Anda di halaman 1dari 47

SISTEM PENGENDALIAN EROSI DAN SEDIMENTASI

( DAS CITARUM )

BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa erosi dan sedimentasi merupakan
proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya
material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan
pengendapan material yang terangkut di tempat lain. Proses erosi dan sedimentasi
ini baru mendapat perhatian cukup serius oleh manusia pada sekitar 1940-an,
setelah menimbulkan kerugian yang besar, baik berupa merosotnya produktivitas
tanah serta yang tidak kalah pentingnya adalah rusaknya bangunan-bangunan
keairan serta sedimentasi waduk. Daerah pertanian merupakan lahan yang paling
rentan terhadap terjadinya erosi (Suriin, 2002).
Indonesia merupakan Negara agraria dimana pemenuhan utama dalam
alokasi irigasinya bersumber dari sungai. Dari sungai ini kebutuhan air terutama
air irigasi dan air bersih pada umumnya terpenuhi. Akan tetapi permasalahan yang
kerap timbul di sungai-sungai Indonesia adalah erosi dan sedimentasi. Khususnya
mayoritas di daerah-daerah kota besar masalah ini tidak bisa dihindari. Hal ini
dapat mengakibatkan pendangkalan kedalaman sungai, sumbatnya saluran untuk
pengaliran, dsb. Akibat lebih jauh lagi pemenuhan kebutuhan irigasi maupun air

bersih

berkurang. Selain itu ancaman terjadinya banjir yang diakibatkan air

sungai yang meluap dikarenakan tidak bisa menampung air hujan maupun air
kiriman dari daerah lain meskipun volume air masih dibawah rencana.
Oleh karena itu perlu diadakan kajian kasus dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dengan berbagai metode. Hal ini dimaksudkan agar
permasalahan yang selama ini tidak berlarut-larut dan mengakibatkan suatu
bencana yang tidak kita inginkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Erosi
Erosi adalah terangkatnya lapisan tanah atau sedimen karena stres yang
yang ditimbulkan oleh gerakan angin atau air pada permukaan tanah atau dasar
perairan. Pada lingkungan DAS, laju erosi dikendalikan oleh kecepatan aliran air
dan sifat sedimen (terutama ukuran butirnya). Stres yang bekerja pada permukaan
tanah atau dasar perairan sebanding dengan kecepatan aliran. Resistensi tanah atau
sedimen untuk bergerak sebanding dengan ukuran butirnya. Gaya pembangkit
eksternal yang menimbulkan erosi adalah curah hujan dan aliran air pada lereng
DAS. Curah hujan yang tinggi dan lereng DAS yang miring merupakan faktor
utama yang membangkitkan erosi. Pertahanan DAS terhadap erosi tergantung
utamanya pada tutupan lahan. Penguatan pertahanan terhadap erosi dapat pula
dilakukan dengan upaya-upaya kerekayasaan.
2.2 Pengertian sedimentasi
Sedimentasi adalah merupakan proses pengendapan butir-butir tanah yang
telah terhanyutkan atau terangkut, pada tempat-tempat yang lebih rendah dan/atau
pada sungai-sungai atau waduk-waduk.
Penanggulangan angkutan sedimen di Sungai dapat berupa :
1. Menahan material yang besar-besar ( batu batu besar ) di hulu
sungai
2. Memperkecil

kemiringan

dasar

sungai

dengan

tujuan

memantapkan dasar sungai mengurangi erosi dasar sungai.


3. Menahan sedimen di daerah endapan agar dapat dibatasi
penyebarannya.
4. Mengendalikan arus dan arus banjir, sehingga secara tak langsung
akan mengendalikan pula angkutan sedimenya.

2.3 Metode Perhitungan Erosi


MODEL EROSI TANAH
Terjadinya erosi yang dipercepat (accelerated soil erosion) diakui secara
luas sebagai suatu permasalahan global yang serius (Lal, 1984). United Nations
Environmental Program dalam Lal (1994) menyatakan bahwa produktivitas lahan
seluas 20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol atau menjadi
tidak ekonomis disebabkan oleh erosi tanah atau degradasi yang disebabkan oleh
erosi. Selanjutnya Burings dalam Lal (1994) mengestimasi bahwa telah terjadi
annual global loss dari lahan pertanian seluas 3 juta ha tahun-1 yang disebabkan
oleh erosi tanah.
Erosi sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pengelolaan lahan. Oleh
karena itu, erosi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannya. Salah satu alat bantu yang
dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model prediksi
erosi. Secara ideal, metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu: dapat diandalkan, secara
universal dapat dipergunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum,
konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan, dan mempunyai
kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna lahan dan tindakan
konservasi tanah (Arsyad, 2000). Karena rumitnya sistem erosi tanah dengan
berbagai faktor yang berinteraksi, maka pendekatan yang paling member harapan
dalam pengembangan metode dan prediksi adalah dengan merumuskan model
konseptual proses erosi itu (Arsyad, 2000).
Pemodelan erosi tanah adalah penggambaran secara matematik prosesproses penghancuran, transport, dan deposisi partikel tanah di atas permukaan
lahan. Paling tidak terdapat tiga alasan dilakukannya pemodelan erosi, yaitu: (a)
model erosi dapat digunakan sebagai alat prediksi untuk menilai/menaksir
kehilangan tanah yang berguna untuk perencanaan konservasi tanah (soil
conservation planning), perencanaan proyek (project planning), inventarisasi erosi
tanah, dan untuk dasar pembuatan peraturan (regulation); (b) model-model

matematik yang didasarkan pada proses fisik (physically-based mathematical


models) dapat memprediksi erosi dimana dan kapan erosi terjadi, sehingga dapat
membantu para perencana konservasi tanah dalam menentukan targetnya untuk
menurunkan erosi; dan (c) model dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami
proses-proses erosi dan interaksinya, dan untuk penetapan prioritas penelitian
(Nearing et al., 1994).
Model erosi tanah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (a) model
empiris, (b) model fisik, dan (c) model konseptual. Model empiris didasarkan
pada variabel-variabel penting yang diperoleh dari penelitian dan pengamatan
selama proses erosi terjadi. Umumnya model-model erosi dibangun dari model
empiris, dan contoh yang terkenal adalah universal soil loss equation (USLE) oleh
Wischmeier dan Smith (1978). Model ini sangat luas penggunaannya untuk
memprediksi erosi lembar dan alur. Perbaikan model USLE yaitu revised
universal soil loss equation (RUSLE) juga merupakan model empiris yang
memprediksi erosi lembar dan alur yang dihubungkan dengan aliran permukaan.
Kedua model ini merupakan alat untuk memprediksi erosi dalam perencanaan
konservasi tanah pada suatu lahan usaha tani.
Model fisik merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum
kekekalan massa dan energi. Persamaan diferensial atau dikenal sebagai
persamaan kontinuitas digunakan dan diaplikasikan untuk erosi tanah pada satu
segmen tanah pada lahan yang berlereng. Model ini dikenal juga sebagai model
input-output dalam kondisi yang homogen (seragam). Jadi masukan sama dengan
luaran pada kondisi homogen, tetapi tidak berlaku bila kondisinya tidak homogen.
Salah satu model erosi fisik dibuat oleh Rose, dan berkembang menjadi model
GUEST. Model fisik ditujukan untuk dapat menjelaskan proses erosi dengan
menggunakan persamaan fisika, namun demikian persamaan empiris kadangkadang masih digunakan di dalamnya (ICRAF, 2001). Persamaan yang digunakan
pada model fisik ini tergolong sulit dan mengandung parameterparameter yang
kadang-kadang sukar untuk diukur. Selain untuk menggambarkan sifat atau
perilaku dari tipe tanah yang berbeda diperlukan persamaan yang berbeda. Namun
demikian, model fisik mempunyai kemungkinan untuk memperoleh hasil yang

lebih baik dibandingkan dengan USLE atau beberapa modifikasinya, karena


model fisik merupakan pemodelan prosesproses, sehingga pengguna dapat
memahami lebih baik proses-proses yang bertanggung jawab dan untuk apa
(Schmitz dan Tameling, 2000).
Model konseptual dirancang untuk mengetahui proses internal dalam
sistem dan mekanisme fisik yang umumnya selalu berkaitan dengan hukum fisika
dalam bentuk yang sederhana. Umumnya model ini tidak linear, bervariasi dalam
waktu, dan parameternya mutlak diukur. Meskipun model ini mengabaikan aspek
spasial dalam proses hujan dan aliran permukaan, tetapi kaitannya dengan proses
yang tidak linear menyebabkan model ini layak untuk dipertimbangkan.
Banyak model erosi yang telah dikembangkan, paling tidak selama empat
dekade terakhir, dimulai dengan USLE, dan beberapa model empiris lainnya,
misalnya RUSLE, MUSLE (modified universal soil loss equation) yang
dikembangkan atau berpatokan pada konsep USLE. Beberapa model fisik
dikembangkan setelah generasi USLE, salah satu diantaranya adalah model fisik
GUEST (griffith university erosion system template) (Rose et al., 1997a).
Beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan hidrologi yang juga
berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS (areal non-point sources
watershed environment response simulation) yang selanjutnya diperbaiki dengan
model AGNPS atau agricultural non-point source pollution model (Sinukaban,
1997).

2.3.1 USLE ( Universal Soil Loss Equation )


Prinsip
USLE adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata
erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu areal usaha tani dengan sistem
pertanaman dan pengelolaan tertentu (Wischmeier dan Smith, 1978). Bentuk erosi
yang dapat diprediksi adalah erosi lembar atau alur, tetapi tidak dapat
memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi
6

parit, tebing sungai dan dasar sungai (Wischmeier dan Smith, 1978 dalam Arsyad,
2000). Model prediksi erosi USLE menggunakan persamaan empiris sebagai
berikut (Wischmeier dan Smith, 1978):

A = RKLSCP
Keterangan:
A = Banyaknya tanah tererosi dalam t ha-1 tahun-1;
R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan
perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30
menit (I30),
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per unit indeks erosi untuk suatu
tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan panjang 72,6
kaki (22 m) terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman;
L = Faktor panjang lereng 9 %, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan panjang
lereng tertentu dan erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22 m) di
bawah keadaan yang identik;
S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah
dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan
lereng 9 % di bawah keadaan yang identik;
C= Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman;
P= Faktor tindakan konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah
yang diberi perlakuan tindakan konservasi tanah seperti pengelolaan menurut
kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang
diolah searah lereng dalam kedaan yang identik.

Faktor erosivitas hujan (R)


Erosivitas hujan dapat diperoleh dengan menghitung besarnya energi kinetik
hujan (Ek) yang ditimbulkan oleh intensitas hujan. Dalam model USLE, R atau
EI30 diperoleh dari hasil perkalian energi kinetik hujan dengan intensitas hujan
maksimum selama 30 menit (I30) atau energi kinetik hujan dari intensitas hujan
yang lebih besar dari 25 mm dalam satu jam (KE > 1). Untuk menghitung EI30
atau KE > 1 diperlukan data curah hujan yang diperoleh dari pencatat hujan
otomatik.
Faktor erodibilitas tanah (K)
Besarnya nilai K ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas, dan bahan
organik tanah (Wischmeier et al., 1971). Penentuan besarnya nilai K dapat
dilakukan dengan menggunakan nomograph atau rumus Wischmeier et al. (1971)
sebagai berikut:
100 K = 1,292[2,1M1,14(10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)]

dimana:

M = parameter ukuran butir yang diperoleh dari (% debu + % pasir sangat halus)
(100 - % liat) a = % bahan organik (% C x 1,724)
b = kode struktur tanah
c = kode kelas permeabilitas penampang tanah
Untuk kadar bahan organik > 6% (agak tinggi - sangat tinggi), angka 6% tersebut
digunakan sebagai angka maksimum.
Penilaian struktur dan permeabilitas tanah masing-masing menggunakan Tabel 1
dan 2.
Tabel 1. Penilaian struktur tanah
Tipe struktur tanah

Kode penilaian

Granular sangat halus (very fine granular)

Granular halus (fine granular)

Granular sedang dan besar (medium, coarse granular)

Gumpal, lempeng, pejal (blocky, platty, massif)

Sumber: Wischmeier et al., 1971

Tabel 2. Penilaian permeabilitas tanah


Kelas permeabilitas tanah

Kode penilaian

Cepat (rapid)

Sedang sampai cepat (moderate to rapid)

Sedang (moderate)

Sedang sampai lambat (moderate to slow)

Lambat (slow)

Sangat lambat (very slow)

Sumber: Wichmeser et al. (1971)


Faktor panjang dan kemiringan Lahan (LS)
Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut (Morgan, 1979):

Rumus tersebut berlaku untuk lahan dengan kemiringan <22%, sedangkan untuk
lahan dengan kemiringan lebih curam digunakan rumus Gregory et al. (1977)
sebagai berikut:

Faktor pengelolaan tanaman (C)


Pada dasarnya penentuan nilai C sangat rumit/sulit, karena harus
mempertimbangkan sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan. Sifat
perlindungan tanaman harus dinilai sejak dari pengolahan tanah hingga panen,
bahkan hingga penanaman berikutnya. Selain itu, penyebaran hujan selama satu
tahun juga perlu memperoleh perhatian.
Untuk mendapatkan nilai C tanpa mengurangi ketelitian prediksi erosi
yang hendak dicapai dapat ditempuh cara dengan merujuk publikasi yang telah
ada sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila untuk sebidang lahan terdapat
rotasi tanaman atau cara pengelolaan tanaman yang tidak tercantum dalam
publikasi yang dirujuk, maka dapat ditempuh dengan memperhitungkan kembali
nilai C tersebut berdasarkan nilai-nilai C pada publikasi rujukan.
Faktor tindakan konservasi tanah (P)
Tindakan konservasi tanah yang dimaksud tidak hanya teknik konservasi
tanah secara mekanis atau fisik saja, tetapi juga berbagai macam usaha yang
bertujuan mengurangi erosi tanah.
Untuk mengetahui teknik konservasi tanah di suatu unit lahan, melalui interpretasi
foto udara dengan skala 1 : 50.000 atau lebih kecil agak sukar. Untuk mengatasi
kekurangan tersebut kiranya uji-medan maupun informasi yang tersedia akan
sangat membantu.
Kelemahan dan keunggulan
Beberapa ilmuwan menyatakan beberapa kelemahan dari USLE,
diantaranya adalah model tersebut dinilai tidak efektif jika diaplikasikan di luar
kisaran kondisi dimana model tersebut dikembangkan. Adaptasi model tersebut
pada lingkungan yang baru memerlukan investasi sumber daya dan waktu untuk
mengembangkan database yang dibutuhkan untuk menjalankannya (Nearing et
al., 1994). Over estimasi yang bisa terjadi dengan penggunaan USLE dapat
mencapai 2.000%, penyebabnya adalah adanya subjektivitas penggunaan data
atau karena penggunaan peta skala kecil (Van der Poel dan Subagyono, 1998).

10

Meskipun disadari adanya beberapa kelemahan/keterbatasan dari model-model


empiris, khususnya USLE, sampai saat ini telah dan masih diaplikasikan secara
luas di seluruh dunia (Nearing et al., 1994; Lal, 1994; Schmitz dan Tameling,
2000; ICRAF, 2001), karena model tersebut mudah dikelola, relatif sederhana dan
jumlah masukan atau parameter yang dibutuhkan relatif sedikit dibandingkan
dengan model-model lainnya yang bersifat lebih kompleks (ICRAF, 2001;
Schmitz dan Tameling, 2000). USLE juga berguna untuk menentukan kelayakan
tindakan konservasi tanah dalam perencanaan lahan dan untuk memprediksi
non-point sediment losses dalam hubungannya dengan program pengendalian
polusi (Lal, 1994). Pada tingkat lapangan (field scale), USLE sangat berguna
untuk merumuskan rekomendasi atau perencanaan yang berkaitan dengan
bidang agronomi (agronomic proposal), karena dapat digunakan sebagai dasar
untuk pemilihan land use dan tindakan konservasi tanah yang ditujukan
untuk menurunkan on-site effect dari erosi (ICRAF, 2001).
Salah satu faktor yang harus disadari oleh para pengguna model ini
berhubungan dengan skala penggunaan, Tarigan dan Sinukaban (2001)
menyatakan bahwa USLE berfungsi baik untuk skala plot, sedangkan untuk skala
DAS, hasil prediksi saja dapat berlebihan. Salah satu penyebabnya adalah
pengaruh filter sedimen yang tidak terakomodasi. Namun USLE bermanfaat
dalam hubungannya dengan on-site effect dari erosi. Tidak demikian halnya
dalam hubungannya dengan off-site effect dari erosi, diantaranya meliputi
pengaruh erosi terhadap lingkungan di luar lahan yang tererosi, misalnya kualitas
air sungai, kerusakan dam yang disebabkan oleh hasil sedimen.
2.3.2 Model Erosi Rose (GUEST)
Prinsip
Model erosi Rose (GUEST) merupakan model berdasarkan pendekatan
proses erosi yang mempengaruhinya, yaitu daya pelepasan partikel tanah oleh
butir-butir hujan dan aliran permukaan sebagai agen utama penyebab erosi tanah.
Dalam model ini, erosi terjadi karena adanya tiga proses yang berperan, yaitu
pelepasan (detachment) oleh butir-butir hujan, pengangkutan (transportation)

11

sedimen, dan pengendapan (deposition) sedimen (Rose et.al., 1983). Ketiga


proses dalam model tersebut diilustrasikan pada Gambar 1, sedangkan
persamaan model tersebut setelah disederhanakan adalah sebagai berikut:
SL

= 2700 S (Cr)(Q).............................................................................(1)

dimana: SL adalah total tanah yang hilang

(kg.m-3); adalah efisiensi

pengangkutan; S adalah kemiringan lahan (%); C adalah persentase penutupan


lahan; dan Q adalah volume aliran permukaan (m3).

Gambar 1. Hubungan antara fluks sedimen, pengikisan, pengangkutan, dan


pengendapan sedimen, dalam proses erosi tanah (Rose dan Freebairn, 1985)
Persamaan (1) diturunkan berdasarkan konsep konservasi masa sedimen
dalam beberapa bagian elemen dari aliran permukaan yang dikombinasikan
dengan teori konsentrasi sedimen dan hidrologi. Secara matematis persamaan
tersebut ditulis dalam bentuk,

dimana qsi = q ci, yaitu fluk (flux) sedimen pada arah aliran (x), q adalah fluk
edimen (debit spesifik), ci = konsentrasi sedimen, h = tebal aliran permukaan, ei =

12

pelepasan

(detachment)

oleh

butir-butir

hujan,

ri

pengangkutan

(entrainment)sedimen, dan di = pengendapan (deposition) sedimen.


Sejalan

dengan

perkembangan

ilmu

komputer,

model

GUEST

disempurnakan menjadi event-based proses model untuk erosi lembar

(sheet

erosion). Namun demikian model tersebut dapat juga diaplikasikan untuk erosi
alur (rill erosion). Model ini dapat pula dianggap sebagai semi-static model,
karena erosi dapat diprediksi per kejadian hujan (event by event) (Schmitz dan
Tameling, 2000).
GUEST mulanya didokumentasikan oleh Misra dan Rose pada tahun 1990
dan telah mengalami beberapa pengembangan selama Proyek ACIAR (Australian
Centre for International Agricultural Research) (Rose et al., 1997a). Untuk daerah
tropis (Philippina, Malaysia, Thailand dan Australia), GUEST telah divalidasi
pada skala plot (72-1.000m2) dan menunjukkan hasil yang baik (Rose et al.,
1997a; Schmitz dan Tameling, 2000; ICRAF, 2000).
GUEST merupakan model persamaan fisik

(physical

equation)

yang perhitungannya didasarkan pada konsentrasi sedimen yang tersuspensi di


dalam aliran permukaan, dikembangkan oleh Rose dan Hairsine (1988). Besar
konsentrasi sedimen pada keadaan bera menggunakan persamaan sebagai
berikut:

13

Kecepatan aliran permukaan pada persamaan

menggunakan

rumus

Mannings yang disajikan dalam persamaan 4, yaitu:

Jika debit aliran permukaan mengikuti persamaan


disubsitusikan kedalam persamaan 3,

maka

persamaan

5,

kemudian

kecepatan

aliran

permukaan dapat dijabarkan menjadi persamaan 6.


Q=

VA

. (5)

Keterangan:
Q

debit aliran permukaan per unit luas; dan

luas penampang permukaan.

Bila persamaan 6 disubsitusikan dalam persamaan 3, maka persamaan konsentrasi


sedimen dapat dijabarkan mengikuti persamaan 7, yaitu:

14

Selanjutnya persamaan 7 disederhanakan menjadi persamaan 8, yaitu


Ct =k Q0,4................................................................................................ (8)
Rose et al. (1997a) dan Yu et al. (1997) mengungkapkan perlu dilakukan upaya
untuk memperoleh aliran permukaan yang stabil dengan mencari debit aliran
permukaan effektif ( Q eff ) dengan perubahan persamaan menjadi persamaan
9.
Ct

= k Q eff 0.4.......................................................................................... (9)

Dengan nilai Qeff seperti persamaan 10 di bawah ini.

Untuk mendapatkan kondisi aktual di lapangan, maka faktor erodibilitas


tanah dan faktor penutupan lahan atau vegetasi harus ditambahkan. Erodibilitas
tanah didefinisikan sebagai ketahanan tanah terhadap gerakan aliran air
permukaan. Istilah ini disebut juga sebagai kohesi tanah atau ketahanan agregat
tanah. Kohesi tanah mempunyai hubungan yang negatif dengan jarak antar
partikel, tetapi mempunyai hubungan yang positif dengan luas permukaan spesifik
partikel tanah.
Hubungan erodibilitas tanah dengan konsentrasi sedimen pada aliran
permukaan disajikan dalam persamaan 11.
C = C t. .............................................................................................(11)
Keterangan:
=

parameter erodibilitas; dan

C=

konsentrasi sedimen dalam aliran permukaan.

Faktor penutupan lahan sangat signifikan mengurangi kerusakan tanah


yang diakibatkan pukulan butiran air hujan, dan dapat menurunkan laju aliran
permukaan. Penutupan lahan mempunyai hubungan eksponensial dengan

15

permukaan kontak dan erosi yang dihasilkan serta mempunyai nilai yang
bervariasi tergantung pada tipe penggunaan lahannya (Rose et al. 1997b).
Selain itu permukaan kontak mempunyai hubungan eksponensial dengan
konstanta permukaan kontak yaitu

ks . Nilai ini diperoleh dari hubungan tanah

yang tererosi dengan tanaman penutup dan tanpa tanaman (bera) dengan
permukaan kontak seperti tersaji dalam persamaan 12.
c/c b = exp(ksCs ).................................................................. (12)
Keterangan:
c=

erosi tanah pada tanaman tertentu;

c b= erosi tanah pada kondisi bera;


Cs=

fraksi dari permukaan kontak penutupan; dan

k s=

konstanta permukaan kontak.


Akhirnya, dengan menambahkan persamaan 11, 12, dan total aliran

permukaan (Q) pada persamaan 9, maka jumlah keseluruhan masa tanah yang
hilang pada setiap kejadian erosi (M) disajikan pada persamaan 13.

Prosedur perhitungan erosi dengan metode Rose pada prinsipnya adalah


mengakomodasikan besaran aliran permukaan dan konsentrasi sedimen dalam
aliran permukaan pada setiap kejadian hujan. Secara rinci diagram alir
perhitungannya disajikan dalam Gambar 2 berikut:

16

Operasional model GUEST


Data yang diperlukan untuk menjalankan model GUEST dengan SIGPCRaster adalah (1) informasi tanah, berupa data run-off dan infiltrasi, data
kohesi tanah, dan berat jenis sedimen; (2) garis kontur, berupa DEM (digital
elevation model), slope, dan aspek/arah, serta LDD (local drain direction); (3)
land use, berupa koefisien Mannings, dan contact cover; (4) jaringan sungai; dan
(5) data iklim berupa curah hujan.

17

Data tinggi permukaan tanah digunakan untuk membangun peta DEM.


Proses ini memerlukan konversi format vektor ke raster yang dikerjakan dengan
bantuan ektensi grid tools analysis tetapi sebelumnya format vektor diubah dulu
dalam area-area triangulasi atau disebut TIN (triangulated irregular networks)
prosedur. Proses ini dikerjakan dengan bantuan ektensi 3D dan spatial analysis
dari program ArcView 3.1. Selanjutnya diekspor ke dalam format ASCII yang
dipakai sebagi masukan data spasial dari PCRaster. Sebelum konversi ke format
raster diperlukan clone.map (tipe scalar) yang merupakan kloning dari data
spasial sebelumnya. Proses ini selengkapnya disajikan dalam diagram alir pada
Gambar 3.
Peta DEM digunakan untuk membuat peta lereng dan peta LDD, yaitu
peta arah aliran (flow path) dari aliran permukaan. Peta lereng digunakan
untuk menghitung besarnya sedimen yang terangkut dari satu raster ke raster yang
lain. Sedangkan arah aliran digunakan untuk menghitung besarnya debit run-off
atau erosi yang terjadi per satuan raster. Peta LDD dibuat dengan komando
operasi PCRaster sebagai berikut:
PCRCalc LDD.map = lddcreate(DEM.map,1,1e35,1e35,1e35)
Seperti halnya peta DEM, maka peta tanah analog perlu diubah ke peta
digital, yang memerlukan konversi format vektor ke raster yang dikerjakan
dengan bantuan ektensi grid tools analysis dari program ArcView 3.1 dan
tidak memerlukan TIN prosedur. Selanjutnya diekspor ke dalam format ASCII
yang dipakai sebagi masukan data spasial dari PCRaster. Sebelum konversi ke
format raster diperlukan clone.map (tipe nominal) yang merupakan kloning dari
data spasial sebelumnya. Proses ini selengkapnya disajikan dalam diagram
alir Gambar 4.

18

Peta tanah digunakan untuk membuat peta Sed-den dan peta Sed-vel, yaitu
kerapatan

jenis tanah dari partikel tanah yang hanyut

dalam aliran

permukaan dan laju kecepatan partikel tanah. Kerapatan jenis dan kecepatan aliran
partikel tanah sangat tergantung pada jenis tanah. Peta-peta ini merupakan peta
perantara yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya dan terjadi saat proses
perhitungan dilakukan. Pengisian nilai-nilai spasial peta-peta ini dilakukan dengan
komando operasi LookUp dari PCRaster, yaitu:

19

PCRCalc Sedden.map = lookupscalar(Density.tbl,Soil.map)


PCRCalc Sedvel.map = lookupscalar(Velocity.tbl, Soil.map)
Peta tanah juga digunakan untuk membuat peta erodibilitas tanah. Seperti
halnya dengan peta sed-den dan sed-vel yang merupakan data spasial perantara,
digunakan untuk perhitungan selanjutnya, proses pembuatan peta beta dilakukan
dengan komando operasi LookUp dari PCRaster, yaitu:
PCRCalc Beta.map = lookupscalar(Cohesive.tbl,Soil.map)
Seperti halnya peta tanah, maka peta penggunaan lahan analog perlu
diubah ke peta digital, yang memerlukan konversi format vektor ke raster yang
dikerjakan dengan bantuan ektensi grid tools analysis dari program ArcView 3.1
dan tidak memerlukan TIN prosedur. Selanjutnya diekspor ke dalam format ASCII
yang dipakai sebagai masukan data spasial dari PCRaster. Sebelum konversi ke
format raster diperlukan clone.map (tipe nominal) yang merupakan kloning
dari data spasial sebelumnya. Proses ini selengkapnya disajikan dalam diagram
alir pada Gambar 5.
Peta penutupan lahan digunakan juga untuk membuat peta kekasaran
Mannings dan peta contact cover (bagian tanah yang terbuka dan langsung
dikenai air hujan dan tidak tertutup oleh tanaman). Peta-peta ini merupakan peta
perantara yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya dan terjadi saat proses
perhitungan dilakukan. Pengisian nilai-nilai spasial peta-peta ini dilakukan dengan
komando operasi LookUp dari PCRaster, yaitu:
PCRCalc Manning.map = lookupscalar(Manning.tbl,Crop.map)
PCRCalc Contcov.map = lookupscalar(Contcov.tbl, Crop.map)
Kedua tabel Manning dan contact cover merujuk pada jenis tanaman yang
ada di lahan saat proses kejadian hujan dan erosi terjadi. Nilai-nilai ini diadopsi
dari hasil penelitian proyek ACIAR yang dilakukan di Malaysia, Thailand, dan
Philippina, dan Benua Australia belahan Utara. Sedangkan Indonesia mengadopsi

20

dari proyek ICRAF di Lampung, yaitu tanaman tahunan berbasis kopi (ICRAF,
2002, Rose, et.al., 1985, dan Rose, et.al., 1997 dalam Eiumnoh et al., 2002).
Kedua peta ini selanjutnya digunakan untuk menghitung debit aliran
permukaan dan kapasitas angkut sedimen, serta deposisi sedimen dalam satu jalur
flow path.

21

Data curah hujan yang digunakan dalam model ini adalah intensitas hujan
dengan satuan mm per jam. Data ini diperoleh dari alat curah hujan otomatis yang
telah disetel untuk merekam data per enam menit. Untuk itu diperlukan konversi
sebagai berikut: pertama data per enam menit diubah ke mm per jam dan dibuat
dalam file Raind.tss; kedua setiap ada kejadian hujan dibuat nilai 1 bila tidak 0
dan dibuat dalam file Raind.tss; ketiga enam menit dikonversi ke detik (6 x 60 =
360) dan dibuat dalam file dune.tss (Paningbatan, 2001 dan Eiumnoh, 2002).
Ketiga file ini dibuat dalam format ASCII seperti halnya data tabular yang

22

diperlukan PCRaster untuk menjalankan model ini. Selain itu dari beberapa data
yang telah direkam harus dipilih hujan tunggal untuk digunakan dalam model.

Model ini menggunakan skrip komando operasi (perintah ditulis dalam


satu file yang diberi nama Model.mod) yang prosesnya secara dinamis dihitung
sesuai dengan timestep (penggal waktu) yang banyaknya sama dengan input data
hujan. Selanjutnya perhitungan otomatis dengan batch file (1run.bat) yang berisi
perintah model dengan mengetikkan PCRCalc -f Model.mod.
Kelemahan dan keunggulan
Dibandingkan dengan USLE, salah satu keunggulan dari model fisik
seperti GUEST adalah terakomodasinya fungsi filter sedimen. Dalam model
GUEST terdapat tiga parameter yang dapat dipengaruhi oleh specific filterstrips
dan tipe penggunaan lahan, yaitu: koefisien manning, faktor penutupan
23

permukaan lahan (the surface contact cover factor) yakni Cs dan Ks. Koefisien
Mannings meningkat ketika kekasaran permukaan meningkat, dan membuat
kecepatan aliran menurun, selanjutnya menyebabkan hasil sedimen

(sedimen

yield) menurun. Cs dan Ks merupakan faktor penyesuaian untuk menggunakan


persamaan pada kondisi tanah berpenutup (covered soil), sebagai pengganti dari
tanah bera (Schmitz dan Tameling, 2000). Cs (contact cover fraction) ditentukan
oleh tipe penggunaan lahan (land use), termasuk penutupan permukaan tanah oleh
mulsa atau serasah (daun yang jatuh di atas permukaan tanah). Ks
merupakan data empiris dan merupakan faktor tidak berdimensi (dimensionless
factor), mempunyai kisaran nilai antara 5-15 (Rose, 1997). Schmitz dan Tameling
(2000) mengasumsikan nilai Ks sebesar 10 dengan nilai kesalahan 5 untuk
prediksi erosi pada lahan usaha tani kopi, sedangkan untuk lahan sawah
Sinukaban et al. (2000) menetapkan Ks sebesar 5.
Faktor erodibilitas tanah yang digunakan dalam model GUEST () lebih
pasti dibandingkan dengan K dalam USLE. , sebagian besar berhubungan
dengan soil strength. Depositability () atau kemampuan agregat atau partikel
tanah untuk mengendap, juga dilibatkan dalam penghitungan erosi. K merupakan
gabungan dari beberapa parameter (lumped parameter) yang tergantung dari:
karakteristik infiltrasi, koefisien kekasaran manning, kecenderungan untuk
membentuk

alur (rill) stabilitas

agregat

tanah

terhadap

curah

hujan,

kecenderungan tanah untuk terkonsolidasi atau menjadi kuat direfleksikan dalam


(Rose et al., 1997b).
Perbedaan utama antara model empiris USLE dengan model fisik GUEST
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Utama antara model USLE dan Guest


Karakteristik
USLE
GUEST
Temporality
Statis (simulasi erosi pada rata- Semi-Statis(simulasi
erosi
rata tahunan)
dapat dilakukan per kejadian )
Persamaan
Empiris
berdasarkan
data Physically
based(meskipun
statistik
dari
penelitian beberapa hubungan empirik
pengukuran erosi
digunakan)

24

Proses

Implisit

(tidak

mengisolasi

dapat Explicit(memungkinkan untuk

memisahkan mengisolasi/memisahkan

pengaruh dari given variable)

pengaruh

dari

suatu

given

variable)given variable)
Lebih kompleks
Parameter tidak terlalu banyak
Plot dan small chatchments bila

Komplektisitas Simple (sederhana)


Kebutuhan
Input parameter sedikit
Skala
Plot size (ukuran Plot)

dioperasikan dengan program


Aplikasi

Keterbatasan

geostatistik yang dinamik


Cropland (lahan pertamanan), Cropland (lahan pertanaman),
range
land
(lahan range
land
(lahan
penggembalaan),hutan
penggembalaan), hutan
Ketidakakuratan untuk area- Hubungan empiris dimasukkan
area tanpa kalibrasi lapangan, untuk

menyederhanakan

tidak boleh digunakan pada persamaan


keadaan

gully(ephemeral

gully), masalah untuk multiple


land

uses

kemiringan

pada

suatu

lahan,

kadang-

kadang overestimasi, tidak bisa


digunakan
sediment
untuk

untuk

prediksi

deposition,

menghitung

tidak

distribusi

spasial sedimen pada lereng


Keuntungan
Fasilitas
Komputer
Output

bukit (hill slope)


Sederhana,
diterima
digunakan secara luas
Ya/tidak

dan Divalidasi untuk negara-negara


di daerah tropis, menggunakan
runoff untuk menghitung erosi
Ya

Rata-rata erosi jangka panjang Konsentrasi


sedimen
per unit area
kejadian hutan

per

Sumber disarikan dari ICRAF,2001

2.4 Barchart Perencanaan Pengendalian Erosi Dan Sedimen


Pengelolaan erosi dan sedimen mengacu pada pola pengelolaan sumber
daya air dengan tetap memperhatikan penataan ruang dan pengurusan hutan.
25

Adapun sedimen di suatu potongan melintang sungai merupakan hasil erosi di


daerah aliran hulu potongan tersebut dan sedimen tersebut terbawa oleh aliran dari
tempat erosi terjadi menuju penampang melintang itu (Einstein, 1964).
Perencanaan pengendalian erosi dan sedimen secara struktur (rekaya)
dapat dibagi menjadi empat langkah (Goldman et al., 1986):
-

Pengumpulan data
Analisis data
Pengembangan perencanaan lapangan
Pengembangan perencanaan pengendalian erosi dan sedimen
Untuk detail dari masing-masing langkah ditunjukkan dalam bagan

berikut,

26

Pengumpulan data
Topografi
DAS : overland flow and chanell flow
Hujan
Tanah
Penutup lahan
Area yang berdekatan

Analisa Data
Pola DAS : overland flow dan chanell flow
Hujan dan run off
Kemiringan dan panjang
Tanah
Penutup lahan
Area yang berdekatan

Pengembangan perencanaan lapangan


Pengembangan pasti dari lokasi (terrain)
Pembatasan aktifitas konstruksi pada daerah yang paling kecil tingkat
kekritisannya (mengurangi biaya)
Pengelompokkan (cluster) bangunan bersama
Peminimalan daerah kedap air
Pertahankan drainase alami

Pengembangan perencanaan pengendalian erosi dan sedimen


Penentuan lahan pembersihan (land clearing) dan grading
Kajian ulang (re-examine) DAS
Aplikasi prinsip2 pengendalian erosi dan sedimen

Bagan Perencanaan Pengendalian Erosi dan Sedimen (Goldman, et al., 1986)

27

28

BAB III
STUDI KASUS
3.1 Pendahuluan
Laju sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu dalam
dasawarsa terakhir dilaporkan meningkat hampir dua kali lipat (Pikiran Rakyat,
2006). Fakta ini ditunjukkan oleh laju ekspor sedimen tahunan sebesar 1.18juta
ton pada tahun 1993 yang meningkat menjadi 2.15juta ton pada tahun 2003. Hal
tersebut diduga disebabkan oleh kerusakan ekosistem di sepanjang DAS terutama
berkurangnya luas hutan di bagian hulu. Makalah ini mendiskusikan hubungan
antara perubahan tutupan lahan dengan perubahan perilaku erosi. Daerah yang
dikaji adalah DAS Citarum Hulu (Gambar 1).

DAS Citarum Hulu mencakup mata air sungai Citarum hingga Saguling
(Gambar 1) dengan luas sekitar 1771 km2 sebagai bagian dari DAS Citarum yang
merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa Barat. Untuk keperluan pengelolaan,
DAS Citarum Hulu dibagi ke dalam lima sub-DAS yaitu: Cikapundung, Citarik,
Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey (Perum Otorita Jatiluhur, 1990). Curah hujan
bulanan rata-rata yang diukur pada tahun 2001 berkisar dari 45 sampai 352 mm
dengan nilai total curah hujan tahunan sebesar 2200mm. Kondisi topografi
didominasi oleh pegunungan sepanjang batas DAS dan dataran yang luas di

29

tengah DAS. Tata guna lahan didominasi oleh pertanian dan hutan. Selama
rentang waktu tujuh tahun (1994-2001) luas hutan berkurang hampir 60%,
sebaliknya luas lahan pertanian bertambah hingga 40%.
3.2 Pendekatan Pemecahan Masalah
3.2.1 Model Perilaku Erosi DAS
Pada sebuah DAS, laju erosi tahunan pada umumnya dimodelkan secara
empirik dengan Universal Soil Loss Equation (USLE), sebagai (Wischmeier &
Smith, 1978):
. . . (1)
dengan E = laju erosi, LS = indeks kemiringan lereng, C = tutupan lahan, K =
erodibilitas dan R = erosivitas. Secara empirik, persamaan laju erosi yang
ditunjukkan pada persamaan (1) dinyatakan dalam ton/km2/tahun.
LS didapat dari model elevasi digital untuk wilayah yang dikaji dengan (Lu et al.,
2003):

. . . (2)
dengan,
m = 0.2 untuk 0 s < 1
m = 0.3 untuk 1 s < 3
m = 0.4 untuk 3 s < 4.5
m = 0.5 untuk s 4.5
dengan L = panjang profil kemiringan yang memiliki nilai lebih besar dari 122m
(Renard et al., 1997), m = indeks kemiringan dan s = persen kemiringan, adapun
k=22.1, k1=65.41, k2=4.56 dan k3=0.065 adalah konstanta-konstanta empirik.
C didapat dari Tabel 1 yang menunjukkan pengaruh vegetasi, seresah,
keadaan permukaan tanah dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang
tererosi. Tata guna lahan dikelompokkan berdasarkan tutupan vegetasi atau
keterbukaan lahan.
Tabel 1 Nilai tata guna lahan (Trahan, 2003)

30

No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jenis Tata Guna Lahan


Sungai / kolam / danau
Zona Industri
Permukiman
Vegetasi air / lahan basah
Hutan
Semak, belukar, taman
Kebun, lahan kering
Lahan terbuka
Zona pertambangan

C
0.0001
0.0005
0.0007
0.001
0.002
0.003
0.005
0.4
0.7

K menyatakan resistensi partikel sedimen terhadap energi kinetik yang


ditimbulkan hujan dan pengangkutan oleh air limpasan permukaan (Tabel 2).
Tabel 2 Erodibilitas (KKES, 2002; Kartasapoetra, 1991) Jenis
Tanah
Aluvial, planosol, hidromorf kelabu, laterik
Latosol
Mediteran
Andosol, grumosol, podsol, podsolik
Regosol, litosol, organosol, renzina

K
0.20
0.23
0.24
0.26
0.31

Kode
3
1
2
0
2

Resistensi sedimen dipengaruhi oleh tekstur tanah, stabilitas agregat dan


kapasitas peresapan yang bergantung pada sifat organik dan kimiawi tanah.
R adalah indeks yang menyatakan kapasitas gaya eksternal yang
dibangkitkan oleh hujan untuk melepaskan partikel sedimen dari permukaan tanah
yang dinyatakan sebagai fungsi dari curah hujan P dalam persamaan Lenvain
(DHV Consulting Engineers, 1989):

. . . (3)
dengan, P = curah hujan bulanan.
USLE hanya menyatakan laju erosi tahunan (E) yaitu massa sedimen yang
tererosi dari sumbernya. Sedimen yang tererosi akan terpindahkan oleh aliran air
melalui lereng DAS dan menuju sistem saluran. Sebagian massa sedimen akan
terdeposisi (terendapkan) baik pada lereng DAS maupun sistem saluran, sehingga

31

sedimen yang terekspor keluar dari sebuah DAS (Y) biasanya akan jauh lebih
kecil dari massa sedimen yang tererosi. Perbandingan antara massa sedimen yang
terekspor keluar dari suatu DAS (Y) dengan total massa sedimen yang tererosi (E)
disebut sebagai sediment delivery ratio (SDR) sehingga:
. . . (4)
Estimasi SDR biasanya dihubungkan secara empirik dengan luas DAS
sebagai:
. . . (5)
dengan A = luas DAS serta dan sebagai konstanta-konstanta empirik yang
dapat diperoleh dari persamaan regresi. Konsep baru untuk mengestimasi SDR
dibangun berdasarkan representasi proses fisik transpor sedimen pada lereng DAS
dan sistem saluran yang masing-masing berfungsi sebagai sub-sistem penyimpan
sedimen (Sivapalan et al., 2002) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
E

LERENG BUKIT

yh(t)

JARINGAN SUNGAI

Gambar 2. Visualisasi hubungan Y dan E

Konsep pemodelan SDR didasarkan pada pembagian DAS ke dalam dua


buah sistem penyimpanan yaitu: (i) penyimpanan pada lereng dan (ii)
penyimpanan pada jaringan sungai. Sedimen dari area yang tererosi menuju
jaringan sungai dinyatakan dalam yh(t).
Hubungan linier antara yh(t) dan kapasitas penyimpanan lereng dinyatakan
dengan:
. . . (6)
dengan Sh(t) = penyimpanan sedimen pada lereng dan th = waktu tinggal sedimen
pada penyimpanan di lereng. Hubungan linier antara sedimen yang terekspor
keluar dari DAS (Y) dengan penyimpanan pada jaringan sungai dinyatakan
dengan:
. . . (7)
dengan Sn(t) = penyimpanan sedimen pada jaringan sungai dan tn = waktu tinggal
sedimen pada jaringan sungai.
32

Solusi analitik dari persamaan-persamaan (6) dan (7) dikemukakan oleh


Sivapalan et al. (2002) sebagai fungsi ekponensial dari waktu tinggal sedimen (th
dan tn) dan durasi curah hujan efektif (ter), untuk tn th:

. . . (8)

dan untuk tn = th:

. . . (9)
Waktu tinggal sedimen baik pada elemen lereng bukit maupun jaringan
sungai menyatakan kapasitas DAS dalam mengangkut sedimen. Karena partikel
sedimen terangkut oleh aliran air saat hujan, maka waktu tinggal sedimen
diestimasi berdasarkan penghitungan kecepatan air. Untuk keperluan ini, dihitung
durasi curah hujan rata-rata (tr) dan durasi curah hujan efektif (ter) yang
diasumsikan berhubungan langsung dengan curah hujan rata-rata tahunan. Lu et
al. (2003) menunjukkan bahwa untuk rentang curah hujan tahunan rata-rata
250mm sampai 1500mm, maka rentang durasi curah hujan rata-rata dan durasi
curah hujan efektif adalah 7.5 sampai 25 jam. Erosi sedimen hanya terjadi selama
curah hujan efektif.
Waktu tempuh aliran air diestimasi dari kemiringan lahan, kekasaran
permukaan

tanah

(roughness)

dan

intensitas

curah

hujan.

Selain

itu

dipertimbangkan juga faktor kecepatan jatuh partikel sedimen pada kolom air,
sehingga waktu tempuh aliran pada lereng dan pada sistem saluran dimodelkan
dengan:
. . . (10.a)
. . . (10.b)
dengan thw = waktu tempuh air melalui lereng bukit, tnw = waktu tempuh air melalui
jaringan sungai, sedangkan Fh dan Fn adalah fungsi eksponensial:
. . . (11.a)

. . . (11.b)

dengan ws = kecepatan jatuh sedimen pada kolom air, sedangkan h dan n, adalah
faktor yang berbanding terbalik dengan kedalaman aliran air, h = hh1 dan n = hn1,

33

dengan hh dan hn masing-masing adalah kedalaman aliran melalui lereng bukit dan
jaringan sungai. Secara umum, h lebih besar dari n karena biasanya kedalaman air
di daerah pegunungan hanya berada pada orde centimeter sedangkan pada saluran
dapat mencapai orde meter. Kecepatan jatuh sedimen dihitung menggunakan:

. . . (12)
dengan s = densitas sedimen, = densitas air, g = percepatan gravitasi, d =
ukuran butir partikel, Rep = wsd/ adalah bilangan Reynolds untuk kecepatan jatuh
yang dihitung berdasarkan data ukuran butir sedimen, = viskositas kinematik air
dan CD = koefisien geser:
. . . (13)
3.2.2 Implementasi Model Perilaku Erosi DAS
Implementasi model perilaku erosi DAS dilakukan dengan penghitungan
E dan SDR. Data yang digunakan terdiri dari:
1. Model Elevasi Digital (MED) daerah yang dikaji yang diperoleh dari Shuttle
Radar Topographic Mission (SRTM) dengan resolusi 90m (Rodriguez et al.,
2005).
2. Peta Tematik Jenis Tanah skala 1:250.000 yang bersumber dari Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat.
3. Peta Tata Guna Lahan tahun 1994 dan 2001 skala 1:50.000 yang bersumber dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat.
4. Tabel data curah hujan rata-rata bulanan yang bersumber dari Badan
Meteorologi dan Geofisika.
Untuk itu, keseluruhan wilayah kajian direpresentasikan secara geometrik
oleh MED yang diekstraksi dari data SRTM. MED tersebut kemudian diturunkan
menjadi peta kemiringan dan jaringan sungai menggunakan metode yang
dikemukakan oleh Jenson & Domingue (1988). Peta kemiringan digunakan untuk
menghitung kecepatan aliran. Untuk membangun model jaringan sungai, MED

34

diturunkan terlebih dahulu ke dalam peta arah aliran kemudian diturunkan lagi
menjadi peta akumulasi aliran.
Pemodelan laju erosi tahunan (E) dilakukan mengikuti persamaanpersamaan (2) dan (3) serta Tabel 2 dan Tabel 3. Pemodelan SDR dilakukan
dengan pendefinisian (deliniasi) unit spasial dan penghitungan waktu tempuh
aliran air yang melalui lereng bukit dan jaringan sungai pada unit spasial yang
telah ditentukan tersebut. Satu unit spasial terdiri dari satu atau lebih lebih piksel
dalam grid MED yang menjadi basis untuk penghitungan SDR dan Y. Pada
wilayah yang dikaji terdapat sekitar 4100 unit spasial dengan masing-masing luas
area antara 8.1103 sampai 70 km2. Penghitungan E dilakukan pada setiap grid
MED. Implementasi pemodelan spasial tersebut dilakukan menggunakan
perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ESRI ArcInfo (ESRI, 2005).

Selanjutnya, dihitung waktu tempuh aliran air rata-rata (dari sumber erosi
sampai ke titik pengeluaran DAS) melalui lereng DAS untuk setiap unit spasial
dengan:
. . . (14)
dengan Vh = kecepatan aliran di lereng, ie = kelebihan curah hujan, L = jarak
tempuh melalui jalur aliran, s = desimal kemiringan dan n = koefisien kekasaran
permukaan Manning. Kelebihan curah hujan ie bervariasi menurut tata guna lahan
dan dihitung dengan:
. . . (15)
dengan tr = durasi curah hujan rata-rata dan Pe = sisa curah hujan:

35

. . . (16)
dengan P = curah hujan dan S = kapasitas penyimpanan tanah yang dinyatakan
sebagai fungsi tata guna lahan:
. . . (17)
dengan CN = curve number yang menyatakan keragaman tata guna lahan yang
diperoleh dari rata-rata bobot area tiap jenis tata guna lahan:

. . . (18)
dengan i = unit spasial yang memiliki beragam jenis tata guna lahan, m = jumlah
unit spasial, CNi = angka yang merepresentasikan terminologi penyimpanan dan
Ai = luas area. CN didapatkan dari Tabel 3. Nilai 0 sampai 3 pada tabel tersebut
merupakan

kode

karakteristik

jenis

tanah

yang

menyatakan

kapasitas

penyimpanan berdasarkan tipe-tipe jenis tanah yang diberikan pada Tabel 2.


Koefisien kekasaran permukaan Manning didasarkan pada jenis tata guna
lahan dan prosentase tutupan lahan (Cv) seperti ditunjukkan di Tabel 4.

Pada jaringan saluran, kecepatan aliran dihitung dengan:


. . . (19)
dengan Vn = kecepatan aliran pada jaringan sungai, s = kemiringan dan a =
koefisien kekasaran permukaan dasar sungai. Nilai a diberikan oleh Tabel 5.

36

Berdasarkan nilai V dari persamaan 14 dan 19, waktu tinggal (t) melalui
tiap piksel pada MED dihitung dengan:
. . . (20)
dengan D = jarak tempuh pada MED; D sama dengan panjang sisi piksel untuk
aliran tegak lurus atau D2 untuk aliran diagonal.
Waktu tempuh pada komponen lereng dan jaringan sungai digunakan
untuk menghitung SDR dengan mengasumsikan ukuran butir sedimen sebesar
80m. Ukuran butir tersebut memberikan estimasi kecepatan jatuh sebesar
0.009m/s. Kedalaman aliran yang digunakan untuk persamaan 11a dan 11b
diasumsikan sebesar 0.2cm untuk lereng bukit dan 1m untuk jaringan sungai.
Nilai waktu tinggal partikel sedimen pada permukaan tanah untuk masing-masing
komponen lereng dan komponen sungai dalam penelitian ini masing-masing
sebesar 104.35 jam dan 2.53 jam (Basyar, 2006). SDR dihitung untuk tiap-tiap
piksel menggunakan persamaan 8 dan 9.
3.2.3 Perubahan Tutupan Lahan dan Laju Ekspor Sedimen
Laju ekspor sedimen Y untuk setiap unit spasial diperoleh berdasarkan
estimasi E dan SDR seperti dituliskan pada persamaan 4. Implementasi model
perilaku erosi DAS Citarum Hulu berikut pengujian hasil pemodelannya dengan
data lapangan menunjukkan akurasi hasil pemodelan Y hingga 8% untuk tahun
2001 dan 54% untuk tahun 1994 (Poerbandono et al., 2006). Deviasi Y model dan
data lapangan pada tahun 1994 disebabkan karena penggunaan data (topografi dan
curah hujan) yang hanya berasal dari tahun 2001. Hanya data tata guna lahan yang
tersedia untuk ke dua waktu pemodelan tersebut.

37

Hal menarik yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini
adalah hubungan antara perubahan perilaku erosi DAS Citarum dengan perubahan
tata guna lahan di atasnya. Perubahan perilaku erosi direpresentasikan dengan
perubahan laju ekspor sedimen total dari DAS Citarum Hulu untuk tahun 1994
dan 2001:
. . . (21)
Sebaran spasial Y pada daerah yang dikaji akan dihubungkan dengan
sebaran spasial perubahan tata guna lahan. Identifikasi jenis perubahan lahan
dilakukan dengan deliniasi daerah yang mengalami perubahan laju erosi yang
ekstrem.
Pada Gambar 2 diperlihatkan tata guna lahan DAS Citarum Hulu untuk
tahun 1994 dan 2001. Perubahan ekstrem terlihat utamanya di bagian selatan
berupa konversi hutan menjadi tanah terbuka (semak, belukar atau lahan kering).
Data ini digunakan sebagai masukan dalam pemodelan E dan SDR. Gambar 3
menunjukkan model jaringan saluran yang merupakan turunan ke dua dari MED
DAS Citarum Hulu. Hasil penghitungan sebaran spasial laju ekspor sedimen Y di
DAS Citarum Hulu ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 5 menunjukkan
distribusi spasial perubahan laju ekspor sedimen yang melebihi 100ton/km2
selama tujuh tahun. Berdasarkan Gambar 5 dapat dikatakan bahwa perubahan
perilaku erosi DAS Citarum Hulu (yang dalam studi ini diwakili oleh perubahan
laju ekspor sedimen) terkonsentrasi pada bagian selatan.

38

39

Investigasi lebih lanjut dilakukan pada sebaran spasial perubahan laju


ekspor sedimen pada bagian selatan DAS Citarum Hulu. Gambar 6
memperlihatkan pertampalan antara deliniasi daerah dengan perubahan laju
ekspor sedimen dengan deliniasi batas wilayah hutan yang telah terkonversi
selama tujuh tahun menjadi lahan terbuka. Pada Gambar 6 juga diperlihatkan
batas-batas wilayah administrasi desa-desa tempat konversi hutan menjadi lahan
terbuka terjadi.

3.3 Pembahasan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan
terpanjang di Jawa Barat, secara Geografis dari 106 5136 - 107 51 BT dan
7 19 - 6 24 LS. Luas DAS Citarum : 718.268,53 Ha, Panjang DAS Citarum :
269 Km (Sungai Utama), 14.346,24 Km (termasuk anak sungai), Berasal dari
Mata Air Gunung Wayang melalui 8 Kabupaten (Bandung, Kota Bandung, Kota
Cimahi, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Bogor dan Karawang sebagai muara
Sungai Citarum.
Terdapat 12 Sub DAS dan Terdapat 3 Waduk Besar (Saguling, Cirata dan
Jatiluhur). Sebagai Sumber air irigasi pertanian 300.000 Ha dan juga sebagai
sumber air minum untuk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi,
Karawang, Jakarta. Luas Lahan Kritis = 125.692,20 Ha dengan Frekwensi
40

kejadian banjir setiap tahun ada serta Sedimentasi rata-rata = 25,52 ton/ha/thn
Terdapat 12 Sub DAS dan Terdapat 3 Waduk Besar (Saguling, Cirata dan
Jatiluhur). Sebagai Sumber air irigasi pertanian 300.000 Ha dan juga sebagai
sumber air minum untuk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi,
Karawang, Jakarta. Luas Lahan Kritis = 125.692,20 Ha dengan Frekwensi
kejadian banjir setiap tahun ada serta Sedimentasi rata-rata = 25,52 ton/ha/th.
Dalam permsalahannya Sub DAS Citarum dibagian hulu adalah satu
kondisi yang terburuk selama bertahun tahun. Sub DAS tersebut meliputi
Cikapundung, Citarik, Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey.

Gambar 1. (Sub Das Citarum hulu)

Gambar 2. (Distribusi spasial laju ekspor sedimen tahun 2001,


Poerbandono et al, 2006)

41

0
Gambar 3. (Jaringan saluran, Poerbandono, 2006)
Tingkat sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun (Dinas
Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bandung, Ir. H. Tisna Umaran 25 -7
-2010). seperti terlihat dalam gambar bahwa distribusi laju spasial ekspor sedimen
di daerah luhu sekitar 400 ton/km2/tahun masih didaerah Kota Bandung, Kab.
Bandung, dan Kota Cimahi ditahun 2006. Sedangkan transport sedimen didaerah
hilir sekitar 900 3000 ton/km2/tahun di tahun 2006. sedangkan untuk transport
sedimen sekitar 3000 7000 ton/km2/tahun masih relatif kecil dan kebanyakan
didaerah hilir dari Sub DAS hulu Citarum. Hasil perhitungan total MSMAS
(2009) bahaya erosi menggunakan peta penggunaan atau tutupan lahan pada tahun
2002 di DAS Citarum Hulu sebesar 15.206.301 Ton, yang masing masing sub
DAS mempunyai kontribusi sebagai berikut :
Sub Das
Sub DAS Cikapundung
Sub DAS Citarik
Sub DAS Cisangkuy
Sub DAS Cikeruh
Sub DAS Cirasea
Sub DAS Ciwidey

Jumlah sedimentasi
3.638.561 Ton
3.249.367 Ton
2.612.637 Ton
2.156.128 Ton
1.885.645 Ton
1.668.156 Ton

42

Sedangkan hasil prediksi rerata erosi tahunan dengan metode USLE urutan
tertinggi ke terendah adalah :

Sub Das
Sub DAS Citarik
Sub DAS Cikeruh
Sub DAS Cikapundung
Sub DAS Cisangkuy
Sub DAS Ciweday
Sub DAS Cirasea

Jumlah sedimentasi
123 T/ha/th
96 T/ha/th
94 T/ha/th
74 T/ha/th
70 T/ha/th
55 T/ha/th

Akibat dari erosi di DAS hulu Citarum dan sedimentasi yang


berkepanjangan

menyebabkan

banyak

permasalahan.

Diantaranya

banjir

musiman, kemarau di saat musim kering, dan sedimentasi waduk (waduk


Seguling dan lainnya).
Dalam pengolahannya untuk DAS hulu Citarum harus melibatkan
beberapa aspek seperti pemerintah, penduduk, LSM dan Dinas dinas yang
berkaitan.
Permasalahan di Sub DAS Citarum Hulu
Adapun permasalahan di Sub DAS Citarum hulu yang menyebabkan erosi
dan sedimentasi adalah sebagai berikut :
-

Berkurangnya areal hutan lindung


Berkembangnya lahan pertanian yang tidak ramah lingkungan
Berkembangnya pemukiman yang tak terkendali dan tanpa perencanaan

yang baik
Limbah domestik
Limbah peternakan
Limbah industri, sampah,
Tata ruang yang kurang baik.
Pemecahan masalah ( non teknis )

Untuk pemecahan ,masalah tersebut harus dilihat beberapa aspek seperti


aspek teknis dan aspek nonteknis. Upaya upaya nonteknis antara lain :
-

Penghijauan kembali hutan lindung.


Pengembangan lahan pertanian yang terintegrasi dan ramah lingkungan
Penataan ruang kembali yang sesuai dengan kebutuhan tataguna lahan.

43

Interaksi sosial kapada masyarakat disekitar DAS Citarum tentang bahaya

sampah dan limbah masyarakat


Sedangkan untuk limbah industri harus diupayakan kepada perusahaan
untuk menata kembali sistem pembuangan limbah tersebut.
Pemecahan Masalah ( Teknis )
Untuk aspek secara teknis pemerintah telah mengupayakan untuk

mengeruk sungai Citarum (Bandung, Kompas 6 Oktober 2010). Sedangkan


setelah pengerukan akan dibuat sistem pengendali erosi dan sedimentasi dengan
mengunakan Tecno Sabo.
Dalam pengunaan tecno sabo pemerintah mengupayakan untuk
mengunakan pada DAS Citarum hulu yang memungkin untuk mengendalikan
sedimentasi di daerah DAS tersebut. Tujuan dari pembangunan prototipe Sabo
dam adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh bangunan prototipe Sabo
dam terhadap pengurangan sedimentasi waduk, terutama waduk Seguling. Saat
ini, tengah dilaksanakan orientasi pada bidang penerapan dan pengembangan
teknik Sabo sebagai suatu sistem yang dipakai untuk mengatasi permasalahan
aliran sedimen. Kedepannya nanti, teknik Sabo dapat diterapkan pada suatu
kawasan wilayah sungai secara menyeluruh dan terpadu. (Dirjen SDA dalam
Sosialisasi Penanganan Bencana Sedimen 2010)

44

Gambar 4. (Perencanaan Pengunaan Tecno Sabo untuk DAS Citarum)

Gambar 5. (Contoh pengunaan Sabo untuk mengendalikan sedimentasi)

Gambar 6. (Sketsa pengendalian sedimen di hulu DAS Citarum)


Cara kerja Tecno Sabo sangat sederhana yaitu dengan menangkal sedimen
yang terbawa arus sungai yang kemudian menumpuk di didaerah tersebut.
Sehingga terjadi penumpukan berlebih pada dam sabo yang bisa dikeruk lagi
setiap tahunnya.
Beberapa keuntungan yang didapat jika mengunakan Sabo dam antara
lain:
-

Bangunan sabo dapat mengurangi endapan, namun penyebarannya masih


kurang merata. Hal ini karena dasar sungai di hulu bangunan (Armor River

45

Bed) yang berupa tanah keras dan berbatu menimbulkan gerusan di bagian
-

hilir.
Stabilitas bangunan cukup baik meskipun pada musim hujan tahun ini
telah terjadi banjir dengan ketinggian antara 0,8 1,00 meter sebanyak 11

kali, sedang banjir antara 1,00 1,20 meter sebanyak 4 kali.


Sebagai acuan bangunan Sabo dam di K. Lumajang sebagai penampung
sedimen yang mengalir pada alur sungai berhasil dengan baik, terlihat dari
satu kali musim hujan saja kapasitas tampung sedimen sudah hampir

penuh.
Dari hasil analisa data dapat disimpulkan bahwa bangunan prototipe
sabodam di K. Lumajang mampu mengurangi laju sedimentasi sebesar

0,032 % dari sedimentasi tahunan DAS Waduk Mrica.


Material endapan yang berupa pasir, kerikil dan beberapa batu dapat
digunakan sebagai bahan bangunan, sehingga peran serta masyarakat
sekitar bangunan yang menambang bahan galian tersebut menambah daya

tampung kapasitas prototipe sabodam.


Dengan adanya penambangan bahan galian oleh masyarakat di sekitar
bangunan dapat meningkatkan tingkat perekonomian mereka.

Pemodelan tingkat erosi dan


sedimentasi

Survei lahan
DAS hulu
Citarum
Pemecahan
masalah

46
Pengerukan dan
bangunan Sabo

Konservasi
lahan

Gambar 7. (Diagram sederhana pemecahan masalah sedimentasi di DAS hulu Citarum)

3.4 Kesimpulan
Pada DAS Citarum Hulu yang direpresentasikan oleh utamanya paramater
laju ekspor sedimen tahunan. Laju ekspor sedimen tahunan diperoleh sebagai
produk dari laju erosi tahunan dan sediment delivery ratio (SDR). Laju erosi
tahunan dihitung menggunakan USLE (Wischmeier & Smith, 1978) sedangkan
SDR diestimasi berdasarkan penghitungan waktu tinggal sedimen pada komponen
lereng dan sistem saluran (Sivapalan et al., 2002). Perubahan perilaku erosi yang
dikaji pada makalah ini adalah pertambahan laju ekspor sedimen pada tahun 2001
relatif terhadap tahun 1994. Luasan perubahan perilaku erosi yang ekstrem
ditemui di bagian selatan DAS Citarum Hulu. Invetsigasi lebih lanjut
menunjukkan bahwa pada bagian tersebut terjadi konversi hutan menjadi lahan
terbuka. Hasil studi yang didokumentasikan pada makalah ini menunjukkan
bahwa konversi hutan menjadi lahan terbuka dengan luas yang memiliki dampak
spasial yang berarti berada pada wilayah yang mengalami peningkatan laju ekspor
sedimen tahunan yang melebihi 100ton/km2.
Adapun pengendalian erosi dan sedimen dapat diminimalisir dengan
metode konservasi lahan dalam mengendalikan laju erosi yang berimplikasi pula
terhadap tingkat sedimen yang terjadi. Tekno Sabo dapat dilakukan pada daerah
hulu sungai sebagai pengendali laju sedimen di daerah hilir serta dapat pula
dilakukan pengerukan sedimen sebagai upaya dalam waktu singkat.

47

Anda mungkin juga menyukai