Toksoplasmosis Serebri
Toksoplasmosis Serebri
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang
pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses
serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii jugadapatmenimbulkanradang pada kulit,
kelenjar getahbening, jantung, paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat
didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang
kurang masak.
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan
berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini
merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler yang menginfeksi
sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi
otak pada pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan
dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS.
Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses
reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/L atau
apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/L tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya
atau malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya
akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan
terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara
berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. (1) Faktor resiko untuk terkena infeksi
toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya.
Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih
serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada
ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik.Pada
umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari
makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang
merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa
secara praktis juga penting dalam penyebarannya.[9]
Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
kucing 35-73 %,
babi 11-36 %,
kambing 11-61 %
anjing 75 %
ternak lain kurang dari 10 % .[9]
III. ETIOLOGI
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan
hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang
pada daging mentah atau kurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistemkekebalan, ia
menetap di dalamtubuhtetapi sistem kekebalan pada orangyang sehat dapat melawan parasit
tersebut hingga tuntasdandapatmencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi
bilamemakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk infektif
dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yangterkontaminasi ataukontak langsung dengan feses
kucing. Selain itudapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dantransplantasi
organ. Infeksi akut pada individu yangimmunokompeten biasanya asimptomatik. Pada
manusia denganimunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksilaten. Yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksiopportunistik dengan predileksi di otak.[6]
Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel
mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut
dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam jaringan akan membelah
secara lambat dan disebut bradizoit.[6]
Gambar 2: Tachyzoit
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan
berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat
dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.[6]
Gambar 3 : Kista
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista
terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing.
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklusaseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogenidan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yangmengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara seperti
manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan pejamu perantara
akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada
pejamu perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat
yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali
stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.[6]
Gambar4:Ookista
IV. PATOFISIOLOGI
Penularanpadamanusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh
terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat
peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai
jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu,dan berpredileksi untuk
menetap pada otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8]
Ookista (Daging
mentah)
Tachyzoit (usus)
Imune Respon
Bradyzoit (otak,
skeletal, myocard,
retina)
Immunocompromiz
ed
reaktivasi
sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak
pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat
terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebuT dapat
menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme
bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistikseperti toxoplasmosissangat kompleks. Ini
meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma;
kegagalanaktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan
penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro danpenurunan ekspresi dari CD
154 sebagai respon terhadap T gondii.[10][16]
Tachyzoit
ekspresi CD154
IL-12
Sel TINF-y
Respon
antitoxoplasmik
Gambar5 :ResponImun
V. GAMBARAN KLINIS
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan
dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis
dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot,
sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia,
muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat
terjadi kejang.[4]
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan
patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada
toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo,
afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita
mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal
nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau
pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala
klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma.
Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi
beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.[4]
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek
toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi
empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi
HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi
empirik.[1][13]
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak
tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi
IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.[13][15]
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis
cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan
serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan
elevasi protein.[1]
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii
dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada
cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat
infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR
pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.[1][11]
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari
hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.[1][15]
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan
menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan
beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia
basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita
toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi
gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat
memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain,
namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.[14] Pada T1
weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung
dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas
sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon
terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa
lesi.[1][15]
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi
empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama 2 minggu, kemudian
dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologik,
diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di
teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah
diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu,
diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.[1]
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti malaria)
dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini
kali sehari).
Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)
Pirimethamin
leucovorin
(5075
(1020
mg/hari)
dan
mg/hari)
Regimen profilaksis
Indikasi
Profilaksis primer
Terapi pilihan
Regimen alternatif
1 kekuatan-ganda dua TMP- 1
kekuatan
SMX (160 mg TMP/ 800 mg
tunggal
hari.
Dapsone 50 mg tiap hari
+
pirimethamin 50 mg
tiap
minggu
dan
leucovorin 25 mg tiap
minggu.
Atovaquone 1500 mg tiap
hari.
Profilaksis sekunder
Sulfadiazine (5001000 mg
Klindamisin
oral
4x/tiap
hari)
(300450
pirimethamin
mg/hari
mg/hari oral).
leucovorin
oral)
(2550
dan
(1025
mg/hari oral)
Atovaquone (750 mg tiap
Terapi
kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan kondisi klinis yang memburuk dalam waktu
48jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat perubahan garis tengah (midline shift)
dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling
sering diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid pada
pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-infeksi oportunistik
yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang kejang tapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin.[1]
Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasienpasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering
terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi
pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan
sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.(1)
sel <50 sel/L) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien dengan gejala
lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%), leukoensefalopati multifokal
progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain
ialah tuberkulosis, stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis
dan meningovaskuler syphilis.[1]
IX. PENCEGAHAN
Non farmakologi
Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada
pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko terjadinya
toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang
apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/L untuk melihat apakah telah terjadi
serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara
menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan
yang dikonsumsi terutamadaging harus benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius).
Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayursayuran harus dicuci bersih.[1]
Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran
kucing.Jika ada kotoran kucing, maka harusdibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel
telur toxoplasma gondii. Sewaktuberkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari
transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.[1]
Farmakologi
Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada pasien
dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/L dan pada pasien
dengan CD4 T-sel <200/L yang mempunyai infeksi oportunistik atau malignansi. Profilaksis
dengan menggunakan regimen trimetoprim-sulfamethoxazole pada pasien dengan jumlah
CD4 T sel <100/L menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis sebanyak
73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani terapi fase
akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat terapi
pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi oportunistik
termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di mana penggunaan
antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti Retro viral) berhasil
mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada pasien-pasien HIV.
Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah
CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas pasien.[1]
X. PROGNOSIS
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active Anti Retroviral
Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral dapat dikurangi.[1]
DAFTAR PUSTAKA
1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24.
2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J
Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.
3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of
Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J.
2012;27(5):411-2.
MD,
PhD;
Chief
Editor:
Burke
Cunha,
MD.
Toxoplasmosis Workup,Medscape.Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup
16. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the Brain:Understanding HostPathogenInteractions in Chronic CNS Infection. August 2011.