HEPATITIS AKUT
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Dr. R Goeteng Taroenadibrata
Disusun Oleh:
Muhammad Syafiq Riski (09711034)
Dokter Pembimbing Klinik : Dr. H. Wuryanto. Sp.PD M.Sc
2014
UNIVERSITAS
ISLAM
STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
INDONESIA
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda
NIM
09711034
Tanggal Presentasi
Januari 2014
Rumah Sakit
RSUD Purbalingga
Gelombang Periode
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn NL
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 23 tahun
Alamat
: Grecol, Purbalingga
Pekerjaan
Agama
: Islam
No. CM
: 411166
Bangsal
: Menur, Kenanga
Tanggal masuk
: 24 Desember 2013
Tanggal diperiksa
: 24 Desember 2013
2
Tanda Tangan
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 24 Desember 2013
Keluhan Utama
: Demam
Pasien datang dengan keluhan demam sudah sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasa terus
menerus sepanjang hari dan menggigil. Pasien juga merasakan mual dan muntah berisi
cairan. Sempat berobat sebelumnya tetapi keluhan tidak berkurang. Selain itu terdapat
nyeri perut ulu hati dan sebelah kanan. Nyeri juga tidak hilang setelah diberi obat. Nafsu
makan menurun dan pasien merasakan badannya lemas. BAB normal, tetapi pasien
mengeluh BAK seperti air teh 3 hari hari semenjak demam muncul, tidak nyeri. Pasien
belum pernah sakit serupa sebelumnya.
Anamnesis Sistem :
Sistem saraf
Sistem kardiovaskuler
Sistem respirasi
Sistem digestive
Sistem Urogenital
Sistem integumentum
Sistem endokrin
:100/60 mmHg
Suhu tubuh
:37,9 C (axillar)
: 22 x/menit reguler
B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : cukup
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala Normocephal, simetris. Rambut Warna hitam, sukar dicabut dan
tidak mudah rontok. Dan tidak ada nyeri tekan
2. Pemeriksaan Mata
Edema Palpebra (-/-), konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (+/+) pada pupil
Refleks cahaya (+/+), isokor kanan dan kiri
3. Pemeriksaan Telinga
Bentuk telinga simetris, kelainan bentuk tidak ada, nyeri tekan (-/-), tidak ada
krepitasi dan tidak ada sekret : (-/-).
4. Pemeriksaan Hidung
Bentuk hidung Simetris, Discharge (-/-), tidak ada nafas cuping hidung (-/-) , tidak
ada Deviasi septum nasi(-), dan Deformitas
(-).
5. Pemeriksaan Mulut
Bentuk bibir simetris, Bibir tidak sianosis (-), Mukosa pipi anemis (-), Lidah kotor
(-), dan lidah tidak tremor (-).
6. Pemeriksaan Leher
5
Bentuk pada trakea tidak ada deviasi (-) kekanan maupun kekiri, Tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid dan KGB. Deviasi trakhea (-),
7. Pemeriksaan Dada
Thorax
a. Inspeksi : Bentuk dada normal dimana diameter lateral lebih besar dari pada
diameter anteroposterior, dada simetris, retraksi (-), pulsasi
epigasrium (-),
pulsasi parasternal(-),
b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba adanya massa atau benjolan,
fremitus taktil dan fremitus vokal (-/-) simetris dada kanan dan kiri
c. Perkusi : Terdengar bunyi sonor pada semua lapangan paru, Batas pinggang
jantung sela iga III garis parasternalis kanan, batas kanan jantung sela iga V garis
parasternalis kanan, batas kiri jantung sela iga V garis midklavikula kiri, batas
paru hati sela iga V garis midklavikula kanan, dan Peranjakan paru positif
d. Auskultasi : Suara dasar vesikuler bagian lapangan paru, tidak ada bunyi
tambahan, wheezing (-/-) ronki (-/-)
Jantung
a. Inspeksi :Iktus cordis tampak SIC V 1 jari medial Linea Mid Claviculare
Sinistra
b. Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 1 jari medial Linea mid claviculare
sinistra
c. Perkusi :Batas jantung, kanan atas SIC II Linea parasternalis dextra, kiri atas
SIC II Linea parasternalis sinistra, Kanan bawah SIC IV linea parasternalis
dekstra, Kiri bawah SIC V 1 jari medial linea mid claviculare sinistra.
d. Auskultasi : S1 > S2, regular murni, Gallop (-), murmur (-)
8. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi :cembung, simetris, tidak terlihat massa
b. Auskultasi :Bising usus (+) normal
c. Perkusi :bunyi Tympani pada seluruh quadran abdomen, undulasi (-)
d. Palpasi :nyeri tekan (+) , hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, tepi tajam,
9.
Ekstrimitas:
superior
inferior
Dex/sin
dex/sin
Clubbing figer
-/-
-/-
Sianosis
-/-
-/-
Oedem
-/-
-/-
:
:
:
:
:
:
:
:
12,6
4,5
39
4,6
150
85
28
32
Neutrofil
: 56
(50-70 103/uL)
()
Limfosit
: 28
(25-40 103/uL)
(N)
Monosit
: 11
(2-6 103/uL)
(N)
Eosinofil
:4
(1-2 103/uL)
(N)
Basofil
:0
(0-1 103/uL)
(N)
Kimia klinik
GDS
: 100.5
(100-150)
SGOT
: 59.0
(<=31)
SGPT
: 200.0
(<=32)
Sero imunologi :
Widal
S Typhi O
: Positif 1/80
Negatif
S Typhi H
: Positif 1/80
Negatif
Negatif
7
HbsAg
: Negatif
Negatif
USG : Hepatomegali
Planning terapi
Farmakologis
-
Injeksi Cefotaxim 2 x 1
Omeprazole 2x1
Metioson 3x1
Hepamax 2x1
Curcuma 3x1
Non Farmakologis
- Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
diderita pasien.
- Tirah baring.
- Perbanyak intake cairan.
- Edukasi mengenai kebersihan dan cuci tangan.
Pendahuluan
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun
yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain
dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis
dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh
karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati
(hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya
nekrosis pada sel-sel hati.
Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda
peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang
dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E
(VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus
hepatitis B dan C.
Infeksi virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia.
Hepatitis akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C, dapat
menyebabkan penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk jangka waktu yang cukup
panjang. Hepatitis kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien,
lebih lanjut dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan
kanker hati.
Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus sejak awal infeksi sangat penting
untuk mencegah berlanjutnya penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.
Akhir-akhir ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak yang berubah
dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan yang tepat.
ii.
2. Senyawa 2 karbon ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol.
Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
13
viii.
Fungsi hemodinamik
Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/
menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi
oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada
waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk
mempertahankan aliran darah.
2.0 Hepatitis Akut
Hepatitis akut merupakan infeksi sistemik yang mempengaruhi terutama hati. Hampir
semua kasus disebabkan oleh virus ini yaitu : hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B
(HBV), dan hepatitis virus C (HCV), virus hepatitis B berhubungan dengan virus hepatitis D
dan hepatitis E. Kecuali virus hepatitis B, merupakan virus DNA, walaupun memiliki
perbedaan pada jenis penyebab hepatitis ini, gejala yang timbul, angka kematian hampir
sama pada semuanya.
3.1 Hepatitis A
Hepatitis A merupakan virus RNA dari jenis hepatovirus dari picornavirus familiy.
Masa inkubasi berkisar 4 minggu, perkembangannya terbatas pada hepar saja, tetapi virus
dapat ditemukan di hepar, cairan empedu, feses dan darah pada masa inkubasi lanjut dan
masa sebelum badan menjadi kuning dan menimbulkan gejala (preikterik). Tetapi pada saat
keluhan timbul, virus akan berkurang secara bertahap di darah dan feses. Pemeriksaan
antibodi hepatitis A (anti-HAV) dapat dilakukan pada masa akut (dimana terjadi peningkatan
enzim hati dan virus masih ditemukan dalam feses). Antibodi yang pertama kali muncul
adalah IgM dan bertahan selama 6 12 bulan. Pada saat infeksi sudah mulai mereda, IgG
menjadi lebih dominan. Sehingga penegakkan diagnosa hepatitis A dilakukan dengan
pemeriksaan IgM pada masa akut. Hepatitis A ditransmisikan melalui rute fekal-oral,
penyebaran orang
perorang,
kepadatan penduduk. Penyebaran yang hebat terjadi akibat kontaminasi pada air minum,
makanan, susu dan buah-buahan. Penyebaran dapat terjadi pula dalam keluarga atau institusi.
Angka kejadian hepatitis ini cukup tinggi di negara berkembang tetapi berkurang sejalan
dengan kemajuan suatu negara, kemungkinan akibat meningkatknya kesadaran masyarakat
untuk hidup bersih dan sehat. Angka kejadian lebih sering pada masa anak-anak, tetapi
14
berdasarkan penelitian lain keluhan yang diakibatkan oleh infeksi virus ini lebih sering terjadi
pada masa remaja. Tempat-tempat yang biasa tinggi angka hepatitis A yaitu tempat penitipan
anak, perawatan intensive neonatus, homoseksual dan pengguna obat-obat terlarang.
Walaupun jarang tetapi penyebaran hepatitis A dapat melalui tranfusi darah dan komponen
darah.
3.2 Hepatitis B
Hepatitis B merupakan virus DNA, memiliki famili yang hampir sama pada virus
binatang yaitu hepadnavirus. Virus hepatitis ini memiliki protein permukaan yang dikenal
sebagai hepatitis B surface antigen (HbsAg). Konsentrasi HbsAg ini dapat mencapai
500g/mL darah 109 partikel per milimeter persegi. Dari HbsAg ini dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis bergantung kepada jenis gen didalamnya, dan di setiap geografis memiliki
dominasi gen yang berbeda-beda. Asia di dominasi oleh genotip B dan C. Kemampuan
infeksi, produksi, perusakan hati bergantung pada jenis genotip ini. Genotip B berhubungan
dengan progresifitas yang hebat dari kerusakan hati, dengan gejala yang timbul sering
terlambat, dan berhubungan dengan timbulnya kanker hati. Dari pemeriksaan lain ditemukan
bahwa hepatitis B memiliki antibodi HbeAg di dalam inti selnya, sehigga apabila pasien
dengan HbsAg positif disertai dengan HbeAg positif memiliki kemampuan infeksi dan
menularkan melalui darah (tranfusi darah , ibu-bayi yang dikandung) lebih dari 90%. Dalam
perjalanan penyakit hepatitis B HbeAg akan menurun sejalan dengan perbaikan dari penyakit
tersebut, tetapi apabila dalam 3 bulan tetap positif berarti terjadi suatu infeksi kronis yang
dapat menuju ke arah keganasan.
Penderita dengan HBV akan memiliki kadar HbsAg dalam serum yang meningkat
sejalan dengan perjalanan penyakit, dan akan menurun setelah 1 2 bulan dari akhir gejala,
dan hilang dalam 6 bulan. Setelah HbsAg menghilang akan timbul antibodinya (anti-HBs)
yang akan bertahan dalam tubuh selamanya yang berfungsi untuk mencegah infeksi hepatitis
B kembali. Antibodi lain yang dihasilkan tubuh akibat infeksi hepatitis B adalah anti-HBc,
memiliki fungsi yang sama dengan antibodi hepatitis lainnya tetapi apabila ditemukan dalam
pemeriksaan tidak memberikan makna yang cukup kuat adanya infeksi virus hepatitis. Pada
proses infeksi akut hepatitis B akan timbul juga immunoglobulin yaitu IgM anti-HBc dalam
serum, dan apabila terjadi infeksi kronis akan timbul IgG anti-HBc. Pada penderita hepatitis
B, 1 5% memiliki angka HbsAg yang rendah untuk dapat terukur, sehingga pemeriksaan
15
IgM anti-HBc dapat digunakan. Pemeriksaan serum HbeAg dapat memperkirakan tingkat
replikasi dan virulensi virus hepatitis B. Infeksi hepatitis B dapat terjadi di luar hati yaitu
pada kelenjar getah bening, sumsum tulang, sel-sel limfosit, limpa dan pankreas.
Kepentingan kondisi ini adalah bahwa tubuh memiliki cadangan hepatitis B walaupun
penderita sudah dilakukan transplantasi jantung. Pada awalnya Hepatitis B diperkirakan
penyebaran melalui produk darah, tetapi setelah dilakukan berbagai penelitian, penyebaran
darah tidak terlalu efektif, penyebaran
hubungan seksual dan ibu-bayi yang dikandungnya. Kondisi ini yang menyebabkan tingginya
angka hepatitis B di sub-Sahara Afrika. Resiko tinggi menderita infeksi ini adalah petugas
kesehatan, penderita yang membutuhkan tranfusi berulang (hemofilia), napi, dan keluarga
dari penderita hepatitis ini.
3.3 Hepatitis D
Virus hepatitis delta atau HDV, merupakan virus RNA yang memiliki sifat infeksi
tambahan dan membutuhkan bantuan dari virus hepatitis B (HBV) untuk melakukan replikasi
dan ekspresi. Hepatitis D dapat terinfeksi bersamaan dengan hepatitis B atau pada pasien
yang sebelumnya sudah terinfeksi hepatitis B. Pada infeksi akut, akan terdapat peningkatan
IgM anti-HDV dan akan hilang dalam 30 40 hari. Pada penderita dengan infeksi kronis
HDV, akan terdapat peningkatan titer dari IgM dan IgG anti-HDV. Penyebaran infeksi
hepatitis D sudah mendunia, dan memiliki dua jenis bentukan epidemologi. Di daerah
mediteranian (Afrika, Eropa selatan, Timur), HDV endemik pada penderita hepatitis B,
penyebarannya terutama akibat kontak erat antar orang. Di daerah yang tidak endemik
hepatitis B penyebaran hepatitis D melalui tranfusi darah dan produknya, terutama penderita
hemofilia dan para pengguna obat-obatan terlarang.
3.4 Hepatitis C
Hepatitis C virus merupakan RNA virus yang merupakan genus Hepacivirius dari
famili Flaviridae. Pada saat terjadi infeksi, paling mudah diketahui dengan pemeriksaan
secara genetik melihat adanya HCV RNA. HCV RNA dapat diketahui beberapa hari setelah
terjadi infeksi sebelum timbul anti-HCV dan berlangsung selama infeksi masih terjadi.
Penyebaran hepatitis C yang utama adalah darah. Penggunaan skreening hepatits B pada
donor darah mengurangi penyebaran hepatitis ini dibandingkan tahun 1980-an, tetapi dengan
ditemukannya pemeriksaan HCV RNA semakin menurunkan angka penyebarannya. Jalan
16
lain yang memungkinkan adalah melalui jarum suntik diantara pengguna obat-obatan,
hubungan seksual, ibu-bayi yang dikandung. Penelitian lain menyebutkan bahwa penyebaran
terjadi pada pelaku seksual yang berganti-ganti pasangan, tetapi tidak dengan pasangan tetap.
Infeksi ini tidak menyebar melalui susu ibu. Diantara populasi umum, petugas kesehatan
memiliki angka insidensi yang tinggi, kemungkinan disebabkan kecelakaan kerja.
Kelompok lain yang memiliki insidensi tinggi adalah penderita dengan hemodialisis teratur,
transplantasi organ, dan yang membutuhkan tranfusi dalam terapi kemoterapi untuk kanker.
3.5 Hepatitis E
Merupakan hepatitis yang di transmisikan dan terjadi terutama di India, Asia, Afrika
dan pertengahan Amerika. Virus ini dapat ditemukan di kotoran, cairan empedu dan hati,
dieksreksikan melalui kotoran manusia pada masa inkubasi. Respon imun baik IgM antiHEV dan IgG anti-HEV dapat di ketahui segera setelah terjadi infeksi, dan akan mengalami
penurunan dalam 9 12 bulan. Hepatitis ini menyebar di India, Asia, Afrika dan Amerika
tengah. Memiliki penyebaran yang sama dengan hepatitis A yaitu melalui oral-fekal. Kasus
yang paling sering terjadi apabila sudah didapatkan kontaminasi pada persediaan air minum
setelah terjadi banjir. Angka kejadian tinggi pada muda dewasa, dan mereka yang memiliki
gangguan kekebalan tubuh.
17
18
19
Ikterus prahepatik
Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis sel
darah merah (ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati untuk mengadakan konjugasi terbatas
apalagi bila disertai oleh adanya disfungsi sel hati, akibatnya bilirubin indirek akan
meningkat, dalam batas tertentu bilirubin direk juga meningkat dan akan segera diekskresikan
ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan peninggian kadar urobilinogen di
dalam tinja.
Peningkatan pembentukan Bilirubin dapat disebabkan oleh :
1. Kelainan pada sel darah merah
2. Infeksi seperti malaria, sepsis dan lain-lain
3. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang berasal dari dalam
tubuh seperti yang terjadi pada reaksi tranfusi dan eritroblastosis fetalis.
II.
20
Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi larut
dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami regurgitasi kembali ke
dalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan
diekskresikan sehingga kita menemukan bilirubin dalam urin. Pengeluaran bilirubin kedalam
saluran pencernaan berkurang, sehingga akibatnya tinja akan berwarna dempul karena tidak
mengandung sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan dalam air kemih akan menurun.
Akibatnya penimbunan biliruin direk, maka kulitdan sklera akan berwarna kuning kehijauan.
