Anda di halaman 1dari 31

KAJIAN TEORI

PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian

AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang


disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000).

AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi
infeksi HIV ditandai dengan tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang
ringan sampai manivestasi yang menunjukkan kelainan sistem imun yang berat
(Smeltzer, 2001).

Gambar 1. HIV

2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang merupakan
agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya
afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Ada berbagai strain HIV. HIV 2 merupakan yang prevalen di Afrika, sedangkan
strain HIV 1 dominan di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya. Transmisi
horizontal HIV terjadi melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral
dengan darah atau cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal
(vertikal) terjadi ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada
bayinya. Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara

orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus tersebut
(Corwin, 2000).
3. Epidemiologi / insiden kasus
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali,
akan tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Hal ini dapat
dilihat pada tes penapisan darah donor yang positif HIV meningkat dari 3 per 100.000
kantong pada tahun 1994 menjadi 4 per 100.000 kantong pada tahun 1998,kemudian
menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan lima kali lebih tinggi
terjadi dalam waktu 6 tahun, yaitu pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran
epidemik secara nyata melalui pekerja seks, seperti data dari Tanjung Balai Karimun
Riau menunjukkan pada tahun 1995 hanya ditemukan 1% pekerja seks yang HIV
positif, akan tetapi pada tahun 2000 angka itu meningkat menjadi 8,38%. Prevalensi
HIV di Merauke pada pekerja seks sangat tinggi, yaitu 26,5%, sedangkan di Jawa
Barat 5,5% dan di DKI Jakarta 3,36%. Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru
penyebaran HIV/AIDS, yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada para pengguna narkoba
suntik (IDU/Injecting Drug User). Penularan pada kelompok IDU terjadi secara cepat
karena penggunaan jarum suntik bersama. Sebagai contoh pada tahun 1999 hanya
18% IDU yang dirawat di RSKO Jakarta terinfeksi HIV, akan tetapi tahun 2000 angka
tersebut meningkat dengan cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.
Hampir semua propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV dan fakta baru
pada tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV telah meluas ke rumah
tangga. Berdasarkan laporan Eksekutif Menkes RI tentang ancaman HIV/AIDS di
Indonesia (KPA Nasional 2002 ) dinyatakan bahwa pada tahun 2002 jumlah orang
rawan tertular HIV di Indonesia diperkirakan 13 juta sampai 20 juta orang dan jumlah
orang dengan HIV /AIDS diperkirakan antara 90.000-130.000 orang. Pada dasarnya
pemahaman tentang epidemik HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti secara lebih
mendalam melalui hasil pengamatan maupun surveilans HIV/AIDS yang dilakukan
pada kelompok penduduk dengan risiko tertular, seperti pada pekerja seks, pengguna
IDU, narapidana, donor darah, ibu hamil dan sebagainya.
4. Patofisiologi
HIV sebagai retrovirus membawa materi genetik dalam asam ribonukleat
(RNA), dimana virion HIV (partikel virus yang lengkap dibungkus oleh selubung

pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dan p24
merupakan komponen struktural yang utama. Tombol yang menonjol lewat dinding
virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara
selektif berikatan dengan sel-sel CD4+ adalah gp120 dari HIV. Sel-sel CD4+
mencakup monosit, makrofag, dan limfosit T4 helper (sel yang paling banyak). Virus
masuk ke dalam sel limposit (T4 helper) dan mengikat membran sel T4 helper (sel T4
penolong) kemudian menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel
T4 helper. Dengan enzim reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double standed DNA
dan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai provirus kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Virus akan berkembang biak di dalam sel dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang
baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya dengan
menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4 yang
terdapat di selaput bagian luar. Selsel yang memiliki reseptor CD4 disebut sel CD4+
atau limposit T penolong yang berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya
pada sistem kekebalan (limposit B, makrofag, limposit T sitotoksik) yang semuanya
membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong sehingga terjadi kelemahan
sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker, dimana infeksi
pada sel helper T4 mengakibatkan limfofenia berlebihan dengan penurunan fungsi
termasuk penurunan respon terhadap antigen dan kehilangan stimulus untuk aktivasi
sel T dan B. Selain itu, aktivitas sitotoksik sel pembunuh T8 juga rusak dan
kemampuan fungsi makrofag terganggu dengan penurunan fagositosis dan hilangnya
kemoktasis dan pada imunitas humoral terjadi penurunan respon antibodi terhadap
antigen dimana antibodi serum meningkat tetapi kemampuan fungsinya menurun
sehingga rentan terhadap infeksi oportunistik.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3
tahap selama beberapa bulan atau tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah.
Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya menurun sebanyak
40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.

b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+
yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko tinggi menderita
AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+ biasanya
menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka penderita
menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang menyebabkan virus
berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana terjadi infeksi oportunistik
yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat menyerang berbagai sistem organ,
seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi
peradangan dan terjadi peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah
bersihan jalan nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan
nyeri. Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal
terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare, kekurangan
volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi
penurunan fungsi transmitter sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di
kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan integritas
kulit.
Pathway terlampir
5. Klasifikasi
A. CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV berdasarkan
hitung limfosit CD4 dan kondisi klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS yang diperluas
bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD 4

Kategori Klinis
A

Total
500 /ml
200-499
< 200

%
29%
14-28%
< 14 %

(Asimtomatik)
A.1
A.2
A.3

B
(Simtomatik, bukan
kondisi A atau C)
B.1
B.2
B.3

(1) Berdasarkan hitung limfosit CD4+:


Kategori 1 : lebih besar atau sama dengan 500 cells/ul
Kategori 2 : 200-499 cells/ul
Kategori 3 : < 200 cells/ul

C
(Indikator AIDS)
C.1
C.2
C.3

(2) Berdasarkan kondisi klinis :


(a) Kategori klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan pada dewasa/remaja dengan infeksi HIV
yang sudah dipastikan tanpa keadaan dalam kategori B dan C, yaitu:
-

Infeksi HIV yang asimptomatik.

Limpadenopati generalisata yang persisten

Infeksi HIV yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai.

(b) Kategori klinis B


Keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
-

Angiomatosis baksilaris

Kandidiasis orofaring/vulvaginal

Displasia servik

Gejala konstitusional, seperti panas (38,5C) atau diare lebih dari 1


bulan

Herpes zoster

Leukoplakia oral yang berambut

Idiopatik trombositopeni purpura

Listeriosis

Penyakit inflamasi pelvic khususnya jika disertai komplikasi abses


tuboovarii

Neuropati peripir

(c) Kategori klinis C


Keadaan dalam kategori C mencakup ;
-

Kandidiasi bronkus, trakea/paru-paru, esophagus

Kanker servik inpasif

Koksidiodomikosis ektrapulmoner/diseminata

Kriptokokosis ekstrapulmoner

Kriptosporidosis internal kronis

Penyakit cytomegalovirus (bukan hati, lien, kelenjar limpe)

Retinitis cytomegalovirus

Encepalopati yang berhubungan dengan HIV

Herves simpleks, ulkus kronis (durasi lebih dari 1 bulan)

Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner

Isosporiasis intestinal yang kronis

Sarkoma Kaposi

Limfoma Burkitt

Kompleks mycobacterium avium atau M. kansasil yang diseminata atau


ekstrapulmoner

Mycobakterium spesies lain atau spesies yang tidak dikenali, diseminata


atau ekstrapulmoner

Pneumonia pneumocytis carnii

Pneumonia rekuren

Leukoensefalopati multifokal progresif

Septikemia salmonella yang rekuren

Toksoplasmosis otak

Sindrom pelisutan akibat HIV

(Smeltzer, 2001)
Sejak 1 Januari 1993 orangorang dengan keadaan yang merupakan indikator C,
B3, A3 dianggap menderita penyakit AIDS.
B. WHO mengklasifikasikan infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi HIV Berdasarkan stadium
STADIUM
I
II

GAMBARAN KLINIS
1.Asimtomatik

SKALA AKTIFITAS
Asimtomatik
aktivitas

2.Limpadenopati generalisata
1.BB menurun < 10%

normal
Simptomatik

2.Kelainan kulit dan mukosa yang ringan, seperti:

normal.

aktivitas

dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus


oral rekuren, kheilitis angularis
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.
4. Infeksi saluran nafas bagian atas, seperti sinusitis
III

bakterialis.
1.BB menurun > 10%

Pada

2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

aktivitas di tempat tidur

3.Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.

kurang dari 50 %.

umumnya

lemah,

4.Kandidiasis orofaringeal.
5.Oral hairy leukoplakia
6.TB paru dalam tahun terakhir.
7.Infeksi bakterial yang berat, seperti pneumonia,
IV

piomiositis.
1.HIV wasting syndrome, seperti yang didefinikan
oleh CDC.

Pada umumnya sangat


lemah, aktifitas ditempat

2.PCP (Pnemonia Pneumocytis Carnii)

tidur lebih dari 50%

3.Toksoplasmosis otak
4.Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
5.Kriptokokus ekstra pulmonal.
6.Retinitis virus sitomegalo.
7.Herper simpleks mukokutan > 1 bulan.
8.Leukoensefalopati multi fokal progresif .
9.Mikosis diseminata, seperti histoplasmosis.
10.Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan
paru.
11.Mikobakteriosis atipikal diseminata.
12.Septisemia salmonelosis non tifoid.
13.Tuberkulosis ekstrapulmoner.
14.Limfoma.
15.Sarkoma kaposi
16.Ensefalopati HIV.

6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit AIDS pada dasarnya mengenai setiap sistem organ.
Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV atau penyakit AIDS adalah akibat terjadi
infeksi, malignansi atau akibat dari efek langsung HIV itu sendiri. Berikut adalah
manivestasi klinis dari penyakit AIDS:
a. Sistem respiratori
Gejala yang timbul seperti, napas pendek, sesak napas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, dan demam yang disebabkan infeksi yang terjadi pada paru-paru.

Gambar 2. TBC

b. Sistem Gastrointestinal
Gejala yang timbul seperti hilanya selera makan, mual, muntah, adanya
kandidiasis oral yang dapat menyebar pada esophagus dan lambung, diare

kronis, penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan sebelumnya,
hilangnya massa otot, kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.

Gambar 3. Pasien dengan penurunan berat badan

c. Kanker
Penderita AIDS mengalami insiden lebih tinggi terhadap kanker daripada
orang normal karena stimulasi HIV terhadap sel kanker dan defisiensi sistem
kekebalan sehingga substansi penyebab kanker seperti virus lebih mudah
menyerang tubuh. Gejala klinisnya seperti lesi pada kulit, pada wanita terdapat
perdarahan yang terus menerus pada vagina, keluar cairan yang berbau busuk
dan rasa gatal dan panas pada daerah vagina.

Gambar 4. Ca Servix

d. Sistem neurologi
Komplikasi neurologik meliputi fungsi saraf sentral, perifer dan autonum
dimana gangguan ini dapat terjadi akibat efek langsung HIV pada jaringan
saraf, IO, neoplasma primer atau metastatik, perubahan serebrovaskuler,

ensefalopati metabolik atau komplikasi sekunder karena terapi kompleks,


seperti:

Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS) berupa sindrom klinis yang


ditandai penurunan progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik.
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
konsentrasi, konfusi progesif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksi.
Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan afektif, seperti pandangan yang kosong,
hiperrefleksi paraparesis spatik, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia,
serangan kejang, mutisme.

Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur Cryptococcus neoform


dengan gejala demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, vomitus,
perubahan status mental, dan kejang.

Leukoensefalopati multifokal progresiva (PML) merupakan kelainan


sistem saraf

pusat dengan demielinisasi yang disebabkan virus J.C

manifestasi klinis dimulai dengan konfusi mental dan mengalami


perkembangan cepat yang pada akhirnya

mencakup gejala kebutaan,

afasia, paresis .

Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif yang mengenai


kolumna lateralis dan posterior medulla spinalis sehingga terjadi
paraparesis spastik progresiva,ataksia serta inkontinensia.

Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan


kelainan demielisasi dengan disertai rasa nyeri serta matirasa pada
ekstrimitas, kelemahan, penurunan reflkes tendon yang dalam, hipotensi
ortostatik.

Gambar 5. Hipotensi Ortostatik

e. Sistem integument
Gejala klinisnya timbul vesikel pada kulit akibat infeksi Herpes Zoster atau
hesper simpleks, terdapat ruam, kulit bersisik, kulit kering, mengelupas.
(Smeltzer, 2001).

Gambar 6. Lesi pada kulit

Selain itu, terdapat pula gejala HIV sesuai dengan fase-fase infeksi:
Tabel 3. Gejala HIV sesuai dengan fase-fase infeksi
Fase
1. .Periode
jendela
2. Infeksi

Lamanya
fase
4mg-6bln

Antibodi yang

Dapat

Gejala-gejala

terdeteksi
Tidak

Tidak ada

ditularkan
Ya

infeksi
1-2 minggu

Kemungkinan

Sakit seperti flu

Ya

1-15 tahun

Ya

Tidak ada

Ya

Ya

Demam, keringat malam hari,

Ya

setelah

HIV
primer
akut
3. Infeksi
asimtomati
k
4. Supresi
imun

atau lebih
Sampai

tahun

penurunan BB, diare, neuropati,

simtomatik

keletihan,
limpadenopati,

ruam

kulit,
perlambatan

kognitif, lesi oral


5. AIDS

Bervariasi
1-5

tahun

dari
penentuan
kondisi
AIDS

Ya

Infeksi

oportunistik berat dan

tumor tumor pada setiap sistem


tubuh,manifestasi neurologik

Ya

7. Penularan
HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang mengandung partikel virus,
yang ditularkan melalui cara:
a. Hubungan sex dengan penderita HIV (+)
b. Tranfusi darah yang terkontaminasi
c. Penggunaan jarum suntik bersama pada IDU
d. Ibu hamil yang HIV (+) ke bayi yang dikandung
e. Memberi ASI dari ibu yang HIV (+) ke bayi
8. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bias menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan
PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20%
dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Waktu dan risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Waktu
Risiko
Selama hamil
5 10%
Bersalin
10 20%
Menyusui (ASI)
5 20%
risiko penularan keseluruhan
20 50%
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ArT) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:117582). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.

9. Faktor yang Berperan dalam Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah
virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan
HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV
rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000
kopi/ml.
Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus
dan risiko penularan HIV ke bayi.
Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.
2. Faktor Bayi
Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV
karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.

3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah:
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui
bedah sesar (seksio sesaria).
Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan
HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
10. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dimana pada
pasien AIDS diterapkan universal precaution. Pemeriksaan fisik lengkap harus
dilakukan termasuk:
Keadaan umum : kurus, sakit akut/kronis,lemah

Pemeriksaan funduskop, terutama pada pasien dengan penyakit HIV lanjut


(mis. CD4 <100) sebagai skrining untuk retinitis CMV.

Pemeriksaan mulut untuk mencari kandidiasis, oral hairy leukoplakia, penyakit


gusi.

Kelenjar getah bening: limfadenopati generalisata, kelenjar yang asimetris (kirikanan tidak sama) atau yang cepat membesar dapat menunjukkan infeksi atau
kanker yang mendasari

Pemeriksaan kelamin dan dubur untuk mencari luka dalam atau luar misalnya
herpes atau kondilomata

Pemeriksaan neurologis termasuk penilaian fungsi saraf perifer.

Pemeriksaan kulit untuk mencari lesi kulit terkait HIV yang bermakna, termasuk
dermatitis seborea, psoriasis, folikulitis, sarkoma kaposi, kutil umum, dan
moluskum kontagiosum.

Palpasi abdomen untuk mencari organomegali.

Auskultasi: untuk mencari rhonci/wheezing, suara jantung, peristaltik usus

Perkusi untuk mendeteksi adanya gas, cairan atau massa dimana bunyi dapat
timpani (normal), pekak, redup

11. Pemeriksaan diagnostic / penunjang :


a. Pemeriksaan laboratorium:
(1) Tes yang digunakan untuk mendiagnosis HIV dan melihat perkembangan
penyakit serta responnya terhadap terapi HIV, yaitu:
(a) Tes antibodi HIV :
Tes ELISA ( Enzym Linked Immunosorbent Assay )
ELISA tidak menegakkan diagnosis AIDS tapi menunjukkan bahwa
seseorang terinfeksi HIV.
Western Blot Assay
Mengenali antibody HIV dan memastikan seropositiftas HIV.
RIPA ( Radio Immuno Precipitation Assay )
Mendeteksi protein dari anti bodi
Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositif.
(b) Pelacakan HIV: antigen p24, reaksi rantai polimerasi (PCR), kultur sel
mononuclear darah perifer untuk HIV-1, kultur sel kualitatif, kultur plasma
kuantitatif, mikroglobulin B2, neopterin serum.
(c) Status Imun: sel-sel CD4+, % sel-sel CD4+, rasio CD4:CD8, hitung sel
darah putih, kadar immunoglobulin, tes fungsi sel CD4+, reaksi
sensitivitas pada tes kulit.
b. Pemeriksaan sitologis urine, feses, cairan spinal, sputum dan sekresi untuk
mengidentifikasi infeksi protizoa,jamur,bakteri,viral.
c. Pemeriksaan darah umum: DL, SGOT, SGPT, BUN/SC, Protein total, albumin,
globulin, kolestrol, AGD, elektrolit
d. Radiologi: Thorak foto ,USG

e. Pemeriksaan neurologist: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG


f. Biopsi
g. Bronkoskopi
12. Tes antibodi untuk diagnosis HIV pediatrik
Mendiagnosis infeksi HIV yang pasti pada bayi yang terpajan HIV dari ibu adalah
sulit karena keberadaan antibodi HIV dari ibu, yang secara pasif dipindah pada bayi
melalui plasenta. 13,14 Proses ini hanya melibatkan golongan antibodi imunoglobulin
G (IgG) dalam keadaan normal, menyediakan perlindungan pasif pada bayi terhadap
berbagai unsur infeksi selama masa 18 bulan tersebut. 15 Setelah antibodi dari ibu
hilang, antibodi terhadap unsur mikroba menunjukkan tanggapan kekebalan bayi.
13. Diagnostik
Diagnosis didasarkan pada riwayat klinis, identifikasi faktor risiko, pemeriksaan fisik,
bukti laboratorium yang menunjukkan disfungsi kekebalan, identifikasi antibodi HIV,
tandatanda serta gejala dan infeksi atau malignansi yang termasuk dalam sistem
klasifikasi CDC untuk infeksi HIV.
14. Pencegahan
Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan pada pendidikan masyarakat
mengenai cara penularan HIV dengan tujuan merubah kebiasaan orang-orang yang
berisiko tinggi tertular:
a. Untuk orang sehat
- Abstinens (tidak melakukan hubungan sex) dengan orang yang terinfeksi HIV
- Sex aman (terlindung)
b. Untuk penderita HIV (+)
- Abstinens
- Sex aman
- Tidak mendonorkan darah / organ
- Mencegah kehamilan
- Memberitahu mitra seksual
c. Untuk penyalahgunaan obat-obatan
- Menghentikan penggunaan jarum bersama sama
- Mengikuti program rehabilitasi

d. Untuk profesional kesehatan


Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap kontak dengan cairan tubuh/selalu
menerapkan UP.K
e. Untuk ibu hamil HIV (+)
Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti
Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian Kesehatan (2011). Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain
dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, juga untuk mengoptimalkan
kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.
15. Terapi/Tindakan Penanganan
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencakup
penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian
replikasi virus HIV lewat preparat antivirus dan penguatan serta pemulihan sistem
imun melalui penggunaan preparat imunomodulator dan perawatan suportif, seperti :
a.

Penggunaan obat-obatan untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV :


1) Infeksi umum: Trimetoprimsulfametoksazol (TMP-SMZ)
2) PCP: TMP-SMZ,Pentamidin, kombinasi trimetoprim oral
3) MAC: Rifabutin
4) Meningitis: amfoterisin B IV
5) Retinitis CMV: Foskarat
6) Kandidiasis: suspensi nistatin
7) Lesi esophagus: ketokonazol / flukonazol
8) Diare kronis: Sandostatin

b.

Pemberian suplemen nutrisi: advera

c.

Penanganan

keganasan

dengan

kemoterapi

ABV

(Adreamisin,

Bleomisin,Vinkristin)
d.

Terapi anti retrovirus:


1) Golongan NRTI ( Nucleussides Reverse Transcriptase Inhibitor )
Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA seperti: Zidovudin (ZDV),
Lamivudin (3TC), Stavudin (D4T), Didanosin.
2) Golongan NNRTI (Non-Nukleosida Reverse Transcriptase Inhibitor)

Obat ini bekerja menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA


seperti: Nevirapin, Foscavir.
3) Inhibitor protease merupakan obat yang menghambat kerja enzim
protease, seperti indinavir, nelfinavir, ritonavir, saquinavir.
e.

Terapi alternatif
Terapi alternatif dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
1) Terapi spiritual atau psikologis: terapi humor, hypnosis, faith healing,
afirmasi positif
2) Terapi nutrisi: diet, suplemen vit c.
3) Terapi obat dan biologik : ozon,oksigen
4) Terapi dengan tenaga fisik dan alat: akupuntur, akupresor, masase,
refleksologi, yoga, kristal.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Primary Survey:
AIRWAY
Pengkajian :
Pada pasien dengan penyakit HIV/AIDS ditemukan adanya gangguan di hampir semua
sistem organ akibat infeksi, salah satunya dari sistem respirasi. Kadang-kadang
ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan napas. Hal ini menyebabkan
penyumbatan jalan napas sehingga pada pasien HIV/AIDS memperlihatkan kondisi
pasien yang sesak karena kebutuhan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
BREATHING
Pengkajian :
Infeksi pada sistem respirasi (paru-paru) juga dapat menimbulkan sesak napas. Selain itu,
sumbatan jalan napas pasien akibat sputum juga menyebabkan bertambahnya usaha napas
pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh, hingga pada akhirnya juga
akan menimbulkan sesak napas.
CIRCULATION
Pengkajian :
Hal-hal yang diperoleh pada pasien HIV/AIDS diantaranya takikardi, pucat pada kulit dan
membrane mukosa (konjunctiva, mulut, faring, bibir), rambut kering, mudah putus,
menipis, perasaan dingin pada ekstremitas.
DISABILITY
Pengkajian :
Sakit/nyeri kepala, pusing, ketidak mampuan berkonsentrasi, kelemahan, dab keletihan
berat.
Secondary Survey:
1) Eksposure
Tidak ada jejas atau kontusio pada dada, punggung, dan abdomen. Kadang-kadang
ditemukan gangguan pada lapisan kulit yaitu timbul vesikel akibat infeksi Herpes
Zoster atau hesper simpleks, terdapat ruam, kulit bersisik, kulit kering, mengelupas.

2) Five intervention
Hipotensi, takikardia, dispnea, ortopnea, takipnea, demam, hemoglobin dan hemalokrit
menurun. Terutama dari hasil CD4 terus mengalami penurunan.
3) Give comfort
Kadang-kadang pasien mengalami nyeri kepala karena kompleksnya infeksi akibat
penurunan daya tahan tubuh pasien.
4)

Head to toe
Daerah kepala : konjunctiva pucat, membrane mukosa kering, ruam pada kulit wajah.
Daerah dada : tampak adanya penggunaan otot bantu napas akibat sesak napas.
Daerah abdomen : tidak adanya gangguan pada abdomen.
Daerah ekstremitas : penurunan kekuatan otot karena kelemahan, perasaan dingin pada
ekstremitas.

5) Inspect the posterior surface


Tidak ada jejas pada daerah punggung, tampak adanya ruam pada kulit.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus dalam jumlah
berlebihan, eksudat dalam alveoli, sekresi yang tertahan/ sisa sekresi, infeksi
akibat mycobaterium tuberculosis
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi.
c. PK Anemia
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
sekunder akibat diare.
e. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (reaksi antigen antibodi).
f. Keletihan berhubungan dengan anemia, status penyakit, malnutrisi, peningkatan
kelelahan fisik
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen ke jaringan.
h. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan untuk mencerna makanan,
ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien

i. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (lesi pada mulut, esophagus,
dan lambung)
j. Risiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis, pertahanan tubuh sekunder
yang tidak adekuat (mis.penurunan hemoglobin, leukopenia, supresi/penurunan
respon inflamasi), prosedur invasif, malnutrisi, kerusakan jaringan kulit
k. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis.
l. Risiko cedera berhubungan dengan malnutrisi, disfungsi sensorik
m. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan pergeseran pada status kesehatan
anggota keluarga
n. Asietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan, ancaman
kematian, penularan penyakit interpersonal, stres
o. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurangnya
pajanan informasi, kurang minat dalam belajar, kurang dapat mengingat
p. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit Hambatan interaksi
sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri akibat penyakit yang diderita
q. Distres spiritual berhubungan dengan ansietas, sakit kronis, kematian

3. INTERVENSI
Tabel 4. Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan HIV/AIDS
No
1

Perencanaan

Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil

Keperawatan
Ketidakefektifan

Setelah diberikan asuhan keperawatan

bersihan jalan napas

selama 1 x 24 jam diharapkan jalan

berhubungan

nafas pasien kembali efektif

dengan

Dengan kriteria hasil:

berlebihan,

Secara verbal tidak ada keluhan

dalam alveoli, sekresi


yang

tertahan/

sisa

2.

Suara napas normal (tidak ada


suara

mycobaterium

ronchi)

nafas

tambahan

Kaji

jumlah/kedalaman

1.

pernapasan dan pergerakan dada.

sesak

sekresi, infeksi akibat


tuberculosis

1.

Rasional
Melakukan evaluasi awal untuk melihat
kemajuan dari hasil intervensi yang telah
dilakukan.

mukus dalam jumlah


eksudat

Intervensi

seperti

Auskultasi daerah paru-paru, catat

2.

area menurun/tidak adanya aliran

yang konsolidasi dengan cairan. Suara napas

udara serta catat adanya suara napas

bronkial normal diatas bronkus dapat juga

tambahan seperti ronchi, crackles dan

crackles, ronkhi, dan wheezes terdengar

wheezing.

pada saat inspirasi dan atau ekspirasi sebagai


respon dari akumulasi cairan, sekresi kental,
dan spasme/obstruksi saluran napas.

Tidak ada penumpukan sputum


Batuk (-)

Penurunan aliran udara timbul pada area

3.

Elevasi

kepala,

sering

ubah

3.

posisi.

Frekuensi pernapasan dalam batas

Diafragma yang lebih rendah akan


membantu dalam meningkatkan ekspansi
dada,

normal sesuai usia (16-24x/mnt)

pengisian

udara,

mobilisasi

dan

pengeluaran sekret.
4.
4.

Bantu pasien dalam melakukan


latihan

napas

Napas

dalam

akan

memfasilitasi

pengembangan maksimum paru-paru/saluran

dalam.

udara kecil. Batuk merupakan mekanisme

Demonstrasikan/bantu pasien belajar

pembersihan diri normal, dibantu silia untuk

untuk batuk, misalnya menahan dada

memelihara

dan batuk efektif pada saat posisi

Menahan

tegak lurus.

mengurangi ketidaknyamanan dan posisi

kepatenan
dada

akan

saluran

udara.

membantu

untuk

tegak lurus akan memberikan tekanan lebih

besar untuk batuk.


5.

Menstimulasi batuk atau pembersihan


saluran napas secara mekanis pada pasien

5.

Lakukan suction atas indikasi.

yang

tidak

mampu

melakukannya

dikarenakan ketidakefektifan batuk atau


penurunan kesadaran.
6.

Cairan (terutama cairan hangat) akan


membantu memobilisasi dan mengeluarkan

6.

Berikan cairan + 2500 ml/hari

sekret.

(jika tidak ada kontraindikasi) dan air


hangat.
7.
Kolaborasi
7.

Kaji

Memfasilitasi pencairan dan pengeluaran


sekret. Portural drainage mungkin tidak

efek

pemberian

efektif pada pneumoni interstisial atau yang

nebulizer dan fisioterapi pernapasan

disebabkan oleh eksudat atau kerusakan dari

lainnya, misal incentive spirometer,

alveolar. Pengaturan tata laksana atau jadwal

dan

dari

postural

tindakan

dari

drainage.

selang

diantara

Lakukan
waktu

intake

oral

akan

mengurangi

kemungkinan muntah dan batuk.

makan dan batasi cairan jika cairan


sudah mencukupi.

8.

Membantu mengurangi bronkospasme


dengan mobilisasi dri sekret. Analgesik

8.

Berikan pengobatan atas indikasi:


mukolitik,

diberikan untuk meningkatkan usaha batuk

ekspoktoran,

dengan mengurangi rasa tidak nyaman,

bronkodilator, dan analgesik.

tetapi harus digunakan sesuai penyebabnya.


9.

Cairan

diberikan

untuk

mengganti

kehilangan (termasuk insesible/IWL) dan

9.

Berikan

cairan

suplemen

misalnya IV, humidifikasi oksigen,

membantu mobilisasi sekret.


10.

dan humidifikasi ruangan.


10.

Untuk dapat mengikuti kemajuan dan


efek dari proses penyakit serta memfasilitasi

Monitor serial chest X-ray, ABGs,


dan pulse oxymetri.

kebutuhan untuk perubahan terapi.


11.

Kadang-kadang

diperlukan

untuk

mengeluarkan sumbatan mukus, sekret yang


11.

Bantu

dengan

bronchoscopy/thoracentesis
2

Ketidakefektifan pola

Setelah diberikan askep selama 2 x 24

napas

jam diharapkan pola nafas kembali

berhubungan

dengan hiperventilasi.

1.

diindikasikan.
Kaji

purulen, dan atau mencegah atelektasis.

jika

jumlah/kedalaman

1.

pernapasan dan pergerakan dada.

kemajuan dari hasil intervensi yang telah

efektif
Dengan kriteria hasil:

Melakukan evaluasi awal untuk melihat


dilakukan.

2.

Pertahankan jalan nafas : posisi

2.

Pasien dengan trauma servikal bagian

Secara verbal tidak ada keluhan

kepala dalam posisi netral, tinggikan

atas dan gangguan muntah atau batuk akan

sesak

sedikit kepala tempat tidur, jika dapat

membutuhkan

Suara napas normal (vesikular)

ditoleransi pasien; gunakan tambahan

Frekuensi pernapasan dalam batas

atau beri jalan nafas buatan jika ada


indikasi.

normal sesuai usia (16-24x/mnt)

Irama nafas teratur.

3.

Aukultasi

suara

nafas.

Catat

3.

Letak trauma menentukan fungsi otot-

bagian-bagian paru yang bunyinya

otot interkostal, atau kemampuan untuk

menurun atau tidak ada atau adanya

nafas spontan.

suara

nafas

adventisius

(ronchi,

mengi, krekels)
4.

Ubah posisi atau balik secara

4.

Meningkatkan ventilasi semua bagian

teratur, hidrasi atau batasi posisi

paru, mobilisasi sekret, mengurangi risiko

telungkup jika diperlukan

komplikasi,

contoh

atelektasis

dan

pneumonia. Catatan : posisi telungkup


mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
dapat
Kolaborasi :
5.

menimbulkan

peningkatan

risiko

terjadinya gagal nafas.

AGD arteri atau nadi oxymetry

5.

Menyatakan keadaan ventilasi atau


oksigenasi.

Mengidentifikasi

masalah

pernafasan. Contoh : hiperventilasi (PaO2


rendah atau PaCO2 meningkat) atau adanya
komplikasi paru.
6.

Berikan oksigen dengan cara

6.

yang tepat seperti dengan kanul

lokasi

keadaan

insufisiensi

oksigen,

pernafasan dan banyaknya

fungsi otot

masker,

intubasi

dan

sebagainya.
3

PK Anemia

Setelah diberikan askep selama 2 x 24

1.

Metode yang akan dipilih tergantung dari

Kaji

trauma,

pernafasan yang sembuh setelah fase syok

adanya

tanda

tanda 1.

spinal.
Memberikan informasi tentang derajat/

jam diharapkan tidak terjadi tanda

kelemahan, mukosa bibir pucat dan

keadekuatan perfusi jaringan dan membantu

tanda anemis dengan kriteria hasil :

adanya

menentukan kebutuhan intervensi

sklera ikterik

Pasien

mengetakan

kelemahan

berkurang

2.

konjungvita

anemis

2.

Prioritaskan

jadwal

Pasien tidak tampak lemah

keperawatan

Mukosa bibir tampak lembab

istirahat.

Konjungtivas anemis -/-

dengan periode aktivitas

Sklera ikterik -/-

Hb dalam batas normal 13,5017,50 g/dL

3.

atau

untuk

Pilih

mencegah terjadinya kelemahan lebh lanjut

istirahat
3.

pemeriksaan

laboratorium (mis. Hb)


4.

dan

meningkatkan

periode

Lakukan

asuhan

Mempertahankan tingkat energi

Berikan tranfusi produk darah


sesuai indikasi (mis. PRC) dan awasi

Mengidentifikasi

defisiensi

dan

kebutuhan pengobatan/ respon terhadap terapi


4.

Meningkatkan
oksigen,

jumlah

memperbaiki

sel

pembawa

defisiensi

menurunkan risiko perdarahan

untuk

Kekurangan
cairan
dengan
cairan

Setelah diberikan askep selama 1 x 24

berhubungan

jam diharapkan kebutuhan volume

untuk setiap pergantian ( misal 1000 ml

cairan adekuat.

selama siang hari, 800 ml selama sore

Dengan kriteria hasil :

hari, 300 ml selama malam hari).

kehilangan
berlebih

sekunder akibat diare.

Masukan cairan minimal 2000 ml


(kecuali

bila

1.

ketat untuk komplikasi tranfusi


Rencanakan tujuan masukan cairan

volume

2.

merupakan

Jelaskan tentang alasan-alasan untuk


mempertahankan hidrasi yang adekuat

kontraindikasi)

dan metoda-metoda untuk mencapai

Membran mukosa lembab.

tujuan masukan cairan

Turgor kulit baik

Tanda-tanda vital stabil (RR= 16-

3.

24 x/mnt, TD= 110-120/ 60-80

Pantau masukan , pastikan sedikitnya


1500 ml cairan per oral setiap 24 jam.

4.

Pantau haluaran, pastikan sedikitnya

mmHg, S= 36,5-37,20C, N= 60-80

1000 - 1500 ml/24 jam. Pantau

x/mnt)

terhadap penurunan berat jenis urine

Haluaran

urine

adekuat

(0,5-

5.

1cc/kgBB/24 jam)

Timbang BB setiap hari dengan jenis


baju yang sama, pada waktu yang

1. Deteksi dini memungkinkan terapi pengganti


cairan segera untuk memperbaiki defisit

2. Informasi yang jelas akan meningkatkan


kerjasama klien untuk terapi

3. Catatan masukan membantu mendeteksi tanda


dini ketidak seimbangan cairan
4. Catatan haluaran membantu mendeteksi tanda
dini ketidak seimbangan cairan
5. Penimbangan BB harian yang tepat dapat
mendeteksi kehilanagan cairan

sama. Kehilangan berat badan 2 - 4 %


menunjukkan

dehidrasi

ringan.

Kehilangan berat badan 5 - 9 %


menunjukkan dehidrasi sedang
6.

Pertimbangkan

kehilangan

cairan

6. Haluaran dapat melebihi masukan, yang

tambahan yang berhubungan dengan

sebelumnya sudah tidak mencukupi untuk

muntah, diare, demam, drain

mengkompensasi kehilangan yang tak kasap


mata. Dehidrasi dapat meningkatkan laju
filtrasi glomerulus, membuat haluaran tak
adekuat untuk membersihkan sisa metabolisme

dengan baik dan mengarah pada peningkatan


BUN dan kadar elektrolit.
7.

Kolaborasi

dengan

dokter

untuk

7. Propulsi feses yang cepat melalui usus

pemeriksaan kadar elektrolit darah,

mengurangi

nitrogen ure darah, urine dan serum,

muntah

osmolalitas, kreatinin, hematokrit dan

elektrolit

absorpsi

juga

elektrolit.

menyebabkan

Muntahkehilangan

hemoglobin
8.
5

Hipertermia

Setelah

berhubungan

dengan

diberikan

tindakan

secara intravena.
1. Observasi tanda tanda vital terutama

keperawatan selama 3 x 24 jam

proses penyakit (reaksi

diharapkan hipertermi dapat teratasi.

antigen antibodi).

Kriteria Hasil :

Kolaborasi dengan pemberian cairan

8. Memungkinkan

terapi

penggantian

cairan

segera untuk memperbaiki defisit


1. Mengetahui kondisi umum

suhu tubuh
2. Berikan kompres hangat pada daerah

2. Bantu menurunkan panas

dahi dan ketiak

Suhu tubuh kembali normal antara 3. Ganti pakaian yang telah basah oleh 3. Sirkulasi berlangsung baik
keringat

36,5 37,20C

4. Anjurkan keluarga untuk memberikan

4. Dapat mencegah terjadinya dehidrasi

minum yang banyak, kurang lebih 1500


2000 cc
5. Kolaborasi
pemberian
6

Keletihan berhubungan

Setelah

dengan anemia, status

keperawatan selama 1 x 24 jam

penyakit,

diharapkan keletihan dapat teratasi

malnutrisi,

diberikan

peningkatan kelelahan

Dengan kriteria hasil:

fisik

Pasien

dapat

tindakan 1.

dengan
obat

dokter

dalam

penurun

panas

5. Dapat menurunkan suhu tubuh pasien

(antipiretik) seperti paracetamol.


Bantu pasien melakukan personal 1.
higiene

2.

Ajarkan

Menjaga kebersihan tubuh pasien agar


meminimalkan infeksi

keluarga

untuk 2.

Memandirikan keluarga pasien

melakukan personal higiene


melakukan 3.

Motivasi pasien untuk melakukan 3.


aktivitas sesuai kemampuan pasien.

Mendorong pasien untuk melatih tubuh


pasien

aktivitas dengan optimal

Perawat/keluarga

dapat

membantu pasien dalam melakukan


aktivitas dan pemenuhan ADL
7

Intoleransi

aktivitas

pasien
Setelah

diberikan

tindakan

1. Mengkaji

frekuensi

nadi

pasien,

1. Dilakukan agar perawat mengetahui tingkat

berhubungan

dengan

keperawatan selama 1 x 24 jam

peningkatan tekanan darah, ada atau

kelemahan pasien, serta bisa mengambil

kelemahan

umum,

diharapkan pasien dapat beraktivitas

tidaknya nyeri dada, kelelahan berat,

tindakan yang tepat untuk menangani masalah

secara normal.

keringat, kondisi pasien pusing atau

pasien

Dengan kriteria :

pingsan.

ketidakseimbangan
antara

suplai

dan

kebutuhan oksigen ke

jaringan.

Menunjukkan peningkatan yang


dapat

diukur

dalam

Tekanan

pasien

3. Untuk

secara bertahap

normal

menyeimbang-kan

kondisi

pasien

antara istirahat dan aktivitas

3. Membantu pasien melakukan aktivitas


darah

2. Untuk

serta perawatan diri

toleransi

aktivitas

2. Mengkaji kesiapan pasien beraktivitas

melatih

meningkatkan

jantung
konsumsi

secara

perlahan,

oksigen

saat

beraktivitas secara bertahap untuk mencegah

(110-120/ 60-80 mmHg)

peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung


4. Mengatur dan membatasi aktivitas

4. Untuk menjaga keseimbangan suplai dan

pasien
5. Tetap

kebutuhan
membantu

mobilisasi

dan

aktivitas pasien
8

dengan

teknik

penghematan energi
5. Untuk mencegah kelemahan pada otot dan

Setelah diberikan askep selama 2 x 24 1.

Kaji

nutrisi : kurang dari

jam

dapat

timbang berat badan. Catat derajat

luasnyamasalah dan pilihan intervensi yang

kebutuhan

mempertahankan status nutrisi adekuat

kekurangan berat badan dan tonus otot.

tepat

Pastikan pola diet biasa pasien yang 2.

Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/

disukai/ tidak disukai

kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan

berhubungan

tubuh
dengan

ketidakmampuan

pasien

dengan kriteria hasil :

Berat badan pasien mengalami

2.

mukosa

oral

dan 1.

tulang
Berguna

Ketidakseimbangan

diharapkan

integritas

oksigen

dalam

mendefinisikan

derajat/

menelan

makanan,

ketidakmampuan untuk
mencerna

peningkatan

makanan,

individu dapat memperbaiki masukan diet

Mukosa bibir lembab dan tidak 3.

Dorong pasien makan sedikit dan 3.

Memaksimalkan

pucat

sering dengan makanan tinggi protein

kelemahan yang tak perlu/ kebutuhan energy

dan karbohidrat

dari makan makanan yang banyak dan

ketidakmampuan untuk

Tonus otot meningkat

mengabsorpsi nutrien

Hasil pemeriksaan albumin dan


protein

dalam

batas

normal

nutrisi

tanpa

menurunkan iritasi gaster


4.

(Albumin 3,40 4,80 g/dL dan


5.

protein 6,40 8,30 d/dL )

masukan

6.

Pantau masukan/pengeluaran secara 4.

Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi

periodic

dan dukungan cairan

Dorong dan berikan periode istirahat 5.

Membantu menghemat energy khususnya bila

sering

kebutuhan metabolic meningkat saat demam

Kolaborasi pemeriksaan laboratorium 6.

Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan

(protein dan albumin)

menunjukkan

kebutuhan

intervensi/

perubahan program terapi


7.
9

Nyeri
berhubungan

akut
dengan

Setelah

diberikan

diharapkan

pada

berkurang

esophagus,
lambung)

dan

1.

keperawatan selama 1 x 24 jam

agen cedera fisik (lesi


mulut,

tindakan

nyeri yang dirasakan

Dengan kriteria

Menyatakan nyeri yang dirasakan


hilang
Skala nyeri < 7

Tanda-tanda vital dalam batas


normal ((RR= 16-24 x/mnt, TD=
110-120/ 60-80 mmHg, S= 36,537,20C, N= 60-80 x/mnt)

Berikan

suplemen

tambahan/ 7.

multivitamin
Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu,

1.

Memberikan nutrisi tambahan bagi tubuh


Untuk mengetahi tingkat nyeri

kualitas)
2.

Ajarkan tehnik relaksasi

3.

Kolaborasi pemberian analgesik

2. Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa


nyeri
3.

Dapat mengurangi rasa nyeri

10

Risiko

infeksi

Setelah

tindakan

1.

Monitor tanda-tanda infeksi baru.

1.

Untuk pengobatan dini

berhubungan

dengan

keperawatan selama 3 x 24 jam

2.

Gunakan teknik aseptik pada

2.

Mencegah pasien terpapar oleh kuman

penyakit

kronis,

diharapkan pasien akan bebas infeksi

setiap tindakan invasif. Cuci tangan

tubuh

oportunistik dan komplikasinya.

sebelum meberikan tindakan.

tidak

Dengan kriteria hasil :

pertahanan
sekunder

yang

adekuat
(mis.penurunan
hemoglobin,

leukopenia,

malnutrisi,

kerusakan

lingkungan yang patogen.

Hasil Lab tidak menunjukan

Tanda
normal,

jaringan kulit

pasien

baru

infeksi

oportunis,

normal(5-10 x 109/liter)

invasif,

Anjurkan
mencegah

kadar leukosit dalam batas

inflamasi),

prosedur

3.

Tidak ada tanda-tanda infeksi

adanya

supresi/penurunan
respon

diberikan

vital
(TD:

dalam

4.

terpapar

metoda

patogen yang diperoleh di rumah sakit.


3.

Mencegah bertambahnya infeksi

4.

Meyakinkan

terhadap

Kumpulkan spesimen untuk tes


lab sesuai indikasi.

5.

diagnosis

akurat

dan

darah

yang

pengobatan

Atur pemberian antiinfeksi sesuai


indikasi.

5.

Mempertahankan

kadar

terapeutik

batas

110-120/60-

80mmHg, RR: 16-24x/mnt, N:


60-80x/mnt, S: 36,5-37,20C)
11

integritas

Tidak ada luka atau eksudat


Setelah
diberikan
tindakan

berhubungan

keperawatan selama 1 x 24 jam

penurunan

diharapkan kerusakan integritas kulit

Kerusakan
kulit
dengan
imunologis.

berkurang

1. Kaji kulit setiap hari.

turgor, sirkulasi dan sensasi

penonjolan

untuk mencegah kerusakan kulit /


menigkatkan kesembuhan

pada status dapat dibandingkan dan melakukan

2. Secara teratur ubah posisi, ganti seprai


sesuai

Menunjukan tingkah laku / teknik

1. Menentukan garis dasar dimana perubahan


intervensi yang tepat.

Dengan kriteria hasil :


Lesi pada kulit berkurang

Catat warna

kebutuhan.Lindungi
tulang

dengan

bantal,

2. Mengurangi

stres

pada

titik

tekanan,

menigkatkan aliran darah ke jaringan dan


menigkatkan proses kesembuhan

bantalan siku / tumit.


3. Pertahankan seprei bersih , kering dan
tidak berkerut.

3. Friksi kulit disebabkan oleh kain yang


berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi

dan potensial terhadap infeksi.


4. Gunting kuku secara teratur

4. Kuku yang panjang / kasar meningkatkan


risiko kerusakan dermal

12

Risiko

cedera

Setelah

berhubungan

dengan

keperawatan selama 1 x 30 menit

disfungsi

diharapkan pasien tidak mengalami

malnutrisi,
sensorik.

cedera

diberikan

dalam

perawatan

tindakan

intensif.

Dengan kriteria:

5. Dorong untuk ambulansi / turun dari

5. Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat

tempat tidur jika memungkinkan.


1. Kaji pasien terhadap tanda-tanda

lama di tempat tidur


1. Untuk mempermudah dalam menentukan

trauma atau memar pada kulit.


2. Pertahankan

agar

tempat

intervensi selanjutnya.
tidur

terpasang dalam posisi rendah.

terjatuh dari tempt tidur.

3. Pasang bantalan pada pagar, papan

Pasien tidak mengalami tanda-

kepala,

papan

kaki,

tanda cedera.

mengalami agitasi.

jika

pasien

4. Jaga pasien dari risiko tinggi cidera


pada lokasi yang mudah terlihat.

2. Mencegah agar pasien tetap aman dan tidak


3. Untuk mencegah terjadinya decubitus dan
kontraktur otot pada pasien yang mengalami
agitasi.
4. Untuk mempermudah pemantauan pada pasien
dengan tidak sadar

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen P2M & Penyehatan Lingkungan Depkes R.I (2003) ,Pedoman Nasional
Perawatan,Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA,Jakarta,Depkes R.I
Direktorat
Bina Pelayanan Keperawatan Depkes ( 2006 ),Modul Pelatihan
Keperawatan ,Pencegahan& Dukungan Pada ODHA
Elizabeth.J.Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan RI.2011. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIVdari Ibu
ke Anak (PPIA), Jakarta
Nanda.2010.Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta:EGC
Smelzer & Bare. 2001. Buku Ajar: Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai