Anda di halaman 1dari 26

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

(PHILOSOPICAL ROOTS OF EDUCATION)


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pedagogik
yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifai, M. Pd.

Oleh:
Siti Kustini (1402505)
Ani Fiani (1402263)

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris


Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
2015

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Landasan Filsafat dan Teori Pendidikan. Kami berterima
kasih kepada Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifai, M. Pd. selaku dosen mata
kuliah Landasan Pedagogik yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Secara garis besar, karya ilmiah ini memaparkan lima landasan filsafat
pendidikan yang meliputi idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme dan
postmodernisme; serta empat teori pendidikan yaitu esensialisme, perenialisme,
progresivisme dan teori kritis. Besar harapan kami, karya ilmiah ini akan
memberikan kontribusi kerangka konseptual tentang landasan filsafat dan teori
pendidikan terhadap para pendidik dan calon pendidik sehingga mereka dapat
mengembangkan dan mengkonstruksi filsafat pendidikan mereka sendiri.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi
pembaca. Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna sehingga
kami

sangat

mengharapkan kritik dan saran yang

penyempurnaan makalah ini.

membangun

demi

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
BAB I.............................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................1
A.

Latar Belakang.......................................................................1

B.

Sistematika Laporan................................................................1

BAB II............................................................................................2
KAJIAN TEORI................................................................................2
A.

Landasan Filsafat Pendidikan.....................................................2


1.

Idealisme...........................................................................2

2.

Realisme...........................................................................4

3.

Pragmatisme (experimentalisme).............................................5

4.

Eksistensialisme..................................................................6

B.

Teori-Teori Pendidikan.............................................................7
1.

Esensialisme.......................................................................8

2.

Perenialisme.......................................................................9

3.

Progresivisme...................................................................10

4.

Teori Kritis.......................................................................11

BAB III.........................................................................................14
PEMBAHASAN..............................................................................14
A. Filsafat Pendidikan di Indonesia....................................................14
B. Perbandingan Filsafat dan Teori Pendidkan di Amerika Serikat dan Indonesia
.................................................................................................17
BAB IV.........................................................................................19
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI..................................19
A.

Simpulan............................................................................19

B.

Implikasi............................................................................19

C.

Rekomendasi.......................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah
Landasan Pedagogik yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifai, M.
Pd. yang berlangsung pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Mata kuliah
Landasan Pedagogik ini merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh oleh
seluruh mahasiswa pasca sarjana baik jenjang magister (S2) maupun jenjang
doktor (S3) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berdasarkan pertimbangan
kebermanfaatan dari mata kuliah ini. Mata kuliah ini memberikan bekal ilmu
pengetahuan

dan

pemahaman

tentang

perspektif

pedagogik

terhadap

permasalahan pendidikan baik yang bersifat filosofis, ilmiah maupun praksis


pendidikan di lapangan. Dengan ketiadaan mata kuliah ini, para pendidik dan
calon pendidik diragukan akan mampu memiliki keterampilan olah pikir, olah
rasa, olah raga dan olah karsa yang secara akomodatif mampu mengambil
keputusan-keputusan pemikiran dan praktek pendidikan dalam perspektif
antropologis praktis dan normatif yang berlandaskan pandangan religius, filsafah,
ilmiah, yuridis, kontesktual dan situasional.
Penugasan pembuatan makalah ini secara umum bertujuan untuk melatih
mahasiswa menyusun laporan karya ilmiah yang sesuai dengan buku pedoman
penulisan karya ilmiah dan secara khusus membantu memberikan pemahaman
terhadap konsep landasan pendidikan terutama pembahasan tentang landasan
sejarah dan filosofi pendidikan yang nantinya diharapkan akan mampu
menganalisis dan mengkomparasi pengetahuan tersebut dengan konteks yang ada
di Indonesia.
B. Sistematika Laporan
Laporan ini secara sistematis akan membahas tentang Landasan Filsafat
Pendidikan (Chapter 6: Philosophical Roots of

Education) yang merupakan

bagian dari pembahasan Landasan Sejarah dan Filosofi Pendidikan (Part Two:

Historical and Philosophical Foundations) yang disajikan dalam buku


Foundations of Education (Ornstein, Levine, Gutek: 2011, hal. 165-202).
Laporan ini terbagi dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang
memberikan informasi tentang status tugas dan tujuan penugasan. Bab II akan
membahas secara singkat tentang landasan filsafat pendidikan yang mencakup
lima landasan filsafat pendidikan yaitu idealisme, realisme, pragmatisme,
eksistensialisme, dan postmodernime; dan empat teori pendidikan yaitu
esensialisme, perenialisme, progresivisme dan teori kritis. Bab III akan memuat
perbandingan antara filsafat dan teori pendidikan yang digunakan di Amerika dan
filasafat dan teori pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Bab IV merupakan
bab kesimpulan dari seluruh pembahasan dan implikasi serta rekomendasi yang
akan diberikan oleh penyusun berkaitan dengan landasan filsafat dan teori
pendidikan dalam praktek kependidikan.

