Anda di halaman 1dari 69

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. MF

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 15 tahun

B. Identitas Orangtua

Ayah Ibu

Nama : Tn. A Nama : Ny. M

Umur : 40 tahun Umur : 36 tahun

Pendidikan : SMP Pendidikan : SD

Agama : Islam Agama : Islam

II. ANAMNESIS

Aloanamnesis dengan : Ayah Pasien dan pasien sendiri pada tanggal 22

November 2018.

1. Keluhan Utama

Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Tiga hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien mengalami demam.

Demam dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Demam terkadang disertai

menggigil. Menurut Ayah pasien demam yang dialami pasien cukup tinggi,

1
namun suhunya tidak diukur. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-pegal

pada otot dan sakit kepala. Ayah pasien juga mengeluhkan pasien mengalami

perdarahan dari hidung sejak 10 jam smrs, sebanyak 100cc (1/2 gelas aqua),

muntah-muntah sebanyak 3x, jumlah ± 3 sendok makan s/d ¼ gelas per kali,

berisi apa yang dimakan, muntah tidak menyemprot dan didahului dengan mual.

Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 10 jam smrs, nyeri dirasakan di ulu hati

dan dirasakan semakin memberat (VAS 7/10), kaki dan tangan teraba dingin sejak

3 jam sebelum masuk RS. Riwayat perdarahan gusi, saluran cerna, dan tempat

lain disangkal. Buang air kecil warna kuning pekat seperti teh, terakhir BAK 2

jam sebelum masuk RS sekitar ½ gelas aqua. Buang air besar dalam batas normal,

BAB hitam disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat ke luar kota sebelumnya.

Riwayat batuk dan pilek disangkal. Sudah minum obat penurun panas

sebelumnya dan demam turun namun kemudian demam timbul lagi. Karena

keluhan demamnya pasien kemudian di bawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha oleh ayah pasien. Namun, ketika diperiksa di

IGD demam sudah turun dan kedua tangan serta kaki dingin.

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya yang Berhubungan dengan Penyakit

Sekarang

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada

riwayat DBD sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga/ Lingkungan Sekitarnya yang Ada

Hubungan dengan Penyakit Sekarang

2
Pada keluarga maupun tetangga sekitar rumah tidak ada yang mengalami

penyakit yang serupa seperti pada pasien. Namun, di lingkungan sekolah, terdapat

beberapa teman pasien yang menderita DBD dan sempat dirawat di rumah sakit.

III. PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 22 November 2018)

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, gelisah

Kesadaran : Komposmentis

GCS : E4 V5 M6

2. Pengukuran

Tanda vital :

Tekanan Darah: 90/60 mmHg

Nadi : 105x/menit

Respirasi : 25x/menit

Suhu : 36,8°C

SpO2 : 98% (tanpa O2)

Berat badan : 42 kg

a. Kulit : Warna : Kemerahan

Sianosis : Tidak ada

Turgor : Kembali cepat <2 detik

Kelembaban : Cukup

Ptekie : Tidak ada

Mata : Palpebra : Cekung (-/-)

Konjungtiva : Anemis (+/+)

Sklera : Ikterik (-/-)

3
Produksi air mata : Cukup (+/+)

Pupil : Diameter : 3 mm / 3mm

Simetris : Isokor

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih

Telinga : Bentuk : Simetris, Normotia

Sekret : tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tampak minimal blood clott (+/+)

Sekret : Minimal

Mulut : Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa bibir kering, anemis (+)

Gusi : Tidak ada tanda perdarahan

: Tidak ada pembengkakan

Gigi-geligi : Lengkap

Lidah : Bentuk : Normolingua

Pucat/tidak : Tampak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

Kotor/tidak : Tidak kotor

Faring : Hiperemis : Tidak ada

4
Edem : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

Tonsil : Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

5. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : tidak teraba

Tekanan : Tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Massa : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

6. Toraks :

a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk : Simetris (+/+)

Retraksi : Tidak ada di seluruh lapang paru

Pernapasan: Thorakalis

Palpasi : Fremitus fokal: Simetris (+/+)

Perkusi : Sonor Sonor


Sonor Sonor
Sonor Sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Vesikular (+/+)

Suara Tambahan : Ronkhi (-/-) wheezing (-/-)

b. Jantung

5
Inspeksi : Iktus cordis : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Tidak teraba

Auskultasi : Suara Dasar : S1=S2 tunggal

Bising : -

7. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : Normal, Ditensi (-)

Lain-lain : Venektasi vena (-),

Spider nevi (-), petekie (-), purpura (-),

turgor kembali cepat

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Perkusi : Timpani/pekak : Timpani, regio kuadran kanan atas pekak,

shifting dullness (-)

Asites : Tidak ada

Palpasi : Supel

Nyeri tekan at regio epigastrium (+)

Hepar : teraba 3 cm bawah arcus costae dan 5 cm

bawah processuss xiphoideus, tepi tajam,

permukaan rata, konsistensi kenyal,

nyeri tekan (+)

Lien : tidak teraba, nyeri tekan (-)

Ginjal : tidak teraba, nyeri tekan (-)

Massa : Tidak teraba

6
8. Ekstremitas :

Umum : Ekstremitas atas : Akral dingin (+/+), parese (-/-), edema (-/-)

petekie (-/-), hematom (-/-), purpura (-/-),

clubbing finger (-/-), massa otot hipotrofi

(-/-), rumple leed (+/+), pulsasi arteri

perifer (arteri radialis dekstra et sinistra)

teraba lemah.

Ekstremitas bawah : Akral dingin (+/+), parese (-/-), edema (-/-)

petekie (-/-), hematom (-/-), purpura (-/-),

clubbing finger (-/-), massa otot hipotropi

(-/-), pulsasi arteri perifer (arteri dorsalis

pedis dekstra et sinistra) teraba lemah.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Darah Rutin pada Kamis, 22 November 2018 (IGD)

- Hb 16,6 g/dL

- Ht 49,8 %

- Leukosit 8.500 / μL

- Eritrosit 6.400 K/ μL

- Trombosit 17.000 / μL

Kesan: terjadi penurunan trombosit (trombositopenia), peningkatan Hb dan

Ht

7
V. DIAGNOSIS

- Diagnosis kerja : Dengue Shock Syndrome

- Diagnosis banding : Typhoid Fever, Malaria, ISK

VI. RENCANA DIAGNOSTIK

Pemeriksaan darah perifer lengkap setiap 6-8 jam, monitor tanda vital setiap 15-

30 menit, serta monitor balance cairan input dan output.

