Anda di halaman 1dari 7

Verba Volant, Scripta Manent

Publicity, publicity, publicity is the greatest moral factor and force in our republic life.
Joseph PulitzerTokoh dan Jurnalis
SEKITAR tahun 2009, saya baru bergabung di KAMMI secara struktural, masuk ke
pengurusan komisariat, Komisariat Unnes kala itu. Awalnya, saya berkecimpung di
Departemen Kajian dan Strategis (Kastrat) yang oleh kebanyakan orang dinilai sebagai
departemen yang diisi oleh orang yang suka huru-hara, ribu-ribut, dan demo sana
sini. Tapi benar atau tidak, huru-hara, ribut-ribut dan demo sana-sini memang sangat
dekat dengan kehidupan anak-anak Kastrat KAMMI. Mereka suka mencari keributan
dalam berbagai diskusi, selalu kritis atas apapun yang tengah terjadi, dan pada
akhirnya, saya menemukan banyak anak-anak Kastrat KAMMI yang terlibat langsung
dalam aksi jalanan. Entah bagaimana saya bisa bergabung dengan departemen ini, tapi
yang pasti, saya hanya bergabung di Kastrat tidak lebih dari satu kepengurusan.
Labuhan saya kemudianpasca reshuffle pengurus Komisariatadalah Humas. Yah,
saya diletakkan di posisi ini yang belakang saya sadari, ternyata justru saya lebih banyak
aktif dalam bidang ini bahkan sampai saat ini sekalipun. Menjadi Humas awalnya saya
pandang mudah dan tidak lebih riweh dan bergengsi Kastrat, namun tidak demikian
bagi KAMMI. Humas di KAMMI justru harus bekerja ekstra bukan hanya dua kali lipat,
tetapi berlipat-lipat. Bayangkan, anak Humas KAMMI harus mengerti isu yang
digulirkan KAMMI saat itu sekaligus memiliki kemampuan jaringan dan penulisan
bahkan propaganda media yang bagus. Dari Humas inilah justru saya menemukan salah
satu kelemahan KAMMI sebagai organisasi kepemudaan yang lahir dari masa-masa
yang kritis dan herois, reformasi 1998 lalu.
Memang, Humas baru benar-benar saya geluti ketika tahun 2010 atau 2011 silam.
Aktivitas di kepengurusan Komisariat kala itu memang tidak banyak terlihat lantaran
saya lebih memilih terlibat dalam kegiatan internal kampus. Baru pada tahun 2010 atau
2011, tepatnya saya lupa, saya benar-benar menggeluti Humas di KAMMI. Saya masih
sangat ingat saat itu, ketika saya ditawari menjadi Kepala Departemen Humas KAMMI
Komisariat, seorang Saeful Agus Rahmat Yuliantoro, pernah berkata kepada saya,
Humas KAMMI saat ini harus dipegang oleh anak-anak ilmy, dengan segala
kapasitasnya yang telah teruji, begitulah kurang lebih. Ada satu hal yang saya garis
bawahi dari perkataan Saeful saat itu, yakni anak ilmy harus mengambil peran, yah
mengambil perannya di KAMMI.
KAMMI memang identik dan lekat dengan anak-anak siyasi, atau mentok-mentoknya
anak daawy, tapi tidak untuk anak ilmy. Mungkin kita sudah cukup mafhum siyasi,
daawy, atau ilmy; ketiganya adalah sebutan bagi kompetensi kader, baik itu bidang
politik (siyasi), dakwah (daawy), dan keilmuan dan profesi (ilmy). Yang terakhir,
nampaknya jauh dari hiruk pikuk kampus, kasarnya, mahasiswa pengejar penghargaan
dan IPK. Rasa-rasanya, ketiga kategorisasi ini menjadi penghalang bahkan seolah
menjadi justifikasi bagi kebanyakan kader untuk tidak terlibat dalam kegiatan tertentu.
Padahal, KAMMI sebagai organisasi kepemudiaan yang berbasis dakwah tauhid

gerakan politik ekstraparlementer, juga sekaligus sebagai basis ilmuan; ketiga


pengkategorian tersebut (siyasi, daawy, dan ilmy) adalah kompetensi dasar yang juga
harus ada dalam diri anak-anak KAMMI.
Bisa jadi dengan latar saya sebagai mantan mahasiswa berprestasi di fakultas lantas
dikatakan sebagai kader ilmy, padahal aktifitas saya banyak justru di daawy fakultas
dan siyasi di KAMMI. Tapi apapun itu, kala itu, saya memiliki pendirian yang sama
dengan apa yang dikatakan oleh seorang Joseph Pulitzer, dimana media publikasi
adalah tanggung jawab moral terbesar dalam hidup kita. Yah, bagaimana kita tidak
bertanggungjawab atas pemberitaan yang benar dan mencerdaskan, atas pemahaman
yang lurus dan menyeluruh atas kondisi kita saat ini, atas kondisi bangsa. Ketika diskusi
perihal advokasi isu tertentu terus digalakkan dan dilakukan secara simultan, maka
tugas anak-anak Humas juga media adalah menjaga nafas gerakan ini sampai akhir.
Ide Gila Pers Pergerakan
SAYA pernah akan mengusulkan dibentuknya Lembaga Pers Pergerakan Mahasiswa
yang berada di bawah struktural sebagai Badan Semi Otonom yang digunakan sebagai
simbol pergerakan anak-anak KAMMI melalui pers. Saya melihat kelemahan yang ada
di tubuh KAMMI sendiri, dimana rendahnya media publikasi dan tulisan yang
dihasilkan oleh kader-kader KAMMI. Sehingga kemudian, muncul celaan Anak
KAMMI hanya pandai omong, pandai wacana, tapi gagap dan gagal dalam melakukan
transformasi nilai yang lebih jauh. Padahal seharusnya diskusi kita, pembicaraan kita,
advokasi kita, kajian kita tidak hanya habis dalam forum yang sangat terbatas orang
yang bergabung dan aktif di dalamnya, melainkan bisa terus berlanjut dalam bentuk
pemikiran yang nyata yang bisa dikaji terus, dibaca dan dikritisi lebih jauh, oleh banyak
orang. Ini hanya akan bisa terwujud dengan gerakan pers yang simultan, publikasi
tulisan yang produktif dan konsisten.
Agaknya, pers bagi anak-anak KAMMI tidak mendapatkan perhatian yang baik seperti
Kastrat atau Kaderisasi. Hal ini terbukti dari sulitnya mencari tulisan anak-anak
KAMMI, bahkan sulitnya mencari orang yang mau menulis di media KAMMI. Padahal,
verba volant scripta manent; ucapan itu akan hilang dan menguap tetapi tulisan akan
abadi.
KAMMI Komisariat Unnes terutama, harusnya banyak belajar dari gerakan lain, seperti
PMII yang aktif dengan komunitas diskusi kulturalnya, Komunitas Embun Pagi, yang
pada akhirnya, komunitas ini justru menjadi ajang pergolakan dan pembuktian bagi
kader PMII dalam pewacanaan. Mereka tidak berhenti pada diskusi, nampaknya rekanrekan PMII sadar bahwa wacana saja hanyalah omong kosong, banyak tulisan yang
dihasilkan disini. Bahkan jika saya tidak salah, mereka bahkan membuat Rumah Buku
Simpul Semarang (RBSS) yang aktif melakukan kajian dan diskusi, dan jangan Tanya
hasilnya. Sejauh yang saya tahu, sudah banyak buku yang dihasilkan dari penggiat
komunitas ini.
Sementara, KAMMI terutama Komisariat Unnes (kini, baik Fatahillah maupun
Soshum), masih sibuk dengan agenda perpolitikan kampus, sibuk pembenahan internal,

sibuk dengan dauroh dan madrasah KAMMI. Seolah kita gagah bicara politik kampus
tetapi gagap dalam ide-ide pembangunan masyarakat. Seolah kita bersemangat
bagaimana mensukseskan agenda politik kampus tetapi loyo dalam amal-amal
perbaikan masyarakat. Bahkan seolah kita rela tidak tidur, begadang, dan menunda
makan karena pemenangan politik kampus, tetapi merasa mudah lelah dan bosan
ketika berurusan dengan masyarakat.
Pers Pergerakan agaknya akan menjadi jawaban, paling tidak bagi konsistensi gerakan
KAMMI sebagai gerakan kepemudaan yang kritis. Jangan sampai, gagasan kritis anakanak KAMMIseperti yang saya katakan di awalmenguap begitu saja. KAMMI harus
meningkatkan kompetensinya dalam bidang pers jurnalistik, sebab, ini akan sangat
berpengaruh di tengah propaganda media dan wacana saat ini.
Jika bergabungnya kalian di KAMMI hanya sebatas ingin mensukseskan
agenda perpolitikan kampus, maka lekas tinggalkan KAMMI! Sebab,
KAMMI yang saya kenal, tidak membatasi diri hanya dengan agenda perpolitikan
kampus, tapi KAMMI melakukan perubahan dan perbaikan nyata bagi masyarakat.

Mereka Yang Cepat Menjadi Tua


AJARKAN sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang
pengecut menjadi pemberani, begitulah Sayyidina Umar bin Khattab pernah memberi
nasehat, atau apa kata seorang Pramoedya Ananta Toer, Kalian boleh maju dalam
pelajaran, mungkin mencapai sederet kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,
kalian tinggal hanya hewan yang pandai.
Kalau boleh jujur melihat KAMMI, maka saya akan melihat kekakuan pada kebanyakan
anak-anak KAMMI. Pembicaraan dan diskusi yang melulu masalah politik; pemilihan
Presiden Mahasiswa, BEM, politik nasional, isu kebijakan Presiden, dan sebagainya;
yang justru terlihat sangat serius dan kaku. Saya melihat, pembicaraan ini (politik dan
sebagainya) justru menjadikan anak-anak muda KAMMI terlihat cepat menua. Percaya
atau tidak, cobalah tengok dan dengarkan gaya dan gesture anak-anak KAMMI yang
jauh dari pencitraan seorang anak muda (bersemangat, gagah, sumringah, dan berani).
Justru kita temukan saat ini pada anak-anak muda KAMMI wajah yang spaneng, kaku,
terlihat lebih tua dari umurnya, suaranya berat dan rautnya menyiratkan seolah
kehidupan ini sangatlah berat.
Hidup janganlah terlalu dibawa sulit nanti terlihat kaku, salah satu kawan pernah
berujar, dan nampaknya cocok dengan anak-anak muda KAMMI. Kekuan itu jelas
terlihat, bahkan ditambah lagi bacaan anak-anak KAMMI yang boleh dikatakan
sangatlah berat. Bahkan dulu ada salah satu senior berkelakar kepada salah seorang
anak KAMMI perihal bacaan yang disukainya. Loh ente baca novel Helvy Tiana Rossa?
Bukan anak KAMMI banget sih. Lantas, yang anak KAMMI banget itu seperti apa? Jika
merujuk pada pernyataan tersebut, seolah bacaan anak-anak KAMMI jauh dari bacaan
sastra dan sejenisnya, bacaannya melulu buku-buku rujukan Ikhwanul Muslimin, bukubuku politik dan pergerakan, yang memang sangat berat untuk dibaca. Tapi faktanya,
memang sedikit sekali anak-anak KAMMI yang sangat suka membaca buku sastra dan
sebagainya, bahkan bagi kebanyakan anak-anak KAMMI, membaca buku sastra seperti
novel itu seperti bacaan para akhwat.
Cobalah tanyakan pada anak KAMMI yang berada di samping kita, apakah suka baca
novel? Suka baca karya sastra? Baca novel apa saja? Sudah pernah baca kumpulan
puisinya Chairil Anwar? Sejurus saya sangat yakin, jawaban yang kita temukan adalah:
Wah, Ane gak suka baca novel, gak ngerti alur ceritanya macam apa, dan memang gak
tertarik.
Bicara Politik Lewat Sastra
KALAU kemudian saat ini yang kita temukan adalah kesulitan menyampaikan gagasan
hasil diskusi atau wacana perpolitikan kepada khalayak lantaran pembahasaan yang
kaku, maka sastralah menjadi cara jitu dan cara halusnya. Tengoklah sastrawan
Indonesia, Taufik Ismail dan WS. Rendra misalnya, apakah mereka tidak peduli dengan
isu-isu politik nasional? Justru merekalah orang-orang peduli, melakukan kritik atas
kebijakan pemerintah melalui sastra. Juga kenalkah kita dengan Widji Tukul yang
diculik hilang hingga kini lantaran sering melakukan mimbar bebas pementasan puisi

