LP Hiv Aids
LP Hiv Aids
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi
infeksi HIV ditandai dengan tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang
ringan sampai manivestasi yang menunjukkan kelainan sistem imun yang berat
(Smeltzer, 2001).
Gambar 1. HIV
2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang merupakan
agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya
afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Ada berbagai strain HIV. HIV 2 merupakan yang prevalen di Afrika, sedangkan
strain HIV 1 dominan di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya. Transmisi
horizontal HIV terjadi melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral
dengan darah atau cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal
(vertikal) terjadi ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada
bayinya. Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus tersebut
(Corwin, 2000).
3. Epidemiologi / insiden kasus
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali,
akan tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Hal ini dapat
dilihat pada tes penapisan darah donor yang positif HIV meningkat dari 3 per 100.000
kantong pada tahun 1994 menjadi 4 per 100.000 kantong pada tahun 1998,kemudian
menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan lima kali lebih tinggi
terjadi dalam waktu 6 tahun, yaitu pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran
epidemik secara nyata melalui pekerja seks, seperti data dari Tanjung Balai Karimun
Riau menunjukkan pada tahun 1995 hanya ditemukan 1% pekerja seks yang HIV
positif, akan tetapi pada tahun 2000 angka itu meningkat menjadi 8,38%. Prevalensi
HIV di Merauke pada pekerja seks sangat tinggi, yaitu 26,5%, sedangkan di Jawa
Barat 5,5% dan di DKI Jakarta 3,36%. Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru
penyebaran HIV/AIDS, yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada para pengguna narkoba
suntik (IDU/Injecting Drug User). Penularan pada kelompok IDU terjadi secara cepat
karena penggunaan jarum suntik bersama. Sebagai contoh pada tahun 1999 hanya
18% IDU yang dirawat di RSKO Jakarta terinfeksi HIV, akan tetapi tahun 2000 angka
tersebut meningkat dengan cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.
Hampir semua propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV dan fakta baru
pada tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV telah meluas ke rumah
tangga. Berdasarkan laporan Eksekutif Menkes RI tentang ancaman HIV/AIDS di
Indonesia (KPA Nasional 2002 ) dinyatakan bahwa pada tahun 2002 jumlah orang
rawan tertular HIV di Indonesia diperkirakan 13 juta sampai 20 juta orang dan jumlah
orang dengan HIV /AIDS diperkirakan antara 90.000-130.000 orang. Pada dasarnya
pemahaman tentang epidemik HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti secara lebih
mendalam melalui hasil pengamatan maupun surveilans HIV/AIDS yang dilakukan
pada kelompok penduduk dengan risiko tertular, seperti pada pekerja seks, pengguna
IDU, narapidana, donor darah, ibu hamil dan sebagainya.
4. Patofisiologi
HIV sebagai retrovirus membawa materi genetik dalam asam ribonukleat
(RNA), dimana virion HIV (partikel virus yang lengkap dibungkus oleh selubung
pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dan p24
merupakan komponen struktural yang utama. Tombol yang menonjol lewat dinding
virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara
selektif berikatan dengan sel-sel CD4+ adalah gp120 dari HIV. Sel-sel CD4+
mencakup monosit, makrofag, dan limfosit T4 helper (sel yang paling banyak). Virus
masuk ke dalam sel limposit (T4 helper) dan mengikat membran sel T4 helper (sel T4
penolong) kemudian menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel
T4 helper. Dengan enzim reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double standed DNA
dan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai provirus kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Virus akan berkembang biak di dalam sel dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang
baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya dengan
menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4 yang
terdapat di selaput bagian luar. Selsel yang memiliki reseptor CD4 disebut sel CD4+
atau limposit T penolong yang berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya
pada sistem kekebalan (limposit B, makrofag, limposit T sitotoksik) yang semuanya
membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong sehingga terjadi kelemahan
sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker, dimana infeksi
pada sel helper T4 mengakibatkan limfofenia berlebihan dengan penurunan fungsi
termasuk penurunan respon terhadap antigen dan kehilangan stimulus untuk aktivasi
sel T dan B. Selain itu, aktivitas sitotoksik sel pembunuh T8 juga rusak dan
kemampuan fungsi makrofag terganggu dengan penurunan fagositosis dan hilangnya
kemoktasis dan pada imunitas humoral terjadi penurunan respon antibodi terhadap
antigen dimana antibodi serum meningkat tetapi kemampuan fungsinya menurun
sehingga rentan terhadap infeksi oportunistik.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3
tahap selama beberapa bulan atau tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah.
Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya menurun sebanyak
40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+
yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko tinggi menderita
AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+ biasanya
menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka penderita
menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang menyebabkan virus
berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana terjadi infeksi oportunistik
yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat menyerang berbagai sistem organ,
seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi
peradangan dan terjadi peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah
bersihan jalan nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan
nyeri. Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal
terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare, kekurangan
volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi
penurunan fungsi transmitter sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di
kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan integritas
kulit.
Pathway terlampir
5. Klasifikasi
A. CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV berdasarkan
hitung limfosit CD4 dan kondisi klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS yang diperluas
bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD 4
Kategori Klinis
A
Total
500 /ml
200-499
< 200
%
29%
14-28%
< 14 %
(Asimtomatik)
A.1
A.2
A.3
B
(Simtomatik, bukan
kondisi A atau C)
B.1
B.2
B.3
C
(Indikator AIDS)
C.1
C.2
C.3
Angiomatosis baksilaris
Kandidiasis orofaring/vulvaginal
Displasia servik
Herpes zoster
Listeriosis
Neuropati peripir
Koksidiodomikosis ektrapulmoner/diseminata
Kriptokokosis ekstrapulmoner
Retinitis cytomegalovirus
Sarkoma Kaposi
Limfoma Burkitt
Pneumonia rekuren
Toksoplasmosis otak
(Smeltzer, 2001)
Sejak 1 Januari 1993 orangorang dengan keadaan yang merupakan indikator C,
B3, A3 dianggap menderita penyakit AIDS.
B. WHO mengklasifikasikan infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi HIV Berdasarkan stadium
STADIUM
I
II
GAMBARAN KLINIS
1.Asimtomatik
SKALA AKTIFITAS
Asimtomatik
aktivitas
2.Limpadenopati generalisata
1.BB menurun < 10%
normal
Simptomatik
normal.
aktivitas
bakterialis.
1.BB menurun > 10%
Pada
kurang dari 50 %.
umumnya
lemah,
4.Kandidiasis orofaringeal.
5.Oral hairy leukoplakia
6.TB paru dalam tahun terakhir.
7.Infeksi bakterial yang berat, seperti pneumonia,
IV
piomiositis.
1.HIV wasting syndrome, seperti yang didefinikan
oleh CDC.
3.Toksoplasmosis otak
4.Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
5.Kriptokokus ekstra pulmonal.
6.Retinitis virus sitomegalo.
7.Herper simpleks mukokutan > 1 bulan.
8.Leukoensefalopati multi fokal progresif .
9.Mikosis diseminata, seperti histoplasmosis.
10.Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan
paru.
11.Mikobakteriosis atipikal diseminata.
12.Septisemia salmonelosis non tifoid.
13.Tuberkulosis ekstrapulmoner.
14.Limfoma.
15.Sarkoma kaposi
16.Ensefalopati HIV.
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit AIDS pada dasarnya mengenai setiap sistem organ.
Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV atau penyakit AIDS adalah akibat terjadi
infeksi, malignansi atau akibat dari efek langsung HIV itu sendiri. Berikut adalah
manivestasi klinis dari penyakit AIDS:
a. Sistem respiratori
Gejala yang timbul seperti, napas pendek, sesak napas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, dan demam yang disebabkan infeksi yang terjadi pada paru-paru.
Gambar 2. TBC
b. Sistem Gastrointestinal
Gejala yang timbul seperti hilanya selera makan, mual, muntah, adanya
kandidiasis oral yang dapat menyebar pada esophagus dan lambung, diare
kronis, penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan sebelumnya,
hilangnya massa otot, kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.
c. Kanker
Penderita AIDS mengalami insiden lebih tinggi terhadap kanker daripada
orang normal karena stimulasi HIV terhadap sel kanker dan defisiensi sistem
kekebalan sehingga substansi penyebab kanker seperti virus lebih mudah
menyerang tubuh. Gejala klinisnya seperti lesi pada kulit, pada wanita terdapat
perdarahan yang terus menerus pada vagina, keluar cairan yang berbau busuk
dan rasa gatal dan panas pada daerah vagina.
Gambar 4. Ca Servix
d. Sistem neurologi
Komplikasi neurologik meliputi fungsi saraf sentral, perifer dan autonum
dimana gangguan ini dapat terjadi akibat efek langsung HIV pada jaringan
saraf, IO, neoplasma primer atau metastatik, perubahan serebrovaskuler,
afasia, paresis .
e. Sistem integument
Gejala klinisnya timbul vesikel pada kulit akibat infeksi Herpes Zoster atau
hesper simpleks, terdapat ruam, kulit bersisik, kulit kering, mengelupas.
(Smeltzer, 2001).
Selain itu, terdapat pula gejala HIV sesuai dengan fase-fase infeksi:
Tabel 3. Gejala HIV sesuai dengan fase-fase infeksi
Fase
1. .Periode
jendela
2. Infeksi
Lamanya
fase
4mg-6bln
Antibodi yang
Dapat
Gejala-gejala
terdeteksi
Tidak
Tidak ada
ditularkan
Ya
infeksi
1-2 minggu
Kemungkinan
Ya
1-15 tahun
Ya
Tidak ada
Ya
Ya
Ya
setelah
HIV
primer
akut
3. Infeksi
asimtomati
k
4. Supresi
imun
atau lebih
Sampai
tahun
simtomatik
keletihan,
limpadenopati,
ruam
kulit,
perlambatan
Bervariasi
1-5
tahun
dari
penentuan
kondisi
AIDS
Ya
Infeksi
Ya
7. Penularan
HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang mengandung partikel virus,
yang ditularkan melalui cara:
a. Hubungan sex dengan penderita HIV (+)
b. Tranfusi darah yang terkontaminasi
c. Penggunaan jarum suntik bersama pada IDU
d. Ibu hamil yang HIV (+) ke bayi yang dikandung
e. Memberi ASI dari ibu yang HIV (+) ke bayi
8. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bias menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan
PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20%
dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Waktu dan risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Waktu
Risiko
Selama hamil
5 10%
Bersalin
10 20%
Menyusui (ASI)
5 20%
risiko penularan keseluruhan
20 50%
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ArT) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:117582). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah:
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui
bedah sesar (seksio sesaria).
Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan
HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
10. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dimana pada
pasien AIDS diterapkan universal precaution. Pemeriksaan fisik lengkap harus
dilakukan termasuk:
Keadaan umum : kurus, sakit akut/kronis,lemah
Kelenjar getah bening: limfadenopati generalisata, kelenjar yang asimetris (kirikanan tidak sama) atau yang cepat membesar dapat menunjukkan infeksi atau
kanker yang mendasari
Pemeriksaan kelamin dan dubur untuk mencari luka dalam atau luar misalnya
herpes atau kondilomata
Pemeriksaan kulit untuk mencari lesi kulit terkait HIV yang bermakna, termasuk
dermatitis seborea, psoriasis, folikulitis, sarkoma kaposi, kutil umum, dan
moluskum kontagiosum.
Perkusi untuk mendeteksi adanya gas, cairan atau massa dimana bunyi dapat
timpani (normal), pekak, redup
b.
c.
Penanganan
keganasan
dengan
kemoterapi
ABV
(Adreamisin,
Bleomisin,Vinkristin)
d.
Terapi alternatif
Terapi alternatif dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
1) Terapi spiritual atau psikologis: terapi humor, hypnosis, faith healing,
afirmasi positif
2) Terapi nutrisi: diet, suplemen vit c.
3) Terapi obat dan biologik : ozon,oksigen
4) Terapi dengan tenaga fisik dan alat: akupuntur, akupresor, masase,
refleksologi, yoga, kristal.
2) Five intervention
Hipotensi, takikardia, dispnea, ortopnea, takipnea, demam, hemoglobin dan hemalokrit
menurun. Terutama dari hasil CD4 terus mengalami penurunan.
3) Give comfort
Kadang-kadang pasien mengalami nyeri kepala karena kompleksnya infeksi akibat
penurunan daya tahan tubuh pasien.
4)
Head to toe
Daerah kepala : konjunctiva pucat, membrane mukosa kering, ruam pada kulit wajah.
Daerah dada : tampak adanya penggunaan otot bantu napas akibat sesak napas.
Daerah abdomen : tidak adanya gangguan pada abdomen.
Daerah ekstremitas : penurunan kekuatan otot karena kelemahan, perasaan dingin pada
ekstremitas.
i. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (lesi pada mulut, esophagus,
dan lambung)
j. Risiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis, pertahanan tubuh sekunder
yang tidak adekuat (mis.penurunan hemoglobin, leukopenia, supresi/penurunan
respon inflamasi), prosedur invasif, malnutrisi, kerusakan jaringan kulit
k. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis.
l. Risiko cedera berhubungan dengan malnutrisi, disfungsi sensorik
m. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan pergeseran pada status kesehatan
anggota keluarga
n. Asietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan, ancaman
kematian, penularan penyakit interpersonal, stres
o. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurangnya
pajanan informasi, kurang minat dalam belajar, kurang dapat mengingat
p. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit Hambatan interaksi
sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri akibat penyakit yang diderita
q. Distres spiritual berhubungan dengan ansietas, sakit kronis, kematian
3. INTERVENSI
Tabel 4. Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan HIV/AIDS
No
1
Perencanaan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil
Keperawatan
Ketidakefektifan
berhubungan
dengan
berlebihan,
tertahan/
sisa
2.
mycobaterium
ronchi)
nafas
tambahan
Kaji
jumlah/kedalaman
1.
sesak
1.
Rasional
Melakukan evaluasi awal untuk melihat
kemajuan dari hasil intervensi yang telah
dilakukan.
Intervensi
seperti
2.
wheezing.
3.
Elevasi
kepala,
sering
ubah
3.
posisi.
pengisian
udara,
mobilisasi
dan
pengeluaran sekret.
4.
4.
napas
Napas
dalam
akan
memfasilitasi
dalam.
memelihara
Menahan
tegak lurus.
kepatenan
dada
akan
saluran
udara.
membantu
untuk
5.
yang
tidak
mampu
melakukannya
6.
sekret.
Kaji
efek
pemberian
dan
dari
postural
tindakan
dari
drainage.
selang
diantara
Lakukan
waktu
intake
oral
akan
mengurangi
8.
8.
ekspoktoran,
Cairan
diberikan
untuk
mengganti
9.
Berikan
cairan
suplemen
Kadang-kadang
diperlukan
untuk
Bantu
dengan
bronchoscopy/thoracentesis
2
Ketidakefektifan pola
napas
berhubungan
dengan hiperventilasi.
1.
diindikasikan.
Kaji
jika
jumlah/kedalaman
1.
efektif
Dengan kriteria hasil:
2.
2.
sesak
membutuhkan
3.
Aukultasi
suara
nafas.
Catat
3.
nafas spontan.
suara
nafas
adventisius
(ronchi,
mengi, krekels)
4.
4.
komplikasi,
contoh
atelektasis
dan
menimbulkan
peningkatan
risiko
5.
Mengidentifikasi
masalah
6.
lokasi
keadaan
insufisiensi
oksigen,
fungsi otot
masker,
intubasi
dan
sebagainya.
3
PK Anemia
1.
Kaji
trauma,
adanya
tanda
tanda 1.
spinal.
Memberikan informasi tentang derajat/
adanya
sklera ikterik
Pasien
mengetakan
kelemahan
berkurang
2.
konjungvita
anemis
2.
Prioritaskan
jadwal
keperawatan
istirahat.
3.
atau
untuk
Pilih
istirahat
3.
pemeriksaan
dan
meningkatkan
periode
Lakukan
asuhan
Mengidentifikasi
defisiensi
dan
Meningkatkan
oksigen,
jumlah
memperbaiki
sel
pembawa
defisiensi
untuk
Kekurangan
cairan
dengan
cairan
berhubungan
cairan adekuat.
kehilangan
berlebih
bila
1.
volume
2.
merupakan
kontraindikasi)
3.
4.
x/mnt)
Haluaran
urine
adekuat
(0,5-
5.
1cc/kgBB/24 jam)
dehidrasi
ringan.
Pertimbangkan
kehilangan
cairan
Kolaborasi
dengan
dokter
untuk
mengurangi
muntah
elektrolit
absorpsi
juga
elektrolit.
menyebabkan
Muntahkehilangan
hemoglobin
8.
5
Hipertermia
Setelah
berhubungan
dengan
diberikan
tindakan
secara intravena.
1. Observasi tanda tanda vital terutama
antigen antibodi).
Kriteria Hasil :
8. Memungkinkan
terapi
penggantian
cairan
suhu tubuh
2. Berikan kompres hangat pada daerah
Suhu tubuh kembali normal antara 3. Ganti pakaian yang telah basah oleh 3. Sirkulasi berlangsung baik
keringat
36,5 37,20C
Keletihan berhubungan
Setelah
penyakit,
malnutrisi,
diberikan
peningkatan kelelahan
fisik
Pasien
dapat
tindakan 1.
dengan
obat
dokter
dalam
penurun
panas
2.
Ajarkan
keluarga
untuk 2.
Perawat/keluarga
dapat
Intoleransi
aktivitas
pasien
Setelah
diberikan
tindakan
1. Mengkaji
frekuensi
nadi
pasien,
berhubungan
dengan
kelemahan
umum,
secara normal.
pasien
Dengan kriteria :
pingsan.
ketidakseimbangan
antara
suplai
dan
kebutuhan oksigen ke
jaringan.
diukur
dalam
Tekanan
pasien
3. Untuk
secara bertahap
normal
menyeimbang-kan
kondisi
pasien
2. Untuk
toleransi
aktivitas
melatih
meningkatkan
jantung
konsumsi
secara
perlahan,
oksigen
saat
pasien
5. Tetap
kebutuhan
membantu
mobilisasi
dan
aktivitas pasien
8
dengan
teknik
penghematan energi
5. Untuk mencegah kelemahan pada otot dan
Kaji
jam
dapat
kebutuhan
tepat
berhubungan
tubuh
dengan
ketidakmampuan
pasien
2.
mukosa
oral
dan 1.
tulang
Berguna
Ketidakseimbangan
diharapkan
integritas
oksigen
dalam
mendefinisikan
derajat/
menelan
makanan,
ketidakmampuan untuk
mencerna
peningkatan
makanan,
Memaksimalkan
pucat
dan karbohidrat
ketidakmampuan untuk
mengabsorpsi nutrien
dalam
batas
normal
nutrisi
tanpa
masukan
6.
periodic
sering
menunjukkan
kebutuhan
intervensi/
Nyeri
berhubungan
akut
dengan
Setelah
diberikan
diharapkan
pada
berkurang
esophagus,
lambung)
dan
1.
tindakan
Dengan kriteria
Berikan
suplemen
tambahan/ 7.
multivitamin
Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu,
1.
kualitas)
2.
3.
10
Risiko
infeksi
Setelah
tindakan
1.
1.
berhubungan
dengan
2.
2.
penyakit
kronis,
tubuh
tidak
pertahanan
sekunder
yang
adekuat
(mis.penurunan
hemoglobin,
leukopenia,
malnutrisi,
kerusakan
Tanda
normal,
jaringan kulit
pasien
baru
infeksi
oportunis,
normal(5-10 x 109/liter)
invasif,
Anjurkan
mencegah
inflamasi),
prosedur
3.
adanya
supresi/penurunan
respon
diberikan
vital
(TD:
dalam
4.
terpapar
metoda
4.
Meyakinkan
terhadap
5.
diagnosis
akurat
dan
darah
yang
pengobatan
5.
Mempertahankan
kadar
terapeutik
batas
110-120/60-
integritas
berhubungan
penurunan
Kerusakan
kulit
dengan
imunologis.
berkurang
penonjolan
Catat warna
kebutuhan.Lindungi
tulang
dengan
bantal,
2. Mengurangi
stres
pada
titik
tekanan,
12
Risiko
cedera
Setelah
berhubungan
dengan
disfungsi
malnutrisi,
sensorik.
cedera
diberikan
dalam
perawatan
tindakan
intensif.
Dengan kriteria:
agar
tempat
intervensi selanjutnya.
tidur
kepala,
papan
kaki,
tanda cedera.
mengalami agitasi.
jika
pasien
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen P2M & Penyehatan Lingkungan Depkes R.I (2003) ,Pedoman Nasional
Perawatan,Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA,Jakarta,Depkes R.I
Direktorat
Bina Pelayanan Keperawatan Depkes ( 2006 ),Modul Pelatihan
Keperawatan ,Pencegahan& Dukungan Pada ODHA
Elizabeth.J.Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan RI.2011. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIVdari Ibu
ke Anak (PPIA), Jakarta
Nanda.2010.Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta:EGC
Smelzer & Bare. 2001. Buku Ajar: Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.