VII. TATALAKSANA

Medikamentosa

- O2 2L/menit, nasal kanul

- IVFD RL 20 cc/kgBB/30 mnt  840 cc/30 mnt 560 tetes/menit (makro)

kemudian bila syok teratasi dilanjutkan IVFD RL 10 cc/KgBB/jam  420

cc/jam atau 140 tetes/menit makro, bila tidak teratasi maka lanjutkan

IVFD RL 840 cc/jam atau 280 tetes/menit makro. Jika kondisi tetap stabil

dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 cc/jam atau 70

tetes/menit makro. Jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka

cairan diturunkan lagi menjadi 126 cc/jam atau 42 tetes/menit makro.

- Asering : Hes = 1:1 (Infus 2 jalur)

- Inj. Antrain 1 gram/8 jam/iv

- Inj. Pantoprazole 40 mg/12 jam/iv

- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam/iv

- Psidii caps/8 jam/ oral

- Sucralfat syrup 3x1 C/oral

- Paracetamol tab 500mg (>38,5oC)

8
Non medikamentosa

- Bedrest (tirah baring)

- Minum air yang banyak

- Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD

dengan 3M, yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang

dapat menampung air. Menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk

mencegah gigitan nyamuk

- Menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun

kuantitasnya.

VIII. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Ad bonam

Quo Ad functionam : Ad bonam

Quo Ad sanactionam : Ad bonam

IX. FOLLOW UP

Jumat, 23 November 2018

S : Sakit perut (<<), demam (-), nafsu makan (+), BAB (+), kaki dan tangan

terasa hangat, muntah (-), BAK lancar dan banyak, manifestasi perdarahan

tidak ada

O :

Keadaan umum tampak sakit sedang

Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 110/80 mmHg, N : 82x/menit, R : 20x/menit, suhu 36 ,9 C

9
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak

anemis, sklera tidak ikterik

Jantung : S1S2 reguler, irama teratur, bising (-)

Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : distensi (-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari BACD dan 3

jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT

epigastrium (<)

Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, Petekie (<).

Pemeriksaan Penunjang : Trombosit 25.000/mm3

A : Dengue Shock Syndrome Teratasi

P :

- IVFD RL 26 tpm (maintenance)

- Inj. Antrain 1 gram/8 jam/iv

- Inj. Pantoprazole 40 mg/12 jam/iv

- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam/iv

- Psidii caps/8 jam/ oral

- Sucralfat syrup 3x1 C/oral

- Paracetamol tab 500mg (>38,5oC)

Sabtu, 24 November 2018

S : Sakit perut (-), demam (-), nafsu makan (+) baik, BAB (+), kaki dan

tangan terasa hangat, BAK banyak

O :

Keadaan umum tampak sakit ringan

10
Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 120/70 mmHg, N : 88x/menit, RR : 18x/menit, suhu 36,7 C

Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak

anemis, sklera tidak ikterik

Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)

Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 2 jari BACD dan 3

jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium

(-)

Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-).

Pemeriksaan Penunjang : Trombosit 45.000/mm3

A : Dengue Shock Syndrome teratasi dan dalam perbaikan

P : Boleh pulang

Minggu, 25 November 2018

Pasien pulang

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD (demam berdarah

dengue) yang terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler sehingga plasma

keluar dari intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume

intravaskuler dan hipoksemia.1 Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera

setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi

cairan serosa ke rongga pleura dan peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi

dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload

miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi

dan penurunan perfusi organ.1,2

Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari

hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi,

penguatan kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi.

Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non esensial di kulit yang

menyebabkan sianosis, penurunan suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu

pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu tubuh yang >2oC

menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh. Pada tahap sindrom syok

dengue kompensasi, curah jantung dan tekanan darah normal kembali.3

12
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok

dengue, berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik

sudah berat, sudah terjadi dekompensasi. Pasien awalnya terlihat letargi atau

gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin lembab,

sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan nadi ≤ 20 mmhg dan hipotensi.

Kebanyakan pasien masih dalam keadaan sadar sekalipun sudah mendekati

stadium akhir.2,4

Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.

Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah

jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan terjadi iskemia

jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi

kerusakan sel dan organ dan pasien akan meninggal dalam 12-24jam.5,6

2.2 ETIOLOGI

Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue

disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus

(Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride,

dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah

satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,

sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap serotipe lain tersebut.

Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3-4 serotipe

selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan di berbagai daerah di

Indonesia. Di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe

ditemukan dan versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia. Pada tahun 2009

13
dilakukan penelitian di Jakarta dan ditemukan bahwa 69% pasien DBD terinfeksi

oleh serotipe Den-4 dengan manifestasi klinis yang lebih ringan.6 Serotipe Den-3

merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menimbulkan

manifestasi klinis yang berat.7

2.3. VEKTOR

Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus,

diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3 dan DEN-4.

Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus

Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular

penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai

vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut

merupakan nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat

perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di

permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak

ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara

lain: bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban

bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di

wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di

penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan

bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun

juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.

Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih

menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya

14
untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus

gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan

risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat,

satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan

mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.8

Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation period)

sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus memerlukan

waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum menimbulkan

penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila nyamuk menggigit

manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5

hari sebelum timbul demam.2

2.4. TRANSMISI

Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti

betina yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia

yang terinfeksi virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi

dapat menularkan virus selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang

terinfeksi juga dapat menularkan virus kepada anak-anak mereka dengan

transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi peran penularan virus ke manusia

belum didefinisikan.

15
Gambar 2.1. Perjalanan Transmisi Virus Dengue

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus,

karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar

dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu

yang sama mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus

saat periode ini.

Gambar 2.2. Replikasi Virus Dengue pada Vektor

2.5. EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara

simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,

dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi

16
Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue

dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering

terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir semua penderita dengan sindrom syok

dengue mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang

menunjukkan infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat.

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu

infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang

tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini

menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35

tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun daerah

penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah ditemukan di seluruh

provinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya kejadian

luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.00 penduduk pada

tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk pada akhir tahun 2005.

