Anda di halaman 1dari 16

TUJUAN PENDIDIKAN

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Tarbawi
Dosen Pengampu :
Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I.

Disusun Oleh :
1. M.ALI MAHMUD
NIM : 20112503389
2. M.NURUL FIRDAUS NIM : 20112503390
3. LIMARUFAH
NIM : 20112503388

STITMA TUBAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013
1

KATA PENGANTAR

Dengan

segala

kerendahan

dan

keikhlasan

hati,

Penulis

memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan
rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas
segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah
tentang Tujuan Pendidikan ini dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang
pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya.
Dan Semoga syafaatnya selalu menyertai kehidupan ini.
Makalah ini berisi ayat-ayat yang membahas tentang Pembahasan
mengenai tujuan Pendidikan. Dalam kesempatan kali ini,penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I. selaku Dosen Tafsir Tarbawi yang telah membimbing
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Buku referensi, dan media lainnya yang artikelnya kami gunakan
dalam penulisan Makalah ini
3. Semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu.
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat
serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan
yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima
segala

kritik

dan

saran

yang

membangun

demi

perbaikan

penyempurnaan makalah ini.

Tuban , 21 April 2013


2

dan

Penyusun

Kelompok V

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

.....................................................................................

KATA PENGANTAR

...................................................................................

ii

.................................................................................................

iii

DAFTAR ISI
BAB

BAB

II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .

B. Rumusan Masalah .......

C. Tujuan Pembahasan...

PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemah Surat Thoha ayat 114 ......

B. Surat Yusuf Ayat 76..5


C. Surat Yunus Ayat 76.... 6
D. Surat Al-Baqarah Ayat 201 .....

E. Surat Al-Baqarah Ayat 202 ...

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..

11

B. Saran ....

11

DAFTAR PUSTAKA .

12

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai keutamaan oleh Allah swt
dibandingkan makhluk ciptaannya yang lain. Keutamaan manusia terletak pada
kemampuan akal pikirannya / kecerdasannya. Dengan kemampuannya ini
manusia

mampu

mengembangkan

diri

dalam

kehidupan

yang

semakin

berkembang.
Pengembangan

diri

untuk

mencapai

kemajuan

dalam

kehidupan

memerlukan apa yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan sudah ada
sejak adanya peradaban yang diawali dengan proses kependidikan dalam
lingkup yang masih terbatas.
Pendidikan

merupakan

usaha

manusia

untuk

meningkatkan

ilmu

pengetahuan yang didapat baik dari lembaga formal maupun informal dalam
membantu

proses

transformasi

sehingga

dapat

mencapai

kualitas

yang

diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan


tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan
dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas, dengan tanpa
mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses
penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang,
cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh
karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral
sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat yusuf
ayat 76, dan Surat yunus ayat 76 ?
2. Bagaimana pendidikan menurut tafsir Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat
201-202, Surat yusuf ayat 76, dan Surat yunus ayat 76 ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui bunyi dan arti Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat
yusuf ayat 76, dan Surat yunus ayat 76.
2. Mengetahui tafsir Surat Thoha ayat 114, Surat Al-baqoroh ayat 201-202, Surat yusuf
ayat 76, dan Surat yunus ayat 76.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemah Surat Thoha ayat 114

Artinya:
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. (Q.S. Thaha: 114)
1. Arti Mufrodat
Arti
Maka Maha Tinggi Allah

Mufrodat

Raja Yang sebenar-benarnya


dan janganlah kamu tergesa-gesa (membaca) Alquran

sebelum disempurnakan

Kepadamu
mewahyukannya
dan katakanlah
Ya Tuhanku
tambahkanlah kepadaku
ilmu (pengetahuan)

2. Asbabun Nuzul
2

Dalam hadits Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya


ketika wahyu diturunkan. Menghafal ayat-ayat Al-Quran mula-mulanya terlalu berat bagi
beliau. Itulah sebabnya ketika Jibril menyampaikan wahyu itu Rasulullah SAW segera saja
mengikuti dengan gerakan lidah dan bibirnya karena takut luput dari ingatan; padahal Jibril
belum selesai membaca. Hal ini terjadi sebelum turunnya Surah Taha, dan semenjak adanya
teguran Allah dalam Ayat ini tentu beliau sudah tenang dalam menerima wahyu tidak perlu
cepat-cepat menangkapnya.
3. Tafsir Surat Thoha Ayat 114

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Maha Tinggi, Maha Besar amat
luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat
peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali
peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah yang
mengutus para Nabi dan para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat
dan Injil serta Dia pulalah Yang menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad saw. Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan secara berangsur-angsur bukan sekaligus
sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat
pendek saja atau surat yang pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang
panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.
Allah Maha Suci dari segala bentuk tekanan apapun. Artinya kekuasaan dan kehendak
Alloh mutlak dan tak terbatas, Alloh berkehendak memerintah atau melarang sesuatu sesuai
dengan kehendak-Nya. Dialah Maha Raja yang Haqiqi, yang seluruh janji, ancaman,
perintah atau ketetapan-Nya tiada yang menentang atau menyamai. Apa yang dijanjikan
dan yang diancamkan Alloh adalah Haq tiada kebatilan atau palsu.


Dalam ayat ini Allah melarang Muhammad SAW menggerakkan lidahnya untuk
membaca Alquran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Maksud ayat ini janganlah
engkau wahai Rasul menggerak-gerakkan lidah dan bibirmu untuk cepat-cepat menangkap
bacaan Jibril karena takut bacaan itu luput dari ingatanmu. Dalam hadis Bukhari disebutkan
bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika wahyu diturunkan. Menghafal
ayat-ayat

itu

mula-mula terlalu berat bagi beliau. Itulah sebabnya ketika Jibril

menyampaikan wahyu Rasulullah SAW segera saja mengikuti dengan gerakan lidah dan
3

bibirnya karena takut luput dar i ingatan, padahal Jibril belum selesai membaca. Allah
melarang Nabi SAW meniru bacaan Jibril kalimat demi kalimat sebelum ia selesai
membacakannya, agar Nabi Muhammad SAW menghafal dan memahami betul-betul ayat
yang diturunkan itu
Dalam ayat lain Alloh juga memberi peringatan yang hampir serupa, agar nabi SAW
tidak buru - buru menggerakkan lisan beliau menirukan malaikat Jbril. Dalam Surat AlQiyamah ayat 16-19 Alloh berfirman
, , ,
Janganlah engkau gerakkan lisanmu untuk (membaca) Al Quran,sesungguhnya atas
tanggungan

Kamilah

mengumpulkannya

(di

dadamu)

dan

(membuatmu

pandai)

membacanya, Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacannya itu.
Kemudian,sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya
Dalam hadis shohih Bhukhori disebutkan :
:

Dari ibnu Abbas RA, keadaan Rosululloh SAW ketika menerima wahyu dalam keadaan
payah,, beliau menggerak-gerakkan lisan beliau (menirukan malaikat Jibril) maka Alloh
menurunkan ayat ini
Ayat ini menjelaskan kepada kita dalam proses menyerap atau menerima ilmu
sebaiknya yang kita utamakan adalah pemahaman terhadap ilmu yang diterima, sehingga
jangan sampai kita berpindah-pindah dari satu bab ke bab yang yang lain sebelum benarbenar paham.


Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, supaya memohon kepada
Alloh SWT tambahan ilmu. Secara tersirat dalam ayat ini jelas bahwa Alloh tidak
memerintahkan kepada hamba hambanya untuk meminta ilmu bukan meminta tambahan
selain ilmu. Maka ketika membaca ayat ini Rosulululloh SAW mengajarkan doa ;


Ilmu lebih berharga daripada emas. Dengan ilmu manusia bisa meraih segalanya.
Orang yang berilmu bisa mendapatkan emas, sedang dengan emas manusia belum tentu
mendapat ilmu. Di dalam ayat-ayat Al Quran, Alloh banyak memberi tamsil tentang
perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh. Demikian pula dalam hadits
4

Rosululloh SAW juga menyebutkan keutamaan orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu. Cukup bagi kita sebuah hadits dari Imam Atrirmidzi berikut ini menjadi
gambarannya:
( )
kelebihan orang yang berilmu dari orang yang beribadah (tanpa ilmu) itu seperti
kelebihan saya dari orang yang paling rendah dari para sahabatku. (HR.Attirmidzi)
Ilmu itu laksana manusia. Dia membutuhkan cinta orang yang menuntut ilmu. Orang
yang mencintai selalu berharap bertemu dengan yang dicintai. Setiap saat selalu ingin
bersama yang dicintainya. Demikian pula orang yang mengaku mencintai ilmu maka tidak
pernah jemu atau jenuh untuk mengulangi ilmu yang di dapat dan terus berusaha untuk
mendapaykan ilmu dalam keadaan apapun. Dalam ayat Al Quran yang pertama kali
diturunkan lafadz iqro diulang ulang oleh malaikat Jibril, sampai Nabi SAW ketakutan.
Proses belajar memerlukan usaha yang keras untuk memahami sesuatu ilmu melalui
pendengaran, penglihatan, pengamatan, penulisan, perenungan dan bacaan. Semua proses
tersebut harus diulang-ulang agar ilmu juga cinta terhadap kita.
B. SURAT YUSUF AYAT 76



Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung
saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya.
Demikianlah

kami

atur

untuk

(mencapai

maksud)

Yusuf.

tiadalah

patut

Yusuf

menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya.


kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.

Sayyid Quthb berkata ketika beliau menafsirkan ayat 76 surat Yusuf, Sesungguhnya
nash ayat ini memberi batasan yang sangat mendetail tentang makna diin, bahwa kalimat
dinul malik dalam ayat ini berarti peraturan dan syariat malik (raja). Lalu lanjutnya, AlQuran mengungkapkan bahwa peraturan dan syariat adalah diin, maka barang siapa yang
5

berada pada peraturan dan syariat Allah berarti ia berada dalam diin Allah. Sebaliknya,
barang siapa yang berada pada peraturan seseorang dan undang-undang seorang raja berarti ia
berada dalam diin raja tersebuut (tafsir Fi Dzilalil Quran, juz 4, halaman 2021).
C. SURAT YUNUS AYAT 76


Dan tatkala Telah datang kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari
sisi kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".

Manusia memang telah dikarunia kemampuan dasar yang bersifat


jasmaniah dan rohaniah, agar dengannya manusia mampu mengarungi hidup
dengan sejahtera dan sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Allah
swt. Akan tetapi kemampuan dasar tersebut tidak akan banyak artinya apabila
tidak dikembangkan dan diarahkan melalui proses kependidikan. Dengan
demikian boleh dikatakan bahwa pendidikan merupakan kunci dari segala
keberhasilan hidup manusia.
Ayat diatas jika dikaitkan dengan pendidikan bahwa segala bentuk
kebenaran
adalah merupakan sebuah ilmu, dan ilmu bertujuan untuk
menegakkan kebenaran dan kebenaran itu sendiri pada dasarnya datangnya dari
Allah. Akan tetapi pada ayat diatas orang-orang kafir mengatakan bahwa
kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi adalah suatu sihir yang nyata, biarpun
sebenarnya dalam hati mereka mengatakan bahwa itu adalah kebenaran dari
Allah SWT.

D. SURAT AL-BAQARAH Ayat 201


Dan di antara mereka ada yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka.

Pada ayat ini ada jenis manusia yang kedua matanya melek. Melek dunia, melek
akhirat. Bahkan tak hanya melek di kedua sisi kehidupan itu, mereka bahkan melihat adanya
6

similaritas dan singgularitas dari keduanya: ( fd-dunya hasanatan


wa fl-khirati hasanatan, di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan). Kesamaan dan
kesatuannya terletak pada kata ( hasanatan, kebaikan). Artinya, pemilik golongan ini
faham bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua wilayah yang posisinya paralel, biner, dan
terpisah secara dikotomi. Melainkan bersifat kontinyu dan linear; dunia adalah awalnya dan
akhirat adalah kelanjutannya. Tidak ada dunia kalau tidak ada akhirat. Dunia adalah lahan
sebab, tempat bercocok tanam; akhirat adalah lahan akibatnya, tempat menuai dan menikmati
hasil. Kalau di akhirat ingin memanen buah-buah ( hasanatan, kebaikan) maka di dunia
pun harus menanam pohon-pohon ( hasanatan, kebaikan). Tidak akan ada
(hasanatan, kebaikan) di akhirat jikalau tidak mengusahakan ( hasanatan, kebaikan) di
dunia. Dalam istilah Alquran, dunia ini adalah masa ujian, sedangkan akhirat adalah masa
mengetahui dan menikmati hasil ujian tersebut. Apakah kalian mengira bahwa kalian akan
dibiarkan (begitu saja masuk surga), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan)
orang-orang yang berjihad di antara kalian dan tidak mengambil menjadi teman yang setia
selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman? Dan (ketahuilah bahwa) Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (9:16)
Pertanyaannya, kalau mengusahakan ( hasanatan, kebaikan) di dunia akan
mendatangkan ( hasanatan, kebaikan) di akhirat, lalu kenapa dalam ayat ini disebutkan
lagi klausa ( wa fl-khirati hasanatan, dan di akhirat kebaikan)? Kenapa
tidak cukup ( fd-dunya hasanatan, di dunia kebaikan) saja? Toh akhirat
hanyalah konsekuensi logis saja? Jawabannya, satu, kalau ditiadakan penggalan
( wa fl-khirati hasanatan, dan di akhirat kebaikan) berarti kembali sama dengan
golongan pertama, yang sudah dibahas sifat negatifnya itu. Dua, karena walaupun kedua
alam itu berkelanjutan bagai garis lurus, tetapi apa yang ditanam di dunia tidaklah secara
otomatis akan tertuai di akhirat. Eksistensi alam akhiratbagi manusiamemang akibat
logis dari eksistensi alam dunia, tetapi nilai-nya tidak. Hubungan keniscayaan di antara
keduanya masih membutuhkan faktor lain yang namanya niat. Sementara niat tidak bisa
muncul dengan sendirinya, karena hakikat niat adalah ungkapan hati yang menyangkut
tujuan yang jatuhnya di masa depan. Bicara soal masa depan berarti bicara soal iman.
Bicara soal iman berarti bicara soal ilmu. Di sinilah pentingnya informasi tentang alam
akhirat. Masalahnya, karena tidak empirikkalau empirik berarti bukan kontinyuasi dari
alam dunia sebab yang empirik selalu harus semasa dengan pengamatnyalantas siapa yang
bisa memberikan informasi paling lengkap dan paling rinci tentang akhiratyang
7

keberadaannya melampaui alam dunia yang tiga dimensi ini? Kemungkinannya hanya satu:
manusia yang sengaja dikirim oleh Sang Pemiliki seluruh alam, termasuk alam akhirat. Di
sinilah kenabian menemukan keniscayaannya. Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi
penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi
mereka karunia yang besar dari Allah. (33:45-47)

Kata ( hasanah, kebaikan) ini adalah bentuk tunggal, muncul 28 kali dalam
Alquran. Sedangkan bentuk jamaknya ( hasant) muncul 3 kali (7:168, 11:114, dan
25:70). Dari sejumlah ayat itu, dapat disimpulkan bahwa dalam kata ( hasanah)
terkandung beberapa poin penting. Diantaranya, setiap perbuatan baik atau perbuatan buruk
berlaku padanya hukum imbal balik bagi jiwa pelakunya. Sehingga semakin banyak
perbuatan ( hasanah, kebaikan) yang seseorang lakukan, akan semakin mempersubur
jiwa orang tersebut, serta memperluas akses untuk melakukan perbuatan baik berikutnya.
Kendati sudah ada ungkapan yang tegas ( fd-dunya
hasanatan wa fl-khirati hasanatan, di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan), tetapi
seseorang yang memohon dengan doa ini tidak lantas terbebas dari azab api neraka. Untuk itu
masih perlu ditambah dengan permohonan baru yang lebih tegas lagi: ( wa qin
adzban-nr, dan peliharalah kami dari azab neraka). Kenapa? Karena urusan neraka
menyangkut dua hal. Satu, nilai dari amal. Dua, syafaat.

E. SURAT AL-BAQARAH Ayat 202



Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Kata tunjuk ( lika, mereka) di awal ayat ini kembali ke ayat 200 (manusia
golongan pertama) dan ayat 201 (manusia golongan kedua). Yaitu bahwa mereka yang
beribadah semata dengan tujuan dunia (golongan pertama) dan mereka yang beribadah
dengan tujuan dunia dan akhirat (golongan kedua), kelak Allah akan memberikan masingmasing kepadanya imbalan sesuai dengan apa yang mereka usahakan. Adalah tidak adil
menurut Allah dan akal sehat manakala seseorang diberikan apa yang tidak menjadi
tujuannya. Yang namanya tujuan adalah puncak yang hendak dicapai, sehingga tidak
mungkin seseorang akan mencapai lebih dari apa yang menjadi tujuannya, sebagaimana tidak
mungkinnya seseorang mendaki melampaui puncak.
Di ayat ini kita berkenalan dengan terminologi yang sudah sangat sering dipakai
dalam percakapan sehari-hari:
( nashbun, nasib). Kata ini, beserta penambahan kata
ganti yang menyertainya, muncul sebanyak 21 kali. Ada yang kemunculannya berkaitan
dengan warisan (sebanyak 3 kali di 4:7 dan sekali di 4:33). Ada yang berkaitan dengan
penganut agama-agama samawi lainnya (sebanyak 6 kali: 3:23, 4:44, 4:51, 4:53, dan 7:37).
Ada yang berkaitan dengan penyembahan terhadap berhala-berhala (sebanyak 3 kali: 4:118,
6:136 dan 16:56). Ada yang berbicara tentang orang-orang munafik (sebanyak 1 kali: 4:141).
Dan selebihnya adalah berkenaan dengan konsep umum dari kata
( nashbun, nasib) itu.
Tetapi apapun yang dibicarakannya, semuanya mengacu kepada satu hal: Manusia akan
mendapatkan sesuai atau setara dengan apa yang telah diusahakannya. Yaitu bahwa

(nashbun, nasib) adalah akibat dari suatu sebab yang disebut ( iktisb, usaha). Nasib
bukanlah akibat yang jatuh begitu saja dari langit, sehingga tidaklah benar manakala
seseorang menyebut nasib-nya lantas menunjuk ke langit.
Maka kalau ada orang yang berhasil dalam hidupnya, tidak ada alasan untuk iri hati
kepadanya. Baik itu kebaikan ( hasanah, kebaikan); baik itu keburukan ( sayyiah,
keburukan). Karena Allah telah menguncinya dengan sebuah pernyataaan tegas:

( lahum nashbun mimm kasab, bagi mereka apa yang mereka telah usahakan).
Kalau ingin seperti mereka, hanya ada satu jalan ke arah itu: berusaha dengan tekun seperti
ketekunan usaha mereka, bekerja maksimal seperti kerja maksimal mereka, berpikir keras
seperti mereka berpikir keras. Kalau ingin menghilangkan kejahatan, bekerjalah melebih
kerja keras para pelaku kejahatan. Berkreasilah melahirkan kultur spiritualisme melebihi
kreativitas mereka dalam mempromosikan kultur hedonisme. Beribadahlah kepada Allah
9

dengan khusyuk melebihi ke-khusyuk-an mereka menyembah benda-benda. Pada saat lahir,
Allah memberikan modal yang sama kepada semua manusia, tanpa melihat latar belakang
orang tua dan masyarakatnya. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa,
selain tubuh dan akal pikiran. Tanpa benda-benda, tanpa budaya-budaya. Semua manusia
lahir di bumi yang sama, yang kepadanya diberikan hak yang sama terhadap daratan, lautan,
dan udara.
Semua itu adalah hukum; yakni ketetapan-ketetapan dan ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh Allah. Dan hukum membuat semuanya bisa dikalkulasi: ( wallhu
sarul-hisb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya). Andai kata manusia mampu
menjangkau semua variabel yang berpengaruh pada terwujudnya suatu peristiwa, niscaya
manusia akan mampu mengetahui dengan presisi yang tepat apa, kapan, dan bagaimana kelak
wujud peristiwa atau nasib yang akan menimpanya. Sayangnya, manusia diciptakan dengan
segudang keterbatasan. Untuk yang empirik saja, masih berjuta rahasia alam terbentang di
hadapan panca inderanya. Bagaimana pula dengan yang meta natural dan meta rasional.
Tetapi bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Karena semuanya terjadi di dalam pikiranNya. Di dalam ilmu-Nya. Di dalam wilayah kekuasaan-Nya. Kata (sar, sangat cepat), bagi
Allah, bukanlah dalam maknanya yang berwaktu, seperti bayangan manusia. Melainkan
dalam maknanya yang majasi, agar manusia dapat memahami perbuatan-Nya. Dalam
menghitung, Dia tidak butuh ruang dan waktu. Juga tidak butuh variabel-variabel. Tidak
butuh formula-formula dan rumus-rumus. Tidak butuh perhitungan-perhitungan. Tidak butuh
angka-angka dan kata-kata. Semua kebinekaan yang terhampar di halaman indera dan nalar
manusia terjadi dalam ketunggalan Wujud dan Zat-Nya. Sehingga, bahkan, jauh sebelum
peristiwa itu terjadi, pun Dia sudah mengetahuinya. Sebab rasio manusiayang digunakan
untuk memilih dan menghitung langkah-langkah pewujudan suatu peristiwapun berada di
dalam pikiran-Nya. Ketika Allah menutup ayat ini dengan ungkapan ( wallhu
sarul-hisb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya), yang Dia kehendaki ialah agar
manusia mengerti bahwasanya perbuatan manusia dan perbuatan-Nya tidak ada jarak. Tidak
ada jarak waktu. Tidak ada jarak ruang. Karena ruang dan waktu adalah juga perbuatanNya.

10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tujuan pendidikan yang telah diuraikan
di atas, Dapat kita ketahui bahwasanya Pendidikan merupakan usaha
manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah ditegaskan
dalam

Al-Quran.

Dan

pendidikan

itu

sendiri

membantu

proses

transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan. Agar


kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan
dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas dengan
tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan
seperti halnya akhlaqul karimah. Dalam proses penentuan tujuan
pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti
agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu perlu

11

dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral dan akhlaq


sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.
B. Saran
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk
mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap dasar dan tujuan
pendidikan secara mendalam yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wahab,

Rochmad.

2011.

Memahami

Pendidikan

dan

Ilmu

Pendidikan. Yogyakarta : CV Aswaja Pressindo


2. Al Maraghi, Ahmad Musthofa.Tafsir Al Maraghi.2006. Libanon.Daarul Kutub
Ilmiyah
3. Departemen Agama RI. Al Quran dan terjemahnya juz 1-30. 1997. Surabaya.
CV.Pustaka Agung Harapan
4. Muhammad, Abu Bakar,Drs. Hadits Tarbiyah. 2006. Surabaya. Al Ikhlas

12

5. Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawir Arab Indonesia. Cet. Ke-25. 2002.
Surabaya. Pustaka Progresif
6. Syakir, Assyaikh Ahmad. Umdat Attafsir.2008.Edisi ke-9. Mesir. Daarul Wafaa

13

Anda mungkin juga menyukai