Anda di halaman 1dari 9

CONSTRUCTED WETLAND

1. Pengertian Constructed Wetland


Lahan basah buatan (constructed wetland) adalah sebuah daerah yang
dirancang dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari substrat-substrat jenuh,
vegetasi yang timbul maupun tenggelam, kehidupan satwa, dan air, yang
menyerupai lahan basah alami (natural wetland) untuk dipergunakan dan
dimanfaatkan bagi kepentingan manusia (Hammer D.A., 1989).

2. Fungsi wetland buatan


Fungsi dari lahan basah buatan salah satunya adalah untuk keperluan
pengolahan air limbah, lahan basah ini dapat didefinisikan sebagai ekosistem
buatan manusia yang didesain khusus untuk memurnikan air tercemar dengan
memanfaatkan proses fisika, kimia dan biologi pada suatu kondisi yang saling
berintergrasi seperti yang biasa terjadi dalam system lahan basah alami.
2.1.1 Fungsi Ekologis Wetland
Selain berfungsi untuk mengolah air limbah, lahan basah buatan juga memiliki
fungsi ekologis yaitu:
a. Sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan dan hewan
Tumbuhan dan mikroorganisme merupakan komponen utama pada lahan
basah yang berfungsi sebagai pengolah air limbah, selain tumbuhan dan
mikroorganisme pada lahan buatan yang berskala besar bisa dijadikan
sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan dan tempat berkembang
biak ikan dan burung air. Tingginya tingkat keaneka ragaman pada lahan
basah biatan dapatmenjadi indicator bagus atau tidaknya kualitas
lingkungan dari lahan basah buatan (Gelt, 1997).
b. Sebagai tempat pengolah air limbah
Berbagai sumber air limbah baik air limbah domestic, pertanian, industry,
pertambangan maupun air tercemar dari run-off dapat diolah/dimurnikan
dalam lahan basah buatan. Selain sebagai tempat pengolah air limbah
wetland buatan ini dapat difungsikan untuk memperbaiki kualitas air dari
sungai atau danau dengan cara air dari sungai atau danau dibelokkan ke
dalam wetland buatan dan didiamkan selama beberapa waktu agar terjadi
proses purifikasi secara alami sebelum akhirnya dialirkan kembali kedalam
badan sungai atau danau.
Proses pengolahan air limbah pada wetland yaitu dengan memanfaatkan
tumbuhan air dan mikroorganisme sebagai pengolah polutan serta matahari
sebagai sumber energinya. Mikroorganisme ini menempel pada akar
tumbuhan air dan melakukan proses penguraian terhadap zat pencemar

dimana akar tanaman air menghasilkan okisgen sehingga tercipta kondisi


aerobic yang mendukung penguraian tersebut.

c. Mengatur sistem hidrologis


Wetland memiliki kemampuan dalam mengatur system hidrologi. Pada
musim penghujan wetland merupakan kawasan penyangga yang
menampung kelebihan air agar tidak langsung membanjiri dataran rendah di sebelah
hilirnya.

Ketika beban puncak curah hujan terjadi, wetland meredam besarnya aliran
air yang keluar dari sana. Sebaliknya, pada musim kemarau ketika curah
hujan rendah, wetland melepaskan sedikit demi sedikit cadangan air yang
dikandungnya ke perairan yang berhubungan dengannya (termasuk juga
akuifer). Dengan demikian, wetland berfungsi untuk mengurangi besarnya
fluktuasi aliran yang mengalir di perairan. Sama halnya dengan fungsi hutan
di daerah pegunungan, wetland berperan sebagai regulator aliran air, namun
dengan daya tampung yang jauh lebih besar (Khiatuddin, 2003).
2.1.2 Manfaat Ekonomis Rawa Buatan
Manfaat ekonomis dari wetland yaitu mampu menghasilkan berbagai jenis
tumbuhan dan hewan bernilai ekonomis. Tumbuhan bernilai ekonomis yang
dapat dijumpai di sekitar wetland buatan antara lain adalah sagu, nipah,
bakau, dan bambu. Berbagai tumbuhan air yang hidup di dalam perairan
wetland buatan juga dapat memberikan keuntungan ekonomis, antara lain
dengan menjadikannya sebagai makanan ternak, input reaktor gas bio,
kompos, tanaman hias kolam, ataupun input industri kerajinan. Cyperus
papyrus dan Typha adalah contoh tumbuhan rawa yang dapat dimanfaatkan
sebagai tanaman hias. Jenis tumbuhan air lain yang dapat digunakan sebagai
input industry kerajinan adalah Eceng gondok (Eichorrnia crassipes).
Dari kelompok hewan, organisme bernilai ekonomis yang biasa dijumpai di
ekosistem wetland buatan adalah ikan. Ikan-ikan tersebut biasanya sengaja
ditebarkan untuk menambah daya guna wetland buatan. Jenis-jenis ikan yang
ditebarkan itu antara lain adalah Karper rumput (Ctenopharyngodon idella),
Wuchang (Megalobrama amblyocephala), Karper perak (Hypophthalmicthys
molitirix), Mas (Cyprinus carpio), Mujair (Oreochromis mossambicus), dan Nila
(O. niloticus) (Khiatuddin, 2003).
Selain menghasilkan berbagai tumbuhan dan hewan yang bernilai ekonomis,
wetland juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi, dimana wetland
didesain dengan bentang alam yang indah dan eksotis sehingga mampu
menarik masyarakat untuk berkunjung guna melihat flora maupun fauna yang
hidup di wetland buatan.

3. Mekanisme penghilangan bahan polutan pada wetland


Proses-proses yang terjadi di dalam wetland secara lengkap meliputi prosesproses fisik, fisik-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari proses
sedimentasi, filtrasi, pemangsaan, dan pemanasan. Proses-proses fisik-kimia terdiri
dari proses adsorbsi bahan pencemar oleh tanaman air, sedimen, dan subtrat
organik. Novotny dan Olem (1984),
Sedangkan proses-proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat pencemar
oleh bakteri yang menempel pada permukaan subtrat/media, perakaran tanaman,
dan serasah serta penyerapan nutrien dan zat-zat pencemar lainnya oleh tanaman.
Pada proses penguraian oleh bakteri; proses penguraian secara aerobik (misalnya
nitrifikasi) terjadi di zona aerobic dekat perakaran, proses anoksik (misalnya
denitrifikasi) terjadi di daerah yang agak jauh dari perakaran, dan proses anaerobik
terjadi di zona anaerobik dimana tidak terdapat oksigen.

4. Tipe-Tipe Wetland
Menurut Novotny dan Olem, 1994 yang dikutip oleh Widyastuti, 2005,
wetland dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
4.1. Wetland dengan aliran diatas permukaan tanah (Free Water Surface
System)
Free Water Surface (FWS) System biasanya berupa kolam atau saluran-saluran
yang dilapisi lapisan impermeable di bawah saluran atau kolam yang berfungsi
untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau saluran. Kemudian kolam
tersebut terisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang hidup.
4.2. Wetland dengan aliran dibawah permukaan tanah (Sub-surface Flow
System)
Pada Sub-surface Flow (SSF) system, pengolahan limbah terjadi ketika air
mengalir secara perlahan melalui tanaman yang ditanam pada media berpori,
misalnya gravel, kerikil dan tanah. Dalam sistem ini tanaman melalui akar
rhizoma yang mentransfer oksigen kedalam media subsurface dan
menciptakan kondisi aerobik (Robert, et all). Proses pengolahan air limbah
terjadi melalui proses filtrasi, absorbsi oleh mikroorganisme dan adsorbsi
polutan oleh tanah. Removel bahan organik pada sistem SSF dibatasi oleh dua
faktor yaitu waktu tinggal dan transfer O2 (Crites, 1998 dalam Yuanita, 2000)
Kedua sistem diatas merupakan reaktor biologis attached growth dan
berfungsi sebagaimana trickling filter dan biological contractors. Kemampuan
sistem sangat dipengaruhi oleh waktu detensi air limbah dalam reaktor serta
beban limbah yang masuk, kondisi biota dan keterbatasan oksigen dalam
sistem.
(Anonymous, 2006) Sub-surface Flow (SSF) mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan Free Water Surface (FWS) karena sistem SFS ditutup dengan

pasir atau tanah, sehingga tidak ada resiko langsung terhadap potensi
timbulnya nyamuk itu karena air limbah mengalir dibawah permukaan media
serta sistem ini mampu memberikan transfer oksigen yang lebih banyak
daripada sistem FWS. Pengaliran air limbah dibawah media juga memberikan
proteksi thermal yang lebih baik pada suhu dingin. Dengan input yang sama
lahan yang dibutuhkan untuk sistem SSF lebih kecil daripada FWS.
Untuk mengatasi kemungkinan clogging pada SSF dapat dilakukan dengan
mengatur media pada bagian inlet digunakan dengan diameter besar. Media
dengan diameter besar mempunyai konduktivitas hidraulik besar dan mampu
mengurangi terjadinya clogging di bagian awal reaktor. Setelah zona inlet yang
berdiameter besar digunakan media dengan diameter kecil. Media dengan
diameter kecil memberi manfaat berupa tersedianya area permukaan yang
lebih banyak yang dapat digunakan untuk membantu pengolahan. Rongga
udara yang lebih kecil lebih kompatibel bagi vegetasi akar dan rhizoma. Selain
itu dengan diameter yang lebih kecil konduktivitas hidrauliknya lebih rendah
dan kondisi aliran lebih mendekati linier.

5. Wetland sebagai pengolah air limbah domestic


Air limbah domestik adalah air buangan manusia yang berasal dari
perumahan, daerah komersial, institusi dan fasilitas sejenis (Metcalf dan Eddy,
1991). Menurut Mara D. dalam Mukhlis, 2003 air limbah domestik didefinisikan
sebagai air buangan tubuh manusia yang berupa tinja atau kemih (black
water) serta buangan dapur dan kamar mandi (grey water).
Air limbah yang masih baru berupa cairan keruh berwarna abu-abu dan berbau
tanah, tetapi tidak terlalu merangsang. Bahan ini mengandung padatan
berukuran besar yang terapung atau tersuspensi (misal tinja, jerami dan lainlain), padatan tersuspensi yang lebih kecil (misal irisan sayuran), serta polutan
dalam bentuk larutan sejati. Bahan ini tidak sedap dipandang dan sangat
berbahaya, terutama karena jumlah mikroorganisme pathogen yang
dikandungnya (Mukhlis, 2003).
Air limbah domestik terdiri dari komponenkomponen fisik, kimia dan biologi.
Beberapa kontaminan penting yang terdapat dalam air limbah yaitu (Metcalf
dan Eddy, 1991) :

Padatan tersuspensi, substansi zat ini dapat menstimulasi pembentukan


deposit lumpur dan kondisi anaerobik pada badan air.
Bahan organik biodegradable meliputi senyawa protein, karbohidrat dan
lemak. Bahan organik yang tinggi dalam air dapat menurunkan
kandungan oksigen didalamnya.
Nutrien, keberadaan nutrien menyebabkan terjadinya eutrofikasi dalam
badan air dan dapat menyebabkan polusi air tanah.

Bahan organik non-biodegradable (zat oaganik yang sulit terurai) adalah


bahan yang terutama disintesis secara buatan dan bertahan lama di alam
karena sulit didegradasi, meliputi surfaktan, phenol dan pestisida.
Mikroorganisme pathogen.
Bahan inorganik terlarut, misalnya kalsium, natrium dan sulfat.
Priority pollutant, yaitu senyawa organik dan inorganik yang bersifat
karsinogenik, mutagenik dan teragenik serta toksik akut.

5.1. Konsep perencanaan Wetland


Terdapat beberapa ketentuan dalam membangun wetland yaitu:

Unit wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghindari


cloging pada media koral oleh partikel-partikel besar.
Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan
kedalaman 1 m.
Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm
s/d 10 mm. setinggi/setebal 80 cm
Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup
rapat, dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk
dudukan tumbuhan.
Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian)
outlet yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah
permukaan koral
Disain luas kolam berdasarkan Beban BOD yang masuk per hari dibagi
dengan Loading rate pada umumnya. Untuk Amerika Utara = 32,10 kg
BOD/Ha per hari. Untuk daerah tropis kira-kira = 40 kg BOD/Ha per hari.

Process flow diagram for a typical treatment plant via subsurface flow
constructed wetlands (SFCW)
https://en.wikipedia.org/wiki/Sewage_treatment

https://www.ufz.de/index.php?en=19163

Vertical flow type of constructed wetlands

Newly planted constructed wetland


two years later.

Same constructed wetland,

Constructed Wetland in Bulgaria


http://www.wecf.eu/english/about-wecf/issues-projects/projects/constructed-wetland.php

Constructed wetland for the treatment of domestic wastewater as


decentralised solution

Technical drawing vertical-flown subsurface constructed wetland (Otterwasser):

Square VTF constructed wetland in the frontyard of a single family home

http://www.wetlandspacific.com/vegetative-tertiary-filter

Anda mungkin juga menyukai