dan drama yang mengkritik secara halus rezim pemerintah kala itu. Kesamaan antara
para sastrawan Indonesia; Taufik Ismail, WS Rendra, Chairil Anwar, Widji Tukul, dan
sebagainya; adalah mereka menjadi sastra sebagai sarana perjuangan.
Sudahkah KAMMI mencoba jalan perjuangan yang dilakukan para sastrawan kala itu?
Sastra akan menjadikan kita bersemengat, penuh gelora anak muda, dan berani dalam
banyak hal. Sastra akan menghilangkan kekakuan dan menghapus sekat batasan. Sastra
tidak akan terbatas pada usia, yang muda akan sangat menikmatinya begitupun yang
tua, juga akan sangat menghayatinya. Sastra akan lebih membekas karena dia
menyentuh hati dan perasaan terdalam, bukan hanya mengajak berpikir tetapi juga
merefleksikannya, bukan orang perorang tetapi secara bersama-sama, dan bukan juga
secara temporal tetapi simulan dan terus menerus. Sastra akan membekas.
Maka, bagi KAMMI, berbicara politik melalui sastra akan lebih mengasyikkan dan
menyenangkan. Mengkritik kebijakan melalui sastra akan lebih terdengar halus dan
menusuk. Sastra memandang jauh, berimajinasi ke depan tetapi tak melupakan pijakan.
Begitulah seharusnya anak KAMMI. Menjadi anak-anak muda yang benar-benar
terlihat muda, tidak segera menua.
Menggugat Nasionalisme*
Saeful Agus Rahmat Yuliantoro
Dua, tiga, lima anak muda mencari makna; Merenung dan berbicara
makna negara; Tentang wilayah yang dijual penguasanya; Tentang rakyat
yang mengizinkan dirinya diperkosa; Tentang pemerintah yang
berdaulat; Untuk dilaknat di neger akhirat.
Mereka menggugat; Menyayikan:
Indonesia tanah air beta; Pusaka abadi nan jaya; Indonesia kini tiba-tiba;
Slalu dihina-hina bangsa; Disana tempat lahir beta; Dibuai dilenakan
dunia; Tempat berkumpul berebut kuasa; Sampai akhir menutup mata.
Dua, tiga, lima anak muda mencari makna; Dimana Indonesia?; Mereka;
Mencari makna lewat sastra.
* Puisi yang pernah dibuat dan dibawakan langsung dalam acara Open
Forum: Menggugat Nasionalisme Melalui Sastra, dilaksanakan oleh
KAMMI Komisariat Unnes dan Forum Lingkar Pena, pada 2 Desember
2012 silam.

Besar Bersama KAMMI: Seharusnya Kita Besar Bersama Pengalaman Sendiri

Wanting to be someone else is a waste of the person you


are; menjadi orang lain hanya akan menyiakan dirimu
sendiri Kurt Cobain
26 Juli 2013 lalu, saya pernah membuat catatan/postingan di media sosial perihal
kegelisahan saya akan anak muda KAMMI yang mulai tumbuh besar. Agaknya, bukan
hanya isapan jempol, jika kala itu saya katakan bahwa selama ini kita, begitupun juga
saya, hidup dibayang-bayangi oleh romantisme masa lalu, oleh keberhasilan masa lalu,
oleh capaian tokoh sebelumnya. Seolah saya, kala itu, takut mengambil langkah dan
melakukan inisiatif lantaran kekhawatiran untuk gagal, salah, dan sebagainya.

Pada dasarnya, anak muda harus diberikan kesempatan melakukan


eksperimentasi dan kesalagan. Fase anak muda adalah fase belajar, bukan
fase karya. Fase karya itu pada umur 40 tahun (merujuk Nabi). Anak muda
sendiri harus berani salah/gagal dan banyak bereksperimen. M. Luqmanul
Hakim, 26 Juli 2013

Padahal, benar apa yang pernah dikatakan Luqmanul Hakim, bahwa masa anak muda
adalah masa bereksperimen sebanyak yang bisa dilakukan. Salah itu persoalan nomor
sekian, yang paling penting adalah terus melakukan terobosan. Begitulah paling tidak
inti yang saya tangkap dari komentar beliau di postingan saya beberapa tahun silam.
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri; bersuka karena usahanya
sendiri; dan maju karena pengalamannya sendiri. (Mama/Nyai Ontosoroh, hal. 39,
Pramoedya Ananta Toer). Maka sudah seharusnya, kita besar bersama pengalaman
kita sendiri; menghargai diri kita secara layak dan pantas.
Jangan bilang, bergabungnya kita di KAMMI hanya sebatas ajakan tanpa kesadaran,
atau karena ikut-ikutan. Jika benar, hasilnya akan muncul orang-orang yang nyaman
dengan capaian yang sudah ada, dengan sistem yang sudah mapan, tanpa melakukan
banyak terobosan dan inovasi. Coba kita jujur, dari sekian banyak aktivitas kultural
KAMMI, seperti Madarasah KAMMI, STIPOLID, Dauroh, dan sebagainya, berapa
banyak kita yang terlibat aktif di dalamnya, dan lebih jauh lagi berapa banyak kita yang
benar-benar proaktif dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Jangan-jangan,
kegiatan yang sudah ada (sistem yang sudah dibangun) namun sepi peminatnya justru
akan melemahkan kita. Layaknya mesin pabrik yang hanya mencetak satu produk
tertentu, tanpa melakukan inovasi lebih jauh, maka hasilnya, produk tersebut pada
akhirnya akan ditinggalkan dengan hadirnya sesuatu yang baru yang lebih baik.
Apakah kemudian, sistem yang sudah dibangun (seperti perangkat Madarasah KAMMI,
STIPOLID, Dauroh, dan sebagainya) tidak bisa diubah dengan hal baru? Padahal,

bukankah kita (baca: KAMMI) adalah organisasi kepemudaan yang dinamiswadah


perjuangan, dan konsekuensi dari perjuangan adalah pergerakan.
Potensi yang dimiliki oleh anak muda KAMMI, harusnya menjadi bekal utama yang
terus digelorakan dan dijaga tumbuhkembangnya, bukan justru dikebiri dengan
berbagai macam doktrin yang kaku. Namun, anak muda juga rentan terhadap kesalahan
dan kekeliruan, oleh karenya, penting bagi anak muda KAMMI belajar dari pengalaman
sebelumnya. Jika kemudian, katakanlah Madrasah KAMMI atau STIPOLID tak lagi
dianggap efektif, maka lakukanlah terobosan yang baru, segar, dan kritis.

Never doubt your potentiality, learn from a butterfly, if it had doubts, it would
have lived and died a crawling caterpillar; Jangan pernah ragu dengan
potensi yang ada dalam diri kita, cobalah lihat kupu-kupu, seandainya saja ia
memiliki keragu-raguan, maka ia akan hidup dan mati sebagai seekor ulat
bulu yang hanya bisa merangkak Larispique Philidor

Anda mungkin juga menyukai