Gambar 2.3. Prevalensi Kasus DBD di Seluruh Dunia

17
Tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini

terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap

kehidupan vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc

Michael 2006, perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,

kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan

serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan

vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor

perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk

dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin

membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin

mudah dan semakin luas.

Gambar 2.4. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun
1968– 2009

18
Gambar 2.5. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun
2009

Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan

AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara

Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000

penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI >

55 kasus per 100.000 penduduk). Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5

provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5.

Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi

dengan DKI Jakarta selalu menduduki angka insidens yang paling tinggi setiap

tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas

penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah

lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda

dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005

kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344

orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di

Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi

19
sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih

mudah berkembang biak.8

Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD

sangat kompleks, yaitu :

 Pertumbuhan penduduk yang tinggi

 Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali

 Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis

 Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor

antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi virus

dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola

berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu

panas (28-32oC) dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap

bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat

perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi

pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim

terhadap demam berdarah dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar

jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai

puncaknya pada bulan Januari.5

Menurut Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, di Kalimantan Selatan

ditemukan 103 kasus DBD sepanjang bulan Februari 2018. Di Pulau Kalimantan,

Kalimantan Selatan menempati urutan kedua terbanyak penderita DBD setelah

Kalimantan Tengah. Pada tahun 2016, terdapat 4.085 pasien kasus DBD se-

20
Kalsel, 29 orang di antaranya meninggal dunia dengan rincian Kabupaten Banjar

dan Kabupaten Tanah Laut masing-masing tercatat terdapat lima orang tewas,

Kabupaten Tabalong ada empat orang meninggal, dan Kabupaten Tanah Bumbu,

Tapin, dan Kota Banjarbaru masing-masin 2 orang meninggal karena DBD,

selanjutnya Kabupaten Kotabaru terdapat 3 orang meninggal, dan Kabupaten

Barito Kuala, Balangan, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Tengah masing-

masing satu orang meninggal dunia. Mayoritas korban tewas akibat DBD berusia

2-12 tahun. Tahun 2017 tercatat terdapat 547 pasien kasus DBD se-Kalsel, dua di

antaranya meninggal dunia yang berasal dari Kabupaten Tanah Laut dan

Kandangan (Kabupaten HSS). Tahun 2018 baru tercatat 103 pasien hingga bulan

Februari dan belum ada laporan pasien yang meninggal dunia.

2.6. PATOGENESIS

Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian epidemiologi

memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2,3, dan 4

sekunder. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk

dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi

tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang

berulang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini merupakan

dasar teori yang disebut the secondary heterologous infection atau the sequential

infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu

reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi

dengan konsentrasi tinggi.

21
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain

yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi

yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama

makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enchancement (ADE), suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada

tiap pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa

hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan

titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam

limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah

banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang

akan mengaktifkan sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3

dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Pada

pasien yang syok berat volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30%

dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya peningkatan hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan

22
pada rongga serosa (efusi pleura dan ascites). Syok yang tidak ditangani secara

adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia.

Selain mengaktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi

trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel

pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD.

Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-

antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga

trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit dihancurkan oleh

RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini menyebabkan

pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID),

ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga ada

penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang

dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pada DBD akibat

trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat KID, kelainan fungsi

trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan memperberat

syok yang terjadi.

Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah

memposisikan tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi

hipermetabolik tubuh menuntut mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP.

23
Dampak sampingnya ialah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS).

ROS bersama sitokin proinflamatori menyebabkan penurunan elastisitas otot

polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi jantung terutama

pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok pada infeksi DBD dapat

terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan, kelumpuhan otot polos vaskuler,

kelumpuhan miokard.9

a. Volume plasma10

Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan

menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan

bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa

demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi

secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma

melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada

kasus syok menimbulkan bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah

ekstravaskular melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung ialah

meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga

serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium.

b. Trombositopenia

Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai

terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa

konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda

dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat

24
meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah

depresi fungsi megakariosit. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak

diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,

komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem

pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Trombositopenia dan

gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya

perdarahan pada demam berdarah dengue 10

Tabel 2.1 Hubungan Jumlah Trombosit dengan Risiko Perdarahan11


Trombositopenia dan Risiko Perdarahan
Jumlah Trombosit (sel/µl) Risiko
>100.000 Tidak ada risiko tinggi
50.000-100.000 Risiko trauma mayor
20.000-50.000 Risiko trauma minor
<20.000 Risiko perdarahan spontan
<10.000 Risiko perdarahan yang mengancam
nyawa

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis10

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah

dengue. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa

tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan

menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD

berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products. Penelitian lebih lanjut

faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas Antitrombin III.

Kelainan fibrinolisis pada demam berdarah dengue dibuktikan dengan penurunan

aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah

dengue stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi

25
intravaskular diseminata juga secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah

dengue tanpa syok. Pada masa dini demam berdarah dengue, peran koagulasi

intravaskular diseminata tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma

tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok

akan memperberat koagulasi intravaskular diseminata. Syok dan koagulasi

intravaskular diseminata akan saling memengaruhi sehingga penyakit akan

memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital

yang biasanya diakhiri dengan kematian.

Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan

bahan-bahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus

sistem protombotik (koagulasi primer dan koagulasi sekunder) hingga terjadilah

trombosis yang luas di organ-organ tubuh hingga menimbulkan Multiple Organ

Dysfunction (MOD) dan faktor-faktor koagulasi (trombosit dan plasma faktor)

akan terpakai hingga terjadi juga defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat

menimbulkan perdarahan.

Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya

maupun melalui kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat

kendali sistem hemostasis. Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di

atas dengan memacu :

1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga

terjadi juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini

(AT.III, prot C dan S) dan lain-lain

26
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisiskan trombus yang telah terjadi

hingga menyebabkan defisiensi trombosit.

Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi

plastin (faktor VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perdarahan

disertai juga dengan defisiensi AT III, protein C dan S dan plasminogen yang

dapat menyebabkan trombosis. Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-

sama.

d. Sistem komplemen10

Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue

memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada

kasus yang disertai syok maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung

pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi

sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang

mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepas histamin dan

merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,

pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita

demam berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat

dalam 24 jam, adanya kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi

antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.

27
Komplek virus - antibody

XII XIIa

Fibrinolisis Kinin Komplemen


koagulasi

plasmin Peningkatan
Permeabilitas

Fibrin FDP

Perdarahan Syok

Gambar 2.6. Secondary Heterologus Infection

28
Suplai darah pusing
otak menurun

Penurunan volume
& tekanan darah Osmolalitas
plasma darah haus
meningkat

Respon Jangka Respon Jangka


1.
Panjang Pendek

Saraf
Hormonal: Hormonal:
ADH ADH
2.
Angiotensin II Angiotensin II
3.
Aldosteron
EPO Stimulasi SSP
4. baroreseptor
5. &
kemoreseptor

Urin
pekat, Perangsanga
oliguria n sistem
kardiovaskule
r  RR meningkat
Kenaikan  Denyut
Aktivasi saraf
volume darah jantung
simpatis
6. meningkat
 Nadi lemah
 Bibir kering
Hormonal:
Adrenalin &
noradrenalin

Vasokonstrik
si perifer,  Pucat
peningkatan  Ekstremitas
aliran balik terasa dingin
vena  Pengisian kapiler
memanjang

Peningkatan curah jantung

Peningkatan volume
& tekanan darah

Gambar 2.7. Patofisiologi Syok Hipovolemik. Respons Tubuh Terhadap


Kehilangan Darah Sampai Dengan 20%

29
Kompensasi
hipovolemik
gagal

Penurunan sangat
besar pada volume
Peningkata
darah
n
permeabilit
as kapiler
Curah jantung Kerusakan
menurun Jantung
miokardiu
m

Penurunan
aliran balik Aliran darah ke
vena jantung
menurun

Tekanan arteri
menurun

Penggumpalan
darah pada Aktivasi simpatis &
pembuluh darah respon iskemik
sentral

Peningkatan Aliran daraf


asam laktat, pH, Jaringa perifer menurun
CO2 Kerusakan
n ireversibel
miokardiu
m
Jaringan
kekurangan Kulit
Asidosis O2 pucat &
metabolik dingin Penurunan curah
Aktivitas jantung bertahap
simpatis
menurun

Kerusakan Tekanan
Otak
SSP arteri
ireversibel menurun

Aliran darah
Disorientasi ke SSP
penurunan menurun
kesadaran

Perubahan kimia Aliran darah


Vasodilatasi yang drastis perifer
kematia Sirkulas
general pada jaringan sangat
n i kolaps
rendah

Gambar 2.8. Respons Tubuh Terhadap Kehilangan Darah Lebih Dari 30%

30
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi

(masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani

oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).

Fase1 : kompensasi

Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui

mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan refleks simpatis, yaitu

meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah

dari organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan

darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan darah diastolik meningkat akibat

peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit). Untuk

mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan

meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi

vasopressin dan renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal

untuk menahan natrium dan air dalam sirkulasi. Manifestasi klinis yang tampak

berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin dengan pengisian kapiler

(capillary refilling) yang melambat >2 detik.

Fase II : Dekompensasi.

Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah

jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan

dengan perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga

metabolisme berlangsung secara anaerobik yang tidak efisien. Alur anaerobik

menimbulkan penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir

31
dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam

karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.

Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap

katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme

energi dependent NaK-pump ditingkat selular, akibatnya integritas membran sel

terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir

dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin

serta sistem koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan timbulnya

agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi perdarahan.

Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,

serotonin, sitokin (terutama tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,

oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin

factor). Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal

keadaan stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat

memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan

permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali kejantung

(venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.

Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan

darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary

refill bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan

dalam) dengan depresi susunan saraf pusat (penurunan kesadaran).

32
Fase III : Irreversible

Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus

berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi

organ lainnya. Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di

jantung dan hepar, sintesis ATP yang baru hanya 2%/jam dengan demikian tubuh

akan kehabisan energi. Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan

maka metabolisme menjadi metabolisme anaerobik yang tidak efektif dan hanya

menghasilkan 2 ATP dari setiap molekul glukosa. Pada metabolisme aerobik

dengan oksigen dan nutrisi yang cukup dengan pemecahan 1 molukel glukosa

akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolisme anaerobik ini akan terjadi

penumpukan asam laktat dan pada akhirnya metabolisme tidak akan mampu lagi

menyediakan energi yang cukup untuk mempertahan homeostasis seluler, terjadi

kerusakan pompa ionic dinding sel, natrium masuk ke dalam sel dan kalium

keluar sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan

kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ tubuh atau

terjadi kegagalan organ multiple dan renjatan yang ireversibel. Kematian akan

terjadi walaupun sistem sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis

berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin

dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem organ lain.

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun

secara umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan

respons untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-

organ vital melalui refleks neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada

33
volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan sistem pompa jantung.

Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila

terjadi syok hipovolemik maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah

melalui:

- Baroreseptor

Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam

pembuluh darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap

baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke

pusat juga berkurang sehingga akan terjadi:

- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre

- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan

takikardia. Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri

dan kanan, ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus

merupakan baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan

darah.

- Kemoreseptor

Respons baroreseptor mencapai respons maksimal bila tekanan darah

menurun sampai 60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang

terangsang bila terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan

kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas dan rangsangan pernafasan.

- Cerebral ischkemic reseptor

34
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi

sympathetic discharge massif. Respons dari reseptor di otak ini lebih kuat dari

pada reseptor-reseptor perifer.

- Reseptor humoral

Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormon-

hormon stress seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormon

yang mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari

hormon ini adalah terjadinya takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi.

Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan darah perifer dan preload,

isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisis posterior juga

meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.

- Retensi air dan garam oleh ginjal

Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh

apparatus jukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I.

Angiotensin I ini oleh converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang

mempunyai sifat:

- Vasokonstriksi kuat

- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi

natrium di tubulus ginjal.

- Meningkatkan sekresi vasopressin.

35
Volume sirkulasi↓

Preload ↓

Volume sekuncup ↓

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic


reseptor

Cardio inhibitor center Aktivasi cardiostimulator


dihambat center

Output simpatetik
meningkatkat,output
parasimpatetik menurun

HR↑, kontraktilitas otot jantung


↑, vasokonstriksi

Ginjal
Angiotensi, vasopressin, aldosteron

Gambar 2.9. Respons Tubuh Terhadap Keadaan Syok

2.7. MANIFESTASI KLINIK

Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Setelah masa

inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase yaitu fase demam, kritis dan

resolusi/pemulihan. Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak,

malaise, mual, muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya

terdapat ekstremitas dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak,

gelisah, iritabel, nyeri mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan

tungkai. Pernafasan cepat dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara

jantung halus. Hati mungkin membesar dibawah tepi kosta dan biasanya keras

36
dan agak nyeri. Kurang dari 10% penderita menderita ekimosis atau perdarahan

saluran cerna yang nyata, biasanya paska masa syok yang tidak terkoreksi.

1. Fase demam

Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun

tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40 oC dan dapat

terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,

arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri

tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga

dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengue dengan demam non

dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket

meningkatkan kemungkinan demam dengue.

Gambar 2.10. Perjalanan Penyakit Demam Dengue

37
2. Fase kritis

Akhir fase demam merupakan fase kritis, anak terlihat seakan sehat, hati-

hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7 adalah fase

kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48 jam. Progresif

leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului terjadinya kebocoran

plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma akan

membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya

karena kehilangan volume plasma. Asites dan efusi pleura bisa terdeteksi

tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.

3. Fase resolusi

Bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan

umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil. Semua nilai lab

kembali normal secara perlahan.

Tanda-tanda perdarahan

Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda

perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari pertama tetapi

dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti epistaksis,

perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat juga hematuria.

Hepatomegali

Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar

bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.

Nyeri sendi

38
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang

disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14 Pada

kira-kira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan

umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam

menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.

Syok

Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu

terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai menurun

hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal syok, mekanisme

kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal sistolik juga

menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada

kulit menyababkan akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.

Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan

tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menandakan

gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat

bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba

dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut,

pasien menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba. Sesaat

sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan :

 Denyut nadi cepat dan lemah

 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya

menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan

sirkulasi serebral

39
 Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat

dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)

 Hipotensi  Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau

kurang

 Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan

hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi

yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara

refleks.

 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi

arteri renalis

Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam

waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat pergantian cairan yang

memadai. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok

timbul. Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita

sindrom syok dengue. Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar

terjadi perdarahan gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam,

biasanya mempunyai prognosis buruk.

Tabel 2.2. Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik


Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi Ireversible
Blood loss (%) Sampai 25 25 – 40 > 40

Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia

Tekanan Sistolik Normal Normal/menurun Tidak terukur

Nadi/volume Normal/menurun Menurun + Menurun ++

40
Capillary refill Normal/meningkat Meningkat > 5 Meningkat ++
3-5 detik detik

Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin+/deadly


pale

Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing


respiration

Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi -/ hanya


bereaksi terhadap nyeri

WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi, yaitu:

1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari

2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif

3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)

4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites)

2.8. DERAJAT/GRADE DEMAM BERDARAH MENURUT WHO (9)

 Grade I

 Demam dan gejala konstitusional

 Uji torniket +

 Grade II

 Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan lainnya)

 Grade III

 Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg

 Tekanan Sistolik normal

 Grade IV

 Syok mendalam

41
 Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi

 Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue

 Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD

grade I dan II dengan Demam dengue

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

a. Leukosit

Normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir fase demam

jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah limfosit relatif

meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB

>4%) di daerah tepi dijumpai pada hari sakit ke 3-7.

b. Trombosit

Jumlah trombosit ≤ 100.000/ul atau kurang dari 1-2/lpb biasanya terjadi pada hari

ke 3-7.

c. Hematokrit

42
Gambaran hemokonsentrasi merupakan indikator yang peka akan terjadinya

perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala.

Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan

peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit

dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan.

a. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara

b. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan

c. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen, protrombin seperti

faktor V, VII, IX, X

d. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang

e. Hipoproteinemia

f. Hiponatremia

g. SGOT/SGPT sedikit meningkat

h. Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada

syok yang berkepanjangan.

Radiologi

Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan efusi

pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus kanan. Ascites

dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.

Serologis

1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)

Uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan dipergunakan sebagai

gold standard pada pemeriksaan serologis. Meskipun begitu, terdapat hal-hal

43
yang perlu diperhatikan pada uji HI ini : (a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik,

artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI

bertahan sangat lama dalam tubuh (sampai >48 tahun), sehingga sering dipakai

dalam studi sero-epidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer

konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada

serum akut atau konvalesens dianggap sebagai positif infeksi dengue yang baru

terjadi (recent dengue infection).

2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)

Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik rutin, oleh

karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan tenaga yang

berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi CF hanya bertahan

beberapa tahun saja (2-3 tahun).

3. Uji Neutralisasi (NT test)

Uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Uji neutralisasi

memakai cara yang disebut Plague reduction Neutralization Test (PRNT) yang

berdasarkan adanya reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi dideteksi

hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Tetapi uji

neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak

dipakai secara rutin.

4. IgG dan IgM Elisa

Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti

oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif

singkat dan akan disusul dengan pembentukan igG. Pada kira-kira hari ke 5

44
terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus. Imunoserologi berupa IgM

(merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda infeksi masa

lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan

menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-

14 pada infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

Gambar 2.11. Tingkat Antibodi Virus Dengue


5. NS1-Ag tes

Tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8 hari pertama

yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen NS1. Keuntungan

mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui adanya infeksi dengue pada

penderita tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya

antibodi. Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya infeksi

virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai penelitian menunjukkan

bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya dibandingkan kultur virus dan

pemeriksaan PCR maupun antibodi IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas antigen

NS1 100% sama tingginya seperti pada gold standard kultur virus maupun PCR.

Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang tidak terdapat

pada partikel virus yang terinfeksi namun terakumulasi di dalam supernatan dan

45
membran plasma sel selama proses infeksi. NS1 merupakan gen esensial di dalam

sel yang terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor untuk replikasi virus,

yang terdapat bersama di dalam bentuk replikasi RNA double-stranded. Immune

recognition dari permukaan sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan berperan

dalam mekanisme kebocoran plasma yang terjadi selama infeksi virus dengue

yang berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1 berhubungan dengan membran

plasma, yang tidak berisi motif sekuens membrane-spanning masih belum jelas.

NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel epitelial dan

sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat terhadap berbagai sel darah

tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada

dalam sirkulasi dan dapat mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat

mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai demam hari ke-9

dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%, DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%,

DEN-4 : 93,35%.

2.10. DIAGNOSIS

Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi kriteria

demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Kriteria demam berdarah

dengue yaitu:

Gejala klinis

 Demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik

 Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut ini:

- Tes tornikuet positif

- Ptekie, ekimosis atau purpura

46
- Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi

lain

- Hematemesis atau melena

 Hepatomegali

 Syok

Laboratorium

 Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)

 Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari

20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)

 Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG) dengan

enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi moniklonal, atau tes

hemaglutinasi

 Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan basa urea

nitrogen

 Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat

 Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja

Pemeriksaan penunjang lain:

 Radiografi dada: efusi pleura

 CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri.2,3

2.11 PENATALAKSAAN

Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis,

setiap menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat

sangat diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.

47
Pemberian cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem

disfungsi organ yang dapat menyebabkan kematian. Gangguan elektrolit (natrium

dan kalsium), ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan

potensi terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (DIC). Syok

merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama,

yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan

cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.2

Indikasi perawatan:

 Takikardi

 Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)

 Dingin dan pucat

 Perubahan status neurologik

 Oliguria

 Hematokrit mendadak tinggi

 Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)

 Hipotensi

Mengingat sindrom syok dengue merupakan keadaan kritis, maka penyebab

langsungnya harus segera ditentukan apakah akibat perdarahan atau akibat

perpindahan plasma.9

Obat pertama yang diberikan pada kegawatan DBD ialah oksigen.

Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil

contoh darah untuk analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah

trombosit, golongan darah, dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl,

48
Ca, Mg, dan asam laktat. Lalu pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin,

urinalisis dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung setiap jam

(normal 2-3 ml/kgBB/jam). Bila diuresis kurang 1 ml/kgBB/jam maka terdapat

hipoperfusi ginjal. Pemasangan pipa oro/nasogastrik pada anak sakit gawat

berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna dan melakukan

bilasan lambung dengan garam fisiologik.

Tabel 2.3. Perbandingan Cairan Kristaloid dengan Cairan Koloid


Cairan Kristaloid Cairan Koloid
Mengandung zat dengan berat Mengandung zat dengan berat molekul
molekul rendah (<8000 dalton) tinggi (>8000 dalton)

Cairan kristaloid dengan atau tanpa Tekanan osmotik tinggi, sebagian besar
dekstrosa akan tetap tinggal di ruang
intravaskuler
Larutan RL atau dekstrosa 5%
dalam larutan RL. Larutan RA atau
dekstrosa 5% dalam larutan RA.
Larutan NaCl 0,9% atau dekstrosa
5% dalam larutan garam faali

Tekanan onkotik rendah, cepat


terdistribusi ke ruang ekstraseluler
Menurunkan tekanan osmotik Respon metabolik adalah meningkatkan
koloid plasma dan cenderung pengiriman oksigen ke jaringan dan
menimbulkan edema konsumsi O2 serta menurunkan laktat
serum

Koloid isoonkotik mengisi ruang


intravaskuler tanpa mengurangi volume
interstisial

Mempertahankan tekanan osmotik


koloid plasma dan menurunkan
akumulasi cairan interstisial

Larutan yang mempunyai efek


menyumpal, paling baik koloid dengan
BM 100.000-300.000 dalton

49
Cairan koloid yang dapat dipakai adalah :

1. DEKSTRAN

Larutan 10% dekstran 40 dan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan

hiperonkotik, maka cairan ini akan menambah volume plasma karena menarik

cairan dari ekstravaskular ke intravaskular. Efeknya dipertahankan masing-masing

3,5-4,5 jam dan 6-8 jam. Efek samping meggangu mekanisme pembekuaan darah

dengan cara menurunkan jumlah fibrinogen dan menggangu fungsi trombosit.

Tidak boleh diberikan pada DIC.

2. Gelatin

Haemasel dan gelofusin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik

dan isoonkotik.efeknya menetap sekitar 2-3 jam dan tidak menggangu pembekuan

darah.

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)

6% hes 200/0,5;6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan isoonkotik,

sedangkan 10 % HES 200/0,5 isotonik dan hipoonkotik. Gangguan pembekuan

darah tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24jam

50
Diagram5

Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

1. oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)


2. penggantian volume plasma segera
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian cairan
intravena

syok teratasi syok tidak teratasi

kesadaran membaik kesadaran menurun


nadi teraba kuat nadi
lembut/tidak teraba
tekanan nadi>20 mmHg tekanan nadi
<20mmHg
tidak sesak nafas/sianosis distres
pernapasan/sianosis
ekstremitas hangat ekstremitas dingin
diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam periksa kadar
gula darah

cairan dan tetesan disesuaikan lanjutkan


cairan
10 ml/kgBB/jam 20
ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat tambahkan koloid/plasma


Tanda vital dekstran/FPP
Tanda perdarahan 10-20 (max 30)
ml/kgBB/jam
Diuresis
Hb, Ht, trombosit
Koreksi asidosis
Syok belum teratasi
Evaluasi 1 jam

51
Stabil dalam 24 jam/Ht <40
Tetesan 5 ml/kgBB/jam

Syok teratasi
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Ht turun
Ht tetap tinggi/naik

Infus stop tidak melebihi 48 jam tranfusi darah segar 10


ml/kgBB 10-20ml/kgBB koloid
setelah syok teratasi diulang sesuai kebutuhan

Pertimbangkan
pemakaian inotropik Syok belum teratasi
dan koloid HES BM
100.000-300.000 D

4. Penatalaksaan pasien dengan syok yang terkompensasi

- Berikan cairan isotonik kristaloid secara intravena dengan dosis 5-10

ml/kgBB/jam, habis dalam 1 jam. Lalu periksa tanda vital, cappilary refill

time, hematokrit, dan produksi urin.

- Jika keadaan pasien membaik, cairan kristaloid diturunkan secara perlahan.

Turunkan 5-7 ml/kgBB/jam dalam waktu 1-2 jam. Lalu 3-5 ml/kgBB/jam

dalam waktu 2-4 jam. 2-3 ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. Jika keadaan

terus membaik, maka cairan dapat terus dikurangi.

- Bila keadaan pasien tidak membaik, dimana tanda vital tetap tidak stabil,

periksa hematokrit setelah pemberian bolus pertama. Bila hematokrit

meningkat atau tetap tinggi (≥50%), berikan bolus kristaloid kedua dengan

dosis 10-20 ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Bila setelah pemberian cairan kedua ini

ada perbaikan, kurangi dosis cairan kristaloid menjadi 7-10 ml/kgBB/jam

dalam 1-2 jam, dan terus kurangi dosis seperti yang telah dijelaskan di atas.

52
Bila nilai hematokrit menurun dari nilai hematokrit awal (< 40% pada anak dan

wanita dewasa, < 45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya perdarahan,

lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah secepatnya.

- Selanjutnya bolus larutan kristaloid ataupun koloid mungkin perlu diberikan

selama 24-48 jam berikutnya.

Gambar 2.12. Algoritma Terapi Cairan Pada Syok Terkompensasi

5. Penataksaan pasien dengan syok yang tidak terkompensasi

- Beri cairan isotonik ataupun kristaloid (bila tersedia) secara intravena dengan

dosis 20 ml/kgBB/jam selama 15 menit

- Bila keadaan pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10

ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Lalu lanjutkan dengan pemberian cairan kristaloid

53
dan kurangi dosis secara perlahan, 5-7 ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam. Lalu 2-5

ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam. Dan 2-3 ml/kgBB/jam atau kurang, yang dapat

dipertahankan selama 24-48 jam.

- Bila tanda vital masih tidak stabil, periksa nilai hematokrit sebelum pemberian

cairan pertama. Jika nilai hematokrit rendah (< 40% pada anak dan dewasa

muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya perdarahan, lakukan

cross match, dan memerlukan transfusi darah secepatnya.

- Bila nilai hematokrit lebih tinggi dari nilai hematokrit awal, maka danti cairan

dengan berikan cairan koloid 10-20 ml/kgBB dalam waktu 30 menit sampai 1

jam. Bila keadaan pasien membaik, turunkan dosis 7-10 ml/kgBB/jam dalam 1-

2 jam, lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid dan turunkan dosis seperti

yang telah disebutkan diatas. Jika masih belum stabil, periksa kembali

hematokrit.

- Bila nilai hematokrit turun dari nilai sebelumnya (< 40% pada anak dan dewasa

muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya perdarahan, lakukan

cross match, dan memerlukan transfusi darah secepatnya. Bila nilai hematokrit

meningkat dari nilai sebelumnya atau tetap tinggi (> 50%), lanjutkan

pemberian koloid 10-20 ml/kgBB sebagai bolus ketiga dalam waktu 1 jam.

Lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid dan turunkan dosis seperti yang telah

disebutkan diatas saat keadaan pasien mulai membaik.

- Bolus cairan mungkin perlu diberikan selama 24 jam ke depan.

Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga tanda-

tanda bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda vital dan

54
perfusi perifer harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari

keadaan syok, lalu monitor setiap 1-2 jam. Secara umum, semakin tinggi tingkat

cairan infus, pasien lebih sering harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari

overload cairan sementara memastikan penggantian volume yang memadai.

Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk memudahkan

menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum dan sesudah bolus

cairan samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap 4-6 jam. Terkadang

diperlukan juga pemeriksaan analisis gas darah , laktat, karbondioksida/bikarbonat

(setiap 30 menit sampai 1 jam hingga pasien stabil, lalu diperiksa kembali sesuai

kebutuhan), gula darah (sebelum dan sesudah pemberian cairam,periksa kembali

sesuai indikasi), dan pemeriksaan fungsi organ lainnya ( ginjal, hepar, koagulasi,

dll).

55
Gambar 2.13. Algoritma Terapi Cairan Pada Syok Tidak Terkompensasi

Indikasi pemberian darah:2

- Terdapat perdarahan secara klinis

56
- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit

turun, diduga telah terjadi perdarahan. Berikan darah segar 10 ml/kgBB

- Apabila kadar hematokrit tetap >40vol%, maka berikan darah dalam volume

kecil.

- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan

koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata pada syok berat yang

menimbulkan perdarahan masif.

- Pemberian tranfusi suspensi trombosit pada Koagulasi Intravaskular

Diseminata harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang

diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih hebat.

Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting

dalam mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda

syok, terapi cermat harus diberikan segera. Pasien kemudian harus dibawah

observasi konstan dan cermat sampai ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat.

Tindakan berikut harus dilakukan rutin pada situasi tersebut:

1. Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit

sampai syok teratasi. Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati,

tanda ensefalopati

2. Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12

jam.

3. Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan

tipe cairan dan kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi

keadekuatan penggantian cairan. Frekuensi dan volume keluaran urin

57
juga harus dicatat, dan kateter urin mungkin diperlukan pada kasus

syok sulit teratasi.

Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk

persiapan tranfusi darah apabila diperlukan.

Pasien demam berdarah dengue perlu dirujuk ke ICU Anak atas indikasi:

- Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)

- Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)

- Perdarahan saluran cerna hebat

- Demam berdarah dengue ensefalopati

Kriteria pasien pulang:12

- Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik

- Nafsu makan membaik

- Tampak perubahan klinis

- Output urin baik

- Hematokrit stabil

- Melewati 2 hari setelah syok

- Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites

- Trombosit >50.000/mm3

2.11. KOMPLIKASI5

1) Overload cairan

Kelebihan cairan dengan efusi pleura yang luas dan ascites merupakan

penyebab distress pernafasan akut tersering pada dengue berat. Penyebab

kelebihan cairan pada dengue adalah:

58
- Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang terlalu cepat

- Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan hipotonik

daripada cairan isotonik.

- Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada pasien dengan

perdarahan masif yang tidak diketahui

- Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma, trombosit

konsentrat, dan kriopresipitat

- Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma telah

membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)

2) Keadaan komorbid

Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena karena

selama masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga peritoneum akan

kembali ke intravaskuler.

3) Perdarahan (biasanya gastrointestinal)

Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan trombositopenia

yang cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan hindari dari trauma untuk

mencegah perdarahan. Tidak semua pasien mengalami perdarahan yang cukup

banyak. Hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Pemberian transfusi darah harus

dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau terlihat adanya tanda-tanda

perdarahan yang masif. Tetapi pada pemberian transfusi darah pun harus di

monitor sebaik mungkin untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien. Jangan

menunggu nilai hematokrit terlalu rendah untuk memutuskan pemberian transfusi

darah. Berikan 5-10 ml/kgBB PRC atau 10-20 ml/kgBB whole blood.

59
4) Hiperglikemia dan hipoglikemia

5) Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum kalsium

6) Asidosis metabolik

Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok

7) DIC

Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang

berat, tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang

dimasukkan ke dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat

ditemukan tanda petekie dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada

banyak organ dan terlihat tanda infark yang luas di kulit, di jaringan subkutan atau

ginjal.

8) Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma

Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan

mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema serebri,

hiponatremia, anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau pelepasan produk

toksik.

Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok

yang berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada DBD

yang tanpa disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia,

atau perdarahan dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Hal ini mungkin

pula disebabkan oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat

dari koagulasi intravaskular menyeluruh. Adapun perihal yang menyatakan bahwa

ensefalopati dengue berhubungan dengan kegagalan hati akut.

60
Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen

dan dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus

diatasi terlebih dahulu untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.

9) Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal

akut)

Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi

syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom hemolitik

uremikum yang jarang terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan nekrosis

tubular akut yang ditandai dengan oligouria/anuria disertai peningkatan kadar

ureum dan kreatinin

10) Oedem paru

Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan.

Pemberian cairan yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi cairan

pada sekitar hari sakit ke 7 dapat menimbukan keadaan ini. Ditandai dengan sesak

napas, kelopak mata sembab, dan ditunjang dengan gambaran oedem paru pada

pemeriksaan radiologi toraks.

11) Co-infection dan infeksi nosokomial

2.12. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan

pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi,

takipneu, dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan.13

61
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan

kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan

meningkatkan kematian hingga 40%.14

Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom syok

dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan.12

62
BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis dengue shock syndrome ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini. Penegakan

diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria, yang

memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab

yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hati,

terdapat manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari

pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan

sirkulasi), yaitu keadaan umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 90/60

mmHg, nadi yang cepat (105x/menit) dan tidak kuat angkat, frekuensi nafas 20

x/menit, akral dingin dan perfusi jelek. Dari pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil leukosit yang berada dalam batas

normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang cenderung meningkat serta

didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 17.000/mm3 (pemeriksaan pada tanggal

22/11/2018). Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratorium DBD.

Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya

hemokonsentrasi. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya

kebocoran plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Selain

itu pada pasien ini juga didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi

yang lemah, perfusi perifer yang menurun dan akral yang dingin dan lembab. Hal

ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami DSS.

63
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok

dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien

dapat tiba-tiba memburuk, yang biasanya terjadi pada saat atau setelah demam

menurun, yakni antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian besar kasus ditemukan

tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi

menjadi cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut

sesaat sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan

adanya hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan

trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb

merupakan bukti terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai

berat yang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang

khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan

membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang

bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi, atau

hipoproteinemia.

Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya

perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan

plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap

adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah

terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase

demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi

pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut

diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan

64
perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar

hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan

diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan.

Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan

simtomatik. Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal

kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada semua

pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan >92%, oleh karena

itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse oximetry untuk mengetahui

saturasi oksigen dalam darah. Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan

intravena berupa ringer laktat (RL) 840 mL dalam 30 menit pertama .Ringer laktat

adalah salah satu larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO pada terapi

DBD. Pengobatan awal cairan intravena pada keadaan syok adalah dengan larutan

kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30 menit. Pada pasien ini berat badannya

adalah 42 kg sehingga didapatkan jumlah cairan yang diberikan adalah 840 ml

dalam 30 menit dengan tetesan infus sebesar 560 tetes per menit makro {(840/30)

x 20}. Apabila syok belum teratasi dan atau keadaan klinis memburuk setelah 30

menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau

plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB/jam. Segera

setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan

tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien kondisi membaik setelah dilakukan pemberian

cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi menjadi 420 ml

dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka

cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) atau Jika dalam 24 jam

65
kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126 ml/jam (3

ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi

pemberian terapi cairan dapat dihentikan. Pada pasien ini juga dilakukan infus 2

jalur dengan menggunakan larutan koloid (asering : Hes = 1:1).

Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi

lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus

disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari

pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus

menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma

berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan

ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak

dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan

Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan antrain untuk

mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3x1 gram intravena dan paracetamol

3x500 mg (jika suhu tubuh >38,0oC). Karena pasien ini mengeluhkan adanya

nyeri perut terutama di ulu hati maka juga diberikan pantoprazole dengan dosis 40

mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari dan sirup sukralfat 3x1 C.

Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder

yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti

pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan dan pengambilan sampel darah

yang secara rutin dilakukan. Kesemuanya itu mempunyai resiko untuk terjadinya

infeksi pada pasien ini. Pasien juga diberikan kapsul psidii yang dapat membantu

dalam menaikkan nilai trombosit. Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan

66
terapi non medikamentosa, yaitu minum air yang banyak, mengedukasi keluarga

pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup,

menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan

agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk, khususnya saat

berada di lingkungan sekolah; dan menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik

kualitas, maupun kuantitasnya.

Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa

antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit

stabil, tiga hari setelah syok teratasi, dalam evaluasi nilai trombosit mengalami

kenaikan, serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada

pasien saat ini tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena

organ-organ vital pasien masih berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya

manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad sanactionam bonam karena kekambuhan

pada DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi oleh virus dengue. Dengan

edukasi yang tepat, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya infeksi

virus dengue.

67
BAB IV

KESIMPULAN

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke

ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.

Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari

ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular

sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan

peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang

mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume

sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan

perfusi organ.

Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, anak yang semula

rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis,

sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral, tekanan nadi

menurun (20mmHg atau kurang), hipotensi (tekanan sistolik pada anak menurun

menjadi 80 mmHg atau kurang), kulit dingin dan sembab, oliguria sampai anuria

karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis. Syok dapat terjadi

dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau

sembuh cepat setelah mendapat pergantian cairan yang memadai.

Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis,

setiap menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat

68
sangat diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.

Pemberian cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem

disfungsi organ yang dapat menyebabkan kematian. Gangguan elektrolit (natrium

dan kalsium), ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan

potensi terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (DIC).

69

Anda mungkin juga menyukai