Pengaruh Iontoforesis Dan Zat Peningkat Penetrasi
Pengaruh Iontoforesis Dan Zat Peningkat Penetrasi
e-mail : nasrul@unpad.ac.id
ABSTRAK
Stratum korneum merupakan barier absorpsi perkutan obat ke dalam tubuh bagi obat-obat
pada umumnya. Kemampuan suatu obat untuk melewati stratum korneum dapat ditingkatkan
dengan menggunakan metoda kimia dan fisika. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh dari penambahan zat peningkat penetrasi dan aplikasi metoda
iontoforesis terhadap difusi sediaan gel piroksikam secara in vitro. Penelitian ini dilakukan
dengan metode flow through selama 6 jam dengan kulit telinga babi sebagai membran. Zat
peningkat penetrasi yang digunakan adalah etanol, dimetilsulfoksida (DMSO), etil asetat, dan
Tween 80. Metoda iontoforesis menggunakan kuat arus konstan 0.5 mA/cm 2. Hasil penelitian
uji difusi piroksikam dengan pengaruh zat peningkat penetrasi menunjukkan bahwa laju
difusi yang paling baik secara berturut-turut adalah F1 (5% etanol) > F3 (5% etil asetat) > F4
(5% Tween 80) > F2 (5% DMSO) > FS (tanpa zat peningkat penetrasi). Jumlah obat yang
berdifusi dengan pengaruh iontoforesis pada formula FS 2 kali lebih tinggi dibanding tanpa
pengaruh iontoforesis. Pengaruh kombinasi antara zat peningkat penetrasi dan iontoforesis
pada F1 dan F3 terhadap laju difusi piroksikam dari sediaan gel menghasilkan efek yang
sinergis, sedangkan pada formula F2 dan F4 efek kombinasi sinergis tidak terlihat dengan
jelas.
Kata kunci : Iontoforesis, piroksikam, zat peningkat penetrasi, difusi, etanol, dimetil
sulfoksida, etil asetat, Tween 80
PENDAHULUAN
Rute pemberian obat secara transdermal memberikan beberapa keuntungan, diantaranya,
mengurangi metabolisme lintas pertama obat (first pass effect), tidak mengalami degradasi
gastrointestinal, penghantaran obat jangka panjang, dan penghantaran terkontrol. Akan tetapi,
hanya sedikit molekul obat yang dapat diformulasikan ke dalam patch transdermal
dikarenakan permeabilitas kulit yang rendah. Lapisan terluar kulit, stratum korneum,
merupakan suatu barier penetrasi obat ke dalam tubuh. Kebanyakan senyawa obat tidak
memiliki kemampuan melewati stratum korneum, sehingga diperlukan peningkatan profil
penetrasi perkutan obat.
Pengaturan dan peningkatan penetrasi perkutan obat dapat dilakukan dengan zat peningkat
penetrasi (metode kimia) dan iontoforesis (metode fisika) (Karande, 2008). Zat peningkat
penetrasi merupakan molekul yang
korneum melalui reaksi dengan komponen penyusun stratum korneum seperti lipid, protein
dan keratin. Metoda iontoforesis merupakan teknik non-invasif yang difasilitasi oleh
pergerakan ion melewati membran di bawah pengaruh perbedaan arus listrik yang kecil (<
0.5 mA/cm2 ) (Dixit ,2007). Total laju difusi obat dengan metoda iontoforesis melalui
gabungan antara mekanisme elektromigrasi dan elektroosmosis, proses elektromigrasi
(electrorepulsion) memiliki kontribusi dalam perpindahan molekul sebagai akibat langsung
dari aplikasi kuat arus. Pengaliran elektron di ubah menjadi pengaliran ion melalui reaksi
elektroda. Konsep dasar elektroosmosis adalah bahwa pada pH fisiologik, kulit (titik
isoelektrik antara 4 sampai 4.5) memiliki muatan negatif. Oleh karena itu, kulit bertindak
sebagai membran penukar ion yang selektif permeabel terhadap kation. Sebagai
konsekuensinya, apabila diberikan pengaruh arus listrik, aliran pelarut konvektif dihasilkan
dari arah anoda ke katoda. Aliran elektroosmosis ini memiliki kontribusi dalam permeasi dari
kation tetapi berlawanan dengan arah pergerakan anion. Sedangkan, molekul netral (seperti
gula) juga dapat berpindah dari anoda ke dalam tubuh, dan dari tubuh ke katoda. pergerakan
ion dari elektroda anoda ke katoda memfasilitasi perpindahan molekul kation, menghambat
molekul anion dan dapat meningkatkan perpindahan molekul netral (Guy, 2003)
Piroksikam digunakan sebagai model dalam penelitian ini merupakan salah satu obat
Antiinflamasi Non Steroid (NSAID) yang memiliki 2 nilai pKa (1.8 dan 5.2) tergantung dari
gugus pyridil dan enol yang menyusunnya. Pada kondisi pH tertentu piroksikam dapat
berbentuk kationik, netral, dan anionik, pada kondisi pH psikologis piroksikam berbentuk
anionik, sehingga piroksikam cocok dengan metoda katoda iontoforesis yaitu menghantarkan
anionnya mengalir dari katoda ke anoda (Doliwa, 2001).
Penelitian difusi piroksikam dari sediaan gel melalui membran yang diimpregnasi dengan
larutan spangler secara in vitro, menunjukkan difusi piroksikam dalam gel dengan pelarut
alkohol lebih baik daripada pelarut air (Darijanto, 1992). Dalam penelitian lainnya, laju
permeasi gel piroksikam dengan penambahan zat peningkat penetrasi (enhancer) dimetil
sulfoksida (DMSO) hampir lima kali lebih cepat melepaskan zat aktif dibanding dengan
formula tanpa dimetil sulfoksida (Fatonah, 2006). Penghantaran iontoforesis transdermal gel
piroksikam dikombinasikan dengan asam oleat secara in vitro menunjukkan adanya
peningkatan difusi pasif melewati membran biologis yang sinergis (Gay, 1992).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari metoda iontoforesis dan zat
peningkat penetrasi terhadap difusi transdermal gel piroksikam secara in vitro dengan
menggunakan membran kulit babi. Zat peningkat penetrasi yang digunakan adalah golongan
alkolhol (etanol), sulfoksida (dimetil sulfoksida/DMSO), ester (etil asetat), dan surfaktan
(Tween 80).
monohidrat, dapar fosfat (Na2HPO4.12 H20, NaHPO4.1H2O), HCl, NaOH, trietanolamin, KCl,
etil asetat, etanol 95%, Tween 80.
Alat
Alat uji difusi Franz yang telah dimodifikasi, alat power supply iontoforesis dengan densitas
arus konstan 0.5 mA/cm2 (Laboratorium Teknik Biomedika Sekolah Teknik Elektro dan
Informatika ITB), multitester AVO meter (winner), kawat Ag 99.99%(PT. Antam TBK),
kawat Pt, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Waters), kolom SGE C 18 (250x4.6 mm SS
Wakosil C18 RS 5m), pH meter (Beckman pHI 50), Viskometer Brookfield (DV-II) dan
alat-alat yang biasa digunakan di laboratorium.
F0
1
0,5
3
100
F1
1
0,5
3
5
100
F2
1
0,5
3
5
100
F3
1
0,5
3
5
100
F4
1
0,5
3
5
100
menghisap
cairan reseptor dari gelas kimia kemudian dipompakan ke sel difusi melewati
penghilang gelembung sehingga aliran yang terjadi secara hidrodinamis. Kemudian
cairan dialirkan ke gelas kimia penampung cairan reseptor. Proses dilakukan masingmasing selama 6 jam tanpa dan dengan iontoforesis. Cuplikan diambil dari cairan
reseptor sebanyak 5 ml dan setiap pengambilan selalu diganti dengan dapar fosfat pH
7.4 sebanyak 5 ml. Cuplikan diambil pada menit ke 30, 60, 120. 180, 240, dan 360,
kemudian dianalisis dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi dengan fase gerak
yang digunakan adalah metanol : bufer (70:30, v/v). Buffer yang digunakan adalah asam
asetat anhidrat 7.72 g dan 5.35 g natrium fosfat dibasik dalam 1000 ml kemudian pH
disesuaikan sampai 4 dengan penambahan NaOH 1N. Fase diam yang digunakan adalah
kolom SGE C 18 (250x4.6 mm SS Wakosil C18 RS 5m) dengan aliran 1 mL/menit.
Keterangan :
1 = cairan reseptor pengganti
2 = kompartemen reseptor
3 = kompartemen donor
4 = termostat
5 = pompa peristaltik
6 = penghilang gelembung
7 = stirer
Formula Uji
F2
FS
F1
F3
F4
-Kuning
transparan
-Kuning
transparan
-Kuning
transparan
-Kuning
transparan
-Kuning
transparan
-Tidak berbau
-Tidak berbau
-Tidak berbau
- Tidak berbau
- Tidak berbau
Organoleptis
-
Warn
a
Bau
pH
Viskositas (P)
Kandungan
piroksikam*
(g/mL)
8,110,01
1378,0048,04
8,130,01
1260,0034,64
8.240,01
1324,003,60
7.800,01
1247,3345,34
8.200,01
1261,338,14
50,662,10
49,620,40
49,991,56
49,480,50
50,181,22
Keterangan :
FS : Formula tanpa zat peningkat penetrasi
F1 : Formula dengan 5% etanol
F2 : Formula dengan 5% DMSO
F3 : Formula dengan 5% etil asetat
F4 : Formula dengan 5% Tween 80
*Dalam setiap 0.1g sediaan gel
Pengaruh iontoforesis tanpa adanya zat peningkat penetrasi dalam formula menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan laju difusi 2 kalinya (Gambar V.2). Jalur penembusan molekul
obat dengan metode iontoforesis adalah melalui pori (transglandular dan transfolikular) dan
interselular (celah korneosit) (Mudry, 2007). Adanya arus listrik sebesar 0.5 mA/cm2
menyebabkan terjadi reaksi di elektroda yang menghasilkan aliran elektron dan mendorong
timbulnya elektromigrasi dari ion piroksikam melewati pori-pori stratum korneum dan celah
korneosit. Proses transport ion melewati kulit ini terjadi sebagai proses untuk menjaga
muatan listrik netral (electroneutrality).
15
10
C
(g/m
L)
0
360
30
60
Waktu
120
180
240
Gambar V.1 Kurva laju difusi piroksikam dari sediaan gel tanpa iontoforesis.-- FS (tanpa zat
peningkat penetrasi), -- F1 (etanol), --F2 (DMSO), -- F3 (etil asetat),-*- F4
(Tween 80)
14
12
10
C
(g/m
L)
0
360
30
60
120
180
240
Waktu
Gambar V.2 Kurva laju difusi piroksikam dari sediaan gel dengan dan tanpa iontoforesis. -FS (dengan iontoforesis), -- FS (tanpa iontoforesis)
Pengaruh kombinasi antara metode kimia (zat peningkat penetrasi) dan fisika (iontoforesis)
dalam laju difusinya dapat dilihat di gambar V.3 dan V.4. Penggunaan kombinasi teknik
iontoforesis dan zat peningkat penetrasi memberikan efek sinergis pada formula F1 dan F3
yang memberikan hasil difusi piroksikam lebih tinggi dibandingkan dengan metode zat
peningkat penetrasi atau iontoforesis secara tersendiri. Hal ini bisa terjadi dikarenakan tidak
adanya interaksi yang saling menghambat dalam mekanisme peningkatan laju permeasi dari
setiap metodenya. Mekanisme peningkatan penetrasi oleh etanol karena adanya peningkatan
kelarutan dari piroksikam sedangkan etil asetat melalui peningkatan fluiditas lipid dan
porositas stratum korneum, sehingga memudahkan ion piroksikam untuk berdifusi dengan
mekanisme elektromigrasi. Dalam penelitian sebelumnya, Srinivasan et al membuktikan
bahwa pengaruh etanol dan iontoforesis pada penghantaran transdermal leuprolide dapat
meningkatkan laju difusi beberapa kali lipat (Mitragotri, 2000).
16
14
12
10
C
(g/m
L)
0
360
30
60
120
180
240
Waktu
Gambar V.3 Kurva laju difusi piroksikam dari sediaan gel FS,F1,dan F3. -- FS (tanpa
iontoforesis), -- FS (dengan iontoforesis), -- F1 (tanpa iontoforesis), --F1
(dengan iontoforesis), -- F3 (tanpa iontoforesis),- - F3 (dengan iontoforesis)
14
12
10
C
(g/m
L)
0
360
30
60
120
180
240
Waktu
Gambar V.4 Kurva laju difusi piroksikam dari sediaan gel FS,F2,dan F4. -- FS (tanpa
iontoforesis), -- FS (dengan iontoforesis), -- F2 (tanpa iontoforesis), --F2
(dengan iontoforesis), -- F4 (tanpa iontoforesis),- - F4 (dengan iontoforesis)
Penggunaan iontoforesis pada formula F2 dan F4 tidak memberikan efek kombinasi sinergis
walaupun pada F4 selama 2 jam pertama terjadi peningkatan laju difusi tetapi pada 4 jam
selanjutnya metode iontoporesis dan zat peningkat penetrasi secara tersendiri memiliki laju
difusi yang lebih baik. Penggunaan Tween 80 dalam 2 jam pertama dapat merubah
permeabilitas stratum korneum karena terjadi asosiasi dari gugus-gugus hidrofil dan hidrofob
dengan struktur Brick dan Mortar stratum korneum. Akibatnya ditinjau dari segi perubahan
pori-pori kelenjar minyak dan keringat akan melebar, sehingga terjadi difusi lebih baik saat
dikombinasi dengan iontoforesis, akan tetapi Tween 80 yang merupakan surfaktan nonionik
(netral) juga mengalami proses elektroosmosis melewati kulit, sehingga jumlah Tween 80 di
dalam gel F4 semakin berkurang seiring dengan pengaruh terhadap pori-pori stratum
korneum. Untuk formula F2, DMSO inkompatibilitas terhadap zat pengoksidasi, sehingga
adanya Ag dapat bereaksi dengan DMSO dan menurunkan efektifitas peningkat penetrasi
ketika dikombinasikan dengan metode iontoforesis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
(Wearley et al) sebelumnya yang menyatakan penggunaan kombinasi DMSO tidak lebih baik
daripada iontoforesis secara tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Aiache J.M., Devissaquet J. 1993. Farmasetika 2- Biofarmasi. (diterjemahkan oleh Dr. Widji
Soeratri). Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. 441-464.
Al-Khalili M., Meidan V.M., Michniak B.B., 2003. Iontophoretic Transdermal Delivery of
Buspirone Hydroclhoride in Hairless Mouse Skin. AAPS PharmSci. 5(2) 14.
Babar, A. 1990. Piroxicam Release from Dermatological Bases : In-Vitro Studies Using
Cellulose Membrane and Hairless Mouse Skin. Drug De Ind Pharm 16(3). New
York : Marcel Dekker. 523-540.
Bounore F, Skiba M.L., Besnard M., Arnaud P., Mallet E., Skiba M., 2008. Effect of
Iontophoresis and Penetration Enhancer on Transdermal Absorption od
Metopimazine. J Dermatol Sci. 53:170-177
British Pharmacopoeia Commission. 2007. British Pharmacopoeia. Volume II. London : The
Stationery Office.
Darijanto, S.T., 1992, Uji Difusi Piroksikam dari Sediaan Gel melalui Membran yang
Diimpregnasi dengan Larutan Spangler secara In vitro, Tesis magister, Sekolah
Farmasi-ITB, Bandung, 1-5.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
683, 1168.
Dixit N., Bah V., Baboota S., Ahuja A., Ali J., 2007. Iontophoresis an Approach for
Controlled Drug Delivery: A Review, Curr Drug Dev, (4). Bentham Science
Publisher Ltd. 1-10.
Doliwa A, Santoyo S., Ygartua P., 2001. Effect of Passive and Iontophoretic Skin
Pretreatment with Terpenes on the In Vitro Skin Transport of Piroxicam. Int J
pharm. 229:37-44.
Fatonah, N.K., 2006, Pengaruh Zat Peningkat Penetrasi (Enhancer) Dimetil Sulfoksida
(Dmso) Terhadap Permeasi Perkutan Piroksikam Dalam Sediaan Gel., Skripsi
Sarjana, Fakultas Farmasi-Unpad, Bandung,
Gay C.L., Green P.G., Guy R.H., Francoeur M.L., 1992. Iontophoretic Delivery of Piroxicam
Acros The Skin In vitro. J Controlled Release. 22:57-68.
Guy R.H, Delgado-Charro M.B, 2001. Iontophoresis : Application in Drug Delivery and
Noninvasive Monitoring. STP Pharma Sciences, 11:403-414
Heather A.E., Benson., 2005. Transdermal Drug Delivery Techniques. Curr Drug Dev, 2:2333,
Kanikkannan N., Bonner M., Singh J., Roberts MS., 2008. Improving Therapeutic Outcomes
Using Physical Techniques, in : Dermatologic, Cosmeceutic, and Cosmetic
Development - Therapeutic and Novel Approaches.Walter,K,A., Roberts,M.S.,
USA: Informa Healthcare USA, Inc. 517-518.
Karande P., Jain A., Mitragotri S., 2008. Multicomponent Formulation of Chemical
Penetration Enhancer, in : Dermatologic, Cosmeceutic, and Cosmetic Development
- Therapeutic and Novel Approaches.Walter,K,A., Roberts,M.S., USA: Informa
Healthcare USA, Inc. 505
Marro D., Guy R.H., Delgaro-Charro M.B., 2000. Characterization of the Ionthophoretic
Permselectivity Properties of Human and Pig Skin. J Controlled Release. 70:213217.
Mitragotri S., 2000. Synergistic Effect of Enhancers for Transdermal Drug Delivery.
Pharmaceutical Research. 11:17.
Mudry B., Guy R.H., Delgado-Charro B., 2007. Chemical Permeation Enhancment, in :
Enhancement in Drug Delivery. Touitou E, Barry B.W., CSC Press. 233-248
Reynolds, J. E. F. 1993. Martindale, The Extra Pharmacopoeia 30(2). London : The
Pharmaceutical Press. 80-81, 1472-1474.
Rowe, R.C et al, 2003, Handbook of Pharmaceutical Excipient, 4th ed, Pharmaceutical Press,
Washington, DC. 219-221.
Shargel, L. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. (diterjemahkan oleh Fasich
dan Siti Sjamsiah). Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. 119.
Trommer H., Neubert R.H.H., 2006. Overcoming the Stratum Corneum : The Modulation of
Skin
Penetration.
Skin
Pharmacol
Physiol,
19:
106-121,
United States Pharmacopeial Convention. 1980. The United States Pharmacopeia XXII and
National Formulary XVII. Rockville : The United States Pharmacopeial Inc. 1938.
Williams A.C.W, Barry B.W., 2007. Chemical Permeation Enhancment, in : Enhancement in
Drug Delivery. Touitou E, Barry B.W., CSC Press. 233-248