Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan kadar bilirubin merupakan salah satu temuan tersering pada bayi

baru lahir, umumnya merupakan transisi fisiologis yang lazim pada 60%-70% bayi

aterm dan hampir semua bayi preterm.1 Pada kadar bilirubin >5 mg/dL, secara

klinis tampak pewarnaan kuning pada kulit dan membran mukosa yang disebut

ikterus.2 Pada sebagian besar kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus tidak

berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Namun pada beberapa kasus

hiperbilirubinemia berhubungan dengan beberapa penyakit, seperti penyakit

hemolitik, kelainan hati, infeksi, kelainan metabolik, dan endokrin.2

Ikterus dikelompokkan menjadi ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus

fisiologis merupakan peningkatan bilirubin tanpa adanya penyebab patologis pada

neonatus.3 Berdasarkan penelitian Tamazi et al, terdapat 55,8% ikterus fisiologis

dan 44,2% ikterus patologis.4 Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2012 didapatkan angka kematian neonatus pada tahun 2012 sebesar

19 per 1000 kelahiran hidup dan 78,5% kematian neonatus terjadi pada usia 0-6

hari. Komplikasi terbanyak pada neonatus adalah asfiksia, ikterus, hipotermia,

tetanus, infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah, sindroma gangguan

pernafasan, dan kelainan kongenital.5 Ikterus bukan penyebab terbesar kematian

neonatus, tapi ikterus memiliki komplikasi berupa kernikterus yang dapat

menimbulkan sekuele berupa gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,

retardasi mental dan dental dysplasia.6


Beberapa faktor risiko hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir antara lain

inkompatibilitas golongan darah, prematuritas, infeksi, trauma, sefal hematom, dan

penyakit tertentu yang menyebabkan abnormalitas eritrosit atau defek biokimia

eritrosit. Tersering ditemukan adalah defisiensi glucose-6-phosphate

dehydrogenase (G6PD).7

Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan enzim tersering pada manusia,

diperkirakan sekitar ± 400 juta di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan di

daerah tropis, dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia

hemolitik akut di Asia Tenggara.8 Insidensi di Indonesia diperkirakan ±(1%-14%).9

Adanya defisiensi enzim G6PD menyebabkan hemolisis pada sel eritrosit.

Pemecahan eritrosit menghasilkan heme dan globin Bilirubin hasil pemecahan

heme disebut bilirubin indirek, pada kadar >20 mg/dL dapat menembus sawar darah

otak dan bersifat toksik terhadap sel otak.2

Bayi baru lahir dengan besar masa kehamilan (BMK) juga dapat

menyebabkan ikterus dikarenakan terlalu banyak sel-sel darah merah yang

dihasilkan dan juga yang dipecahkan, maka terbentuklah bilirubin dalam jumlah

besar yang mengakibatkan terjadinya ikterus. Hiperbilirubinemia berat dapat

menekan konsumsi O2 dan menekan oksidasi fosforilasi yang menyebabkan

kerusakan sel otak menetap dan berakibat disfungsi neuronal, ensefalopati yang

dikenal sebagai kernicterus. Bayi dengan keadaan tersebut berisiko mengalami

kematian, atau kecacatan di kemudian hari.10


Pada makalah ini akan dilaporkan kasus dengan bayi cukup bulan, bayi berat

lahir cukup, besar masa kehamilan, dan ikterik neonatorum yang dirawat inap di

Ruang Teratai RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal ……

Anda mungkin juga menyukai