Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI OBAT


KAJIAN SUMBER INFORMASI OBAT TERSIER (KWA)

OLEH:
KELOMPOK IV
AGUS HENDRA JAYA
DESAK PUTU MEILINDA ASRI S.
NI LUH AYU PUTU SHAINE P.
DEWA AYU FERIANTA SARI

(1208505035)
(1208505037)
(1208505039)
(1208505040)

UNIVERSITAS UDAYANA
JIMBARAN
2015
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1.

Pustaka Tersier
Sumber informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga, dan
manusia. Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas
fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, perpustakaan dan lain-lain.

Lembaga mencakup industri farmasi, Badan POM, pusat informasi obat,


pendidikan tinggi farmasi, organisasi profesi dokter dan apoteker. Manusia
mencakup dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, dan profesional kesehatan
lainnya di rumah sakit. Apoteker yang mengadakan pelayanan informasi obat
harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan berbagai sumber tersebut.
Pustaka obat digolongkan dalam empat kategori, yaitu 1) pustaka primer, 2)
pustaka sekunder, 3) pustaka tersier, dan 4) sumber lain (Siregar dan Lia,
2003).
Literatur tersier mencakup buku teks, artikel kaji ulang, compendia, dan
lain-lain. Sumber ini memuat informasi yang diambil dari pustaka primer.
Pustaka tersier adalah pustaka paling umum digunakan, mudah dimasuki, dan
biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan informasi obat spesifik
pasien. Keterbatasan utama pustaka tersier adalah ketertinggalan waktu
beberapa bulan, bahkan mungkin beberapa tahun dibandingkan dengan
pustaka primer (Cardoni dan Jackson, 1981; DirJen YanFar dan Alkes, 2006).
Pustaka tersier sangat banyak tersedia untuk informasi medic dan obat.
Pustaka ini dapat berbeda-beda mutu. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
sebelum menerima informasi yang dapat dipercaya. Apabila melakukan
evaluasi terhadap pustaka tersier, perlu dilakukan kajian pada beberapa kriteria
berikut :
a. Mandat penulis/editor : Editor dan penulis harus mempunyai keahlian dan
kualifikasi menulis tentang judul atau bab tertentu dari suatu buku.
Keahliannya harus terbukti dari gelar dan afiliasi mereka. Demikian juga,
penulis kajian artikel harus dievaluasi dengan cara yang sama. Kompendia
dan beberapa buku acuan informasi obat umum tidak tertera nama penulis
atau editor. Sebelum dipublikasi, sumber ini ditulis oleh staf penulis dan
dievaluasi secara seksama oleh berbagai pengkaji ahli. Contoh, Farmakope,
USP, dan sebaginya.
b. Tanggal publikasi juga harus diases bersama-sama dengan edisi. Tanggal
publikasi dari pustaka tersier terutama buku teks, harus dalam jumlah tahun
yang kecil dari tanggal sekarang.

c. Penerbit juga harus diaskes. Penerbit yang mempunyai reputasi tinggi,


biasanya melakukan pengkajian kelompok ahli terhadap buku teks yang
akan diterbitkan.
d. Daftar pustaka, harus mengandung daftar acuan yang sesuai untuk judul
suatu bab buku atau databased atau kajian artikel. Acuan sedapat mungkin
dalam bentuk pustaka primer dan pustaka tersier. Selanjutnya penulis
pustaka tersier harus menghindari daftar karya

mereka saja dalam

kepustakaan buku.
e. Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan.
f. Cara lain untuk mengases suatu buku teks yang baru adalah membaca kritik
tertulis. Banyak majalah mempublikasi kritik ini tiap penerbitan (DirJen
YanFar dan Alkesb, 2006; Siregar, 2006).
1.2.

Flu
Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh masyarakat.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di Indonesia
adalah 25,5% (kisaran 17,541,4%). Masyarakat umumnya mampu
mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas seperti
pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan sakit dan
sakit kepala. Gejala flu seringkali disertai demam ringan pada awal gejala,
nyeri otot dan badan lemah (fatigue). Flu, salesma atau batuk pilek sebagian
besar (90%) disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus,
dan penderita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada
daya tahan tubuhnya. Puncak gejala biasanya sekitar hari ke-3 atau ke-4,
dengan rhinorrhoea yang awalnya berupa cairan bening, kemudian dapat
berubah menjadi lebih kental, kemungkinan dapat didiagnosis keliru
(misdiagnosed) sebagai infeksi sinus bakterial (Heikkinen and Jarvinen,
2003). Rata-rata durasi gejala flu berlangsung antara 7 sampai 10 hari,
sebelum penderita benar-benar sembuh. Namun umumnya penderita akan
berusaha melakukan upaya mengobati sendiri (swa-medikasi) untuk

mengatasi rasa tidak nyaman akibat flu dan batuk-pilek antara lain dengan
mengonsumsi obat-obat flu bebas yang ada di pasaran (Simasek and
Blandino, 2007).
Meskipun flu adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, antibiotika
masih sering digunakan dan dipreskripsi secara tidak rasional untuk flu,
sekalipun belum jelas adanya komplikasi bakterial (misalnya, pneumonia,
sinusitis bakterial). Suatu kajian sistematik mengungkapkan antibiotika tidak
efektif dalam mengurangi keparahan dan durasi gejala flu maupun mencegah
komplikasi infeksi sekunder bakterial, malahan penggunaan yang berlebihan
dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotika (Fahey et al.,
1998).
1.3.

Informasi Obat yang Berkaitan dengan Kasus


Pilihan obat merupakan preparat kombinasi untuk flu biasanya
mengandung komponen berikut :
a. Dekongestan
Bekerja dengan melakukan penyempitan pembuluh darah kapiler.
Misalnya pada kondisi influenza, terjadi pelebaran pada pembuluh darah
kecil (kapiler) pada daerah hidung sehingga dapat mengakibatkan
sumbatan. Dengan adanya penyempitan dari pembuluh darah kapiler (kerja
dekongestan), maka hidung dapat menjadi lega kembali. Macam-macam
Dekongestan:
1. Dekongestan

Sistemik,

fenilpropanolamin.

seperti

Dekongestan

pseudoefedrin,
sistemik

efedrin,

diberikan

dan

secara oral

(melalui mulut). Meskipun efeknya tidak secepat topikal tapi


kelebihannya tidak mengiritasi hidung. Dekongestan sistemik harus
digunakan secara hati-hati pada penderita hipertensi, pria dengan
hipertrofi prostat dan lanjut usia. Hal ini disebabkan dekongestan
memiliki efek samping sentral sehingga menimbulkan efek samping
takikardia

(frekuesi

denyut

jantung

berlebihan),

aritmia

(penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan darah atau


stimulasi susunan saraf pusat.
2. Dekongestan Topikal, digunakan untuk rinitis akut yang merupakan
radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan dekongestan topikal
berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot hidung. Dekongestan
topikal (semprot hidung) yang biasa digunakan yaitu oxymetazolin,
xylometazolin, tetrahydrozolin, nafazolin yang merupakan derivat
imidazolin karena efeknya dapat menyebabkan depresi SSP bila banyak
terabsorbsi terutama pada bayi dan anak-anak, maka sediaan ini tidak
boleh untuk bayi dan anak-anak. Penggunaan dekongestan topikal
dilakukan pada pagi dan menjelang tidur malam, dan tidak boleh lebih
dari 2 kali dalam 24 jam (Sarah dkk., 2010)
b. Penekan Batuk
Obat yang digunakan untuk menekan terjadinya batuk tidak
diperkenankan dipergunakan secara rutin. Infeksi virus menyebabkan
pasien memproduksi sekret dalam jumlah besar pada saluran pernapasan
sehingga meningkatkan kemungkinan untuk batuk berdahak. Fungsi dari
batuk ini adalah mengeluarkan sputum dan juga bakteri. Beberapa pasien,
selama masa penyembuhan, masih mengalami gatal pada tenggorokkan
atau keinginan untuk batuk bila terpapar oleh zat irritan dari luar seperti
asap, debu, dan lain-lain. Gejala ini, dikenal sebagai batuk kering lebih
serius pada malam hari dan mempengaruhi kualitas tidur pasien. Sirup
batuk dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Ekspektoran, untuk meningkatkan sekresi saluran pernapasan. Sekresi
tidak hanya melindungi mukosa saluran pernapasan, tetapi juga
mengurangi kekentalan sputum. Sputum yang tipis lebih mudah
mengalir dan dikeluarkan. Contoh: gliseril guaiakolat, ambroxol HCl.
2. Antitusif, untuk nenyembuhkan batuk dengan menekan sistem saraf
pusat. Beberapa antitusif mengandung kodein yang berefek anestetik
dan menyebabkan pusing. Contoh: kodein HCl, dekstrometorfan.

(Sarah dkk., 2010)


c. Antihistamin
Antihistamin merupakan antagonis reseptor H1 berikatan dengan
reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja
histamine. Antihistamin lebih efektif dalam mencegah respon histamine
daripada melawannya. Antihistamin oral dapat dibagi menjadi dua
katogori utama: nonselektif (generasi pertama atau antihistamin sedasi)
dan selektif perifer (generasi kedua atau antihistamin nonsedasi). Efek
sedatif sentral mungkin tergantung dari kemampuan melewati sawar darah
otak. Kebanyakan antihistamin bersifat larut lemak dan melewati sawar ini
dengan mudah. Obat yang selektif ke perifer memiliki sedikit atau tidak
sama sekali efek ke system saraf pusat atau otonom.
Perbedaan gejala sebagian disebabkan oleh sifat antikolinergik,
yang bertanggung jawab pada efek pengeringan yang mengurangi
hipersekresi kelenjar hidung, saliva dan air mata. Antihistamin
mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan bengkak dan rasa
panas serta gatal. Mengantuk adalah efek samping yang paling sering dan
dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau aktivitas kerja. Efek
sedatif bisa menguntungkan pada pasien yang sulit tidur karena gejala
rhinitis (Sarah dkk., 2010).
d. Analgesik - Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan
suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik antipiretik adalah obat yang
mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda
tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi
kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau
kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan

dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantara) (Anief,


1995).
Demam atau pireksia adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal
yaitu lebih besar dari 37C pada orang yang istirahat total di tempat tidur
sedangkan pada orang dengan aktivitas sedang, bersuhu di atas 37,2C.
Suhu rektal dan vaginal 0,5C lebih tinggi dari suhu oral (Berman et al,
2009). Suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus. Neuron-neuron pada
hipotalamus anterior praoptik dan hipotalamus posterior menerima dua
jenis sinyal, satu dari saraf perifer yang mencerminkan reseptor-reseptor
untuk hangat dan dingin dan lainnya dari temperatur darah yang
membasahi daerah ini. Kedua sinyal ini diintegrasikan oleh pusat
termoregulasi hipotalamus untuk mempertahankan temperatur normal
(Juliana, 2008).
Pirogen merupakan substansi yang menyebabkan demam dan berasal
baik dari eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar
hospes, sementara pirogen endogen diproduksi oleh hospes, pirogen
umumnya sebagai reseptor terhadap stimulan awal yang biasanya timbul
oleh karena infeksi atau inflamasi. Pirogen endogen yang dihasilkan baik
secara sistemis atau lokal, berhasil memasuki sirkulasi dan menyebabkan
demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Juliana, 2008).

BAB II
DESKRIPSI KASUS
2.1.

Deskripsi Kasus
Ibu B datang ke apotek sambil membawa bungkus obat Decolsin dan
mengeluh bahwa setelah minum obat tersebut selama 2 hari seharian merasa

mengantuk dan susah konsentrasi saat bekerja. Ibu B membeli obat tersebut
di warung dekat rumahnya karena mengalami flu. Ibu B bekerja sebagai kasir
di sebuah swalayan dan kesulitan bekerja dengan baik karena merasa
mengantuk. Setelah dilihat pada kemasan obat, komposisi obat yang dibawa
Ibu B adalah Parasetamol 400 mg, Pseudoefedrin HCl 30 mg, Klorfeniramin
maleat 1 mg, Dekstrometorfan HBr 10 mg dan Guaifenesin 50 mg. Ibu B
bertanya apakah ada pengaruh obat terhadap rasa ngantuk yang ia rasakan?
2.2.

Pertanyaan
1. Lakukan kajian terhadap penulisan (gelar, afiliasi), tanggal publikasi (edisi
terakhir, tahun terbit), penerbit, daftar pustaka, format pustaka pada
beberapa literatur tersier berikut :
a.

Informasi Spesialite Obat

d. Martindle

b.

MIMS

e. Stockley Drug Interaction

c.

Handbook of Clinical Drug Data

f. BNF

Berdasarkan hasil kajian anda, literatur tersier mana saja yang dapat
dijadikan sebagai acuan sebagai sumber informasi obat?
2. Tuliskan secara sistematis informasi obat apa saja yang terdapat pada
masing-masing pustaka tersier tersebut?
3. Sebutkan judul literatur yang anda gunakan. Bagaimana kelayakan
literatur tersebut sebagai sumber informasi obat?
4. Apakah informasi yang anda peroleh dari literatur tersier tersebut sudah
mencukupi? Apakah harus mencari sumber informasi dari literatur lain?
Jelaskan jawaban anda!
5. Bagaimanakah jawaban kasus yang anda peroleh berdasarkan hasil
pencarian anda pada literatur tersier tersebut?

BAB III
ANALISA DAN PENYELESAIAN
3.1. Pencarian Sumber Informasi Obat
Sumber informasi obat dapat diperoleh dari beberapa literatur, yaitu
mulai dari literatur tersier serta literatur sekunder yang akan merujuk ke
literatur primer. Tahapan prosedur pencarian sumber informasi obat dimuat
dalam skema berikut :

Pertanyaan/Permintaan Informasi
Referensi Umum Yang Spesifik (Tersier)

Informasi
Mencukupi Telah
Didapatkan

Informasi Tidak
Adekuat

Akhiri
Pencarian

Tidak Ada
Informasi Yang
Dibutuhkan
Sumber
Literatur
Sekunder

Literatur
Primer
Gambar 3.1 Skema Pencarian Sumber Informasi
Dalam memenuhi permintaan informasi obat yang dalam kasus ini,
mengenai obat demam mana yang lebih aman digunakan untuk pasien ibu
menyusui, dilakukan pencarian sumber informasi obat yang diawali dengan
pencarian pada literatur tersier. Literatur tersier dipilih sebagai sumber awal
karena merupakan pustaka yang paling umum digunakan, mudah dimasuki
dan biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan informasi obat spesifik
pasien. Pustaka tersier mencakup buku teks, artikel kaji ulang, compendia,
dan lain-lain. Ketika informasi pada beberapa literatur tersier dirasa tidak
cukup untuk menjawab pertanyaan mengenai informasi obat barulah
dilakukan penelusuran ke pustaka sekunder dan primer.
3.2. Evaluasi Literatur Tersier
Dalam menggunakan informasi pada literatur tersier untuk menjawab
pertanyaan pasien, dilakukan pengkajian serta evaluasi literatur tersier guna
mengetahui mutu serta tingkat kepercayaan terhadap informasi yang ada.
Dalam proses evaluasi terhadap literatur tersier, dilakukan kajian pada
beberapa kriteria berikut :
a. Mandat penulis/editor : Editor dan penulis harus mempunyai keahlian
dan kualifikasi menulis tentang judul atau bab tertentu dari suatu buku.
Keahliannya harus terbukti dari gelar dan afiliasi mereka. Kompendia

dan beberapa buku acuan informasi obat umum tidak tertera nama
penulis atau editor. Sebelum dipublikasi, sumber ini ditulis oleh staf
penulis dan dievaluasi secara seksama oleh berbagai pengkaji ahli.
Contoh, Farmakope, USP, dan sebagainya.
b. Tanggal publikasi juga harus diases bersama-sama dengan edisi. Tanggal
publikasi dari pustaka tersier terutama buku teks, harus dalam
jumlah tahun yang kecil dari tanggal sekarang.
c. Penerbit juga harus diaskes. Penerbit yang mempunyai reputasi
tinggi, biasanya melakukan pengkajian kelompok ahli terhadap buku
teks yang akan diterbitkan.
d. Daftar pustaka, harus mengandung daftar acuan yang sesuai untuk
judul suatu bab buku atau databased atau kajian artikel. Acuan
sedapat mungkin dalam bentuk pustaka primer dan pustaka tersier.
Selanjutnya penulis pustaka tersier harus menghindari daftar karya
mereka saja dalam kepustakaan buku.
e. Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan.
f. Cara lain untuk mengases suatu buku teks yang baru adalah membaca
kritik tertulis.
Dengan mengetahui kriteria yang seharusnya dipenuhi suatu literatur, maka
dapat dilakukan evaluasi terhadap literatur tersier yang digunakan. Berikut
hasil kajian serta evaluasi literatur tersier yang digunakan :
Tabel 3.1 Evaluasi Literatur Tersier
Literatur Tersier
Informasi
Spesialite Obat
(2012)
ISO
Farmakoterapi
(2008)
Informasi Obat
Nasional
Indonesia
MIMS
(2010/2011)
Handbook of
Clinical Drug

Penulis

Tanggal
Publikasi

Penerbit

Daftar
Pustaka

Format
Pustaka

Kritik
Tertulis

Data (2001)
Martindle
(2009)
Stockley Drug
Interaction
(2010)
AHFS
BNF
(2009)

Berdasarkan hasil kajian beberapa literatur tersier, seluruhnya masih dapat


dijadikan sebagai acuan sumber informasi obat karena masing-masing masih
memenuhi persyaratan baik dari penulis yaitu gelar serta afiliasi di bidang farmasi
atau obat-obatan, penerbit yang memiliki reputasi di bidang farmasi serta format
yang memudahkan pembaca dalam menggunakan literatur tersier. Namun dilihat
dari sumber informasi literatur tersier yang paling baik digunakan sebagai acuan
utama dalam kasus yang diberikan adalah Handbook of Clinical Drug Data;
Martindle dan Stockley Drug Interaction. Ketiga literatur tersebut mengandung
daftar pustaka yang lengkap, jelas dan detail sehingga ketiganya memiliki tingkat
kepercayaan yang paling baik.
a. Handbook of Clinical Drug Data

Mandat penulis/editor
Pada literatur ini tidak dicantumkan nama penulis. Namun terdapat editor
yaitu Philip O. Anderson, PharmD, FASHP, FCSHP; James E. Knoben,
PharmD, MPH; William G. Troutman, PharmD, FASHP. Berdasarkan gelar
dari penulis dapat dinyatakan bahwa literatur ini disusun oleh pengkaji ahli
yang mempunyai keahlian dan kualifikasi di bidang kefarmasian. Afiliasi
editor pada buku juga dijabarkan dengan jelas, adanya eksistensi di bidang
farmasi. Selain itu, edisi yang digunakan yaitu Handbook of Clinical Drug
Data dengan Edisi 10 menunjukkan adanya eksistensi dari pembuat yang
secara kontinu tetap meng-update buku tersebut.

Tanggal/tahun publikasi
Buku Handbook of Clinical Drug Data dipublikasikan pada tahun 2002,
yang artinya mengalami keterlambatan

12 tahun. Waktu ketertinggalan

pustaka tersier yang dianjurkan maksimal 3 atau 4 tahun. Buku ini kurang
mutakhir bila digunakan sebagai sumber informasi secara tunggal, sehingga
untuk dapat digunakan, dibutuhkan beberapa literatur tersier lain sebagai
penunjang atau pembanding.

Penerbit
Handbook of Clinical Drug Data diterbitkan oleh MCGRAW-HILL
(Medical Publishing Division) yang memiliki reputasi cukup tinggi yang
dibuktikan dengan banyaknya buku farmakologi serta kedokteran yang
diterbitkan. Sehingga informasi obat yang terdapat di dalamnya dapat
dipercaya.

Daftar pustaka
Buku ini mencantumkan daftar pustaka pada setiap penggolongan obatnya.
Daftar pustaka yang digunakan sebagian besar berupa literatur primer
dengan topik yang terkait dengan penggolongan obat masing-masing
berdasarkan terapinya. Hal ini mencerminkan adanya transparansi dari

penyusun darimana informasi yang ditulis diperoleh.


Format pustaka tersier
Format buku ini terdiri dari penggolongan obat berdasarkan kelas terapi
serta dijelaskan tiap obat secara detail. Informasi penting seperti dosis
dibuat dalam bentuk tabel sehingga memudahkan dalam membaca.

Kritik tertulis
Buku tidak mencantumkan kritik tertulis.

b. Martindle

Mandat penulis/editor
Editor literatur ini adalah Sean C Sweetman, Bpharm, FRPharms.
Berdasarkan gelarnya, editor mempunyai keahlian dan kualifikasi dalam
bidang kefarmasian yang sesuai dengan bidang informasi yang disampaikan
dalam buku tersebut. Afiliasi editor tidak dituliskan pada buku, namun dari
edisi buku hingga 36, menunjukkan adanya eksistensi dari editor untuk terus
mengupdate literatur tersebut.

Tanggal publikasi
Buku ini dipublikasikan pada tahun 2009, dengan ketertinggalan 5 tahun
dari tahun sekarang. Buku ini kurang mutakhir bila digunakan sebagai
sumber informasi secara tunggal, sehingga untuk dapat digunakan,
dibutuhkan beberapa literatur tersier lain sebagai penunjang atau
pembanding.

Penerbit
Penerbit buku ini adalah Pharmaceutical Press yang merupakan salah satu
penerbit yang memiliki reputasi tinggi, sehingga informasi obat yang

terdapat di dalamnya dinyatakan cukup terpercaya.


Daftar pustaka
Daftar pustaka dalam buku ini terdapat pada setiap akhir monografi obat
yang dibahas. Penulisan daftar pustaka pada tiap monografi memudahkan
pembaca untuk melakukan verifikasi dan menelusuri lebih lanjut kebenaran
dari informasi yang dicantumkan. Daftar pustaka yang digunakan sebagian
besar berupa literatur primer dengan topik yang terkait dengan yang
dibahas. Hal ini mencerminkan adanya transparansi dari penyusun darimana
informasi yang ditulis diperoleh.
Format pustaka tersier
Format buku ini terdiri dari monografi obat-obatan berdasarkan klasifikasi
terapi farmakologi dan zat tambahan berdasarkan fungsinya, daftar nama
singkatan, preparasi, petunjuk pembuatan, serta general indeks nama obat
yang disusun secara alfabetis yang memudahkan pengguna dalam mencari
informasi pada buku ini.

Kritik tertulis
Buku tidak mencantumkan kritik tertulis.

c. Stockley Drug Interaction

Mandat penulis/editor

Pada literatur ini tidak dicantumkan nama penulis. Namun terdapat editor
yaitu Karen Baxter, BSc, MSc, MRPharmS. Berdasarkan gelarnya, editor
mempunyai keahlian dan kualifikasi di bidang kefarmasian. Afiliasi editor
pada buku ini tidak dijabarkan dengan jelas, namun adanya eksistensi dalam
penerbitan kembali buku secara bertahap yaitu dari 1981; 1991; 1994; 1996;
1999; 2002; 2006 hingga 2008 menunjukkan adanya afiliasi berupa
eksistensi untuk tetap meng-update buku tersebut.

Tanggal/tahun publikasi
Stockley Drug Interaction ediai kedelapan dipublikasikan pada tahun 2008,
yang artinya mengalami keterlambatan

6 tahun. Waktu ketertinggalan

pustaka tersier yang dianjurkan maksimal adalah 3 atau 4 tahun. Buku ini
kurang mutakhir bila digunakan sebagai sumber informasi secara tunggal,
sehingga untuk dapat digunakan, dibutuhkan beberapa literatur tersier lain
sebagai penunjang atau pembanding.

Penerbit
Penerbit buku ini adalah Pharmaceutical Press yang merupakan salah satu
penerbit yang memiliki reputasi tinggi, sehingga informasi obat yang
terdapat di dalamnya dinyatakan cukup terpercaya.

Daftar pustaka
Buku ini mencantumkan daftar pustaka pada setiap akhir penjelasan tiap
interaksi obat. Daftar pustaka disusun dengan sangat detail sehingga
memudahkan pembaca melakukan penelusuran kembali. Selain itu, daftar
pustaka yang digunakan sebagian besar berupa literatur primer dengan topik
yang dibahas. Hal ini mencerminkan adanya kejelasan serta transparansi

penyusun darimana informasi yang ditulis diperoleh.


Format pustaka tersier
Format buku ini terdiri dari indeks berdasarkan nama obat sehingga dapat
memudahkan pembaca mencari interaksi obat yang diinginkan.

Kritik tertulis
Buku tidak mencantumkan kritik tertulis.

3.3. Kelengkapan Sumber Informasi Obat Tersier


Secara sistematis informasi obat yang terdapat pada masing-masing
pustaka tersier dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Informasi Obat dalam Literatur Tersier
Pustaka Tersier
Informasi Spesialite
Obat (2012)

ISO Farmakoterapi
(2008)

Informasi Obat
Indonesia

MIMS
(2010/2011)
Handbook of
Clinical Drug Data
(2001

Martindle
(2009)

Stockley Drug
Interaction (2010)
AHFS

Informasi Monografi
Sediaan

Peringatan

Indikasi

Efek Samping

Kontra Indikasi

Dosis

Mekanisme kerja

Peringatan

Indikasi

Interaksi

Kontraindikasi

Efek samping

Monografi

Kontraindikasi

Peringatan

Efek samping

Interaksi

Dosis

Komposisi

Pemerian Obat

Efek Samping

Indikasi

Kontra Indikasi

Interaksi Obat

Dosis

Peringatan

Sediaan

Farmakologi

Peringatan

Kontra Indikasi

Dosis

Farmakokinetika

Interaksi Obat

Sediaan

Efek Samping

Struktur Kimia Obat

Treatment

Penggunaan

Pemerian Obat

Peringatan

Administrasi

Stabilitas

Interaksi Obat

Efek Samping Obat

Farmakokinetika

Interaksi Obat

Bukti Klinis

Mekanisme Interaksi

Perhatian

Nama obat

Dosis populasi
khusus

Farmakologi

Interaksi obat
Toksisitas akut &
penanganan

Farmakokinetik
Chemistry &
stability

Introduction
Fungsi

Kemasan

Sediaan beredar

Informasi
penyakit

Managemen

BNF
(2009)

Dosis & administrasi

Peringatan &
perhatian

Preparasi

Indikasi

Kontra Indikasi

Peringatan

Efek Samping Obat

Dosis

3.4. Kelayakan Literatur Tersier


Literatur yang dapat digunakan setelah melalui pengkajian dan evaluasi
antara lain:
a. Handbook of Clinical Drug Data (2001)
b. Martindle (2009)
c. Stockley Drug Interaction (2010)
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi, ketiga literatur tersebut memiliki
tingkat kepercayaan informasi yang tinggi serta memenuhi kriteria berupa
penulis; penerbit; daftar pustaka; dan kemudahan format. Namun untuk
menjadi sumber informasi dalam menjawab kasus yang diberikan, digunakan
literatur a dan b karena pada literatur c hanya menjelaskan interaksi obat dan
tidak secara detail atau lengkap memberi monografi obat.
3.5. Kelengkapan Sumber Informasi
Berdasarkan informasi dari literatur tersier yang digunakan sebagai
sumber informasi telah mencukupi untuk menjawab kasus yang diberikan.
Pada literatur tersier tersebut, telah terdapat secara lengkap monografi obat,
berupa pemerian, dosis terapetik, interaksi obat, farmakokinetika obat, efek
samping serta kontra Indikasi yang diperlukan dalam menjawab kasus.
Sehingga tidak diperlukan mencari sumber literatur baik literatur sekunder
maupun primer lainnya.
3.6. Jawaban Kasus
Berdasarkan penelusuran literatur tersier untuk memperoleh informasi
obat, pada Martindle dan Handbook of Clinical Drug diperoleh data yang
mendukung kasus tersebut, yaitu:
1. Parasetamol
Turunan para-aminofenol, sebagai analgesik dan antipiretik serta bersifat
antiinflamasi lemah. Efek samping parasetamol jarang terjadi dan biasanya
ringan,

meskipun

reaksi

hematologis

termasuk

trombositopenia,

leukopenia, pansitopenia, neutropenia, dan agranulositosis telah dilaporkan


(Sweetman, 2009).
2. Pseudoefedrin HCl
Memiliki indikasi sebagai dekongestan hidung, namun memiliki efek
samping berupa insomnia (Sweetman, 2009).
3. Klorfeniramin maleat
Memiliki indikasi sebagai antihistamin, namun memiliki efek samping
sedasi sehingga lebih baik dikonsums pada malam hari (Sweetman, 2009).
4. Dextromethorpan HBr
Memiliki indikasi sebagai penekan batuk, bekerja pada medula dan
menimbulkan efek sedatif (kecil) (Sweetman, 2009).
5. Guaifenesin
Berfungsi sebagai agen ekspektoran (pengencer dahak) (Sweetman, 2009).
Pada obat yang dikonsumsi oleh Ibu B terdapat kandungan antihistamin
yaitu CTM, dimana efek yang peling sering terjadi pada penggunaan
antihistamin adalah efek sedasi (Sweetman, 2009). Selain itu, terdapat
Dextromethorpan, dimana obat ini bekerja pada SSP (bagian medula) dan
menimbulkan sedikit efek sedatif. Adanya kandungan obat yang sama-sama
memiliki efek sedatif akan memperkuat efek samping mengantuk. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh obat terhadap rasa mengantuk
yang dirasakan pasien.

BAB IV
PEMBAHASAN
Ibu B datang ke apotek sambil membawa bungkus obat Decolsin dan
mengeluh bahwa setelah minum obat tersebut selama 2 hari seharian merasa
mengantuk dan susah konsentrasi saat bekerja. Decolsin merupakan obat yang
dapat meredakan batuk yang disertai dengan gejala-gejala flu seperti demam, sakit
kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin. Decolsin merupakan obat dagang

yang mengandung parasetamol, pseudoefedrin HCl, klorfeniramin maleat,


dextromethorpan dan guaifenesin.
Parasetamol adalah analgesik-antipiretik yang terdapat dalam komposisi
produk obat flu untuk mengatasi nyeri dan demam, dan umumnya dapat
ditoleransi dengan baik (MIMS, 2007). Kongesti parah pada saluran hidung
menyebabkan inflamasi dan nyeri yang dapat diringankan oleh analgesik,
meskipun analgesik (parasetamol) tidak terbukti bermanfaat untuk mengurangi
gejala flu lainnya (seperti sakit tenggorokan, malaise, bersin dan batuk). Sakit
kepala, nyeri otot dapat dikurangi oleh parasetamol (Lie et al., 2013).
Pseudoefedrin adalah dekongestan yang umum digunakan dalam preparat
obat flu. Dekongestan adalah stimulan reseptor alpha-1 adrenergik. Mekanisme
kerja dekongestan (nasal decongestant) melalui vasokonstriksi pembuluh darah
hidung sehingga mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa
saluran hidung. Mekanisme ini membantu membuka sumbatan hidung. Namun,
dekongestan juga dapat menyebabkan vasokonstriksi di tempat-tempat lainnya
pada tubuh, sehingga dikontraindikasikan bagi penderita hipertensi yang tidak
terkontrol, hipertiroid serta penderita penyakit jantung. Sebagai salah satu
komponen zat aktif dalam komposisi obat flu, dosis per tablet maksimum
pseudoefedrin adalah 60 mg. Golongan obat ini rawan untuk disalahgunakan,
karena itu tidak di pasarkan sebagai obat tunggal. Pseudoefedrin dapat
menyebabkan insomnia, ansietas dan kehilangan nafsu makan (Biaggioni and
Robertson, 2012).
Klorfeniramin maleat (CTM) merupakan salah satu satu komponen yang
umum terdapat dalam obat-obat flu, dimana obat ini berfungsi sebagai
antihistamin yang merupakan generasi pertama. Antihistamin digunakan karena
adanya efek antikolinergik, yang antara lain dapat mengurangi sekresi mukus.
Obat ini digunakan untuk mengatasi gejala bersin, rhinorrhoea, dan mata berair.
Hasil uji klinik acak terkontrol (RCT, ramdomized clinical trial) antihistamin
generasi pertama menunjukkan hasil yang positif untuk mengatasi gejala flu,
namun tidak terbukti mencegah, mengobati atau mempersingkat serangan flu (De
Sutter, 2009). Efek samping yang paling mengganggu dari antihistamin generasi

