Jurnal Reading Pterigium
Jurnal Reading Pterigium
MAHESA BONANG
110.2008.144
Pembimbing :
dr. Dasril Dahar, SpM
dr. Rita Murnikusumawati, SpM
Pendahuluan
Pterygium adalah lesi fibrovascular berbentuk sayap dari permukaan mata yang tidak
diketahui asal dan patogenesisnya. Tumbuh di daerah konjungtiva interpalpebral, lebih sering
dari bagian nasal, dan menyerang epitel kornea yang berdekatan (Gambar 1). Pertumbuhan
pterygium dapat menyebabkan astigmatis irreguler, jaringan parut kornea, pembatasan
motilitas okular, atau peradangan permukaan mata yang kronis. Pengobatan sejauh ini secara
bedah eksklusif, namun, pterygium sering cenderung kambuh agresif. Hal ini telah
mengakibatkan penggunaan teknik bedah canggih dalam upaya untuk mengurangi tingkat
kekambuhan (Gambar 2).
Meskipun patogenesis pterygium tetap menjadi teka-teki, studi epidemiologi menunjukkan
bahwa
pterygium
adalah
penyakit
mata
yang
berhubungan
dengan
matahari
1
sel
dan
angiogenesis,
mungkin
dengan
melibatkan
sitokin,
matriks
metaloproteinase dan faktor pertumbuhan. Terutama, di antara berbagai teori yang diusulkan
untuk patogenesis pterygium sejauh ini, kemungkinan mekanisme menular (kemungkin virus)
dalam setidaknya subkelompok pterygia. Kemungkinan ini penting karena, jika hal tersebut
terbukti valid, itu bisa membenarkan pilihan pengobatan invasif atau meminimalkan invasif
melalui obat antivirus.
2.
Gambar 1. (A) Nasal bilateral pterygium. (B dan C) Tingkat kemajuan lesi pada permukaan
kornea mata kanan dan kiri ditunjukan saat keadaan abduksi.
Gambar 2. (A) Gambaran intraoperatif dari eksisi nasal dan temporal pterygium. (B) Nasal
pterygium telah dieksisi dan lukanya ditutup dengan konjungtival autograf yang diambil dari
area konjungtiva bulbi superior. (C) Temporal pterygium telah dieksisi dan luka ditutup
dengan konjungtival flap lokal. (D) Penampang akhir dari prosedur yang dilakukan.
4.
diusulkan sebagai penjelasan yang mungkin untuk perbedaan dalam prevalensi HPV dalam
pterigium, mendukung multi-faktorial patogenesisnya.
5.
6.
lesi mukosa, yang membedakan jenis HPV berisiko tinggi dari risiko rendah, tetapi tidak
sesuai untuk genotip.
Karena sensitivitas tinggi, polymerase chain reaction (PCR) sering dikaitkan dengan
tingkat hasil positif palsu. Southern blot, dot blot, reverse dot blot, pencernaan dengan
endonuklease restriksi atau analisis urutan langsung dilakukan setelah amplifikasi DNA dapat
membantu meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes. Real-time PCR atau PCR kuantitatif
(qPCR) memungkinkan deteksi cepat dan kuantifikasi dari viral load selama berbagai siklus
proses PCR (real-time). Reverse transcriptase-PCR (RT-PCR) merupakan uji kualitatif yang
memungkinkan identifikasi ekspresi gen virus dengan menggunakan reverse transcriptase.
Kombinasi dari dua teknik, RT-PCR kuantitatif atau real-time RT-PCR (QRT-PCR), dianggap
sebagai uji pilihan pertama untuk mendeteksi ekspresi gen virus karena menggabungkan
keunggulan kuantitatif dan kualitatif dari dua metode.
7.
8.
Kesimpulan
Meskipun kontroversi dalam literatur medis tentang keterlibatan HPV dalam pterigium
(mungkin karena kerentanan rasial atau perbedaan metodologis), kebanyakan studi setuju
bahwa HPV terdeteksi dalam setidaknya sub-kelompok pterygia dan bahwa infeksi HPV
dapat mempengaruhi patogenesis dan perilaku klinis (termasuk kekambuhan) dari lesi ini.
Dengan demikian, itu akan menjadi menarik untuk dieksplorasi kemungkinan obat anti-virus
atau bahkan vaksinasi, yang mungkin merupakan pilihan baru dalam terapi yang dipilih pada
pterygia akibat infeksi HPV.
TINJAUAN PUSTAKA
PTERIGIUM
1 DEFENISI
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.1Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses
degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul
pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan
stroma dan membrana Bowman.2-4Pterigiumpertama kali ditemukan oleh Susruta
(India)dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi.4Pterigium dapat
bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh
agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea,dan yang selanjutnya, mengaburkan
bagian tengah optikkornea.5
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif,
pterigium juga
merupakankelainan
mata
yang
umum
di
banyak
bagian
adanya
asosiasi
terhadap
paparan
sinar
matahari
yang
Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus.
Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. 2,11
Konjungtivamarginal membentang dari tepikelopak mata sekitar 2 mm padabagian belakang
kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnyazona transisi
antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya.Konjungtivatarsal tipis, transparan dan banyak
mengandung vaskular. Bagian ini melekatkuat padaseluruh tarsal kelopak mata atas. Pada
kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.Konjungtiva orbital terletak
longgarantara tarsal dan forniks.2
10
Konjungtiva bulbaris.melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada
limbuskornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea. 2,11 bagian ini
dipisahkan dari sklera anterioroleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah
dataran tinggi 3-mmdari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.2
Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu
fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika
otot-otot tersebut berkontraksi.11
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisanyaituepitel, lapisan adenoid, dan
lapisan fibrosa.2
1 Epitel. Lapisan sel epitel dikonjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam
bagian-bagian sebagai berikut:Konjungtiva marginal memiliki 5lapis epitel sel gepeng
bertingkat.Konjungtiva tarsal memiliki 2lapis epitel:lapisan superficial terdiri dari sel-sel
silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris
memiliki 3lapisepitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri
dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus.Limbal konjungtiva memiliki
lagi lapisanyang banyak (5 sampai6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2 Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoiddan terdiri dari retikulum jaringan
ikat
halusdengan
jerat
dimana
terdapat
limfosit.
Lapisan
inipaling
pesat
perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukanketika bayi lahir tapi akan
berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal
of
Henle
dalamkonjungtiva
(terdapat
di
konjungtiva
limbal).Kelenjar-kelenjar
ini
tarsal)dan
kelenjarManz
mensekresi
mucus
(ditemukan
yang
penting
Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctivalforniks, sekitar 42 buah di atasforniks dan
8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus
superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).2,12
yang
terdapat
di
kantus
medial.
Batas
bebas
merahmuda dari
lateralnyaberbentuk
12
cekung.Korunkula adalah massakecil, oval, merah muda, terletakdi canthus bagian dalam.
Pada kenyataannya, massa ini merupakan potonganmodifikasi kulit dan ditutupi dengan
epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea danfolikel rambut.2
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal daritiga sumber yakni arkade arteri
perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam.
2).Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri
perifer dan marginal palpebra.Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua setpembuluh darah
yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri
konjungtiva anterioryang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior.Cabang terminal arteri
konjungtiva posteriormembentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal.Vena konjungtiva bermuara ke dalam venapleksus kelopak
mata dan beberapa mengelilingi korneadan bermuara ke vena ciliaris anterior.Sistem limfatik
konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi
lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus
submandibular.2,12 Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus
yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.12
4 ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orangtinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh
efek berkepanjanganfaktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet),
panas, angin tinggi dan debu.Baru-baru ini,beberapa virus juga memilikidisebut-sebut sebagai
faktor etiologi mungkin.1-3,7
Efek merusak dari sinarUV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,
yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal.Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan
jaringanyangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UVtipeB menjadi
faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium.Penelitianterbaru telah
melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibatdalam patogenesis
pterigium.8
13
5 KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 13
1
1
2
1
pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi
3
4
3
1
2
3
PATOFISIOLOGI
14
belum
sepenuhnyadipahami.
mekanismeimunologi,remodelingmatriks
ekstraseluler,
Infeksi
faktor
virus,
pertumbuhan,
perlekatan
hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah
menuju ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi
TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada
massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah
perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari
sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang
mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman
pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan
peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma.
Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di
depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk
15
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran lapisan
bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk
membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam
penghancuran membran bowman.15 Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 4. 15
Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium dikutip
dari kepustakaan 15.
16
1,6,8
kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada permukaan
kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6,12
17
Gambar 5.A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV memicu
migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem cell
menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari kepustakaan 6
Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah besar
limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria spesimen
pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkindari tipe
hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesispterigium.6,16
7
GAMBARAN KLINIS
Pterigium lebih sering terjadi padapria tua yangmelakukan pekerjaan di luar rumah.
Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral.Penyakit ini muncul sebagai lipatan
segitigakonjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.tetapi juga dapat terjadi di
sisi temporal. Deposisibesi kadang-kadangterlihat pada epitel kornea anteriordisebut garis
Stocker. Pterigium terdiri dari tigabagian
1
Gambar 6.Pterigium
8
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata
sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata
merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma sebelumnya.12
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan
kojungtiva.Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterigium yangb avaskuler dan flat.Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal
dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal.2,12
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea
untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh
pterigium. 12
9
PENATALAKSANAAN
Karena
kejadian
pterigium
berkaitan
dengan
aktivitas
lingkungan,
19
eksisi.12
Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,12
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%. Tapi
10
DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harusdibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigiumadalah lipatan
konjungtiva bulbar yang melekat padakornea. Hal ini terbentuk karenaadhesi dari
20
konjungtivabulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar
akibat zat kimia pada mata.2
Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang merupakan
lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus.Tampak
seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun karena air mata yang kurang baik. Pada
umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.12
11
KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan,diplopia, distorsipenurunan visus
dan skar pada konjungtiva, kornea dan otot rektus medial.Komplikasi pasca operasi termasuk
infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut.Retina detachment, perdarahanvitreous dan
perforasi bola mata meskipun jarang terjadi.4,10
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:Scleral dan / atau
kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun
setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.10
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigiumadalah rekurensi.Bedah eksisi
sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah
berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau
transplantasi membran amnion pada saat eksisi. 2,10Pada kesempatan langka, degenerasi ganas
dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.10
12
PROGNOSIS
Penglihatandan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi membrane
amnion.10
DAFTAR PUSTAKA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive
Ophthalmology 4thed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.
Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium
Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty of
Diponegoro University. 2008; 1-18.
Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala
Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The
Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.
Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with
Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.
Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium
Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu.
2004;6(3):149-52.
Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium
treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.
Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk
factors. Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
Fisher
PJ.
Pterigium.
Updated
:
2012.
Available
from:
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July 7,2012.
Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D,
Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York:
Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available
from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed January 23 ,2014.
Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys General Ophthalmology
17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.
Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins. Can J
Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal Invasion
by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch
Ophthamol. 2001;119:695-706.
Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The
Antiseptic. 1998;95(11):1-4.
22