Tugas04 Sistem Pengendalian Erosi Dan Sedimentasi
Tugas04 Sistem Pengendalian Erosi Dan Sedimentasi
( DAS CITARUM )
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa erosi dan sedimentasi merupakan
proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya
material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan
pengendapan material yang terangkut di tempat lain. Proses erosi dan sedimentasi
ini baru mendapat perhatian cukup serius oleh manusia pada sekitar 1940-an,
setelah menimbulkan kerugian yang besar, baik berupa merosotnya produktivitas
tanah serta yang tidak kalah pentingnya adalah rusaknya bangunan-bangunan
keairan serta sedimentasi waduk. Daerah pertanian merupakan lahan yang paling
rentan terhadap terjadinya erosi (Suriin, 2002).
Indonesia merupakan Negara agraria dimana pemenuhan utama dalam
alokasi irigasinya bersumber dari sungai. Dari sungai ini kebutuhan air terutama
air irigasi dan air bersih pada umumnya terpenuhi. Akan tetapi permasalahan yang
kerap timbul di sungai-sungai Indonesia adalah erosi dan sedimentasi. Khususnya
mayoritas di daerah-daerah kota besar masalah ini tidak bisa dihindari. Hal ini
dapat mengakibatkan pendangkalan kedalaman sungai, sumbatnya saluran untuk
pengaliran, dsb. Akibat lebih jauh lagi pemenuhan kebutuhan irigasi maupun air
bersih
sungai yang meluap dikarenakan tidak bisa menampung air hujan maupun air
kiriman dari daerah lain meskipun volume air masih dibawah rencana.
Oleh karena itu perlu diadakan kajian kasus dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dengan berbagai metode. Hal ini dimaksudkan agar
permasalahan yang selama ini tidak berlarut-larut dan mengakibatkan suatu
bencana yang tidak kita inginkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Erosi
Erosi adalah terangkatnya lapisan tanah atau sedimen karena stres yang
yang ditimbulkan oleh gerakan angin atau air pada permukaan tanah atau dasar
perairan. Pada lingkungan DAS, laju erosi dikendalikan oleh kecepatan aliran air
dan sifat sedimen (terutama ukuran butirnya). Stres yang bekerja pada permukaan
tanah atau dasar perairan sebanding dengan kecepatan aliran. Resistensi tanah atau
sedimen untuk bergerak sebanding dengan ukuran butirnya. Gaya pembangkit
eksternal yang menimbulkan erosi adalah curah hujan dan aliran air pada lereng
DAS. Curah hujan yang tinggi dan lereng DAS yang miring merupakan faktor
utama yang membangkitkan erosi. Pertahanan DAS terhadap erosi tergantung
utamanya pada tutupan lahan. Penguatan pertahanan terhadap erosi dapat pula
dilakukan dengan upaya-upaya kerekayasaan.
2.2 Pengertian sedimentasi
Sedimentasi adalah merupakan proses pengendapan butir-butir tanah yang
telah terhanyutkan atau terangkut, pada tempat-tempat yang lebih rendah dan/atau
pada sungai-sungai atau waduk-waduk.
Penanggulangan angkutan sedimen di Sungai dapat berupa :
1. Menahan material yang besar-besar ( batu batu besar ) di hulu
sungai
2. Memperkecil
kemiringan
dasar
sungai
dengan
tujuan
parit, tebing sungai dan dasar sungai (Wischmeier dan Smith, 1978 dalam Arsyad,
2000). Model prediksi erosi USLE menggunakan persamaan empiris sebagai
berikut (Wischmeier dan Smith, 1978):
A = RKLSCP
Keterangan:
A = Banyaknya tanah tererosi dalam t ha-1 tahun-1;
R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan
perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30
menit (I30),
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per unit indeks erosi untuk suatu
tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan panjang 72,6
kaki (22 m) terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman;
L = Faktor panjang lereng 9 %, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan panjang
lereng tertentu dan erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22 m) di
bawah keadaan yang identik;
S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah
dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan
lereng 9 % di bawah keadaan yang identik;
C= Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman;
P= Faktor tindakan konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah
yang diberi perlakuan tindakan konservasi tanah seperti pengelolaan menurut
kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang
diolah searah lereng dalam kedaan yang identik.
dimana:
M = parameter ukuran butir yang diperoleh dari (% debu + % pasir sangat halus)
(100 - % liat) a = % bahan organik (% C x 1,724)
b = kode struktur tanah
c = kode kelas permeabilitas penampang tanah
Untuk kadar bahan organik > 6% (agak tinggi - sangat tinggi), angka 6% tersebut
digunakan sebagai angka maksimum.
Penilaian struktur dan permeabilitas tanah masing-masing menggunakan Tabel 1
dan 2.
Tabel 1. Penilaian struktur tanah
Tipe struktur tanah
Kode penilaian
Kode penilaian
Cepat (rapid)
Sedang (moderate)
Lambat (slow)
Rumus tersebut berlaku untuk lahan dengan kemiringan <22%, sedangkan untuk
lahan dengan kemiringan lebih curam digunakan rumus Gregory et al. (1977)
sebagai berikut:
10
11
= 2700 S (Cr)(Q).............................................................................(1)
dimana qsi = q ci, yaitu fluk (flux) sedimen pada arah aliran (x), q adalah fluk
edimen (debit spesifik), ci = konsentrasi sedimen, h = tebal aliran permukaan, ei =
12
pelepasan
(detachment)
oleh
butir-butir
hujan,
ri
pengangkutan
dengan
perkembangan
ilmu
komputer,
model
GUEST
(sheet
erosion). Namun demikian model tersebut dapat juga diaplikasikan untuk erosi
alur (rill erosion). Model ini dapat pula dianggap sebagai semi-static model,
karena erosi dapat diprediksi per kejadian hujan (event by event) (Schmitz dan
Tameling, 2000).
GUEST mulanya didokumentasikan oleh Misra dan Rose pada tahun 1990
dan telah mengalami beberapa pengembangan selama Proyek ACIAR (Australian
Centre for International Agricultural Research) (Rose et al., 1997a). Untuk daerah
tropis (Philippina, Malaysia, Thailand dan Australia), GUEST telah divalidasi
pada skala plot (72-1.000m2) dan menunjukkan hasil yang baik (Rose et al.,
1997a; Schmitz dan Tameling, 2000; ICRAF, 2000).
GUEST merupakan model persamaan fisik
(physical
equation)
13
menggunakan
rumus
maka
persamaan
5,
kemudian
kecepatan
aliran
VA
. (5)
Keterangan:
Q
14
C=
15
permukaan kontak dan erosi yang dihasilkan serta mempunyai nilai yang
bervariasi tergantung pada tipe penggunaan lahannya (Rose et al. 1997b).
Selain itu permukaan kontak mempunyai hubungan eksponensial dengan
konstanta permukaan kontak yaitu
yang tererosi dengan tanaman penutup dan tanpa tanaman (bera) dengan
permukaan kontak seperti tersaji dalam persamaan 12.
c/c b = exp(ksCs ).................................................................. (12)
Keterangan:
c=
k s=
permukaan (Q) pada persamaan 9, maka jumlah keseluruhan masa tanah yang
hilang pada setiap kejadian erosi (M) disajikan pada persamaan 13.
16
17
18
Peta tanah digunakan untuk membuat peta Sed-den dan peta Sed-vel, yaitu
kerapatan
dalam aliran
permukaan dan laju kecepatan partikel tanah. Kerapatan jenis dan kecepatan aliran
partikel tanah sangat tergantung pada jenis tanah. Peta-peta ini merupakan peta
perantara yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya dan terjadi saat proses
perhitungan dilakukan. Pengisian nilai-nilai spasial peta-peta ini dilakukan dengan
komando operasi LookUp dari PCRaster, yaitu:
19
20
dari proyek ICRAF di Lampung, yaitu tanaman tahunan berbasis kopi (ICRAF,
2002, Rose, et.al., 1985, dan Rose, et.al., 1997 dalam Eiumnoh et al., 2002).
Kedua peta ini selanjutnya digunakan untuk menghitung debit aliran
permukaan dan kapasitas angkut sedimen, serta deposisi sedimen dalam satu jalur
flow path.
21
Data curah hujan yang digunakan dalam model ini adalah intensitas hujan
dengan satuan mm per jam. Data ini diperoleh dari alat curah hujan otomatis yang
telah disetel untuk merekam data per enam menit. Untuk itu diperlukan konversi
sebagai berikut: pertama data per enam menit diubah ke mm per jam dan dibuat
dalam file Raind.tss; kedua setiap ada kejadian hujan dibuat nilai 1 bila tidak 0
dan dibuat dalam file Raind.tss; ketiga enam menit dikonversi ke detik (6 x 60 =
360) dan dibuat dalam file dune.tss (Paningbatan, 2001 dan Eiumnoh, 2002).
Ketiga file ini dibuat dalam format ASCII seperti halnya data tabular yang
22
diperlukan PCRaster untuk menjalankan model ini. Selain itu dari beberapa data
yang telah direkam harus dipilih hujan tunggal untuk digunakan dalam model.
permukaan lahan (the surface contact cover factor) yakni Cs dan Ks. Koefisien
Mannings meningkat ketika kekasaran permukaan meningkat, dan membuat
kecepatan aliran menurun, selanjutnya menyebabkan hasil sedimen
(sedimen
agregat
tanah
terhadap
curah
hujan,
24
Proses
Implisit
(tidak
mengisolasi
memisahkan mengisolasi/memisahkan
pengaruh
dari
suatu
given
variable)given variable)
Lebih kompleks
Parameter tidak terlalu banyak
Plot dan small chatchments bila
Keterbatasan
menyederhanakan
gully(ephemeral
uses
kemiringan
pada
suatu
lahan,
kadang-
untuk
prediksi
deposition,
menghitung
tidak
distribusi
per
Pengumpulan data
Analisis data
Pengembangan perencanaan lapangan
Pengembangan perencanaan pengendalian erosi dan sedimen
Untuk detail dari masing-masing langkah ditunjukkan dalam bagan
berikut,
26
Pengumpulan data
Topografi
DAS : overland flow and chanell flow
Hujan
Tanah
Penutup lahan
Area yang berdekatan
Analisa Data
Pola DAS : overland flow dan chanell flow
Hujan dan run off
Kemiringan dan panjang
Tanah
Penutup lahan
Area yang berdekatan
27
28
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Pendahuluan
Laju sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu dalam
dasawarsa terakhir dilaporkan meningkat hampir dua kali lipat (Pikiran Rakyat,
2006). Fakta ini ditunjukkan oleh laju ekspor sedimen tahunan sebesar 1.18juta
ton pada tahun 1993 yang meningkat menjadi 2.15juta ton pada tahun 2003. Hal
tersebut diduga disebabkan oleh kerusakan ekosistem di sepanjang DAS terutama
berkurangnya luas hutan di bagian hulu. Makalah ini mendiskusikan hubungan
antara perubahan tutupan lahan dengan perubahan perilaku erosi. Daerah yang
dikaji adalah DAS Citarum Hulu (Gambar 1).
DAS Citarum Hulu mencakup mata air sungai Citarum hingga Saguling
(Gambar 1) dengan luas sekitar 1771 km2 sebagai bagian dari DAS Citarum yang
merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa Barat. Untuk keperluan pengelolaan,
DAS Citarum Hulu dibagi ke dalam lima sub-DAS yaitu: Cikapundung, Citarik,
Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey (Perum Otorita Jatiluhur, 1990). Curah hujan
bulanan rata-rata yang diukur pada tahun 2001 berkisar dari 45 sampai 352 mm
dengan nilai total curah hujan tahunan sebesar 2200mm. Kondisi topografi
didominasi oleh pegunungan sepanjang batas DAS dan dataran yang luas di
29
tengah DAS. Tata guna lahan didominasi oleh pertanian dan hutan. Selama
rentang waktu tujuh tahun (1994-2001) luas hutan berkurang hampir 60%,
sebaliknya luas lahan pertanian bertambah hingga 40%.
3.2 Pendekatan Pemecahan Masalah
3.2.1 Model Perilaku Erosi DAS
Pada sebuah DAS, laju erosi tahunan pada umumnya dimodelkan secara
empirik dengan Universal Soil Loss Equation (USLE), sebagai (Wischmeier &
Smith, 1978):
. . . (1)
dengan E = laju erosi, LS = indeks kemiringan lereng, C = tutupan lahan, K =
erodibilitas dan R = erosivitas. Secara empirik, persamaan laju erosi yang
ditunjukkan pada persamaan (1) dinyatakan dalam ton/km2/tahun.
LS didapat dari model elevasi digital untuk wilayah yang dikaji dengan (Lu et al.,
2003):
. . . (2)
dengan,
m = 0.2 untuk 0 s < 1
m = 0.3 untuk 1 s < 3
m = 0.4 untuk 3 s < 4.5
m = 0.5 untuk s 4.5
dengan L = panjang profil kemiringan yang memiliki nilai lebih besar dari 122m
(Renard et al., 1997), m = indeks kemiringan dan s = persen kemiringan, adapun
k=22.1, k1=65.41, k2=4.56 dan k3=0.065 adalah konstanta-konstanta empirik.
C didapat dari Tabel 1 yang menunjukkan pengaruh vegetasi, seresah,
keadaan permukaan tanah dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang
tererosi. Tata guna lahan dikelompokkan berdasarkan tutupan vegetasi atau
keterbukaan lahan.
Tabel 1 Nilai tata guna lahan (Trahan, 2003)
30
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
C
0.0001
0.0005
0.0007
0.001
0.002
0.003
0.005
0.4
0.7
K
0.20
0.23
0.24
0.26
0.31
Kode
3
1
2
0
2
. . . (3)
dengan, P = curah hujan bulanan.
USLE hanya menyatakan laju erosi tahunan (E) yaitu massa sedimen yang
tererosi dari sumbernya. Sedimen yang tererosi akan terpindahkan oleh aliran air
melalui lereng DAS dan menuju sistem saluran. Sebagian massa sedimen akan
terdeposisi (terendapkan) baik pada lereng DAS maupun sistem saluran, sehingga
31
sedimen yang terekspor keluar dari sebuah DAS (Y) biasanya akan jauh lebih
kecil dari massa sedimen yang tererosi. Perbandingan antara massa sedimen yang
terekspor keluar dari suatu DAS (Y) dengan total massa sedimen yang tererosi (E)
disebut sebagai sediment delivery ratio (SDR) sehingga:
. . . (4)
Estimasi SDR biasanya dihubungkan secara empirik dengan luas DAS
sebagai:
. . . (5)
dengan A = luas DAS serta dan sebagai konstanta-konstanta empirik yang
dapat diperoleh dari persamaan regresi. Konsep baru untuk mengestimasi SDR
dibangun berdasarkan representasi proses fisik transpor sedimen pada lereng DAS
dan sistem saluran yang masing-masing berfungsi sebagai sub-sistem penyimpan
sedimen (Sivapalan et al., 2002) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
E
LERENG BUKIT
yh(t)
JARINGAN SUNGAI
. . . (8)
. . . (9)
Waktu tinggal sedimen baik pada elemen lereng bukit maupun jaringan
sungai menyatakan kapasitas DAS dalam mengangkut sedimen. Karena partikel
sedimen terangkut oleh aliran air saat hujan, maka waktu tinggal sedimen
diestimasi berdasarkan penghitungan kecepatan air. Untuk keperluan ini, dihitung
durasi curah hujan rata-rata (tr) dan durasi curah hujan efektif (ter) yang
diasumsikan berhubungan langsung dengan curah hujan rata-rata tahunan. Lu et
al. (2003) menunjukkan bahwa untuk rentang curah hujan tahunan rata-rata
250mm sampai 1500mm, maka rentang durasi curah hujan rata-rata dan durasi
curah hujan efektif adalah 7.5 sampai 25 jam. Erosi sedimen hanya terjadi selama
curah hujan efektif.
Waktu tempuh aliran air diestimasi dari kemiringan lahan, kekasaran
permukaan
tanah
(roughness)
dan
intensitas
curah
hujan.
Selain
itu
dipertimbangkan juga faktor kecepatan jatuh partikel sedimen pada kolom air,
sehingga waktu tempuh aliran pada lereng dan pada sistem saluran dimodelkan
dengan:
. . . (10.a)
. . . (10.b)
dengan thw = waktu tempuh air melalui lereng bukit, tnw = waktu tempuh air melalui
jaringan sungai, sedangkan Fh dan Fn adalah fungsi eksponensial:
. . . (11.a)
. . . (11.b)
dengan ws = kecepatan jatuh sedimen pada kolom air, sedangkan h dan n, adalah
faktor yang berbanding terbalik dengan kedalaman aliran air, h = hh1 dan n = hn1,
33
dengan hh dan hn masing-masing adalah kedalaman aliran melalui lereng bukit dan
jaringan sungai. Secara umum, h lebih besar dari n karena biasanya kedalaman air
di daerah pegunungan hanya berada pada orde centimeter sedangkan pada saluran
dapat mencapai orde meter. Kecepatan jatuh sedimen dihitung menggunakan:
. . . (12)
dengan s = densitas sedimen, = densitas air, g = percepatan gravitasi, d =
ukuran butir partikel, Rep = wsd/ adalah bilangan Reynolds untuk kecepatan jatuh
yang dihitung berdasarkan data ukuran butir sedimen, = viskositas kinematik air
dan CD = koefisien geser:
. . . (13)
3.2.2 Implementasi Model Perilaku Erosi DAS
Implementasi model perilaku erosi DAS dilakukan dengan penghitungan
E dan SDR. Data yang digunakan terdiri dari:
1. Model Elevasi Digital (MED) daerah yang dikaji yang diperoleh dari Shuttle
Radar Topographic Mission (SRTM) dengan resolusi 90m (Rodriguez et al.,
2005).
2. Peta Tematik Jenis Tanah skala 1:250.000 yang bersumber dari Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat.
3. Peta Tata Guna Lahan tahun 1994 dan 2001 skala 1:50.000 yang bersumber dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat.
4. Tabel data curah hujan rata-rata bulanan yang bersumber dari Badan
Meteorologi dan Geofisika.
Untuk itu, keseluruhan wilayah kajian direpresentasikan secara geometrik
oleh MED yang diekstraksi dari data SRTM. MED tersebut kemudian diturunkan
menjadi peta kemiringan dan jaringan sungai menggunakan metode yang
dikemukakan oleh Jenson & Domingue (1988). Peta kemiringan digunakan untuk
menghitung kecepatan aliran. Untuk membangun model jaringan sungai, MED
34
diturunkan terlebih dahulu ke dalam peta arah aliran kemudian diturunkan lagi
menjadi peta akumulasi aliran.
Pemodelan laju erosi tahunan (E) dilakukan mengikuti persamaanpersamaan (2) dan (3) serta Tabel 2 dan Tabel 3. Pemodelan SDR dilakukan
dengan pendefinisian (deliniasi) unit spasial dan penghitungan waktu tempuh
aliran air yang melalui lereng bukit dan jaringan sungai pada unit spasial yang
telah ditentukan tersebut. Satu unit spasial terdiri dari satu atau lebih lebih piksel
dalam grid MED yang menjadi basis untuk penghitungan SDR dan Y. Pada
wilayah yang dikaji terdapat sekitar 4100 unit spasial dengan masing-masing luas
area antara 8.1103 sampai 70 km2. Penghitungan E dilakukan pada setiap grid
MED. Implementasi pemodelan spasial tersebut dilakukan menggunakan
perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ESRI ArcInfo (ESRI, 2005).
Selanjutnya, dihitung waktu tempuh aliran air rata-rata (dari sumber erosi
sampai ke titik pengeluaran DAS) melalui lereng DAS untuk setiap unit spasial
dengan:
. . . (14)
dengan Vh = kecepatan aliran di lereng, ie = kelebihan curah hujan, L = jarak
tempuh melalui jalur aliran, s = desimal kemiringan dan n = koefisien kekasaran
permukaan Manning. Kelebihan curah hujan ie bervariasi menurut tata guna lahan
dan dihitung dengan:
. . . (15)
dengan tr = durasi curah hujan rata-rata dan Pe = sisa curah hujan:
35
. . . (16)
dengan P = curah hujan dan S = kapasitas penyimpanan tanah yang dinyatakan
sebagai fungsi tata guna lahan:
. . . (17)
dengan CN = curve number yang menyatakan keragaman tata guna lahan yang
diperoleh dari rata-rata bobot area tiap jenis tata guna lahan:
. . . (18)
dengan i = unit spasial yang memiliki beragam jenis tata guna lahan, m = jumlah
unit spasial, CNi = angka yang merepresentasikan terminologi penyimpanan dan
Ai = luas area. CN didapatkan dari Tabel 3. Nilai 0 sampai 3 pada tabel tersebut
merupakan
kode
karakteristik
jenis
tanah
yang
menyatakan
kapasitas
36
Berdasarkan nilai V dari persamaan 14 dan 19, waktu tinggal (t) melalui
tiap piksel pada MED dihitung dengan:
. . . (20)
dengan D = jarak tempuh pada MED; D sama dengan panjang sisi piksel untuk
aliran tegak lurus atau D2 untuk aliran diagonal.
Waktu tempuh pada komponen lereng dan jaringan sungai digunakan
untuk menghitung SDR dengan mengasumsikan ukuran butir sedimen sebesar
80m. Ukuran butir tersebut memberikan estimasi kecepatan jatuh sebesar
0.009m/s. Kedalaman aliran yang digunakan untuk persamaan 11a dan 11b
diasumsikan sebesar 0.2cm untuk lereng bukit dan 1m untuk jaringan sungai.
Nilai waktu tinggal partikel sedimen pada permukaan tanah untuk masing-masing
komponen lereng dan komponen sungai dalam penelitian ini masing-masing
sebesar 104.35 jam dan 2.53 jam (Basyar, 2006). SDR dihitung untuk tiap-tiap
piksel menggunakan persamaan 8 dan 9.
3.2.3 Perubahan Tutupan Lahan dan Laju Ekspor Sedimen
Laju ekspor sedimen Y untuk setiap unit spasial diperoleh berdasarkan
estimasi E dan SDR seperti dituliskan pada persamaan 4. Implementasi model
perilaku erosi DAS Citarum Hulu berikut pengujian hasil pemodelannya dengan
data lapangan menunjukkan akurasi hasil pemodelan Y hingga 8% untuk tahun
2001 dan 54% untuk tahun 1994 (Poerbandono et al., 2006). Deviasi Y model dan
data lapangan pada tahun 1994 disebabkan karena penggunaan data (topografi dan
curah hujan) yang hanya berasal dari tahun 2001. Hanya data tata guna lahan yang
tersedia untuk ke dua waktu pemodelan tersebut.
37
Hal menarik yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini
adalah hubungan antara perubahan perilaku erosi DAS Citarum dengan perubahan
tata guna lahan di atasnya. Perubahan perilaku erosi direpresentasikan dengan
perubahan laju ekspor sedimen total dari DAS Citarum Hulu untuk tahun 1994
dan 2001:
. . . (21)
Sebaran spasial Y pada daerah yang dikaji akan dihubungkan dengan
sebaran spasial perubahan tata guna lahan. Identifikasi jenis perubahan lahan
dilakukan dengan deliniasi daerah yang mengalami perubahan laju erosi yang
ekstrem.
Pada Gambar 2 diperlihatkan tata guna lahan DAS Citarum Hulu untuk
tahun 1994 dan 2001. Perubahan ekstrem terlihat utamanya di bagian selatan
berupa konversi hutan menjadi tanah terbuka (semak, belukar atau lahan kering).
Data ini digunakan sebagai masukan dalam pemodelan E dan SDR. Gambar 3
menunjukkan model jaringan saluran yang merupakan turunan ke dua dari MED
DAS Citarum Hulu. Hasil penghitungan sebaran spasial laju ekspor sedimen Y di
DAS Citarum Hulu ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 5 menunjukkan
distribusi spasial perubahan laju ekspor sedimen yang melebihi 100ton/km2
selama tujuh tahun. Berdasarkan Gambar 5 dapat dikatakan bahwa perubahan
perilaku erosi DAS Citarum Hulu (yang dalam studi ini diwakili oleh perubahan
laju ekspor sedimen) terkonsentrasi pada bagian selatan.
38
39
3.3 Pembahasan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan
terpanjang di Jawa Barat, secara Geografis dari 106 5136 - 107 51 BT dan
7 19 - 6 24 LS. Luas DAS Citarum : 718.268,53 Ha, Panjang DAS Citarum :
269 Km (Sungai Utama), 14.346,24 Km (termasuk anak sungai), Berasal dari
Mata Air Gunung Wayang melalui 8 Kabupaten (Bandung, Kota Bandung, Kota
Cimahi, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Bogor dan Karawang sebagai muara
Sungai Citarum.
Terdapat 12 Sub DAS dan Terdapat 3 Waduk Besar (Saguling, Cirata dan
Jatiluhur). Sebagai Sumber air irigasi pertanian 300.000 Ha dan juga sebagai
sumber air minum untuk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi,
Karawang, Jakarta. Luas Lahan Kritis = 125.692,20 Ha dengan Frekwensi
40
kejadian banjir setiap tahun ada serta Sedimentasi rata-rata = 25,52 ton/ha/thn
Terdapat 12 Sub DAS dan Terdapat 3 Waduk Besar (Saguling, Cirata dan
Jatiluhur). Sebagai Sumber air irigasi pertanian 300.000 Ha dan juga sebagai
sumber air minum untuk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi,
Karawang, Jakarta. Luas Lahan Kritis = 125.692,20 Ha dengan Frekwensi
kejadian banjir setiap tahun ada serta Sedimentasi rata-rata = 25,52 ton/ha/th.
Dalam permsalahannya Sub DAS Citarum dibagian hulu adalah satu
kondisi yang terburuk selama bertahun tahun. Sub DAS tersebut meliputi
Cikapundung, Citarik, Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey.
41
0
Gambar 3. (Jaringan saluran, Poerbandono, 2006)
Tingkat sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun (Dinas
Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bandung, Ir. H. Tisna Umaran 25 -7
-2010). seperti terlihat dalam gambar bahwa distribusi laju spasial ekspor sedimen
di daerah luhu sekitar 400 ton/km2/tahun masih didaerah Kota Bandung, Kab.
Bandung, dan Kota Cimahi ditahun 2006. Sedangkan transport sedimen didaerah
hilir sekitar 900 3000 ton/km2/tahun di tahun 2006. sedangkan untuk transport
sedimen sekitar 3000 7000 ton/km2/tahun masih relatif kecil dan kebanyakan
didaerah hilir dari Sub DAS hulu Citarum. Hasil perhitungan total MSMAS
(2009) bahaya erosi menggunakan peta penggunaan atau tutupan lahan pada tahun
2002 di DAS Citarum Hulu sebesar 15.206.301 Ton, yang masing masing sub
DAS mempunyai kontribusi sebagai berikut :
Sub Das
Sub DAS Cikapundung
Sub DAS Citarik
Sub DAS Cisangkuy
Sub DAS Cikeruh
Sub DAS Cirasea
Sub DAS Ciwidey
Jumlah sedimentasi
3.638.561 Ton
3.249.367 Ton
2.612.637 Ton
2.156.128 Ton
1.885.645 Ton
1.668.156 Ton
42
Sedangkan hasil prediksi rerata erosi tahunan dengan metode USLE urutan
tertinggi ke terendah adalah :
Sub Das
Sub DAS Citarik
Sub DAS Cikeruh
Sub DAS Cikapundung
Sub DAS Cisangkuy
Sub DAS Ciweday
Sub DAS Cirasea
Jumlah sedimentasi
123 T/ha/th
96 T/ha/th
94 T/ha/th
74 T/ha/th
70 T/ha/th
55 T/ha/th
menyebabkan
banyak
permasalahan.
Diantaranya
banjir
yang baik
Limbah domestik
Limbah peternakan
Limbah industri, sampah,
Tata ruang yang kurang baik.
Pemecahan masalah ( non teknis )
43
44
45
Bed) yang berupa tanah keras dan berbatu menimbulkan gerusan di bagian
-
hilir.
Stabilitas bangunan cukup baik meskipun pada musim hujan tahun ini
telah terjadi banjir dengan ketinggian antara 0,8 1,00 meter sebanyak 11
penuh.
Dari hasil analisa data dapat disimpulkan bahwa bangunan prototipe
sabodam di K. Lumajang mampu mengurangi laju sedimentasi sebesar
Survei lahan
DAS hulu
Citarum
Pemecahan
masalah
46
Pengerukan dan
bangunan Sabo
Konservasi
lahan
3.4 Kesimpulan
Pada DAS Citarum Hulu yang direpresentasikan oleh utamanya paramater
laju ekspor sedimen tahunan. Laju ekspor sedimen tahunan diperoleh sebagai
produk dari laju erosi tahunan dan sediment delivery ratio (SDR). Laju erosi
tahunan dihitung menggunakan USLE (Wischmeier & Smith, 1978) sedangkan
SDR diestimasi berdasarkan penghitungan waktu tinggal sedimen pada komponen
lereng dan sistem saluran (Sivapalan et al., 2002). Perubahan perilaku erosi yang
dikaji pada makalah ini adalah pertambahan laju ekspor sedimen pada tahun 2001
relatif terhadap tahun 1994. Luasan perubahan perilaku erosi yang ekstrem
ditemui di bagian selatan DAS Citarum Hulu. Invetsigasi lebih lanjut
menunjukkan bahwa pada bagian tersebut terjadi konversi hutan menjadi lahan
terbuka. Hasil studi yang didokumentasikan pada makalah ini menunjukkan
bahwa konversi hutan menjadi lahan terbuka dengan luas yang memiliki dampak
spasial yang berarti berada pada wilayah yang mengalami peningkatan laju ekspor
sedimen tahunan yang melebihi 100ton/km2.
Adapun pengendalian erosi dan sedimen dapat diminimalisir dengan
metode konservasi lahan dalam mengendalikan laju erosi yang berimplikasi pula
terhadap tingkat sedimen yang terjadi. Tekno Sabo dapat dilakukan pada daerah
hulu sungai sebagai pengendali laju sedimen di daerah hilir serta dapat pula
dilakukan pengerukan sedimen sebagai upaya dalam waktu singkat.
47