pertama ini adalah sedasi, yang dapat membahayakan jika mengemudikan


kendaraan atau mengoperasikan mesin. Efek samping sedasi ini semakin
diperparah jika pasien mengonsumsi alkohol. Efek samping antihistamin lainnya
adalah mata dan mulut kering, pusing dan penglihatan kabur (Sinclair and Jessen,
2002).
Dekstrometorfan, salah satu antitusif tersering sebagai komponen obat flu
yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Dekstrometorfan adalah D-isomer dari
kodein dan mekanisme farmakologik sebagai antitusif serupa kodein, yakni
bekerja menekan pusat batuk di medulla otak. Pada dosis tinggi dapat bersifat
adiktif seperti halnya narkotika, akan tetapi dekstrometorfan tidak memiliki efek
analgesik

dan

relatif

aman

jika

digunakan

pada

dosis

terapi

yang

direkomendasikan. Antitusif tidak boleh diberikan pada batuk yang produktif


(berdahak) karena supresi batuk akan menghambat pengeluaran dahak. Dosis
dekstrometorfan pada orang dewasa yang dianjurkan adalah maksimal <120
mg/hari, dan dalam preparat obat flu kombinasi umumnya berkisar antara 2,515
mg per dosis, 46 jam per hari (Bem and Peck, 1992).
Guaifenesin merupakan salah satu ekspektoran yang terdapat di dalam
sediaan obat flu. Ekspektoran umumnya diberikan untuk mempermudah
pengeluaran dahak pada batuk kering (nonproduktif) agar menjadi lebih produktif.
Ekspektoran bekerja dengan cara membasahi saluran napas sehingga mukus
(dahak) menjadi lebih cair dan mudah dikeluarkan (dibatukkan) (Gitawati, 2014).
Untuk menjawab pertanyaan dari kasus diatas digunakan beberapa beberapa
literatur tersier diantaranya Informasi Spesialite Obat (ISO), Martindale The
Complete Drug Reference, MIMS, Handbook of Clinical Drug Data, Stockleys
Drug Interaction, BNF, dan AHFS Drug Information Book 6. Pustaka tersier
biasanya dikaitkan dengan buku teks atau acuan umum. acuan pustaka yang
banyak dan dinyatakan dalam suatu cara yang praktis. Banyak ahli memberi
kontribusi pada sumber ini, penggunaan dan interpretasi informasi diperkaya
(Siregar dan Lia, 2003). Dari literatur tersier di atas, hanya digunakan Martindale
The Complete Drug Reference, Handbook of Clinical Drug Data, dan Stockleys

Drug Interaction karena ketiga literatur tersier ini mencantumkan daftar pustaka
yang termasuk syarat literatur tersier yang baik.
Dalam Martindale The Complete Drug Reference, informasi yang kami
dapatkan diantaranya mengenai struktur kimia, pemerian obat, stabilitas, efek
samping obat, treatment, peringatan, farmakokinetika, dan administrasi. Literatur
ini dipublikasikan tahun 2009 sehingga literatur ini sudah cukup lama tertinggal
tetapi masih dapat digunakan sebagai sumber informasi, dilihat dari daftar
pustakanya buku ini mengandung daftar acuan yang sesuai dengan judul bab buku
atau databased atau kajian artikel, pada buku ini terdapat daftar isi, monografi
obat dan substansi tambahan berdasarkan kelas terapi, indeks penggolongan obat
berdasarkan kelas terapi, indeks nama zat aktif yang disusun secara alfabetis serta
terdapat juga daftar singkatan yang dapat mempermudah penggunaannya.
Informasi yang kami peroleh dari Handbook of Clinical Drug Data yaitu
mengenai farmakologi, dosis, sediaan, peringatan, farmakokinetika, efek samping,
kontraindikasi, dan interaksi obat. Literatur ini dipublikasikan tahun 2002
sehingga literatur ini sudah cukup lama tertinggal tetapi masih dapat untuk
digunakan sebagai sumber informasi. Pada buku ini terdapat daftar isi,
penggolongan obat berdasarkan kelas terapi, indeks nama zat aktif yang disusun
secara alfabetis yang dapat mempermudah penggunaannya. Informasi yang kami
peroleh dari Stockley Drug Interaction yaitu mengenai interaksi obat, mekanisme
interaksi, bukti klinis, peringatan, dan manajemen. Literatur ini dipublikasikan
tahun 2008 sehingga literatur ini masih sudah cukup lama tertinggal tetapi masih
dapat digunakan sebagai sumber informasi, format pustakanya telah didesain
untuk mempermudah penggunaan.
Berdasarkan ketiga literatur tersier di atas, diketahui bahwa di dalam
sediaan obat flu, dalam hal ini pasien membeli Decolsin, terdapat kandungan
senyawa obat yang memiliki efek sedasi diantaranya Klorfeniramin malet (CTM)
dan Dextromethorpan HBr. Rasa mengantuk yang dirasakan oleh Ibu B
merupakan efek dari kedua jenis kandungan obat tersebut. Efek sedasi yang
ditimbulkan baik diharapkan dalam proses penyembuhan gejala flu, sehingga
untuk menghindari efek yang dirasakan pada saat bekerja, Ibu B dapat

mengonsumsi obat ini pada saat malam hari sebelum beristirahat sehingga tidak
mengganggu aktivitas di siang hari.
Literatur tersier yang digunakan diatas telah mencukupi untuk memperoleh
informasi yang diperlukan untuk disampaikan kepada pasien, sehingga tidak harus
mencari sumber informasi dari literature lainnya karena dalam literatur tersier
sudah memenuhi kebanyakan permintaan

informasi obat spesifik yang

dibutuhkan oleh pasien, selain itu parasetamol, dextromethorpan HBr, CTM,


guaifenesin dan pseudoeferdrin HCl merupakan obat umum sehingga informasi
yang dibutuhkan masih dapat ditemukan dalam literatur tersier.

BAB V
HASIL TANYA JAWAB
5.1.

Apa saja kajian yang anda lakukan pada literatur tersier?


Jawab: Kajian yang dilakukan pada literatur tersier meliputi mandat penulis/
editor, tanggal publikasi dan edisi, penerbit, daftar pustaka, format pustaka,
dan kritik tertulis.
5.2.

Literatur apa sajakah yang dapat digunakan untuk menjawab kasus ini?
Sebutkan alasannya!
Jawab: Berdasarkan hasil kajian, literature ISO, MIMS, Handbook of Clinical
Drug Data, Martindle, Stockley Drug Interaction, dan BNF dapat digunakan
sebagai sumber informasi obat. Tetapi ISO dan MIMS tidak dapat digunakan
sebagai acuan utama karena tidak memiliki daftar pustaka. Pustaka utama
yang digunakan adalah Martindale karena informasi yang diberikan cukup
lengkap dan spesifik mengenai obat yang bersangkutan, dimana pada teks
book ini pencarian informasi dilakukan berdasarkan klasifikasi per sub
babnya sehingga informasi yang diperoleh lebih detail.
Mengapa afiliasi penting digunakan sebagai pertimbangan penilaian

5.3.

literature tersier?
Jawab: Afiliasi penting untuk mengetahui kredibilitas instansi penulis
bernaung sehingga dapat diberi penilaian terhadap tingkat keterpercayaan dari
tulisan yang dibuat. Afiliasi juga penting untuk mengetahui latar belakang
pendidikan penulis dan keterkaitannya terhadap bidang ilmu yang dituangkan
dalam tulisannya.
5.4. Jika pada kasus hanya diberikan nama dagang, misalnya Decolsin,
bagaimana cara Anda untuk mencari informasinya?
Jawab: Untuk memperoleh informasi kandungan obat di dalam nama dagang
tersebut, terlebih dahulu dapat mencari informasi di MIMS, setelah itu
dilanjutkan ke pustaka lainnya, karena informasi yang diperoleh di MIMS
hanya berupa nama dagang obat.
6.
true

5.5.

Apakah MIMS dan ISO dapat digunakan sebagai acuan utama?

Jawab: Tidak, hal ini dikarenakan ISO dan MIMS tidak memiliki daftar
pustaka. Daftar pustaka penting untuk mengetahui sumber primer dalam
penulisan literature tersier sehingga dapat diketahui kebenaran dan keabsahan
informasi dari literature tersier tersebut.

BAB VI
KESIMPULAN
Sumber pustaka tersier adalah acuan pustaka yang paling umum digunakan,
mudah dimasuki, dan

biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan

informasi obat spesifik penderita, akan tetapi literatur tersier mengalami


ketinggalan waktu beberapa bulan bahkan sampai mungkin beberapa tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 1995. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Bem, J.L., and R. Peck. 1992. Dextromethorphan. An Overview of Safety Issues.
Drug Saf. Vol. 7(3): 190-99.
Berman, A., J. Shirlee, K. Barbara, et al. 2009. Pengkajian Kesehatan Pada
Orang Dewasa. Available From:
Biaggioni,

I.,

and

D.

Robertson.

2012.

Adrenoceptor

Agonists

&

Sympathomimetic Drugs (Chapter 9). In: Katzung B, Masters SB, Trevor AJ


(Editors). Basic and clinical pharmacology. 12e. McGraw-Hill (Access
Medicine).
Fahey, T., N. Stocks, and T. Thomas. 1998. Systematic Review of The Treatment
of Upper Respiratory Tract Infection. Arch Dis Child. Vol. 79: 225-30.
Gitawati, R. 2014. Active Ingredients in Common Cold Fixed-Dose Combination
Product and Analysis of its Rationale. Media Litbangkes. Vol. 24. No. 1: 1018.
Jackson, S. E. and Schuler, R. S. 1983. Preventing Employee Burnout. Jurnal
Amacom Periodicals Division. [Accessed : 12 November 2015]
Juliana, D. 2008. Uji Efek Antipiretik Infusa Daun Asam Jawa (Tamrindus indica)
pada Kelinci Putih Jantan Galur New Zealand. Surakarta : FF UMS
Li, S, J. Yue, B. R. Dong, M. Yang, X. Lin, and T. Wu. 2013. Acetaminophen
(Paracetamol) for The Common Cold in Adults. (Review). Cochrane
Database Syst Rev. Vol. (7): 1-25.
MIMS Indonesia. 2007. 108th Edition. pp. 105-128.
Sarah, A. K., K. N. Dwijayanti, D. P. Hamka, N. P. Sari, dan Yulita. 2010.
Makalah Farmakoterapi Terapan I Pilek. Jakarta: Departemen Farmasi
Universitas Indonesia.
Simasek, M., and D. A. Blandino. 2007. Treatment of The Common Cold. Am
Fam Physician. Vol. 75(4): 515-20.

Sinclair, A., and L.M. Jessen. 2002. Sedation and Impairment: Antihistamines.
U.S. Pharmacist. pp. 93-102.
Siregar, Charles J. P. dan Lia Amalia. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan
Penerapan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Sutter, D.A.I.M., M. Lemiengre, and H. Campbell. 2009. Antihistamines for The
Common-Cold. Cochrane Database Syst Rev. Vol. (4): 1-116
Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference, 37 Edition.
London: Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai