Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thomas Stamford Bringley Raffles ini lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris. Ia
adalah seorang yang kurang mempunyai karakter hebat, tapi cukup bijaksana untuk lebih memilih
reputasi dalam sejarah daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008). Ayahnya adalah
seorang kapten bernama Benjamin Raffles dan Ibunya adalah Anne Lyde Linderman, namun akibat
terhimpit krisis ekonomi dan terjerat kasus dalam perdagangan budak di kepulauan Karibia
mengakibatkan ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun. Saat itu juga ia mulai bekerja
sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia Timur Britania yang banyak berperan dalam
penaklukan Inggris di luar Negeri dan diangkat ke posisi agen perusahaan di Pulau Penang pada
1805. Dia memulai studinya atas bahasa, adat istiadat, dan sejarah Melayu. Bermula menjadi
palayan humaniter utama kemudian menciptakan lewat tulisannya, suatu legenda histori mengenai
administrasinya di Jawa dan akhirnya dengan suatu kebijakan ekspansi yang berani sehingga
membuat dia mencapai keberhasilan terbesarnya yaitu pendirian Singapura.
Dari gabungan ambisi membara dan kecerdasan brilian tersebut, membuat Raffles orang
yang tepat untuk menjalankan rencana Lord Minto untuk Indonesia. Kala waktu itu untuk
menyerang dan menghancurkan kekuatan Belanda di Indonesia (Vlekke, 2008).
Keberhasilan Inggris dalam ekspansinya ini membawa nama Raffles menjadi semakin
dikenal dan yang tidak kalah pentingnya adalah melejitnya karir Raffles yang semakin tinggi di
usianya yang masih muda. Itu disebabkan karena pemerintah Inggris mempercayakan semua
kendali di nusantara kepadanya. Sehingga di tunjuklah Raffles sebagai Letnan Gubernur oleh Lord
Minto sebelum kembali ke Kalkuta (Vlekke, 2008). Dia menjadi Jenderal Gubernur di Jawa pada
tahun 1811-1816.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana masa kepemimpinan T.S Raffles di nusantara?
2.
Kebijakan-kebijakan apa saja yang ditetapkan raflesss pada masa itu?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak. Kedudukankedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris.
Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda, Ternate, praktis dapat dikuasainya. Tidak dengan Jawa,
rupanya pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius. Tetapi
keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India. Walaupun demikian, persiapan
untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).

Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa. Negeri
Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795. Sehubungan dengan
sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis
Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim
Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan
untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Dalam
perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera
Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India. Dengan tidak adanya
pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang terdiri dari sebagian besar terdiri atas
orang-orang Indonesia, berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang (Ricklefs, 2005).
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang
merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar. Suasana ekonomi di bawah Daendels yang
bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak. Di samping itu kebencian terhadapnya datang dari
semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan
dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan (Ricklefs, 2005).
Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan kebencian adalah sebagai berikut,
seperti disebutkan di atas, bahwa Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil.
Di sana ditempatkan seorang colonel Perancis yang bernama Filz. Akibat serangan Inggris itu Filz
menyerah. Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Hasilnya malahan colonel yang malang itu dimarahinya dan kemudian
dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak bertanggung
jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels. Adapun perlawanan diberbagai
2

