MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Tarbawi
Dosen Pengampu :
Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I.
Disusun Oleh :
1. M.ALI MAHMUD
NIM : 20112503389
2. M.NURUL FIRDAUS NIM : 20112503390
3. LIMARUFAH
NIM : 20112503388
STITMA TUBAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013
1
KATA PENGANTAR
Dengan
segala
kerendahan
dan
keikhlasan
hati,
Penulis
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan
rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas
segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah
tentang Tujuan Pendidikan ini dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang
pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya.
Dan Semoga syafaatnya selalu menyertai kehidupan ini.
Makalah ini berisi ayat-ayat yang membahas tentang Pembahasan
mengenai tujuan Pendidikan. Dalam kesempatan kali ini,penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I. selaku Dosen Tafsir Tarbawi yang telah membimbing
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Buku referensi, dan media lainnya yang artikelnya kami gunakan
dalam penulisan Makalah ini
3. Semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu.
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat
serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan
yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima
segala
kritik
dan
saran
yang
membangun
demi
perbaikan
dan
Penyusun
Kelompok V
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.....................................................................................
KATA PENGANTAR
...................................................................................
ii
.................................................................................................
iii
DAFTAR ISI
BAB
BAB
II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .
C. Tujuan Pembahasan...
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemah Surat Thoha ayat 114 ......
11
B. Saran ....
11
DAFTAR PUSTAKA .
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai keutamaan oleh Allah swt
dibandingkan makhluk ciptaannya yang lain. Keutamaan manusia terletak pada
kemampuan akal pikirannya / kecerdasannya. Dengan kemampuannya ini
manusia
mampu
mengembangkan
diri
dalam
kehidupan
yang
semakin
berkembang.
Pengembangan
diri
untuk
mencapai
kemajuan
dalam
kehidupan
memerlukan apa yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan sudah ada
sejak adanya peradaban yang diawali dengan proses kependidikan dalam
lingkup yang masih terbatas.
Pendidikan
merupakan
usaha
manusia
untuk
meningkatkan
ilmu
pengetahuan yang didapat baik dari lembaga formal maupun informal dalam
membantu
proses
transformasi
sehingga
dapat
mencapai
kualitas
yang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat yusuf
ayat 76, dan Surat yunus ayat 76 ?
2. Bagaimana pendidikan menurut tafsir Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat
201-202, Surat yusuf ayat 76, dan Surat yunus ayat 76 ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui bunyi dan arti Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat
yusuf ayat 76, dan Surat yunus ayat 76.
2. Mengetahui tafsir Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat yusuf
ayat 76, dan Surat yunus ayat 76.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemah Surat Thoha ayat 114
Artinya:
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. (Q.S. Thaha: 114)
1. Arti Mufrodat
Arti
Maka Maha Tinggi Allah
Mufrodat
sebelum disempurnakan
Kepadamu
mewahyukannya
dan katakanlah
Ya Tuhanku
tambahkanlah kepadaku
ilmu (pengetahuan)
2. Asbabun Nuzul
2
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Maha Tinggi, Maha Besar amat
luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat
peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali
peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah yang
mengutus para Nabi dan para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat
dan Injil serta Dia pulalah Yang menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad saw. Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan secara berangsur-angsur bukan sekaligus
sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat
pendek saja atau surat yang pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang
panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.
Allah Maha Suci dari segala bentuk tekanan apapun. Artinya kekuasaan dan kehendak
Alloh mutlak dan tak terbatas, Alloh berkehendak memerintah atau melarang sesuatu sesuai
dengan kehendak-Nya. Dialah Maha Raja yang Haqiqi, yang seluruh janji, ancaman,
perintah atau ketetapan-Nya tiada yang menentang atau menyamai. Apa yang dijanjikan
dan yang diancamkan Alloh adalah Haq tiada kebatilan atau palsu.
Dalam ayat ini Allah melarang Muhammad SAW menggerakkan lidahnya untuk
membaca Alquran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Maksud ayat ini janganlah
engkau wahai Rasul menggerak-gerakkan lidah dan bibirmu untuk cepat-cepat menangkap
bacaan Jibril karena takut bacaan itu luput dari ingatanmu. Dalam hadis Bukhari disebutkan
bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika wahyu diturunkan. Menghafal
ayat-ayat
itu
menyampaikan wahyu Rasulullah SAW segera saja mengikuti dengan gerakan lidah dan
3
bibirnya karena takut luput dar i ingatan, padahal Jibril belum selesai membaca. Allah
melarang Nabi SAW meniru bacaan Jibril kalimat demi kalimat sebelum ia selesai
membacakannya, agar Nabi Muhammad SAW menghafal dan memahami betul-betul ayat
yang diturunkan itu
Dalam ayat lain Alloh juga memberi peringatan yang hampir serupa, agar nabi SAW
tidak buru - buru menggerakkan lisan beliau menirukan malaikat Jbril. Dalam Surat AlQiyamah ayat 16-19 Alloh berfirman
, , ,
Janganlah engkau gerakkan lisanmu untuk (membaca) Al Quran,sesungguhnya atas
tanggungan
Kamilah
mengumpulkannya
(di
dadamu)
dan
(membuatmu
pandai)
membacanya, Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacannya itu.
Kemudian,sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya
Dalam hadis shohih Bhukhori disebutkan :
:
Dari ibnu Abbas RA, keadaan Rosululloh SAW ketika menerima wahyu dalam keadaan
payah,, beliau menggerak-gerakkan lisan beliau (menirukan malaikat Jibril) maka Alloh
menurunkan ayat ini
Ayat ini menjelaskan kepada kita dalam proses menyerap atau menerima ilmu
sebaiknya yang kita utamakan adalah pemahaman terhadap ilmu yang diterima, sehingga
jangan sampai kita berpindah-pindah dari satu bab ke bab yang yang lain sebelum benarbenar paham.
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, supaya memohon kepada
Alloh SWT tambahan ilmu. Secara tersirat dalam ayat ini jelas bahwa Alloh tidak
memerintahkan kepada hamba hambanya untuk meminta ilmu bukan meminta tambahan
selain ilmu. Maka ketika membaca ayat ini Rosulululloh SAW mengajarkan doa ;
Ilmu lebih berharga daripada emas. Dengan ilmu manusia bisa meraih segalanya.
Orang yang berilmu bisa mendapatkan emas, sedang dengan emas manusia belum tentu
mendapat ilmu. Di dalam ayat-ayat Al Quran, Alloh banyak memberi tamsil tentang
perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh. Demikian pula dalam hadits
4
Rosululloh SAW juga menyebutkan keutamaan orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu. Cukup bagi kita sebuah hadits dari Imam Atrirmidzi berikut ini menjadi
gambarannya:
( )
kelebihan orang yang berilmu dari orang yang beribadah (tanpa ilmu) itu seperti
kelebihan saya dari orang yang paling rendah dari para sahabatku. (HR.Attirmidzi)
Ilmu itu laksana manusia. Dia membutuhkan cinta orang yang menuntut ilmu. Orang
yang mencintai selalu berharap bertemu dengan yang dicintai. Setiap saat selalu ingin
bersama yang dicintainya. Demikian pula orang yang mengaku mencintai ilmu maka tidak
pernah jemu atau jenuh untuk mengulangi ilmu yang di dapat dan terus berusaha untuk
mendapaykan ilmu dalam keadaan apapun. Dalam ayat Al Quran yang pertama kali
diturunkan lafadz iqro diulang ulang oleh malaikat Jibril, sampai Nabi SAW ketakutan.
Proses belajar memerlukan usaha yang keras untuk memahami sesuatu ilmu melalui
pendengaran, penglihatan, pengamatan, penulisan, perenungan dan bacaan. Semua proses
tersebut harus diulang-ulang agar ilmu juga cinta terhadap kita.
B. SURAT YUSUF AYAT 76
Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung
saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya.
Demikianlah
kami
atur
untuk
(mencapai
maksud)
Yusuf.
tiadalah
patut
Yusuf
Sayyid Quthb berkata ketika beliau menafsirkan ayat 76 surat Yusuf, Sesungguhnya
nash ayat ini memberi batasan yang sangat mendetail tentang makna diin, bahwa kalimat
dinul malik dalam ayat ini berarti peraturan dan syariat malik (raja). Lalu lanjutnya, AlQuran mengungkapkan bahwa peraturan dan syariat adalah diin, maka barang siapa yang
5
berada pada peraturan dan syariat Allah berarti ia berada dalam diin Allah. Sebaliknya,
barang siapa yang berada pada peraturan seseorang dan undang-undang seorang raja berarti ia
berada dalam diin raja tersebuut (tafsir Fi Dzilalil Quran, juz 4, halaman 2021).
C. SURAT YUNUS AYAT 76
Dan tatkala Telah datang kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari
sisi kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".
Dan di antara mereka ada yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka.
Pada ayat ini ada jenis manusia yang kedua matanya melek. Melek dunia, melek
akhirat. Bahkan tak hanya melek di kedua sisi kehidupan itu, mereka bahkan melihat adanya
6
keberadaannya melampaui alam dunia yang tiga dimensi ini? Kemungkinannya hanya satu:
manusia yang sengaja dikirim oleh Sang Pemiliki seluruh alam, termasuk alam akhirat. Di
sinilah kenabian menemukan keniscayaannya. Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi
penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi
mereka karunia yang besar dari Allah. (33:45-47)
Kata ( hasanah, kebaikan) ini adalah bentuk tunggal, muncul 28 kali dalam
Alquran. Sedangkan bentuk jamaknya ( hasant) muncul 3 kali (7:168, 11:114, dan
25:70). Dari sejumlah ayat itu, dapat disimpulkan bahwa dalam kata ( hasanah)
terkandung beberapa poin penting. Diantaranya, setiap perbuatan baik atau perbuatan buruk
berlaku padanya hukum imbal balik bagi jiwa pelakunya. Sehingga semakin banyak
perbuatan ( hasanah, kebaikan) yang seseorang lakukan, akan semakin mempersubur
jiwa orang tersebut, serta memperluas akses untuk melakukan perbuatan baik berikutnya.
Kendati sudah ada ungkapan yang tegas ( fd-dunya
hasanatan wa fl-khirati hasanatan, di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan), tetapi
seseorang yang memohon dengan doa ini tidak lantas terbebas dari azab api neraka. Untuk itu
masih perlu ditambah dengan permohonan baru yang lebih tegas lagi: ( wa qin
adzban-nr, dan peliharalah kami dari azab neraka). Kenapa? Karena urusan neraka
menyangkut dua hal. Satu, nilai dari amal. Dua, syafaat.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Kata tunjuk ( lika, mereka) di awal ayat ini kembali ke ayat 200 (manusia
golongan pertama) dan ayat 201 (manusia golongan kedua). Yaitu bahwa mereka yang
beribadah semata dengan tujuan dunia (golongan pertama) dan mereka yang beribadah
dengan tujuan dunia dan akhirat (golongan kedua), kelak Allah akan memberikan masingmasing kepadanya imbalan sesuai dengan apa yang mereka usahakan. Adalah tidak adil
menurut Allah dan akal sehat manakala seseorang diberikan apa yang tidak menjadi
tujuannya. Yang namanya tujuan adalah puncak yang hendak dicapai, sehingga tidak
mungkin seseorang akan mencapai lebih dari apa yang menjadi tujuannya, sebagaimana tidak
mungkinnya seseorang mendaki melampaui puncak.
Di ayat ini kita berkenalan dengan terminologi yang sudah sangat sering dipakai
dalam percakapan sehari-hari:
( nashbun, nasib). Kata ini, beserta penambahan kata
ganti yang menyertainya, muncul sebanyak 21 kali. Ada yang kemunculannya berkaitan
dengan warisan (sebanyak 3 kali di 4:7 dan sekali di 4:33). Ada yang berkaitan dengan
penganut agama-agama samawi lainnya (sebanyak 6 kali: 3:23, 4:44, 4:51, 4:53, dan 7:37).
Ada yang berkaitan dengan penyembahan terhadap berhala-berhala (sebanyak 3 kali: 4:118,
6:136 dan 16:56). Ada yang berbicara tentang orang-orang munafik (sebanyak 1 kali: 4:141).
Dan selebihnya adalah berkenaan dengan konsep umum dari kata
( nashbun, nasib) itu.
Tetapi apapun yang dibicarakannya, semuanya mengacu kepada satu hal: Manusia akan
mendapatkan sesuai atau setara dengan apa yang telah diusahakannya. Yaitu bahwa
(nashbun, nasib) adalah akibat dari suatu sebab yang disebut ( iktisb, usaha). Nasib
bukanlah akibat yang jatuh begitu saja dari langit, sehingga tidaklah benar manakala
seseorang menyebut nasib-nya lantas menunjuk ke langit.
Maka kalau ada orang yang berhasil dalam hidupnya, tidak ada alasan untuk iri hati
kepadanya. Baik itu kebaikan ( hasanah, kebaikan); baik itu keburukan ( sayyiah,
keburukan). Karena Allah telah menguncinya dengan sebuah pernyataaan tegas:
( lahum nashbun mimm kasab, bagi mereka apa yang mereka telah usahakan).
Kalau ingin seperti mereka, hanya ada satu jalan ke arah itu: berusaha dengan tekun seperti
ketekunan usaha mereka, bekerja maksimal seperti kerja maksimal mereka, berpikir keras
seperti mereka berpikir keras. Kalau ingin menghilangkan kejahatan, bekerjalah melebih
kerja keras para pelaku kejahatan. Berkreasilah melahirkan kultur spiritualisme melebihi
kreativitas mereka dalam mempromosikan kultur hedonisme. Beribadahlah kepada Allah
9
dengan khusyuk melebihi ke-khusyuk-an mereka menyembah benda-benda. Pada saat lahir,
Allah memberikan modal yang sama kepada semua manusia, tanpa melihat latar belakang
orang tua dan masyarakatnya. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa,
selain tubuh dan akal pikiran. Tanpa benda-benda, tanpa budaya-budaya. Semua manusia
lahir di bumi yang sama, yang kepadanya diberikan hak yang sama terhadap daratan, lautan,
dan udara.
Semua itu adalah hukum; yakni ketetapan-ketetapan dan ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh Allah. Dan hukum membuat semuanya bisa dikalkulasi: ( wallhu
sarul-hisb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya). Andai kata manusia mampu
menjangkau semua variabel yang berpengaruh pada terwujudnya suatu peristiwa, niscaya
manusia akan mampu mengetahui dengan presisi yang tepat apa, kapan, dan bagaimana kelak
wujud peristiwa atau nasib yang akan menimpanya. Sayangnya, manusia diciptakan dengan
segudang keterbatasan. Untuk yang empirik saja, masih berjuta rahasia alam terbentang di
hadapan panca inderanya. Bagaimana pula dengan yang meta natural dan meta rasional.
Tetapi bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Karena semuanya terjadi di dalam pikiranNya. Di dalam ilmu-Nya. Di dalam wilayah kekuasaan-Nya. Kata (sar, sangat cepat), bagi
Allah, bukanlah dalam maknanya yang berwaktu, seperti bayangan manusia. Melainkan
dalam maknanya yang majasi, agar manusia dapat memahami perbuatan-Nya. Dalam
menghitung, Dia tidak butuh ruang dan waktu. Juga tidak butuh variabel-variabel. Tidak
butuh formula-formula dan rumus-rumus. Tidak butuh perhitungan-perhitungan. Tidak butuh
angka-angka dan kata-kata. Semua kebinekaan yang terhampar di halaman indera dan nalar
manusia terjadi dalam ketunggalan Wujud dan Zat-Nya. Sehingga, bahkan, jauh sebelum
peristiwa itu terjadi, pun Dia sudah mengetahuinya. Sebab rasio manusiayang digunakan
untuk memilih dan menghitung langkah-langkah pewujudan suatu peristiwapun berada di
dalam pikiran-Nya. Ketika Allah menutup ayat ini dengan ungkapan ( wallhu
sarul-hisb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya), yang Dia kehendaki ialah agar
manusia mengerti bahwasanya perbuatan manusia dan perbuatan-Nya tidak ada jarak. Tidak
ada jarak waktu. Tidak ada jarak ruang. Karena ruang dan waktu adalah juga perbuatanNya.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tujuan pendidikan yang telah diuraikan
di atas, Dapat kita ketahui bahwasanya Pendidikan merupakan usaha
manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah ditegaskan
dalam
Al-Quran.
Dan
pendidikan
itu
sendiri
membantu
proses
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Wahab,
Rochmad.
2011.
Memahami
Pendidikan
dan
Ilmu
12
5. Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawir Arab Indonesia. Cet. Ke-25. 2002.
Surabaya. Pustaka Progresif
6. Syakir, Assyaikh Ahmad. Umdat Attafsir.2008.Edisi ke-9. Mesir. Daarul Wafaa
13