BAB II
KAJIAN TEORI
Bab ini akan memaparkan kerangka konseptual landasan filosofis dan teoritis
dalam ranah kependidikan yang diterapkan di Amerika Serikat. Landasan filsafat
pendidikan yang akan dibahas mencakup lima landasan yaitu idealisme, realisme,
pragmatisme, esensialisme, dan postmodernisme, sedangkan teori pendidikan
yang dikaji mencakup esensialisme, perenialisme, progresivisme dan teori kritis.
A. Landasan Filsafat Pendidikan
Bagian bab ini akan membicarakan lima landasan filsafat pendidikan yang
secara umum digunakan sebagai kerangka konseptual yang dibutuhkan oleh para
pendidik

yaitu

idealisme,

realisme,

pragmatisme,

eksistensialisme

dan

postmodernisme. Lima landasan filosofi pendidikan ini membahas empat kajian


pokok yakni metafisika (hakikat sesuatu), epistemologi (pengetahuan), aksiologi
(nilai) dan logika (cara berfikir) serta implikasinya terhadap dunia pendidikan.
Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan secara sistematis dan
komprehensif tentang lima landasan filsafat pendidikan, yaitu:
1. Idealisme
Idealisme merupakan salah satu filsafat barat yang tertua, dimulai oleh Plato
yang mengajarkan filsafatnya di Yunani. Pada abad ke-19, Goerg W.F. Hegel
(1770-1831) seorang berkebangsaan Jerman, mengajarkan filsafat sejarah
manusia. Selain itu di Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dan
Henry David Thoreau (1817-1862) mengembangkan idealisme versi Amerika
yang disebut trancendentalism menemukan kebenaran di alam serta Friedrich
Froebel yang mengembangkan TK (taman kanak-kanak).
Kaum idealisme meyakini bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah
spiritual dan rohaniah (non materi). Seperti contoh, dunia merupakan ciptaan/hasil
suatu pemikiran universal, fikiran mutlak yang berasal dari Tuhan seperti
kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang sama dimanapun didunia ini. Kaum ini

memandang pengetahuan sebagai pemanggilan kembali ide-ide yang sudah ada


dalam fikiran manusia (a priori ideas) melalui berpikir. Oleh karena itu,
kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari
pandangan tentang kenyataan atau metafisika. Serta logika berfikirnya
menggunakan logika deduktif.
Implikasi idealisme terhadap pendidik secara umum terlihat jelas dalam dua
aspek seperti kurikulum dan metode pendidikan. Pada kurikulum, pengembangan
kemampuan berpikir melalui pendidikan umum (liberal arts) dan pendidikan
praktis. Serta pada aspek metode pendidikan, metode yang disusun adalah metode
Socratis pendidik merangsang kesadaran ide peserta didik dengan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan penyelidikan. Serta pendidik dituntut untuk memiliki
ekspektasi intelektual yang tinggi terhadap siswa dan menuntut peserta didik
untuk berjuang dan berusaha keras untuk mencapai intelektual tersebut.
2. Realisme
Realisme dikembangkan oleh Aristotle (384-322 SM), seorang filosof Yunani
yang menegaskan bahwa realita itu bersifat objektif atau diluar fikiran manusia.
Pada abad pertengahan, paham ini dikembangkan oleh Thomas Aquinas (12241274) yang menyatakan bahwa realita tidak bergantung pada pengetahuan
manusia atau tidak dibuat oleh manusia tetapi manusia dapat mengetahuinya
melalui metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara terbaik untuk memperoleh
deskripsi yang akurat tentang apa itu dunia dan bagaimana dunia ini bekerja.
Kaum realis meyakini bahwa dunia materi bersifat independen dan tidak
terikat dalam fikiran manusia. Berdasarkan pandangan filsafat ini, pengetahuan
meliputi dua langkah: sensasi dan abstraksi. Pertama, sensasi melihat suatu benda
dan menyimpannya dalam fikiran serta memilah seperti warna, ukuran, berat, bau
dan suara. Hal ini berkaitan dengan kualiatas suatu objek. Kedua, abstraksi
meringkas suatu konsep dan mengenalinya seperti memiliki suatu kelas tertentu.
Dengan

kata lain, pengetahuan dapat diperoleh melalui pengindraan atau

kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya


dengan fakta. Nilai bersifat absolut dan hakiki berdasarkan hukum alam universal
atau tingkah laku mansuia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui

ilmu. Serta logika berpikir yang digunakan adalah logika berpikir deduktif dan
induktif.
Implikasi realisme pada perspektif pendidik terlihat pada kurikulum yang
menekankan disiplin ilmiah dan humanis, ruang kelas merupakan tempat belajar
bukan terapi. Selain itu, para pendidik mengajarkan keterampilan (membaca,
menulis) dan ilmu pengetahuan dasar (seperti sejarah, matematika, ilmu
pengetahuan alam) yang berdasarkan pengetahuan para ahli sehingga jelas bahwa
mereka fokus pada pembelajaran kognitif dan penguasaan isi (mata pelajaran).
3. Pragmatisme (experimentalisme)
Pragmatisme menekankan kebutuhan untuk menguji kebenaran ide manusia
dengan tindakan. Beberapa pendiri kaum pragmatis yaitu Charles S. Peirce (18391914) menekankan penggunaan metode ilmiah untuk memvalidasi ide secara
empiris, William James (1842-1910) yang mengaplikasikan filsafat pragmatik
pada psikologi, George Herbert Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa
anak-anak berkembang dan belajar melalui pengalaman, dan John Dewey (18591952) yang mengembangkan experimentalisme dalam pendidikan yaitu berfikir
dan belajar merupakan pemecahan masalah.
Pragmatisme menolak metafisika (spekulasi yang tidak dapat diverifikasi
secara empiris) dan fokus pada epistimologi, bagaimana kita membangun
pengetahuan kita, dalam dunia yang selalu berubah. Konsep kunci dalam
pragmatisme yaitu pengalaman, interaksi setiap orang dengan lingkungan (sosial,
budaya dan alam). pengetahuan berasal dari suatu proses antara peserta didik dan
lingkungan. Pengetahuan bersifat relatif dan terus berkembang. Oleh karena itu,
ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental
dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolut
sehingga apapun yang berkontribusi terhadap perkembangan perseorangan dan
sosial itu bernilai dan logika eksperimentalisme yang digunakan adalah logika
induktif.
Implikasi pragmatisme dalam pendidikan dapat terlihat dalam beberapa
aspek. Pertama, ilmu pengetahuan dasar sebagai instrumen sehingga pendidik
fokus terhadap proses pemecahan masalah dari pada mentransfer ilmu

pengetahuan dasar tersebut terhadap siswa. Kedua, peserta didik diharapkan dapat
mengaplikasikan

metode

pemecahan

masalah

sehingga

mereka

dapat

menghubungkan situasi sekolah dengan masyarakat. Ketiga, ruang kelas sebagai


komunitas. Dengan kata lain, guru merubah kelas menjadi komunitas
pembelajaran kolaboratif dengan mendorong siswa untuk berperan aktif dan
berbagi pengalaman seperti masalah dan minat mereka. Sehingga aspek yang
terakhir adalah guru sebagai pengambil resiko yang melihat pendidikan sebagai
sesuatu yang terbuka dan proses yang tidak menentu.
4. Eksistensialisme
Eksistensialisme lebih pada suatu proses berfilsafat. Seorang filosofnya
adalah Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang menyatakan eksistensi mendahului
esensi. Dia menekankan peranan imaginasi manusia sebagai suatu cara untuk
mengetahui dan merasa. Manusia diciptakan kedunia tidak memiliki pilihan untuk
menjadi apa tetapi manusia memiliki kekuatan diri dan keinginan untuk memilih
dan mengkreasikan tujuan mereka sendiri. Aliran ini meyakini bahwa alam
semesta tidak berbeda terhadap harapan, hasrat dan rencana manusia. Sehingga
manusia harus membuat pilihan yang bermakna seperti kebebasan, cinta dan
benci, damai dan perang, serta keadilan atau ketidak adilan.
Para eksistensialis menganggap aksiologi paling penting karena manusia
mengkreasikan nilai mereka sendiri melalui pilihan mereka. Pengetahuan
seseorang tentang kondisi manusia dan pilihan pribadi yang manusia buat itu
krusial.
Implikasinya dapat terlihat pada pendidik dikelas. Pendidik harus mendorong
kesadaran peserta didik untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
definisi diri mereka sendiri. Untuk melakukan hal ini, guru harus mendorong
peserta didik untuk menentukan institusi, kekuatan dan kondisi yang membatasi
kebebasan memilih. Mereka juga menentang tes berstandar untuk mengukur
kesuksesan akademik karena institusi yang berdasarkan standar di setiap kelas
mengurangi keunikan setiap latar pendidikan.
5. Posmodernisme

Postmodernisme merupakan periode sejarah modern yang telah berakhir dan


sekarang manusia hidup pada era postmodern. Aliran ini dikembangkan oleh

filosof Jerman seperti Friedrich Nietzche (1844-1900) dan Martin Heidegger


(1899-1976). Neitzche menolak klaim metafisik tentang kebenaran universal dan
Heidegger menegaskan bahwa manusia mengkonstruk kebenaran subjektifitas
mereka sendiri. Setelah itu, post modern dikembangkan oleh Michel Foucault dan
Jacques Derrida. Foucault menentang para ahli pada era modern seperti pendidik
yang mengklaim bahwa kebenaran itu sama, objektif, dan tidak bias. Derrida
mengembangkan dekonstruksi yang merupakan sebuah metode untuk menyimpan
keaslian dan makna teks.
Posmodern memunculkan beberapa pertanyaan tentang siapa yang mengatur
tujuan pendidikan dan menentukan bagaimana kurikulum dibuat, teks apa yang
merepresentasikan pengetahuan yang diakui dalam kurikulum, teks dan
pengalaman

apa

yang

dimasukkan

dan

tidak,

bagaimana

orang-orang

menginterpretasikan teks untuk membangun dan mempertahankan hubungan


kekuasaan antar kelompok yang berbeda.
Implikasi posmodernisme terhadap pendidik. Pendidik harus memberdayakan
diri

mereka

sendiri

menjadi

pendidik

profesional.

Mereka

berhak

mendekonstruksi tujuan sekolah, kurikulum dan organisasi serta peranan dan misi
pendidik. Selain itu, proses pemberdayaan pendidik dan terdidik dimulai dari
sekolah dan komunitas dimana mereka bekerja dan hidup. Oleh sebab itu,
pendidik bisa mengkreasikan filsafat pendidikan mereka sendiri berdasarkan
situasi dan kondisi mereka sendiri.
B. Teori-Teori Pendidikan
Bagian ini akan membahas empat teori pendidikan yang mencakup antara lain
esensialisme, perenialisme, progresivisme, dan teori kritis. Teori pendidikan ini
mengkaji peran dan fungsi sekolah, kurikulum, pengajaran, dan pembelajaran.
Beberapa teori pendidikan yang dikemukakan dalam bab ini berasal dari ranah
filosofi, dan beberapa yang lain berasal dari ranah praktik pendidikan.
Pembahasan akan dimulai dari tradisional teori esensialisme dan perenialisme,
yang berakar pada idelisme dan realism, dan menggunakan pendekatan ilmu
pengetahuan dasar dalam belajar dan pembelajaran. Kemudian pembahasan
dilanjutkan dengan teori progresivisme, yang banyak diwarnai dengan teori
pragmatisme, dan teori kritis yang bersumber dari eksistensialisme dan

postmodernisme, yang menghubungkan proses pembelajaran dengan perubahan


sosial.
1. Esensialisme
Esensialisme berupaya memberdayakan fungsi utama sekolah untuk
mencapai adanya peradaban manusia dengan cara mengajarkan kepada siswa
berbagai ketrampilan dan ilmu pengetahuan dasar dalam kurikulum yang tersusun
secara sistematis. William C. Bagley (1872-1946),

profesor penganut aliran

esensialisme yang ternama, berpendapat bahwa sekolah harus mengajarkan


ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk hidup dalam
masyarakat yang demokratis.

Kegagalan sekolah dalam memberikan bekal

ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang mendasar ini akan memberikan dampak
negatif yang siknifikan dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar ini
mencakup ketrampilan literasi (membaca dan menulis) dan komputasi (aritmetika)
dan ilmu sejarah, matematika, sains, bahasa, dan sastra. Karena begitu banyaknya
hal yang harus dipejari sedangkan waktu yang tersedia untuk mempelajarinya
amatlah terbatas, kurikulum perlu menekankan pada pengetahuan dasar dan
pengajaran harus dijalankan secara efisien. Untuk pembelajaran yang efektif,
kurikulum perlu dibuat secara berurutan dan kumulatif. Dikatakan berurutan jika
disusun dari tingkat ketrampilan rendah ke tingkat ketrampilam yang lebih
kompleks. Dikatakan kumulatif jika apa yang dipelajari pada tingkat rendah
menuju kepada dan pengetahuan semakin bertambah pada tingkat selanjutnya.
Para penganut esentialisme berpendapat bahwa metode-metode pengajaran
inovatif dan populer yang mengabaikan pembelajaran yang sistematis dimana
guru berperan sebagai pengatur dan pengarah dalam pengajaran membaca,
menulis, dan berhitung akan menyebabkan kemunduran prestasi akademis siswa.
Mereka juga berpendapat bahwa sekolah dan guru harus bertanggungjawab dan
berkomitmen dalam misi utama akademis mereka dan tidak dibenarkan mengubah
misi pokok tersebut pada hal-hal yang bersifat non akademis. Tugas utama
sekolah adalah mendidik siswanya untuk memiliki ketrampilan dasar yang dapat
menjadi bekal agar dapat berdayaguna secara efektif dan efisien dalam
masyarakat yang demokratis.

Para

penganut

esensialisme

mendukung

kurikulum

berbasis

ilmu

pengetahuan dasar yang membedakan dan mengatur ilmu tersebut sesuai dengan
logika internal atau prinsip-prinsip kronologis.

Ketrampilan dan ilmu

pengetahuan harus dijabarkan secara komprehensif di dalam kurikulum yang


berkenaan dengan cakupan dan urutan penyajian yang bersifat kumulatif dan
menyiapkan siswa untuk belajar dimasa yang akan datang. Mereka tidak
mendukung adanya pendekatan pembelajaran yang inovatif dan berbasis proses,
seperti pendekatan konstruktivisme dimana siswa mengkonstruksi pengetahuan
mereka dengan cara kolaboratif, dan penilaian otentik dimana siswa mengevaluasi
perkembangan mereka sendiri.
Bagi para penganut esensialisme, tujuan pendidikan adalah menstransmisi
dan mempertahankan budaya manusia. Sekolah memiliki misi khusus
mentransmisikan ketrampilan dasar

kepada generasi muda. Sebagai pendidik

profesional, guru harus (1) menjalankan secara efektif kurikulum yang telah
disusun; (2) mengajarkan pendidikan Barat tradisional dan nilai-nilai patriotisme,
kerja keras, usaha, disiplin, saling menghormati dan menghargai; (3) mengelola
kelas secara efisien, efektif, dan adil bijaksana; (4) mempromosikan siswa atas
dasar prestasi, bukan berdasar pertimbangan sosial.
2. Perenialisme
Perenialisme memiliki kesamaan dengan prinsip esensialisme dimana aliran
ini juga menggunakan ilmu pengetahuan dasar untuk menstransmisi warisan
budaya pada siswa.

Perenialisme menyatakan bahwa pendidikan bersifat

universal dan otentik dalam setiap periode sejarah dan di setiap tempat dan
budaya. Tujuan utama pendidikan adalah membawa tiap generasi mengenal
kebenaran dengan cara melatih dan menumbuhkan rasionalitas pada tiap orang.
Perenialisme berakar dari realisme dan idealisme. Namun, tokoh perenialime
seperti Jacques Maritain, Robert Hutchins, dan Mortimer Adler mendasarkan teori
pendidikan mereka pada teori realisme Aristoteles. Menurut pendapat mereka,
peran sekolah adalah mengembangkan intelektual siswa. Mereka menentang
adanya pendidikan vokasi karena mereka berpendapat perusahaan akan

10

memberikan pelatihan ketrampilan dan kompetensi vokasional yang lebih efektif


daripada sekolah.
Perenialisme berpendapat bahwa dalam kehidupan demokrasi siswa memiliki
hak untuk mendapatkan pendidikan yang menumbuhkan daya intelektualitas
mereka. Perenialisme sangat menentang relativisme kultural pragmatisme dan
postmodernisme, yang berpendapat bahwa kebenaran merupakan pernyataan
sementara yang didasarkan pada penanganan keadaaan yang berubah.
Bagi

para

penganut

perenialisme,

peran

utama

sekolah

adalah

mengembangkan kemampuan mengemukakan pendapat. Untuk mencapai tujuan


ini, guru dalam masa pendidikan mereka perlu diajarkan ilmu pengetahuan umum
(liberal arts) dan sains serta perlu membaca dan mendiskusikan buku-buku
adiluhung.

Sebagai seorang pendidik profesional, guru perlu memiliki

kemampuan akademis yang unggul agar mampu menjadi mentor intelektual dan
model bagi para siswanya.
3. Progresivisme
Progresivisme berasal dari gerakan perubahan di masyarakat Amerika dan
kehidupan politik pada akhir abad kesembilanbelas dan awal abad duapuluh.
Meskipun para penganut progresivisme ini menentang pedidikan tradisional dan
mengiginkan reformasi dibidang pendidikan, namun mereka tidak memiliki
kesepakatan tentang bagaimana perubahan tersebut akan dilakukan. Beberapa
tokoh aliran progresivisme antara lain Marrieta Johnson, William H. Kilpatrick,
dan G. Standley Hall menentang metode pengajaran menghafal dalam belajar dan
manajemen kelas yang otoriter.
Asosiasi Pendidikan Progresivisme (The Progressive Education Association)
menentang (1) guru yang otoriter, (2) pengajaran berbasis teks, (3) memorisasi
pasif dari informasi faktual, (4) pemisahan sekolah dari kehidupan masyarakat,
dan (5) penggunaan tindakan kekerasan baik fisik maupun psikologis dalam
mengelola kelas. Para penganut progresivisme ini menyarankan bahwa (1) siswa
harus diberikan kebebasan untuk berkembang secara alami, (2) minat, yang
didukung oleh pengalaman langsung, merupakan stimulus terbaik dalam belajar,
(3) guru harus menjadi fasilatator dalam belajar, (4) hubungan antara kehidupan

11

sekolah dan lingkugan rumah harus direkatkan, dan (5) sekolah yang progresif
harus menjadi wadah bagi siswa untuk bereksperimentasi.
Bagi para penganut aliran progresivisme, pengetahuan merupakan sarana/alat
yang melakukan sesuatu atau menciptakan sesuatu. Walaupun pengetahuan
berasal dari berbagai sumberdari buku, pengalaman, para ahli, perpustakaan,
dan internetpengetahuan tersebut menjadi bermakna pada saat digunakan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Progresivisme berpendapat bahwa

kesiapan dan minat siswa menjadi pertimbangan dalam pengembangan kurikulum


dan pengajaran. Guru menggunakan kegiatan-kegiatan belajar seperti problem
solving, field trips, creative artistic expression, dan projects.
The West Tennesse Holocaust Project, yang dirancang oleh guru dan siswa di
Whitwell Midle School di Whitwell, Tennesse, merupakan contoh dari metode
penugasan yang perlu diadopsi. Tujuan penugasan tersebut adalah mengajarkan
karakter saling menghormati antar budaya dan menanamkan dampak negatif dari
adanya sikap yang tidak toleran.

The Whitwell Holocaust project ini

menggambarkan metode penugasan yang berbasis keterbukaan. Kegiatan


penugasan ini melibatkan sekolah dan masyarakat, melibatkan siswa dan orangorang disekitar untuk bekerjasama secara kolaboratif.
4. Teori Kritis
Teori kritis merupakan teori yang memilki pengaruh besar dalam dunia
pendidikan saat ini. Teori ini mengemukakan bahwa sekolah dan masyarakat
harus mengajarkan siswanya bagaimana mengkritik lingkungan disekitarnya
untuk menentang ketidakadilan dan eksploitasi kekuasaan sehingga sikap ini akan
membawa pada persamaan derajat dan keadilan sosial. Asumsi-asumsi teori kritis
ini berasal dari filsafat postmodernisme dan eksisensialisme, neo-marxisme,
feminisme, dan toeri multikultural dan Pedagogi kritis dari Paulo Freire.
Berakar pada postmodernisme dan existensialisme, para pakar teori kritis
ingin membangkitkan kesadaran tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan pengetahuan, pendidikan, sekolah, dan pembelajaran. Menurut mereka,
pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kekuasaan dan kontrol sosial,
politik, ekonomi, dan pendidikan. Secara khusus, para penganut teori kritis ini

12

ingin membangkitkan kesadaran manusia yang

dimarjinalkan dan ditekan

disebabkan karena ras, etnis, bahasa, strata sosial dan gender.


Penganut paham teori kritis ini berpendapat bahwa kalangan masyarakat atas
yang secara ekonomi, politik dan sosial unggul menguasai dan memanfaatkan
sekolah untuk mereproduksi dan mempertahankan posisi sosial dan ekonomi
mereka. Masyarakan kalangan atas tersebut akan mengirim anak-anak mereka ke
sekolah-sekolah yang bekualitas yang akan mempersiapkan mereka untuk
mendapatkan pekerjaan bergengsi dalam bidang bisnis, industri dan pemerintahan.
Sedangkan masyarakat yang tertindas, mereka diindoktrinasi untuk menerima
keadaan sehingga melumpuhkan potensi-potensi mereka untuk dapat mengambil
peran dalam kehidupan masyarakat.
Penganut aliran teori kritis ini membagi kurikulum menjadi dua yaitu
kurikulum formal dan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kurikulum
formal ini disusun oleh negara dan pemerintah daerah yang mengharuskan guru
mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dan mata pelajaran tertentu kepada siswa.
Kurikulum tersembunyi memuat perilaku-perilaku dan sikap siswa dalam
lingkungan sekolah. Kurikulum tersembunyi ini merupakan unsur utama dalam
pengawasan sosial berbasis sekolah. Disebut hidden karena kurikulum tersebut
secara implisit tidak dipublikasikan oleh negara maupun kebijakan sekolah lokal.
Para penganut teori kritis berpendapat bahwa siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan mereka dan mengasosiasikannya dengan konteks lokal, situasi yang
sedang terjadi, dan masyarakat dimana mereka tinggal dan sekolah dimana
mereka mencari ilmu. Guru membangun kesadaran siswa dengan cara mengamati
dan mengkaji kondisi lingkungan sekitar.
Bagi teori ini, guru harus memfokuskan praktik pembelajarannya pada isu-isu
kekuasaaan dan kontrol di lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru disarankan
untuk (1) mengetahui siapa teman sejati mereka dalam memperjuangkan kontrol
di sekolah; (2) mempelajari karakteristik siswa mereka dengan cara membantu
siswa tersebut mengeksplorasi identitas diri mereka; (3) berkolaborasi dengan
masyarakat lokal dan dan perbaikan komunitas; (4) berabng dengan guru-guru
yang memiliki kesamaan visi untuk mereformasi pendidikan; dan (5) berperan

13

serta dalam dialog kritis yang berkenaan dengan masalah-masalah politik, sosial,
ekonomi, dan pendidikan.

BAB III
PEMBAHASAN
Bagian ini memberikan informasi tentang perbandingan filsafat pendidikan yang
digunakan di Amerika Serikat dengan filsafat pendidikan yang digunakan di
Indonesia. Filsafat pendidikan yang digunakan di Amerika Serikat telah dijelaskan
secara sistematis pada bab II dari laporan ini, sedangkan filsafat pendidikan yang
digunakan di Indonesaia adalah filsafat pendidikan Pancasila. Dengan mengetahui
perbandingan antara filsafat pedidikan ini akan terlihat secara jelas persamaan dan
perbedaan landasan filsafat pendidikan yang digunakan.
A. Filsafat Pendidikan di Indonesia
1. Filsafat Pendidikan Pancasila
a. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa

Pancasila secara umum merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia. Hal ini
terlihat dalam ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1978, pancasila adalah jiwa dan
seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa indonesia, pandangan bangsa
indonesia dan dasar negara. Sehingga sangatlah wajar jika Pancasila dikatakan
sebagai filsafat hidup bangsa karena, menurut Syam (1983:346) nilai-nilai dasar
dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya
dan nilai-nilai ini telah berabad lamanya mengakar pada kehidupan bangsa
indonesia:
Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana.
Kesadaran kekeluargaan, di mana cinta dan keluarga sebagai dasar dan
kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi.
Kesadaran musyaawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama.
Kesadaran gotong royong, tolong-menolong.
Kesadaran tenggang rasa, atau tepo seliro, sebagai semangat kekeluargaan
dan kebersamaan, hormat demi keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan
dalam kebersamaan

14

15

b. Pancasila sebagai Filsafat Pendidikan Nasional

Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi


bangsa yang dianut (Jalaludin dan Idi, 2007:169), karenanya sistem
pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari, dan mencerminkan
identitas Pancasila. Sedangkan perwujudan jiwa dan nilai pancasila
tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai cita dan karsa bangsa
indonesia, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat indonesia. Cita dan
karsa ini dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu
dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup pancasila. Oleh karena
itu filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntutan nasional dan
subsistem dari sistem negara Pancasila.
Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa sistem
pendidikan nasional tidak mungkin dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat
pendidikan yang selain pancasila. Hal ini terlihat dalam tujuan pendidikan
nasional yang termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan,
kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
bertanggung jawab kemasyarakatan.
c. Pancasila sebagai dasar filsafat pendidikan di Indonesia

Meskipun tidak secara eksplisit pancasila ditetapkan sebagai

filsafat pendidikan di Indonesia, namun dalam kenyataannya pancasila


telah ditetapkan sebagai landasan berfikir pendidikan, baik dalam bentuk
undang-undang maupun dalam praktik penyelenggarannya. Hal ini telah
diterapkan dalam penetapan hukum yang menyangkut pendidikan
misalnya:
Dalam UU No. 4 Tahun 1950 tentang sistem pendidikan nasional antara
lain disebutkan bahwa pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

16

Dalam Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1969 ditetapkan bahwa system


pendidikan nasional Indonesia disebut Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
Ketetapan MPRS No. 27 tahun 1966 menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati.
Dalam UU No.2 Tahun 1989 maupun dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sitem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Dasar Pendidikan
Nasional adalah Pancasila dan UUD 1945.
d. Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia di mana fungsi


utamanya

sebagai

pandangan

hidup

dan

kepribadian

bangsa

(Dardodiharjo, 1988:17). Pancasila juga berfungsi sebagai alat pemersatu


bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sumber dari segala
sumber hukum serta sumber ilmu pengetahuan di indonesia (Azis,
1984:70). Berdasarkan penjelasan diatas dapat terlihat jelas bahwa
pancasila merupakan dasar negara bangsa yang membedakannya dengan
bangsa lain sehingga sangat penting untuk terus dikembangkan.
Filsafat dapat diartikan berpikir secara mendalam dan sungguhsungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan
merupakan pemikiran yang mendalam tentang kependidikan (Jalaludin
dan Idi, 2007:171). Fungsi pendidikan dihubungkan dengan sistem
pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan dapat dijabarkan bahwa
pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya
dalam

kehidupan

sehari-hari

dan

untuk menerapkan

sila-silanya

diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bagaimana nilainilai pancasila itu dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, tentunya
pendidikanlah yang berperan utama.
e. Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Trilogi Ilmu Pengetahuan (Jalaludin
dan Idi, 2007: 172-181)
1) Ontologi (metafisika)

Ontologi (metafisika) merupakan filsafat yang menyelidiki tentang

hakikat sesuatu, pokok persoalannya adalah tentang apakah kenyataan atau


realita itu. Hakikat ada dapat berarti segala sesuatu yang ada, menunujuk

17

kepada hal umum (abstrak umum universal). Dalam kenyataanya, Pancasila


dapat dilihat dari penghayatan dan pengamalan kehidupan sehari-hari.

2) Epistemologi

Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan (adanya) benda-

benda. Epistemologi yang diartikan sebagai filsafat yang menyelidiki sumber,


syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan hakikat ilmu
pengetahuan. Dengan filsafat, kita dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan
dicapai demi peningkatan ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan
berwarga negara. Untuk itu, bangsa Indonesia telah menemukan filsafat
Pancasila.
3) Aksiologi

Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki aspek nilai

(value). Nilai tidak akan timbul karena manusia mempunyai bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, masyarakat menjadi wadah
timbulnya nilai.Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis),
bermoral dan etis.Dengan demikian, dapat pula dibedakan nilai materiil dan
spiritual. Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memiliki nilainilai: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai
ideal, materiil, spiritual dan nilai positif dan juga nilai logis, estetika, etis,
sosial dan religius. Dengan demikian Pancasila syarat akan nilai.

B. Perbandingan Filsafat dan Teori Pendidkan di Amerika Serikat


dan Indonesia

Lima landasan filsafat pendidikan (idealisme, realisme,


pragmatisme, eksistensialisme dan postmodernisme), sebagaimana telah
dijelaskan di bab 2, merupakan landasan filsafat pendidikan yang telah
diadopsi dan digunakan di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia,
landasan filsafat pendidikan yang telah digunakan adalah filsafat
pendidikan Pancasila. Sebagaimana telah dijelaskan diawal, meskipun
Pancasila tidak secara eksplisit ditetapkan sebagai filsafat pendidikan di

18

Indonesia, namun pada kenyataannya pancasila telah ditetapkan sebagai


landasan berfikir pendidikan, baik dalam bentuk undang-undang maupun
dalam praktik penyelenggarannya sehingga sangat tidak mungkin landasan
filsafat pendidikan yang digunakan di indonesia mengadopsi filsafat
pendidikan seperti yang telah diadopsi dan digunakan oleh Amerika
Serikat.

Dunia pendidikan di Indonesia sering keli mendapat

kritikan dari berbagai pihak. Diantarnya karena pendidikan di Indonesia


belum menemukan sebuah paradigma dan patokan yang subtansial baik
dalam tataran teoritis dan filosofis maupun operasionalnya, sehingga
terkesan pendidikan hanya sebagai ajang percobaan. Hal ini cukup kuat
dijadikan alasan karena penampilan pendidikan itu sendiri masih abstrak
dan masih belum menyentuh realitas budaya Indonesia.

BAB IV
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Bab ini berisi simpulan, implikasi dan rekomendasi, yang menyajikan


penafsiran dan pemaknaan penulis terhadap hasil kajian teori tentang
landasan filsafat dan teori pendidikan sekaligus mengajukan hal-hal
penting yang dapat dimanfaatkan dari kajian teori ini.
A. Simpulan

Makalah ini telah membahas tentang landasan filsafat dan teori


pendidikan yang diterapkan di Amerika Serikat serta perbandingannya
dengan landasan filsafat dan teori yang digunakan di Indonesia. Landasan
filsafat dan teori pendidikan ini dapat memberikan kerangka konseptual
bagi para pendidik untuk mengembangkan dan mengkonstruksi filsafat
pendidikan yang akan mereka terapkan dalam kegiatan belajar
pembelajaran. Selain itu, dengan mengetahui landasan filsafat dan teori
pendidikan ini akan membantu mereka untuk mempertimbangkan
landasan filsafat kurikulum yang tepat untuk pelaksanaan praktek
kependidikan.
B. Implikasi

1. Implikasi bagi guru/pendidik


Filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak
dalam upaya peningkatan kinerja guru sebagai seorang yang profesional.
Hal ini berarti bahwa sebagai pekerja profesional, seorang guru dalam
menunaikan tugas yang berkaitan dengan perumusan tujuan-tujuan
pendidikan, baik tujuan-tujuan operasional maupun tujuan-tujuan abstrak,
keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional harus
selalu

dapat

dipertanggungjawabkan

secara

pendidikan

dengan

berlandaskan pada landasan filsafat dan teori pendidikan yang jelas.

2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan


19

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia

belum

19

20

memiliki teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini
bisa terlihat dari kualitas lulusan yang rata-rata belum memahami akan
filsafat dan teori pendidikan yang mereka anut dalam kegiatan belajar
mengajar.

Seyogyanya pendidikan guru dirancang sedemikan rupa

sehingga memberikan rambu-rambu yang jelas terutama yang berkaitan


dengan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang akan mereka adopsi
sehingga lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan di dalam
konteks pendidikan dengan profesional. Rambu-rambu yang dimaksud
disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga
sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian
ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.
Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif,
normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian
dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsiasumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi
program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang
dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan
implementasi program, maupun di dalam mempertahankan program dari
penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan
konseptual.
C. Rekomendasi
Berkenaan dengan pembahasan tentang landasan filsafat dan teori
pendidikan ini, penyusun memberikan rekomendasi untuk dua hal yang
utama yaitu:
-

Dalam ranah pendidikan, pendidik harus memiliki pengetahuan tentang


landasan filsafat dan teori pendidikan karena hal ini merupakan hal pokok
yang akan menentukan kegiatan pembelajaran yang berlangsung

disekolah.
Dalam ranah pengembangan kurikulum, para pengembang kurikulum dan
pendidik

dalam

mengkonstruksi

kurikulum

pedidikan

harus

mencantumkan dengan jelas landasan filosofi serta teori pendidikan yang

21

digunakan sehingga keefektifan kegiatan pembelajaran yang akan


dilaksanakan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, D. Dkk. 1988. Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha


Nasional.
Jalaludin & Idi, A. 2009. Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ornstein, Levine, and Gutek. (2011). Foundation of education. California:

Wardsworth Cengage Learning


Syam, M. N. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila.

Surabaya: Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai