PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pembuatan makalah ini dilatar belakangi sebagai pemenuhan nilai tugas Kelompok 1
mata kuliah Pengantar Kesehatan Reproduksi dan sebagai pemahaman materi pembelajaran
Pendahuluan Kesehatan Reproduksi
1.2. TUJUAN
1.2.1 Mahasiswa mampu mengidentifikasi mengenai latar belakang kesehatan reproduksi
1.2.2 Mahasiswa mampu mengidentifikasi mengenai tujuan kebijkan dan strategi kesehatan
reproduksi
1.2.3 Mahasiswa mampu mengidentifikasi mengenai ruang lingkup kesehatan reproduksi
1.2.4 Mahasiswa mampu mengidentifikasi mengenai pendekatan siklus hidup
1.2.5 Mahasiswa mampu mengidentifikasi mengenai landasan hukum dan dan peraturan yang
mendukung
BAB II
ISI
2.1. LATAR BELAKANG KESEHATAN REPRODUKSI
Kesehatan Reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya materi
tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependidikan dan Pembangunan (International
Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Sekitar
180 negara berpartisipasi dalam Konferensi tersebut. Hal penting dalam Konferensi tersebut
adalah disepakatinya perubahan pradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/keluarga
berencana menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan
hak-hak reproduksi. Perubahan paradigma ini menempatkan manusia menjadi subyek, berbeda
dari sebelumnya yang menempatkan manusia sebagai obyek.
Dengan demikian, upaya pengendalian penduduk perlu mempertimbangkan pemenuhan
kebutuhan kesehatan reproduksi bagi pria dan wanita sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak
reproduksi. Terkandung juga didalamnya isu kesetaraan jender, martabat dan pemberdayaan
wanita, serta tanggung jawab pria dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Dengan
pendekatan ini diharapkan bahwa dalam menjaga kestabilan pertumbuhan penduduk dunia,
kebutuhan serta hak reproduksi pria dan wanita sepanjang siklus kehidupan mendapat perhatian
khusus. Kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat dicapai secara lebih baik bila kebutuhan
kesehatan reproduksi terpenuhi dan hak reproduksi dihargai.
ICPD tahun 1994 tersebut bertegas dalam Konferensi Sedunia IV tentang Wanita pada
tahun 1995 di Beijing, Cina, ICPD + 5, di Haque, pada tahun 1999, dan Beijing + 5, di New
York, pada tahun 2000. Indonesia sebagai salah satu negara yang berpartisipasi dalam
kesepakatan global tersebut telah menindak lanjuti dengan mengadakan Lokakarya Nasional
Kesehatan Reproduksi pada bulan Mei 1996 di Jakarta yang melibatkan seluruh sektor terkait,
LSM termasuk organisasi wanita, organisasi profesi, universitas dan NGO serta lembaga donor.
Ditingkat internasional tersebut telah disepakati definisi kesehatan reproduksi adalah
suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi
dan prosesnya. Karenanya setiap individu mempunyai hak untuk mengatur jumlah keluarganya,
kapan mempunyai anak, dan memperoleh penjelasan yang lengkap tentang cara-cara kontrasepsi,
sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai. Selain itu, hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, seperti pelayanan atenatal, persalinan, nifas dan
pelayanan bagi bayi baru lahir, kesehatan remaja dan lain-lain, perlu dijamin.
Rendahnya pemenuhan hak-hak reproduksi dapat diketahui dengan masih tingginya
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Bawah Lima
Tahun (AKBalita). Masalah kesehatan reproduksi perempuan, termasuk perencanaan kehamilan
dan persalinan yang aman secara medis juga harus menjadi perhatian bersama, bukan hanya
kaum perempuan saja karena hal ini akan berdampak luas dan menyangkut berbagai aspek
kehidupan yang menjadi tolok ukur dalam pelayanan kesehatan.
(Azwar, A. 2007. Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Depertemen Kesehatan RI)
(Azwar, A. 2008. Pedoman Kesehatan Reproduksi Tingkat Pelayanan Intergratif di Tingkat
Pelayanan Dasar. Jakarta : Depertemen Kesehatan RI)
2.2.3
1. Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat serta
bayi lahir sehat
2. Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal
2. Pemberdayaan Masyarakat
3.
Kerjasama lintas sektor, mitra lain termasuk pemerintah daerah dan lembaga
legislatif.
Advokasi dan sosialisasi ke semua stakeholders
Mendorong adanya komitmen, dukungan, peraturan, dan kontribusi
4. Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak secara
terpadu dengan komponen KR lain.
Pelayanan antenatal
Pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan neonatal esensial.
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal
Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
pascakeguguran
Manajemen terpadu Bayi Muda dan Balita sakit
Pembinaan tumbuh kembang anak
Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan kelengkapan
sarananya
Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan2
keadilan gender
Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program keluarga berencana perlu
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan institusi daerah dengan UU No. 22
kemandirian.
Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraan yang tulus dan
setara
serta
meningkatkan
partisipasi
aktif
masyarakat
dan
kerjasama
internasional
5. Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan pada keluarga rentan,
perhatian khusus pada segmen tertentu berdasarkan ciri-ciri demografis, sosial,
budaya dan ekonomi dan keseimbangan dalam memfokuskan partisipasi dan
pelayanan menurut gender
2.2.3.5
tidak steril pada pengguna Napza suntik, penularan dari ibu yang hamil dengan
HIV (+) ke anak/bayi
2. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi profesi, masyarakat
bisnis, LSM, organisasi berbasis masyarakat, pemuka agama, keluarga dan para
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
3. Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang
HIV/AIDS
4. Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya
5. Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS
6. Adanya hak memperoleh pelayananan pengobatan perawatan dan dukungan tanpa
diskriminasi bagi ODHA
7. Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk pelayanan pengobatan,
perawatan dan dukungan terhadap ODHA dan mengintegrasikan ke dalam sistem
kesehatan yang telah tersedia.
8. Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan sukarela dan didahului
dengan memberikan informasi yang benar, pre dan post test konseling.
9. Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan jaringan transplan harus
bebas dari HIV
di
bentuk
KPA
di
pusat
dan
di
dan
3. Membangun serta mengembangkan sistem jaminan dan bantuan sosial agar usia
lanjut dapat mengakses pelayanan kesehatan reproduksi
4. Meningkatkan dan memantapkan peran kelembagaan dalam kesehatan reproduksi
yang mendukung peningkatan kualitas hidup usia lanjut
permasalahan
kesehatan
2.5.
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud ayat 1 meliputi :
a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. Kesehatan sistem reproduksi
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
Setiap orang berhak :
a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari
paksaan dan/ atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/ atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia
sesuai norma agama.
c. Menentukan swndiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta
tidak bertentangan dengan norma agama.
d. Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang
benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 74
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/
atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat
dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dikecualikan berdasarkan :
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/ atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/
atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hiduo diluar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan media dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan :
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat 2 dan ayat 3 yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang
undangan.
BAB II
BAB III
Bagian Kedua
Bagian Ketiga
Bagian Keempat
Bagian Kelima
BAB IV
BAB V
Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Diluar Cara Alamiah ; Pasal 40,
41, 42, 43, 45, dan 46
BAB VI
Pendanaan ; Pasal 47
BAB VII
BAB VIII
Bagian Kesatu
Bagian Kedua
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1 Kesehatan Reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya materi
tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependidikan dan Pembangunan
(International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada
tahun 1994.
31.2 Dalam rangka mencapai tujuan kesehatan reproduksi perlu disusun kebijakan dan strategi
umum yang dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen kesehatan reproduksi
Indonesia. upaya penanganan kesehatan reproduksi diarahkan untuk peningkatan kualitas
hidup manusia
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia ini diharapkan dapat
menjadi pedoman pelaksanaan upaya seluruh komponen kesehatan reproduksi di
Indonesia. Hal ini merupakan salah satu rekomendasi dari pertemuan-pertemuan Komisi
Kesehatan Reproduksi yang telah berlangsung sejak tahun 1999. Penyusunan dokumen ini
telah melibatkan secara-bersama-sama dari seluruh komponen kesehatan reproduksi baik
lintas program maupun lintas sektor.
3.1.3 Menurut Depkes RI (2001) ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya sangat luas,
sesuai dengan definisi yang tertera di atas, karena mencakup keseluruhan kehidupan
manusia sejak lahir hingga mati. Dalam uraian tentang ruang lingkup kesehatan
reproduksi yang lebih rinci digunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach),
sehingga diperoleh komponen pelayanan yang nyata dan dapat dilaksanakan.
3.1.4 Pendekatan yang diterapkan dalam menguraikan ruang lingkup kesehatan reproduksi
adalah pendekatan siklus hidup, yang berarti memperhatikan kekhususan kebutuhan
penanganan sistem reproduksi pada setiap fase kehidupan, serta kesinambungan antar-fase
kehidupan tersebut. Dengan demikian, masalah kesehatan reproduksi pada setiap fase
kehidupan dapat diperkirakan, yang bila tak ditangani dengan baik maka hal ini dapat
berakibat buruk pada masa kehidupan selanjutnya
3.1.5 Landasan
Paragraf 2, Bagian Keenam, Kesehatan Reproduksi dan peraturan yang mendukung adalah