tempat terhadap Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten,
Cirebon, dan Yogyakarta (Dekker, 1993).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan
dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan
Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India)
Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih
dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord
Minto
menyukai
Raffles
karena
kecerdikanya,
keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa
Melayu, sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama
setelah tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai
Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan
militer Belanda di Jawa.
Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert
Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie (Raffles,
2008)
dan
disamping
itu
ikut
juga
Jenderal Auchmuty dimana Kapitulasi Tuntang adalah
pertanda yang secara resmi mengakhiri riwayat BelandaPerancis di Indonesia. Berikut mengenai isi dari Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh
Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811:
1. Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
2. Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris,
dapat memegang jabatan terus
3. Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raffles telah diangkat sebagai Letnan Gubernur
Jenderal namun pusat kendali tetap berada di Calcuta (Dekker, 1993). Dalam hal yang seperti ini
masih ada juga perbedaan dalam penilaian terhadap Belanda antara Lord Minto dengan Raffles.
Munculnya dua aliran ini sangat berbeda jauh yaitu aliran Lord Minto yang bersikap lunak dan
terbuka terhadap Belanda yang telah kalah dan mau mempergunakan bangunan dan tenaga mereka
kembali asalkan setia kepada Inggris, dan aliran Raffles yang bersifat membenci terhadap apa saja
yang berbau Belanda yang dianggapnya sebagai kolot dan kejam.
Setelah takhluknya Belanda dari tangan Inggris, kepulauan Indonesia sepenuhnya berada di
bawah control perusahaan Hindia Timur Inggris dan dibagi dalam empat unit administratif yaitu
pemerintahan Malaka, Bengkulu, Jawa, Maluku. Dengan perubahan administratif ini Maluku
sangat beruntung karena monopoli tidak dihapus melainkan ditetapkan dengan lebih longgar, sebab
Perusahaan Hindia Timur Inggris tidak mempunyai kepentingan financial untuk menjaga ketat
sistem itu seperti Belanda (Vlekke, 2008). Apabila dilihat sebagai kesatuan revolusi Daendels dan
Raffles sama-sama tokoh yang paling penting bagi sejarah Indonesia yaitu sebagai pencetus
revolusi penjajahan, suatu kebijakan baru yang menuntut pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaan
administrasi Eropa di seluruh pemerintahan Jawa yang tujuannya memanfaatkan, memperbaharui,
atau menghancurkan lembaga-lembaga asli semuanya (Rickefs, 2005). Pemerintahan langsung
rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji harus menggantikan pemerintahan tidak langsung lewat
perantara kepala-kepala daerah herediter (Vlekke, 2008).
B. Aturan / Kebijakan Raffles
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di
Jawa yaitu mulai tahun 1811 sampai dengan 1816. Selama kepemimipinannya, Raffles mengubah
sistem tanam paksa (culture stelsel) yang diberlakukan colonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan
tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp, dengan
3

kebijakan landrente. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti yang
dipraktikkan Inggris di India. Seperti dalam bidang perekonomian dan keuangan Raffles
menetapkan bahwa :
semua tanah adalah milik Negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib
membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah.
Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan
dipecat.
Meneruskan usaha yang dilakukan Belanda misalnya penjualan tanah kepada swasta, serta
penanaman kopi, melaksanakan penanaman bebas yang melibatkan rakyat dalam
perdagangan.
Memonopoli garam agar tidak dipermainkan dalm perdagangan karena sangat penting bagi
rakyat.
Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja rodi.
Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di
Inggris yaitu memakai jalur kiri yang berlaku dan dipakai sampai saat ini (Gus Anams, 2010
blog)
Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles
juga menerapkan kebijakannya melalui :
Membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan
Mengurangi jabatan bupati yang berkuasa (Raffles, 2008)
Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
Mempraktekkan sistem yuri dalam pengadialn seperti di Inggris
Melarang adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor (Gus Anams,
2010 blog)
Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada
kolonial Inggris (Raffles, 2008).
Disamping kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan, Raffles juga seoarang sarjana yang
tertarik dalam Sejarah dan keadaan alam Indonesia. Yaitu dengan membangun gedung Harmoni di
jalan Majapahit Jakarta untuk lembaga pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 yang bernama
Bataviaasch Genootschap.
Pada 13 agustus 1814 diberlakukan konvensi London yang memuat bahwa seluruh wilayah
yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan kepada pihak Inggris tetapi tidak berlaku atas
Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Sebenarnya Raffles tidak menerima hal ini karena kekayaan
Hindia-Belanda sanagat menguntungkan pihak Inggris, naumun ia terpaksa menandatanganinya
yang merupakan bagian dari penyusunan kembali secara menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah
perang-perang Napoleon. Raffles akhirnya ditarik kembali ke Inggrisdan digantikan oleh John
Fendall yang melaksanakan keputusan konvensi London sekaligus serah terimanya. Tahun 1818
Raffles kembali ke timur untuk Jabatan barunya yaitu menjadi Gubernur Bengkulu. Setelah
setahun pemerintahannya ia menggagas proyek bernama Singapore. Proyek mercusuar ini adalah
pelampiasan dari rasa kekecewaannya karena penyerahan tanah Jawa kepada Belanda. Diapun
akhirnya terkenal sekali sebagai pendiri Singapura.
Sebelum kepulangannya ke London, di Bengkulu Raffles mendirikan benteng Inggris paling
besar kedua di Asia Pasifik, setelah benteng utamanya di India. Dari pendirian benteng yang
permanen, kokoh dan multifungsi itu dapat dipastikan kalau Raffles memiliki cita-cita di kawasan
ini. Karena parahnya gejolak politik yang mendera Eropa pada tahun 1823 ia terpaksa untuk
meninggalkan Sumatra. Namun Raffles sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dan dalam
proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di pulau Sumatra. Tonggak imperalis Inggris ini
menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura. Misinya adalah mencatat dan
4

mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatra
(Raffles, 2008). Salah satunya adalah jenis tanaman bunga sekaligus nama Raffles diabadikan
sebagai nama bunga itu, yaitu Rafflesia Arnoldii. Karena peran besar Raffles, di Singapura
akhirnya diabadikan dengan bentuk patung atau monumuen Raffles untuk mengenang tokoh besar
itu.
C. Berakhirnya Kedudukan Raffles Di Nusantara.
Berakhirnya pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung.
Kedudukan Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan Perancis. Ujungnya
terselesaikan pada 1824 yang disepakati di London. Britania berjanji tidak akan lagi campur
tangan di Sumatra atau pulau-pulau lain di kepalauan Indonesia. Begitu juga orang Belanda
berjanji menghormati kemerdekaan Aceh, tapi sekaligus bertekad melindungi pelayaran di sekitar
ujung utara Sumatra dari perompak-perompak Aceh. Perjanjian 1824 mengakhiri kekuasaan
Britania atas Bengkulu (Vlekke, 2008). Hingga akhirnya Nusantara kembali di bawah kekuasaan
Belanda yang dengan sistimatik menguras serta mengkulikan penduduk Nusantara seperti yang
dilakukanya sebelum Inggris datang.

BAB III
5

PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia mulai tahun 1811 berada dibawah kekuasaan Inggris. Inggris menunjuk Thomas
Stanford Raffles sebagai Letnan Gubernur jenderal di Indonesia. Beberapa kebijakan Raffles
yang dilakukan di Indonesia antara lain:
Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus dihapuskan;
Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan tanaman yang ditanam;
Tanah merupakan milik pemerintah dan petani dianggap sebagai penggarap tanah tersebut;
Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Akibat dari kebijakan diatas, maka penggarap tanah harus membayar pajak kepada
pemerintah sebagai ganti uang sewa. Sistem tersebut disebut Lnadrent atau sewa tanah. Sistem
tersebut memiliki ketentuan, antara lain:
Petani harusmenyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut;
Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah;
Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai;
Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau jawa, kecuali daerahdaerah sekitar Batavia dan parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada
umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah
wajib tanam kopi yang memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah. Selama sistem
tersebut dijalankan, kekuasaan Bupati sebagai pejabat tradisional semakin tersisihkan karena
trgantikan oleh pejabat berbangsa Eropa yang semakin banyak berdatangan.
Raffles berkuasa dalam waktu yang cukup singkat. Sebab sejak tahun 1816 kerajaan
Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1813, terjadi prang Lipzig antar Inggris
melawan Prancis. Perang itu dimenangkan oleh Inggris dan kekaisaran Napoleon di Prancis jatuh
pada tahun 1814. Kekalahan Prancis itu membawa dampak pada pemerintahan di negeri Belanda
yaitu dengan berakhirnya pemerintahan Louis Napoleon di negeri Belanda. Pada tahun itu juga
terjadi perundingan perdamaian antara Inggris dan Belanda. Perundingan itu menghasilkan
Konvensi London atau Perjanjian London (1814), yang isinya antara lain menyepakati bahwa
semua daerah di Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris
kepada Belanda, kecuali daerah Bangka, Belitung dan Bengkulu yang diterima Inggris dari
Sultan Najamuddin. Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada
tahun 1816. Dengan demikian mulai tahun 1816, Pemerintah Hindia-Belanda dapat kembali
berkuasa di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
6

Dekker, Nyoman.1993. Sejarah Pergolakan Indonesia Dalam Abad XIX.Malang:IKIP Malang.


Raffles, Th.S.2008.The History of Java, Penyunting: Hamonangan Simanjuntak dan Revianto B.
Santosa.Yogyakarta: Narasi.
Ricklefs, M.C.2005.Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terjemahan. Oleh Satria Wahono
dkk.Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta.
Vlekke, B.H.M.2008.Nusantara: Sejarah Indonesia.Jakarta:PT. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai