Anda di halaman 1dari 11

Skrining Dan Konseling Genetik Untuk Kelainan Defisiensi Glukosa-6-Fosfat

Dehidrogenase (G6PD)

Skenario
Seorang bayi baru lahir, perempuan, dirawat di rumah sakit karena ikterik. Bayi lahir aterm,
berat badan 2850g. waktu baru dilahirkan, sampai pulang dari rumah sakit, bayi baik-baik sahaja.
Setelah dua hari di rumah, bayi mengalami kuning dan mulai kejang. Bayi dibawa ke UGD dan
dilakukan pemeriksaan, dan didapatkan kadar bilirubin yang tinggi. Dugaan sementara adalah
karena aktivitas pemecahan eritrosit yang berlebihan.
Pendahuluan
Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi
ditemukan di negara-negara Sub-Sahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan endemisitas
malaria tinggi. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan Amerika
Latin. Di Amerika Serikat, defisiensi G6PD terutama diderita keturunan Afrika dan Mediterania.
Di Indonesia, prevalensi defi siensi G6PD berkisar 2,7% hingga 14,2%. Prevalensi defisiensi
G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan dengan resistensi terhadap infeksi
malaria.1

Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)


Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur
pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk
tereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH memungkinkan selsel bertahan dari stress oksidatif yang dapat dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan
menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi. Eritrosit tidak me-miliki mitokondria sehingga
jalur pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber NADPH, sehingga pertahanan terhadap
kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.2

Gambar 1: Metabolisme Redox Dalam Sel Darah Merah.2


Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehydrogenase
Defisiensi dehidrogenase glukosa-6-fosfat adalah kelainan genetik yang terjadi paling sering
pada laki-laki. Kondisi ini terutama mempengaruhi sel-sel darah merah, yang membawa oksigen
dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Pada individu yang terkena, cacat dalam enzim yang
disebut glukosa-6-fosfat dehidrogenase menyebabkan sel darah merah untuk memecah secara
prematur. Perusakan sel darah merah ini disebut hemolisis.3

Aspek genetik Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehydrogenase4


Gen G6PD adalah terkait kromosom X , dan ini memiliki implikasi penting. Pertama, laki-laki
hanya memiliki satu gen G6PD (yaitu, mereka hemizygous untuk gen ini), mereka harus baik
normal atau kekurangan G6PD. Sebaliknya, perempuan, memiliki dua gen G6PD, bisa normal,
kekurangan (homozigot), atau separa (heterozigot).
Gen G6PD terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X (band Xq28), dekat
dengan gen hemofilia A, diskeratosis kongenital dan buta warna. Gen tersebut terdiri dari 13
ekson dan 12 intron, mengkodekan 515 asam amino. Wild type G6PD disebut 6GPD B. Semua
mutasi gen G6PD yang mengakibatkan defisiensi enzim tersebut berefek pada kode sekuensi.
Hingga saat ini telah dilaporkan 14 mutasi, umumnya subtitusi terjadi pada 1 pasangan basa yang
menyebabkan perubahan susunan asam amino.

Gambar 2: Pedigree Bagi Penyakit Dengan Kelainan pada Gen Terkait Kromosom X Resessif.

Bentuk aktif enzim G6PD adalah dimer atau tetramer dari protein tunggal subunit dari 514 asam
amino. Pasien dengan defisiensi G6PD telah ditemukan selalu memiliki mutasi di daerah
pengkode gen G6PD. Hampir semua 150 mutasi yang berbeda dikenal adalah mutasi titik
missense tunggal, yang melibatkan penggantian asam amino tunggal di protein G6PD. Dalam
kebanyakan kasus, mutasi ini menyebabkan defisiensi G6PD dengan mengurangi stabilitas in
vivo protein; dengan demikian, penurunan fisiologis dalam kegiatan G6PD yang terjadi dengan
penuaan sel darah merah yang cepat. Dalam beberapa kasus, penggantian asam amino juga dapat
mempengaruhi fungsi katalitik enzim.
Faktor Risiko
Penghancuran sel darah merah boleh dipicu oleh infeksi, stres berat, makanan tertentu (seperti
kacang fava), dan obat-obatan tertentu, termasuk obat antimalaria, aspirin, nitrofurantoin obat
anti inflamasi (NSAID), quinidine, kina dan obat sulfa. Bahan kimia lainnya, seperti kamper,
juga dapat memicu episode serangan.3

Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui kondisinya.
Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun
konsumsi kacang fava. Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut
yang di-induksi obat maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia hemolitik
non-sferosis kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fisik berat telah
dilaporkan menginduksi hemolisis pada penderita defi siensi G6PD. Hemolisis akut pada
penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan
ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan
retikulositosis.5-7
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Defi siensi G6PD ditemukan sebagai hasil investigasi hemolisis pada penderita yang minum
primakuin. Beberapa obat dihubungkan dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD.
Obatobat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita defi siensi G6PD sulit ditentukan
dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita defisiensi G6PD
belum tentu aman untuk penderita lain, mungkin karena perbedaan farmakokinetik tiap individu.
Kedua, obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada pasien dengan keadaan klinis
(misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis. Ketiga, pasien mengkonsumsi lebih dari
satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada defi siensi G6PD biasanya sembuh sendiri, tidak
menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan. 5-7 Hemolisis dan ikterus klinis biasanya
muncul 24-72 jam setelah konsumsi obat. Urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria
merupakan tanda khas. Anemia memburuk hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan kembali
meningkat setelah 8-10 hari obat. 5-7

Tabel 1 Obat-obatan yang dapat mencetuskan hemolisis pada G6PD.2

Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi


Infeksi merupakan penyebab hemolysis tersering pada penderita defisiensi G6PD. Beberapa
infeksi yang dapat mencetuskannya antara lain infeksi virus Hepatitis A dan B, Cytomegalovirus,
pneumonia dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki
luaran. Komplikasi serius akibat infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah
gagal ginjal akut; dapat disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi
tubular karena hemoglobin cast. Beberapa pasien mungkin memerlukan hemodialysis. 5-7
Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini disebut favisme.
Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah dan Afrika Utara, tidak
ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD yang memakan kacang fava
menderita favisme, dapat terjadi respons berbedabeda dari individu yang sama tergantung
kesehatan pasien dan jumlah kacang fava yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan convicine
diperkirakan sebagai bahan toksik dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas hexose
monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita defi siensi G6PD. 5-7
5

Favisme menyebabkan anemia hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah kacang fava dikonsumsi.
Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding yang disebabkan oleh induksi obat maupun
infeksi meskipun kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik akibat favisme dapat terjadi
intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal ginjal akut. 5-7
Ikterus Neonatorum
Sepertiga neonatus laki-laki icterus neonatorum menderita defisiensi G6PD, insidens pada
neonatus perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada umur 1-4 hari, mirip ikterus
fisiologis. Kernikterus jarang terjadi, dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat
permanen jika tidak segera ditangani. Ikterus neonatorum lebih berat pada bayi defisiensi G6PD
prematur. Jika skrining defisiensi G6PD tidak rutin dilakukan, pemeriksaan lebih seksama perlu
dilakukan pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam 24 jam pertama
atau memiliki saudara dengan riwayat ikterus neonatorum. 5-7
Anemia Hemolitik Non-sferosis Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan hemolisis kronik yang disebut
anemia hemolitik non-sferosis kongenital. Kondisi ini dapat muncul sporadis. Diagnosis
didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak bayi atau kanak-kanak.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat ikterus neonatorum yang berat, anemia kronik yang
dieksaserbasi oleh stres oksidatif yang biasanya memerlukan transfusi darah, adanya
retikulositosis, batu empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin dan LDH meningkat dan
hemolisisnya terjadi terutama ekstravaskular. 5-7
Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada ibu bayi tersebut untuk mendapatkan riwayat keluarga yang
bersangkutan dengan penyakit yang diderita bayi tersebut. Antara perkara yang boleh ditanyakan
adalah:
Sejak kapan bayi mulai kuning?
Apakah intervensi yang dilakukan sebelum datang ke rumah sakit?
6

Apakah golongan darah ibu dan ayah?


Apakah riwayat kehamilan sebelumnya?
Apakah dalam kalangan keluarga pasien ada yang mengidap penyakit darah?
Apakah bayi tersebut pernah terkena infeksi atau berdekatan dengan orang yang sedang
mengalami infeksi?
Apakah ibu bayi ada mengkonsumsi apa-apa jenis obat?

Pemeriksaan Penunjang8
Pemeriksaan untuk mencari penyebab hemolysis yang dapat dilakukan adalah seperti:

Golongan darah ibu dan bayi


Pemeriksaan darah lengkap
Laktat dehydrogenase (LDH)
Serum haptoglobulin
Bilirubin direk dan indirek
Analisis urin untuk hematuria
Hapusan darah tepi

Peningkatan jumlah retikulosit mengindikasikan peningkatan respon sumsum tulang terhadap


anemia. Peningkatan bilirubin indirek dan LDH menunjukkan meningkatnya kerusakan RBC.
Penurunan kadar haptoglobin, hematuria, dan kehadiran hemosiderin pada urin menunjukkan
hemolisis intravaskular yang parah. Pada hapusan darah tepi, pewarnaan rutin dapat
mengungkapkan polychromasia, mewakili peningkatan produksi

RBC. Badan Heinz

(didenaturasi hemoglobin) dapat dilihat pada apusan darah tepi pasien dengan defisiensi G6PD.
Selama remisi, pengujian harus mencakup tes Beutler dan uji kuantitatif aktivitas GPD. Tes
Beutler adalah tes rapid fluorescent spot semi-kuantitatif yang mendeteksi pembentukan
nicotinamide adenin dinukleotida fosfat (NADPH) dari adenin dinukleotida nicotinamide fosfat
(NADP); tes ini positif jika darah gagal untuk berfluoresensi di bawah sinar ultraviolet.

Analisis kuantitatif aktivitas G6PD dalam sampel leukocyte-depleted adalah definitif. Pengujian
untuk aktivitas enzim harus dilakukan ketika pasien berada dalam remisi, karena hasil mungkin
palsu negatif selama hemolisis akut. Alasannya adalah bahwa eritrosit tua telah hancur, karena
tingkat G6PD berkurang mereka membuat mereka rentan terhadap hemolisis sementara ada
peningkatan kompensasi eritrosit dewasa dan retikulosit yang telah meningkatkan kadar G6PD.
Diagnosis pasti defisiensi G6PD didasarkan pada aktivitas enzimatik dengan analisis kuantitatif
spektrofotometri tingkat produksi NADPH dari NADP. Untuk skrining cepat beberapa metode
semikuantitatif telah di-kembangkan seperti dye-decolouration test oleh Motulsky dan tes
fluorescent spot.
Skrining Defisiensi G6pd Pada Neonatus
Di berbagai negara, skrining defisiensi G6PD pada neonatus rutin dilakukan. Hal ini penting
karena kernikterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus defisiensi
G6PD dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor penyebab hemolisis. Laporan dari
Singapura menunjukkan setelah program skrining defisiensi G6PD neonatus sejak tahun 1965
menggunakan sampel darah tali pusat, insidens kernikterus turun drastic dalam 20 tahun terakhir.
Dilaporkan hanya 1 kasus kernikterus pada neonatus defisiensi G6PD di Singapura. Neonatus
defisiensi G6PD dilindungi secara fisik di rumah sakit selama 2 minggu pertama dan orang
tuanya diberikan konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolysis.
Pao, dkk9

menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defisiensi G6PD

sebesar 32% dan pada neonates dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini menunjukkan
perlunya skrining defisiensi G6PD pada neonatus. Pada neonatus lakilaki hemizigot defisiensi
G6PD, kadar G6PD <4,6 u/g Hb dapat digunakan sebagai cut off, sedangkan pada neonatus
perempuan dianjurkan nilai cut off lebih tinggi, yaitu <6,6 u/g Hb karena terdapat sejumlah
populasi neonatus heterozigot defisiensi G6PD parsial.

Tatalaksana Kernikterus
Tujuan dari manajemen hiperbilirubinemia adalah pencegahan neurotoksisitas. Metode definitif
menghilangkan bilirubin dari darah adalah melalui transfusi darah. Pendekatan digunakan
8

apabila muncul gejala klinis disfungsi neurologis akibat tingkat bilirubin telah mencapai tingkat
berbahaya meskipun upaya pencegahan telah dilakukan. Fototerapi adalah metode yang paling
umum ditujukan untuk pencegahan toksisitas bilirubin.
Tranfusi Darah
Prosedur ini bukan tanpa risiko. Sedangkan transfusi tukar tetap terapi definitif, seperti yang
direkomendasikan dalam Pedoman Praktek Klinis AAP "Manajemen hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir 35 minggu atau lebih dari kehamilan" yang diterbitkan pada tahun 2004, semua
bayi harus menjalani sidang fototerapi, jika hanya sementara darah adalah sedang dipersiapkan,
sebelum memulai transfusi tukar.
Prosedur ini melibatkan penukaran darah asli bayi dan menggantinya dengan darah citrate
phosphate dextrose (CPD) yang tidak mengandung bilirubin. Jelas, ini harus dilakukan secara
bertahap. Menggunakan perkiraan 80-90 mL / kg total volume darah, dua kali lipat jumlah ini
biasanya ditukar dan diganti secara berurutan dalam aliquots (10-15 mL pada bayi aterm; 5-10
mL pada bayi prematur) selama beberapa jam. Pendekatan ini, disebut transfusi tukar volume
ganda, ia dapat menurunkan total kadar bilirubin serum sekitar 40%.

Tatalaksana Difisiensi G6PD


Strategi penatalaksanaan defi siensi G6PD yang paling efektif untuk mencegah hemolsis adalah
mencegah stres oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang fava). Pendekatan ini
memerlukan pemahaman pasien dan bisa tercapai jika ada program skrining defisiensi G6PD.
Hemolisis akut akibat G6PD biasanya tidak lama dan tidak memerlukan terapi spesifik. Pada
kasus jarang (biasanya anak-anak) dapat terjadi anemia berat yang memerlukan transfusi darah.5,6
Ikterus neonatorum akibat defisiensi G6PD diterapi seperti ikterus neonatorum kausa lain. Jika
kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk mencegah
kerusakan saraf. Jika kadarnya >300 nmol/L, transfusi darah mungkin diperlukan. Pasien anemia
hemolitik nonsferosis kongenital terkadang mengalami anemia terkompensasi yang tidak
memerlukan transfusi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stres oksidatif yang dapat
memperburuk anemianya. Pasien anemia hemolitik non-sferosis kongenital biasanya mengalami
9

splenomegali tetapi tindakan splenektomi jarang memberi keuntungan. Batu empedu juga
merupakan komplikasi akibat hemolisis karena defisiensi G6PD.5,6

Konseling Genetik
Diagnosis yang akurat adalah sangat penting untuk konseling genetik yang bermakna, dan
dengan demikian konseling tidak boleh mendahului langkah yang terlibat dalam diagnosis.
Konseling perlu mencakup semua aspek kondisi dan dengan cara yang mudah dimengerti oleh
pasangan. Mungkin dapat dimulai dengan menguraikan gambaran klinis, komplikasi, prognosis
dan pengobatan/manajemen. Kemudian penjelasan sederhana dari dasar genetik dari kondisi
tersebut, mungkin dengan bantuan diagram, dapat diberikan, dan risiko kekambuhan dihitung
untuk consultands. Hal ini sering berguna untuk membandingkan risiko kekambuhan ini terhadap
risiko populasi umum untuk kondisi dan cacat lahir umum lainnya. Umumnya, genetika medis
mempertimbangkan risiko lebih dari 1 dalam 10 sebagai tinggi dan kurang dari 1 dalam 20
rendah, tapi risiko harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan tingkat kecacatan.

Gambar 3: Pilihan-pilihan yang Dapat Diambil oleh Pasutri setelah Didiagnosa dengan Kelainan Genetik.

10

Sekiranya risiko rekuren untuk anak seterusnya rendah maka pasangan suami isteri boleh
melanjutkan rencana untuk memiliki anak. Tetapi sekiranya risikonya besar ada pilihan lain yang
boleh dilakukan supaya pasangan tersebut tetap memiliki anak (gambar 3). Sekiranya diagnosis
prenatal mampu dilakukan oleh pasangan tersebut maka mereka boleh melanjutkannya. Ada juga
keadaan dimana pasangan suami isteri lebih memilih untuk tidak memiliki anak lagi jadi mereka
boleh melakukan tindakan kontrasepsi.
Daftar Pustaka
1. Kurniawan LB. Skrining, diagnostik dan aspek klinis defisiensi glukosa-6-fosfat
dehydrogenase

(G6PD).

November

2014.

vol.

41

no.

11.

Diunduh

dari

http://www.researchgate.net/publication/271508222.
2. G6PD deficiency. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL. Harrisons hematology and
oncology. 2nd ed. McGraw-Hill Education. 2013. P 115
3. G6PD deficiency. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/glucose-6-phosphate-dehydrogenasedeficiency. Diunduh pada 12/9/2015.
4. G6PD deficiency. In: Turnpenny PD, Ellard S. Emerys element of medical genetics. 14 th
ed. Elsevier Churchill Livingstone. 2012. P187.
5. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Lancet.
2008;371:64-74.
6. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.
Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
7. Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency: A historical perspective.
Blood. 2008;111:16-24.
8. G6PD deficiency workup.

http://emedicine.medscape.com/article/200390-workup.

Diunduh pada 12/9/2015.


9. Pao M, Kulkarni A, Gupta V, Kaul S, Balan S. Neonatal screening for glucose-6phosphate dehydrogenase deficiency. Indian J Pediatr. 2005;72(10):835-7.
10. Kernicterus treatment and management. http://emedicine.medscape.com/article/975276treatment. 12/9/2015.
11. Genetic assessment, genetic counseling and reproductive options. In: Tobias ES, Connor

M, Smith MF. Essential Medical Genetics. 6th ed. Wiley Blackwell. 2011. P 164-8.

11

Anda mungkin juga menyukai