Kulit akan terasa gatal, penyumbatan empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intrahepatik bila
penyumbatan terjadi antara sel hati dan duktus kholedous dan ekstra hepatik bila sumbatan
terjadi di dalam duktus koledokus.
III.
Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehingga bilirubin direk
akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam hati
sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian akan
menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam darah. Bilirubin direk ini larut
dalam air sehingga mudah diekskresikan oleh ginjal ke dalam air kemih. Adanya sumbatan
intrahepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang
kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun.
Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan :
1. Hepatitis oleh virus, bakteri, parasit
2. Sirosis hepatitis
3. Tumor
4. Bahan kimia seperti fosfor, arsen
5. Penyakit lain seperti hemokromatasis, hipertiroidi dan penyakit nieman pick
21
ini tidak berhubungan jumlah kerusakan dari sel hati. Puncak peningkatan bervariasi antara
400 4000 IU, dan biasanya terjadi pada saat timbul gejala kuning, dan menurun sejalan
dengan perbaikan penyakit. Kuning yang terlihat pada kulit atau bagian putih mata apabila
kadar bilirubin lebih dari 2,5 mg/dL. Kadar bilirubin sendiri sebenarnya terdiri atas
penjumlahan bilirubin direk dan indirek. Kadar bilirubin > 20 mg/dL merupakan petanda
adanya infeksi hepar yang berat. Pada pasien dengan gangguan komponen darah, terjadi
pemecahan sel darah yang hebat sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin > 30 mg/dL,
tetapi hal ini tidak berhubungan dengan prognosis yang buruk. Peningkatan kadar gamma
globulin biasa terjadi pada infeksi akut hepatitis. Serum IgG dan IgM terjadi peningkatan
pada sepertiga pasien dengan infeksi ini. Tetapi peningkatan IgM merupakan karakteristik
dari fase akut hepatitis A.
Diagnosis hepatitis B ditegakkan melalui pemeriksaan HbsAg, tetapi terkadang
kadarnya terlalu rendah untuk dapat dideteksi sehingga memerlukan pemeriksaan IgM antiHBc. Kadar HbsAg tidak berhubungan dengan berat dari penyakit., bahkan terdapat tendensi
terdapat hubungan terbalik antara kadar HbsAg dan kerusakan hati. Pertanda lain yang
penting untuk infeksi hepatitis B ini adalah HbeAg. Pemeriksaan yang lebih baik lagi adalah
HBV DNA yang merupakan indikasi adanya replikasi hepatitis B. Marker ini penting untuk
follow up penderita dengan hepatitis B dengan terapi kemoterapi antivirus (interferon atau
lamivudine). Terdapat hubungan antara peningkatan titer ini dengan derajat kerusakan hati.
Diagnosis hepatitis C melalui pemeriksaan anti-HCV pad a saat fase akut, tetapi akan
menghilang bersamaan dengan penyembuhan infeksi ini. Diangosis hepatitis D melalui
pemeriksaan
pemeriksaan ini sering sangat cepat, karena kada anti-HDV ini akan hilang bersamaan dengan
menurunnya kadar HbsAg. Pemeriksaan lain yang mendukung adalah adanya HDV RNA.
Biopsi hati jarang diperlukan atau di indikasikan pada infeksi virus hepatitis, kecuali
apabila dicurigai adanya proses kronis.
22
23
3.8 Terapi
Infeksi virus hepatitis A akan mengalami penyembuhan sendiri apabila tubuh cukup
kuat. Sehingga pengobatan hanya untuk mengurangi keluhan yang ada, disertai pemberian
vitamin dan istirahat yang cukup. Infeksi virus hepatitis B pada dewasa sehat 99% akan
mengalami perbaikan. Tetapi apabila infeksi berlanjut dan menjadi kronis pemberian analog
nukleosida (lamivudin) dapat memberikan hasil yang baik. Infeksi virus hepatitis C jarang
mengalami penyembuhan spontan, sehingga diperlukan pemberian antivirus dengan interferon monoterapi memberikan hasil yang baik hingga 70%. Perawatan di rumah sakit
atau dengan isolasi diperlukan apabila penderita mengalami komplikasi dari hepatitis ini.
3.8.1
Rekomendasi Umum
Pasien dapat rawat jalan selama terjamin hidrasi dan intake kalori yang cukup.
Tirah baring tidak lagi disarankan.
Tidak ada diet yang spesifik atau suplemen yang memberikan hasil efektif.
Protein dibatasi hanya pada pasien yang mengalami ensefalopati hepatik.
Selama fase rekonvalesen diet tinggi protein dibutuhkan untuk proses penyembuhan.
Alkohol harus dihindari dan pemakaian obat-obatan diatasi.
Obat yang dimetabolisme di hati harus dihindari.
Pasien diperiksa setiap minggu selama fase awal penyakit dan terus dievaluasi sampai
sembuh.
Harus terus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti keadaan somnolen,
mengantuk, dan asteriks.
Pasien yang menunjukkan gejala hepatitis fulminan harus segera dikirim ke pusat
transplantasi.
Pasien dengan hepatitis akut tidak memerlukan rawatan isolasi.
25
Orang yang merawat pasien hepatitis akut A dan E harus selalu mencuci tangannya
dengan sabun dan air.
Masa protombin serum petanda yang baik untuk menilai dekompensasi hati.
Memonitor konsentrasi transminase serum
Anti mual muntah dapat membantu menghilangkan keluhan.
Orang yang kontak erat dengan pasien hepatitis B akut seharusnya menerima vaksin
hepatitis B.
3.9 Prognosis
Secara keseluruhan hampir seluruh pasien yang pada awalnya sehat dan terinfeksi
hepatitis A akan mengalami penyembuhan secara penuh tanpa adanya efek samping. Hampir
sama pada hepatitis B, 95 99% pasien akan mengalami penyembuhan secara penuh.
Penderita dengan penyakit pemberat sebelumnya, usia lanjut lebih cenderung akan
mengalami hepatitis yang berat. Gejala tambahan yang dapat timbul berupa cairan berlebih
pada rongga perut (asites), bengkak anggota gerak, dan kerusakan otak, dan ini prognosis
tidak akan terlalu baik. Beberapa petanda yang dapat menunjukkan adanya kerusakan hati
yang berat adalalah rendahnya kadar serum albumin, hipoglikemia dan tingginya kadar
bilirubin. Penderita-penderita ini memerlukan perawatan rumah sakit. Angka kematian
hepatitis A dan B berkisar 0,1% tetapi meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Hepatitis
C memiliki angka kematian yang lebih rendah lagi. Pada kasus infeksi yang luas hepatitis E
(India) angka kematian hanya mencapai angka 1 2 % saja. Angka kematian tinggi pada
penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh mencapai angka 5%.
3.10 Komplikasi dan Efek Samping
Beberapa penderita hepatitis A mengalami hepatitis berulang beberapa bulan setelah
sembuh dari hepatitis sebelumnya. Kejadian berulang ini ditandai dengan timbulnya kembali
gejala, peningkatan enzim-enzim hati, badan menjadi kuning, terdapatnya virus hepatitis A
didalam feses. Variasi lain yang jarang dialami adalah hambatan aliran dari cairan emepdu,
ditandai dengan badan bertambah kuning (kuning pekat) disertai kulit menjadi gatal.
Hepatitis A merupakan penyakit yang akan sembuh sendiri dan jarang menjadi kronis.
26
Pada masa awal infeksi virus hepatitis B, akan didapatkan tanda-tanda peradangan biasa
seperti nyeri sendi, gatal-gatal, pembengkakan pembuluh darah, dan terkadang dapat terjadi
bak berdarah dan bak mengeluarkan protein (5 10%). Gejala ini timbul sebelum timbul
keluhan badan menjadi kuning. Gejala-gejala ini sering membuat salah diagnosa menjadi
penyakit rematoid. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah fulminant hepatitis (kerusakan
hati yang hebat), kondisi ini jarang, tetapi paling sering ditemukan pada penderita dengan
hepatitis B, D dan E. Hepatitis B paling sering mengalami komplikasi ini karena sifatnya
yang sering menjadi kronis dan diperberat dengan infeksi hepatitis D. Gejala yang timbul
berupa gangguan kesadaran hingga koma. Hati menjadi kecil dan terjadi kegagalan fungsi
pembekuan darah. Gejala lain yang timbul berupa bingung, disorientasi, kontak tidak
adekuat, perut menjadi kembung karena volume air yang besar didalam rongga perut (asites)
dan pembengkakan anggota gerak. Didapatkan peningkatan bilrubin yang tinggi, dan
kegagalan sistem pembekuan darah akan menyebabkan perdarahan dari saluran cerna yang
ditandai oleh bab berwarna hitam atau darah dan muntah berwarna hitam. Gejala yang lebih
berat adalah penekanan batang otak akibat pembengkakan otak, gagal nafas, gagal fungsi
jantung, gagal ginjal dan berakhir pada kematian. Angka kematian mencapai 80%, sehingga
salah satu terapi adalah transplantasi hati.
setelah infeksi hepatitis. Penderita hepatitis C, menjadi kronis sebanyak 85 90% kasus.
Walaupun sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala yang berat tetapi 20%
mengalami sirosis (pembatuan) hati dalam 10 20 tahun setelah infeksi pertama. Kematian
terjadi setelah 20 tahun, sehingga salah satu pilihan terapi adalah transplantasi ginjal.
3.11 Pencegahan
Hepatitis A
Pemberian immunoglobulin atau virus yang dilemahkan dapat mencegah terjadinya
infeksi ini. Pemberian dapat diberikan efektif dari sejak pasien terpapar virus sampai 2
minggu setelahnya. Pemberian vaksin ini dianjurkan pada anak dengan resiko tinggi.
Profilaksis ini tidak diperlukan pada penderita dewasa yang sering kontak (kantor, pabrik,
sekolah dan rumah sakit) yang biasanya sudah memiliki imunitas. Pemberian ini dapat
diberikan pula pada tentara, petugas kesehatan, pemelihara primata, pekerja laboratorium,
dan mereka yang akan berpergian ke daerah yang sedang mengalami endemi hepatitis ini.
Hepatitis B
Pemberian dapat berupa immunoglobulin atau komponen virus. Profilaktik untuk
preexposure hepatitis B diberikan pada tenaga kesehatan, pasien hemodialisis, petugas
pengembangan orang-orang cacat, pengguna obat-obatan terlarang, pelaku seks bebas,
penderita yang membutuhkan tranfusi berulang, ibu yang hamil. Pemberian vaksin dapat
diberikan juga setelah terpapar dari hepatitis B tetapi pemberian berupa rekombinasi vaksin.
Pemberian vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi hepatitis D, selain itu tidak ada sediaan
vaksin untuk hepatitis D.
Hepatitis C
28
Tidak ada vaksin yang efektif untuk mencegah terjadinya infeksi hepatitis C, sehingga
pencegahannya adalah dengan menjaga keamanan darah pada proses donor dan tranfusi
darah, dan perubahan pola gaya hidup.
3.12 Pengobatan Hepatitis Kronik
Hepatitis B
Tujuan pengobatan pada hepatitis kronik karena infeksi VHB adalah menekan
replikasi VHB sebelum terjadi kerusakan hati yang ireversibel. Saat ini, hanya interferon-alfa
(IFN-) dan nukleosida analog yang mempunyai bukti cukup banyak untuk keberhasilan
terapi. Respon pengobatan ditandai dengan menetapnya perubahan dari HBeAg positif
menjadi HBeAg negatif dengan atau tanpa adanya anti-HBe. Hal ini disertai dengan tidak
terdeteksinya DNA-VHB (dengan metode non-amplifikasi) dan perbaikan penyakit hati
(normalisasi nilai ALT dan perbaikan gambaran histopatologi apabila dilakukan biopsi hati).
Umumnya pengobatan hepatitis B dibedakan antara pasien dengan HBeAg positif dengan
pasien dengan HBeAg negatif karena berbeda dalam respon terhadap terapi dan manajemen
pasien. Pengobatan antivirus hanya diindikasikan pada kasus-kasus dengan peningkatan ALT.
Interferon mempunyai efek antivirus, antiproliferasi dan immunomodulator. Cara
kerja interferon dalam pengobatan hepatitis belum diketahui dengan pasti. Pada pasien
dengan HbeAg positif, pemberian IFN- 3 juta unit, 3 kali seminggu selama 6-12 bulan dapat
memberi keberhasilan terapi (hilangnya HBeAg yang menetap) pada 30 40 % pasien.
Pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi dengan melihat perubahan HBeAg tidak bisa
digunakan. Untuk pasien dalam kelompok ini, respon terapi ditandai dengan tidak
terdeteksinya DNA-VHB (dengan metode non-amplifikasi) dan normalisasi ALT yang
menetap setelah terapi dihentikan. Respon menetap dapat dicapai pada 15 25% pasien.
Penggunaan interferon juga dapat menghilangkan HBsAg pada 7.8% pada pasien dengan
HBeAg positif dan 2 8% pada pasien dengan HBeAg negatif. Hilangnya HBsAg tidak
tercapai pada penggunaan lamivudin. Penggunaan pegylated-interferon alfa 2a selama 48
minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan HBe-Ag negatif setelah 24 minggu follow-up
59 % pasien menunjukkan transaminase normal dan 43 % dengan DNA VHB yang rendah (<
20.000 copy/mL) dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan lamivudine saja (44 %
dengan transaminase normal dan 29 % dengan DNA VHB rendah).
Lamivudin lebih kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan inteferon
dan dapat digunakan per oral sehingga lebih praktis untuk pasien. Lamivudin digunakan
29
dengan dosis 100 mg per hari, minimal selama 1 tahun. Kebehasilan terapi dengan
menghilangnya HbeAg dicapai 16-18% pasien. Angka keberhasilan terapi dapat lebih besar
bila jangka waktu pengobatan ditambahkan namun bersamaan dengan itu, timbulnya VHB
mutan juga menjadi lebih besar yang dapat menghambat keberhasilan terapi. Studi jangka
panjang penggunaan lamivudin menunjukkan obat ini dapat menurunkan angka kejadian
komplikasi akibat hepatitis kronik berat atau sirosis. Studi semacam ini belum ada pada
interferon walaupun angka keberhasilan serokonversi lebih besar dari pada lamivudin.
Nukleosida analog lain seperti adefovir memberikan angka keberhasil terapi yang lebih
kurang sama dengan lamivudin tetapi kurang menimbulkan mutan sehingga dapat digunakan
apabila ditakutkan akan timbulnya virus mutan atau apabila pada penggunaan lamivudin
sudah timbul virus mutan. Entecavir memberikan angka keberhasilan serokonversi yang
hampir sama dengan lamivudin.
Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C kronik pada dasarnya adalah dengan menggunakan inteferon
dan ribavirin. Inteferon monoterapi saja tidak dianjurkan karena relatif rendahnya angka
keberhasilan terapi. Keputusan pemberian interferon harus didasari dengan adanya
peningkatan ALT dan RNA VHC yang positif dalam serum. Konsensus penanganan hepatitis
C di Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada
pasien hepatitis C kronik bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis yang signifikan tidak bisa
diketahui tanpa dilakukan biopsi. Fibrosis pada pasien hepatitis C kronik sangat menentukan
terjadinya sirosis hati dan komplikasi penyakit hati lanjut.
Keberhasilan terapi dengan interferon akan lebih baik pada mereka yang terinfeksi
VHC dengan genotip 2 dan 3 dibandingkan dengan genotip 1 dan 4. Lama terapi juga
berpengaruh dimana pemberian inteferon dan ribavirin selama 48 minggu, akan
menghasilkan angka keberhasilanterapi yang lebih baik dari pada 24 minggu. Fried MWet al,
membandingkan pemberian interferon (IFN) alfa-2b dan ribavirin dengan pegylated
interferon (peg-IFN) alfa-2a (40KD) dan pegylated interferon (peg-IFN) alfa-2b (40KD) plus
ribavirin pada suatu multicentered clinical trial. Mereka mendapatkan keberhasilan terapi
yang menetap (sustain response) pada 56 % pasien yang diberikan peg-IFN alfa2-b +
ribavirin dibandingkan dengan 44 % pada pasien yang mendapat terapi standar IFN-alfa 2b +
ribavirin dan 29 % pada pasien yang mendapat peg-IFN alfa 2a saja.
30
3.13 Kesimpulan
Pengobatan hepatitis akut dan kronik pada dewasa, mengalami perubahan dan
kemajuan yang pesat sehingga harus senantiasa dicermati perubahannya agar dapat memberi
pelayanan yang terbaik pada pasien dengan hepatitis kronik.
4.0 Daftar pustaka :
1. Sulaiman A, Budihusodo U, Noer HMS. Infeksi Hepatitis C virus pada donor darah
dan penyakit had di Indonesia, Simposium Hepatitis C, Surabaya, Desember, 1990.
31
2. Field HA, Maynard JE. Srodiagnosis of acute viral hepatitis. AHO/83.16. 1983.
3. Ali Sulaiman. Epidemiologi infeksi virus hepatitis B di Indonesia. Majalah
Kedokteran Indonesia.1989; 39 (11) : 652-63.
4. Soewignyo, Mulyanto. Epidemiologi Infeksi Hepatitis Virus B di Indonesia. Acta
Medica Indon 1984; 15 : 21528.
5. A.Sanityoso. Hepatitis Virus Akut. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. 427-442.
32