Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus Dokter Internsip

IKTERUS NEONATORUM ET CAUSA


INKOMPATIBILITAS Rh

RSUD AMBARAWA

Pembimbing
dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc., Sp.A.
Pendamping:
dr. H. M. Pratiknyo
Disusun oleh:
dr. Dianing Pratiwi

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DINAS KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
IKTERUS NEONATORUM ET CAUSA INKOMPATIBILITAS
Rh
Topik
Kasus
Oleh
Pembimbing
Pendamping
Tanggal Diskusi
Deskripsi

: Pediatri
: Ikterus neonatorum et causa inkompatibilitas Rh
: dr. Dianing Pratiwi
: dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc., Sp.A.
: dr. H. M. Pratiknyo
: 8 April 2015
: Bayi laki-laki usia 5 hari dengan hiperbilirubinemia,

Tujuan

anemia, dan kolestasis et causa inkompatibilitas Rh


: Mampu mengidentifikasi dan melakukan penanganan
pada kasus ikterus neonatorum dan anemia hemolitik

Bahan Bahasan
Cara membahas

pada neonatus
: Tinjauan pustaka dan kasus
: Diskusi

Ambarawa, 8 April 2015


Pembimbing,

Pendamping,

dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc., Sp.A.

dr. H. M. Pratiknyo

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
HALAMAN PENGESAHAN. 2
DAFTAR ISI 3
BAB I

PENDAHULUAN... 4
A. Latar Belakang.. 4
B. Tujuan 5

BAB II

TINJUAN PUSTAKA. 6
A. Ikterus Neonatorum 6
B. Inkompatibilitas Rh 8

BAB III

LAPORAN KASUS. 15
A.
B.
C.
D.
E.
F.

BAB IV

Identitas Pasien..
Anamnesis..
Pemeriksaan Fisik..
Assessment.
Planning.
Follow Up..

15
15
17
18
18
19

ANALISIS KASUS. 33
A. Diagnosis 33
B. Tatalaksana. 33

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 36

DAFTAR PUSTAKA.. 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada
sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang
merupakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setalh lahir,
hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukoronidasi bilirubin
tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi
bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang
normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian,
setiap bayi yang mengalami kuning harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor
apakah

mempunyai

kecenderungan

untuk

berkembang

menjadi

hiperbilirubinemia yang berat.1


Selain hiperbilirubinemia, anemia juga merupakan masalah yang
sering ditemui pada bayi baru lahir. Anemia pada bayi baru lahir yang tidak
ditatalaksana dengan tepat dan adekuat akan memberikan komplikasi terhadap
bayi tersebut. Pada bayi baru lahir dengan anemia akut dapat terjadi kolaps
kardiovaskuler sampai dengan gagal napas. Anemia juga dianggap berperan
dalam timbulnya berbagai gejala termasuk asupan makan yang buruk dan
kenaikan berat badan yang tidak adekuat.1
B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen bayi baru lahir.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan ikterus.
b. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan anemia hemolitik.
c. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan inkompatibilitas Rh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikterus Neonatorum
Ikterus merupakan suatu kondisi yang sering ditemui pada bayi baru
lahir. Lebih dari 50% bayi baru lahir normal dan 80% bayi lahir preterm
mengalami kondisi ikterik.2
Ikterus merupakan gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme,
yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia sendiri
adalah keadaan di mana kadar bilirubin dalam darah lebih dari atau sama
dengan 13 mg/dL.3
Ikterus yang dialami oleh neonatus ada yang merupakan ikterus
fisiologis dan ada yang merupakan ikterus patologis. Ikterus fisiologis terjadi
karena adanya peningkatan produksi bilirubin. Peningkatan produksi bilirubin
ini disebabkan oleh adanya peningkatan hancurnya eritrosit fetal yang
berumur pendek. Selain itu, kapasitas ekskresi hepar pada bayi baru lahir
masih rendah karena rendahnya konsentrasi protein ligandin dalam hepatosit
dan karena rendahnya aktivitas glukoronil transferase. Glukoronil transferase
adalah enzim yang mengikat bilirubin (yang belum terkonjugasi) dengan asam
glukoronat, sehingga bilirubin bisa larut dalam air (yang sudah terkonjugasi).
Konjugasi bilirubin dari yang tidak larut air menjadi larut air adalah proses
yang penting agar bilirubin dapat di ekskresikan dalam empedu. 4 Selain itu,
siklus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim beta
glukoronidase di usus dan belum ada nutrien.3

Selain ikterus fisiologis, terdapat pula ikterus patologis. Tanda-tanda


ikterus patologis di antaranya:
-

muncul pada 24 jam pertama kehidupan,


tidak hilang setelah hari ke-14 pada bayi cukup bulan atau setelah hari ke-

21 pada bayi kurang bulan,


disertai demam,
ikterus dalam (telapak tangan dan kaki tampak sangat kuning),
bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan lebih dari atau sama dengan
13 mg/dL atau untuk bayi kurang bulan lebih dari atau sama dengan 10

mg/dL,
peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam,
kadar bilirubin direk lebih dari 2 mg/dL,
terdapat faktor risiko.2,3
Penyebab munculnya ikterus patologis di antaranya:

hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,

defisiensi G6PD, sferositosis herediter, dan pengaruh obat,


infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi

intrauteri,
sifilis kongenital,
penyakit hepar seperti hepatitis atau atresia bilier,
hipotiroidisme,
polisitemia,
ekstravasasi sel darah merah, sefalhematoma, kontusio, trauma lahir,
ibu diabetes,
asidosis,
hipoksia/asfiksia,
sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan siklus
enterohepatikus.2,3

B. Inkompatibilitas Rh
Faktor Rh (atau Rhesus) adalah suatu surface antigen pada sel darah
merah yang dinamakan dari nama monyet di mana faktor ini pertama
ditemukan. Inkompatibilitas Rh atau Rh disease sendiri merupakan suatu
kondisi

ketika

seorang

wanita

dengan

golongan

darah

Rh-negatif
7

mendapatkan paparan terhadap darah dengan golongan Rh-positif. Hal ini


memunculkan pembentukan antibodi Rh.4
Prevalensi golongan darah Rh-negatif sangat tergantung pada etnis,
dengan etnis kaukasia yang memiliki prevalensi tertinggi (15-20%) dan etnis
Asia dan Indian Amerika memiliki prevalensi terendah (kurang dari 5%).
Sekitar 10% kehamilan pada wanita kaukasia memiliki inkompatibilitas Rh.4,5
Inkompatibilitas Rh dapat terjadi dengan dua mekanisme utama.
Mekanisme pertama, dan paling sering terjadi, adalah ketika seorang ibu
dengan Rh-negatif mengandung bayi dengan Rh-positif. Mekanisme ini
dinamakan pula dengan alloimunisasi maternal atau isoimunisasi. Karena
adanya prosedur obstetrik invasif (amniocentesis, chorionic villus sampling
(CVS), percutaneous umbilical blood sampling, manual plasenta), perdarahan
fetomaternal

(antepartum,

intrapartum),

abortus

(terapetik,

spontan),

kehamilan ektopik, abruption placenta, trauma abdomen, atau bahkan


persalinan normal saja, ibu menjadi terpapar terhadap sel darah bayinya.
Karena paparan ini, terbentuklah antibodi pada ibu terhadap antigen Rh.
Mekanisme kedua, dan lebih jarang terjadi, adala ketika seorang dengan Rhnegatif menerima transfusi darah dengan Rh-positif.4,5
Setelah antibodi immunoglobulin G (IgG) Rh pada ibu terbentuk, IgG
tersebut bisa masuk ke dalam sirkulasi fetus yang kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi dengan antigen Rh yang terdapat pada eritrosit
fetus dan akhirnya akan hancur. Oleh karena itu, muncullah berbagai macam
gejala pada fetus, mulai dari anemia hemolitik ringan hingga berat dan
hiperbilirubinemia. Pada kasus yang berat, hemolisis bisa menyebabkan
terjadinya hematopoiesis ekstramedular dan reticuloendothelial clearance
terhadap eritrosit fetal (lalu muncullah hepatosplenomegali). Kondisi ini juga
bisa menyebabkan gagal jantung dan efusi perikardium (hydrops fetalis).
Antigen Rh yang paling imunogenik adalah antigen D, sehingga antigen D ini
paling sering terlibat dalam inkompatibilitas Rh.4,5,6

Setelah tersensitisasi dengan mekanisme yang sudah dijelaskan di atas,


dibutuhkan waktu hingga satu bulan untuk antibodi Rh dalam sirkulasi ibu
untuk masuk dalam sirkulasi bayi. Dalam 90% kasus, proses sensitisasi ini
terjadi saat persalinan. Oleh karena itu, sebagian besar anak pertama dengan
golongan darah Rh-positif tidak mengalami kondisi inkompatibilitas Rh ini
karena waktu yang cukup singkat. Risiko dan keparahan sensitisasi meningkat
pada tiap kehamilan dengan fetus Rh-positif. Pada wanita Rh-negatif ini,
kehamilan kedua dengan fetus Rh-positif sering menyebabkan anemia ringan
pada bayinya, sementara kehamilan-kehamilan selanjutnya menyebabkan
akibat yang lebih serius, termasuk IUFD karena anemia hemolitik yang berat.4
Dalam tatalaksana inkompatibilitas Rh, ada tatalaksana antenatal dan
tatalaksana postnatal. Tatalaksana antenatal adalah skrining Rhesus pada ibu
dan antenatal care rutin saat kehamilan. Selain itu, pemberian profilaksis
immunoglobulin antenatal atau Routine Antenatal Anti-D Prophylaxis
(RAADP) pada wanita dengan Rh-negatif untuk mencegah sensitisasi dan
mencegah hemolytic disease of the newborn (HDN). Pemberian RAADP
terbukti cost-effective.7
RAADP dilakukan untuk menetralisasi antigen RhD-positif yang
mungkin telah masuk ke dalam sirkulasi ibu selama kehamilan. Jika antigen
ini dinetralisasi, darah ibu tidak akan memproduksi antibodi. RAADP
dilakukan pada trimester ketiga kehamilan jika golongan darah ibu adalah Rhnegatif dan belum pernah tersensitisasi dengan antigen RhD, meski pernah
menerima injeksi immunoglobulin anti-D sebelumnya karena proteksi yang
diberikan immunoglobulin anti-D tidak untuk seumur hidup. Jadi, pada setiap
kehamilan, ibu harus diberikan suntikan ini. Terapi ini tidak memberikan efek
apa-apa jika ibu sudah tersensitisasi. Ada dua cara pemberian RAADP
pranatal:
-

terapi dosis tunggal: pemberian immunoglobulin dilakukan pada minggu


28-30 kehamilan

terapi dua dosis: pemberian immunoglobulin dilakukan dua kali, yaitu


pada minggu 28 dan minggu 34
Kedua terapi memiliki keefektifan yang sama. 8 Pemberian RAADP

juga dapat diberikan 72 jam setelah bayi dilahirkan, setelah keguguran, setelah
abortus, setelah pengehentian kehamilan ektopik, setelah amniosentesis, dan
setelah trauma abdomen dalam semester kedua atau ketiga untuk memberikan
profilaksis bagi kehamilan selanjutnya.9
Selain tatalaksana antenatal, ada pula tatalaksana postnatal bagi bayi.
Tatalaksana ini mencakup:
1. Tatalaksana hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus

Hiperbilirubinemia pada inkompatibilitas Rh dapat menyebabkan


hiperbilirubinemia berat, ensefalopati bilirubin akut, dan ensefalopati bilirubin
kronis (kernikterus).
a. Fototerapi
Salah satu indikasi fototerapi pada neonatus adalah ikterus karena
hemolisis.6 Berikut adalah tabel panduan tatalaksana ikterus dengan
fototerapi dan transfusi tukar.2

10

Usia

Hari 1
Hari 2
Hari 3

Fototerapi
Bayi sehat Bayi

35 preterm <
minggu
35 minggu
atau adanya
faktor
risiko
Semua
ikterus
yang
tampak
15 mg/dL
10 mg/dL
18 mg/dL
15 mg/dL

Transfusi tukar
Bayi sehat Bayi preterm < 35

35 minggu atau adanya


minggu
faktor risiko

15 mg/dL

10 mg/dL

25 mg/dL
25 mg/dL

15 mg/dL
20 mg/dL

Komplikasi fototerapi yang perlu diperhatikan di antaranya adalah


kerusakan retina, kelainan kulit (hiperpigmentasi, ruam, eritema, luka
bakar), dehidrasi, diare, hipertermi, dan bronze baby syndrome.1
b. Transfusi tukar
Transfusi tukar dapat mencegah kernikterus dengan menghilangkan
bilirubin dari sirkulasi. Pada kasus inkompatibilitas Rh, transfusi tukar
juga bermanfaat untuk menghilangkan antibodi dari ibu, sehingga
mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.6
c. Administrasi immunoglobulin intravena
Penggunaan 0,5-1,0 g/kg intravenous immunoglobulins (IVIg)
pada bayi dengan inkompatibilitas Rh dilakukan jika fototerapi gagal
dalam menurunkan

kebutuhan

untuk transfusi

tukar. Bagaimana

mekanisme kerja IVIg pada inkompatibilitas Rh masih belum begitu jelas.


IVIg

mungkin

dapat

meningkatkan

katabolisme

IgG,

sehingga

memperpendek waktu paruh antibodi (termasuk antibodi anti-Rh). IVIg


juga dapat memblokade reseptor IgG pada makrofag, sehingga
menurunkan perusakan eritrosit yang terlapisi anti-Rh pada sirkulasi.
Hipotesis ketiga adalah adanya antibodi anti-idiotipik karena IVIg
menetralisasi antibodi anti-Rh.6 El Habashy, et al. dalam artikelnya
menyatakan bahwa IVIg dosis tinggi mampu menurunkan kebutuhan
untuk transfusi tukar dan memperpendek durasi fototerapi dan rawat inap

11

pada neonatus dengan penyakit hemolitik isoimun. 10 Al-Alaiyan, et al.


menyimpulkan bahwa IVIg memiliki efek pada timbulnya late anemia dini
dan memperpendek durasi late anemia dibandingkan dengan bayi yang
tidak menerima IVIg, tetapi kebutuhan transfusi tukar dan durasi fototerapi
tidak terpengaruh.11
d. Metalloporfirin
Metalloporfirin (atau dikenal pula dengan heme oxygenase
inhibitors)

telah

hiperbilirubinemia

digunakan
yang

untuk

tidak

mencegah

terkonjugasi.

dan

menerapi

Dengan

mencegah

pembentukan bilirubin, metalloporfirin berpotensi menurunkan kadar


bilirubin tidak terkonjugasi, sehingga menurunkan kebutuhan untuk
fototerapi dan rawat inap. Namun, penggunaan metalloporfirin masih
belum direkomendasikan. Cochrane review menyatakan dibutuhkan
adanya RCT untuk membandingkan terapi metalloporfirin dengan plasebo
dan melaporkan keluaran penting seperti hiperbilirubineamia berat,
kernikterus

neonatorum,

transfusi

tukar,

dan

gangguan

neurodevelopmental jangka panjang.6


e. Hidrasi
Fototerapi meningkatkan insensible water loss melalui kulit dan
meningkatkan kebutuhan cairan. Selain itu, byproducts dari fototerapi
dikeluarkan melalui urin. Bagi bayi yang diberikan ASI dengan dehidrasi,
suplementasi cairan dengan milk-based formula menghambat sirkulasi
enterohepatikus bilirubin dan meningkatkan efikasi fototerapi.6
3. Tatalaksana anemia
Manajemen umum bayi baru lahir dengan anemia akut meliputi
menjaga kehangatan, monitor tanda vital, dan penilaian dan penghitungan
intake dan luaran. Pemasangan jalur infus diperlukan untuk penggantian
cairan dan untuk kepentingan pengambilan sampel darah mungkin diperlukan
jalur vena atau arteri umbilical. Setelah dilakukan stabilisasi awal, selanjutnya
dilakukan tatalaksana untuk mencegah/mengurangi terjadinya perdaharah
lanjut.1
Transfusi tukar, selain menurunkan bilirubin dalam darah, juga mampu
mengoreksi anemia yang ada. Pada kasus inkompatibilitas Rh, darah yang

12

digunakan adalah golongan O Rh-negatif dengan titer anti-A dan anti-B yang
rendah. Pada bayi dengan inkompatibilitas Rh yang berat (seperti hydrops
fetalis), darah harus tersedia sebelum kelahiran.1
Transfusi tukar merupakan tindakan invasif dengan berbagai risiko
komplikasi, di antaranya:
- infeksi dari prosedur ataupun dari darah yang ditransfusikan, seperti
bacteremia (biasanya disebabkan oleh jenis Staphylococcus), hepatitis,
-

infeksi CMV, malaria, dan AIDS;


komplikasi vaskuler, seperti bekuan atau emboli, spasme arteri,

thrombosis, infark organ mayor;


gangguan faktor pembekuan (koagulopati) karena trombositopenia atau

menurunnya kadar faktor pembekuan;


gangguan elektrolit, seperti hyperkalemia,

hipokalsemia;
asidosis metabolik, bisa muncul sekunder karena darah donor sudah tidak

hypernatremia,

dan

segar;
alkalosis metabolik karena terlambatnya pembersihan sitrat dari hati;
enterokolitis nekrotikans;
gangguan kardiovaskuler, seperti aritmia atau henti jantung;
graft-versus-host disease.1
Selain transfusi tukar, terdapat pula metode pemberian eritropoietin,

asam folat, dan zat besi. Namun, pemberian ketiga zat tersebut masih tidak
direkomendasikan.6
4. Tatalaksana morbiditas lain
a. Hydrops fetalis
Anemia fetalis berat pada inkompatibilitas Rh dapat menyebabkan
hydrops fetalis. Neonatus dengan inkompatibilitas Rh dan hydrops fetalis
mengalami edema subkutan generalisata dan terkumpulnya cairan di
pericardium, pleura, dan peritoneum. Bayi dengan hydrops fetalis
mentoleransi persalinan dengan buruk dan kondisinya jelek saat lahir.
Intubasi sering diperlukan dan mungkin akan sulit karena adanya edema.
Ventilasi tekanan tinggi dapat diperlukan pada ventilasi mekanis karena
adanya edema pulmo dan hypoplasia pulmo. Drainase ascites dan efusi
pleura segera di ruang persalinan dapat menjadi prosedur life saving. Jika
hipertensi pulmoner menyebabkan hipoksemia berat, opsi terapi lain harus
dipikirkan, seperti ventilasi mekanis dengan ventilasi frekuensi tinggi,
13

inhalasi nitrit oksida, atau extra corporeal membrane oxygenation.


Insufisiensi sirkulasi sering muncul dan membutuhkan inotropik yang
cukup. Karena neonatus dengan hydrops fetalis sering menunjukkan
tanda-tanda gagal jantung, koreksi anemia lebih baik dengan transfusi
tukar daripada dengan transfusi sederhana dengan pemberian diuretic.6
b. Trombositopenia
Beberapa literatur menyatakan adanya hubungan antara rendahnya
jumlah trombosit dengan hydrops fetalis pada kehamilan dengan
alloimunisasi RhD berat. Trombositopenia fetal memiliki konsekuensi
yang berat, termasuk perdarahan intrakranial.6

14

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Suku
Alamat
Nama Ayah
Pekerjaan
Nama Ibu
Pekerjaan
Jaminan
No. CM
Tanggal Masuk

: By. Ny. R
: 5 hari
: Laki-laki
: Islam
: Jawa
: Kuwang, Tanjung, Bringin
: Tn. W
: Supir Truk
: Ny. R
: Ibu Rumah Tangga
: Jamkesda
: 072XXX
: 8 Januari 2015

B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Bayi tampak kuning
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan pasien tampak
kuning. Usia bayi saat datang 5 hari, sedangkan kuning sudah tampak sejak
usia 1 hari. BAB biasa, warna kuning. BAK biasa, warna kuning. Menyusui
kuat. Pasien juga mengalami demam naik turun.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan:

