Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

Literature Review Management of Cough

Arief Bakhtiar, Putri Mega Juwita

   Pembimbing:

dr. Wara Pertiwi, Sp.P

Oleh:

Faiza Shema Salsabila 200702110006

  DM UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

DEPARTEMEN PULMONOLOGI

PERIODE 3 JANUARI 2022 – 30 JANUARI 2022

2022

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................................iii
ABSTRAK......................................................................................................................................iv
BAB I...............................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
2.1 Definisi Batuk...................................................................................................................6
2.2 Patofisiologi Batuk............................................................................................................7
2.3 Klasifikasi Batuk.............................................................................................................11
2.4 Terapi Batuk....................................................................................................................17
BAB III..........................................................................................................................................21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.............................................................................................................................7

Gambar 2.............................................................................................................................10

Gambar 3.............................................................................................................................11

Gambar 4.............................................................................................................................13

Gambar 5.............................................................................................................................16

iii
ABSTRAK

Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien yang berkonsultasi dengan
penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia. Gejala ini dapat terjadi tidak hanya pada individu
yang sakit tetapi juga pada individu yang sehat. Pada tahap tertentu, hal itu dapat menghambat
aktivitas sosial yang normal dan mengurangi kualitas hidup. Selain efek merugikan tersebut,
batuk merupakan mekanisme pertahanan yang paling efektif untuk menghilangkan bahan asing,
termasuk berbagai patogen, dari saluran pernapasan. Dimulai dengan serangkaian manuver
pernapasan yang memicu pengeluaran udara secara tiba-tiba yang dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase inspirasi, kompresi, dan ekspirasi. Batuk terjadi karena aktivasi reseptor sensorik mekanik
atau kimiawi di laring dan saluran pernapasan bawah yang merangsang refleks yang kompleks.
Rangsangan ini kemudian diteruskan ke jalur aferen ke pusat batuk di medula melalui nervus
vagus untuk memicu otot-otot ekspirasi untuk menghasilkan batuk. Penting untuk mengetahui
penyebab batuk karena batuk merupakan indikator bagi pasien dan dokter untuk mendiagnosis
dini dan memberikan terapi. Oleh karena itu, batuk diklasifikasikan menjadi akut, subakut, dan
kronis menurut durasinya. Obat-obatan yang tersedia untuk manajemen gejala batuk tidak
memadai karena kurangnya kemanjuran yang terbukti dan/atau efek sampingnya yang tidak
diinginkan atau tidak dapat ditoleransi. Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi
tentang manajemen batuk untuk meningkatkan efektivitas terapi dan kualitas hidup pasien.

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Batuk merupakan mekanisme pertahanan yang paling efektif untuk mengeliminasi benda
asing, termasuk berbagai patogen dari saluran pernapasan. Gejala ini tidak hanya menyerang
individu yang sakit tetapi juga individu yang sehat. Batuk yang berlebihan dan terus-menerus
dapat dikaitkan dengan penyakit kronis non-ganas, dengan atau tanpa produksi lendir yang
berlebihan. Batuk terus-menerus berbahaya bagi pasien karena efeknya pada pernapasan,
aktivitas sosial, dan tidur. Selain itu, dapat menurunkan kualitas hidup dan menyebabkan rasa
malu saat bersosialisasi, serta menyebabkan sinkop, inkontinensia urin, nyeri otot, insomnia, dan
kelelahan.

Sebuah studi populasi menunjukkan bahwa prevalensi batuk bervariasi antara 3% hingga
40%. Sebuah survei epidemiologi mengungkapkan bahwa 11-18% dari populasi umum
melaporkan batuk yang terus-menerus. Meski belum diketahui apakah batuk itu normal atau
berhubungan dengan suatu penyakit. Laporan ini dapat disebabkan oleh merokok, paparan
penduduk perkotaan atau iritasi di lingkungan tertutup atau terbuka, polusi udara, atau penyakit
terkait batuk yang tidak terdiagnosis. Sekitar 10-38% pasien dengan batuk persisten merupakan
pasien rawat jalan di praktik spesialis di Amerika Serikat.

Terdapat banyak obat bebas yang ada dipasaran. Namun, penggunaan dianjurkan
berdasarkan kebiasaan dan praktik tradisional. Penggunaan obat tersebut tidak didukung oleh
studi klinis mengenai kualitas obat yang memenuhi standar kedokteran modern berbasis bukti.
Survei internet terhadap 1.120 partisipan dari 29 negara di Eropa mengemukakan bahwa
efektivitas obat batuk terbatas, sehingga terapi batuk dianggap tidak memuaskan. Oleh karena
itu, diperlukan pemahaman tentang patofisiologi batuk yang berhubungan dengan penyakit yang
mendasarinya untuk mendapatkan penatalaksanaan batuk yang tepat dan terarah. Artikel ini
membahas (i) definisi, (ii) patofisiologi, (iii) klasifikasi, dan (iv) pengobatan batuk.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Batuk


Batuk tidak selalu merupakan gejala klinis yang abnormal. Batuk merupakan ekspirasi
eksplosif untuk mempertahankan paru-paru dengan meningkatkan sekresi dan pembersihan
partikel dari saluran pernapasan. Batuk diperlukan untuk membersihkan saluran pernapasan dari
lendir dan sekret (sekitar 20-30 ml per hari) dan jumlah sekret pernapasan tergantung pada
paparan harian terhadap iritan. Juga melindungi saluran pernafasan dari aspirasi benda asing
yang terjadi karena aspirasi atau inhalasi partikel tertentu, patogen, akumulasi cairan, postnasal
drip, inflamasi, dan mediator yang berhubungan dengan inflamasi.
Batuk dimulai dengan serangkaian manuver pernapasan yang memicu ekspulsi tiba-tiba
dari udara dan menciptakan suara batuk yang khas. Proses mekanis batuk dibagi menjadi tiga
fase:
1. Fase inspirasi : inhalasi gas dapat setidaknya 50% dari volume tidal atau sebanyak 50%
dari kapasitas vital yang dibutuhkan untuk batuk yang efektif.
2. Fase kompresi : penutupan glotis mempertahankan tekanan intratoraks yang
dikombinasikan dengan kontraksi otot dinding dada, diafragma, dan dinding perut.
3. Fase ekspirasi : glotis terbuka, menghasilkan aliran udara ekspirasi dan suara batuk yang
tinggi serta kompresi pada saluran pernapasan besar. Aliran udara yang tinggi
mengeluarkan lendir dan membersihkan saluran pernapasan.
Suara batuk yang dihasilkan selama tiga fase pertama disebabkan oleh ledakan yang
terdengar selama fase ekspulsi. Suara ini terdiri dari gelombang suara. Fase ini disertai dengan
fase perantara yang terjadi ketika aliran udara berkurang karena amplitudo suara. Akhirnya,
terjadi fase ketiga, yang dikenal sebagai fase suara atau glotis. Fase ini dihasilkan oleh getaran
dari glotis yang setengah tertutup, yang menghasilkan kebisingan berkala dan teratur.

6
Gambar 1. Representasi diagram dari perubahan variabel selama representasi batuk: suara, laju aliran udara,
tekanan subglotis. Laju aliran negatif selama fase inspirasi, ketika glotis tertutup, laju aliran nol dan selama fase
ekspirasi, laju aliran positif. Fase ekspirasi dibagi menjadi 3 bagian: (1) fase ekspulsi dengan suara batuk pertama
yang eksplosif; (2) fase kedua, seiring dengan hilangnya aliran ekspulsif, amplitudo suara juga menghilang; dan (3)
fase ketiga, glotis yang tertutup sebagian menghasilkan getaran suara teratur yang disebut suara kedua

2.2 Patofisiologi Batuk


Stimulasi refleks yang kompleks mengakibatkan batuk yang diawali dengan iritasi pada
reseptor batuk di trakea, carina, cabang saluran pernapasan besar, saluran pernapasan kecil, dan
faring. Rangsangan mekanis dan kimiawi direspon oleh reseptor batuk di laring dan
trakeobronkial. Reseptor kimia sensitif terhadap asam, panas, dan senyawa mirip capsaicin, yang
memicu refleks batuk melalui aktivasi vanilloid tipe 1 (reseptor capsaicin). Reseptor ini juga
dapat ditemukan di saluran pendengaran eksternal, gendang telinga, sinus paranasal, faring,
diafragma, pleura, perikardium, dan perut. Reseptor ini hanya merespon rangsangan mekanis,
yaitu sentuhan atau gerakan.
Refleks batuk yang kompleks terdiri dari :
1. Jalur aferen : serabut saraf sensorik (cabang saraf vagus) yang terletak di epitel silia dari
saluran pernapasan bagian atas (pulmonal, auricular, faring, laring superior, dan
lambung) dan cabang jantung dan kerongkongan dari diafragma. Impuls aferen ini
diarahkan secara difus ke medula.
2. Central pathway (pusat batuk) : pusat koordinasi daerah yang terletak di bagian atas
batang otak dan pons.

7
3. Jalur eferen : impuls dari pusat batuk diarahkan melalui saraf vagus, frenikus, dan
motorik tulang belakang ke diafragma dan dinding perut serta otot. Nukleus
retroambiguus, yang berasal dari nervus frenikus dan nervus motorik spinalis lainnya,
mengirimkan impuls ke otot inspirasi dan ekspirasi, dan nukleus ambigus, melalui cabang
laring nervus vagus ke laring. Mukosa dan dinding pernapasan bagian atas (dari saluran
pernapasan bagian atas ke bronkiolus terminal dan parenkim paru) adalah jalur terakhir
dari saraf vagus.
Refleks batuk dimulai dengan adanya rangsangan pada reseptor batuk. Stimulus dari jalur
aferen serabut saraf sensorik dibagi menjadi tiga kelompok utama: Ad-fibers atau reseptor yang
beradaptasi dengan cepat (RAR), serat C, dan reseptor regangan yang beradaptasi secara
perlahan (SAR). Serabut saraf ini dibedakan berdasarkan sifat neurokimiawi, lokasi anatomis,
kecepatan konduksi, sensitivitas fisikokimia, dan adaptasi terhadap inflasi paru. Stimulus ini
kemudian ditransmisikan ke jalur aferen melalui saraf vagus ke pusat batuk di medula, di bawah
kendali pusat korteks yang lebih tinggi. Pusat batuk menghasilkan sinyal eferen yang
ditransmisikan ke saraf vagus, saraf frenikus, dan saraf motorik tulang belakang untuk memicu
otot-otot ekspirasi untuk menghasilkan batuk. Serabut saraf sensorik yang bertindak dalam
refleks batuk dijelaskan lebih lanjut di bawah ini :
1. Ad-fibers atau rapidly adapting receptors (RARs)
RARs adalah serabut saraf bermielin dengan ujung kira-kira di dalam atau sedikit di
bawah epitel saluran pernapasan intrapulmoner dan merespons perubahan mekanis pada saluran
pernapasan selama kondisi pernapasan normal. Serabut ini paling banyak merespon stimulus
batuk dan memegang peranan penting dalam refleks batuk. RARs dibedakan dari serabut saraf
aferen saluran pernapasan lainnya karena kecepatan adaptasinya (1-2 detik) dalam inflasi paru
lanjut. Sifat pembeda lainnya termasuk sensitivitas RARs terhadap kolaps atau deflasi paru,
responsivitas RARs terhadap perubahan dinamis dari komplians paru, dan kecepatan konduksi
(4-18 meter/detik) untuk mempertahankan inflasi paru yang berkelanjutan. Rangsangan mekanis
seperti sekresi mukus atau edema meningkatkan aktivitas RARs lebih dari rangsangan kimia
seperti bradikinin dan capsaicin.
2. C-fibers
Serat C non-mielin adalah serat saraf aferen utama yang mempersarafi saluran
pernapasan dan paru-paru. Kecepatan konduksi serat-C adalah <2 meter/detik. Serabut saraf ini

8
berbeda dari RARs dan SARs karena ketidakpekaan terhadap stimulus mekanis dan inflasi paru-
paru. Asam sitrat, bradikinin, dan capsaicin adalah stimulan serat C yang menyebabkan batuk.
Stimulan ini bekerja langsung ke serat C, bukan melalui efek pada otot polos saluran pernapasan.
Prostaglandin E2, adrenalin, dan adenosin mensensitisasi serat C melalui efek langsung
bradikinin dan kapsaisin ke ujung saraf perifer.
3. Slowly adapting stretch receptors (SARs)
SARs merupakan serat aferen yang diduga terlibat dalam refleks Hering-Breuer, yang
mengakhiri inspirasi dan memulai ekspirasi saat paru cukup mengembang. Aktivitas SARs tidak
berubah pada stimulus penyebab batuk dan SARs secara tidak langsung terlibat dengan refleks
batuk. SARs sangat sensitif terhadap rangsangan mekanis yang terjadi di paru-paru selama
bernapas. Aktivitas SARs meningkat selama inspirasi dan mencapai puncaknya pada awal
ekspirasi. SARs dapat dibedakan dari RARs berdasarkan kecepatan aktivitas potensial konduksi
dan kurangnya adaptasi terhadap inflasi paru. SARs juga terdistribusi secara berbeda di saluran
pernapasan dan sebagian besar ditemukan di ujung saluran pernapasan intrapulmoner. Aktivitas
SARs menyebabkan penghambatan sentral dari pernapasan dan penghambatan kolinergik pada
saluran pernapasan menurunkan aktivitas saraf frenikus dan tonus otot polos saluran pernapasan.

9
Gambar 2. Patofisiologi refleks batuk dan target agen antitusif. Rangsangan protussive mengaktifkan serabut saraf
sensorik di jalan napas dan berjalan melalui saraf vagus ke medula yang kemudian berakhir di nukleus traktus
solitarius (NTS). Generator pola pernapasan menerima pesan dari neuron second-order, yang memodifikasi aktivitas
motoneuron inspirasi dan ekspirasi yang mengarah ke batuk. Antitusif bekerja secara perifer atau sentral pada pra
dan pasca sinapsis

10
2.3 Klasifikasi Batuk
Batuk merupakan salah satu gejala penyakit pernapasan dan paru-paru. Batuk dapat
menjadi indikator penting bagi pasien dan dokter untuk mendiagnosis dini dan memberikan
terapi. American College of Chest Physicians (CHEST) pada tahun 2006 menerbitkan pedoman
tentang batuk. Pedoman tersebut mengklasifikasikan batuk menjadi tiga kelompok, yaitu akut,
subakut, dan kronis. Klasifikasi ini dianggap berguna untuk diagnosis dan terapi batuk.
Klasifikasi ini banyak digunakan di seluruh dunia. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai
batuk menurut klasifikasi CHEST yang direvisi tahun 2017.
1. Batuk Akut
Batuk akut mengacu pada batuk yang terjadi selama maksimal 3 minggu. Biasanya
disebabkan oleh infeksi pada saluran pernapasan bagian atas, bronkitis akut, atau trakeobronkitis
yang disebabkan bakteri atau virus. Pasien dengan infeksi saluran pernapasan atas jarang
mencari pengobatan medis. Batuk akut yang disebabkan oleh infeksi biasanya sembuh sendiri
dan pasien biasanya sembuh dalam satu atau dua minggu bersamaan dengan pembersihan
infeksi.

Gambar 3. Algoritma batuk akut untuk pengelolaan pasien dewasa dengan batuk yang berlangsung <3 minggu.
Jangan lupa untuk meskrining red flags sebagai kondisi yang berpotensi mengancam jiwa. Di daerah endemik atau
populasi berisiko tinggi, pertimbangkan adanya TB. Kaji secara rutin keparahan batuk atau kualitas hidup pasien
sebelum dan sesudah pengobatan. Ikuti pasien 4-6 minggu setelah kunjungan awal.

11
2. Batuk Subakut
Batuk subakut didefinisikan sebagai batuk yang terjadi dalam waktu 3-8 minggu.
Peningkatan hiperresponsivitas bronkus dapat menjadi permanen karena infeksi spesifik
(misalnya M. pneumoniae) yang menyebabkan batuk subakut yang tidak nyaman selama
beberapa minggu meskipun infeksi yang mendasarinya telah mereda. Hipersensitivitas saluran
pernapasan setelah infeksi yang menyebabkan batuk subakut jarang untuk diteliti.
Batuk terus menerus meskipun infeksi teratasi juga dapat disebabkan oleh B. pertussis.
Terlepas dari riwayat vaksinasi anak-anak dan orang dewasa sebelumnya, kita perlu
menghilangkan infeksi pertusis. Batuk yang disebabkan oleh B. pertussis umumnya dicetuskan
oleh episode batuk paroksismal dengan karakteristik inspirasi rejan, terutama pada anak-anak.
Gejala ini tidak ditemukan pada orang dewasa.
Etiologi batuk subakut noninfeksius antara lain refluks gastroesofageal, aspirasi, dan
asma bronkial (dapat didiagnosis jika disertai sensitisasi kulit oleh alergen musiman atau gejala
mulai muncul setelah terpapar alergen dari lingkungan atau polutan). Refluks gastroesofageal
dapat disebabkan oleh mekanisme batuk akibat rangsangan esofagus-vagal, refleks esofagus-
bronkial atau regurgitasi, dengan atau tanpa aspirasi. Selama periode cairan berlebihan seperti
edema paru, gagal jantung kongestif subklinis dapat menjadi penyebab batuk akut dan subakut.
Kasus batuk subakut yang jarang terjadi adalah sekuestrasi paru pada sindrom Tourette yang
bermanifestasi sebagai batuk dengan episode paroksismal.

12
Gambar 4. Algoritma batuk subakut untuk pengelolaan pasien dewasa dengan batuk yang berlangsung 3 sampai 8
minggu. Jangan lupa untuk melakukan skrining red flags sebagai kondisi yang berpotensi mengancam jiwa. Di
daerah endemik atau populasi berisiko tinggi, pertimbangkan adanya TB. Kaji secara rutin keparahan batuk atau
kualitas hidup pasien sebelum dan sesudah pengobatan. Ikuti pasien 4-6 minggu setelah kunjungan awal.

13
3. Batuk Kronis dan Persisten
Batuk terus-menerus selama lebih dari 8 minggu didefinisikan sebagai batuk kronis.
Penyebab batuk akut dan kronis menjadi penting karena epidemiologi dan etiologinya berbeda.
Batuk kronis merupakan keluhan umum yang sering dijumpai di pelayanan kesehatan primer dan
sekunder. Batuk kronis menyebabkan beban epidemiologi yang cukup besar dan mempengaruhi
hampir 10% dari semua populasi orang dewasa. Batuk kronis juga merupakan masalah klinis
yang signifikan, menyebabkan penurunan kualitas hidup yang merupakan tantangan bagi dokter.
R. S. Irwin pada tahun 1977 menganalisis dan menyatakan bahwa sejumlah penyakit atau
kondisi yang menyebabkan batuk kronis atau persisten disebabkan oleh lokasi anatomi kecil
reseptor aferen batuk. Merokok dan penggunaan ACE-inhibitor hanyalah sebagian kecil dari
penyebab batuk kronis. Ada tiga etiologi dominan pada kebanyakan pasien yang dapat
menjelaskan batuk kronis: sindrom batuk saluran pernapasan atas yang dikaitkan dengan
berbagai kondisi hidung dan sinus, yang sebelumnya dikenal sebagai sindrom postnasal drip
(PND), asma, dan penyakit refluks gastroesofageal (GERD). Ketiga diagnosis ini ditemukan
pada 92-100% pasien tidak merokok, tidak menggunakan ACE-inhibitor, dan memiliki
radiografi thorax normal. Sindrom batuk saluran pernapasan atas, asma, bronkitis eosinofilik
non-asma, dan GERD masih menjadi penyebab paling sering di daerah berkembang di dunia (di
mana TB dianggap sebagai penyebab batuk kronis di daerah endemik).
Boulet, dkk. pada tahun 1994 membandingkan derajat inflamasi saluran pernapasan pada
jaringan biopsi bronkus dan cairan lavage bronchoalveolar (BALF/ bronchoalveolar lavage
fluid) antara batuk kronis non-asma dan kontrol untuk menyelidiki patologi saluran pernapasan
kronis. Sampel dari pasien batuk memiliki sel inflamasi yang relatif lebih tinggi daripada kontrol
(terutama sel mononuklear) dan menunjukkan deskuamasi epitel, fibrosis submukosa, inflamasi
mitokondria, dilatasi retikulum endoplasma halus, dan peningkatan aktivitas metabolisme
nukleus. Tidak ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan etiologi batuk kronis (PND
dan GERD). Sel mast ditemukan pada BALF pasien batuk non asma dibandingkan dengan
kontrol. Sebuah studi baru-baru ini oleh Niimi, et al. juga menemukan bahwa hiperplasia sel
mast merupakan karakteristik pada pasien batuk kronis non asma.
Chung dan Pavord mengklasifikasikan batuk kronis menjadi penyakit saluran pernapasan
eosinofilik yang responsif terhadap kortikosteroid, seperti asma bronkial, asma varian batuk
(CVA/ cough variant asthma), bronkitis eosinofilik, dan gangguan yang resisten terhadap steroid

14
seperti GERD dan postnasal drip (PND) atau rinosinusitis. Batuk berkurang sebagian atau
seluruhnya pada 59% pasien dengan inhalasi agonis diikuti dengan inhalasi kortikosteroid (ICS).
CVA adalah penyebab batuk kronis yang paling sering, yang dapat dikurangi dengan pemberian
bronkodilator. Pasien batuk karena GERD mengalami suara batuk yang memburuk, batuk
meningkat (90%), nafsu makan meningkat (87%), dan pembersihan tenggorokan (74%).
Remodeling saluran pernapasan yang berlebihan pada asma bronkial dan CVA menyebabkan
deformasi saluran pernapasan selama bronkokonstriksi, menyebabkan batuk kronis.
Studi lebih lanjut pada fase I-II dari European Community Respiratory Health Survey
(ECHRS) mengungkapkan bahwa batuk/dahak kronis merupakan penanda kuat bagi individu
dengan asma sedang/berat. Hampir 30% CVA dilaporkan berkembang menjadi asma bronkial
dan menunjukkan bahwa beberapa jenis CVA dapat menjadi pendahulu asma bronkial. Beberapa
jenis sindrom PND, seperti rinitis alergi dan batuk atopik juga berespons terhadap kortikosteroid.
Namun, prognosis dan dampaknya terhadap kualitas hidup berbeda dengan asma bronkial dan
sulit untuk menentukan durasi terapi kortikosteroid. Oleh karena itu, penting untuk membedakan
batuk yang responsif terhadap kortikosteroid dari jenis batuk lainnya.
Selain berbagai manifestasi batuk kronis yang dijelaskan di atas, terdapat konsep klinis
baru batuk kronis terkait jamur (FACC/ clinical concept of fungus-associated chronic cough)
yang didefinisikan sebagai batuk kronis yang berhubungan dengan basidiomycetes dalam sputum
yang diinduksi. FACC bermanifestasi dalam: (i) batuk kronis, (ii) jamur yang ditemukan dalam
dahak, terutama basidiomycetes, dan (iii) respons klinis yang baik terhadap pengobatan
antijamur. Penelitian sebelumnya mendeteksi basidiomycetes pada 39 sampel dahak (22,8%) dari
171 pasien batuk kronis. Ada tiga jenis FACC: (i) kolonisasi tunggal basidiomycetes (FACC
murni), (ii) sensitisasi basidiomycetes (allergic fungal cough, AFC), dan (iii) kolonisasi dan/atau
sensitisasi basidiomycetes selain batuk kronis, seperti CVA, batuk atopik, sindrom batuk
pernapasan atas, dan sindrom batuk hipersensitif.
Penyebab batuk kronis lainnya yang sering ditemukan pada anak-anak dan terjadi tanpa
penyakit medis yang mendasari atau respon terhadap terapi medis adalah batuk psikogenik,
batuk kebiasaan, atau batuk tic. Namun demikian, gangguan ini harus dibedakan dari batuk
kronis lainnya seperti batuk kronis refrakter, sindrom batuk saluran pernapasan atas, sindrom
disfungsi pita suara, dan sindrom batuk hipersensitif. Sampai saat ini, tidak ada pedoman dalam
membedakan jenis batuk ini.

15
Gambar 5. Algoritma batuk kronis untuk pengelolaan pasien dewasa dengan batuk yang berlangsung > 8 minggu.

16
2.4 Terapi Batuk
1. Farmakologi
Terapi kausal jika memungkinkan harus lebih disukai. Namun, jika tidak, dalam kasus
seperti infeksi saluran pernapasan akut karena virus atau hanya efektif jika ditunda (seperti TB),
terapi simtomatik dapat dipertimbangkan bersama dengan terapi penyebab yang mendasari
batuk.
Central antitussive
a. Opioid
Opioid seperti morfin dan kodein, bekerja terpusat pada pusat batuk. Antitusif jenis
opioid memiliki efek samping dan risiko kecanduan yang lebih tinggi. Opioid direkomendasikan
sebagai terapi simtomatik yang efektif dalam mengganggu batuk kering. Kurang efektif untuk
batuk yang disebabkan oleh flu biasa.
 Kodein banyak digunakan dan sering dianggap sebagai antitusif dasar. Ini diaktifkan oleh
CYP2D6 menjadi morfin, yang kemudian mengalami glukuronidasi. Tingkat metabolisme
dapat bervariasi secara dramatis karena perbedaan genetik yang signifikan dalam sitokrom
P450 yang tergantung pada aktivitas monooksigenase. Seorang pasien dengan metabolisme
cepat mengubah sebagian besar kodein menjadi morfin melalui hati, menyebabkan potensi
toksisitas. Sementara itu, pada metabolisme lambat, hanya sedikit obat yang diubah, sehingga
mengurangi efektivitas obat.
b. Non opioid antitusif
Non Opioid antitusif lebih disukai untuk batuk akut karena potensi penyalahgunaan dan
kecanduan yang lebih rendah daripada rekan opioidnya.
 Dekstrometorfan secara signifikan menekan batuk akut. Efeknya ditunjukkan dalam
pemberian dosis tunggal 30 mg dibandingkan dengan plasebo dalam enam penelitian.
Dekstrometorfan memiliki onset yang relatif lambat dan mencapai puncaknya setelah dua jam
pemberian. Penetrasi yang lambat melalui sawar darah otak dan retensi pada sistem saraf
menyebabkan durasi kerja antitusif ini lebih lama.
 GABA (γ-aminobutyric acid) merupakan neurotransmitter penghambat di sistem saraf pusat
juga ditemukan di paru-paru. Menurut Ryan, dkk., Gabapentin menghasilkan efek supresif
pada refleks batuk di bagian tengah.

17
 Anestesi lokal seperti lidokain, benzonatat, bupivakain, dan mexiletine telah diteliti untuk
menekan batuk. Ini adalah antitusif yang paling efektif, tetapi penggunaannya masih
kontroversial dan menjadi pilihan terakhir pada pasien dengan batuk iritatif. Anestesi lokal
mengganggu aktivitas elektrofisiologis pada reseptor batuk dan reseptor aferen (misalnya
selama bronkoskopi). Pemberian lokal secara reversibel menghambat potensial aksi saraf
aferen paru vagus. Aktivitas ini diduga disebabkan oleh penghambatan pada saluran natrium
yang bertegangan.
 Diphenhydramine, antihistamin generasi pertama H1, disetujui di beberapa negara (termasuk
Inggris dan Amerika Serikat) sebagai antitusif over-the-counter (OTC). Dilaporkan dapat
mengurangi sensitivitas refleks batuk pada pasien batuk karena ISPA.
 Butamirate banyak digunakan di Eropa sebagai antitusif OTC. Sebuah studi terkontrol
plasebo silang mengungkapkan bahwa tidak satu pun dari 34 subjek yang menyelesaikan studi
mengalami peningkatan yang signifikan setelah pemberian butamirate.
Peripheral Antitussive
 Levodropropizine adalah agen non-opioid yang bekerja di sistem saraf perifer. Obat ini
memodulasi neuropeptida sensorik di saluran pernapasan dan diberikan secara oral. Sebuah
uji klinis pada orang dewasa di Indonesia menunjukkan bahwa levodropropizine memiliki
efek antitusif yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo dan morclofone dan setara dengan
cloperastine.
 Menthol diproduksi oleh Mentha arvensis. Inhalasi mentol menekan refleks batuk dan dapat
diresepkan sebagai kristal BPC atau dalam kapsul khusus, meskipun sifat penekannya singkat.
 Obat pelega tenggorokan juga dapat mengurangi gejala batuk dan flu dengan mengurangi
aktivitas pada membran mukosa. Efek pelega tenggorokan dibahas secara luas dalam
Konferensi Batuk Amerika kelima pada tahun 2015. Sebagian besar delegasi sepakat tentang
efektivitas pelega tenggorokan, tetapi tidak ada penelitian yang mengungkapkan efeknya.
Ekspektoran
Ekspektoran mengurangi iritasi pada reseptor batuk dengan meningkatkan akumulasi
lendir melalui "batuk". Ini adalah obat yang paling sering digunakan untuk penyakit pernapasan
di Jerman (misalnya ambroxol dan N-asetil sistein). Pada kasus penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dan bronkiektasis, ekspektoran direkomendasikan untuk meredakan batuk karena

18
produksi sekret yang kental. Banyak pasien melaporkan efektivitas ekspektoran pada kasus
bronkitis akut. Berikut ini menjelaskan beberapa contoh ekspektoran:
 Ambroxol, metabolit aktif bromhexine, adalah obat paling populer di Jerman. Ini juga
menunjukkan efek antitusif lain selain ekspektoran.
 Pholcodine dan guaifenesin juga digunakan sebagai ekspektoran.
 Amonium klorida adalah garam penghasil asam yang dianggap memberikan efek ekspektoran
dalam melonggarkan dahak.
Mukolitik
Obat mukolitik secara nonselektif menurunkan viskositas dan elastisitas sekresi saluran
pernafasan dengan cara mereduksi jaringan polimer yang bertanggung jawab atas struktur lendir
atau sputum seperti gel. Mukolitik klasik mengganggu polimer musin dengan memutus ikatan
disulfida yang menghubungkan monomer musin secara kovalen menjadi oligomer yang panjang
dan kaku atau dengan mendispersikan musin yang kusut melalui pemutusan ikatan ion hidrogen
atau van der Waals.
Satu-satunya mukolitik yang disetujui di Amerika Serikat dan Kanada adalah dornase
alfa. Obat ini diberikan melalui inhalasi dengan dosis 2,5 mg/hari. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa dornase alfa mengurangi viskositas dan adhesi sekresi saluran pernapasan
dan penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi kerusakan
fungsi paru-paru, dan mengurangi kebutuhan rawat inap dan terapi antibiotik.
Antibiotik
Antibiotik hanya efektif untuk batuk yang disebabkan oleh infeksi bakteri, ditandai
dengan sputum purulen (misalnya pada bronkitis supuratif, bronkiektasis, PPOK eksaserbasi,
rinitis purulen, dan sinusitis). Ini tidak diindikasikan untuk bronkitis akut.
2. Non-Farmakologi
Pembersihan saluran pernapasan dapat terganggu pada pasien dengan kelainan
mekanisme batuk (misalnya kelemahan otot), perubahan reologi lendir (misalnya cystic fibrosis),
dan perubahan pembersihan mukosiliar (misalnya bronkiektasis). Berbagai upaya untuk
meningkatkan bersihan pernapasan dilakukan untuk meningkatkan mekanisme paru dan
pertukaran gas serta untuk mencegah atelektasis dan infeksi, meskipun belum ada bukti
manfaatnya. Batuk dan terengah-engah adalah manuver ekspirasi paksa dan contoh cara untuk
membersihkan sekresi saluran pernapasan.

19
Fisioterapi batuk adalah teknik untuk :
1) Tingkatkan efektivitas batuk dengan teknik batuk efektif
2) Menekan batuk produktif tanpa sadar
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan penggunaan alat fisioterapi seperti acapella.
Beberapa intervensi lain seperti huffing juga dapat dilakukan dengan bantuan tenaga
kesehatan (directed manuever), meskipun intervensi lain dapat dilakukan tanpa bantuan. Huffing
adalah teknik ekspirasi melalui mulut dengan kerongkongan terbuka, tidak seperti batuk. Ini
membantu membersihkan dahak dari saluran pernapasan untuk bantuan. Huffing dilakukan
dengan memeras udara di paru-paru dengan cepat dan mengeluarkannya melalui mulut dan
kerongkongan yang terbuka seperti ketika mencoba meniup kaca. Kami menggunakan otot perut
untuk membantu mengeluarkan udara keluar tanpa kekuatan untuk menghindari mengi dan sesak
napas. Huffing selalu diikuti dengan kontrol pernapasan. Ada dua teknik huffing yang tersedia
untuk membantu menghilangkan dahak dari paru-paru :
1. Small-long huff or medium-volume huff
Teknik ini membantu mengeluarkan dahak dari dada bagian bawah. Ambil napas pendek
sampai sedang, lalu keluarkan udara dengan cepat sampai paru-paru terasa kosong.
2. Big-short huff or high-volume huff
Teknik ini membantu mengeluarkan dahak dari dada bagian atas. Huff saat dahak sudah dekat
akan keluar. Ambil napas dalam-dalam dan hembuskan dengan cepat. Ini akan membantu
membersihkan dahak tanpa batuk.
Lakukan huffing hanya 1-2 kali karena huffing yang berulang dapat menyebabkan sesak
napas. Dengarkan bunyi kresek saat terengah-engah, yang menunjukkan bahwa batuk diperlukan
untuk membersihkan sekret. Hindari batuk yang berlebihan karena mengurangi efektivitas
huffing dan melelahkan. Ulangi siklus tersebut selama 10-15 menit hingga dada terasa lega.

20
BAB III

KESIMPULAN

Batuk merupakan mekanisme pertahanan yang paling efektif untuk mengeliminasi benda
asing, termasuk berbagai patogen dari saluran pernapasan. Batuk diperlukan untuk
membersihkan saluran pernapasan dari lendir dan sekret (sekitar 20-30 ml per hari). Jumlah
sekret pernapasan tergantung pada jumlah paparan iritan setiap hari. Batuk terus-menerus
berbahaya karena efeknya pada pernapasan, aktivitas sosial, dan tidur, mengurangi kualitas hidup
dan menyebabkan rasa malu saat bersosialisasi. Ini juga dapat menyebabkan sinkop,
inkontinensia urin, nyeri otot, insomnia, dan kelelahan.

Batuk dimulai dengan serangkaian manuver pernapasan yang memicu pengeluaran udara
secara tiba-tiba. Mekanismenya dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, kompresi, dan
ekspirasi. Batuk terjadi sebagai respon terhadap suatu refleks rangsangan kompleks yang diawali
oleh iritasi pada reseptor batuk di trakea, carina, cabang saluran pernapasan besar, saluran
pernapasan kecil, dan faring. Reseptor ini dapat bersifat mekanis atau kimiawi. Batuk dapat
disebabkan oleh gangguan dari paru atau ekstra paru.

Batuk diklasifikasikan menjadi akut, subakut, dan kronis menurut durasinya. Batuk akut
terjadi paling lama 3 minggu; batuk subakut terjadi dalam waktu 3-8 minggu, sedangkan batuk
kronis terjadi lebih dari 8 minggu. Penatalaksanaan batuk mengacu pada klasifikasi dan
penyebab batuk. Jika penyebabnya sulit diidentifikasi, terapi simtomatik termasuk pemberian
obat penekan batuk bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup.

21

Anda mungkin juga menyukai