Indonesia menjadi kewajiban untuk setiap kepentingan kenegaraan dan urusan tata
pemerintahan. Konsekuensinya, usaha pelestarian, pembinaan, dan mengembangan
bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab setiap warga negara.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara baik dan benar menjadi
prioritas. Sehingga peningkatan, mengembangkan dan pelestarian bahasa Indoesia
mencakupi semua lembaga pendidikan dan menjangkau masyarakat luas. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal, dijadikan tempat yang mempunyai peran penting dan
stratergis untuk melaksanakan tugas tersebut. Pentingnya pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia diajarkan di semua jenjang pendidikan, mulai tingkat dasar, menengah,
hingga perguruan tinggi. Oleh karenanya, mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan
mata pelajaran pokok yang wajib diikuti dan dimasukkan ke dalam syarat kelulusan ujian
disetiap jenjang pendidikan.
Namun yang perlu dicermati, semakin pentingnya kedudukan bahasa Indonesia
dan semakin optimalnya intensitas pembelajaran bahasa, pada kenyataanya tidak cukup
berhasil untuk mencetak generasi yang cinta dan terampil dengan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Rendah nilai UN bahasa Indonesia karena mata pelajaran ini dianggap mudah dan
sepele oleh sebagian siswa, bila tidak mau dikatakan semuanya. Salah satunya karena
pelajaran ini mempelajari materi yang menjadi bahasa keseharian seseorang dalam
berkomunikasi. Akibatnya siswa kurang melakukan persiapan ketika menghadapi ujian
bahasa Indonesia. Berbeda dengan mata pelajaran lain yang memiliki perhatian dan
konsentrasi
yang
berbeda
sehingga
diberikan
waktu
yang
istimewa
ketika
menghadapinya. Disisi lain penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah
yang benar juga membingungkan. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kodifikasi
bahasa yang baku membuat mereka terjebak dalam penggunaan bahasa dengan mutu
yang
rendah.
Sehingga
lahirlah
bahasa
Indonesia
yang
memiliki
kerancuan
menggunakannya.
Tidak hanya kemampuan berbahasa Indonesia siswa yang rendah. Kemampuan
bahasa Indonesia para guru juga belum optimal. Dari laporan uji kemahiran bahasa
Indonesia oleh Pusat Bahasa Depdiknas tahun 2011, dari 2000 guru bahasa Indonesia di
14 provinsi yang menjadi sampel, menunjukkan bahwa tingkat kemahiran berbahasa
Indonesia bagi guru-guru hanya memiliki rentang skor 749-225 dengan predikat sangat
unggul-semenjana. Tidak ada predikat istimewa (816-900).
Melihat persoalan di atas, tidak ada kata lain, kecuali menegaskan kembali
pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar. Hal ini
disamping dapat dimulai dari diri sendiri, juga perlu didukung oleh pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah.
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari belajar membaca, menulis,
menyimak, dan berbicara. Aktivitas menyimak dan membaca merupakan awal dari setiap
pembelajaran bahasa. Dengan menyimak dan membaca, dapat menguatkan kemampuan
siswa untuk memahami setiap maksud yang disampaikan oleh menutur baik dalam
bentuk lisan dan/atau tulisan. Siswa dilatih mengingat, meneliti kata-kata istilah dan
memaknainya. Selain itu juga akan menemukan informasi yang belum diketahuinya.
Dengan menulis dan berbicara, siswa dapat merefleksikan hasil bacaan dan
pengamatannya. Kemampuan berbahasa ekspresif yang secara produktif dapat
menghasilkan tuturan bermakna dalam bentuk lisan dan tulisan sehingga difahami. Siswa
dapat mengaktualisasikan setiap realitas yang terlihat dalam bentuk komunikasi dengan
orang lain.
Untuk menopang semua itu, guru bahasa Indonesia seyogyanya memotivasi siswa
agar rajin membaca, salah satunya membaca surat kabar. Dengan membaca surat kabar
setiap hari, ilmu pengetahuan siswa akan bertambah. Tanpa disadari sebenarnya mereka
juga sedang belajar bahasa Indonesia. Dengan bekal ilmu tersebut, siswa berhasrat
menyampaikan pendapatnya (mampu beropini) baik lisan atau tulisan. Selanjutnya, siswa
pun mampu beropini melalui surat kabar berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa
yang logis dan santun.
dan
memanfaatkan
karya
sastra
untuk
memperluas
wawasan,
bahasa
Jawa
47,8%,
dan
Sunda
14,5%.
Dalam
perkembangannya,
melalui
vernakularisasi, terbukti bahwa pilihan politik pada tahun 1928 itu telah mengantarkan
bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu menjadi bahasa masyarakat baru yang
bernama Indonesia. Bahasa Indonesia telah mampu menyatukan berbagai lapisan
masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya, bahasa, dialek, dan etnik ke dalam
satu kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia pun kemudian mendapat
pengukuhannya ketika perjuangan politik bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara yang
merdeka dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36. Dalam kaitan itu pula,
pengukuhan pilihan politik status bahasa Indonesia dan perencanaan bahasa Indonesia
merupakan upaya yang tidak mungkin dihindari. Setidaknya, pesatnya perkembangan
bahasa Indonesia dan gencarnya serangan bahasa asing telah menuntut hal itu. Status
meningkatkan atau mengurangi penggunaan bahasa asing yang menjadi kebijakan politik
diasumsikan dapat mengembangkan dua hal, yaitu pengembangan bahasa Indonesia dan
menciptakan situasi sosial, seperti meningkatkan status bahasa Indonesia yang
dibanggakan penuturnya. Di lain pihak, kebijakan bahasa secara resmi di kalangan
pemerintahan dan pendidikan merupakan upaya pengembangan bahasa untuk
menyatukan rasa nasionalisme. Namun, bagi sebagian orang Indonesia, nasionalisme
masih dianggap pemikiran baru karena konsepnya dianggap hanya digunakan dalam
ranah pemerintahan, politik praktis, dan sekadar tameng untuk mengantisipasi pengaruh
asingbukan soal bagaimana memahami kesatuan dan persatuan bangsa. Setakat ini kita
masih tidak dapat lepas dari primordialisme dan perbedaan yang dianggap sebagai hal
yang tidak menyenangkan. Setiap kelompok masih membuat teritorialnya sendiri. Pada
tataran tersebut, konstruksi sosio-budaya-politik kita seharusnya bercermin pada fakta
keberadaan bahasa Indonesia yang dapat digunakan dalam lintas batas. Identitas sebagai
seorang nasionalis Indonesia semestinya sebuah konstruksi yang dipegang sebagai hal
pribadi. Orang tidak perlu menjadi asli untuk dapat mencintai Indonesia karena tatanan
kehidupan global saat ini memungkinkan kita berada di lain benua dan keindonesiaan
bukan lagi masalah teritorial karena dunia sudah menjadi perkampungan global. Nun jauh
dari Indonesia tentu banyak orang Indonesia yang berbicara dengan bahasa Indonesia
dengan logat keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan. Hal itu hanya merupakan
masalah garis hidupnya yang menentukan bahwa dia harus jauh dari tanah kelahirannya,
tetapi nasionalismenya belum tentu keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan. Sekali
lagi, bahasa atau logat seseorang dalam berbicara memang tidak menunjukkan kadar
nasionalisme.
3. Karateristik Pendidikan Bahasa Indonesia
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari
semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi
serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik
untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara
lisan
maupun
tulis,
serta menumbuhkan
apresiasi
terhadap
hasil
karya
mengeksplorasi, dan brain storming dari peserta didik. Dengan pendekatan terpadu
peserta didik didorong untuk berani bekerja secara kelompok dan belajar dari hasil
pengalamannya sendiri. Collins dan Dixon (1991:6) menyatakan tentang pembelajaran
terpadu sebagai berikut: integrated learning occurs when an authentic event or
exploration of a topic in the driving force in the curriculum. Selanjutnya dijelaskan
bahwa
dalam
pelaksanaannya
anak
dapat
diajak
berpartisipasi
aktif
dalam
mengeksplorasi topik atau kejadian, peserta didik belajar proses dan isi (materi) lebih dari
satu bidang studi pada waktu yang sama.
4. Komunikasi Pendidikan Bahasa Indonesia
Berbicara tentang pendidikan, kita tidak bisa melepaskan diri dari kualitas
pendidikan. Ketika berbicara masalah kualitas pendidikan maka inilah masalah terbesar
dalam dunia pendidikan kita. Seperti yang kita ketahui bersama, metode pendidikan
mengalami beberapa perubahan. Bahkan ada anggapan bahwa jika Menteri Pendidikan
berganti maka metode pendidikannya juga berubah.
Pada dasarnya dunia pendidikan adalah dunia yang terbuka dalam arti
membutuhkan bantuan dari berbagai disiplin ilmu, tidak terkecuali ilmu komunikasi.
Dengan demikian diharapkan kontribusi disiplin ilmu lain dapat meningkatkan kualitas
pendidikan. Karena masalah kualitas merupakan masalah krusial yang ada dalam dunia
pendidikan di negeri kita, maka bantuan disiplin ilmu komunikasi diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif dalam dunia pendidikan kita.
Pendidikan pada hakikatnya memiliki tujuan untuk mengembangkan potensipotensi individu secara optimal. Pengembangan potensi-potensi itu pada umumnya
bersifat normative dalam arti mengacu apada norma-norma kedewasaan sehingga dalam
pendidikan dikenal dengan apa yang dianggap baik dan buruk, apa yang diyakini benar
dan salah, apa yang dipandang sebagai membangun dan merusak. Pengembangan potensi
itu merujuk pada potensi alamiah yang unggul termasuk di sini adalah kecerdasan
intelegensia, bakat, kreativitas dan kecenderungan alamiah untuk mengembangkan diri
sebagai individu serta tumbuh bersama manusia lainnya.
Disamping itu, komunikasi juga berfungsi mendidik masyarakat, mendidik setiap
orang dalam menuju pencapaian kedewasaannya bermandiri. Seseorang biisa banyak tahu
karena banyak mendengar, banyak membaca, dan banyak berkomunikasi. Terdapat 12
prinsip komunikasi yang dikatakan sebagai penjabaran lebih jauh dari definisi dan
hakekat komunikasi yaitu :
a. Komunikasi adalah suatu proses simbolik
b. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi
c. Komunikasi punya dimensi isi dan hubungan