15

Ibu pasien, G3P2A0, rutin periksa kehamilan setiap bulan di bidan. Tidak ada
keluhan dan tidak ditemukan kelainan selama kehamilan. Pasien tidak pernah
di-USG. Tidak pernah dilakukan tindakan invasif ataupun trauma perut selama
kehamilan. Pasien rutin minum obat dari bidan dan tidak sakit selama hamil,
sehingga tidak meminum obat lain lagi. Makanan ibu biasa. Pasien lahir di RS
DKT Salatiga secara spontan tanpa penyulit, cukup bulan, berat badan lahir
3200 gram, panjang badan 48 cm. Setelah lahir, bayi langsung menangis
spontan. Pada hari pertama di RS DKT Salatiga, pasien sudah mulai tampak
kuning, tetapi keluarga memilih untuk membawa pasien pulang.
Riwayat Imunisasi:
Pasien belum diimunisasi.
Riwayat Pemberian Makanan:
Pasien diberikan ASI eksklusif, tidak diberikan susu formula maupun
makanan lain.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami trauma maupun perdarahan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien adalah anak ketiga dalam keluarganya. Anak pertama perempuan, usia
13 tahun, masih hidup. Anak kedua laki-laki, 7 tahun, masih hidup. Ayah
pasien adalah seorang supir truk dan ibu pasien adalah seorang ibu rumah
tangga. Tidak terdapat masalah dalam keluarga.

Anak pertama dan anak kedua dikatakan tidak kuning saat baru lahir. Riwayat
ibu menderita diabetes disangkal. Riwayat ibu menjalani tindakan invasif
maupun trauma selama kehamilan sebelumnya disangkal.

16

C. Pemeriksaan Fisik (8 Januari 2015)


Keadaan Umum: tampak lemah, ikterik
Kesadaran: compos mentis
Berat Badan: 3100 kg
Panjang Badan: 48 cm
Tanda Vital: HR 132 kpm, RR 42 kpm, t 38,5C, SpO2 95%.
Kulit: tampak kuning, sianosis tidak ada, petekia tidak ada, memar tidak ada,
turgor baik.
Kepala: normocephali, ubun-ubun besar dan ubun-ubun kecil teraba,
hematoma tidak ada, kaput suksedaneum tidak ada.
Mata: edem palpebra tidak ada, sklera ikterik, konjungtiva anemis, sekret tidak
ada, perdarahan tidak ada.
Hidung: bentuk hidung normal, discharge tidak ada, napas cuping hidung
tidak ada.
Telinga: discharge tidak ada.
Mulut/lidah: sianosis tidak ada, bibir kering tidak ada.
Leher: tonus otot leher baik, kaku kuduk tidak ada.
Dada: simetris, ketinggalan gerak tidak ada, retraksi dinding dada tidak ada,
iktus kordis tidak tampak.
Jantung: S1 tunggal, S2 split tak konstan, bising tidak ada.
Paru-paru: sonor, suara dasar vesikuler, wheezing dan ronkhi tidak ada.

17

Perut: dinding perut sama tinggi dengan dinding dada, bising usus normal,
supel, turgor baik, tali pusat merah tidak ada, bau tidak ada, pus tidak ada.
Hati: tidak teraba.
Limpa: tidak teraba.
Anus: ada, paten.
Genital: laki-laki, kedua testis sudah turun.
Ekstremitas: tonus baik, akral hangat, sianosis tidak ada, eutrofi, panjang
simetris, edema tidak ada.

D. Assessment
- Ikterik neonatorum e.c. suspek inkompatibilitas Rh dd inkompatibilitas
-

ABO
Infeksi neonatorum

E. Planning
- O2 1 lpm kanula nasal
- Kebutuhan cairan 180 cc/kgBB/24 jam
-

IV = 250 cc
PO = 326 cc

Infus D5% 250 cc/24 jam


Intake ASI p.o. 40 cc/3 jam
Inj. Cefotaxime 150 mg/12 jam
Fototerapi
Cek darah rutin, GDS, bilirubin (direk, indirek, total), golongan darah dan
Rhesus bayi dan ibu

18

F. Follow Up
9 Jan 15

S:
Gerak kurang aktif, merintih.
O:
KU, Kesadaran: tampak lemah, tampak
kuning, CM
HR 132 kpm, RR 42 kpm, t 37,5C, SpO2
94%, BB 3200 kg
Kepala, Leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik
Hasil pemeriksaan laboratorium
Hb 4,3
Goldar B
Hct 11,7
AL 19.200
Rhesus (+) AT 600
AE 1,08
GDS 55
Bil. Total 31,07
Bil. Direk 13,96
Bil. Indirek 17,11

P:
- Rujuk RSDK
keluarga pasien menolak
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Fototerapi
- Transfusi PRC 60 cc
(habis dalam 3 jam;
dengan syringe pump)
- Infus D5% 250 cc/24
jam
- Intake ASI p.o. 40 cc/3
jam
- Inj. Cefotaxime 150
mg/12 jam i.v.
- Inj. Furosemide 5 mg
i.v. post transfusi

Morfologi darah tepi: kesan anemia


normositik normokromik dengan
gambaran leukoeritroblastik dd hemolitik,
perdarahan, infeksi. Kemungkinan adanya
AIHA belum dapat disingkirkan.
Eosinofilia e.c. suspek reaksi
hipersensitivitas dd infeksi parasit.
Golongan darah ibu: A, Rhesus (-)
A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum
19

10 Jan
15

S:
P:
Gerak kurang aktif, menangis kurang kuat. - Tunda transfusi
- Monitor KU, HR, RR,
O:
SpO2, tanda-tanda gagal
KU, kesadaran: tampak lemah, tampak
jantung, apneu
kuning, CM
- Fototerapi
HR 146 kpm, RR 48 kpm, t 36,8C, SpO2
- O2 kanula nasal 1 lpm
98%
- Inf. D5% 250 cc/24 jam
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
- Intake ASI p.o. 30 cc/3
ikterik, limfonodi tak teraba
jam
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
- Inj. Cefotaxime 150
tambahan tidak ada
mg/12 jam i.v.
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
- Inj. Gammaraas 1,25 gr
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
(25 cc) i.v. 7 cc/jam
dada, bising usus normal, supel, hepar dan dengan syringe pump,
lien tak teraba
awasi reaksi pemberian
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
(monitor tanda vital tiap
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik
30 menit selama
Hasil cross test: mayor 3+ dan minor 3+
pemberian). Post
pemberian IVIG, ambil
A:
sampel darah untuk cross
- Inkompatibilitas Rh dengan
test ulang.
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum

20

11 Jan
15

S:
Menangis kurang kuat, gerakan kurang
aktif.
O:
KU, kesadaran: tampak lemah, tampak
kuning, CM
HR 140 kpm, RR 44 kpm, t 36C, SpO2
97%
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik
Hasil cross match test: pasien tetap
inkompetensi mayor dan minor
Hb 5
Bil. Total 20,67
AL 28.500
Bil. Direk 11
AE 1,24
Bil. Indirek 9,66
Hct 14,3
AT 840

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- Fototerapi
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf. D5% 250 cc/24 jam
- Intake ASI p.o. 40 cc/3
jam
- Inj. Cefotaxime 150
mg/12 jam i.v.

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum

21

12 Jan
15

S:
Menangis kurang kuat, gerakan kurang
aktif.
O:
KU, kesadaran: tampak lemah, tampak
kuning, CM
HR 140 kpm, RR 44 kpm, t 36C, SpO2
97%
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- Fototerapi
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf. D5% 300 cc/24 jam
- Intake ASI p.o. 40-50
cc/3 jam
- Inj. Cefotaxime 150
mg/12 jam
- Estazor 2x30 mg p.o.

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum

22

13 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 148 kpm, RR 52 kpm, t 36C, SpO2
97%, BB 3300 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Stop fotorterapi pk
12.00
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf. D5% 300 cc/24 jam
- Intake ASI p.o. 30-40
cc/3 jam
- Inj. Cefotaxime 150
mg/12 jam
- Estazor 2x30 mg p.o.
- Rencana transfusi besok

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum

23

14 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 144 kpm, RR 56 kpm, t 36,3C, SpO2
97%, BB 3200 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf. D5% 300 cc/24 jam
- Intake ASI p.o. 30-40
cc/3 jam
- Inj. Cefotaxime 150
mg/12 jam
- Estazor 2x30 mg p.o.
- Transfusi 20 cc/kgBB ~
70 cc PRC
- Inj. Furosemide 5 mg
i.v. post transfusi
- Awasi reaksi transfusi

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
- Infeksi neonatorum

24

15 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 132 kpm, RR 44 kpm, t 36C, SpO2
97%, BB 3100 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. 40-50
cc/3 jam
- Stop inj. Cefotaxime
- Estazor 2x30 mg
- Transfusi PRC bila hasil
cross test cocok

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis

25

16 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 148 kpm, RR 42 kpm, t 36C, SpO2
97%, BB 3200 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg p.o.
- Konsul Sp.PK

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
Jawaban dari Sp.PK:
Berdasarkan hasil laboratorium By. Ny. R. dengan Hb 5, golongan
darah B Rh(+), bilirubin total 30 mg/dL, bilirubin indirek 17 mg/dL,
DCT 3+, ICT 3+, AC (+), ibu golongan darah A Rh(-), ayah golongan
darah B Rh (+), dapat disimpulkan bahwa terdapat HDN dengan
inkompatibilitas Rhesus dan inkompatibilitas ABO. Maka disarankan
adanya transfusi tukar menggunakan darah PRC dengan golongan
darah O Rh(-).

26

17-22
Jan 15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 140 kpm, RR 56 kpm, t 36C, SpO2
97%, BB 3200 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

23 Jan
15

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 130 kpm, RR 38 kpm, t 36C, SpO2
89%, BB 3450 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg
- Tunggu donor golongan
darah O, Rhesus negatif
dari PMI Kota Semarang

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg
- Menghubungi PMI Kota
Yogyakarta untuk
meminta donor darah O
negatif melalui fax acc
diambil sore hari

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan

27

24 Jan
15

hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan


kolestasis
S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 128 kpm, RR 38 kpm, t 36,1C, SpO2
97%, BB 3500 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg
- Rencana transfusi tukar
hari ini pk 10.00
- Puasa
- Persiapan: NGT, Inf.
D5NS dgn transfusi set

Hb 6,8
Hct 19,9
Na 133,3
AL 10.100
AT 986K 38,44
AE 2,0
Cl 107,4
Bil. Total 9,06
Bil. Direk 6,79
Bil. Indirek 2,27
A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis

28

24 Jan
15
11.30
25 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 138 kpm, RR 36 kpm, t 36,4C, SpO2
96%, BB 3600 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

Tunda transfusi tukar hari


Senin, puasa mulai hari
Senin pk 06.00. Pasang
inf. D5NS saat mulai
puasa.
P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis

29

26 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 130 kpm, RR 40 kpm, t 36,8C, SpO2
97%, BB 3600 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis, sklera
ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

P:
- Monitor KU, HR, RR,
SpO2, tanda-tanda gagal
jantung, apneu
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg
- Transfusi tukar hari ini

A:
- Inkompatibilitas Rh dengan
hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis
26 Jan
15
12.03
14.55

Transfusi tukar dimulai


Transfusi tukar dihentikan dgn darah
keluar 180 cc dan darah masuk 250 cc.

- Selama dan post


transfusi awasi reaksi
transfusi (urine, tanda
vital, intake).
- Intake dimasukkan
setelah transfusi selesai,
berikan bertahap. Bila
muntah/distensi,
puasakan dulu.
- Pk 15.45 ganti infus
dengan D5NS.
- Besok cek darah rutin
dan bilirubin.

30

27 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 134 kpm, RR 52 kpm, t 37,2C, SpO2
99%, BB 3600 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis tidak
ada, sklera ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik
Hb 11
AL 9500
AE 3,8
Hct 32,4
AT 203

P:
- Awasi reaksi transfusi
(urine, tanda vital,
intake).
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf. D5NS 100 cc/24
jam
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg

Bil. Total 5,22


Bil. Direk 3,85
Bil. Indirek 1,37

A:
- Inkompatibilitas Rh

31

28 Jan
15

S:
Menangis kuat, gerakan cukup.
O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tampak
kuning, CM
HR 134 kpm, RR 52 kpm, t 37,2C, SpO2
99%, BB 3600 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis tidak
ada, sklera ikterik, limfonodi tak teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik

29 Jan
15

A:
- Inkompatibilitas Rh
S:
Menangis kuat, gerakan cukup.

P:
- Awasi reaksi transfusi
(urine, tanda vital,
intake).
- O2 kanula nasal 1 lpm
- Inf D5NS 100 cc/24
jam
- Intake ASI p.o. ad
libitum
- Estazor 2x30 mg

P:
BLPL

O:
KU, kesadaran: tampak tenang, tidak
tampak kuning, CM
HR 140 kpm, RR 32 kpm, t 37,2C, SpO2
99%, BB 3600 gr,
Kepala, leher: konjungtiva anemis tidak
ada, sklera ikterik tidak ada, limfonodi tak
teraba
Pulmo: suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
Cor: S1 tunggal, S2 split tak konstan
Abdomen: dinding perut setinggi dinding
dada, bising usus normal, supel, hepar dan
lien tak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak
ada, waktu pengisian kapiler < 2 detik
A:
- Inkompatibilitas Rh

32

BAB IV
ANALISIS KASUS

A. Diagnosis
Pasien usia 5 hari datang dengan keluhan tampak kuning sejak hari
pertama. Setelah dilihat, pasien tampak ikterus dalam. Oleh karena itu, perlu
dipikirkan adanya ikterus patologis. Ikterus yang muncul pada hari pertama
kehidupan disebabkan oleh peningkatan bilirubin yang signifikan, terutama
dari hemolisis. Maka dari itu, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan darah rutin, bilirubin, dan golongan darah serta Rhesus bayi
untuk mencari penyebab adanya peningkatan bilirubin tersebut. Diperiksa pula
golongan darah dan Rhesus ibu. Selain itu, pasien juga mengalami demam,
sehingga pasien di-assess dengan infeksi neonatorum.
Setelah hasil pemeriksaan penunjang keluar, tampak bayi mengalami
anemia, trombositosis, serta hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin total
mencapai 31,07 mg/dL, bilirubin direk 13,96 mg/dL, dan bilirubin indirek
17,11 mg/dL. Golongan darah bayi adalah B dengan Rh-positif, sedangkan
golongan darah ibu adalah A dengan Rh-negatif. Tampak pula bilirubin direk
mencapai >20% dari bilirubin total. Oleh karena itu, bayi didiagnosis dengan
inkompatibilitas Rh dengan hiperbilirubinemia, anemia hemolitik, dan
kolestasis.
B. Tatalaksana
Inkompatibilitas Rh merupakan kasus yang membutuhkan tatalaksana
lebih lanjut, terlebih lagi disertai dengan hiperbilirubinemia dan anemia
hemolitik yang hebat. Pasien direncanakan dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi,
tetapi keluarga menolak dengan alasan jaminan Jamkesda tidak dapat
digunakan. Dengan demikian, pasien perlu diawasi dengan ketat di RSUD
Ambarawa. Pasien mengalami anemia hingga Hb mencapai 4,3 g/dL. Pasien
perlu dimonitor tanda vitalnya untuk memantau adanya gagal jantung akut.
33

Pasien juga perlu diberikan oksigen untuk membantu pernapasannya.


Hiperbilirubinemia diatasi dengan fototerapi. Jumlah cairan yang masuk dan
keluar perlu diawasi, terlebih lagi pasien ini menjalani fototerapi. Infeksi
neonatal diatasi dengan antibiotik cefotaxime.
Permasalahan pada pasien ini adalah hiperbilirubinemia dan anemia,
keduanya berasal dari adanya hemolisis eritrosit yang telah terkena antibodi
anti-D. Transfusi tukar sebisa mungkin dihindari dulu, mengingat tindakan
invasif ini memiliki banyak risiko, sehingga pasien diberikan IVIg untuk
mengehentikan ongoing hemolisis yang ada. Pasca diberikan IVIg, Hb naik
menjadi 5 g/dL, bilirubin total turun menjadi 20,67 mg/dL, bilirubin direk
turun menjadi 11 mg/dL, dan bilirubin indirek turun menjadi 9,66 mg/dL.
Kondisi memang sudah membaik, tetapi pasien masih memerlukan lanjutan
fototerapi dan transfusi PRC untuk memperbaiki Hb. Kolestasis juga masih
ada, sehingga pasien juga diberikan asam ursodeoksikolat.
Setelah dikonsulkan kepada dokter Sp.PK, transfusi disarankan bukan
menggunakan PRC sesuai dengan golongan darah pasien, tetapi dengan PRC
golongan O Rhesus negatif. Oleh karena itu, transfusi PRC B positif ditunda
dan mencoba dicarikan PRC O Rhesus negatif. Sembari menunggu adanya
darah O Rhesus negatif, monitoring tetap dilakukan mengingat risiko anemia
terhadap gagal jantung. Asam ursodeoksikolat juga tetap diberikan.
Setelah didapatkan PRC golongan O Rhesus negatif, pasien dicek darah
rutin ulang. Dari pemeriksaan didapatkan Hb 6,8 g/dL, bilirubin total 9,06
mg/dL, bilirubin direk 6,79 mg/dL, dan bilirubin indirek 2,27 mg/dL.
Kemudian dilakukan transfusi tukar dengan darah keluar sebanyak 180 ml dan
darah masuk 250 ml. Transfusi tukar ini selain ditujukan untuk membuang
bilirubin, juga ditujukan untuk mengoreksi Hb, sehingga memang darah yang
masuk lebih banyak daripada darah yang keluar. Pasca transfusi tukar, Hb naik
menjadi 11 g/dL, bilirubin total turun menjadi 5,22 mg/dL, bilirubin direk
turun menjadi 3,85 mg/dL, bilirubin indirek turun menjadi 1,37 mg/dL. Efek
samping transfusi tukar juga tidak teramati. Tiga hari pasca transfusi tukar,
bayi sudah tidak tampak kuning dengan tanda vital yang baik, sehingga pasien
bisa pulang.

34

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengenalan kasus ikterus fisiologis dan patologis penting dilakukan oleh
tenaga medis, khususnya pada pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Kasus ikterus patologis harus segera dikenali agar bisa segera
mendapatkan pelayanan yang cepat dan tepat.
3. Permasalahan jaminan kesehatan masih merupakan permasalahan yang
umum ditemui di RSUD Ambarawa pada khususnya dan di Indonesia pada
umumnya.
B. Saran
1. Setiap tenaga

medis

harus

memahami

prinsip

penanganan

kegawatdaruratan ikterus neonatorum dan memahami kapan kasus ikterus


harus dirujuk.
2. Sosialisasi jaminan kesehatan nasional sebaiknya bisa menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G.I., Usman, A. 2008. Buku Ajar
Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta.
2. WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children, 2nd ed.
3. Health Technology Assessment Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus
Neonatorum.
4. Salem, L., Singer, K.R., Sayah, A.J., Talavera, F., Pierce Jr, J.G., Halamka,
J.D.,

Dyne,

P.L.

2014.

Rh

Incompatibility.

http://emedicine.medscape.com/article/797150-overview

Diakses

dari

pada tanggal 20

Maret 2015.
5. El Din, S.M.N., Ramy, A.R.M.A, Ali, M.S. Correlation between the RhD
genotyping and RhD serotyping in isoimmunized pregnancies. The Egyptian
Journal of Medical Human Genetics (2011) 12, 127-133.
6. Smits-Wintjens, V.E.H.J., Walther, F.J., Lopriore, E. Rhesus hemolytic disease
of the newborn: postnatal management, associated morbidity and long-term
outcome. Semin Fetal Neonatal Med 2008; 13:265-271.
7. Pilgrim H, Lloyd-Jones M, Rees A. Routine antenatal anti-D prophylaxis for
RhD-negative women: a systematic review and economic evaluation. Health
Technol

Assess 2009;13(10).

Diakses

dari

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0014969 pada tanggal 20 Maret


2015.
8. http://www.nhs.uk/Conditions/Rhesus-disease/Pages/Prevention.aspx. Diakses
pada tanggal 24 Maret 2015.
9. Brosur HyperRho S/D oleh PT Dipa Pharmalab Intersains.
10. El Habashy, S.A., Toaima, D.N., Gad, G.I., El Nazer, M.G. High dose
intravenous immunoglobulin in Rh and ABO hemolytic disease of Egyptian
neonates. Egypt J Pediatr Allergy Immunol 2014: 12(1):21-26.
11. Al-Alaiyan, S., Ahmad, H.A., Al-Hazzani, F., AlHasan, M., Dawoud, M.,
Khadawardi, E., Al-Midani, E. Effects of intravenous human immunoglobulin
on late hyporegenerative anemia secondary to rhesus hemolytic disease of the

36

newborn. International Journal of Pediatrics and Adolescent Medicine (2014)


1, 73-77.

37

Anda mungkin juga menyukai