Anda di halaman 1dari 25

0

`
LAPORAN KASUS
Kejang Demam Kompleks ec tonsilofaringitis akut

Oleh :
Muhammad Fadillah
H1A 007 041

Pembimbing
dr. I Nyoman Budastra, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU KOTA MATARAM
2013
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : An. Pr
Umur : 3 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Br, Belaluan
Status dalam keluarga : Anak kandung

Masuk RS tanggal : 22 Agustus 2021


Tanggal Pemeriksaan : 22 Agustus 2021
No.RM : 08.05.99

II. ANAMNESIS (tanggal 22 Agustus 2021, Heteroanamnesis ibu pasien)


 Keluhan Utama : Kejang
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke UGD RSU Premagana dikeluhkan kejang sejak ± 8 jam SMRS,
kejang dialami sebanyak 3 kali dengan jarak ± 1-2 jam, sekali kejang biasanya
berlangsung sampai 5 menit, kaki dan tangan pasien kaku kemudian mata pasien
mendelik ke atas, keluar busa dari mulut disangkal ibu pasien. Menurut ibu pasien
kejang yang dialami pasien tersebut selalu diawali dengan demam, demam awalnya
naik turun, dan pada saat demam yang dialami terlalu tinggi maka akan berlanjut
dengan kejang. Demam dengan disertai menggigil disangkal.
Batuk dan pilek tidak dikeluhkan oleh pasien, sesak (-), nyeri telinga (-). Nafsu
makan dan minum pasien masih baik, mual (-), muntah (-).
BAB (+) normal, konsistensi lembek, frekuensi 1-2 kali sehari, darah (-), nyeri (-).
BAK (+) lancar, berwarna kekuningan, frkuensi 2-3 kali sehari, darah (-), nyeri (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Menurut ibu pasien, pasien pernah mengalami kejang sebelumnya, yaitu sejak pasien
berusia 18 bulan dan 2 tahun. Kejang selalu diawali oleh demam.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat ayan atau epilepsi dalam keluarga disangkal.

1
 Riwayat Pribadi
1. Riwayat Kehamilan dan persalinan
Ibu pasien mengaku tidak ada gangguan selama kehamilan. Ibu melakukan ANC
di posyandu lebih dari 4x. Pasien dilahirkan di polindes, dibantu oleh bidan, lahir
normal dan langsung menangis, berat badan lahir 2500 gram.
2. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI sampai usia 6 bulan. Selanjutnya pasien mendapat PASI
berupa bubur setelah berumur lebih dari 6 bulan. Pasien baru mulai makan nasi
saat usia 1 tahun. Pasien menyusu sampai usia 1,8 tahun. Pada usianya saat ini,
Pasien makan nasi, lauk pauk, sayur dan buah sebanyak 3 kali sehari.
3. Vaksinasi
A. Dasar : Lengkap B. Ulangan

BCG umur 1 bulan

Hepatitis umur 0,1,6 bulan

Polio umur 2,4,6 bulan

DPT umur 2,4,6 bulan

Campak umur 9 bulan

Pasien selalu mendapat imunisasi sesuai jadwal.

II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 22-Agustus-2021)


o Kesan umum : Sedang
o Kesadaran : Compos Mentis
o GCS : E4V5M6
o Fungsi Vital
Nadi : 110 kali/menit, isi dan tegangan kuat, irama teratur
Pernapasan : 24 kali/menit teratur tipe abdominotorakal
T ax : 38,4 oC
CRT : < 2 detik
Status Gizi
Berat Badan : 11,5 kg Panjang Badan: 89 cm Umur : 3 tahun

2
 Status lokalis :
o Kepala dan Leher :
Kepala : Bentuk : normosefali
Mata : Palpebra : tidak edema
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetrisitas : isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Kornea : jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada.
Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa basah, tampak kemerahan.
Gusi : tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Leher : Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Massa : tidak ada

3
o Thoraks :

 Dinding dada/paru :
Inspeksi: Bentuk : simetris
Retraksi : (-)
Dispnea : (-)
Pernafasan : abdominothorakal
Palpasi: kesan simetris, massa (-)
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: Suara Napas Dasar : Suara napas bronkovesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki -/-, Wheezing (-/-)
 Jantung :
Inspeksi: Iktus : tidak terlihat
Palpasi: Apeks : teraba pada ICS V LMC Sinistra
Perkusi: Batas jantung : dalam batas normal
Auskultasi: Frekuensi : 110 x/menit
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada
o Abdomen
Inspeksi: : Bentuk datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, asites tidak ada
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada
o Anggota Gerak:
Tungkai Atas Tungkai Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Pucat - - - -
Kelainan bentuk - - - -
Pembengkakan - - - -
Sendi

4
Pembesaran KGB
Leher - - - -
Axilla - - - -
Inguinal - - - -
Sianosis - - - -

o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)


o Vertebrae : tidak tampak kelainan

IV. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam kompleks
V. DIAGNOSIS BANDING
Epilepsi

VII. RENCANA AWAL


Terapi di UGD
- Paracetamol suppositoria 160 mg
- Kompres air hangat
- Observasi
- Sanmol syr 3x cth 1
- Stesolid syr 3x cth 1
- Amoxicillin 2 x 275 mg.
KIE
 Pengobatan minimal 1 tahun dan tidak boleh putus obat
 Antibiotik diminum sampai habis
 Jika demam, segera berikan antipiretik.

5
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh ( suhu rectal diatas 38o C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement on
febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem
susunan saraf pusat.3 Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan,
yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi
oleh demam (epilepsi triggered of by fever).
Hampir 3% anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya. Wegman
(1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang
tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal
(1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh
sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak
normal hanya 3%.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam (Febrile Convulsion)


2.1.1 Batasan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

2.1.2 Klasifikasi
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan berlangsung umum, dan kejang
demam kompleks, yang berlangsung kurang dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari
1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria penggolongan tersebut dikemukan oleh berbagai
pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut,
menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran rekam otak dan lainnya.

I. Kalsifikasi KD menurut Prichard dan Mc Greal


Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana

2. Kejang demam tidak khas

Ciri–ciri kejang demam sederhana ialah:

1. Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang kejang
sama seperti yang kanan

2. Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun

3. Suhu 37,8ºC atau lebih

4. Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit

5. Keadaan neurology (fungsi saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal

7
6. EEG (electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak demam
adalah normal

Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan sebagai kejang
demam tidak khas.

II. Klasifikasi KD menurut Livingston


Livingston membagi dalam:
1. KD sederhana
2. Epilepsy yang dicetuskan oleh demam

Ciri-ciri KD sederhana:
1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia waktu KD pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun
5. EEG normal
KD yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan sebagai epilepsy yang
dicetuskan oleh demam.

III. Klasifikasi KD menurut Fukuyama


Fukuyama juga membagi KD menjadi 2 golongan, yaitu:
1. KD sederhana

2. KD kompleks

Ciri-ciri KD sederhana menurut Fukuyama:

1. Pada keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy

2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun

3. Serangan KD yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun

4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20menit

5. Kejang tidak bersifat fokal

6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang

8
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologist atau abnormalitas
perkembangan

8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat

KD yang tidak sesuai dengan criteria tersebut diatas digolongkan sebagai KD jenis
kompleks.

IV. Klasifikasi KD Menurut J. Gordon Millichap dan Jerry A. Collifer,


Ada 2 bentuk kejang demam yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:
 Kejang berlangsung singkat < 15 menit
 Kejang umum tonik dan atau klonik
 Umumnya berhenti sendiri
 Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
 Umur penderita 6 bulan- 5 tahun
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis
sebagai berikut:
 Kejang lama >15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
 Berulang atau lebih dari 1kali dalam 24 jam
 Kejang pertama kali pada umur < 6 bulan atau > 5 tahun
Kejang Demam Plus
 Kejang demam pada anak umur > 6 tahun

 KD bersamaan dengan epilepsi

 Serangan kejang sering, > 13x/tahun

2.1.3 Faktor Resiko

9
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu
juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan khusus,
dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan
mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali
rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsy.
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat
(orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam.Tsuboi
mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang demam ialah
17% dan pada saudara kandungnya 22%.Delapan-puluh persen dari kembar monosigot
dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam.Kebanyakan peneliti
mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang
mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik.
Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat
kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara pernah pula
mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat keluarga
pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak tunggal waktu
diperiksa.Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu atau lebih saudara kandung
- 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih saudara kandung yang pemah mengalami
kejang yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah
812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam.
2.1.4 Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri

2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak

3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit

10
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas

6. Gabungan semua faktor diatas

Penyebab Demam Jumlah


Penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis 100
Otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44
Bronkitis (radang saiuran nafas) 17
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran 38
nafas)
Morbili (campak) 12
Varisela (cacar air) 1
Dengue (demam berdarah) 1
Tidak diketahui 66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi
lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mengaiami KD
dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian KD hanya
sekitar 1%. Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD pada
shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan.

2.1.5 Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan
fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.

11
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan
sebaliknya.Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.Untuk
menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.

2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.

3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme


basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan
dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot
pernafasan tidak efisiensehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi
artenal disertai denyutjantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat
oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot
meningkat.

12
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
Berikut merupakan skema penjelasan kejang demam:

Peningkatan Suhu Tubuh

Metabolisme Basal Resiko Tinggi Gangguan


Meningkat Kebutuhan Nutrisi

O2 ke Otak Menurun

Kejang Demam TIK Meningkat

Kejang Kejang
Gangguan Perkusi
Demam Demam
Jaringan
Sederhana Kompleks

Defisit
Resiko Injury
VolumeCairan

ResikoTinggiGangguan
TumbuhKembang

2.1.5 Gejala Klinis


Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Liingstone), yaitu:

13
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut :
 Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
 Kejang umum tonik dan atau klonik
 Umumnya berhenti sendiri
 Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejangparsial
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
2.1.6 Diagnosis
 Anamnesis: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga
yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung).
 Pemeriksaan Neurologis :tidak didapatkan kelainan.
 Pemeriksaan Laboratorium :pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan
guladarah).
 Pemeriksaan Radiologi : X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi.
Indikasi CT scan CT Scan atau MRI : kelainan neurologi fokal menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak. (mikrosefali,
spastisitas) atau terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran
menurun, muntah berulang, UUB menonjol, paresis N.VI, edema papil)
 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan
pungsilumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.

14
 Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) :tidak direkomendasikan, kecuali
pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada
anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
2.1.7 Diagnosis Banding
 Meningitis
 Ensefalitis
 Abses otak
2.1.8 Penatalaksanaan
Tindakan awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring
dan hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di
antara gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah
lidahnya tergigit.Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah atau
jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba
menahan gerakan anak.Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak
dengan air sedikit.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:
1. Pengobatan fase akut

2. Mencari dan mengobati penyebab

3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pengobatan Fase Akut


Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu
tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan
antipiretik sangat di perlukan. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik
adalah parasetamol 10-15mg/kgbb/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/hari
setiap 4-6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik
diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg

15
persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20
mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar
dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah
dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).
Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol
yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum
sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk
beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus.
Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg
(BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak
berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan
dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital dosis
rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis,
untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan
belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus
diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya
adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.

Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Berulangnya Kejang Demam


Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang
menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis

16
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg
(BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5OC.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis
terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya
kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.Profilaksis terus-menerus setiap hari
dengan fenobarbital 3-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.Obat lain yang dapat
digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan
dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :
 Kejang lama > 15 menit
 Kelainan neurologis yang nyata sebelum/sesudah kejang ; hemiparesis, paresis
Todd, serebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal.
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :
 Kejang berulang 2kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
 Kejang demam > 4 kali per tahun.

17
Algoritme Penanganan Kejang Akut dan Status konvulsif

2.1.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian.Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang
berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam.
Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak ada faktor terebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam besar pada tahun pertama.
Faktor resiko terjadinya epilepsi :
- Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
- Kejang demam kompleks.
- Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.

18
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi 4-6%,
kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-
49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.

19
20
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, pasien perempuan berusia 3 tahun didiagnosis dengan kejang
demam kompleks et causa ISPA. Kejang demam merupakan suatu bangkitan kejang yang
terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium. Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Livingstone), yaitu: (1)
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut Kejang berlangsung singkat, < 15 menit, kejang umum tonik dan atau klonik,
umumnya berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam. (2) Kejang
demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala klinis sebagai
berikut : Kejang lama > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Penegakkan diagnosis kejang demam didapatkan melalui (1) Anamnesis, biasanya
didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lainnya (ayah, ibu, atau
saudara kandung). (2) Pemeriksaan Neurologis, tidak didapatkan kelainan. (3) Pemeriksaan
Laboratorium, pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan guladarah). (4) Pemeriksaan
Radiologi, X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas
indikasi. (5) Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS), tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : Bayi < 12 bulan diharuskan, Bayi antara 12
– 18 bulan dianjurkan, Bayi > 18 bulan tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda
meningitis. (6) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) : tidak direkomendasikan,
kecualipada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada
anakusia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan keluhan kejang yang diawali oleh
demam. Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan
dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
21
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih.
Selain itu pasien tersebut sudah sering mengalami kejang sejak usia 18 bulan. Pada
kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak efisien
sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai
denyut jantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan
sel neuron. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu: (1)
Pengobatan fase akut . (2) Mencari dan mengobati penyebab (3) Pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam. Pada pasien ini sudah memiliki indikasi untuk
diberikan tatalaksana kejang demam jangka panjang, dengan diberikan asam valproat
sampai 1 tahun periode bebas kejang.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter : Long-term Treatment of


The Child with Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103; 1307 – 10.
2. Baumann RJ. Febrile Seizures. E Med J, March 12 2002, vol.2, No. 3 : 1 – 10.
3. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizures. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86 .
4. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With
andWithout Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34.
5. Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of
PediatricsSeizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics 2000, 136 : 847 –
9.
6. Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of
PediatricsPracticeParameter on The Evaluation and Treatment of Children with
FebrileSeizures. Pediatrics in Review, vol. 20, No. 8, 1999: 285 – 7.
7. Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of
Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on
Value to Parents. Pediatrics 2001; 108 : 65-9.
9. Pedley AA. Recent Advences in Epilepsy. Churchil Livingstone. 1992
10. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan.
Jakarta .FK UI .1992
11. Selzer ME, Dichter MA. Cellular Pathopyysiology and Pharmacology of Epilepsy,
in Asbury AK, McKhann GM, McDonald WI. editors. Disease of the Nervous
System Clinical Neurobiology 2th ed. Phliadelphia. W.B. Saunders Company,1992;
916-26
12. Meliala L. Epilepsi pada Pendeita Stroke. Berita Kedokteran Masyarakat, FK
UGM, Yogyakarta.1999
13. Chandra B. Patofisiologi Epilepsi dalam Epilepsi. Semarang. BP UNDIP. 1993
14. Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya
Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK
UNDIP, Semarang. 1999
15. Foldvary N, Wyllie E. Textbook of Clinical Neurology. 1st edition, Philadelphia :
WB Saunders Company. 1999

23
24

Anda mungkin juga menyukai