Difusa Toksik
Pendahuluan
Setiap pembesaran kelenjar tiroid dinamakan goiter. Nama lainnya adalah struma.
Kekurangan yodium memicu sel folikuler harus bekerja lebih keras, untuk memenuhi
kebutuhan hormon di tubuh. Akibatnya, ukuran gondok terus bertambah besar.
Ternyata, struma ini bukan hanya disebabkan oleh kekurangan yodium. Benjolan yang
sifatnya jinak, pembesaran kelenjar biasa, atau suatu kista, yang merupakan suatu rongga
berisi cairan atau koloid, juga dinamakan sebagai struma. Suatu kanker tiroid juga akan
menimbulkan struma.
Struma bisa menimbulkan kenaikan hormon, dapat pula kekurangan hormon. Ada
juga yang tidak berpengaruh pada produksi hormon. Ditemukannya satu nodul pada kelenjar
tiroid dapat dikatakan sebagai struma nodosa. Jika benjolannya banyak dan berbiji-biji
disebut juga sebagai struma multinodosa. Jika struma tersebut berisi suatu rongga atau kista,
dinamakan struma kistika atau kista tiroid. Secara klinis, struma juga diklasifikasikan sebagai
struma toksik dan nontoksik. Struma nodosa maupun multinodosa toksik menunjukkan gejala
tirotoksikosis atau gejala-gejala hipermetabolisme akibat kelebihan hormon tiroid dalam
sirkulasi darah. Sedangkan untuk istilah nontoksik berkaitan dengan absennya gejala klinik
yang berkaitan dengan tirotoksikosis.1
Anamnesis2
Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, alamat, pendidikan dan pekerjaan, suku bangsa dan agama.
Keluhan Utama.
ditanyakan lebih mendetail pada pasien. Pada pasien yang datang dengan pembesaran
leher atau adanya benjolan pada leher dapat ditanyakan pula hal-hal yang berkaitan
dengan benjolan tersebut, diantaranya adalah :
Kapan pertama kali pasien menyadari adanya benjolan?
Apakah benjolan tersebut berubah ukuran atau warna sejak pertama kali timbul?
Apakah benjolan tersebut terasa nyeri?
Apakah ada kesulitan saat menelan atau bernapas?
Pemeriksaan Fisik3
Untuk membantu anda mengenali arah di daerah leher, kenali dahulu kartilago
tiroidea serta krikoidea dan trakea yang ada di bawahnya.
ke bawah dari ujung dagu pasien dan kemudian lakukan inspeksi pada daerah di bawah
kartilago
krikoidea
untuk
mencari
kelenjar
tiroid.
Perhatikan
tiroid
tampak
membesar/tidak. Bila ada pembesaran, tentukan difusa (merata) atau noduler (berbebjolbenjol).
Minta pasien untuk minum sedikit air dan mengekstensikan kembali lehernya serta
menelan air tersebut. Amati gerakan kelenjar tiroid ke atas dengan memperhatikan kontur
dan kesimetrisannya.
Selain perlu juga diperhatikan tanda-tanda ophtalmopati seperti:
Ada exoptalmus: mata menonjol dan bola mata dikelilingi oleh sclera berwarna putih.
Alat eksoftalmometer, yaitu alat mengukur penonjolan bola mata dari samping.
Ada von grape sign: ketika melihat ke bawah, palpebra superior tidak bisa mengikuti.
Ada stellwag sign: mata jarang berkedip.
Ada moebius sign: mata gak bias konvergensi.
Ada jofroy sign: tidak dapat mengerutkan dahi.
Rosenbach sign: tremor palpebra saat menutup mata.
Pemeriksaan Penunjang
Apabila setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik belum juga dapat
memastikan diagnosis penyakit pasien, langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan
diagnosis hipertiroid dan mengetahui penyebabnya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:4-6
1. Tes fungsi hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin
serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin
dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar normal tiroksin adalah 4-11 g/dl,
untuk triyodotironin kadarnya berkisar 80-160 ng/dl. Kadar TSH plasma dapat diukur
dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada
pasien peningkatan autoimun (penyakit Graves, hiperfungsi nodul tiroid) atau pada pasien
yang menerima dosis penekan hormon tiroid eksogen. Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid.
2. Sidikan (scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m
dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di
bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan
radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagianbagian tiroid.
Hasil dari pemeriksaan sidik tiroid, bila nodul menangkap yodium lebih sedikit dari
jaringan tiroid yang normal disebut nodul dingin (cold nodule), bila sama afinitasnya maka
disebut nodul hangat (warm nodule) dan bila afinitasnya lebih maka disebut nodul panas
(hot nodule). Karsinoma tiroid sebagian besar adalah nodule dingin. Sekitar 10 17 %
struma dengan nodule dingin ternyata adalah suatu keganasan.
Bila akan dilakukan pemeriksaan sidik tiroid maka obat-obatan yang mengganggu
penangkapan yodium oleh tiroid harus dihentikan selama 2 4 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan sidik tiroid ini tidak mutlak diperlukan, jika tidak ada fasilitasnya, tidak usah
dikerjakan.
3. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea
(jalan nafas).
4. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi memberikan informasi tentang morfologi kelenjar tiroid dan
merupakan modalitas yang handal dalam menentukan ukuran dan volume kelenjar tiroid
serta
dapat
membedakan
apakah
nodul
tersebut
bersifat
kistik,
padat,
atau
Teknik ini aman, murah, dan dapat dipercaya, serta dapat dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan resiko yang sangat kecil. Dengan BAJAH, tindakan bedah dapat dikurangi
sampai 50% kasus nodul tiroid, dan pada waktu bersamaan meningkatkan ketepatan kasus
keganasan pada tiroidektomi. Hasil sitologi BAJAH : jinak (negative), curiga
(indeterminate), atau ganas (positif).
6. CT scan atau MRI
Seperti halnya ultrasonografi, CT scan atau MRI merupakan pencitraan anatomi dan
tidak digunakan secara rutin untuk evaluasi nodul tiroid. Penggunaannya lebih diutamakan
untuk mengetahui posisi anatomi dari nodul atau jaringan tiroid terhadap organ sekitarnya
seperti diagnosis struma sub-sternal dan kompresi trachea karena nodul.
7. Pengukuran Autoantibodi Tiroid
Yang termasuk autoantibodi tiroid adalah: (1) antibodi tiroglobulin (Tg Ab); (2)
antibodiperoksidase tiroid (TPO Ab), semula disebut antibodi mikrosomal; dan (3)antibodi
reseptor TSH, stimulasi (TSH-R Ab [stim]) atau blocking (TSH-R Ab[blok]). Tg Ab dan
TPO Ab telah diukur dengan hemaglutinasi, immunoassay terkait-enzim (ELISA), atau
radioimmunoassay (RIA). Teknik hemaglutinasi jauh kurang peka ketimbang ELISA atau
metode RIA. Titer Tg Ab dan TPO Ab yang tinggi dengan RIA ditemukan ada 97% pasien
dengan penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto. Titer antibodi Tg maupun TPO akan
menurun dengan perjalanan waktu setelah pemberian terapi T4 pada tiroiditis Hashimoto
atau dengan terapi antitiroid ada penyakit Graves. Suatu uji positif kuat untuk antibodi ini
merupakan suatu indikasi dari adanya penyakit tiroid autoimun tetapi tidak spesifik untuk
jenis penyakit, yaitu hipertiroidisme, hipotiroidisme, atau goiter. Antibodi perangsang
reseptor tiroid (TSH-R Ab [Stim]) merupakan tanda khas penyakit Graves.
8. Penanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar
Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml, dan pada
keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Diagnosis
1. Diagnosis Banding6-8
penyebab dari struma yang demikian, dan karena pembesaran tiroid akibat etiologik
yang bermacam-macam dapat muncul pada baik daerah endemik atau nonendemik,
harus berhati-hati menggunakan istilah umum struma simpleks atau nontoksik. Struma
simpleks atau nontoksik dapat didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid yang
bukan dihasilkan dari proses inflamasi atau neoplastik dan yang tidak pada
awalnya dihubungkan dengan tirotoksikosis atau miksedema.
Struma simpleks kadang-kadang disebabkan oleh penyebab yang dapat
didefinisikan dari sintesis hormon tiroid yang terganggu, misalnya defisiensi
yodium, masukan goitrogen dari makanan, atau defek pada jalur biosintetik hormon,
tetapi pada banyak kasus penyebabnya tidak diketahui. Struma simpleks terjadi jika
satu atau lebih faktor mengganggu kapasitas tiroid untuk mensekresikan hormon yang
cukup untuk kebutuhan perifer. Walaupun hasil ini diasumsikan mengakibatkan
peningkatan sekresi TSH, konsentrasi TSH serum pada pasien dengan struma
simpleks yang telah ditetapkan biasanya normal. Yodinisasi yang tidak sempurna dari
tiroglobulin mungkin merupakan penyebab penting pada banyak pasien.
Patogenesis
perkembangan
goiter
non-toksik
pada
pasien
dengan
dan kalsifikasi ireguler dapat ada. Evolusi dari stadium multinoduler hampir selalu
diikuti dengan perkembangan autonomi fungsional. Heterogeitas dari struktur dan
fungsi serta derajat autonomi fungsional merupakan petanda sah stadium matur dari
kelainan ini .
Manifestasi Klinis pada struma simpleks, manifestasi klinis muncul sematamata dari pembesaran tiroid, karena keadaan metabolik normal. kelenjar dapat
relatif keras tetapi sering sekali lunak. Pada struma hipotiroidisme, gejala
disebabkan oleh tiromegali yang diikuti gejala dan tanda insufisiensi hormonal.
Gangguan mekanis meliputi kompresi dan pergeseran esofagus atau trakea, kadangkadang dengan gejala obstruktif jika struma menjadi cukup besar. Obstruksi
mediastinal superior mungkin terjadi dengan struma retrosternal yang besar. Tanda
dari kompresi dapat diinduksi pada kasus struma retrosternal yang besar. Tanda dari
kompresi dapat diinduksi, jika lengan pasien diangkat ke atas kepala, muka yang
sembab, pusing atau sinkop mungkin merupakan hasil dari manuver ini (Pumberton
sign). Suara parau akibat kompresi nervus laringeus rekurens jarang pada struma
simpleks dan menandakan kemungkinan neoplasma. Perdarahan mendadak ke dalam
suatu nodul mungkin mengarah pada pembengkakan leher yang akut dan sakit dan
mungkin menghasilkan atau memacu gejala kompresi. Hipertiroidisme dapat terjadi
pada struma multinoduler yang lama (struma multinoduler toksik). Pada baik struma
endemik maupun multinoduler sporadik, masukan yodium yang berlebihan dapat
berakibat pada perkembangan tirotoksikosis (fenomena yodbasedow). Pada daerah
dengan defisiensi yodium yang berat, pembesaran kelenjar gondok juga dapat
dikaitkan dengan berbagai derajat hipotiroidisme.
Diagnosis Diagnosis struma simpleks memerlukan, pertama, demonstrasi
keadaan eutiorid, dan keadaan kedua adalah demonstrasi konsentrasi T4 dan T3 serum
normal. TSH yang dapat diukur dengan sebuah teknik yang sangat sensitif merupakan
indeks yang terbaik untuk eutiroidisme.
Struma Multinoduler Toksik
Struma
multinoduler
toksik
merupakan
akibat
struma
simpleks
yang
Karena itu, merupakan hal yang tidak jelas apakah suatu faktor yang spesifik
menyebabkan kasus struma multinoduler toksik yang berkembang menjadi fase
tirotoksikosis. Biasa pada struma multinoduler nontoksik, bahkan pada daerah yang
cukup yodium, kandungan yodium dari tiroglobulin berkurang, menandakan
kekurangan yodium yang terkondisi atau gangguan penggabungan normalnya dengan
protein. Tidak ada gambaran patologik untuk membedakan struma toksik dan
nontoksik.
Namun,
perubahan
dari
nontoksik
menjadi
toksik
melibatkan
perkembangan fungsi autonom seperti kemandirian dari stimulasi TSH pada satu lebih
daerah pada kelenjar.
Fokus yang tersebar dari fungsi autonom ini dapat diperlihatkan pada proses dini
penyakit dan meningkat dalam ukuran dan jumlahnya sejalan dengan waktu sehingga
kurang lebih seperempat pasien yang tampaknya eutiroid dengan gambaran struma
nodosa nontoksik, sebagai bukti dari autonom fungsional, memberi respon subnormal
atau tidak ada terhadap pemberian TRH.
Seperti diperhitungkan dari pencitraan scintillation, pola fungsional dapat terdiri
dari dua tipe. Pada yang lebih sering, akumulasi yodium muncul secara difus pada
bercak fokus diseluruh kelenjar. Pola yang lebih jarang adalah akumulasi yodium
pada satu atau lebih nodul yang diskret di dalam kelenjar, sisanya terlihat
nonfungsional secara nyata.
Pada struma multinoduler nontoksik endemik dan sporadik, pemberian yodium
dapat mengarah pada perkembangan tirotoksikosis (jodbasedow), komplikasi yang
sesuai dengan fungsi autonom kelainan ini. Karena hal tersebut berkembang pada
struma simpleks yang berkepanjangan, struma multinoduler toksik adalah
penyakit penuan atau lebih lanjut. Karena alasan ini , dan karena sifat dari penyakit
penyebab, presentasi klinis berbeda dengan yang terlihat pada penyakit Graves.
Oftalmopati jarang dan akan menjadi tanda munculnya penyakit Graves yang
tumpang tindih dengan struma simpleks.
Pada beberapa pasien, suatu diagnosis definitif dari struma noduler toksik sulit
untuk ditetapkan. Pada satu sisi, pembesaran atau nodularitas dari kelenjar dapat tidak
terdeteksi karena pasien memiliki leher yang pendek atau kifotik atau karena tiroid
terletak substernal.. jika hal ini merupakan masalahnya, dan jika temua klinis
menanadai tirotoksikosis, RAIU dan scintiscan terutama berguna. Pada sisi lain,
bahkan jika struma noduler dapat dipalpasi, kehadiran tirotoksikosis ringan tetapi
nyata secara klinis mungkin sulit untuk dikonfirmasikan, karena nilai dari T4 dan T3
10
total serum FT4 dan FT4I sering hanya mendekati atau sedikit diatas nilai normal. Jika
temuan laboratorium tidak memberikan dagnosis yang jelas dari tirotoksikosis tetapi
temuan klinis yang mendukung ada, uji terapeutik obat antitiroid dapat diindikasikan.
Yodium radioakif adalah pengobatan adalah pengobatan pilihan untuk struma
multinoduler toksik. Kebalikan dari penyakit Graves, dosis besar biasanya dibutuhkan
karena RAIU yang biasanya lebih rendah dan terhadap derajat fungsi yang bervariasi
di seluruh kelejar. Lebih lanjut, ketidakstabilan fisiologik pada pasien lanjut usia
membuat terapi definitif penting. Untuk alasan yang sama, merupakan suatu hal yang
bijaksana untuk memulai terapi dengan agen antitiroid, dengan menahan radioyodium
sampai keadaan eutiroid dicapai, dengan demikian untuk mencegah eksaserbasi dari
tirotoksikosis harus muncul tiroiditis radiasi. Kecuali dikontraindikasikan, propranolol
berguna dalam mengontrol manifestasi tirotoksikosis sebelum dan setelah terapi
radioyodium, sementara efek teraupetiknya ditunggu.
Neoplasma
Prevalensi nodul soliter dari kelenjar tiroid meningkat sesuai umur. Banyak nodul
tiroid yang dapat dipalpasi disangka soliter ternyata merupakan bagian dari kelenjar
tiroid multinoduler. Secara umum, sebuah nodul harus mencapai suatu ukuran 1 cm
pada diameter untuk dapat dideteksi dengan palpasi. Beberapa kriteria klinis dapat
memberikan petunjuk tentang sifat suatu nodul tiroid.
Nodul soliter, secara umum lebih besar kemungkinannya merupakan neoplasma
dibandingkan nodul multipel.
Nodul pada pasien yang lebih muda lebih besar kemungkinannya merupakan
suatu neoplasma dibandingkan yang terbentuk pada wanita.
Nodul pada pria lebih besar kemungkinannya merupakan suatu neoplasma
dibandingkan yang terbentuk pada wanita.
Riwayat terapi radiasi ke daerah kepala dan leher meningkatkan insidens
keganasan tiroid.
Nodul yang menyerap iodium radioaktif dalam pemeriksaan pencitraan (nodul
panas) lebih besar kemungkinannya jinak dibandingkan ganas.
Adenoma tiroid adenoma tiroid biasanya membentuk massa diskret tunggal.
Dengan sedikit pengecualian, tumor ini berasal dari epitel folikel sehingga dapat
disebut adenoma folikular. Berbagai istilah telah dianjurkan untuk mengklasifikasikan
11
Diagnosis Kerja
12
Tirotoksikosis akibat hipertiroidisme yang terjadi karena pembesaran difuse tiroid yang
hiperfungsional terjadi pada semua kasus.
b.
Goitter
Pada bentuk struma difus biasanya tiroidnya keras dan membesar simetris warnanya
pada pemotongan merah kecoklatan, menyerupai otot, batasnya tidak tegas, konsistensi
lunak. Histologis tampak sebagai hiperplasia sel-sel epitel. Sel epitel sendiri membesar
seperti berbentuk kolumnar, kadang sampai berlipat-lipat, merupakan gambaran papiler.
Kelenjar gondok pada penyakit ini selain membesar juga menjadi hipervaskular,
sehingga dengan auskultasi mungkin terdengar suara bising (bruit).
c.
Oftalmopati (eksoftalmos)
Aktivitas berlebihan saraf simpatis menyebabkan pasien menatap dengan lebar dan
melotot serta kelopak matanya terbuka.Oftalmopati pada penyakit Graves, disebabkan
oleh infiltrasi limfosit, pengendapan glikosaminoglikan, dan adipogenesis dalam jaringan
ikat orbita sehingga terjadi penonjolan abnormal bola mata (eksoftalmus). Proptosis
mungkin menetap atau bertambah walaupun tirotoksikosisnya berhasil diatasi, dan
kadang menyebabkan cedera kornea dan jika parah bisa buta.
d.
bebas serta penurunan kadar TSH. Karena folikel tiroid terus mendapat rangsangan dari
13
14
pembengkakan otot-otot orbita, protopsi bola mata, dan diplopia sebagaimana juga
menimbulkan kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva dan periorbita.
Patogenesis dermopati tiroid (miksedema pretibial) dan inflamasi subperiosteal yang
jarang pada jari-jari tangan dan kaki (osteopati tiroid) mungkin juga melibatkan stimulasi
sitokin limfosit dari fibroblast pada tempat-tempat ini. Banyak gejala tiroksikosis mengarah
adanya keadaan kelebihan katekolamin, termasuk takikardi, tremor, berkeringat, kelopak
yang kurang dan melotot. Namun kadar epinefrin dalam sirkulasi adalah normal; jadi pada
penyakit Graves, tubuh tampak hiperaktif terhadap katekolamin. Hal ini mungkin
berhubungan dengan bagian peningkatan dengan perantaraan hormon tiroid pada reseptor
katekolamin jantung.
Manifestasi Klinis9,10
1.
Metabolisme
Secara menyeluruh metabolisme meningkat, sehingga penderita lebih banyak makan.
Tetapi intake makanan ini biasanya tidak mencukupi kebutuhan metabolisme juga,
sehingga meskipun banyak tetapi badan tambah kurus. Metabolisme yang meningkat
menyebabkan perasaan panas dan penderita jadi tidak tahan hawa panas, mudah
berkeringat, bahkan telapak tanganpun berkeringat, bahkan tlapak tanganpun
berkeringat. Absorbsi glukosa di usus meningkat sehingga kadar gula darah juga
meningkat naik, bahkan terkadang seperti terjadi glukosura. Kecepatan respirasi, karena
kadar CO2 meningkat, jadi ikut bertambah pula. Metabolisme ini diukur dengan BMR.
Biasanya didapat harga +30%. Bila berat toksikosisnya BMR yang lazim adalah secara
spirometri. Yang diukur adalah oksigen somsumption rate.
Secara kasar BMR dapat diperkirakan dengan formula REID yaitu:
%BMR = 0,75 (0,74(S-D)+N)-72.
Hendaknya diingatkan bahwa BMR bisa meningkat pada hipertensi berat,
15
3.
Kardiovaskuler
Pederita mengeluh berdebar-debar dan terasa berat pada daerah jantungnya. Bila
akhirnya penyakit ini menghebat, bisa timbul fibrilasi atrial dan akhirnya gagal jantung
kongestif. Tekanan nadi hampir selalu dijumpai meningkat (pulsus celer).
Pada orang tua di atas 60tahun gejala kardiovaskuler jelas menonjol karena
jantungnya sendiri memang kurang baik, tidak sanggup memompa jantung untuk
meningkatkan curah jantung. Akibat sirkulasi yang meningkat ini, outflow urin juga
meningkat dan ditambah dengan metabolisme yang dipercepat, sehingga pasien akan
selalu merasa haus, dan sering kencing. Dengan adanya nafsu makan yang bertambah,
BASEDOW ini mungkin dikelirukan dengan diabetes malitus. Kelenjar gondok pada
penyakit BASEDOW ini selain membesar juga menjadi lebih hipervaskuler, sehingga
4.
DEFINISI
No physical sign or symptom
Only sign, no symtom (tanda-tanda terbatas pada retraksi kelopak
bagian atas, lambat menutup mata)
Soft tissue involment (palpebra bengkak, kemosis dan lain-lain)
Proptosis (diukur dengan eksoflalmometer Hertal > 3 mm dari batas
atas nilai normal)
Extraoculer muscle involment (sering dengan diplopia)
Corneal involment
Sight loss (terkena nervous optikus)
Klasifikasi ini berguna untuk menggambarkan keterlibatan mata, walau tidak berguna
untuk mengikuti perjalanan penyakit karena tingkat yang satu tidak selalu berkembang
ke tingkat yang lainnya. Tingkat 1 termasuk spasme kelopak atas yang berhubungan
dengan tirotoksikosis aktif dan biasanya sembuh spontan bila tirotoksikosis telah cukup
terkendali. Tingkat 2-6 mewakili penyakit infiltrative yang betul yang menyangkut otototot orbital dan jaringan orbital. Tingkat 2 mewakili terkenanya jaringan lunak dengan
edema periorbital, kongesti atau kemerahan konjungtiva (kemosis). Tingkat 3 mewakili
proptosis sebagaimana diukur dengan eksoftalmometer Hertel. Instrumen ini terdiri dari
2 prisma dengan skala dipasang pada suatu batang. Prisma-prisma ini diletakkan pada
tepi orbital lateral dan jarak dari tepi orbital ke kornea anterior diukur dengan skala.
16
Batas atas dari normal, tergantung dari ras, diberikan pada catatan kaki. Tingkat 4
mewakili keterlibatan otot yang paling sering terkena adalah rektus inferior, yang
merusak lirikan ke atas. Otot yang kedua paling sering terkena adalah rektus medialis
dengan gangguan lirikan ke lateral. Tingkat 5 mewakili keterlibatan kornea (keratitis)
dan tingkat 6 hilangnya penglihatan akibat terkenanya nervus optikus.
Gejala pada mata terdapat pada tirotoksikosis yang primer, pada tirotoksikosis yang
sekunder, gejala mata ini biasanya tidak selalu ada dan bilapun ada, tidak seberapa jelas.
Mengapa sampai bisa terjadi suatu exophtalmus, seperti juga mengapa bila timbul
BASEDOW, sampai sekarang masih belum jelas betul. Penyebab exopthalmus ini sering
kali dihubungkan dengan: kelebihan tirotropin; suatu fraksi dari tirotropin; semacam
hormon dari hipofisis anterior.
5.
Gastro-intestinal
Peristaltik usus akan meningkat sehigga terjadi diare. Dengan diare maka banyak
calsium yang dikeluarkan bersama feces, lagipula pada hipertiroidi terjadi pula
mobilisasi calsium keluar dari tulang dan ini ditambah dengan faktor diare itu akan
menyebabkan tulang-tulang menjadi osteoporosis. Kehilangan calsium ini perlu
diperhitungkan, karena pasca tiroidektomi mungkin timbul tetani akibat terganggunya
hormon paratiroid.
6. Perubahan kadar hormon tiroid mempengaruhi juga system adrenal sehingga ada
gangguan keseimbangan hormon seks. Mesnstruasi penderita terganggu.
7. Kulit
Akibat perubahan metabolisme dan hormonal, menjadi lebih halus, karena
vasodilatasi, tetapi bila digaruk, kulit akan berbekas.
8. Dermopatia tiroid terdiri dari penebalan kulit, terutama kulit di atas tibis bagian bawah,
yang disebabkan penumpukan glikosaminoglikan. Kulit sangat menebal dan tidak dapat
dicubit. Kadang mengenai seluruh tungkai bawah dan dapat meluas sampai ke kaki.
Penatalaksanaan4,6,7,11,12
Walaupun mekanisme autoimun bertanggung jawab atas penyakit sindroma Graves,
penatalaksanaannya terutama ditujukan terhadap mengendalikan hipertiroidisme. Terdapat
tiga metode yang tersedia terapi obat anti tiroid, bedah, dan terapi iodine radioaktif.
1. Terapi obat antitiroid
17
Terapi yang utama ditujukan untuk membatasi jumlah hormon tiroid yang diproduksi
oleh kelenjar. Bahan antitiroid memberikan blokade kimiawi terhadap sintesis hormon,
efek yang diperoleh hanya selama obat diberikan. Sehingga bahan tersebut dapat
mengontrol secara aktif tirotoksisitas tetapi kemungkinan tidak mencegah eksaserbasi
pada beberapa periode selanjutnya.
Secara umum, terapi obat antitiroid paling berguna pada pasien-pasien muda dengan
kelenjar yang kecil dan penyakit ringan. Obat-obatan ini (propiltiourasil atau metimazol)
diberikan sampai penyakitnya mengalami remisi spontan. Ini terjadi pada 20-40% pasien
yang diobati untuk 6 bulan sampai 15 tahun. Walaupun ini merupakan satu-satunya terapi
yang meninggalkan kelenjar tiroid yang utuh, ini membutuhkan waktu pengawasan yang
lama, dan insidens kambuh tinggi, mungkin 60-80% meskipun pada pasien-pasien
pilihan. Angka kekambuhan dapat diturunkan dengan menggunakan regimen
penghambat tiroid total. Terapi dengan obat antitiroid biasanya dimulai dengan dosis
besar terbagi.
Bila pasien telah menjadi eutiroid secara klinis, terapi rumatan dapat dicapai dengan
suatu dosis tunggal yang lebih kecil pada pagi hari. Suatu regimen umum terdiri dari dari
propil tiourasil 100-150 mg tiap 6 jam mula-mulanya dan kemudian dalam waktu 4-8
minggu menurunkan dosis sampai 50-200 mg sekali atau dua kali sehari. Propiltiourasil
mempunyai
menghambat sebagian konversi T4 jadi T3, sehingga efektif dalam menurunkan hormone
tiroid aktif dengan cepat. Sebaliknya metimazol mempunyai lama kerja yang lebih
panjang dan lebih berguna bila diinginkan terapi dengan dosis tunggal. Dosis 40 mg
metimazol tiap pagi selama 1-2 bulan, dosis ini kemudian diturunkan menjadi 5-20 mg
tiap pagi untuk terapi rumatan. Uji laboratorium yang paling bernilai dalam memantau
perjalanan terapi adalah FT4 serum dan TSH.
Metode alternatif lainnya menggunakan konsep penghambatan total aktivitas tiroid.
Pasien diobati dengan metimazol sampai eutiroid (sekitar 3-6 bulan) tapi selanjutnya
dengan penurunan dosis metimazol, pada saat ini levotiroksin ditambahkan dengan dosis
sekitar 0,1 mg/hari. Kemudian pasien terus mendapat kombinasi metimazol 10 mg/hari
dan levotiroksin 0,1 mg/hari untuk 12-24 bulan. Ketika ukuran kelenjar kembali normal,
metimazol dihentikan dan levotiroksin dilanjutkan beberapa tahun. Dengan terapi ini,
penurunan titer antibody antitiroid sangat hebat dan remisi jangka panjang terjadi pada
60-80% pasien yang diobati.
Lama terapi dengan obat antitiroid pada penyakit Graves cukup bervariasi dan dapat
berkisar 6 bulan sampai 20 tahun. Dikatakan remisi apabila kelenjar tiroid kembali
18
normal ukurannya, pasien dapat dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relatif kecil,
TSH-R Ab tidak lagi dideteksi dalam serum dan bisa disupresi setelah pemberian
liotironin.
Efek samping: rash (5% pasien). Rash dapat ditangani dengan pemberian antihistamin
dan bukan indikasi untuk menghentikan terapi kecuali kalau berat dan generalisata.
Agranulositosis adalah suatu indikasi untuk segera menghentikan terapi obat antitiroid,
pemberian antibiotik yang tepat dan meggantikan terapi alternatif, biasanya idoin
2.
3.
Tiroidektomi subtotal
Merupakan terapi pilihan untuk pasien-pasien dengan kelenjar yang sangat besar atau
goiter multinodular dan dapat dipilih untuk pasien berumur dibawah 30 tahun yang
memerlukan terapi ablasi. Pasien dipersiapkan dengan obat antitiroid sampai eutiroid.
Sebagai tambahan, mulai 2 minggu sebelum hari operasi, pasien diberikan larutan jenuh
kalium iodide, 5 tetes 2 kali sehari. Regimen ini dapat mengurangi vaskularitas kelenjar
dan mempermudah operasi.
Terdapat ketidaksepakatan tentang berapa banyak jaringan tiroid harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak perlu kecuali bila pasien mempunyai oftalmopati
progresif yang berat. Sebaliknya, bila terlalu banyak jaringan tiroid ditinggalkan,
penyakitnya akan kambuh. Kebanyakan ahli bedah meninggalkan 2-3 gram jaringan
tiroid pada masing-masing sisi leher. Walaupun beberapa pasien tidak memerlukan
tambahan tiroid setelah tiroidektomi untuk penyakit Graves, kebanyakan pasein
4.
memerlukannya.
Terapi iodine radioaktif
19
Yodium radioaktif merupakan prosedur ablatif pilihan pada pasien yang lebih tua,
pada pasien yang sebelumnya menjalani pembedahan tiroid dan pada pasien yang
menderita penyakit sistemik yang merupakan kontraindikasi utnuk tindakan pembedahan
efektif. Pada banyak pasien tanpa dasar penyakit jantung, iodine radioaktif dapat segera
diberikan dengna dosis 80-120 Ci/gram taksiran berat tiroid dengan dasar pemeriksaan
fisik dan scan rektilinear iodide I123.
Pasien dengan dasar penyakit jantung, tirotoksikosis berat atau kelenjar yang besar
(>100 gram) biasanya diinginkan agar dicapai keadaan eutiroid sebelum iodine radioaktif
dimulai. Setelah pemberian iodine radioaktif, kelenjar akan mengkerut dan pasien
biasanya akan jadi eutiroid dalam waktu 6-12 minggu.
Iodine radioaktif merupakan kontraindikasi selama kehamilan karena menembus
plasenta secara bebas dan dapat melukai tiroid fetus. Terdapat dua pilihan yang baik. Bila
penyakit dideteksi pada trimester pertama, pasien dapat dipersiapkan dengan
propiltiourasil dan tiroidektomi subtotal dapat dilakukan dengan aman pada trimester
kedua. Perulu pemberikan suplemen tiroid selama keseimbangan kehamilan. Alternative
lain adalah pasien dapat diobai dengan obat antitiroid dengan menunda keputusan
mengenai penanganan jangka panjang sampai melahirkan.
Kerugian utama dari terapi I131, pada dosis yang biasanya dipergunakan, adalah
kecenderungan untuk menghasilkan hipotiroidisme dengan frekuensi yang meningkat
sejalan dengan waktu. Tiroiditis akibat radiasi merupakan komplikasi langsung yang
kadang-kadang muncul pada terapi I131. Hal ini biasanya tampak dalam 7 sampai 10 hari
dan dikaitkan dengan peningkatan pelepasan hormon ke dalam darah.
Sebelum yodium radioaktif diperkenalkan, tiroidektomi subtotal merupakan bentuk
standar dari terapi ablatif, dan masih tetap diberikan pada pasien yang lebih muda yang
terapi antitiroidnya tidak berhasil. Bahaya dari tiroidektomi subtotal termsuk komplikasi
langsung, misalnya kecelakaan anastesia, perdarahan yang kadang-kadang mengarah ke
obstruksi pernapasan, dan kerusakan nervus laringeus rekuren mengarah kepada paralisis
pitasuara. Komplikasi lanjut termasuk infeksi luka, perdarahan, hipoparatiroidisme, dan
5.
hipotiroidisme.
Terapi medis lain
a. Yodida: menghambat pelepasan hormon dari kelenjar tiroid yang hiperfungsi, dan
efek perbaikannya lebih cepat daripada zat yang mensitesis hormon. Penggunaan
utamanya ditujukan untuk pasien dengan krisis tiroid yang sedang berlangsung atau
yang mengancam jiwa serta pasien penyakit jantung berat. Yodium aman diapakai
hanya apabila digunakan dengan obat antitiroid. Bila perjalan klinisnya cukup berat
20
mengurangi komponen edematous dan infiltratif. Radiasi orbita dapat berguna pada
beberapa pasien dengan manifestasi yang akut dan berat, terutama jika diberikan
terus-menerus dengan glukokortikoid. Jenis terapi lainnya adalah dengan melakukan
dekompresi orbita misalnya pembuangan bagian tulang dari orbita, diperlukan untuk
mengurangi tekanan intraorbita. Dermopati berat dapat diredakan dengan pemberian
topikal glukokortikoid.
Prognosis
Dengan adanya komplikasi yang fatal yang berhubungan dengan gagal jantung dan
syok, prognosis buruk. Secara umum, perjalanan penyakit Graves adalah ditandai oleh remisi
dan eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama, kecuali kalau kelenjar dirusak dengan
pembedahan dan yodium radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid untuk
jangka waktu yang lama setelah terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan hipotiroidisme.
Jadi follow up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua pasien dengan penyakit
Graves.7
Komplikasi6,7,13
21
1.
2.
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium .
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut.
22
3.
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit.
Pencegahan Tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan.
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan
bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
Kesimpulan
Pembesaran kelenjar tiroid merupakan suatu kondisi yang sering ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam menentukan diagnosis terhadap suatu pembesaran pada
kelenjar tiroid, perlu pula pengenalan tanda-tanda dan gejala klinis yang berkaitan dengan
masing-masing kondisi berlebihnya atau kurangnya kadar hormon tiroid dalam sirkulasi
darah. Selain itu, pemeriksaan penunjang lainnya juga dibutuhkan untuk memberikan
informasi yang lebih spesifik mengenai pembesaran tersebut dan membantu dalam
23
menentukan terapi yang sebaiknya diberikan pada penderita kelainan tersebut. Pencegahan
sebaiknya dilakukan sedini mungkin, terutama pada anak-anak, karena hormon tiroid
memiliki peranan dalam perkembangan otak dan pertumbuhan anak.
Daftar Pustaka
1. Tandra H. Mencegah dan mengatasi penyakit tiroid. Jakarta : Penerbit Gramedia. 2011.
2.
h. 31-2.
Akunjee N, Akunjee M. Panduan menghadapi OSCE bagi mahasiswa tingkat akhir.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. h. 1198-1200.
9. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009. h. 112-3.
10. Santoso M, Ndraha S, Surianty, Astuty Y. Problematika penderita struma toksik yang
berobat ke RSUD Koja tahun 1999 2004. Meditek 2004 ; 12 (32) : 25-9.
11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.h.27-33,274-5.
12. Adam JMF, Sampelan MJ. Oftalmopati Graves, epidemiologi, klasifikasi, dan
penatalaksanaan. 12 June 2006. Diunduh dari www.med.unhas.ac.id, 30 Nov 2009.
13. Bartalena L. Hennemann G. Graves disease : Complication. 11 Juli 2010. Diunduh dari
http://www.thyroidmanager.org/chapter/graves-disease-complications/ pada tanggal 10
November 2012.
14. Rismadi K. Karakteristik penderita struma rawat inap di rumah sakit santa elisabeth
Medan
Tahun
2005-2009.
28
juni
2010.
Di
unduh
dari
24
25