Anda di halaman 1dari 6

PERAN IMMAWATI DI RUANG PUBLIK!

KEBERADAAN Immawati di dalam IMM terkadang memang


memunculkan kebiasan dalam memahami organisasi. Kebiasan tersebut tak pelak
menimbulkan tanda tanya, apakah Immawati hadir sebagai pelengkap gerakan
IMM, dari kalangan perempuan, layaknya Aisyiyah terhadap Muhammadiyah,
yang concern menjalankan misi 'keperempuanan'. Atau memegang peran utuh,
yang aktif sekaligus produktif mencetak kader perempuan. Secara mendasar, IMM
sebagai sayap dakwah harus mengambil peran utuh, begitupun Immawati. Dengan
ranah kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan, IMM membutuhkan
awak kapal yang utuh (kalangan laki-laki dan perempuan) untuk menjalankan
misi dakwahnya

Selain itu, Immawati menjadi bagian penting, sebagai wadah perkaderan


perempuan muda dari kalangan akademisi, khususnya intelektual muda
Muhammadiyah. Dengan adanya bidang Immawati tentunya IMM memiliki
tawaran dakwah yang luas. Tidak sedikit Immawati yang berhasil menjadi ketua
umum di tataran komisariat maupun cabang, bahkan ada juga yang lulus sampai
tataran pusat dengan prestasi yang membanggakan (meskipun bukan sebagai
ketua umum). Hal ini membuktikan, dalam IMM ada kesamaan hak antara
Immawan (laki-laki) dan Immawati (perempuan) untuk memimpin dan
mengambil peran strategis. Hal ini pula menjadi bukti bahwa keberadaan
Immawati bukan sekadar pelengkap gerakan, melainkan menjadi kekuatan
tersendiri, serta warna bagi IMM.

Kemudian bagaimana intensitas Peran IMMAWATI di Ruang Publik?.


Hal ini menjadi PR besar bagi kalangan kader IMM lebih khusus Bidang
Immawati untuk bagaimana menumbuhkan semangat keperempuanan dalam
merespon dinamika dan problematik yang tengah melanda situasi dan keadaan
perserikatan, bangsa dan kemanusiaan. Maka untuk menjawab PR ini Immawati
mesti menumbuhkan kecemasan dan khwatiran sehingga dapat menawarkan
solusi yang relavan, yaitu dengan berupaya memperbaanyak refleksi yakni menata
bagaimana perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam membela bangsa ini.

Kartini adalah sosok pejuang pembela hak kaum perempuan. Terlepas dari
kontroversi kaum perempuan mana yang dia bela,karena pada saat itu masyarakat
terpecah berdasarkan struktur sosial dan ikatan primordialisme yang ketat. Sosok
Cut Nyak Dien juga merupakan salah satu sosok pendekar' perempuan yang
mampu membuktikan kesosokannya dengan turun ke medan perang. Selanjutnya,
Nyai Walidah (istri Kiai Dahlan) yang menjadi penggerak bagi kelompok
masyarakat perempuan dengan membangun Sapatresna, cikal bakal Aisyiyah.
Yang melakukan perkaderan perempuan, yang hingga kini eksis mewarnai
dakwah kemasyarakatan sebagai ortom Muhammadiyah. Mereka adalah tokoh
perempuan (yang juga pahlawan nasional) yang memiliki karakternya masing-
masing dalam memperjuangkan keadilan. RA Kartini bergerak dengan
kemampuan intelektualnya. Cut Nyak Dien dengan otot dan senjatanya. Dan Nyai
Walidah dengan kelompok atau organisasi perempuan yang dibentuknya.

Di ruang publik, peran perempuan dan laki-laki saat ini menempati posisi
yang setara. Artinya, tidak ada batasan bagi perempuan untuk menjalankan
tugasnya hanya di wilayah domestik, dalam paradigma masyarakat tradisional,
hanya mengurusi urusan dapur, sumur, dan kasur. Tak sedikit perempuan menjadi
pejabat publik, kaum muda perempuan yang menjadi volunteer/relawan, aktivis,
maupun pemimpin organisasi. Lihat saja susunan pemerintahan saat ini (Kabinet
Kerja) yang menampilkan banyak tokoh perempuan. Begitu pula di ranah sosial,
misalnya, dalam tanggap bencana ada peran perempuan. Atau, ada juga
perempuan yang bergerak menciptakan pusat belajar masyarakat, taman baca, dan
pembinaan di suatu daerah.

Dengan begitu, seyogianya Immawati memiliki peran potensial untuk


mengembangkan diri (ber-fastabiqul khairat), seperti yang dilakukan ketiga tokoh
perempuan Indonesia tadi. Selain itu, posisi Immawati juga sentral di dalam
kepemimpinan/kepengurusan IMM. Khairun Nisa dalam buku Dalam Satu Masa
menyebutkan tugas Immawati, di antaranya, menjadi partner pendamping
Immawan, agen perubahan, pengeksekusi strategis aksi perempuan di segala
bidang, kontrol terhadap dinamika kelembagaan.

Maka, tugas Immawati tidak hanya concern mengurusi perihal


keperempuanan, tapi juga mengurusi kemanusiaan dalam berbagai aspek (sosial,
agama, budaya, politik, maupun ekonomi), sebagai konsekuensi logis peran utuh
yang diembannya. Peran utuh tersebut menuntut Immawati menjadi perempuan
yang progresif sejak dalam pikiran. Tentunya, dengan memunculkan ide-ide dan
gerakan-gerakan baru, guna menjawab tantangan dan permasalahan global.

Saat ini, musuh kita (IMM) tak seperti apa yang dihadapi Cut Nyak Dien,
Nyai Walidah, dan Kartini dahulu. Tapi, lebih kepada pelurusan paradigma,
perkembangan pergaulan kaum muda, serta kekerdilan berpikir internal yang terus
diperlihara. Problematika yang terjadi saat ini, yang pertama adalah tren, yang
tercermin dari gaya hidup berbasis teknologi digital. Tidak jarang, kaum
perempuan menjadi objek sasaran dari adanya kejahatan digital. Dengan
maraknya media sosial, yang kadang digunakan tidak pada tempatnya. Misalnya,
mengumbar foto-foto yang bersifat pribadi, yang dapat mengundang berbagai
macam kejahatan/kemungkaran.

Selain itu, tren mengenai hijab atau jilbab pun tak pelak menjadi
persoalan. Apalagi, dengan adanya isu bahwa Indonesia akan menjadi pusat tren
hijab internasional, karena dinilai memiliki varian gaya yang dalam sudut pandang
modern disebut modis. Masalahnya, fokus dunia adalah kepada tren fashion-nya,
bukan kepada esensi hijab yang digunakan untuk menutup aurat. Hal ini pun akan
menjadi persepsi yang salah, ketika kita menjalankan sesuatu yang sebenarnya
bernilai ibadah tapi hanya dilakukan demi kebutuhan fashion yang kadang
menabrak ketentuan agama.

Kedua, yaitu pergaulan. Pergaulan di kalangan kaum muda saat ini tidak
hanya terbatas di ruang kelas dan lingkungan saja. Yaitu kelompok-kelompok
yang gemar jalan ke mal atau sekadar nongkrong di warung/kantin. Biasanya,
waktu hanya mereka habiskan dengan nongkrong dan jalan-jalan (berbelanja di
mal). Bagi sebagian dari mereka ada yang antipati terhadap organisasi, apalagi
organisasi dakwah.

Ketiga, yaitu cara berpikir kerdil. Menurut Nithzche, dikutip Eko Prasetyo,
lebih baik berbuat jahat daripada berpikiran kerdil (Bangkitlah Gerakan
Mahasiswa). Artinya, kebaikan itu harus dikerjakan, bukan hanya dipikirkan atau
didiskusikan. Jika hanya menjadi sebatas wacana maka kita akan kalah langkah
oleh kejahatan-kejahatan, meskipun sifatnya kecil. Apalagi, kejahatan yang besar.
Meskipun dalam Islam berniat baik sudah dicatat sebagai pahala.

Immawati berpikir kerdil ketika memikirkan dunianya saja. Sebagai


wadah perkaderan perempuan, Immawati harus bisa bergeliat menunjukkan
taringnya di berbagai lini. Dengan bekal intelektualitas, humanitas, dan
religiositas Immawati akan diperhitungkan di mana pun dia berada. Sedangkan
dengan pola pikir kerdil, Immawati hanya akan berkutat dengan masalah
keperempuanan, yang berkaitan dengan ranah domestik tadi, yang seakan-akan
memisahkannya dari gerakan IMM secara keseluruhan.

Dengan persoalan yang demikian, hendaknya kita bisa menerawang


tentang apa saja yang sebaiknya dilakukan dan dikembangkan Immawati dalam
mengawal pergerakan IMM. Pertama, melakukan pelurusan terhadap tren yang
berkembang atau membuat tren baru untuk mengimbangi tren tersebut. Kedua,
bersifat inklusif dalam bergaul, alias tidak pandang bulu. Dan ketiga, memperkuat
pola kaderisasinya, sebagai ujung tombak perkaderan perempuan.

Tren seperti yang sudah dijelaskan di atas merupakan suatu produk yang
tercipta dari kebutuhan zaman. Tren akan selalu berubah dan selalu dimonopoli
oleh kepentingan dan permintaan pasar. Siasat untuk melawannya adalah dengan
dakwah pencerahan. Atau dengan membuat tren tandingan.

Siasat dakwah yang mencerahkan harus dimulai dari pola pikir yang sesuai
atau melintasi zaman. Artinya, dengan ide-ide kreatif dakwah bisa dilancarkan.
Misalnya, menggunakan media sosial yang saat ini sangat digandrungi kaula
muda. Isinya bisa dengan unggahan yang berisi pelurusan terhadap tren-tren yang
berkembang. Soal hijab syar'i misalnya, atau tentang kewaspadaan mengunggah
foto.

Sedangkan tren tandingan, perlu dilakukan secara berjamaah (membangun


jaringan kelompok). Jika ada kelompok hijabers yang lebih menonjolkan sisi
modisnya, maka Immawati bisa membuat tren baru dengan kelompok hijab modis
tapi syar'i misalnya. Yang kegiatanya bukan hanya menciptakan tren mode
fashion, tapi juga mengkaji dasar-dasar hukumnya dan melakukan aksi-aksi
kreatif- reflektif.

Pergaulan di kalangan kaum muda hari ini cukup menggelisahkan. Maka,


Immawati harus mulai membuka diri. Dengan inklusivitas tersebut, Immawati
akan mampu menjadi corong dakwah yang luas. Misalnya, membuka pergaulan,
jadi tidak hanya dengan yang berjilbab panjang misalnya. Sedangkan sasaran
dakwah kita tidaklah hanya untuk mereka, tapi yang gemar nongkrong misalnya,
entah itu di mal atau di warung atau kantin.

Dengan membuka lahan dakwah di setiap sudut tongkrongan kaum muda.


Immawati bisa memberikan warna, bukan sebagai pendakwah yang menggurui.
Tapi, menjadi teman untuk sama-sama mengingatkan dalam kebaikan dan
menjauhi kemungkaran.

Selanjutnya, dengan memperkuat basis kaderisasi Immawati. Yakni,


meneguhkan jati diri Immawati yang progresif, yakni bernalarkritis, berwawasan
global, dan memiliki loyalitas yang kuat terhadap perjuangan IMM. Ini tentunya
perlu dibangun di setiap sudut kehidupan Immawati. Misalnya, mengkaji
persoalan kemanusiaan yang bersifat universal maupun sosial-budaya remaja dan
kaum muda dalam forum formal maupun nonformal. Atau, dalam SPI tahun 2010
lebih menekankan kepada pemahaman gender. Yang juga dapat membongkar pola
pikir yang kerdil tadi. Karena pada dasarnya semua kader, baik Immawan maupun
Immawati, memiliki potensi dan hak yang sama.
Maka, alangkah baiknya apabila Immawati mampu mengambil peran
dalam setiap langkah gerakan IMM, maupun dunia luar, tanpa harus merasa
kerdil. Tentunya dengan prinsip-prinsip dakwah yang dimiliki dan sesuai dengan
ideologi IMM. Jadi, Immawati baik pun Immawan, dalam konteks gerakan, tidak
ada sekat dikotomis yang membatasi ruang gerak. Selama itu masih sesuai dengan
aturan organisasi, standar perkaderan, dan nilai-nilai moral yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai