisis Kebijakan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berbasis
Agroforestri di Kota Ambon
Christy Suhendy dan Agustinus Kastanya
4. Diversifkasi Tanaman Buah dan Kontribusinya bagi Masyarakat Negeri
Hative Besar, Kota Ambon
Wattimena, Lesty Latupapua, dan Jan Hatulesila
5. Kajian Aspek Sosial Pola Agroforestry Tradisional (Dusung) di Pulau
Ambon
Th. Silaya dan M. Tjoa
6. Kelembagaan Hutan Rakyat Agroforestry di Kabupaten Banjarnegara
Eva Fauziyah, Idin Saefudin R, dan Budiman Achmad
7. Pengalaman Melakukan Pola Agroforestri pada Jabon di Desa Pasir
Intan, Riau
Syofia Rahmayanti
8. Pengelolaan Sistem Agroforestri Tradisional (Dukuh) oleh Masyarakat
Desa Sungai Langsat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
Mahrus Aryadi dan Hamdan Fauzi
9. Pengembangan Lebah Madu di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa
Tengah: Peluang dan Tantangan
Tri Sulisyati Widyaningsih, Nugraha Firdaus, dan Harry Budisantoso

15

10.
11.
12.
13.
14.
15.

Penguatan Kelembagaan Madu Hutan dalam Pelestarian Lanskap


Hutan Sumbawa
Retno Maryani, Iis Alviya, Virni Budiarifanti, Mimi Salmiah
Potret Keberhasilan "Upaya Optimalisasi Produktivitas Lahan Melalui
Agroforestry Menuju Ketahanan Pangan, Energi, dan Air" di Jawa
Enny Widyati dan Sofwan Bustomi
Praktik Agroforestry di Lahan Negara: Kasus di Lahan Eks HGU PT
Teja Mukti Utama, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat
Tri Sulisyati Widyaningsih dan Budiman Achmad
Prospek dan Tantangan Pengembangan Silvofishery dalam
Rehabilitasi Mangrove di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
Tri Sayektiningsih dan Wawan Gunawan
Strategi Kemitraan dalam Rehabilitasi Lahan Sistem Agroforestri di
Wilayah DAS Mahakam
Faiqotul Falah
Strategi Rehabilitasi Hutan Lindung berbasis HHBK dengan Pola
Agroforestri (Studi Kasus di Kawasan Hutan Lindung KPHPL Rinjani
Barat, Nusa Tenggara Barat)
Ogi Setiawan dan Krisnawati

D. Komisi Ekonomi dan Pemasaran


1. Analisis Usaha Tani Masyarakat pada Berbagai Tingkat Perkembangan
Agroforestry di RPH Pujon Kidul BKPH Pujon KPH Malang
Joko Triwanto dan Tatag M
2. Kajian Ekonomi Agroforestry Meranti Merah (Shorea Spp.) dan Karet
Rakyat (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus di Desa Hinas Kiri Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan)
Rachman Effendi, Kushartati Budiningsih, dan Magdalena Gultom
3. Potensi Wilayah Sebaran Kayu Manglid (Manglieta glauca BI) pada
Hutan Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis
Soleh Mulyana dan Dian Diniyati
E. Komisi Pengolahan Hasil dan Bioteknologi
1. Uji Toksisitas Beberapa Ekstrak Tumbuhan Tingkat Tinggi sebagai
Pestisida Alami terhadap Patogen Bacillus Penyebab Beberapa
Penyakit pada Tanaman
Nani Herawati dan Made Sudarma
16

2.
3.

Sifat Antioksidatif dan Efek Hipokolesterolemik Instan Temulawak


Astuti Setyowati dan Chatarina Wariyah
Peranan Teknologi dan Pengolahan dalam Pemanfaatan Mangga Lokal
dari Hutan Masyarakat di Kalimantan Selatan sebagai Upaya
Konservasi Hutan
Zahirotul Hikmah Hassan dan Fakhrina

17

A1
Fenologi Surian (Toona sinensis)
di Beberapa Lokasi Hutan Rakyat di Jawa Barat
Agus Astho Pramono
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor
ABSTRACT
Suren is one of the species of forest trees are widely grown in agroforestry systems
in the highlands of West Java. An understanding of phenology suren is needed as a
basis in harvesting seeds technique for producing high quality and quantity seeds.
This study aimed to obtain the fruit season suren forecasting techniques based on
generative and vegetative phenology, and to determine the dynamics of individual
fruit season in populations. The study was conducted in Cimalaka district, and Wado
district of Sumedang regency, and Pengalengan district of Bandung regency.
Research activities include measurement of the tree, and the observation of time
frame of the development phases of vegetative and generative organs. The results
showed that the development of generative and vegetative organ can be divided into
several stages. Timing of ripe fruit can be predicted based on the time frame, since
the appearance of flowers. The time required from flower formation until the ripe fruit
was 5-6 months. In years of observation, there were no abundant flowerings in the
population. Each tree bears fruit once a year. In some locations there are some
individuals which bear fruit 2 times a year. Flowering or fruiting trees almost always
can be found throughout the year in a large population.
Key word: phenology, agroforestry, seed production, Toona sinensis

18

A2
Peta Sebaran Surian (Toona sinensis)
dengan Sistem Agroforestri di Jawa
Agus Astho Pramono dan Danu
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor
ABSTRACT
The use of high quality seeds collected from seed source that matches the
ecological conditions of the planting site is one of the factors that determine the
productivity of agroforestry. Seed zoning that begins with mapping the distribution of
population is important in forest development strategy. Maps of population
distribution and information of stands condition will assist users in selecting seed
sources that appropriate to their planting site. This study was aimed to determine
the distribution of population surian (Toona sinensis) in community forests in Java
and to determine the potency of suren stands to be developed as a seed source.
The activities in this study were: 1) literature study of natural distribution and land
suitability of surian; 2) secondary data collection: a map of soil, rainfall, altitude,
administration, agro-climatic, and vegetation; 3) field surveys; 4) preparation of
surian ecological distribution maps using ArcView software. 5) identify potential seed
sources. The most widespread surian populations are found in the western part of
Java, especially Tasikmalaya, Garut, West Bandung, Bandung, Sumedang, Subang,
Sukabumi, Cianjur, Bogor and Kuningan. Surian population increasingly rare toward
the eastern part of Java island. In Central Java suren populations were found in
areas of Sumbing slopes, Merapi and Slamet covering Wonosobo, Temanggung,
Magelang, Boyolali, Tegal and Purbalingga regency. In East Java, surian population
were found in Malang. Surian grown in the highlands average above 500 m asl in
various soil types include Regosol, Podsolic, Latosol, and Andosol. Surian stands
which potential to be developed as seed sources surian is located in West Java (eg
Subang and Sumedang), because in this area there are still many large-diameter
natural stands thus might have a wider genetic variation than stands in Central Java
and East Java.
Key word: land suitability, seed zone, population distribution, surian, Toona
sinensis.

19

A3
Pengaruh Substitusi Media terhadap Infeksi Mikoriza
pada Perakaran Semai Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese)
Ari Darmawan1), M. Mandira Budi Utomo2) dan Levina Augusta G.P.3)
1) Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan Kadipaten; 2) Balai Penelitian Teknologi
HHBK Mataram; 3) Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Ciamis
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor abiotik (unsur hara) dan/atau
faktor biotik (Trichoderma reesei serta jamur pembentuk mikoriza) terhadap perakaran
semai Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) yang ditandai dengan persentase
infeksi mikoriza dan perlakuan yang memberikan hasil yang terbaik. Penelitian
dilakukan pada 2 plot uji, yaitu plot pencegahan dan plot mikoriza dengan rancangan
penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok. Plot pencegahan bertujuan
untuk mencegah semai tusam dari serangan gejala klorosis yang merupakan serangan
umum pada tanaman muda. Semai yang digunakan berumur 3 bulan pada skor
kesehatan 1. Pengamatan dilakukan selama 7 bulan dengan 4 perlakuan pada 3 blok
pengamatan. Perlakuan meliputi: P0T0: kontrol; P1T0: pemberian pupuk lambat tersedia
(dengan kandungan unsur NPK = 18-9-10 dengan waktu pelepasan unsur hara selama
6 bulan) dosis 0,5 gram per tanaman; P0T1: pemberian pelet Trichoderma reesei dosis
10 butir per tanaman; P1T1: pemberian pupuk lambat tersedia dan T. reesei. Setiap
perlakuan menggunakan 4 kali ulangan masing-masing 20 polibag yang secara total
menggunakan 960 semai tusam. Plot mikoriza menggunakan perlakuan tambahan
dengan mikoriza Russula sp. dengan dosis 1 butir per tanaman. Semai yang digunakan
berumur 1 bulan dengan skor kesehatan 1. Pengamatan dilakukan selama 6 bulan
dengan 8 perlakuan pada 3 blok pengamatan. Perlakuan meliputi: P0M0T0: kontrol;
P0M0T1: pemberian pelet T. reesei; P0M1T0: pemberian mikoriza; P0M1T1: pemberian
mikoriza dan pelet T. reesei; P1M0T0 : pemberian pupuk lambat tersedia; P1M0T1:
pemberian pupuk lambat tersedia dan pelet T. reesei; P1M1T0 : pemberian pupuk lambat
tersedia dan mikoriza; P1M1T1 : pemberian pupuk lambat tersedia, mikoriza dan pelet T.
reesei. Setiap perlakuan menggunakan 3 kali ulangan masing-masing 8 polibag, yang
secara total menggunakan 576 semai. Hasil pengamatan masing-masing plot ditabulasi
dan diolah menggunakan analisis varians pada tingkat kepercayaan 5% dan uji lanjut
DMRT (Duncans Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua
faktor biotik dan abiotik memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan semai tusam.
Persentase infeksi mikoriza pada plot pencegahan tertinggi diperoleh dari perlakuan
P1T1 dan berbeda nyata dibandingkan 3 perlakuan yang lain. Pada plot mikoriza,
perlakuan P0M1T1 memberikan hasil persentase infeksi mikoriza yang tertinggi.
Kata kunci: semai tusam, pupuk lambat tersedia, Trichoderma reesei, mikoriza
20

A4
Kajian Pola Tanam terhadap Serangan Hama dan Penyakit
di Hutan Rakyat Sumatera Bagian Selatan
Asmaliyah
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRACT
One of the problems often encountered in development of plantations forest
including community forest are susceptible to pests and diseases, because it tends
to monoculture planting pattern. One solution to reduce the damage of pests and
diseases is to plant several plant species in agroforestry or mixed pattern, because
the planting pattern is thought to have a relatively high resistance to pests and
diseases. The research was conducted at the community forest is an area of natural
distribution and cultivation area bambang lanang (Michelia Champaca) and tembesu
(Fragaea fragrans) located in the province of South Sumatra, Lampung and Jambi
provinces, with different planting patterns in 2010 to 2011. Observations and data
collection conducted a census on all plants contained in the observation plots.
Number of plots 3-5 observations per location or about 10% of the areal extents.
Observation parameters such as the percentage of attacks and intensity of attacks.
The data were analyzed descriptively. The results showed that: 1) Plants in
governance in agroforestry and mixed tend to be more resistant to pests and
diseases than plants that managed monoculture, 2) Percentage and intensity of
attacks lower in agroforestry and mixed pattern than monoculture, 3) Percentage of
disease did not differ between planting pattern, but the intensity of attacks on the
pattern of agroforestry and mixed lower than monoculture and 4) The more species
of plants in an area of agroforestry, pest and disease tends to be lower
Keywords: Pests and diseases, planting pattern, monoculture, mixed, agroforestry

21

A5
Produksi Buah Ganitri pada Berbagai Ukuran Pohon
di Tegakan Hutan Rakyat Campuran Salawu, Tasikmalaya
Gunawan dan Asep Rohandi
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis
ABSTRAK
Pengamatan produksi buah bermanfaat untuk memprediksi potensi buah ganitri
bertujuan untuk mendapatkan informasi awal potensi produksi buah ganitri pada
bebeberapa komposisi dan ukuran pohon sehingga dapat diprediksi produksi per
satuan luas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi buah ganitri memiliki
korelasi yang cukup kecil terhadap ukuran diameter batang dan lebar tajuk.
Hubungan antara diameter batang dengan produksi buah ditunjukkan oleh
persamaan linier y = 0.396x + 2.838, sedangkan antara lebar tajuk dan produksi
buah ditunjukkan dengan persamaan y = 1.568x + 7.209. Rata-rata produksi buah
ganitri 10.68 kg/pohon/musim. Apabila diasumsikan musim berbuah terjadi 2 kali
dalam setahun dan jarak tanam 4 m x 4 m, maka produksi buah diperkirakan
sebesar 13.350 kg/ha/tahun. Supaya prediksi produksi buah hasilnya cukup baik
(mendekati), maka pengamatan potensi produksi sebaiknya dilakukan pada waktu
yang tepat serta tegakan dengan kondisi yang cukup seragam dengan jumlah
contoh yang lebih banyak. Hal tersebut akan lebih meminimalisir factor-faktor lain
yang akan berpengaruh pada hasil pengamatan.
Kata kunci: Ganitri, potensi, produksi buah, hutan campuran

22

A6
Pengaruh Asal Rimpang dan Paket Pemupukan
terhadap Pertumbuhan Tanaman Kunyit di Bawah Tegakan Pinus
Gunawan
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis
ABSTRAK
Semakin mahalnya biaya pengobatan modern menyebabkan masyarakat mencari
alternatif pengobatan tradisional menggunakan bahan-bahan alami dengan biaya
terjangkau. Pengembangan tanaman obat dapat dilakukan di lahan kehutanan
melalui pola agroforestry kombinasi tanaman pertukangan dan tanaman obatobatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi pertumbuhan
tanaman kunyit di bawah tegakan tanaman pinus pada kelas umur III. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan 10 macam perlakuan dan
terdiri dari 4 blok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi
pertumbuhan tanaman kunyit pada demplot agroforestry dengan pinus (P. merkusii)
sampai umur 1 bulan. Perlakuan jenis bibit memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pertumbuhan tanaman kunyit di mana pertumbuhan jenis bibit asal
indukan lebih bagus daripada jenis benih asal anakan. Pada parameter prosentase
tumbuh jenis benih belum memberikan pengaruh yang nyata. Rata-rata persentase
tumbuh tanaman kunyit dari benih asal anakan sebesar 86,6% dan asal anakan
80%. Pertumbuhan tinggi tanaman kunyit dari benih asal indukan sebesar 13,51 cm
dan asal anakan sebesar 9,37 cm. Interaksi perlakuan bibit dan pemupukan
berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun persentase hidup. Pertumbuhan
paling tinggi adalah perlakuan P2RI yang menggunakan pupuk kandang 15 ton/ha,
SP36 50 kg/ha, Kcl 50 kg/ha. Prosentase tumbuh paling banyak pada perlakuan
P4RI (menggunakan pupuk kandang 5 ton/ha, SP36 150 kg/ha, dan KCl 150 kg/ha
dengan bahan berupa indukan atau rimpang utama) dan P3RA (menggunakan
pupuk kandang 10 ton/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha dengan bahan
tanaman berupa anakan atau rimpang cabang) yang mencapai 100%.
Kata kunci: Agroforestry, kunyit, kayu pertukangan, pinus (P. merkusii), tanaman
obat.

23

A7
Potensi Hama pada Pola Agroforestri Kayu bawang
di Provinsi Bengkulu
Sri Utami dan Agus Kurniawan
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRACT
The traditional Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) wood agroforestry
has practiced by smallholder farmers in Bengkulu. Agroforestry is a land
management which accommodates some of interests e.g. social, economic and
ecological function. One of the problems in Kayu bawang plantation development is
pest attack. Pest attack can significantly decrease the Kayu bawang growth and
influence the wood production. Knowledge about kind of pests and its damage is
urgently to do before efforts technologies of preventive and controlling. This
research aimed to identify the pest, symptom and level of pest attack in Kayu
bawang wood agroforestry in Province of Bengkulu. The research was done using
inventory of some pests (sampling intensity of 10%) and identification methods.
Observation of pest attack in the some fields showed that Kayu bawang were
attacked by bagworm (Pteroma plagiophleps), stem borer (Xystrocera globosa) and
termites (Neotermes sp.). The bagworm caused minor damage on stems and
leaves. Percentage of bagworm pest was 10.67% and its intensity was 7.14%. Stem
borer caused lightly destructive borer and the death of Kayu bawang. Percentage of
stem borer pest was 6.36% and its intensity was 2.48%. Stem borer pest was
significantly decreased of growth (high and diameter) 6.77% and 16.19%
respectively. Termites cause minor damage like irregular cavities in wood and
damage on surface of wood. Percentage of its termite was 2.7% and its intensity
was 3.57%.
Keyword: agroforestry, Dysoxylum mollissimum, Neotermes sp., Pteroma
plagiophleps, Xystrocera globosa

24

A8
Kajian Struktur dan Komposisi Agroforestri Herbal
pada Beberapa Ketinggian Tempat di Pegunungan Menoreh
Kabupaten Kulon Progo D.I Yogyakarta
Nanang Herdiana1, Singgih Utomo2, Budiadi2 dan Prapto Yudono3
1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
2 Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
3 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
ABSTRACT
Herbal agroforestry is interesting land management system and has been
developed by people in Kulonprogo. The practice of herbal agroforestry is more
concentrated along the Menoreh Mountain with various altitudes, stand structure of
privately owned forest. The research was carried out in privately owned forest at
Mountains Menoreh purposively selected based on three stratum of herbal
agroforestry place, ie: lowlands (< 300 masl), middle lands (300 - 600 masl) and
uplands (> 600 masl). At each observation site, observation plots of 0.04 ha each
were established and repeated 4 times, resulting 48 observation plots in total.
Nested sampling was used in the measurement of vegetation. The measurement of
herbal plants in the observation plots was done by conducting census (counting the
types and their range). To determine the structure and composition of privately
owned forest stands, an analysis of vegetation data was done. Parameters
calculated include: Important Value Index (IVI), Diversity Index and Similarity
Index.Research results showed that there are 16 species in lowlands dominated by
teak and mahogany, 21 species on midlle lands dominanted by mahogany and
falcata and 22 species on uplands dominanted by falcata and mahogany. The
dominant herbal species are turmeric (lowlands), ginger (middle lands) and
cardamom (uplands). The diversity at all levels of growth based on altitudes and the
species of herbal plants falls into low - medium
Keywords: Herbal agroforestry, structure and composition, privately owned forest

25

A9
Pengaruh Sistem Agroforestri berbasis Jelutung
terhadap Kesuburan Lahan Gambut
Marinus Kristiadi Harun 1 dan Budiman Achmad 2
1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2 Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sistem agroforestri berbasis
jelutung terhadap kesuburan lahan gambut. Penelitian dilaksanakan di Desa
Tumbangnusa, Kabupaten Pulangpisau dan Kelurahan Kalampangan, Kota
Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Februari-April tahun 2011.
Unsur kesuburan gambut yang dianalisis adalah 1) sifat kimia tanah yang terdiri: pH
H2O, N Total, C organik, K dapat dipertukarkan (dd), Na dd, Ca dd, Mg dd,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), Al dd, H dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al,
Kejenuhan H, P total, K Total, P tersedia, Fe dan SO4; 2) sifat fisik tanah, yakni
tingkat kematangan gambut; 3) sifat biologi tanah, yakni kelimpahan makro fauna
tanah. Pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan metode
Perangkap Sumuran (PSM) dan Pengambilan Contoh Tanah (PCT). Pengambilan
sampel tanah dilakukan pada: (a) lahan pertanian monokultur (PM), (b) lahan
penanaman jelutung dengan sistem agroforestri (AF), dan (c) lahan gambut terlantar
(LT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman makrofauna tanah pada
lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung lebih besar daripada lahan gambut
berpenutupan pertanian monokultur dan lahan terlantar, dengan nilai Indeks
Shannon Wiener berturut-turut sebesar 1,8; 1,2 dan 1,69 untuk metode PSM.
Analisis kimia tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung
menghasilkan data: pH=3,94; N total=0,4%; C organik=48,58%; C/N=121,45.
Tingkat kematangan gambut pada lahan berpenutupan agroforestri jelutung adalah
saprik-hemik sampai hemik, untuk lahan berpenutupan pertanian monokultur adalah
fibrik-hemik sampai saprik-hemik, sedangkan lahan gambut terlantar didominasi
oleh fibrik dan fibrik-hemik. Kondisi kesuburan tanah pada lahan gambut
berpenutupan agroforestri lebih baik daripada pertanian monokultur dan lahan
terlantar.
Kata kunci: jelutung, sistem agroforestri, kesuburan tanah, lahan gambut

26

A10
Pertumbuhan Mangrove pada Tambak Silvofishery
di Desa Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang
M. Hidayatullah
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
ABSTRAK
Konversi hutan mangrove menjadi unit-unit usaha tambak terus meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Pada satu sisi aktifitas tersebut dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat melalui kegiatan budidaya perikanan tambak, namun pada
sisi lain konversi lahan turut berperan dalam penurunan kualitas ekosistem
mangrove. Pengusahaan tambak dengan pola silvofishery diharapkan dapat
menjembatani dua kepentingan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan
informasi tentang pertumbuhan tanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata
Lmk. pada tambak silvofishery milik masyarakat di desa Bipolo, Kecamatan Sulamu
Kabupaten Kupang.
Penelitian dilakukan dengan mengukur pertumbuhan
mangrove secara periodik sehingga dapat diketahui dinamika pertumbuhan pada
tiap plot. Parameter yang diamati adalah diameter batang, tinggi dan jumlah akar.
Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa plot C dengan pola empang parit dan
lokasi tambak yang relatif dapat dijangkau oleh air pasang surut menunjukkan ratarata pertumbuhan serta rata-rata berat ikan yang lebih baik bila dibandingkan
dengan plot A dan B dengan pola yang sama tetapi lokasi tambak hanya dapat
dijangkau oleh air pasang tertinggi. Rata-rata pertumbuhan tanaman umur 3 tahun
untuk setiap parameter berturut-turut dari diameter batang, tinggi dan jumlah akar
adalah, plot A : 16,70 mm, 109,43 cm dan 5,31 helai, plot B : 16,55 mm, 113,13 cm
dan 5,76 helai sedangkan plot C : 17,77 mm, 117,88 cm dan 5,92 helai. Sedangkan
rata-rata berat ikan bandeng perekor pada masing-masing plot setelah
pemeliharaan gelondongan selama 7 bulan adalah berturut dari A, B dan C : 145,36
gr, 147,14 gr dan 170,47 gr. Pemilihan jenis tanaman dan lokasi yang tepat sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan budidaya perikanan tambak dengan
konsep silvofishery.
Kata Kunci: Mangrove, tambak, silvofishery dan Rhizphora mucronata.

27

A11
Uji Pertanaman Tanaman Sukun dengan Pola Tumpangsari
di Gunung Kidul untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan
Hamdan Adma Adinugraha1, Dedi Setiadi1, dan Ramli Hadun2
1Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
2Universitas Khairun Ternate
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pertumbuhan sukun yang berasal
dari beberapa populasi sebaran alam sukun di Indonesia. Penanaman dilakukan di
Hutan Penelitian Playen, Gunung Kidul dengan pola tumpangsari. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok atau RAK dengan
menguji 61 klon sukun dari 7 populasi sebaran sukun yaitu di Sleman, Banyuwangi,
Lampung, Bali, Mataram, Malino, dan Manokwari. Koleksi materi tanaman berupa
akar yang diperbanyak dengan teknik stek akar di persemaian B2PBPTH. Bibit stek
akar yang siap tanam selanjutnya dijadikan bahan tanaman untuk pembangunan
plot uji klon sukun. Penanaman masing-masing klon sebanyak 5 batang, diulang
dalam 4 blok, dengan total 1.220 batang pengamatan berjarak tanam 5x5 m.
Evaluasi pertumbuhan tanaman dilakukan 1-2 kali setahun. Hasil analisis varians
menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman dipengaruhi
oleh populasi asal klon dan kondisi lahan, sedangkan variasi pertumbuhan antar
klon yang diuji tidak berbeda nyata pada semua karakter yang diamati. Tanaman
sukun pada lahan yang sudah diolah untuk tanaman pertanian menunjukkan
pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tumbuh pada lahan yang tidak
digarap petani, dengan persentase hidup antara 38,03-73,11%. Hasil pengamatan
sampai dengan umur 3 tahun menunjukkan bahwa rerata persentase hidup
tanaman 20-85%, tinggi tanaman berkisar antara 1,21-3,70 m dan diameter batang
(dbh) sekitar 1,64-9,15 cm. Daya adaptasi terbaik ditunjukkan tanaman sukun dari
Banyuwangi dengan persentase hidup rata-rata 61,25%. Pertumbuhan tinggi
tanaman terbaik rata-rata 2,96 m ditunjukkan klon asal Manokwari, sedangkan
rerata diameter/dbh terbesar yaitu 6,52 cm ditunjukkkan klon sukun asal Sleman
Yogyakarta.
Kata Kunci: Ketahanan pangan, Sukun (Artocarpus altilis), Tumpang sari

28

A12
Kajian Pola Agroforestry Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb): Pendekatan
Pola Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Encep Rachman 1, Tati Rostiwati 2, dan Rachman Effendi 3
1)
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis
2)
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
3)
Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor
ABSTRAK
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB ), memiliki persyaratan yang baik
sebagai jenis pohon berdaya guna untuk dikembangkan pada areal hutan rakyat.
Kajian ini bertujuan mempelajari pengembangan ganitri dalam pola hutan rakyat di
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ganitri mulai dikembangkan di Desa
Neglasari (kampung Sindangwangi dan Cikiray) dan Desa Sukamanah Kecamatan
Salawu Kabupaten Tasikmalaya sejak tiga tahun terakhir. Metode yang digunakan
adalah metode survai dengan membuat plot contoh untuk inventarisasi jenis
vegetasi pada areal hutan rakyat serta wawancara terhadap petani dan masyarakat
sekitar lokasi penelitian. Pohon yang bermanfaat kayunya diukur tinggi dan
diameter, pohon yang bermanfaat buah serta tanaman bawah (bermanfaat obat dan
pangan) dihitung jumlahnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa di hutan rakyat
seluas 4 (empat) hektar, tegakan ganitri ditanam bersama jenis lainnya dengan
komposisi jenis yaitu: pohon yang bermanfaat kayunya (25%); pohon yang
bermanfaat buahnya (53,57%); bermanfaat obat (10,71%) serta tanaman semusim
bermanfaat pangan (10,71%). Tanaman kayu didominasi jenis sengon, tanaman
buah didominasi oleh ganitri dan kelapa, tanaman obat didominasi kapolaga.
Persentase jenis tersebut menurut masyarakat berdampak positif secara ekologis
dan ekonomis bagi daerah. Luas hutan rakyat rata-rata 0,5 ha menghasilkan
pendapatan total per tahun rata-rata Rp. 7.250.000 dengan kontribusi 39% dari
pohon yang bermanfaat kayunya, 20% dari pohon yang bermanfaat buahnya, dan
41% dari tanaman bawah (obat dan pangan). Pola agroforestri dengan tanaman
utama Ganitri dapat mengadopsi salah satu jenis sebagai tanaman sela atau
tumpangsari.
Kata kunci: agroforestry, Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB), hutan rakyat,
komposisi jenis

29

A13
Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas
sebagai Dampak Introduksi Agroforestri di Lampung Utara
Sri Rahayu Utami dan Sri Hastuti
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Penelitian ini mengamati perubahan kation basa dan Aluminium dalam tanah
setelah penanaman agroforestri selama 3 tahun pada lahan petani di Pakuan Ratu,
Lampung Utara. Dilakukan pengukuran kandungan C-organik dan kation basa
dalam seresah, dihubungkan dengan perbedaan kandungan C-organik, kation basa,
pH, dan kandungan Al dapat ditukar (Aldd) dalam tanah (0-20 cm). Pengamatan
dilakukan pada 2 plot, yaitu Plot I (umur pohon 0-3 tahun): Monokultur ketela pohon,
Monokultur accasia, Monokultur sengon, Sengon+ketela pohon, Accasia+ketela
pohon; dan Plot II (umur pohon 4-7 tahun): Monokultur ketela pohon, Monokultur
tebu, Mahoni+ketela pohon, Sengon+ketela pohon, Karet+ketela pohon, Kelapa
sawit+ketela pohon, Mahoni+tebu; serta alang-alang dan Hutan sebagai
pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan C organik
tanah pada semua sistem. Besarnya peningkatan C organik pada monokultur ketela
pohon tidak berbeda nyata pada 0-3 tahun, tetapi lebih kecil pada 4-7 tahun
daripada sistem yang lain. Kandungan kation basa tanah cenderung meningkat
selama 3 tahun pada semua sistem mengikuti peningkatan C organik tanah, yang
menunjukkan bahwa penambahan kation basa tanah berasal dari bahan organik
yang ditambahkan. Peningkatan jumlah kation basa tanah pada sistem monokultur
ketela pohon lebih kecil pada 0-3 tahun, namun tidak berbeda nyata pada 4-7 tahun.
Kemungkinan kehilangan kation basa tanah melalui pencucian (fungsi pohon
sebagai jaring hara) dan panen lebih sedikit, serta penambahan kation basa dari
lapisan bawah (fungsi pohon sebagai pompa hara) dan pengembalian dari seresah
lebih besar pada sistem AF maupun monokultur pohon. Peningkatan karena proses
kehilangan lebih kecil dan pemasukan lebih besar tersebut diimbangi dengan
pengambilan kation basa bagi peningkatan biomassa pohon, sehingga jumlah
kation basa dalam tanah berkurang dengan meningkatnya umur pohon. Sebagai
akibatnya pH tanah cenderung menurun dari tahun ke tahun, penurunan terbesar
dari monokultur ketela pohon. Seiring dengan penurunan pH, kandungan Aldd
mengalami peningkatan kecuali pada alang-alang. Peningkatan Aldd terbesar terjadi
pada monokultur ketela pohon. Jumlah Aldd cenderung menurun dengan
meningkatnya masukan kation basa dari seresah dan meningkatnya pH tanah.
Kata kunci: agroforestri, kation basa, Aluminium dapat ditukar
30

A14
Konservasi Tumbuhan Bernilai Ekonomi Tinggi
melalui Pengembangan Model Agroforestri Spesifik
Albert Husein Wawo, Ning Wikan Utami, dan Fauzia Syarif
Puslit Biologi, LIPI
ABSTRAK
Cendana (Santalum album) dan gaharu (Aquiaria beccariana) yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, pada saat ini terancam punah. LIPI melalui program Kompetitif
selama lebih kurang 10 tahun telah mengembangkan 2 model Agroforestri yaitu
model Agroforestri Berbasis Cendana (model ABC) di Kabupaten Belu, NTT dan
model Agroforestri gaharu (MAG) di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Pengembangan kedua model ini untuk meningkatkan produktivitas lahan dan untuk
konservasi kedua jenis tumbuhan ini. Dalam pengembangan model agroforestri
terdapat 3 komponen tanaman yaitu Alley crops yang terdiri dari tanaman semusim
(pangan), tanaman pagar (hedges trees) yang terdiri dari pepohonan yang bertajuk
ringan, dan tanaman tepi (border plant) yang terdiri dari pepohonan yang bertajuk
lebar. Dalam pengembangan model ABC, cendana ditempatkan sebagai hedges
trees bersama tanaman inang sekundernya seperti jambu batu, srikaya, Acacia
vilosa yang ditanam dengan jarak 2 meter dari cendana. Dalam model ABC,
cendana sengaja ditanam cukup banyak agar tanaman ini dapat lestari dan
meningkatkan produktivitas lahan. Pohon yang ditanam sebagai border plant dalam
model ABC ini adalah kemiri, asam, dan jati. Sebagai Alley crops ditanami jagung,
ubikayu, dan kacang-kacangan. Pengembangan model MAG disesuaikan dengan
kondisi topografi daerah dan kearifan lokal masyarakat Malinau. Kondisi topografi
ladang atau kebun penduduk di Malinau terbagi menjadi 3 bagian (plot) yaitu bagian
tanah datar yang sering tergenang air disebut Abak, bagian lahan yang agak landai
di sebut Fuar-Fuar dan bagian lahan yang agak terjal disebut Irang. Gaharu
umumnya ditanam pada bagian lahan Irang bersama-sama dengan durian lokal dan
beberapa jenis kayu lokal. Pada bagian lahan fuar-fuar ditanami tanaman pangan
dan sayuran seperti jagung, ubikayu, pisang, kacang-kacangan dan buah-buahan
yang tajuknya ringan. Pada bagian lahan Abak ditanami padi dan sering dibuatkan
kolam untuk pemeliharaan ikan. Keuntungan Gaharu dan cendana ditanam dalam
model agroforestri yaitu tanaman akan terpelihara secara baik dan kepastian
kepemilikannya sehingga tidak terjadi pencurian atau penebangan liar. Adanya
cendana dan gaharu mendorong penduduk untuk tidak berpindah-pindah ladang
sehingga penggunaan lahan lebih efisien.
Kata Kunci: Agroforestri, ABC, MAG, Gaharu dan cendana
31

A15
Produktivitas Kacang Tanah (Arachis hypogeae L)
di Bawah Tegakan Manglid dalam Sistem Agroforestry
Aris Sudomo
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas tanaman kacang
tanah (Arachis hypogeae L) dan pertumbuhan tegakan manglid pada sistem
agroforestry di lahan hutan rakyat. Penelitian dilakukan di lahan hutan rakyat di
Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis mulai bulan
Februari-Juni 2012. Tegakan manglid pada saat penanaman kacang tanah telah
berumur 2 tahun. Tanah pada lokasi penelitian bertekstur lempung (47%), pH 5,58,
dengan unsur N, P sangat rendah, K sedang dan C-organik rendah. Lahan tersebut
berketinggian 894 mdpl, temperatur 20,4 0C- 28 0C , kelembaban (62,13%- 84,6%)
dengan curah hujan sekitar 2000-2500 mm/tahun. Penelitian menggunakan splitplot design dengan main plot adalah 3 jenis intensitas pruning manglid (0%, 50%
dan 75%) dan sub plot adalah 3 jarak tanam (2mx2m, 2mx3m dan 3mx3m) serta
sub-sub plot adalah 2 pola tanam (monokultur manglid dan agroforestry
manglid+kacang tanah). Penanaman kacang tanah secara monokultur dilakukan
sebagai pembanding. Jumlah tanaman manglid yang digunakan adalah 3 intensitas
pruning x 3 jarak tanam x 2 pola tanam x 25 tanaman =450 tanaman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berat tanaman kacang tanah dan berat kering
polong kacang tanah setiap m2 di bawah tegakan manglid dengan intensitas pruning
0% (1015 gram/113 gram), intensitas pruning 50% (1075 gram/125 gram) dan
intensitas pruning 75% (1567 gram/155 gram). Berat tanaman kacang tanah dan
berat kering polong kacang tanah setiap m2 di bawah tegakan manglid dengan jarak
tanam 2mx2m (1450 gram/165 gram), 2mx3m (1400 gram/118 gram), 3mx3m (1060
gram/100 gram). Perlakuan kontrol yaitu tanaman monokultur kacang tanah
menghasilkan berat tanaman kacang tanah/m2 (1800 gram) dan berat kering polong
kacang tanah/ m2 (163 gram). Nilai LER (Land Equivalent Ratio) untuk agrofrestry
manglid+kacang tanah (1,78) yang menunjukkan bahwa pola agroforestry lebih
produktif daripada pola monokultur. Komoditi pada pola monokultur dapat
menghasilkan seperti pada pola agroforestry jika keluasan lahannya 78% lebih
luas. Sistem agrofrestry mampu menghasilkan 2 produk jangka pendek (tanaman
pangan) dan jangka panjang (kayu manglid) yang lebih menguntungkan daripada
monokultur sehingga diperlukan dukungan silvikultur yang lebih intensif.
Kata kunci: Agroforestry, Arachis hypogeae L, Hutan Rakyat dan Manglid
32

A16
Pengaruh Tiga Pola Tanam dan Tiga Dosis Pupuk Kandang
terhadap Kemampuan Hidup dan Pertumbuhan Nyamplung (Calophyllum
inophyllum Linn) pada Lahan Pasir di Sepadan Pantai Pangandaran
Aris Sudomo1, Encep Rachman1, Aditya Hani1, dan Tati Rostiwati2
1) Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
2) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tiga pola tanam dan
pemberian tiga dosis pupuk kandang terhadap kemampuan hidup dan pertumbuhan
Calophyllum inophyllum Linn pada lahan pasir di sepadan pantai pangandaran. BBN
berbasis nyamplung tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak
tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel). Penelitian dilakukan di
Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah split-plot design dengan main plot tiga pola
tanam (agroforestry nyamplung+kacang tanah, agroforestry nyamplung+pandan
dan monokultur nyamplung) sedangkan sub plot 3 dosis pupuk kandang (kontrol 0
kg/tanaman, pupuk kandang 5 kg/tanaman dan 10 kg/tanaman). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Pola tanam agroforestry nyamplung+kacang tanah
memberikan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun yang signifikan lebih
baik dibanding monokultur nyamplung dan agroforestry nyamplung+pandan.
Pemberian pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman memberikan pertumbuhan
signifikan lebih baik dibandingkan dengan dosis 5 kg/tanaman dan kontrol.
Persentase hidup nyamplung pada 3 pola tanam yaitu agroforestry nyamplung
+kacang tanah (85,33%), agroforestry nyamplung + pandan (66,22%) dan
monokultur nyamplung (82,67). Persentase hidup nyamplung pada 3 dosis pupuk
kandang yaitu kontrol (78,67%), 5 kg/tanaman (79,56%) dan 10 kg/tanaman
(76,00%). Penyediaan bibit nyamplung untuk peningkatan keberhasilan penanaman
dilapangan dapat dilakukan dengan melakukan pembibitan di sekitar lokasi
penanaman untuk proses adaptasi pada lingkungan pantai yang relatif ekstrim.
Perbaikan kesuburan tanah lahan pasir pantai yang miskin unsur hara dan lolos air
dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang minimal 10 kg/tanaman
Kata kunci: Agroforestry, Calophyllum inophyllum Linn, pantai dan pupuk kandang

33

A17
Efek Naungan terhadap Penampilan Jagung P29 di Kawasan Hutan Jati
Aryana Citra Kusumasari, Bambang Prayudi dan Agus Supriyo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah
ABSTRAK
Petani hutan banyak mempraktikkan budidaya tumpangsari tanaman jagung
sebagai tanaman sela pada tegakan jati yang berumur lebih dari 5 tahun.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efek naungan terhadap penampilan
jagung P29 di kawasan hutan jati. Pengkajian dilaksanakan di KPH Telawa
Kabupaten Boyolali pada bulan Nopember 2012-Januari 2013, dengan dua
perlakuan yaitu tanaman jagung di bawah naungan pohon jati umur lebih dari 5
tahun dan tanaman jagung tanpa naungan (di bawah tegakan jati muda)
menggunakan varietas jagung P29. Lahan di kawasan hutan jati yang dapat
ditanami tanaman jagung (okupasi) adalah 67%. Sampel yang diambil dari masingmasing perlakuan adalah 50 tanaman. Parameter yang diamati adalah tinggi
tanaman, diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter
tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol,
dan berat jagung pipilan per tongkol. Data dikumpulkan dan dianalisis
menggunakan uji t. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada
semua parameter pengamatan pada kedua perlakuan kecuali parameter jumlah
baris per tongkol. Pada semua parameter jagung tanpa naungan menunjukkan hasil
yang lebih tinggi daripada jagung naungan kecuali tinggi tanaman. Tinggi tanaman
jagung tanpa naungan sebesar 216 cm dan jagung naungan 264 cm. Hasil
pengamatan diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter
tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol,
berat jagung pipilan per tongkol pada perlakuan tanpa naungan memberikan hasil
yang lebih tinggi daripada perlakuan naungan dengan hasil berturut-turut sebesar
9,00 mm; 281,60 gr;17,77 cm; 25,74 mm; 13,54 mm; 38,86 biji; 16,48 baris; 175,54
gr, sedangkan pada perlakuan naungan berturut-turut sebesar 7,44 mm; 195,24 gr;
15,72 cm; 24,07 mm; 13,05 mm; 35,00 biji; 15,96 baris; 127,26 gr. Hasil konversi
data berat jagung pipilan kering per tongkol ke hektar pada perlakuan tanpa
naungan mencapai 7,06 ton/ha, sedangkan pada naungan mencapai 5,12 ton/ha.
Produktivitas jagung di bawah tegakan jati umur lebih dari 5 tahun lebih rendah
daripada tanpa naungan, sehingga tidak disarankan budidaya tanaman sela jagung
pada kawasan hutan jati umur lebih dari 5 tahun. Tanaman yang dapat disarankan
sebagai tanaman sela pada kondisi tersebut yaitu tanaman empon-empon.
Kata Kunci: jagung, P29, hutan jati, naungan
34

A18
Agroforestry Sorghum (Shorgum Spp.) pada HTI Acacia crassicarpa sebagai
Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau
untuk Mendukung Budidaya Lebah Madu
Avry Pribadi dan Purnomo
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok-Riau
ABSTRAK
Tujuan dari studi ini adalah mengevaluasi kegiatan introduksi lebah A. cerana pada
HTI Acacia crassicarpa di HPHTI Arara Abadi yang dilakukan pada skala penelitian
dan mengevaluasi pengaruh dari tehnik penanaman sorghum secara agroforestry
dengan Acacia crassicarpa terhadap perkembangan lebah A. cerana. Tahapan
observasi yang dilakukan adalah (1) mengkalkulasi potensi jumlah nectar pada
setiap tegakan A. crassicarpa, (2) mengamati tingkat prevalensi waktu lebah A.
cerana dalam melakukan aktivitasnya dalam mengambil nectar A. crassicarpa, (3)
mengamati pembentukan sel brood pada areal HTI Acacia crassicarpa yang
ditanami sorghum dan yang tidak ditanami sorghum, dan (4) mengamati jumlah
sisiran yang terbentuk. Hasil menunjukkan bahwa volume sekresi nectar A.
crassicarpa tiap tegakkannya pada umur 1 dan 4 tahun menunjukkan nilai 25,69
cc/hari dan 44,31 cc/hari. Sekresi tertinggi untuk setiap tegakan A. crassicarpa
terjadi pada pukul 06.30 s.d 7.30 dan terendah terjadi pada pukul 10.30 s.d 16.30.
Pada pengamatan tingkat aktivitas lebah menunjukkan aktivitas tertinggi pada pukul
08.30 s.d 09.30. Pengamatan perkembangan rata-rata per bulan jumlah sisiran
sarang menunjukkan nilai rata-rata sebesar 1,7 sisiran/stup. Sedangkan luas sisiran
anakan dan madu mengalami rata-rata peningkatan sebesar 887,5 cm2 dan 1502,8
cm2 setiap bulannya. Sedangkan perkembangan sisiran sarang (brood) pada plot
pengamatan dengan introduksi sorghum menunjukkan peningkatan persentase
rata-rata sebesar 44 % dan berbeda nyata dengan plot yang tidak diintroduksi
sorghum yakni sebesar 40,7%. Pada pengamatan produkstivitas madu
menunjukkan koloni A. cerana yang ditempatkan di areal HTI A. crassicarpa yang
diintroduksikan dengan sorghum memiliki nilai lebih tinggi (1670 cc/koloni/bulan) jika
dibandingkan dengan penempatan pada HTI A. crassicarpa tanpa introduksi
sorghum (810 cc/koloni/bulan).
Kata kunci : Apis cerana, Agroforestry, Acacia crassicarpa, sorghum

35

A19
Peningkatan Produktivitas Komponen Agroforestri
melalui Penggunaan Pupuk Organik
Guna Menunjang Keberhasilan Rehabilitasi Lahan Kritis
Budi Hadi Narendra1 dan Ryke Nandini2
1 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
2 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
ABSTRAK
Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah ramah lingkungan yang
potensial diaplikasikan guna memperbaiki kualitas tanah terutama pada tahap awal
penerapan agroforestri. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan
pupuk organik terhadap produktifitas komponen agroforestri yang diamati pada
kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Penelitian dilaksanakan pada tiga lokasi lahan kritis
yaitu di Kabupaten Lombok Timur-NTB, Kabupaten Bangli-Bali, dan Kabupaten
Klungkung-Bali. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan
perlakuan berupa pemberian pupuk organik pada tanaman kayu dan tanaman
semusim sebagai komponen agroforestri. Pengamatan pertumbuhan tanaman kayu
dilakukan dengan mengukur tinggi dan diameter batang tanaman kayu, sedangkan
pengamatan tanaman semusim dilakukan dengan menimbang hasil panenannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada tiga lokasi
lahan kritis secara signifikan mampu memacu pertumbuhan tanaman kayu dan
menghasilkan panenan tanaman semusim lebih tinggi dibandingkan kontrol. Di
lahan kritis bekas tambang batu apung, penggunaan pupuk hijau yang berasal dari
pangkasan tanaman legum mampu menghasilkan panenan kacang tanah dan
jagung masing-masing 1,3 dan 2,5 ton/ha. Pangkasan legum tersebut juga terbukti
mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter tanaman jati
masing-masing sebesar 240,1 dan 1,8 cm/th. Di Kabupaten Bangli, perlakuan
pemberian pupuk kandang mampu menghasilkan panenan kacang merah dan
biomassa tanaman meningkat sangat signifikan dan demikian pula terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kaliandra. Di Nusa Penida, aplikasi
pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi mampu meningkatkan pertumbuhan
tinggi tanaman mimba hingga 4,5 kali dibandingkan kontrol dan 2,5 kali pada
pertumbuhan diameter. Adapun pertumbuhan tanaman rumput gajah dan gamal
pada plot yang diberi pupuk kandang menunjukkan pertumbuhan tunas yang lebih
baik dibandingkan tanpa pupuk kandang.
Kata kunci: lahan kritis, agroforestri, pupuk organik, produktifitas tanaman
36

A20
Biodiversitas Komponen Agroforest Medang Bambang Lanang (Michelia
champaca) di Hutan Rakyat
pada Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan
Endah Kusuma Wardhani1), Dona Octavia2) dan Yuliah3)
1 Dinas Kehutanan Kabupaten Lahat-Sumsel
2 Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi-Bogor
3 Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon-Yogyakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis dan kemiripan jenis
komponen agroforest berbasis medang bambang lanang (MBL) (Michelia
champaca) di wilayah Lematang Ulu untuk mendukung pengelolaan agroforestri.
Penelitian dilakukan di agroforest Kawasan Lematang Ulu meliputi: Kecamatan
Muara Payang (Kabupaten Lahat), Kecamatan Dempo Selatan (Kota Pagar Alam),
dan Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Empat Lawang). Sembilan lokasi dipilih
berdasarkan purposive sampling method untuk mengetahui jumlah dan komposisi
vegetasi. Pada masing-masing sampel hutan rakyat tersebut dilakukan pengambilan
data vegetasi menggunakan metode Garis Berpetak (Nested Sampling) dengan
empat ulangan sehingga diperoleh 36 plot berukuran masing-masing 0,04 ha. Total
luasan yang diamati untuk keseluruhan lokasi adalah 1,44 ha. Parameter untuk
mengetahui komposisi vegetasi hutan rakyat adalah menggunakan Indeks Nilai
Penting yang menggambarkan kerapatan, penyebaran jenis (frekuensi),
penguasaan jenis (dominansi) dan peran jenis (INP). Untuk mengetahui nilai
keanekaragaman jenis diperoleh dengan menggunakan rumus Indeks Diversitas
Shannon-Wienner (H) sedangkan berapa besar kemiripan jenis komponen
penyusun yang ada di ketiga wilayah kajian dihitung dengan menggunakan indeks
similiritas (IS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi vegetasi di wilayah
kajian terdiri dari 15 jenis vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis
herba. Jenis dominan adalah MBL, gamal (Gliricida sepium Jacq.), jati (Tectona
grandis L.f), durian (Durio zibethinus Murr) dan kopi (Coffea sp). Keragaman jenis
pada tingkat pohon berkisar antara 0,248-0,467 yang termasuk kategori rendah.
Nilai kemiripan dari 3 lokasi yang diamati hampir seragam (>70%) dengan
komposisi vegetasi penyusun agroforest tingkat pohon jenis dominan adalah MBL,
yang menunjukkan tingginya keseragaman dan komposisi vegetasi dari dua
komunitas yang dibandingkan.
Kata kunci: Michelia champaca, komposisi tegakan, Indeks Nilai Penting, Indeks
Diversitas dan Similaritas
37

A21
Keanekaragaman Jenis Pohon Panjat dan Manfaatnya
di Agroforestri Rotan di Kabupaten Katingan
Johanna Maria Rotinsulu1), Didik Suprayogo2),
Bambang Guritno2),Kurniatun Hairiah2)
1)Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang dan Dosen di
Universitas Palangkaraya, Palangkaraya, Kalteng
2)Dosen di Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian
ABSTRAK
Rotan dalam pertumbuhannya memerlukan pohon sandar dan panjatan yang
beraneka ragam jenis dan kerapatannya, maka rotan dapat dibudidayakan dalam
system agroforestri. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi tingkat
keanekaragaman pohon panjat rotan dan manfaatnya dalam system agroforestri.
Penelitian ini dilaksanakan di desa Kalamei, Kabupaten Katingan (Kalteng), pada
bulan Oktober Desember 2011. Pengukuran dilakukan di agroforestri karet
dibandingkan dengan di hutan sekunder, masing-masing dengan 6 plot dan 18 sub
plot pengamatan sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hutan
sekunder terdapat tiga jenis rotan dominan yaitu taman/sega (38%),
ketuwu/semambu (26%), dan bulu (18%), sedang di system agroforestri terdapat
lima jenis rotan dominan dimana dua jenis rotan yang ada di hutan sekunder
dijumpai pula di hutan karet. Kelima jenis rotan tersebut yaitu Taman/Sega (46%),
Ketuwu/Semambu (26%), Irit (28%), Manau (17%) dan Rokong (32%). Indeks
keanekaragaman jenis pohon (H) di hutan sekunder sangat tinggi (H=3.05),
ditemukan 73 jenis pohon dari 203 individu tumbuhan, dengan lima jenis pohon
dominan ; Sagagulang (34%), Terentang (32.70%), Mahang (26.55%), Jirak
(23.0589%) dan Tawe/Jabon (22.3015%). Di Hutan Karet diperoleh H=2.6478,
ditemukan 62 jenis pohon dari 169 individu tumbuhan, terdiri dari, Karet (74.63%),
Mahang (25.86%), Meranti (25.33%), Mahabulan (16.32%) dan Rambutan
(15.57%). Sembilan jenis pohon tersebut mempunyai potensi cukup besar sebagai
pohon panjat rotan disamping manfaat lain dalam agroforestri rotan di Katingan.
Kata Kunci: Keanekaragaman, pohon panjat, rotan, agroforestri, hutan sekunder

38

A22
Pengaruh Manajemen Pola Penanaman
terhadap Produktifitas Tegakan berdasarkan Simulasi Pemodelan
Degi Harja, Endri Martini, dan Betha Lusiana
World Agroforestry Centre/ICRAF Southeast-Asia
Dampak dari manajemen pengelolaan penanaman pada produktivitas tegakan
merupakan satu trade-off yang selalu menjadi pertimbangan sistem agroforestri.
Sebuah model simulasi pertumbuhan tegakan hutan SExI-FS (Spatially Explicite
Individual-based Forest Simulator) yang dikembangkan ICRAF digunakan sebagai
alat untuk menduga pertumbuhan. Dengan mensimulasikan berbagai skenario
manajemen, model SExI-FS dapat digunakan untuk mengetahui skenario
manajemen yang optimal. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa berbagai
skenario manajamen tegakan pada system agroforestri berdasarkan jarak tanam
dan kombinasi individu species tanaman/pohon, khususnya pengaruh manajemen
tersebut terhadap produktifitas sistem agroforestri. Untuk menjawab permasalahan
tersebut kami mengamati dua spesies yaitu: durian (Durio zibethinus) dan karet
(Hevea brasiliensis) dengan empat skenario penanaman yaitu: Karet monokultur
(kontrol), penanaman karet dengan sisipan durian, campuran secara acak antara
karet dan durian, dan segregasi karet dan durian (kemudian disebut sebagai
skenario berkelompok). Hasil percobaan simulasi menunjukkan bahwa di luar
komposisi spesies dan managemen pola penanaman akan mempengaruhi baik itu
produktifitas individu pohon maupun produktifitas keseluruhan tegakan secara
umum. Kepadatan tegakan dapat disimpulkan lebih berpengaruh secara nyata
dibandingkan dengan pola penanaman. Namun hal ini kemudian akan sangat
berhubungan dengan manajemen paska panennya, dimana petani mungkin akan
lebih nyaman dengan pola yang lebih teratur. Sistem kluster atau pengelompokan
merupakan alternatif lain untuk mempermudah manajamen pemamenan. Hasil studi
ini menunjukkan bahwa pengunaan model dapat dimanfaatkan untuk menetukan
pola manajemen agoroforestri yang dapat mengoptimalkan produktifitas. Hasil studi
dapat dijadikan bahan berdiskusi dengan petani, dalam upaya meningkatkan
produktiftas sistem agorefoerstri yang dikelola masyarakat.
Kata kunci: model interaksi pohon, produktifitas sistem agroforestri

39

A23
Study Produktivitas Tiga Jenis Rumput Pakan Ternak
di Kawasan Hutan Jati Kabupaten Blora
Sajimin, S.N. Jarmani, dan A. Anggraeni
Balai Penelitian Ternak
ABSTRAK
Kabupaten Blora merupakan daerah kering beriklim kering dengan 49,7% dari luas
wilayah berupa hutan jati dan sisanya berupa lahan sawah serta tegalan. Daerah ini
memiliki iklim tipe D dengan musim kemarau 6-8 bulan, tinggi tempat 96-280m dari
permukaan laut, mata pencaharian penduduk bertani dan berternak. Ternak yang
dipelihara umumnya sapi peranakan ongole (PO) dengan populasi terbesar (21%)
untuk Jawa Tengah di kawasan Perhutani (hutan jati). Hijauan pakan di kawasan
hutan jati didominasi rumput alam dengan produksi dan kualitas rendah. Tujuan
penelitian ini mengintroduksikan tanaman pakan ternak unggul di kawasan hutan jati
untuk meningkatkan ketersediaan hijauan pakan sepanjang tahun. Penelitian
dilakukan tahun 2011-2012 dengan mengintroduksi tiga jenis rumput yaitu Panicum
maximum cv Purpleguinea, Pennisetum purpureum cv Taiwan, dan Pennisetum
purpureum lokal. Rumput ditanam dengan sistem lorong di antara tegakan jati umur
1-6 tahun yang dikelola petani dan diamati produksi, kualitas, serta daya dukung
hijauannya. Tanaman diberi pupuk kandang 30 per ha per tahun dengan jarak
tanam 100x50 cm. Rancangan percobaan acak kelompok dan tanaman pakan
sebagai perlakuan yang diulang 5 kali (petani koperator). Parameter yang diamati
pertumbuhan, jumlah tunas, produksi berat segar, kering hijauan dengan interval
panen 60 hari. Hijauan secara komposit pada akhir percobaan dianalisa di
laboratorium, berupa analisa kualitas hijauan protein kasar, serat kasar, P, Ca, Zn
dan abu. Hasil penelitian menunjukkan jenis rumput dengan performan tertinggi
yaitu P.maximum cv Purpleguinea, diikuti P. purpureum cv Taiwan, dan rumput
gajah lokal. Produktivitas hijauan pada musim hujan ke musim kering terjadi
penurunan produksi tertinggi P. Purpureum cv Taiwan, diikuti Rumput gajah lokal
dan P.maximum cv Riversdale. Terjadi penurunan pertumbuhan untuk rumput
Taiwan dari 170 cm ke 60,1 cm, rumput gajah lokal dari 109,2 cm ke 82,1 cm,
P.maximum cv Purpleguinea 101,0 cm ke 63 cm dari musim hujan ke musim kering.
Nilai nutrisi hijauan memiliki kandungan serat kasar untuk rumput 31,34-38,87 %, P
1,26-1,59 %, Ca 1,22-142 %, Zn 6,19-12,66 ppm. Berdasarkan rataan produksi,
rumput P.maximum cv Purpleguinea mampu mendukung 2,7 satuan ternak, rumput
gajah taiwan 2,4 satuan ternak, dan rumput gajah lokal 1,5 satuan ternak.
Kata kunci: Tanaman pakan, hutan jati, kualitas produktivitas
40

A24
Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif
dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon
Wahyudi
Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Universitas Palangka Raya
ABSTRACT
Large of forest degradation areas in Indonesia is more than 21,9 million ha,
meanwhile social condition in the surrounding forest region still poor. Developing
plantation forest with applying corporate social responsibility is the best choice. Aim
of this research was to compare agroforestry system, intensive monoculture system,
and konventional monoculture system in the developing plantation forest in the
degraded land. This research was comprised three treatment, i.e. agroforestry
system as treatment 1 (mix of Paraserianthes falcataria and Oriza sativa), intensive
monoculture system as treatment 2, and conventional monoculture system as
treatment 3, using plant of Paraserianthes falcataria respectively. Analysis of varians
and least significantly differ using SPSS 16.0. Result of this research showed that
mean annual increment (MAI) of sengon diameters at agroforestry system, intensive
monoculture system, and konventional monoculture system were 3,45 cm/th; 3,21
cm/th, and 1,99 cm/th respectively. Agroforestry system and intensive monoculture
system were better than konventional monoculture system. Agroforestry system is
the best choice because beside can produce 2,98 ton/ha of paddy, this system was
also as good as intensive monoculture system, creating the job, improving of social
prosperity, changing of local community opinion become positive perception for
forestry developme, protection of forest, forest fire prevention, lessen fast of forest
degradation and environmental quality preservation on the forest region
Keywords: Agroforestry, degraded forest, intensive and conventional monoculture

41

A25
Pola Agroforestri yang Mampu Meningkatkan Fungsi Ekologi
dan Agronomi Hutan Rakyat
Nina Mindawati, A. Syaffari Kosasih dan Sofwan Bustomi1
Sitompul, SM. dan Setyono Yudo Tyasmoro2
1 Peneliti Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
2 Dosen Fakultas Pertanian UNIBRAW
ABSTRACT
The choice of tree species to be developed for agroforestry is a very important thing
to keep the balance between economy and environment aspects. In general the
farmers plant various plant species but they do not consider the suitability among
plant species such as light requirement and soil fertility. Therefore research on
optimalitation of agroforestry pattern was carried out so that farmers income
increased and environment sustainability was kept. Research on application of
several agroforestry planting pattern was conducted at community forest of
Sumber Urip village, Doko subdistrict, District of Blitar East Java for five years
(2007-2011) with the aim of increasing the farmers income.The research used split
plots design with planting pattern treatments : sengon (Falcataria moluccana)
monoculture (A), sengon plantation+ coffee+ gliricidia+ Manihot esculenta+kacang
tunggak (B), sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + corn + kacang
tunggak (C) , sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + gingger + kacang
tunggak (D) and sengon plantation + coffee + gliricidia + gingger + corn + kacang
tunggak (E) with three replications. Deciding the best pattern was based on four
studied aspects (growth of sengon, growth of agricultural plants, erosion and soil
fertility). Research result showed that the pattern having the highest scoring value
was B pattern followed by D. From those two patterns it can be concluded that
sengon was good for agroforestry by mixed with coffee, gliricidia and kacang
tunggak
Key words: Agroforestry, ekology, agronomy, community forest

42

A26
Jenis-Jenis Rumput Penutup Tanah di Kebun Raya Purwodadi
Solikin
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI
ABSTRAK
Rumput adalah jenis tumbuhan strata bawah yang bermanfaat sebagai makanan
ternak dan penutup tanah untuk mengurangi erosi pada permukaan tanah akibat
adanya aliran permukaan. Penelitian yang bertujuan untuk menginventarisasi
jenis-jenis rumput penutup tanah yang tumbuh di antara pepohonan yang tumbuh
di Kebun Raya Purwodadi telah dilakukan pada bulan Februari 2012 dengan
membuat plot garis pada lokasi terbuka, agak terbuka, dan agak ternaung yang
dibuat secara sistematik sebanyak 50 segmen setiap lokasi, panjang setiap
segmen 1 m dan jarak antar segmen 0,5 m. Hasil penelitian menemukan 6 jenis
rumput penting yang menjadi penutup tanah di antara jenis pepohonan yaitu
Axonopus compressus, Chrysopogon acyculatus, Oplismenus burmanni, Panicum
brevifolium, Paspalum conjugatum dan Polytrias amaura. Jenis rumput yang
dominan adalah Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus dan Polytrias
amaura.
Kata kunci: rumput, penutup tanah, manfaat

43

B1
Keragaman Jenis Pohon dan Potensi Karbon pada Sistem Agrosilvopastoral
di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
Mahrus Aryadi, Arfa Agustina, Eva Prihatiningtyas
Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Agroforestri berkembang di masyarakat sesuai kearifan lokal sehingga struktur dan
komponen penyusunnya sangat beragam. Klasifikasi agroforestri dapat dilakukan
berdasarkan berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Salah
satu aspek yang dipakai sebagai dasar klasifikasi agroforestri yaitu kompleksitasnya
dibandingkan dengan budidaya monokultur baik di sektor kehutanan maupun
pertanian. Pengklasifikasian ini akan membantu dalam analisis bentuk implementasi
agroforestri yang dijumpai di lapangan untuk mengoptimalkan fungsi dan
manfaatnya bagi masyarakat. Perubahan iklim global baru-baru ini disebabkan oleh
terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Upaya yang
dilakukan antara lain adalah dengan meningkatkan penyerapan karbon dan
menurunkan emisi karbon. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi
komponen penyusun dalam kebun campuran di Desa Sungai Alang; mengetahui
kompleksitas bentuk agroforestri yang dilaksanakan, dan mengetahui cadangan
karbon dari tegakan yang ada di lokasi penelitian. Metoda yang digunakan adalah
dengan membagi lahan menjadi beberapa plot pengamatan; mencatat nama jenis,
fungsi, umur semua komponen dalam plot; mengukur Luas Bidang Dasar dan Lebar
tajuk pohon dalam plot. Penghitungan potensi karbon menggunakan metode nondestruktif, yaitu dengan persamaan alometrik yang telah ada. Hasil pengamatan
diketahui bahwa terapat 10 jenis pohon sebagai komponen berkayu, 3 jenis sebagai
komponen tanaman semusim dan 1 jenis ternak, yaitu kambing sebagai komponen
ternak. Luas Bidang Dasar terbesar yaitu untuk pohon jenis karet, ditemui sebanyak
23 individu dari keseluruhan plot pengamatan. Berdasarkan komponen
penyusunnya, bentuk agroforestri tersebut termasuk agrosilvopastura. Potensi
penyerapan karbon adalah sebesar 12032,37 gr/cm3 dalam areal seluas 1.200 m2.
Kata kunci: agroforestri, keragaman jenis, cadangan karbon

44

B2
Penaksiran Emisi Karbon di Casteel Timur, Kabupaten Asmat, Papua
Marthinus Kendom1, Kurniatun Hairiah2 dan Sudarto2
1Universitas Brawijaya, Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian, Minat
Pengelolaan Tanah dan Air; 2Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Malang
ABSTRAK
Cadangan karbon (C) di hutan alam jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
penggunaan lahan lain. Alih fungsi hutan dan pemanfaatan hasil hutan yang
menghilangkan biomasa pohon akan meningkatkan jumlah karbon yang hilang dari
system atau disebut pula emisi. Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi emisi C
menggunakan metoda RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) di DAS Casteel
Timur, Kabupaten Asmat, Papua melalui penghitungan perubahan cadangan karbon
per siklus tanam yang terjadi akibat perubahan tutupan lahan, pada tiga rentang
waktu yang berbeda antara tahun 1997 2010. Pengukuran dilakukan pada 3 klas
tutupan yaitu hutan primer rapat (HPR), hutan primer jarang (HPJ) dan semak
belukar (SB). Ekstrapolasi cadangan C dari tingkat lahan ke tingkat DAS dilakukan
dengan mengalikan data aktivitas (perubahan luasan penggunaan lahan, ha)
dengan faktor emisi (Perubahan rata-rata cadangan C per siklus tanam, Mg ha-1).
Berdasarkan analisis citra Lansat tahun 1997 DAS Casteel mempunyai luasan
54131 ha, dan berdasarkan hasil pengukuran cadangan C maka di daerah tersebut
terdapat cadangan C sebesar 25 Mt (atau rata-rata 457 Mg ha-1). Proporsi
cadangan C terbesar berada di HPR dan HPJ sebesar 99% dan hanya 1% di SB.
Jumlah tersebut meningkat menjadi 26 Mt (5,2%) di tahun 2000, dan terus
meningkat menjadi 26.9 Mt (8%) di tahun 2005. Namun demikian di tahun 2010,
menurun menjadi 26.1 Mt (5.3%). Hasil perhitungan kehilangan C menunjukkan
pada tiga tahun pertama (1997-2000) terjadi penurunan kehilangan C rata-rata 9 Mg
CO2 ha-1th-1, lima tahun kemudian (2000-2005) terjadi peningkatan kehilangan ratarata 158 Mg CO2 ha-1th-1 dan pada lima tahun terakhir (2005-2010) kembali terjadi
kehilangan 5 Mg CO2 ha-1th-1 akibat bertambah/bekurang luasan per klas tutupan
dalam DAS. Dari hasil integrasi data perubahan tutupan lahan, maka diketahui pada
kurun waktu tahun 1997 2000 dan 2005 2010 terjadi emisi masing-masing
sebesar 16 Mg CO2 ha-1th-1 dan 11 Mg CO2 ha-1th-1, tetapi pada kurun waktu 2000
2005 terjadi sekuestrasi sebesar 30 Mg CO2 ha-1th-1. Emisi di DAS Casteel terjadi
akibat perubahan klas tutupan lahan HPR menjadi HPJ dan SB, serta HPJ menjadi
SB.
Kata kunci: karbon dioksida (CO2), emisi, sekuestrasi, faktor emisi
45

B3
Penerapan Model Agroforestry versus Social Forestry
Menghadapi Perubahan Iklim Global pada Pulau-Pulau Kecil di Maluku
Agustinus Kastanya, Ronny Lopies, dan Iskhar Bone
Dosen Pascasarjana Manajemen hutan dan Jurusan Kehutanan Unpatti
Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi sampai saat ini, telah memicu
perubahan iklim global yang bardampak destruktif terhadap kehidupan masyarakat
dan lingkungan alam, terutama pada kawasan pulau-pulau kecil di Maluku. Model
Agroforestry tradisional di Maluku disebut Dusung yang telah berkembang sebagai
bentuk adaptasi social ekonomi masyarakat terhadap lingkungan pulau-pulau kecil.
Model Social Forestry oleh Kementerian Kehutanan adalah adopsi dari model
Agroforestry sebagai suatu langkah maju dalam pengelolaan kawasan hutan
berbasis masyarakat dan lingkungan. Tujuan penelitian adalah: 1) mencari
keselarasan pengertian Agroforestry dan Social Forestry; 2) Analisis Kebijakan
melalui Tata Ruang, Tataguna Hutan dan implementasinya; 3) perkembangan
penerapan Agroforestry dan Social Forestry; 4) potensi Total Ekonomi Nilai Hutan
(TENH); 5) dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Penelitian ini
dilaksanakan di kawasan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku, metoda yang
digunakan menggunakan Geo information system, menelusuri hasil penelitian dan
kebijakan dan hasil-hasil Focus Group Discussion, dan Analisis financial dan
ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa model agroforestry memiliki
pengertian yang hampir bersamaan dengan Social Forestry, bahkan Agroforestry
merupakan dasar dalam pengembangan Social forestry yang lebih difocuskan
dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Model Social Forestry yang
diterapkan pada kawasan hutan dan di Luar Kawasan Hutan mempunyai potensi
TENH sangat tinggi. Pengembangan Social Forestry di Maluku belum berjalan
dengan baik dan belum terpadu dengan tata ruang sehingga terus terjadi
deforestasi dan degradasi hutan, masalah tenurial, dan kemiskinan bagi masyarakat
di sekitar hutan dan masyarakat local, selain itu ada ancaman kenaikan air laut.
Kebijakan yang perlu ditempuh adalah integrasi Tata ruang dengan tata guna hutan
dan pengembangan model Sosial Forestry dan Agroforestry terkait dengan Skema
REDD+ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim global.
Kata kunci: Agroforestry, Social Forestry, Climate Changes, small Islands

46

B4
Pengelolaan Agroforestri untuk Keberlanjutan Lingkungan
pada Hutan Negeri Kilang di Kota Ambon
Debby V Pattimahu
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
ABSTRAK
Sektor kehutanan kini diperhadapkan dengan tantangan yang cukup berat terutama
dengan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa hutan, alih fungsi lahan
hutan, kebutuhan akan air bersih dan terjadinya penyusutan lahan sebagai
implikasi dari bertambahnya penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
lahan. Solusi yang dapat menyeimbangkan kehutanan dengan sektor lain secara
berkelanjutan adalah melalui sistem agroforestri. Di Negeri Kilang masyarakat
melakukan usaha perkebunan buah-buahan dan pertanian pada lahan hutan
setempat dengan
sistem agroforestri.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi indikator pengelolaan agroforestri berkelanjutan dan menganalisis
nilai indeks keberlanjutan pengelolaan agroforestri pada hutan Negeri Kilang di
Kota Ambon. Metode penilaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rappid
Appraisal for Agroforestry (RAP-Agroforestry) melalui beberapa tahapan, yaitu
1) tahap penentuan indikator agroforestri berkelanjutan untuk dimensi ekologi,
ekonomi dan sosial, 2) tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal
berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang
berbasis metode multidimensional scaling dan 3) tahap penyusunan indeks dan
status keberlanjutan pengelolaan agroforestri. Untuk setiap indikator pada masingmasing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari
dimensi yang dikaji. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan
untuk multidimensi sebesar 36,08 (kurang berkelanjutan); dimensi ekologi sebesar
79,95 (berkelanjutan); dimensi ekonomi 33,56 (kurang berkelanjutan) dan dimensi
sosial sebesar 22,96 (tidak berkelanjutan). Agar nilai indeks pengelolaan
agroforestri di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai
status berkelanjutan, maka perbaikan terhadap indikator-indikator yang sensitif
berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekonomi dan sosial. Perbaikan yang
dimaksud adalah meningkatkan kapasitas indikator yang mempunyai dampak positif
terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan agroforestri dan
sebaliknya menekan sekecil mungkin indikator yang berpeluang menurunkan nilai
indeks keberlanjutan.
Kata kunci : nilai indeks keberlanjutan, RAP-Agroforestry
47

B5
Penaksiran Tingkat Emisi dan Sequestrasi Karbon di Jawa Timur
1Rika Ratna Sari, 2Kurniatun Hairiah, dan 3Suyanto
1PS. Pengelolaan Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya;
2Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya;
3World Agroforestry Centre
ABSTRAK
Mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya
merupakan suatu upaya dalam menekan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) di
atmosfir, antara lain melalui penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan
dengan mengoptimalkan cadangan karbon di kawasan hutan dan non hutan.
Luasan agroforestri/hutan rakyat di Jawa Timur semakin meningkat dari waktu ke
waktu sehingga berpotensi dalam meningkatkan cadangan karbon daratan.
Dinamika perubahan tutupan lahan merupakan data utama yang dibutuhkan dalam
mengestimasi tingkat emisi/sequestrasi karbon sauatu kawasan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengestimasi tingkat emisi atau sequestrasi karbon di Jawa
timur pada tiga periode waktu yang berbeda (Tahun 1994-2001, 2001-2006, dan
2006-2012). Tingkat emisi/sequestrasi karbon akibat perubahan penggunaan lahan
(Mg CO2 th-1) dihitung dengan metode RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal)
dengan menggunakan program REDD ABACUS SP. Tingkat emisi dihitung dengan
mengintegrasikan data aktivitas dari perubahan tutupan lahan (ha th-1) dengan
faktor emisi dari perubahan rata-rata cadangan karbon (time-averaged C Stock) dari
dua penggunaan lahan (Mg CO2 ha-1). Estimasi tingkat emisi/sequestrasi di Jawa
Timur dilakukan berdasarkan pada analisis perubahan tutupan lahan dari tiga
periode. Periode 1994-2001, tingkat emisi Jawa Timur memiliki sebesar 0,23 Mg
CO2 ha-1 th-1, tetapi pada periode berikutnya (2001-2006) terjadi peningkatan
menjadi 7,64 Mg CO2 ha-1 th-1. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan 10%
lahan hutan, 25% perkebunan dan 21% agroforestri menjadi penggunaan lahan
lain. Selanjutnya pada periode 2006-2012, terjadi peningkatan agroforestri/hutan
rakyat sebesar 22% sehingga tingkat emisi menjadi negatif atau bahkan dapat
menyerap (sequestrasi) sebesar 2,39 Mg CO2 ha-1 th-1. Hal tersebut disebabkan
karena peningkatan luasan hutan rakyat dan agroforestry yang cukup besar di
wilayah Jawa Timur. Tingkat emisi di Jawa Timur jauh lebih rendah dari pada ratarata emisi nasional sekitar 2,14 Mg CO2 ha-1 th-1 yang dihitung dengan prosedur
yang sama, namun data di tingkat nasional tersebut masih dihitung berdasarkan
cadangan karbon biomasa pohon saja.
Kata kunci: Tingkat emisi karbon, Jawa Timur, agroforestri/hutan rakyat
48

B6
Prediksi Erosi dan Limpasan Permukaan pada Pola-Pola Agroforestri
di Wuryantoro, Wonogiri
Irfan B. Pramono dan Rahardyan Nugroho Adi
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
ABSTRAK
Pertambahan penduduk di daerah dengan mata pencaharian pokok pertanian
menyebabkan tekanan terhadap lahan. Lahan-lahan dengan kelerengan yang
curam dijadikan sasaran untuk perluasan usaha pertanian sehingga akibatnya
timbul masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, dan pembentukan lahan kritis.
Pola agroforestry merupakan alternatif yang paling sesuai untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui erosi dan
limpasan permukaan dari penerapan berbagai pola pengelolaan agroforestri di
lahan miring berbahan induk kapur. Metode yang digunakan adalah USLE untuk
prediksi erosi dan metode SCS CN untuk prediksi aliran permukaan. Lokasi kajian
dilakukan di daerah Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Pola
agroforestri diterapkan pada plot ukuran 30 m x 20 m. Di dalam setiap perlakuan
dikembangkan kombinasi antara tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan
jenis tanaman tahunannya adalah Jati, Mangga dan Mete. Kemudian jenis tanaman
semusim yang dikembangkan berdasarkan musim tanam (MT) yang ada. Dari
perlakuan yang diujicobakan dilakukan ulangan sebanyak 3 kali, begitu juga untuk
plot kontrol. Kemudian pola penanaman tanaman tahunan dilakukan dengan
menggunakan pola untu walang. Untuk plot kontrol polanya mengikuti pola yang
dikembangkan oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola
agroforestri dapat mengurangi erosi sebesar 60 % (172 ton/ha/th menjadi sekitar 70
ton/ha/th). Kemudian plot agroforestri dengan pola A dapat menurunkan limpasan
permukaan sebesar 53 % (dari 17,79 mm menjadi 9,48 mm).
Kata Kunci: Agroforestry, Erosion, Surface Runoff, bahan induk kapur

49

B7
Revitalisasi Pekarangan sebagai Lanskap Agroforestri Skala Mikro
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kaswanto1 dan Tatag Muttaqin2
1Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB)
2Jurusan Kehutanan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
ABSTRAK
Desain lanskap agroforestri menuju masyarakat rendah karbon (low carbon society LCS) adalah sebuah konsep dalam menjawab permasalahan manajemen lanskap
dari berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini, pendekatan ekologi lanskap
digunakan untuk menganalisis seluruh proses lanskap agroforestri pada skala
mikro, yakni berupa pekarangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini memiliki empat tujuan utama yaitu 1) mengukur indeks keragaman
jenis, 2) menentukan karbon tersimpan pada skala mikro, 3) mengukur level
kesejahteraan pada aspek ekonomi, dan 4) menghitung nutrisi yang dapat diperoleh
melalui praktek agroforestri di dalam pekarangan. Indeks keragaman spesies
ditunjukkan oleh 214 tanaman dan 11 ternak yang ditemukan pada 96 sampel
pekarangan. Sebagian besar struktur pekarangan yang menjadi responden
ditemukan menyerupai kondisi hutan, di mana keragaman vertikal dan horizontal
sangat tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekarangan memiliki tingkat
biodiversitas dan karbon tersimpan yang relatif tinggi walaupun pada pekarangan
yang berukuran kecil (<400 m2). Total pendapatan tambahan hasil produksi
pekarangan mencapai 12,9% dari total pendapatan seluruh anggota keluarga. Total
pendapatan tahunan dari menjual produk ternak lebih tinggi dibandingkan dengan
menjual produk tanaman. Kontribusi pekarangan terhadap pola konsumsi rumah
tangga terlihat dari kontribusi keempat nurtisi yaitu kalori (2,1%), protein (2,5%),
vitamin A (12,7%) dan vitamin C (23,1%) dari total komsumsi. Lanskap agroforestri
skala mikro dalam bentuk pekarangan dapat berkontribusi secara nyata dalam
konsep jasa lingkungan (environmental services) untuk melestarikan lingkungan dan
pada saat yang bersamaan juga meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Oleh
karena itu, pengelolaan pekarangan bagi masyarakat perdesaan perlu lebih
diberdayakan. Masyarakat harus mempertimbangkan praktek agroforestri
pekarangan yang sesuai daripada hanya mengandalkan budidaya lahan pertanian.
Masyarakat juga bisa berharap banyak dengan merevitalisasi penggunaan spesies
lokal secara beragam demi meningkatakn nilai ekologis, ekonomi dan sosial.
Kata Kunci: ekologi lanskap, jasa lingkungan, karbon tersimpan, pendapatan
tambahan, nutrisi tambahan
50

B8
Pola Agroforestri di Kawasan Karst Gunung Kidul
untuk Pengelolaan Telaga sebagai Sumber Air Berkelanjutan
Pranatasari Dyah Susanti1 dan Adnan Ardhana2
1Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
2Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
ABSTRAK
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu wilayah di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang memiliki wilayah dan topografi yang bergunung, memiliki kawasan
karst dan sering mengalami kekeringan pada musim kemarau. Keberadaan telaga
menjadi salah satu alternatif cadangan penyimpanan air yang dapat dimanfaatkan
masyarakat sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari seperti, mandi, cuci,
kakus, pertanian, perikanan, pariwisata dan bahkan ritual budaya yang terbalut
dalam perilaku kearifan lokal masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran
agroforestri yang berada di sekitar telaga Kabupaten Gunungkidul sebagai salah
satu sistem pengelolaan telaga di kawasan karst tersebut. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survey untuk mengetahui perbedaan pengelolaan
kawasan telaga, baik telaga yang mampu bertahan pada musim kemarau, maupun
telaga yang mengering pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan dari
280 telaga yang tersebar di Kabupaten Gunungkidul hanya 70 telaga atau sekitar
25% yang mampu bertahan pada musim kemarau. Salah satu sistem pengelolaan
yang mampu menjaga ketersediaan air telaga adalah penerapan pola agroforestry
dengan memanfaatkan tanaman-tanaman tertentu di sekitar telaga. Kombinasi
tanaman tahunan yang sesuai untuk daerah sekitar telaga dengan tanaman
semusim seperti palawija dapat membantu telaga untuk mempertahankan
ketersediaan airnya meskipun saat musim kemarau. Pola ini lebih baik daripada
telaga yang hanya ditanami tanaman semusim saja. Karena tanpa adanya tanaman
yang mampu menahan dan menyimpan air, maka telaga akan menjadi lebih cepat
mengering pada musim kemarau. Meskipun demikian, sistem agroforestri sebagai
alternatif pengelolaan kawasan sekitar telaga ini, juga dipengaruhi oleh kondisi
topografi, status lahan yang ada di sekitarnya, serta pengaruh kearifan lokal yang
masih mengakar di masyarakat. Penerapan teknologi yang tepat dengan
menggunakan pola agroforestri dalam pengelolaan lahan disekitar telaga ternyata
menunjukkan kemampuan sebagai sumber air yang berkelanjutan. Penerapan
dalam skala lebih luas diharapkan dapat digunakan sebagai solusi untuk mengatasi
minimnya ketersediaan air bagi masyarakat di kawasan karst Gunungkidul.
Kata kunci : agroforestri, telaga, kawasan karst
51

B9
Kerusakan Mangrove serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Intrusi Laut
(Studi Kasus Di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong
Kabupaten Bekasi)
Sodikin
Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Kerusakan lingkungan pesisir semakin hari semakin memperihatinkan, hal ini terjadi
seiring makin pesatnya pertumbuhan penduduk. Salah satu ekosistem pesisir yang
keberadaannya saat ini mulai terdegradasi adalah ekosistem mangrove. Hutan
mangrove di Kecamatan Muara Gembong terus mengalami berbagai tekanan
hampir 93,5 % kawasan mangrove di daerah ini diokupasi masyarakat untuk
tambak ikan, lahan pertanian, pemukiman dan beberapa fasilitas sosial lain. Salah
satu desa di Kecamatan Muara Gembong adalah Desa Pantai Bahagia, di kawasan
ini hutan mangrove pada kondisi yang kritis, baik disebabkan oleh abrasi pantai
maupun adanya konversi lahan mangrove oleh masyarakat untuk keperluan
perluasan tambak, lahan pemukiman dan sebagainya. Semenjak era tahun 1990 an
sampai saat ini seiring dengan makin meningkatnya konversi lahan mangrove
masyarakat merasakan bahwa air sumur mereka sudah terasa payau bahkan
sudah terasa asin, hal ini mengakibatkan masyarakat sekitar sulit untuk
mendapatkan air tanah tawar untuk keperluan sehari-harinya. Penelitian yang
dilaksanankan di Desa Pantai Bahagia ini meruapakan penelitian yang dilakukan
untuk mengetahui kerusakan mangrove terhadap tingkat intrusi air laut.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, pengambilan sampel
lahan mangrove, dan pengambilan sampel sumur warga. Hasil penelitian
menunjukan di Desa Pantai Bahagia terdapat enam jenis mangrove yaitu Avicennia
Marinna, Avicennia Officinalis, Nypa fruticans, Rhizhopora apiculata , Rhizhopora
mucronata, Soneratia alba. Kondisi mangrove di Desa Pantai Bahagia rentang
tahun 2000 sampai 2012 secara keseluruhan kondisinya mengalami penurunan
sebesar 55,57%. Dari hasil uji sampel air dari sumur warga yang ada di sekitar
lahan mangrove, tingkat intrusi air laut meningkat seiring dengan makin besarnya
prosentase tingkat kerusakan mangrove. Apabila diklasifikan tingkat intrusi air laut
masuk pada kategori sedang dan agak tinggi. Berdasarkan jenis vegetasi yang
mendominasi daerah yang memiliki tingkat intrusi yang rendah dengan nilai HP 1,65
adalah pada jenis Rhizhopora mucronata.
Kata Kunci : Kerusakan Mangrove, Pengaruh, Intrusi Air Laut
52

B10
Jasa Lingkungan Keanekaragaman Hayati Pohon pada Agroforest Karet
Subekti Rahayu dan Harti Ningsih
ABSTRAK
Agroforest karet atau hutan karet di Jambi merupakan sistem budidaya karet rakyat
dengan intensitas pengelolaan rendah sehingga memberikan kesempatan terhadap
berbagai spesies pohon hutan untuk tumbuh dan berkembang yang dapat berperan
sebagai penyedian jasa lingkungan. Artikel ini merupakan analisa dan sintesa dari
beberapa survei pengukuran cadangan karbon dan keanekaragaman hayati spesies
pohon serta diskusi kelompok tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati pohon
bagi masyarakat di Kabupaten Bungo, Jambi. Survei dilakukan di Desa Lubuk
Beringin dan Tebing Tinggi, Kabupaten Bungo pada agroforest karet berumur
antara 13 sampai dengan 60 tahun dan hutan primer serta belukar sebagai
pembanding. Agroforest karet yang dikelola secara tidak intensif memiliki
keanekaragaman spesies pohon hampir sama dengan belukar tua berumur 25
tahun. Bahkan, memiliki keanekaragaman spesies anakan pohon lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan tidak terganggu dan belukar. Similaritas spesies antara
anakan pohon antara hutan tidak terganggu dengan agroforest karet yang dikelola
secara tidak intensif mencapai skala 0,9 dari nilai maksimum 1,0 dan menurun
menjadi 0,8 pada pohon berdiameter 5 30 cm dan 0,75 pada pohon berdiameter >
30 cm. Cadangan karbon pada agroforest yang dikelola secara tidak intensif
mencapai 60% dari hutan tidak terganggu dan lebih tinggi 10% dari belukar tua
berumur 25 tahun. Diskusi kelompok mengenai jasa lingkungan lain yang
disediakan oleh keanekaragaman hayati pohon pada ekosistem agroforest karet
menujukkan adanya semua komponen jasa lingkungan antara lain sebagai: (1)
penyedia kebutuhan dasar manusia (sumber bahan makanan, obat, obatab, bahan
bangunan, peralatan rumah tangga, kayu bakar); (2) penyedia jasa pengatur
(pengatur tata air dan penyerap karbon); (3) penyedia jasa pendukung (mencegar
terjadinya erosi) dan penyedia jasa keindahan. Pada skala 100 untuk hutan tidak
terganggu, agroforest karet yang dikelola secara tidak intensif menyediakan jasa
lingkungan dari keanekaragaman hayati pohon sebanyak 90. Sementara, belukat
tua hanya dapat menyediakan sebaganyak 74.
Kata kunci: agroforest karet, Jambi, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati pohon

53

B11
Agroforest Kopi dan Pengaruhnya terhadap Layanan Ekosistem
di Daerah Resapan Mata Air Krisik (Ngantang, Kabupaten Malang)
Titut Yulistyarini
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI
ABSTRAK
Mata air Krisik merupakan salah satu mata air di Kecamatan Ngantang yang keluar
di kaki bukit di Desa Jombok dengan debit maksimum 0,9 l.detik-1 dan debit
minimum 0,3 l.detik-1. Mata air Krisik dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan
memasak oleh penduduk di sekitarnya. Berdasar analisis geolistrik, mata air Krisik
memiliki akuifer dangkal, daerah resapannya diperkirakan terletak di bukit yang
berada di sekitar mata air. Terdapat keragaman vegetasi di daerah resapan ini,
yang disebabkan Sistem Penggunaan Lahan (SPL) yang berbeda. Agroforest kopi
multistrata mendominansi daerah resapan mata air Krisik sebesar 68,83%, diikuti
Hutan Pinus (23,77%) dan SPL Hortikultura/ sawah dan Kebun campuran sekitar
3%. Layanan ekosistem terdiri dari empat kategori yaitu layanan manfaat, layanan
regulasi, layanan dukungan dan layanan budaya. Keempat tipe layanan tersebut
didukung dan bergantung kepada keanekaragaman hayati. Semakin tinggi
keanekaragaman hayati maka semakin besar layanan ekosistem yang tersedia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran agroforest kopi terhadap layanan
ekosistem di daerah resapan mata air Krisik dibandingkan dengan tiga SPL lainnya.
Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi untuk menentukan Indeks
Diversitas, struktur vegetasi dan persentase penutupan lahan. Kemudian dilakukan
analisis biofisik tanah dan kecepatan infiltrasi tanah keempat SPL. Data yang
diperoleh dianalisis statistik dengan Anova. Selain itu dilakukan estimasi C-stock
masing-masing SPL di daerah resapan mata air dengan mengacu pada metoda
RaCSA yang dikembangkan oleh ICRAF. Hasil penelitian menunjukkan Indeks
diversitas Shannon-Wiener(H) pohon, belta dan tumbuhan bawah pada SPL Kopi
multistrata lebih tinggi dari H pada SPL Kebun campuran dan Pinus. Kopi
multistrata memiliki penutupan kanopi tertinggi sebesar 70%, sedangkan C stock
yang dihasilkan SPL Kopi multistrata sebesar 70 Mg.ha-1. Kandungan C-organik
tanah agroforest kopi multistrata tidak berbeda nyata dengan SPL lainnya (P>0,05),
antara 0,58-1,04%. Karakteristik fisik tanah (BI, porositas, KHJ) SPL agroforest kopi
tidak menunjukkan perbedaan nyata. KHJ tanah dan kecepatan infiltrasi keempat
SPL tergolong sangat cepat yang akan mendukung peresapan air ke dalam tanah
dan berpengaruh terhadap recharge air pada akuifer mata air Krisik.
Kata kunci: agroforest kopi, layanan ekosistem, mata air, daerah resapan
54

B12
Evaluasi Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Penyusun Hutan Rakyat
Agroforestry di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri,
Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat
Wuri Handayani dan Aris Sudomo
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
ABSTRAK
Evaluasi kesesuian lahan terhadap jenis-jenis tanaman yang telah dikembangkan di
suatu wilayah diperlukan untuk menentukan jenis yang perlu dipertahankan atau
mengganti dengan jenis alternatif baru yang lebih baru. Tujuan penelitian ini adalah
mengevaluasi jenis tanaman agroforestry yang sesuai dengan kondisi biofisik di
lahan hutan rakyat Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Metodologi penelitian dilakukan dengan observasi
lapangan dan pencarian data-data sekunder berupa laporan dan literatur
pendukung. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mensikronkan kondisi
biofisik dengan persyaratan tumbuh beberapa jenis tanaman agroforestry dalam
bentuk tabulasi. Evaluasi kesesuaian jenis berdasarkan parameter jenis tanah,
solum tanah, curah hujan, ph Tanah, ketinggian tempat dan kelerengan.
Berdasarkan hasil observasi di lokasi penelitian jenis-jenis pohon yang tumbuh
adalah jabon, sengon, mahoni, khaya anthoteca, manglid, sedangkan untuk jenis
tanaman bawah adalah lada, cabe, ganyong, suweg/iles-iles, jagung, jahe,
kapulaga, tomat dan kunyit. Dalam rangka pengembangan agroforestry perlu dicari
kombinasi jenis tanaman yang dapat berinteraksi positif dengan memperhatikan
karakteristik akar, tingkat naungan dan jenis leguminosorum. Berdasarkan analisis
kesesuaian lahan ditemukan adanya 3 tingkat kesesuaian yaitu 1) sesuai tanpa
faktor pembatas yaitu jenis pohon manglid, sengon, mahoni, jati.Jenis tanaman
bawah yang sesuai adalah kapulaga, kacang tanah, talas, iles-iles dan lada, 2)
sesuai dengan faktor pembatas yang dapat diubah (diberi perlakuan) yaitu jagung
dan 3) sesuai marjinal karena adanya sedikit faktor pembatas yang sulit diubah,
yaitu ubi jalar, gembili, garut. Pemilihan jenis alternatif baru diperlukan dengan lebih
memperhatikan kesesuaian lahan dan melakukan uji spesies untuk lebih
memberikan rekomendasi akurat untuk pengembangan hutan rakyat.
Kata kunci : Kesesuaian lahan, jenis tanaman, dan agroforestry

55

B13
Analisis Manfaat Integrasi Sekolah Lapangan dalam Program PHBM Plus
untuk Penguatan Masyarakat Desa Hutan dalam Pengembangan Agroforestri
Berwawasan Lingkungan di Wilayah Perhutani
Didik Suprayogo, Widianto, Syahrul Kurniawan, Iva Dewi Lestariningsih, Prasodjo
Hari Nugroho, Datin Waluyani
1) Dosen Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, 2) Peneliti
Puslitbang Perhutani Cepu
Abstrak
Program PHBM Plus diterapkan melalui penguatan kelompok masyarakat desa hutan
di tingkat desa dalam membangun hutan menuju kor bisnis Perhutani secara partisipatif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi manfaat integrasi Sekolah
Lapangan untuk penguatan masyarakat desa hutan terhadap kinerja pelaksanaan
PHBMPlus. Kinerja yang dievaluasi meliputi 3 aspek yaitu aspek ekologi/ lingkungan,
aspek peningkatan ekonomi dan aspek sosial masyarakat.. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka dilakukan survey lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview)
dengan skenario (1) masyarakat desa hutan yang belum mendapatkan pelatihan dan
pendampingan sekolah lapangan, (2) masyarakat desa hutan yang wakilnya
mendapatkan pelatihan satu tahun sebelumnya sebagai fasilitator lokal untuk
penerapan sekolah lapangan, (3) masyarakat desa hutan yang wakilnya mendapatkan
pelatihan sebagai fasilitator lokal dan pendampingan sekolah lapangan oleh Perhutani
dan dukungan fasilitator external (Environmental Service Program). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara pendapat kondisi tanaman hutan
dengan (1) pentingnya perencanaan pengelolaan hutan sesuai karakteristik kawasan
setempat, (2) ketersediaan teknologi terpilih oleh masyarakat untuk pengelolaan hutan
sesuai karakteristik kawasan setempat, (3) pentingnya ketepatan pengetrapan teknologi
terpilih untuk pengelolaan hutan sesuai karakteristik kawasan setempat, (4)
terselenggarakannya dialog para pihak dalam pembangunan hutan, (5) kelancaran
komunikasi, dan koordinasi para pihak, (6) keefektifan fungsi kelembagaan, (7)
pimpinan kelembagaan yang demokratis dan partisipatif, (8) pentingnya komunikasi
dialogis yang terdokumenfasilitator lokal yang handal dalam pembangunan hutan
melalui PHBM Plus mampu memdorong perubahan peningkatan ekonomi, kondisi sosial
masyarakat dan kinerja LKDPH/LMDH, walaupun secara keseluruhan masih pada
tingkat mendapatkan kepuasan yang cukup baik oleh masyarakat desa hutan.
Pelatihan Sekolah lapangan tanpa ditindak lan, (9) kejelasan batas-batas kewenangan,
(10) kejelasan peran unit organisasi, (11) ketepatan penempatan sumberdaya manusia,
(12) berjalannya organisasi yang demokratis, (13) teknik pengelolaan hutan
mempraktekkan fungsi hidrologis dan biodiversitas, (14) teknik pengelolaan hutan
dengan mempraktekkan efisiensi dan produktivitas yang maksimum.
Kata Kunci: PHBM, pemberdayaan masyarakat, sekolah lapangan, agroforestri
56

B14
Pembangunan Landscape Kalimantan Barat yang Berkelanjutan
Karuniawan Puji Wicaksono 1,3) Nobukazu Nakagoshi 2)
1) Faculty of Agriculture University of Brawijaya
2) International Development and Cooperation (IDEC) University of Hiroshima, 3)
South-South Cooperation Studies University of Brawijaya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi terhadap Tradisional Landscape di Kalimantan Barat,
pola perladangan berpindah serta perbandingan tingkat ketergantungan beberapa
ethnic group di Kalimantan Barat terhadap hutan. Dari analisis foto udara Propinsi
Kalimantan Barat selama 10 tahun mulai 1996 sampai 2006, ditemukan bahwa:
Hutan hujan primer berkurang dari 36% menjadi 15,9% dan peningkatan lahan
pertanian dari 44,8% menjadi 45,1%. Berdasarkan tata guna lahan, secara
Tradisional Kalimantan Barat landscape adalah kombinasi antara hutan primer,
ladang berpindah, kebun karet, kebun buah dan pekarangan. Sedangkan
management lahan yang dilakukan pendapatan terutama adalah lahan sawah
permanen, sawah lahan kering dan tanaman pangan. Semakin sempitnya area
hutan primer memaksa memperpendek siklus peladangasn berpindah sehingga
berakibat pada turunnya produktivitas lahan dan peralihan kepada lahan permanen
dengan produksi yang rendah. Hal ini menyebabkan semakin tingginya ancaman
terhadap hutan primer untuk kebutuhan lahan yang lebih luas baik oleh masyarakat
lokal dan pendatang. Dapat disimpulkan bahwa Pengelolaan Landscape Tradisional
Masyarakat Kalimantan Barat sangat tergantung kepada elemen hutan, akan tetapi
pada kondisi sekarang sangat terkendala akibat pengelolaan lanscape modern yang
tidak berwawasan lingkungan.

57

C1
Media dan Metode Komunikasi dalam Penyuluhan Agroforestri:
Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba)
dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan Kolaka)
Enggar Paramita, Endri Martini, James M. Roshetko, dan Robert F. Finlayson
World Agroforestry Centre (ICRAF)
ABSTRAK
Penyebaran informasi yang dilakukan melalui penyuluhan ataupun metode
komunikasi lainnya dapat membantu petani untuk memperbaiki sistem pengelolaan
kebun agroforest-nya sehingga dapat mendukung penghidupan dan lingkungan
yang lebih baik. Penyebaran informasi pertanian terutama agroforestri kepada
petani saat ini masih mengandalkan metode tatap muka dan praktek di lapangan
oleh penyuluh yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat karena
keterbatasan jumlah penyuluh. Penelitian ini bertujuan mengetahui metode dan
media komunikasi untuk menyebarkan informasi pertanian yang disukai
masyarakat. Penelitian dilakukan melalui wawancara dengan petani yang dipilih
secara acak dari dua belas desa yang tersebar di Kabupaten Bantaeng dan
Bulukumba (Sulawesi Selatan), serta Konawe dan Kolaka (Sulawesi Tenggara),
dengan melibatkan 146 petani yang terdiri dari 86 petani lelaki dan 60 petani
perempuan. Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, yang dilengkapi data
sekunder dari studi literatur. Analisis data menunjukkan televisi dan handphone
sebagai media komunikasi paling efektif di provinsi Sulawesi Selatan yang didukung
infrastruktur berupa ketersediaan listrik dan sinyal handphone. Di Provinsi Sulawesi
Tenggara, radio dan handphone yang dianggap paling efektif. Secara umum di
kedua provinsi, metode komunikasi yang paling disukai adalah praktek, diikuti tatap
muka, audiovisual, melihat, mendengar, dan membaca. Media penyuluhan yang
paling banyak diterima oleh petani di kedua provinsi berbentuk buku, leaflet,
DVD/VCD, poster, dan poster kalender. Penyuluhan dan praktek langsung dianggap
sebagai cara paling efektif untuk menyebarkan informasi pertanian dan agroforestri
yang dapat diberikan melalui media seperti video, poster, buku, televisi, dan radio.
Televisi dan radio sebagai media massa yang paling disukai, sangat disarankan
penggunaannya untuk menjangkau lebih banyak orang. Saat ini tidak banyak acara
televisi yang berfokus pada topik pertanian dan agroforestri, sedangkan program
khusus pemberdayaan masyarakat di radio juga terbatas sehingga diperlukan peran
serta pemerintah untuk lebih memanfaatkan media komunikasi dan media massa
sebagai cara penyebaran informasi pertanian dan agroforestri yang efektif.
Kata kunci: petani, penyebaran informasi, praktek, televisi, radio
58

C2
Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Dusung Agroforestry
di Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) Ambon
(Studi Kasus di Negeri Urimesing Kota Ambon)
Messalina L. Salampessy dan Iskar Bone
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Unpatti Ambo
ABSTRAK
Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara
kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan
akan terganggu karena interaksi yang kurang mendukung antar masyarakat
pengelola dusung agroforestry dan pengelolaan Hutan Lindung Gunung Nona
(HLGN). Keberadaan dusung agroforestry di dalam kawasan HLGN
menggambarkan bahwa secara de facto masyarakat memiliki hak dan secara de
jure adalah kewenangan pemerintah, sehingga dibutuhkan peran dan kerjasama
antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan ini. Penelitian ini
bertujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas
pengelolaan dusung agroforestry di dalam kawasan HLGN. Penelitian
menggunakan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi lapang,
wawancara mendalam, dan pengamatan langsung. Responden diambil melalui
metode purposive sampling, dimana setiap dusun dalam negeri diwakili oleh
kelompok marga. Analisa data menggunakan konsep analisis Variabel Pengaruh
untuk Aksi Bersama yang dikembangkan oleh Insa Theesfeld (2004). Hasil
penelitian menunjukkan ada 4 faktor yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan
dusung yaitu 1) Implementasi kebijakan di kawasan HLGN perlu interpendensi
antara pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat;
2) Pemahaman karakteristik sumberdaya dari kawasan ditekankan pada fungsi
daerah tangkapan air yang sejalan dengan pemahaman karakteristik dusung yang
dikelola turun temurun oleh masyarakat yang juga menekankan pada fungsi ekologi
dari dusung; 3) Pengaturan efektivitas kelembagaan dalam pengelolaan kawasan
HLGN belum diatur secara formal mengenai keberadaan dusung sehingga perlu
kesepahaman dalam mekanisme pemanfaatan dan penggunaan sesuai dengan
hak-hak yang dimiliki; 4) Pemahaman karakteristik kelompok aktor akan
memberikan pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu yang terlibat
dalam pengelolaan sumberdaya serta dapat mengidentifikasi peran yang tepat bagi
individu/organisasi yang terlibat.
Kata Kunci: Hutan Lindung, Dusung, kelembagaan
59

C3
Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak
dan Menjaga Kelestarian Hutan Jati
Sri Nastiti Jarmani
Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor
ABSTRAK
Luas kawasan hutan jati di Kabupaten Blora mencapai 49,7% dan menghasilkan
kayu jati glondong (kayu bulat) berkualitas dunia. Selain itu Kabupaten Blora juga
merupakan sumber ternak sapi Peranakan Onggol (PO) dimana populasinya
terbanyak di Propinsi Jawa Tengah (21%) serta merupakan sumber bibit karena
80,47% populasinya adalah sapi betina sedangkan total sapi betina di Jawa
Tengah hanya 53.3%. Sapi PO merupakan plasma nutfah dan sudah adaptif
dengan kondisi agroekosistem disini sehingga perlu dijaga keberadaannya,
dipelihara secara tradisional oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar
kawasan hutan jati. Pemberdayaan pesanggem yang tergabung dalam Kelompok
Lembaga Masyarakat Desa Hutan Rimba Lestari Desa Doplang wilayah KPH
Randublatung telah dilakukan melalui pendampingan aplikasi inovasi teknologi
pengandangan sapi berkelompok di luar rumah, pengkayaan nilai nutrisi jerami,
pembuatan pupuk organik, biogas dan memisahkan anak ayam (doc) dari induknya
segera setelah ditetaskan dengan metoda belajar sambil melaksanakan (learning
by doing). Hasil fermentasi jerami menggunakan probiotik probion dapat
meningkatkan protein dari 3- 6,65 menjadi 7-10,31%. Uji biologis pada sapi yag
diberi pakan jerami padi fermentasi menunjukkan pertambahan bobot badan lebih
tinggi dan penampilan tubuh lebih sehat, kulit cerah dan mengkilat dibandingkan
sapi yang diberi pakan jerami padi tanpa difermentasi. Kandungan C/N kompos
hasil fermentasi dari kotoran kandang adalah 16, sudah memenuhi standar pupuk
organik menurut Peraturan Menteri Pertanian tahun 2006. Penggunaan biogas dari
kotoran kandang selain dapat menghemat pengeluaran pembelian kayu bakar
sebesar Rp 20.000 - Rp 30.000 per bulan juga mengurangi frekuensi masyarakat
merambah hutan mencari kayu bakar, rumah lebih bersih, sehat, terbebas dari
polusi bau kotoran sapi dan asap kayu bakar. Selain itu pemisahan doc dari induk
segera setelah menetas dapat mempercepat induk bertelur kembali dalam 17 19
hari sehingga produktivitas meningkat. Pemberdayaan masyarakat ini dapat
meningkatkan produktivitas ternak dan menjaga kelestarian hutan jati sehingga
perlu dikembangkan lebih lanjut.
Kata kunci: Pemberdayan masyarakat, kelestarian hutan jati, produktivitas ternak
60

C4
Persepsi Petani terhadap Adopsi Teknologi
dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Agroforestri
(Kasus di Desa Bojong, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung)
Devy Priambodo Kuswantoro dan Idin Saefudin Ruhimat
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani hutan rakyat dalam hal
adopsi teknologi dalam pengelolaan hutan rakyat sistem agroforestri. Penelitian
dilaksanakan di wilayah Desa Bojong di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.
Pengambilan data primer dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus
bersama pengurus kelompok tani dan perwakilan anggota kelompok tani. Diskusi
juga melibatkan aparat desa dan penyuluh kehutanan lapangan. Data hasil diskusi
dan data sekunder dilakukan analisis secara deskriptif. Responden petani di Desa
Bojong sebagian besar mengusahakan kebun/hutan rakyatnya dengan menanam
tanaman Gmelina sebagai tanaman kayu unggulan karena tanaman ini ternyata
cocok dikembangkan dan tidak mengalami serangan hama dan penyakit seperti
halnya tanaman Sengon. Petani selain mengusahakan jagung, juga menanam
tembakau, cabe, dan tomat, serta umbi-umbian seperti ketela pohon. Diskusi
menyepakati bahwa peran iptek, penyebaran dan adopsinya menjadi salah satu
kunci penting dalam suksesnya usaha pertanian. Disepakati bahwa peran penyuluh
menjadi begitu penting dalam hal ini. Kegiatan penyuluhan dan praktik-praktik
lapangan yang selama ini dilaksanakan mampu memberikan tambahan
pengetahuan bagi petani. Hanya saja diakui oleh para peserta diskusi bahwa tidak
semua hasil iptek tersebut diterapkan di lapangan mengingat keterbatasan modal
dan terkadang para petani lebih menggunakan pengetahuan yang sudah turun
temurun didapat dari para leluhur. Kendala dalam adopsi teknologi oleh petani
beragam. Kendala dari diri sendiri yang utama adalah modal. Kendala dari luar
adalah kontinuitas dan pendampingan dari penyuluh yang merupakan ujung tombak
diseminasi dan adopsi iptek ternyata kurang memadai. Pendampingan dalam
melaksanakan kegiatan seringkali tidak berjalan dengan baik sehingga petani
berhenti di tengah jalan. Petani juga memaklumi bahwa kegiatan penyuluhan dan
sosialisasi terkadang juga merupakan kegiatan keproyekan yang tidak dapat
diprediksi tata waktunya dan realisasinya. Petani lebih melihat adanya tambahan
ilmu yang dapat diterapkan di kemudian hari.
Kata kunci: hutan rakyat, agroforestri, adopsi iptek, penyuluh
61

C5
Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengembangan Agroforestri
Tradisional di Negeri Hative Besar, Kota Ambon
Jan W. Hatulesila dan Gun Mardiatmoko
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
ABSTRAK
Bentuk penggunaan lahan sistem dusung dengan ciri agroforestri tradisional di
daerah Maluku merupakan ikon tersendiri karena pola bercocok tanam, jenis
tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan menjadi peluang kontribusi
terhadap pendapatan bagi penduduk di wilayah pedesaan kota Ambon. Penelitian
tindakan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
petani dusung di Negeri Hative Besar untuk dapat menyusun suatu grand design
sistem agroforestri tradisional penghasil buah-buahan yang produktif dan
berkelanjutan. Selain itu juga dikembangkan peternakan unggas (ayam dan itik)
skala rumah dimana limbah kotorannya dijadikan sebagai pupuk organik guna
mendukung pertanian organik serta pemahaman masyarakat terhadap hak atas
tanah dan sumber daya hutan di dusung tersebut. Metode Analysis Hierarchy
Process, Focus Group Discussion dan Meta Plan dipakai untuk menjaring
informasi dan membangun pemahaman dan keinginan peserta secara partisipatif
untuk mendapatkan bentuk, pola dan desain pengelolaan agroforestri sistem
dusung secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1)
Masyarakat negeri Hative Besar, pada umumnya memiliki pemahaman hak atas
tanah atau hak-hak atas sumberdaya hutan yaitu hak untuk memiliki lahan dan
sumberdaya hutan yang menjadi milik, (2) Masyarakat negeri Hative Besar, dalam
mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan maupun sumber daya alam
lainnya, memiliki berbagai bentuk kearifan lokal yang mengatur tentang waktu
pemanenan atau pemanfaatan sumber daya alam/hutan yang disebut dengan sasi.
(3) bentuk-bentuk pelatihan dan ketrampilan dapat menjawab kebutuhan
masyarakat setempat dalam kegiatan wanatani dan (4) masyarakat secara
bertahap telah bisa menerima kegiatan yang harus dijalankan dalam perawatan
kebunnya dan pengembangan ternak unggas. Saat ini telah tersusun grand
design pembangunan agroforestri dan tengah ditawarkan ke Pemda Maluku dan
juga ke lembaga donor seperti Global Environtment Facility-Small Grand Program
(GEF-SGP) Indonesia.
Kata kunci: agroforestri tradisional, pengelolaan tanaman buah-buahan,
penguatan kapasitas
62

C6
Corporate Social Responsibility
sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
untuk Mendukung Sistem Agroforestri dan Ketahanan Pangan
Adnan Ardhana1 dan Pranatasari Dyah Susanti2
1Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
ABSTRAK
Program Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) belum mengalami
kemajuan yang signifikan. Dari pencadangan areal pembangunan HTR seluas
657.117,73 ha yang tersebar pada 104 Kabupaten atau Kota di seluruh Indonesia,
baru diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTR) oleh
para Bupati seluas 157.254,91 ha pada 37 Kabupaten. Padahal pembangunan HTR
dapat dijadikan salah satu alternatif untuk penanganan kerawanan pangan dengan
menerapkan sistem agroforestri. Dana Corporate Social Responsibility (CSR) dapat
digunakan sebagai alternatif pembiayaan pembangunan HTR yang memerlukan
biaya cukup besar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
yang menggunakan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundangan sehingga
dapat diketahui peluang dan tantangan menerapkan CSR untuk pembangunan HTR
yang dapat mendukung ketahanan pangan melalui sistem agroforestri. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan sebagai
peluang dalam pelaksanaan CSR yaitu: UUD 1945 Pasal 33, UU No.23/1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU no 40/2007 tentang
Perseroan Terbatas, dan Peraturan Menteri BUMN no 5 tahun 2007 tentang
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan. Dari beberapa perundang-undangan tersebut, badan
usaha mupun bentuk usaha tetap yang berhubungan langsung dengan sumber
daya alam maupun tidak langsung berhubungan dengan sumber daya alam
memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat disekitarnya dalam lingkup
lokal maupun internasional. Berdasarkan tanggung jawab sosial tersebut, maka
HTR yang merupakan program pemerintah dalam upaya pemberian akses kepada
masyarakat luas dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan sangat
mungkin sekali mendapatkan dana CSR. Dengan adanya dana CSR sebagai pintu
gerbang pembangunan HTR , maka upaya mewujudkan hutan sebagai salah satu
sumber pangan untuk mendukung ketahanan pangan dapat tercapai.
Kata kunci : HTR, agroforestri, peraturan perundang-undangan, CSR.
63

C7
Hubungan antara Migrasi Sirkuler dengan Perkembangan Agroforestri:
Studi Kasus Kecamatan Bulu Dan Weru, Kabupaten Sukoharjo
C. Yudi Lastiantoro dan S. Andy Cahyono
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
ABSTRACT
This study aims to determine the relationship of circular migration with agroforestry
development and direction of development.This study uses in-depth interviews to
farmers in the two districts, the districts Bulu (Sanggang and Tiaran village) and
district Weru (Alas Ombo village). Qualitative descriptive analysis conducted on
circular migration with development of agroforestry and direction. The results
showed that there is a relationship between circular migration and development of
agroforestry. Availability of labor affect agroforestry patterns that developed in the
study site. On migrant families, in the form of complex agroforestry. While in the
non-migrant families and had sufficient labor availability, simple and regularly
shaped agroforestry. Policy implications, the development of non-agricultural
businesses and make migrants as agents of change for the development of their
village.
Keywords: complex agroforestry, simple agroforestry, circular migration

64

C8
Program PHBM di DAS Konto Malang:
Pembelajaran Keberhasilan dan Kegagalan Program
Noviana Khususiyah
World Agroforestry Centre (ICRAF)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menghitung pendapatan masyarakat dan
peningkatan pendapatan dengan adanya program PHBM (2) Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program
PHBM, (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan (persepsi)
masyarakat terhadap program PHBM. Pengumpulan data dilakukan dengan
pengamatan lapangan, wawancara dan studi pustaka. Desa yang diambil sebagai
sampel adalah 2 desa di Kecamatan Pujon dan 2 desa di Kecamatan Ngantang.
Responden penelitian ini terdiri dari 150 rumah tangga yang terdiri dari 120 rumah
tangga petani anggota program PHBM dan 30 rumah tangga petani bukan anggota
program PHBM. Metode analisis yang digunakan adalah: (1) analisis pendapatan,
(2) analisis regresi linier berganda (3) analisis regresi logistik biner. Dari analisis
pendapatan didapatkan bahwa sumber pendapatan yang memberikan kontribusi
terbesar di Kecamatan Ngantang adalah buruh pertanian untuk Desa Ngantru dan
usahatani di lahan sawah untuk Desa Sidodadi. Sementara di Kecamatan Pujon,
untuk Desa Tawangsari kontribusi terbesar dari hasil ladang/tegalan yang
diusahakan pada lahan milik sama dengan hasil dari lahan Perhutani dan Desa
Pandesari, kontribusi pendapatan terbesar dari hasil sapi perah. Apabila
dibandingkan antara petani anggota PHBM dengan petani non PHBM, maka
pendapatan petani anggota PHBM lebih tinggi, baik di Kecamatan Ngantang
maupun Pujon. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, didaptkan hasil
bahwa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan program PHBM di
DAS Konto adalah persepsi tentang Program PHBM, pendapatan rumah tangga
dan cara memiliki/menguasai lahan perhutani. Selain faktor-faktor tersebut, tingkat
kepercayaan masyarakat, adanya aturan kelompok dan intensitas penyuluhan juga
berpengaruh terhadap keberhasilan program PHBM. Hasil analisis lanjutan dengan
menggunakan regresi logistik biner didapatkan bahwa variabel yang berpengaruh
terhadap pengetahuan tentang program PHBM adalah: responden pernah mengikuti
penyuluhan, istri mengetahui tentang program PHBM, pendapatan rumah tangga
dan rumah tangga tersebut memiliki pekerjaan sampingan.
Kata Kunci: DAS Konto, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM),
Pendapatan Masyarakat dan Persepsi Masyarakat.
65

C9
Gaya Hidup Masyarakat Agroforestry Herbal Dalam Rangka Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Di Kabupaten Kulon Progo
Wahyu Tri Widayanti
Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) sejarah pengembangan agroforestri
herbal, 2) motivasi masyarakat dalam pengembangan agroforestri herbal, 3) peran
agroforestri herbal dalam pendapatan keluarga petani, 4) gaya hidup masyarakat
agroforestri herbal terkait dengan kesehatan masyarakat, 5) strategi pengembangan
agroforestri herbal. Penelitian dilakukan metode studi kasus. Lokasi penelitian di
Kabupaten Kulon Progo D.I. Yogyakarta, dipilih tiga desa dengan penetapan secara
purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : observasi partisipatif,
indepth interview dan studi dokumentasi. Hutan rakyat dikembangkan oleh
masyarakat dengan menerapkan pengetahuan dan teknologi tradisional yang
diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Sebagian besar hutan
rakyat dikembangkan dengan pola agroforestri herbal, dengan komposisi jenis
adalah tanaman kehutanan (jati, sengon, mahoni,dll), tanaman perkebunan (kelapa,
cengkeh, kakao,dll) dan herbal (kapulaga, jahe, temulawak, kunir, dll). Motivasi
masyarakat dalam pengembangan pola agroforestri herbal adalah motivasi untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis dan motivasi untuk memiliki rasa amanPeran hutan
rakyat pola agroforestri herbal terhadap pendapatan keluarga petani sebesar
43,49% (kayu (40,43%), perkebunan (51,97%) dan herbal (7,6%)). Meskipun
pendapatan dari herbal kecil, petani tetap mengusahakan tanaman herbal karena
cukup berarti untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan waktu panen
tanaman herbal biasanya pada musim kemarau dimana petani sedang tidak
memperoleh pendapatan dari tanaman pangan dan perkebunan. Gaya hidup
masyarakat dalam kesehatan memiliki keterkaitan dengan pengembangan
agroforestri herbal, yaitu : pemilihan jenis herbal, pemilihan fasilitas pengobatan,
upaya pencegahan terhadap timbulnya penyakit dan jenis obat yang dikonsumsi jika
menderita sakit. Strategi untuk mendukung pengembangan agroforestri herbal
melalui perluasan hutan rakyat pola agroforestri herbal di lahan kritis, peningkatan
kapasitas petani, penguatan kelembagaan, pengembangan pasar dan industri,
meningkatkan peran para pihak, dan sinergitas program-program antar instansi
terkait.
Kata kunci : agroforestri herbal, motivasi, gaya hidup, strategi pengembangan,
66

C10
Motivasi Masyarakat Desa Jetis Kecamatan Saptosari Dalam Pengelolaan
Hutan Negara "Ab"(Afkiren Bosch) Di Kabupaten Gunung Kidul D.I Yogyakarta
Wahyu Tri Widayanti dan Zuni Hernawan
Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat berarti bagi keberadaan hutan
Negara AB di Kabupaten Gunung Kidul DI Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk mengetahui : latar belakang pengelolaan hutan AB oleh
masyarakat desa hutan, motivasi masyarakat dalam mengelola hutan AB, dan
keterkaitan antara motivasi dengan strategi pengelolaan hutan AB. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode fenomenologi. Data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini diperoleh dengan cara observasi partisipatif, indepth interview,
focus grup discussin dan studi dokumentasi. Hutan AB merupakan hutan negara
yang tidak dikelola oleh pemerintah sejak zaman penjajahan Belanda, karena
alasan efektivitas pengelolaan, kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Masyarakat desa hutan secara swadaya mengelola lahan di kawasan hutan AB
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, kayu perkakas,
dan kayu bakar. Hutan AB dikelola oleh masyarakat dalam bentuk yang beragam,
yaitu : 1) tegalan, murni tanaman pertanian, 2) tegalan, kombinasi tanaman pangan
dan hijauan pakan ternak, 3) tegalan, kombinasi tanaman pangan dan tanaman
kehutanan (agroforestri), dan 4) hutan murni, dengan jenis campuran atau sejenis.
Masyarakat mengelola hutan AB didorong oleh faktor intrinsik : keterbatasan lahan
milik dan lapangan kerja, cara pandang dan tujuan pengelolaan hutan,
pengetahuan tentang konservasi tanah, rasa kebersamaan, rasa patuh kepada
pemimpin, pengalaman menjadi mandor kehutanan; dan faktor ekstrinsik : hutan AB
tidak dikelola oleh pemerintah, belum ada aturan baku dalam pengelolaan hutan
AB, himbauan penghijauan dari Pemerintah Desa, hubungan keluarga dengan staf
kehutanan, dan GERHAN tahun 2006. Motivasi masyarakat untuk mengelola hutan
AB adalah motivasi kebutuhan mempertahankan hidup, motivasi kebutuhan rasa
ama dan motivasi kebutuhan sosial. Masyarakat Desa Jetis memiliki motivasi yang
kuat untuk mengelola hutan AB, sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan
berupa payung hukum untuk mengelola hutan AB secara legal dan pemerintah
berperan sebagai fasilitator dalam peningkatan kapasitas masyarakat pengelola
hutan AB melalui program pemberdayaan masyarakat.
Kata Kunci : motivasi, pemanfaatan lahan, agroforestri, strategi pengelolaan,
pemberdayaan
67

C11
Identifikasi Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan Rakyat
di Kabupaten Gunungkidul
Wiyono dan Silvi Nur Oktalina
Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Kabupaten Gunungkidul yang dulu dikenal sebagai daerah yang gersang, berbatu,
tandus, serta banyak penduduknya yang miskin dan menderita busung lapar, saat
ini telah berhasil mengubah lahan kritis menjadi hutan rakyat (HR) yang produktif.
Pembangunan HR dilakukan sejak tahun 1960an melalui program penghijauan
dengan motivasi awal membangun HR sebagai penguat teras dan pemanfaatan
lahan berbatu. Secara umum HR ditanam di pekarangan, tegal dan wono (hutan)
dengan pola agroforestry dengan tanaman pokok jati, mahoni, akasia dan sono
yang dicampur dengan tanaman buah dan palawija. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Gunungkidul dan
keterkaitannya dengan pembangunan HR. Penelitian dilakukan di Desa
Karangasem, Kecamatan Paliyan yang berada di wilayah tengah Kabupaten
Gunungkidul dan diharapkan mewakili karakteristik wilayah dan masyarakat di tiga
zona, yaitu zona Batur Agung, zona Ledok Wonosari, dan zona Pegunungan
Seribu. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumen, observasi lapangan,
dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada responden yang dipilih secara
purposive, yaitu anggota dan tokoh masyarakat yang terlibat dan memahami proses
pembangunan HR di Kabupaten Gunungkidul. Hasil penelitian dianalisis secara
kualitatif menggunakan tiga jalur analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan jenis-jenis modal sosial yang
dimiliki masyarakat Gunungkidul yaitu: 1) adanya rasa saling percaya, menghormati
dan membantu; 2) adanya aktor sosial sebagai panutan; 3) adanya pranata sosial
berupa aturan tertulis dan tidak tertulis yang ditaati; 4) adanya jaringan sosial antar
warga masyarakat; 5) adanya jaringan sosial antara warga masyarakat dengan
pihak eksternal. Keterkaitan modal sosial terhadap keberhasilan pembangunan HR
yaitu:(1) adanya sikap saling menghormati kepemilikan lahan HR; (2) adanya sikap
saling menjaga dan mengamankan potensi HR; (3) adanya sikap saling bergotongroyong dalam pengelolaan HR; (4) adanya kemauan menerapkan program dan
teknologi baru dalam pembangunan HR; (5) adanya kelembagaan pengelola HR
yang handal; (6) adanya akses kredit yang mendukung pembangunan HR; (7)
adanya jaringan pemasaran hasil HR dengan harga yang kompetitif.
Kata kunci: modal sosial, hutan rakyat, Gunungkidul
68

C12
Strategi Penghidupan Petani Agroforest dalam Menghadapi Perubahan Cuaca
yang Tidak Menentu: Kasus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
Endri Martini, Sonya Dewi, Janudianto, Anang Setiawan, dan James Roshetko
ABSTRAK
Perubahan cuaca yang tidak menentu sangat berdampak pada penghidupan petani,
terutama produktivitas lahan petani. Untuk mengurangi dampak kegagalan panen
bagi penghidupan petani, perlu diketahui kesiapan petani dalam menghadapi
perubahan cuaca yang tidak menentu tersebut. Informasi dikumpulkan melalui
Focus Group Discussion di 5 kelompok lelaki dan 5 kelompok perempuan di
Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba) dan 4 kelompok lelaki dan
4 kelompok perempuan di Sulawesi Tenggara. Informasi tentang kalender sistem
usaha tani dan kapasitas petani dalam mengatasi guncangan akibat perubahan
cuaca, dikumpulkan dan dianalisa dengan menggunakan kerangka kerja Penilaian
Kerentanan Sistem Penggunaan Lahan dan Pohon (TREEFARM-Casava) yang
dikembangkan oleh ICRAF. Petani di dua provinsi Sulawesi Selatan menyatakan
dalam 15 tahun terakhir terjadi perubahan curah hujan dan frekuensi dan magnitude
angin yang berdampak terhadap penghidupan petani. Dampak terparah dari
perubahan cuaca berupa kegagalan panen tanaman pangan seperti padi dan
jagung. Untuk tanaman agroforestri yang berbasis pohon, kerusakan yang terjadi
biasanya hanya berupa berkurangnya jumlah hasil panen atau berhentinya panen
pada tahun tersebut, tapi pohon masih bisa menghasilkan pada tahun berikutnya.
Dalam 15 tahun ini, petani tidak merubah sistem berkebun mereka, dikarenakan
dampak tidak terlalu parah pada kebun agroforest yang berbasis pohon daripada
sistem penggunaan lahan tanaman berjangka pendek seperti jagung, padi dan
palawija lain. Sistem penggunaan lahan agroforest membantu petani untuk tetap
bisa bertahan dalam kondisi perubahan cuaca yang tidak menentu. Ketika terjadi
perubahan cuaca yang tidak menentu, petani biasanya merantau ke daerah lain
mencari sumber pencaharian lain yang bisa menopang pendapatan yang hilang
karena tidak bisa panen dan kembali ke kebun agroforest ketika cuaca mulai
mendukung. Jika petani agroforest tidak memiliki kapasitas untuk mencari mata
pencaharian ke tempat lain, maka dia akan berhutang pada tengkulak dengan
bunga yang sangat tinggi (>20%). Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan
kesejahteraan petani agroforest. Untuk itu bantuan pemerintah selain terfokus pada
program adaptasi pengelolaan kebun, perlu juga difokuskan pada bantuan kredit
atau penyediaan bentuk-bentuk sumber mata pencaharian lainnya sebagai
pendukung sumber pendapatan petani agroforest ketika tidak bisa panen.
69

C13
Konstruksi Pengetahuan Lokal Masyarakat Muluy dalam Pemanfaatan
Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur
Catur Budi Wiati
Studi ini bertujuan untuk mengkonstruksikan pengetahuan lokal Masyarakat Muluy
dalam memanfaatkan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dan mempertahankan
kelestarian serta mendapatkan penjelasan tentang keberlanjutan pengetahuan lokal
Masyarakat Muluy kepada generasi selanjutnya. Metode dasar yang digunakan
dalam kajian ini adalah dengan pendekatan fenomonologi yaitu suatu pendekatan
yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus
untuk memahami tindakan social. Sedangkan konstruksi sosial atas pengetahuan
lokal Masyarakat Muluy akan didekati dengan konsep ekologi budaya yaitu
pendekatan yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup
menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan geografi tertentu, dengan
menggunakan teknologi kebudayaan dan lingkungan yang tercipta. Hasil penelitian
menunjukkan beberapa pola pemanfaatan HLGL yang Masyarakat Muluy lakukan
diantaranya yaitu: perladangan gilir balik merupakan produk ciptaan sendiri hasil
dari tiga proses dialektis yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang
mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Terbangunnya sipunk sebagai
output dari perladangan gilir balik menunjukkan bahwa kegiatan perladangan gilir
balik yang dilakukan oleh Masyarakat Muluy tidak mengancam kelestarian HLGL
bahkan bermanfaat untuk menaikkan produksi buah-buahan, madu dan perburuan
satwa liar yang ada di kawasan tersebut. Berdasarkan kemampuan Masyarakat
Muluy untuk melakukan regenerasi dan kepentingannya bagi kelestarian HLGL,
maka beberapa pemanfaatan sumberdaya hutan yang penting untuk dilanjutkan
adalah: (1) Perladangan gilir balik; (2) Mencari buah-buahan; (3) Mencari madu; dan
(4) Berburu satwa liar. Masyarakat Muluy tidak menerima peluang pemberdayaan
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang diberikan pemerintah melalui
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kehutanan karena
ingin mengatur sendiri pola pemanfaatan HLGL dan memilih memperjuangkan
pengakuan keberadaan masyarakat adat dari Pemrintah Kabupaten Paser.
Kata kunci : konstruksi - pengetahuan lokal Masyarakat Muluy

70

C14
Model Agroforestry berbasis Tongkonan
yang Berwawasan Konservasi Lingkungan di Kabupaten Tana Toraja
Samuel Arung Paembonan
Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan-UNHAS
ABSTRACT
The aim of this study are to dig out the information of variation and characteristic of
local agroforestry models in Tana Toraja region, find out the supporting factors that
emerged the variation models based on community socioeconomics and cultural
background, and to determine the appropriate agroforestry models for environment
conservation purposes. The method of this study by surveying and interview.
Sample withdrawal were carried out by purposive method based on community
whose involve in agroforestry practices. This study uses primary data in the form of
direct observation and measurement of agroforestry practices concerning: plant
density, vertical structure, species composition of plants making up agroforestry and
plant species diversity. In addition to structured interviews were conducted with the
community to know the cultural background of choosing agroforestry models and the
level of income from agroforestry practices. The results showed that: 1) Generally,
the agroforestry models in Tana Toraja applying random pattern with an iregular
spacing, 2) The number of species and species diversity indices are not significantly
different. The diversity of plant species classified as being medium cathegory
concerning the altitude and district. In general, the vertical structure of the canopy is
quite complex consisting of 4 strata, 3) Cultural factors consist of tongkonan house
construction and funeral ceremony background reason are primary consideration in
the selection of agroforestry components, but for economic reasons and
environmental conservation have also joined considered, and 4) Agroforestry
system developed by the community in Toraja upland are already qualified in terms
of environment conservation concerning to the complexity of canopy structures and
species compositions.
Key Words: Agroforestry, Tongkonan, Environmental concervation, structure,
composition

71

C15
Prospek Agroforestri Karet dan Jenis Tanaman Lokal
dalam Rehabilitasi Lahan di Kalimantan Timur
Faiqotul Falah
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam
Keberhasilan dan keberlanjutan tanaman rehabilitasi lahan di lahan milik antara lain
ditentukan oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan,
termasuk dalam pemilihan jenis-jenis tanaman dan pola tanaman RHL. Jenis karet
(Hevea braziliensis) merupakan primadona dalam rehabilitasi lahan kritis di
Kalimantan Timur, baik dalam kegiatan Kebun Benih Rakyat (KBR) maupun
rehabilitasi lahan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAKDR) karena dianggap mampu tumbuh di lahan kritis serta mempunyai prospek
ekonomi yang baik dengan memberikan manfaat dari getah dan karetnya. Untuk
meningkatkan manfaat ekologi dan ekonomi tanaman karet, perlu
diimplementasikan agroforestri karet dengan jenis-jenis tanaman kehutanan lokal,
dan tanaman pertanian untuk manfaat ekonomi jangka pendek. Pemilihan jenis lokal
merupakan upaya konservasi keanekaragaman hayati asli Kalimantan, di samping
meningkatkan kemungkinan adaptasi tanaman dalam rehabilitasi lahan. Naskah ini
bertujuan memaparkan prospek ekologi dan ekonomi wanatani karet dengan jenisjenis tanaman lokal di Kalimantan Timur. Data diperoleh dari hasil studi pustaka dan
wawancara dengan parapihak terkait di Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan
Kutai Kartanegara yang termasuk dalam wilayah DAS Mahakam, Kalimantan Timur.
Analisis data primer dilakukan dengan statistik deskriptif serta analisis finansial pada
berbagai pola wanatani karet. Hasil pengambilan data menunjukkan preferensi
masyarakat tertinggi (66,67%) dalam pemilihan pola wanatani karet dengan jenis
tanaman lokal adalah karet sebagai tanaman pokok, serta meranti, gaharu, durian
dan lainnya sebagai tanaman tepi. Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa secara
ekologi wanatani karet berpotensi sebagai tempat pelestarian berbagai spesies
pohon hutan, burung, dan kelelawar pemakan buah. Burung dan kelelawar
pemakan buah tersebut berperan dalam proses regenerasi pohon hutan. Belum ada
hasil penelitian mengenai tingkat erosi maupun aspek hidroorologi dari wanatani
karet. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pola wanatani karet, gaharu, dan
durian sebagai tanaman pokok, serta meranti sebagai tanaman tepi memiliki
prospek keuntungan finansial yang lebih rendah dibandingkan pola wanatani 100%
karet sebagai tanaman pokok dan tanaman kayu/buah sebagai tanaman tepi,
namun secara ekologi diasumsikan akan lebih baik.
Kata kunci : agroforestri, karet, prospek ekologi, prospek ekonomi
72

C16
Jelutung Rawa (Dyera polyphylla) sebagai Tanaman Pokok pada Sistem
Agroforestri di Lahan Rawa Gambut Kalimantan Tengah
Reni Setyo Wahyuningtyas
Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru,
ABSTRACT
Rehabilitation of peat swamp forest will be difficult to be achieved without
considering socioeconomic condition of the people surrorunding the area. The
agroforestry system is a strategic way to rehabilitate degraded peat swamp forest
(FSF) by tending tress as main plant without neglething cash crops for short term
source of income. To obtain the support of local people, it is needed to determine
preference tree species for local people. This paper aim to analyze people
preference of main tree species for agroforestry on peat land. The research was
carried out at Kalampangan village, Sebangau sub district, city of Palangkaraya
which was one of successful of transmigration location and has become center for
food and horticulture at Central Kalimantan. Interview with key persons was carried
out to obtain information on local peoples preference on perennial tree species and
planting pattern of agroforestry in the area. The data was descriptively analized. The
result showed that jelutung rawa, gaharu and sungkai were tree species favourable
to be planted. However, jelutung rawa was the most favourable plant species due to
the characteristic as local species, has a high adaptability while gaharu and sungkai
were exotic species which needed to be tested for their suitability. Jelutung was
chosen for its latex as short term source of income. Species trials for NTFP species
was expected to accelerate the restoration of degraded PSF land. The support of
silvicultural techniques and tree improvement needs to be carried out to increase the
productivity of latex and timber.
Keywords: jelutung rawa, trees, agroforestry.

73

C17
Role and Practice of Agroforestry of Periau Community (Wild Honey Farmers)
in the Management of Conservation Forest Area
Emi Roslinda
Faculty of Forestry Tanjungpura University Pontianak
ABSTRACT
The existence of communities in the forest areas is often regarded as the cause of
forest degradation. This statement is debatable, because the fact is the people who
live in the forest areas have been interacting in harmony with their surroundings.
The purpose of this research was to describe how the relation of Periau Community
associating with the natural resources management (forest and honey as a nontimber forest product) has been applied. Periau is traditional honey farmers in the
area of conservation forest of Danau Sentarum National Park in West Kalimantan.
The study was conducted with a quantitative approach using survey method.
Semangit Village was purposively chosen as the study location because it is where
the office of Periau Association of Danau Sentarum located. Respondents were
randomly selected from all honey farmers that were in the Semangit Village by the
number of 30 respondents. Data were collected by interview using questionnaires
and observation in the field. The data were analyzed in tabulating and descriptive
analysis.
This research showed that the management of wild honey has been done for
generations by the people in a traditional organization called Periau that has rules
and management areas. All rules are applied to lead to preservation of the forest
and its product in the form of honey. The rules are well-conducted and adhered by
all existing Periau. Wild honey management is conducted as one of agroforestry
practices which combines the use of forestry practices and cultivation of wild honey
by the community. Wild honey is a natural resource used by the community to raise
family income. The management of wild community is also an incentive for forest
maintenance because wild honey bees can only produce honey if their habitats are
well-maintained.
The research concluded the existence of community in the forest area have positive
impacts on forest preservation and the agroforestry practices used as the result of
community culture has given economic value in the form of source of income.
Considering the rules of natural resource management and technology owned by
the community, author suggested that local community and knowledge should be
parts of the policy decision-making regarding the management of forest area.
Key words: Periau community, wild honey, forest management
74

C18
Pengembangan Kedelai di Kawasan Hutan Jati di Jawa Timur
Marwoto, Abdullah Taufiq, dan G.W. Anggoro
Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang
ABSTRAK
Kebutuhan kedelai pada tahun 2011 sebesar 2,466 juta ton, sedangkan
produksi dalam negeri baru mencapai 0,890 juta ton dan kekurangannya
diimpor sebesar
1.576.000
juta ton. Hanya sekitar 64% dari total
kebutuhan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Peningkatan produksi
kedelai menuju swasembada tahun 2014 merupakan salah satu program utama
empat sukses Kementerian Pertanian, yang harus di dukung oleh semua pihak yang
terkait, untuk mewujudkan pencapaian swasembada kedelai. Peluang peningkatan
produksi kedelai masih terbuka, baik melalui peningkatan produktivitas maupun
perluasan areal tanam. Perluasan area tanam melalui ektensifikasi terutama
diarahkan di lahan kering. Oleh karena itu, diperlukan terobosan pemikiran dan
tindakan dalam perluasan areal tanam melalui pemanfaatan lahan
hutan/perkebunan untuk penanaman kedelai. Pemanfaatan ruang diantara pohon
di hutan jati, cukup potensial dikembangkan untuk produksi kedelai. Potensi lahan
untuk pengembangan tanaman pangan termasuk kedelai di areal hutan perhutani
Jawa Timur telah teridentifikasi dan telah diprogramkan untuk tanaman pangan
seluas 31.695,66 ha, luasan tersebut berpotensi untuk di tanami tanaman pangan
dua kali yakni dengan pola tanam jagung - kedelai, ubikayu -/- jagung kedelai,
atau kedelai kedelai. Jika ditanami setahun dua kali maka lahan hutan tersebut
dapat menyediakan lahan untuk tanaman pangan seluas 63.391,32 ha. Sistem
tumpangsari tanaman kayu jati + kedelai memiliki kelebihan: (a) pemanfaatan lahan
lebih optimal yang ditunjukkan oleh nisbah kesetaraan lahan (NKT) atau Land
Equivalent Ratio (LER) yang meningkat dari 1,0 menjadi 1,3-1,7, (b) Produk panen
beragam, (c) mengurangi resiko kegagalan panen, akibat penurunan harga atau
sebab lain seperti serangan hama/penyakit dan gangguan iklim, (d) lebih cepat
memperoleh penghasilan (kedelai panen umur 85-90 hari), (e) memperoleh
tambahan hasil dari tanaman yang ditanam pada musim ke dua, (f) memperbaiki
kesuburan tanah karena tambahan N dari rhzobium dan bahan organik dari serasah
tanaman kacang-kacangan (g) mencegah erosi, dan (h) menyediakan pakan ternak.
Hasil demonstrasi gelar teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan jati dapat
mencapai 1,9 t/ha.
Kata Kunci: Kedelai, Hutan, dan Jati
75

C19
Praktik Agroforestri di Hutan Perum Perhutani
Purwanto, Datin Waluyani, Corryanti, Alim Sugiharto, Anton Sudiharto
Puslitbang Perhutani
ABSTRAK
Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara diberi mandat mengelola
hutan seluas 2,4 juta hektar di Pulau Jawa dan Madura. Di Pulau Jawa terdapat
5.383 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 28 juta yang bermukim di sekitar
kawasan hutan Perum Perhutani. Hutan di wilayah ini memiliki peran dan fungsi
bagi masyarakat sekitar hutan memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan energi.
Penggunaan lahan di bawah tegakan (jati, pinus, mahoni) yang ditanami tanaman
pertanian, seperti padi gogo dan jagung dengan pola agroforestry telah lama
diterapkan masyarakat sekitar hutan bersama Perhutani. Sistem agroforestry di
Indonesia dikenal dengan tumpangsari.
Hasil pengamatan jenis-jenis tanaman tumpangsari yang dikembangkan
masyarakat desa hutan di 14 lokasi (Wilayah Perum Perhutani Unit I, Unit II, dan
Unit III) menunjukkan bahwa jenis tanaman agroforestry yang dikembangkan
masyarakat desa hutan dengan sistem tumpangsari relatif beragam dan berbeda
antar wilayah. Pilihan jenis tanaman yang dikembangkan tergantung pada kondisi
lahan hutan, meliputi tanaman palawija, perkebunan, dan hortikultura. Pada
tanaman kehutanan KU muda masyarakat menanami padi, jagung, ketela pohon,
cabai rawit, tembakau, nanas, kacang tanah, tomat, wortel, kentang, dan lain-lain.
Sedangkan pada tanaman tua jenis tanaman tumpangsari yang dibudidayakan
seperti kopi, nilam, umbi-umbian, tanaman obat/empon-empon, salak, rumput gajah.
Kegiatan agroforestry mampu menyumbang pendapatan dalam kisaran 1,8% 29,03% terhadap total pendapatan masyarakat desa hutan.
Kata kunci: agroforestri, sistem taungya, jenis tanaman, kontribusi pendapatan

76

C20
Kajian Aspek Ekologi, Ekonomi dan Sosial Model-Model Agroforestri
di Nusa Tenggara Timur
Eko Pujiono, S.Agung Sri Raharjo, Gerson Njurumana, Budiyanto Dwi Prasetyo,
dan Heny Rianawati
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai ekologi,
sosial, dan ekonomi berbagai model agroforestri di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan survei pendahuluan, informasi awal dari
masyarakat, dan penelitian terdahulu. Unit pengamatan adalah berbagai model
agroforestri traditional dan agroforestri modern/introduksi. Pengumpulan data
menggunakan studi pustaka, survei, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa model-model agroforestri tradisional yang diidentifikasi adalah
agroforestri Mamar di Pulau Timor dan agroforestri Kaliwo di Pulau Sumba. Modelmodel agroforestri modern yang dikaji adalah agroforestri-kebun menetap,
silvopasture dan silvofishery. Dalam hal biodiversitas tanaman, sistem agroforestri
tradisional lokal memiliki keragaman jenis tanaman lebih tinggi daripada sistem
agroforestri modern yang hanya mengkombinasikan tanaman keras komersial dan
tanaman sela. Terkait dengan konservasi tanah dan air, ditemukannya sistem
terasering dan penanaman pada lahan-lahan yang miring menunjukkan bahwa
secara umum sistem agroforestri berperan untuk menghindari dan mengurangi
resiko terjadinya longsor, erosi dan sedimentasi. Di beberapa lokasi agroforestri
juga ditemui adanya sumber air yang terjaga kuantitasnya sepanjang tahun.Untuk
aspek ekonomi, sistem agroforestri berkontribusi sebesar 60%-95% terhadap
pendapatan total petani. Pendapatan dari agroforestri berkontribusi cukup besar
terhadap pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Kajian terhadap aspek
sosial menunjukkan bahwa dalam pengelolaan agroforestri diperlukan adanya
kelembagaan baik formal maupun non formal yang memiliki peran dalam membantu
penyelesaian berbagai persoalan yang menyangkut konflik atau sengketa, maupun
memfasilitasi kegiatan yang menunjang pengelolaan agroforestri. Lembaga sentral
yang paling berperan dalam pengelolaan agroforestri adalah kelompok tani
sedangkan untuk penyelesaian konflik lembaga yang paling berkontribusi adalah
lembaga adat. Kendala yang masih dihadapi oleh masyarakat dalam pengelolaan
agroforestri adalah input teknologi yang masih terbatas, akses pasar yang masih
lemah dan diversifikasi produk pengolahan hasil yang belum maksimal.
Kata Kunci : ekologi, ekonomi, sosial, model agroforestri, NTT
77

C21
Kajian Pengelolaan Hutan untuk Perumputan di Kawasan TNGM
(Studi Kasus Silvopasture di Kawasan Konservasi)
Gunawan
Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
ABSTRACT
Community pressure on protected areas has been going on for generations from
years ago. The main factor is needed to access the natural resources and become
one of protected area problems until now. The local economic developments
continue to grow rapidly, especially the intensive grassland cultivation in the buffer
zone and inside the protected areas. This case effects to the complexity
management. Thats required an approach to handling as a silvopasture form on the
protected areas. The purpose of writing are identify and mapping of grazing
problems and management solutions in protected area. The research method is
grounded to find basic elements of concepts, categories and propositions based
on inductive findings and testing data continuously. Data collection was done by
method of depth and free interviews and participatory observation. The results
showed that grassland utilization pattern in TNGM arent optimal. Communities have
a deep close relationship that its construct economic, social and cultural based on
the existence of natural resources. The natural resources (fodder) have position as
an element of buffer and change system of community life. The correlation is
pastures build identity and social stratification in communities; and synergistic
relationship form between fodder, livestock and communities that cannot be
separated existence. Management solutions have to compromise the interests of
sustainability between forest resources and local interests. Management policies
that can be implemented are the arrangement of grassland with zoning system
(traditional zone) which initiated the fodder need, the habitat balance and the
sustainability.
Keywords: grassland, natural resources, protected areas

78

C22
Pola Agroforestri di Daerah Tapanuli, Sumatera Utara:
Keseimbangan antara Kepentingan Ekonomi dan Ekologi
Hesti L. Tata1,2, Elok Mulyoutami2, Endri Martini2
1 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
2 World Agroforestry Centre, Bogor
ABSTRAK
Agroforestri merupakan pola bercocok tanam yang telah lama dipraktekkan oleh
masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Selain pertanian padi sawah beririgasi, pola
agroforestri yang telah berkembang di Tapanuli berperan penting sebagai sumber
penghidupan masyarakat. Beberapa pola agroforestri (AF) yang dipraktekkan oleh
masyarakat di empat desa di daerah Tapanuli telah diidentifikasi melalui metode
kajian cepat (rapid assessment). Pola agroforestri yang dijumpai adalah agroforestri
berbasis karet, berbasis kopi, berbasis kemenyan dan buah-buahan (khususnya
durian). Dengan kepemilikan lahan berkisar antara 0.5 hingga 4 ha, petani
responden dapat memperoleh sumber pendapatan dari beraneka produk dari kebun
agroforestri, mulai dari pendapatan mingguan hasil sadap getah karet, pendapatan
bulanan dari agroforestri buah-buahan (dalam hal ini petai), pendapatan tiap
semester dari kopi, serta pendapatan tahunan dari hasil buah durian dan kakao.
Perhitungan profitabilitas menunjukkan Net Present Value (NPV) dari kebun kopi
agroforestri paling tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri lain, yaitu Rp
9.309.000/ha. Adapun NPV kebun karet agroforestri sebesar Rp 7.327.000/ha dan
kebun agrofgorestri kemenyan Rp 4.586.000/ha. Pola pertanian agroforestri atau
yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah 'kebun pocal' merupakan
pola manajemen lanskap yang terintegrasi. Pola agroforestri di daerah Tapanuli
mampu menjaga keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, khususnya
satwa yang berperan sebagai penyerbuk dan agen
pemencar biji. Kebun
agroforestri juga berperan sebagai zona penyangga bagi kehidupan satwa liar yang
dilindungi. Agroforestri dapat menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.
Kata kunci: agroforestri, kebun pocal, profitabilitas, keanekaragaman hayati

79

C23
Persepsi Petani Tentang Input Kapulaga Jenis Sabrang
(Elletaria cardamommum (L) Maton) di Hutan Rakyat Pola Agroforestry
Dian Diniyati, Eva Fauziyah, dan Tri Sulistyati Widyaningsih
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
ABSTRAK
Masyarakat mengembangkan dua jenis tanaman kapulaga yaitu kapulaga buhun
(kapulaga jawa) dan kapulaga sabrang (kapulaga hibrida). Tanaman kapulaga
buhun sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh petani, namun tidak berkembang
dan cenderung stagnan. Berbeda dengan kapulaga jenis sabrang yang berkembang
secara signifikan setelah diintroduksi di hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui persepsi petani tentang tanaman kapulaga sabrang sebagai salah satu
tanaman sela pada hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kalijaya
Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis dan Desa Karyabakti Kecamatan
Parungponteng Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Juni-Agustus 2012. Responden
berjumlah 60 orang yaitu petani hutan rakyat anggota kelompok tani yang dilibatkan
dalam penelitian menggunakan teknik sensus. Data primer dikumpulkan dengan
teknik wawancara berdasarkan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data sekunder
dikumpulkan dari dokumen-dokumen kelompok tani. Data yang terkumpul
selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap tanaman kapulaga sabrang terbagi
menjadi: 1) Persepsi petani tentang aspek ekonomi: sebanyak 80% di Desa Kalijaya
dan 90% petani di Desa Karyabakti berpendapat bahwa hasil tanaman kapulaga
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi/pangan, biaya sekolah,
jajan anak, serta biaya listrik. 2) Persepsi petani tentang aspek sosial: adanya
tanaman kapulaga sabrang menambah jam kerja petani di hutan rakyat 1-2 jam per
hari, menurut 73,33 % responden di Desa Kalijaya dan 36,67% responden di Desa
Karyabakti. Adanya tanaman kapulaga di hutan rakyat menambah penyerapan
tenaga kerja terutama tenaga kerja keluarga menurut 23,33% responden (Desa
Kalijaya) dan 63,33% responden (Desa Karyabakti) dengan tenaga kerja tambahan
yang banyak dilibatkan adalah perempuan. 3) Persepsi petani tentang aspek
lingkungan: tanaman kapulaga yang ditumpangsarikan dengan tanaman kayu
(sengon dan manglid) menyebabkan pertumbuhan kayunya semakin bagus,
menurut 73,33% responden di Desa Kalijaya dan 53,33% responden di Desa
Karyabakti. Adanya tanaman kapulaga membuat lingkungan menjadi hijau dan tidak
gersang menurut 43,33% responden Desa Kalijaya.
Kata kunci: Tanaman kapulaga sabrang, introduksi, hutan rakyat, petani, persepsi
80

C24
Upaya Pengembangan Agroforestry di Pulau Timor (Studi Kasus
di Desa Bosen Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan)
Rahman Kurniadi, Ida Rachmawati, dan Siswadi
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
ABSTRACT
Farmers in Timor island have a unique land management approach that is called
Agroforestry. Besides aiming to meet the needs of wood, generally farmers' fields
are also intended to obtain food and nut that needs to be local people's traditions.
Agroforestry practices in Timor island is known as "Mamar". Agroforestry practices
currently in Timor Island is limited to lands owned by indigenous communal. The
problems studied in this research is the development of agroforestry constraint on
the island of Timor, and what efforts can be done for agroforestry development in
Timor Island. This study aims to determine source of motivation of the development
of agroforestry in the island of Timor and the constraints that it faces. The study was
conducted in the Bosen village of Mollo Utara Sub District of Timor Tengah Selatan
District. Respondet is selected purposively. Respondents are people who practice
agroforestry. Respondents were selected in this study were 14 respondents. The
study was conducted for a mont on August 2011. The data was collected by
interviews. The interviews use questionnaires that had been developed previously.
Open semi-structured questionnaire is used that provides the opportunity for
respondents to provide data beyond the answers that have been prepared.
Descriptive data were analyzed by breaking the existing data and analyze problems
based on existing data.The results showed that source of motivation of agroforestry
development on the island of Timor is generally derived from the Forestry Service of
Timor Tengah Selatan District. Motivation is generally associated with community
forestry projects provided by the Government of Timor Tengah Selatan district.
Personal motivation for the development of agroforestry is still lacking. Agroforestry
developments limited to areas of the project that held by local Government because
of lack of personal motivation. Obstacles encountered include the lack of certainty
of tenure and lack of public knowledge about the types of crops that can be grown
in the shade of the stand. In order to developing agroforestry, local government
should improve land tenure dan increase farmer knowledge about the annual plant
that can grow in the shade. Improvement of land tenure aims to give certainty to the
people to obtain crop yield long-lived wood. This efforts increase personal
motivation to support the development of agroforestry in Timor island.
Keywords: Agroforestry, motivation, tenure
81

C25
Agroforestry di Lahan Gambut untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Retno Maryani1, Subarudi1, Arwin Harahap2
1 Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan
2 Yayasan PUTER Indonesia
ABSTRAK
Pembangunan agroforestry dan pengelolaan lahan yang lestari merupakan bagian
dari studi kelayakan pelaksanaan REDD+ untuk mekanisme karbon offset antara
pemerintah Jepang dengan Indonesia. Studi ini dilaksanakan oleh konsorsium
partner yang melibatkan Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (PUSPIJAK)
Kehutanan, Yayasan Puter Indonesia, Mazars Starling, Hokkaido University, serta
Marubeni Corporation dan ITTO. Lokasi studi di dalam wilayah/sekitar Hutan
Produksi Restorasi Ekosistem yang dicadangkan untuk PT.Rimba Makmur Utama,
Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur. Studi ini dimaksudkan untuk
mendukung komitmen Indonesia untuk berkontribusi nyata terhadap upaya mitigasi
perubahan iklim global yang berasal dari adanya efek Gas Rumah Kaca (GRK)
dengan cara menekan tingkat emisi yang terjadi di tahun 2020 hingga mencapai 26
- 41%. Perubahan praktek penggunaan lahan dari Business As Usual yang umum
dilakukan pada lahan gambut yang banyak terdapat di wilayah Kalimantan Tengah
berpotensi untuk mencapai target, mengingat sebagian besar (85%) dari total emisi
GRK yang terjadi di Indonesia bersumber dari penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan kehutanan serta lahan gambut di tahun 2005. Bekerjasama
dengan masyarakat desa Terantang di Kecamatan Seranau, pembangunan
agroforestry didorong melalui proses perumusan kebijakan yang mengakomodir
hak-hak masyarakat atau komunitas setempat, serta melalui pembangunan tata
pemerintahan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat lokal. Implementasi
pembangun tersebut dilakukan melalui kegiatan pembuatan peta penggunaan lahan
secara partisipatip, pengenalan kedalaman gambut bagi masyarakat, pengelolaan
lahan melalui pembuatan bio-charcoal dan aplikasinya, serta introduksi jenis pohon
unggul sebagai sumber pendapatan kelompok tani. Artikel ini membahas progres
implementasi pembangunan agroforestry and pengelolaan lahan yang lestari di
lahan gambut dan mendiskusikan kontribusi agroforestry dalam menekan emisi di
lahan gambut.
Kata kunci: agroforestry lahan gambut, emisi lahan gambut, mitigasi perubahan
iklim

82

C26
Adaptasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor melalui Penguatan Kapasitas
Masyarakat dan Peningkatan Produktivitas Lahan melalui Sistem Agroforestri
Sri Astuti Soedjoko1, Prasetyo Nugroho2, Ambar Kusumandari1, Hero Marhaento1
1 Bagian Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM
2 Program Studi Diploma III Pengelolaan Hutan Sekolah Vokasi UGM
ABSTRAK
Desa Pogalan, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang merupakan daerah yang
terletak di kawasan lereng Gunung Merbabu yang berada di kawasan berlereng
bergelombang sampai sangat curam dan 18,97% wilayahnya memiliki potensi
longsor tinggi sampai sangat tinggi. Kondisi lingkungan ini belum didukung dengan
baiknya pemahaman masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan upaya yang
harus dilakukannya. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan,
pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana (KMTB) Desa Pogalan dan
aplikasi sistem agroforestri sebagai upaya mitigasi dan adaptasi bencana tanah
longsor. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi diantaranya adalah masyarakat
belum sepenuhnya menyadari dan memahami strategi pertanaman yang produktif
serta ramah lingkungan di daerah yang rawan longsor, meskipun hampir setiap
tahun tanah longsor terjadi. Penanaman tanaman kehutanan di lahan pertanian
dianggap akan mengurangi produktifitas lahan. Di sisi lain, belum adanya lembaga
yang fokus terhadap mitigasi dan adaptasi bencana diduga sebagai penyebab
kurangnya kesiapsiagaan masyarakat. Potensi dan permasalahan yang
teridentifikasi tersebut dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan materi edukasi
dan pemberdayaan masyarakat. Pemberian materi ditindaklanjuti dengan kunjungan
lapangan ke Desa Kuripan, Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo sebagai
daerah yang memiliki karakteristik fisik kawasan yang hampir sama tetapi sudah
mampu mengaplikasikan pengelolaan lahan pertanian dengan sistem agorforestri.
Kunjungan lapangan ini terbukti mampu menginspirasi masyakarat Desa Pogalan
untuk melakukan hal yang sama. Kelompok Masyarakat Tanggap Bencana (KMTB)
Desa Pogalan berhasil dibentuk. Upaya perbaikan pengelolaan lahan dilakukan
dengan sistem agroforestri dengan sistem trees along border. Hasil kegiatan
menunjukkan bahwa penguatan kapasitas masyarakat mampu menggerakkan dan
mendorong masyarakat untuk meningkatkan upaya perbaikan kondisi lingkungan
dalam bentuk pembentukan KMTB Desa Pogalan dan aplikasi sistem agroforestri
sebagai bentuk adaptasi, mitigasi bencana tanah longsor serta peningkatan
produktivitas lahan yang berkelanjutan.
83

C27
Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi dan Keberlanjutan Sistem Agroforestri
di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan
Hadi Pranoto1), M.A Chozin2), Hadi Susilo Arifin3), Edi Santosa2)
1) Prog Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Unmul Samarinda
2) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
3) Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi dan
keberlanjutan sistem agroforestri di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan. Penelitian
dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, survei dan wawancara
terhadap 30 responden (petani) pada tiga zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan
sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan. Pendapatan dari tanaman semusim di
hulu Rp 15 866 250/ha/tahun, di tengah Rp 4 771 643/ha/tahun, sedangkan di hilir
Rp 735 918/ha/tahun. Perbedaan motivasi pemilihan jenis tanaman berpengaruh
terhadap produktivitas tanaman. Motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah
keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan
kemudahan menjual, sedangkan di hilir adalah kemudahan mendapatkan benih/bibit
dan kemudahan menjual. Pada sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan juga
terdapat introduksi teknologi dengan pemilihan jenis tanaman yang mengarah pada
orientasi ekonomi (economic oriented). Analisis keberlanjutan yang didasarkan pada
analisis B/C ratio, menunjukkan bahwa sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan
masih berkelanjutan, dengan nilai B/C Ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir
1.02. Sedangkan analisis keberlanjutan yang didasarkan pada aspek keberlanjutan
agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, sistem
agroforestri di Sub DAS Cisokan berada pada tingkat keberlanjutan moderat
(moderate sustainability) dengan nilai keberlanjutan 12.12, pada skala 11-15.
Sedangkan untuk nilai keberlanjutan sistem agroforestri pada masing-masing zona
dari hulu ke hilir adalah 12.07, 12.67, dan 11.60.
Kata kunci: agroforestri, keberlanjutan, pendapatan, sosial ekonomi

84

C28
Sinkronisasi Peraturan Perundangan Undangan dalam Kebijakan
Agrisilviculture pada Tanah Kawasan Hutan
Bambang Sudjito
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Fokus kajian dalam penelitian ini, adalah (a) analisis terhadap kendala dalam
sinkronisasi peraturan perundangan undangan terkait dengan kebijakan
agrisilviculture pada tanah kawasan hutan dan (b) upaya penyelesaian yuridis
terhadap kendala dalam sinkronisasi peraturan perundang undangan terkait dengan
kebijakan agrisilviculture pada tanah kawasan hutan yang bersangkutan. Dasar
pertimbangan dalam penelitian ini, bahwa kebijakan agrisilviculture pada tanah
kawasan hutan dimungkinkan terjadi adanya ketidaksinkronan peraturan
perundangan undangan terkait, antara lain implementasi Undang-undang Nomor 12
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-undang Nomor 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, dan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dengan analisis melalui asas-asas hukum dan
kebijakan hukum dalam peraturan perundangan undangan. Hasil dan kajian dalam
penelitian ini, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi
penyelenggaraan dalam kebijakan agrisilviculture pada tanah kawasan hutan,
terutama dalam era otonomi daerah.
Kata kunci: Peraturan perundang undangan, agrisilviculture, tanah kawasan hutan,
dan otonomi daerah

85

D1
Valuasi Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Agroforestri
di Sulawesi Selatan
Arif Rahmanulloh dan M. Sofiyuddin
World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia, Bogor
ABSTRAK
Valuasi penggunaan lahan adalah salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi
sistem penggunaan lahan di suatu wilayah. Secara spefisik, valuasi finansial
penggunaan lahan akan memberikan gambaran surplus suatu pengusahaan dan
tingkat penggunaan tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana kondisi terkini sistem penggunaan lahan yang menjadi sumber
penghidupan utama masyarakat di wilayah Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi
Selatan.
Identifikasi sistem penggunaan lahan utama dilakukan di area
pegunungan yang berbatasan di kedua kabupaten tersebut. Setiap penggunaan
lahan dinilai profitabilitas financial dan aspek penggunaan tenaga kerja. Profitabilitas
financial dihitung dengan indicator Equivalent Annuity (EA), yakni nilai bersih
sekarang (NPV) yang diukur dalam satuan tahunan untuk membandingkan
berbagai sistem penggunaan lahan yang memiliki perbedaan daur. Analisis
dilanjutkan dengan mengkombinasikan informasi sumber matapencaharian berbasis
lahan dan informasi mengenai tingkat pendapatan masyarakat. Hasil valuasi
penggunaan lahan memperlihatkan beberapa tipologi di lokasi studi yang terdari
dari penggunaan lahan untuk (1) tanaman semusim, (2) kebun campur sederhana,
(3) kebun campur komplek, (4) kebun kayu dan (5) kebun monokultur. Profitabilitas
terbesar berturut turut adalah kebun monokultur, kebun campur, kebun kayu dan
tanaman semusim (jagung). Diketahui pada desa-desa yang banyak mengelola
kebun campur, memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik dibanding dengan desadesa yang dominan tanaman semusim. Tipologi hasil valuasi penggunaan lahan
dapat dijadikan masukan dalam rencana pengembangan agroforestri khususnya
aspek produktivitas dan adoptabilitas. Tipologi ini memperlihatkan bagaimana
tingkat produktivitas sistem penggunaan lahan yang ada sekarang dengan berbagai
kombinasi komponen pohon. Selain itu hasil valuasi juga memperlihatkan
bagaimana asupan tenaga kerja dan keuntungan tenaga kerja (return to labor)
yang beragamtidak selalu sebanding dengan tingkat penerimaan per unit area.
Valuasi penggunaan lahan merupakan salah satu komponen dalam tahap diagnosa
sehingga pengembangan agroforestri dapat dilakukan dengan optimal dan tujuan
perbaikan linkungan dan penghidupan bisa tercapai.
Katakunci: valuasi lahan, profitabilitas finansial, pengembangan agroforestri
86

D2
Pengelolaan Hutan Rakyat Sengon di Sub DAS Citanduy Hulu:
Tinjauan Kelayakan Usaha dan Skenario Profitabilitasnya (Kasus
di Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya)
Devy Priambodo Kuswantoro, Sanudin, dan Nana Sutrisna
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
ABSTRAK
Keberadaan tutupan hutan yang cukup dapat menjamin ketersediaan sumber air
baik kualitas maupun kuantitasnya terlebih di daerah hulu DAS. Penanaman
berbagai jenis tanaman baik kayu-kayuan maupun tanaman pertanian dalam dalam
konsep hutan rakyat agroforestri yang banyak dilakukan oleh masyarakat menjadi
salah satu bentuk usaha menjaga lingkungan dan sekaligus memberikan
sumbangan bagi pendapatan keluarga. Usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh
petani masih sekedar usaha subsisten yang sebetulnya apabila dikelola dengan
baik dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Kajian ini ingin memberikan
gambaran kelayakan usaha dan skenario profitabilitas hutan rakyat pola agroforestri
berbasis Sengon sebagai tanaman kayu dominan yang diusahakan. Penelitian ini
menggunakan metode studi kasus di Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening,
Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk dalam wilayah Sub DAS Citanduy Hulu.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-November 2012 dengan
menggunakan teknik wawancara responden petani hutan rakyat pola agroforestri
serta diskusi dengan stakeholder di desa. Data biaya dan pendapatan hutan rakyat
selanjutnya dilakukan perhitungan kelayakan usaha dengan parameter Net Present
Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Adapun untuk menentukan skenario
profitabilitas menggunakan software Stella 9.02. Pengelolaan tanaman sengon
dalam pola hutan rakyat agroforestry di Desa Kiarajangkung ternyata sesuai dengan
kriteria tata ruang yang dapat memberikan hasil air yang optimal. Hasil perhitungan
NPV menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat agroforestry berbasis sengon yang
selama ini diusahakan oleh responden petani di Desa Kiarajangkung
memperlihatkan kelayakan usaha. Semakin lama daur yang digunakan oleh petani
untuk pengusahaan sengon, maka nilai manfaat yang didapat akan semakin besar.
Hasil ini memperlihatkan bahwa usaha hutan rakyat agroforestri berbasis sengon
sudah merupakan bentuk pilihan pemanfaatan penggunaan lahan yang baik. Petani
diharapkan dapat mengikuti daur budidaya Sengon agar didapat keuntungan yang
lebih besar.
Kata kunci: hutan rakyat, agroforestri, Sengon, Sub DAS Citanduy Hulu
87

D3
Biochar : Rahasia Peningkatan Pendapatan Agroforestry
pada Hutan Tanaman Kayu Energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Rachman Effendi*), Tati Rostiwati**), dan Sofwan Bustomi**)
*)Peneliti pada Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
**) Peneliti pada Pusat LitbangPeningkatan Produktivitas Hutan
ABSTRAK
PT. Sedana Arifnusa yang telah membangun hutan tanaman untuk
pengomprongan tembakau berkaitan dengan dicabutnya subsidi minyak tanah di
Kabupaten Lombok. Terdapat dua alternatif pengganti bahan bakar, yaitu kayu
bakar dan batu bara. Kenyataannya para petani tembakau di Kabupaten Lombok
Timur lebih senang menggunakan kayu, sehingga diperlukan pembangunan HTI
penghasil kayu energi. Memang saat ini pembangunan HTI penghasil kayu energi
belum menarik bagi industri pengolahan kayu dan pengelolaannya belum optimal
serta membutuhkan produktitivitas lahan yang tinggi meskipun dilakukan dengan
system agroforestry. Untuk itu perlu diketahui rahasia apa yang perlu dilakukan
dalam upaya peningkatan pendapatan baik dari hasil kayunya maupun dari hasil
tumpangsarinya. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan ekonomi
pembangunan HTI penghasil kayu energi sistem agroforestry dan seberapa besar
peningkatan pendapatan hasil panen dengan penambahan biochar. Pengumpulan
data dilakukan terhadap pelaku usaha HTI dan petani produsen kayu energi yang
terlibat dengan pola kemitraan di Kabupaten Lombok Timur. Metode penelitian
dilakukan dengan menganalisis kelayakan usaha dengan kriteria investasi yaitu
nilai-nilai NPV, IRR, dan BCR kemudian dihitung peningkatan pendapatan dengan
adanya penambahan biochar dalam pengelolaannya. Hasil analisis menunjukan
pembangunan hutan tanaman kayu energi sebagai alternatif bahan bakar
omprongan tembakau layak dan sangat potensial untuk dikembangkan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Penggunaan Biochar sebesar 30% terhadap bibit tanaman
dan 40% terhadap penanaman dapat meningkatkan pendapatan sebesar 25%
untuk pola tanam mandiri dan 21% untuk pola tanam kemitraan. Penambahan
biochar sebanyak 5 ton/ha terhadap tanaman padi dan 2,5 ton/ha terhadap tanaman
jagung dalam satu hamparan dengan sistem agroforestry pada pembagunan hutan
tanaman kayu energi jenis turi yang berdampak terhadap penambahan biaya
pembangunan hutan tanaman sebesar 50%, dapat meningkatkan pendapatan
petani sebesar 69% untuk pola tanam kemitraan dan secara ekonomi finansial
sangat layak dan dapat dipertimbangkan untuk diprioritaskan pembangunannya.
Kata kunci : omprongan, HTI, kayu energi, kelayakan ekonomi
88

D4
Strategi Peningkatan Efisiensi dan Margin Pemasaran
melalui Revitalisasi Tataniaga Produk Agroforestri
Wahyu Andayani
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Peningkatan pendapatan petani dari usahatani agroforestri baik yang dilaksanakan
di hutan negara (melalui skema pengelolaan hutan bersama masyarakat/PHBM
maupun yang diusahakan di lahan milik (misalnya: hutan rakyat) ternyata mampu
memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga cukup signifikan, yaitu antara
20% sd 60%. Jenis tanaman yang diusahakan antara lain : kayu, herbal, umbi, dan
kacang mete. Meskipun mampu memberikan manfaat ekonomi yang baik, tetapi
sebenarnya persentase tersebut masih dapat dinaikkan apabila dalam proses
tataniaganya, petani memiliki posisi tawar yang tinggi. Saat ini, profit margin dan
marketing margin yang diterima petani masih rendah (rata rata baru 15% sd 20%),
sehingga margin yang tinggi dinikmati pedagang (penebas, pengepul). Faktor
penyebab rendahnya margin yang diterima petani antara lain karena : (1) posisi
tawar yang rendah, (2) panjangnya rantai pasar, (3) produk berupa bahan baku, (4)
minimum informasi pasar, dan (5) kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem tataniaga produk agroforestri
saat ini masih berada pada tahap belum efisien. Untuk mencapai tingkat efisiensi
perlu strategi revitalisasi tataniaga melalui : (a) membentuk lembaga di tingkat
petani, misalnya : koperasi, (b) memperpendek sistem tataniaga, (c) meningkatkan
posisi tawar dengan strategi meminimumkan kendala/faktor pembatas yang dimiliki
petani, (c) dukungan kebijakan pemerintah melalui regulasi yang bersifat insentif
bagi petani, (c) meningkatkan nilai tambah dan daya saing.pada sistem tataniaga
yang lebih transparan.
Kata kunci: posisi tawar, marjin keuntungan, marjin pemasaran, efisiensi

89

D5
Karakteristik dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri
di Kabupaten Bireuen Aceh
Halus Satriawan dan Zahrul Fuady
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim Bireuen-Aceh
ABSTRAK
Agroforestri sudah cukup dikenal dan diterapkan secara luas oleh masyarakat di
Kabupaten Bireuen sebagai bentuk perkebunan rakyat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui jenis dan pola tanam agroforestri serta potensi pendapatan
masyarakat di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Penelitian dilakukan dengan
metode survey menggunakan teknik purposive sampling dimana sampel yang
diambil adalah petani yang menerapkan sistem Agroforestri di 3 kecamatan yang
mewakili wilayah kabupaten. Karakteristik agroforestri yang diamati adalah jenis,
pola tanam, umur tanaman dan ragam komoditas tanaman. Karakteristik usahatani
yang diamati adalah luas kepemilikan, lama pengusahaan, tingkat pengelolaan,
jenis sarana produksi, biaya dan pendapatan usahatani, hambatan usaha tani dan
keterlibatan pemerintah. Berdasarkan hasil survey dan interview ditemui 2 jenis
utama sistem agroforestri yaitu agrisilvikultur dan agrosilvopastural. Agrisilvikultur
dipraktikkan dengan sistem tumpangsari, alley cropping dan intercropping yang
dikelola secara intensif (90%) dan tradisional-semi intensif (10%). Jenis tanaman
yang dibudidayakan terdiri dari kelompok pepohonan (sengon, mahoni), tanaman
penghasil buah (kakao, pepaya, pinang, kelapa, kelapa sawit), tanaman penghasil
pakan ternak, tanaman pangan dan hortikultura dengan kisaran umur tanaman <117 tahun. Rata-rata kepemilikan lahan 1,6 ha dengan pengalaman usaha tani 7,3
tahun. Rata-rata biaya usahatani agroforestri yang dikeluarkan petani untuk
bibit/benih, pupuk, pestisida, insektisida, dan peralatan/mesin sebesar Rp
4.332.857/tahun, dengan rata-rata pendapatan usahatani Rp 19.480.714/tahun.
Jumlah biaya produksi sangat tergantung dari jenis tanaman dan luas usaha tani
yang dikembangkan. Biaya produksi tertinggi diperoleh pada agrisilvikultur dengan
kombinasi tanaman tahunan-pangan- hortikultura, sedangkan terendah pada
agrosilvopastural. Petani mengalami kendala rendahnya harga produk usahatani
karena penentu harga di tingkat petani adalah pedagang pengumpul. Heterogenitas
tanaman dan keberlanjutan pendapatan petani dari penerapan agroforestri
memberikan keamanan dan ketahanan sosial dan ekonomi bagi masyarakat
sehingga diperlukan perhatian intensif pemerintah melalui penyuluhan, pelatihan,
dan pendampingan dalam mengelola tanaman unggulan.
Kata Kunci: Agroforestri, usahatani, karakteristik.
90

E1
Pengaruh Provenan terhadap Resistensi Karat Tumor
pada Semai Sengon(Falcataria moluccana)
Levina Augusta G.Pieter, Asep Rohandi, dan Gunawan
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis
ABSTRAK
Sengon (Paraserianthes falcataria) yang sekarang dikenal dengan nama baru
(Falcataria moluccana) merupakan tanaman yang masuk kedalam famili Mimosae
termasuk dalam fast growing species. Pada saat ini, penyakit yang banyak
menyerang sengon adalah karat tumor yang disebabkan oleh jamur Uromycladium
tepperianum. Pada tingkat serangan yang tinggi, dapat mengakibatkan kematian
pada tanaman. Hal ini dapat menyebabkan kerugian yang besar. Respon tanaman
terhadap penyakit dipengaruhi oleh karakteristik genetik dari tanaman tersebut dan
faktor lingkungan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
provenan mana yang cenderung tahan terhadap serangan karat tumor. Provenan
yang diuji sebanyak 8 provenan yaitu P1) Hobikosi, Holima, Elagaima, Mualima,
Meagama, Muai; P2) Waga-waga, Siba; P3) Nifasi, Worbag,Maidi; P4) Warmara,
Yansoribo; P5) Wadapi, Menawi; P6) Candiroto, Wonogiri, Ngadisono; P7)
Solomon; dan P8) Ciamis. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak
berblok dengan jumlah 4 blok ulangan dalam setiap blok terdapat 36 tanaman,
sehingga total 144 tanaman. Pengamatan parameter yang dilakukan meliputi
intensitas dan luas serangan selama 3 bulan serta pengukuran kondisi lingkungan
berupa suhu dan kelembaban. Pengolahan data statistik dilakukan dengan
menggunakan program SAS. Pada akhir penelitian, hasil evaluasi dan analisis
serangan karat tumor pada tanaman sengon menunjukkan bahwa perbedaan
provenan yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan tanaman sengon
pada penyakit karat tumor. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa luas serangan
berkisar antara 0-21,25%, sedangkan intensitas serangan antara 0-18%. Provenan
dengan tingkat serangan tertinggi terdapat pada provenan Solomon dengan luas
serangan 21,25% dengan status kadang-kadang dan intensitas serangan sebesar
18 % yang termasuk status tingkat keparahan rendah. Sementara itu, beberapa
provenan yang tidak terinfeksi oleh jamur karat tumor adalah P1 (Hobikosi, Holima,
Elagaima, Mualima, Meagama, Muai) dan P5 (Wadapi, Menawi).
Kata kunci : Karat tumor, Provenan, Semai Sengon

91

E2
Analisis Awal: Pemakaian Marka Molekuler RAPD
untuk Pendugaan Keragaman Genetik Plasma Nutfah Aren Sumatera Utara
Lollie Agustina P. Putri 1), Mahyuni. K. H 2), M. Basyuni 3), Indra Eko Setyo4)
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Program Studi Agroekoteknologi USU
2) Mahasiswa Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian USU
3) Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU
4) Staf Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan
ABSTRAK
Tanaman aren (Arenga pinnata Merr.) adalah tanaman tahunan yang potensial
untuk dikembangkan di daerah Sumatera Utara. Pada umumnya tanaman aren
belum dibudidayakan sehingga produktivitas tanaman rendah dan dikhawatirkan
populasi tanaman makin menurun bahkan dapat memicu hilangnya plasma nutfah
aren. Kajian integrasi molekuler dan pemuliaan konvensional akan menjadi pijakan
yang kokoh untuk peningkatan mutu genetis dalam produksi bahan tanaman aren.
Bahan tanaman yang digunakan adalah aren dari populasi alam daerah Tapanuli
Selatan (7 aksesi Angkola Barat dan 5 aksesi Angkola Selatan). Isolasi DNA genom
dilakukan dengan prosedur isolasi DNA dengan metode CTAB dan modifikasi pada
konsentrasi polyvinilpolypirilidon (PVPP) dan 2-merkaptoetanol. Matriks jarak atau
ketidaksamaan genetik untuk semua kombinasi pasangan individu dapat dilakukan
dengan dua tipe analisis deskriptif dari keragaman yaitu Principal Coordinates
Analyisis (PCoA) dan Neighbor-Joining Tree (NJtree). Perhitungan dan analisis
deskriptif ini menggunakan software DARwin5.05. Total jumlah lokus yang
diperoleh dengan 3 primer RAPD adalah 31 lokus diantara 12 aksesi aren yang
digunakan, dengan jumlah minimum 10 lokus pada primer OPC-12, 11 lokus pada
primer OPC-07 dan OPD-03. Hasil anlisis faktorial PCoA menunjukkan bahwa
aksis 1 dan aksis 2 mampu menjelaskan keragaman sebesar 63.30 %. Dua belas
aksesi tersebar pada kuadran yang berbeda. Profil pohon filogenetik berdasarkan
analisis pengelompokan Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic dengan
metode Matrix Dissimilarity Simple Matching untuk 12 aksesi pada 3 primer RAPD
yang polimorfik. Hasil perhitungan analisis hubungan genetik untuk koefisien
kesamaan genetik menunjukkan bahwa 12 aksesi aren terbagi dalam 3 group
besar. Pada penelitian ini, persentase lokus yang polimorfik dapat menjadi acuan
untuk melihat kekayaan diversitas gen. Aksesi aren yang merupakan populasi alam
memiliki keragaman genetik yang tinggi karena belum dibudidayakan secara intensif
dan masih sedikit mengalami penekanan seleksi.
Kata kunci : aren, marka RAPD, keragaman genetik
92

E3
Dampak Pola Tanam Tumpangsari terhadap Adaptibilitas
dan Pertumbuhan Lima Provenan Tanaman Pulai Gading
Mashudi, Hamdan Adma Adinugraha, dan Dedi Setiadi
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
ABSTRAK
Pulai gading (Alstonia scholaris (L.) R.Br.) merupakan jenis lokal dan tumbuh cepat
yang berpotensi bagus untuk pengembangan hutan rakyat.Dua plot uji keturunan
tanaman pulai gading telah dibangun di dua lokasi, yaitu Gunung Kidul, Yogyakarta
dengan pola tanam tumpangsari dan Sumber Klampok, Bali tanpa tanaman
tumpangsari. Secara khusus tulisan ini bertujuan untuk mengetahui adaptabilitas
dan pertumbuhan tanaman pulai gading dengan pola tanam tumpangsari dan tanpa
tanaman tumpangsari. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Randomized
Complete Block Design dengan perlakuan asal populasi. Dalam penelitian ini
digunakan 5 asal populasi, yaitu : Lombok, NTB; Jayapura, Papua; Solok, Sumbar;
Timor, NTT dan Bali dengan jumlah pohon induk sebanyak 48. Masing-masing
pohon induk ditanam 4 bibit dan diulang sebanyak 4 kali (blok) untuk plot uji di
Gunung Kidul dan 6 kali (blok) untuk plot uji di Bali. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daya adaptasi dan pertumbuhan tanaman uji pulai gading dengan pola
tanam tumpangsari lebih baik dibanding dengan tanaman uji tanpa tanaman
tumpangsari. Persen hidup tanaman umur 1 tahun dengan pola tanam tumpangsari
berkisar antara 88,33 96,55 %, sedangkan persen hidup tanaman tanpa tanaman
tumpangsari berkisar antara 59,38 85,42 %. Pada pola tanam tumpangsari ratarata tinggi tanaman berkisar antara 0,93 1,30 m sedangkan pada tanaman tanpa
tumpangsari rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 0,93 1,05 m. Rata-rata
diameter batang pada tanaman dengan pola tumpangsari berkisar antara 1,60
2,45 cm sedangakn pada tanaman tanpa tumpangsari berkisar antara 1,21 1,30
cm. Populasi Lombok dan Bali merupakan dua populasi terbaik untuk sifat tinggi
tanaman dan diameter batang pada pola tanam tumpangsari dan tanpa tanaman
tumpangsari. Rata-rata tinggi tanaman populasi Lombok dan Bali untuk pola tanam
tumpangsari masing-masing sebesar 1,30 m dan 1,24 m sedangkan pada tanaman
tanpa tumpangsari masing-masing sebesar 1,05 m dan 1,02 m. Rata-rata diameter
batang populasi Lombok dan Bali untuk pola tanam tumpangsari masing-masing
sebesar 2,45 cm dan 2,21 cm sedangkan pada tanaman tanpa tumpangsari
masing-masing sebesar 1,30 cm dan 1,27 cm.
Kata kunci: pertumbuhan, provenan, pulai gading (Alstonia scholaris), tumpangsari
93

E4
Peningkatan Kualitas Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
dengan Perlakuan Panas
Agus Ngadianto, Wiyono
Staf Pengajar Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Salah satu upaya perlakuan modifikasi pada kayu-kayu berkualitas rendah agar
dapat ditingkatkan kualitasny adalah dengan perlakuan panas. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu-kayu berkualitas rendah yang pada
penelitian ini mengambil sampel dari kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) yang
banyak ditanam di hutan rakyat di kawasan Kulonprogo Daerah Istimewa
Yogyakarta. Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan 2 faktor variasi
yaitu metode perlakuan panas dan lama waktu perlakuan panas. Dua macam
perlakuan panas diaplikasikan pada kayu, yaitu proses hidrotermal dan proses
termal. Semua perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan dan dibandingkan dengan
sampel kontrol tanpa perlakuan apapun. Pengujian produk meliputi sifat fisika
(perubahan warna, kadar air, berat jenis dan perubahan dimensi), dan sifat
mekanika (keteguhan lengkung statis yang meliputi modulus patah/MoR dan
modulus elastisitas/MoE. Hasil penelitian menunjukkan faktor metode pemanasan
berpengaruh pada kadar air, perubahan warna, dan pengembangan arah radial
pada kayu afrika. Sementara itu, faktor lama waktu pemanasan dan interaksi antara
kedua faktor tersebut berpengaruh sangat nyata pada kadar air dan perubahan
warna saja. Semakin lama waktu pemanasan menyebabkan turunnya kadar air dan
perubahan warna yang semakin besar. Nilai berat jenis, modulus patah dan
modulus elastisitas kayu tidak berpengaruh secara signifikan pada metode dan
waktu perlakuan panas yang diterapkan. Hasil terbaik dalam penelitian ini jika
dibandingkan dengan kontrol diperoleh pada kombinasi perlakuan dengan metode
penguapan (steam) selama 2 jam dengan nilai kadar air 10,19%, Berat jenis 0,37,
perubahan warna 37,34, penyusutan arah longitudinal 0,31%, penyusutan arah
tangensial 1,57%, penyusutan arah radial 0,50%, pengembangan arah longitudinal
0,68%, pengembangan arah tangensial 3,50%, pengembangan arah radial 1,61%,
nilai modulus patah 601,85 Kgf/cm2 dan nilai modulus elastisitas 66.477,67 Kgf/cm2.
Kata Kunci : Perlakuan termal, Kayu afrika, Kualitas kayu, Sifat fisika, Sifat
mekanika

94

E5
Yogurt Susu Kecipir sebagai Makanan Fungsional Hipokolesterol
Siti Tamaroh
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
In this research yogurt made from winged bean milk with 2 treatments , the first was
addition 5% (v/v) of the starter, with ratio of amount inoculum Lactobacillus
bulgaricus and Streptococcus thermophilus (LB : ST = 1:1, 1:2, 2:1 v/v), and the
second was addition of skim milk 4%, 6% dan 8% (w/w). Yogurt in this studi were
preferent test (Hedonics scale test) and the most preferred yogurt was tested its
potential as functional food hipokolesterol (using animals mice test) and chemical
test, there are moisture content, protein content, pH, acidity (as lactic acid) , total
soluble solid and total number cells of lactic acid bacteria .
The results of the researh showed that winged bean milk yogurt treat LB:ST = 1:2,
skim milk 6% (w/w), the most preferred. Yogurt parameters are moisture content
88,29 (% wb), protein content 2,81 (% db), pH 3,5, acidity (as lactic acid) 0,51%,
total soluble solid 6,19%. and number lactic acid bacteria cells 107 sel/ml. The
results hipokolesterol potential as a functional food (yogurt 2g/d test animals were
given), were blood lipid profile which was decreased blood cholesterol (44%),
triglycerides (46%), LDL (77%) and the increase was HDL (54%).Whereas test
animals were given yogurt 4g/d, showed changes in blood lipid profiles that
decreased blood cholesterol (54%), triglycerides (50%), LDL (95%) and an increase
in HDL (35%).
Keywords: winged bean milk yogurt, ratio LB: ST, skim milk, blood lipid profile

95

E6
Potensi Terpendam Biji Nangka (Artocarpus Heterophyllus)
sebagai Bahan Substitusi Pembuatan Keju Nabati Ramah Lingkungan
Yunita Pane dan Diah Nur Maulida
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Biji nangka memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi sebagai bahan substitusi
pembuatan keju nabati dibandingkan bahan dasar pembuatan keju susu sapi dan
susu kedelai. Dalam memaksimalkan pemanfaatan pada biji nangka (Artocarpus
heterophyllus)maka di ambil alternative biji nangka sebagai bahan baku pembuatan
keju nabati yang ramah lingkungan dengan harga yang ekonomis.Minimnya bahan
baku pembuatan keju menjadi salah satu faktor mahalnya harga keju di Indonesia.
Keju yang biasanya dibuat dengan bahan dasar susu protein memiliki kandungan
lemak yang cukup tinggi sehingga diperlukan alternative bahan dasar substitusi
pembuatan keju yang bersifat nabati dalam upaya menekan angka penderita
obesitas dikalangan masyarakat Indonesia. Metodelogi Penelitian yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dengan 2
faktor.Faktor I terdiri dari 2 level dan faktor II terdiri dari 3 level sehingga diperoleh 6
kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali, sehingga didapatkan
18 satuan percobaan. Faktor I (A) adalah lama pemeraman yaitu 1 dan 2 bulan.
Faktor II (B) adalah penambahan susu biji nangka yaitu 10%, 20% dan 30%. Hasil
yang diperoleh dari penelitian ini adalah biji nangka berpotensi sebagai bahan dasar
pembuatan keju nabati yang ramah lingkungan dan ekonomis.Biji nangka memiliki
kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan kandungan bahan dasarkedelai dan
susu sapi. Komposisi kimia susu biji nangka memiliki energi 165kkal/100gram,
protein 4,2gram, lemak 0,1gram, 36,7g/100gram, karbohidrat 36,7g/100gram,
kalsium 33,00mg, fosfor 200mg/100gr, besi 1,0mg/100, Vitamin A (SI) 200,00,
Vitamin B 0,2mg, Vitamin c 10,00mg, Air 87,00gr. Komposisi kimia susu biji nangka
lebih tinggi dibandingkan susu sapi maupun kedelai.
Kata kunci : biji nangka, manfaat, keju, kandungan gizi

96

E7
Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Mangga Lokal
dari Hutan Masyarakat Kalimantan Selatan
Zahirotul Hikmah Hassan1, Yanuar Pribadi2, Achmad Rafieq2
1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan
ABSTRAK
Kalimantan sebagai salah satu kawasan hutan tropis yang masih tersisa memiliki
kekayaan plasma nutfah yang sangat beragam, di antaranya buah mangga lokal
Kalimantan Selatan yang keberadaannya mulai menurun karena tumbuh sebagai
buah hutan, tanpa dibudidayakan dan pemeliharaan yang baik. Studi ini bertujuan
untuk melakukan karakterisasi sifat fisik, sifat kimia dan uji preferensi konsumen
terhadap buah mangga lokal di Kalimantan Selatan. Dari kegiatan identifikasi di
sentra produksi mangga lokal di Kalimantan Selatan, yaitu di Desa Pembantanan
Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Desa Hamak, Desa Telaga Langsat,
dan Desa Mandala Kecamatan Telaga Langsat Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
diketahui bahwa saat ini ada 22 jenis mangga lokal yang berkembang di
masyarakat, yaitu hambawang biasa, hambawang pisang, hambawang kalambuai,
hambawang tapah, rawa-rawa humbut, rawa-rawa biasa, asam buluh, mangga
golek, mangga gadung, kuini, kasturi, hampalam nagara, tandui manis, tandui
masam, asam pauh, pulasan, palipisan, hampalam hambuku, hampalam biasa,
mangga apel, binjai manis, binjai masam. Karakterisasi sifat fisik meliputi berat buah
(g), volume buah (ml), densitas buah (g/ml), panjang buah (cm), lebar buah (cm),
nisbah P/L, tebal buah (cm), daging buah (%), tebal daging buah (cm), kulit buah
(%), tebal kulit (cm), berat biji (g), panjang biji (cm), lebar biji (cm), tebal biji (cm),
bobot yang dapat dimakan/BDD, warna kulit buah muda, warna kulit buah masak,
dan warna daging buah. Analisis kimia mencakup kadar air, total gula, kadar serat,
total asam, kadar protein, vitamin C, dan total padatan terlarut. Uji organoleptik
dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen yang mencakup aspek bentuk,
warna (daging dan kulit), aroma, tekstur, tingkat kemanisan dan rasa. Hasil
pengamatan menunjukkan adanya keragaman sifat fisik, kimia, dan preferensi
konsumen terhadap buah mangga lokal Kalimantan Selatan, baik antarjenis dalam
spesies yang sama, maupun antarspesies dalam genus yang sama. Hasil
identifikasi dapat digunakan sebagai referensi untuk pelestarian buah lokal dengan
strategi pengembangan pada aspek pemuliaan, budidaya, dan pascapanen.
Kata kunci: karakteristik fisik, karakteristik kimia, preferensi konsumen, mangga
lokal Kalimantan Selatan
97

E8
Nilai Kalor Acacia decurrens sebagai Bahan Baku Arang Kayu
Masyarakat Pegunungan Tinggi
Liliana Baskorowati, Mohammad Anis Fauzi, Dedi Setiadi, dan Mudji Susanto
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
ABSTRAK
Kebutuhan akan kayu untuk energi (kayu bakar dan arang) di dunia menunjukkan
peningkatan yang nyata. Untuk mendukung tersedianya kayu bakar didaerah
dataran tinggi, sudah saatnya mulai diidentifikasi dan diteliti jenis-jenis tanaman
kayu yang memiliki nilai kalor tinggi. Salah satunya adalah Acacia decurrens. Jenis
pohon ini merupakan jenis exotic yang memiliki sebaran alam di New South Wales
dan tersebar di Australian Capital Territory. A. decurrens di Indonesia mudah
ditemui di ketinggian 800-2300 m dpl dan tumbuh baik di sekitar pegunungan yang
ada di Pulau Jawa. Di Jawa khususnya, masyarakat yang tinggal di pegunungan
menggunakan jenis kayu A. decurrens sebagai sumber bahan baku kayu arang,
selain menggunakan kulit kayunya yang menggandung tannin untuk bahan pewarna
pakaian. Mengingat jenis ini dapat dikembangkan untuk mendukung masyarakat
hutan di pegunungan maka penelitian yang menitik beratkan pada nilai kalor
dilakukan. Nilai kalor dilakukan dengan menggambil sampel berupa kayu
A.decurrens dari populasi Gunung Ciremai, Gunung Merbabu, Gunung Semeru dan
Gunung Bromo. Masing-masing populasi diambil 6 pohon dengan cluster diameter
sebagi berikut: 2 pohon kecil 5-10 cm, 2 pohon sedang 10-15 cm dan 2 pohon
besar 15 cm ke atas. Pada tiap sortimen batang diambil sampel kayu setebal 2-3
cm di bagian pangkal dan cabang. Tiap sampel kayu sebelum dianalisa nilai kalor,
dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm, selanjutnya dianalisa nilai kalornya
menggunakan alat Bom Kalorimeter. Hasil analisa nilai kalor kayu A. decurrens
menunjukkan bahwa terdapat beberapa famili jenis tersebut yang diidentifikasi
memiliki nilai kalor tinggi.
Kata kunci: Acacia decurrens, nilai kalor, kayu arang, pegunungan

98

E9
Karakteristik Bentuk Dolok Manglid (Manglieta glauca Bl.)
dan Hubungannya dengan Rendemen Penggergajian
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
ABSTRAK
Manglid (Manglietia glauca Bl.) merupakan salah satu jenis cepat tumbuh yang
banyak dikembangkan di lahan rakyat Jawa Barat dengan pola agroforestry dan
secara umum dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengukur karakteristik bentuk dolok manglid dan mengetahui
hubungan masing-masing karakteristik bentuk dolok tersebut dengan rendemen
penggergajiannya. Sejumlah 6 pohon manglid berumur 20-30 tahun diambil pada
tegakan hutan rakyat pola agroforestry multistrata di Desa Sodonghilir, Kecamatan
Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Pohon manglid yang telah ditebang dipotong
menjadi dolok dengan panjang 200 cm. Selanjutnya dipilih 34 dolok manglid secara
acak yang dikelompokkan ke dalam 2 kelompok dengan mempertimbangkan
keragaman diameter yang seimbang pada masing-masing kelompok. Kelompok
pertama sejumlah 17 dolok dibelah dengan pola satu sisi (Live sawing pattern) dan
kelompok kedua dengan jumlah yang sama dibelah dengan pola semi perempatan
(Semi quarter sawing pattern). Pengamatan karakteristik bentuk dolok dilakukan
sebelum proses penggergajian dilakukan, dengan parameter: diameter dolok (ratarata diameter ujung dan pangkal dolok), keruncingan, kebundaran, dan
kelengkungan. Pengukuran rendemen penggergajian dilakukan setelah proses
penggergajian, yaitu persentase volume papan yang dihasilkan terhadap volume
dolok. Hubungan karakterisistik bentuk dolok dan rendemen penggergajian
dianalisis dengan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter
dolok memiliki hubungan yang lebih erat dengan rendemen gergajian pada pola
semi perempatan daripada pola satu sisi. Terdapat hubungan positif dimana
semakin besar diameter maka semakin besar rendemen penggergajiannya.
Sebaliknya, kelengkungan dolok memiliki hubungan yang lebih erat dengan
rendemen gergajian pada pola satu sisi daripada pola semi perempatan. Semakin
tinggi nilai kelengkungan, semakin kecil rendemen gergajiannya. Nilai keruncingan
dan kebundaran memiliki hubungan yang tidak erat dengan rendemen gergajian
pada dua pola. Pola satu sisi cocok digunakan pada penggergajian manglid semua
kelas diameter, semua tingkat kebundaran dan pada log dengan kelengkungan
tinggi, sedang pola semi perempatan untuk pohon manglid berkelas diameter besar.
Kata kunci: dolok, manglid, pola penggergajian, rendemen
99

Anda mungkin juga menyukai