Pendekatan Komunikasi Dalam Pembangunan
Pendekatan Komunikasi Dalam Pembangunan
Heru Nurhadi
Sendi Eka Nanda
Kata Pengantar
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa
Rahmat & RidhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat
waktu. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Masitoh, SE sekalu dosen
Komunikasi Sosial dan Pembangunan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada temanteman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan
makalah ini.
Penyusun
Daftar Isi
Latar Belakang.
Secara sederhana, konsep komunikasi muncul seiring adanya keyakinan besar terhadap
kekuatan media. Misalnya, Pye ( dalam Pearce, 1986 ) mengaitkan runtuhnya masyarakat
tradisional dengan tekanan komunikasi. Sementara Lerner menyinggung media massa sebagai
penggali yang ajaib dalam upaya pembangunan. In-kelas dan Smith menyimpulkan bahwa agen
yang paling powerfull dalam menanamkan modernisasi individu adalah media massa, sekolah,
dan pabrik. Schramm mengakui bahwa komunikasi sering dianggap sebagi peluru dengan
target yang bisa diprediksi. Secara khusus, paradigma ini diakui sebagai strategi pembangunan
dengan asumsi bahwa komunikasi ( media massa ) sebagai penyampai komoditi kepada
khalayak. Dengan berpikir mendapatkan informasi dan pendidikan sebagai komoditi, masyarakat
akan mendapatkan sikap yang lebih modern, akan mengadopsi inovasi, dan akan berpartisipasi
dalam peningkatan ekonomi industry ( Pearce, 1986 ).
Selanjutnya Lerner, ( dalam Pearce, 1986 ) mengaitkan pembangunan dengan
modernisasi dan perubahan sosial. Dia menilai, negara-negara sedang berkembang tidak dapat
mengeksploitasi sumber daya alamnya karena sikap dan perilaku mereka yang tradisional.
Dengan para teoritikus paradigma dominan lainnya, Lerner mengembangkan daftar karakteristik
yang membedakan antara orang tradisional dengan orang modern. Dalam karakteristik Inkeles
dan Smith, orang modern adalah warga aktif yang memiliki akses informasi, kompetensi
individual, bebas dan otonom, serta kaya dengan ide.
Menurutnya Inkles dan Smith, terdapat tiga faktor utama untuk menanamkan modernitas,
yakni : terpaan media, partisipasi politik, dan empati psikis. Lerner yakin bahwa terpaan media
massa adalah katalisator kunci untuk mencapai modernisasi. Dalam program-program
pembangunan, peran komunikasi adalah menunjukan kepada individu yang tradisional bahwa
ada dunia di luar pengalaman mereka selama ini, dan memungkinkan mereka berinteraksi
dengan latar belakang yang beragam. Dan untuk mempersuasi mereka, media massa mampu
mengadopsi seperangkat kepercayaan dan nilai khusus yang dapat memfasilitasi partisipasi
mereka dalam masyarakat industry. Sementara itu, Lerner dan Schramm sepakat tentang peran
komunikasi massa dalam menyediakan peluang bagi pertumbuhan ekonomi ( dalam Shields dan
Samarajiva, 1990 ). Dari sinilah, para ilmuwan sosial termasuk ilmuwan komunikasi menyakini
kekuatan paradigma ini dapat diterapkan dalam pendekatan komunikasi bagi tujuan
pembangunan.
Sarvaes ( 1996 ) cukup kuat, dan menjadi rujukan dalam pemanfaatan komunikasi bagi
pembangunan ( Birowo, 1999 ).
Kecenderungan ini kemudian diamnfaatkan oleh studi difusi-inovasi dalam berbagai
bentuk, termasuk komunikasi pembangunan. Yang terjadi kemudian, sebuah lompatan besar
dalam penggunaan media massa secara besar-besaran hingga melebihi kadar dan manfaatnya.
Media massa dipandang sebagai sumber kekuatan utama dalam merubah pikiran, sikap dan
perilaku masyarakat. Tak terkecuali para agen pembaharuan atau pembangunan menggunakan
potensi ini untuk melakukan perubahan-perubahan pada isu-isu tertentu bagi pembangunan
masyarakat. Agen pembangunan yang diharapkan menjadi pelopor pembangunan di desa,
merupakan representasi pemerintah. Media massa cenderung didominasi oleh peran pemerintah
sehingga memunculkan arus informasi yang satu arah dan terpusat. Informasi berjalan dari atas
ke bawah, yaitu : dari pusat ke pinggiran, dari elit ke masyarakat awam. Akibatnya, dalam
banyak kasus isi dari media massa menjadi milik penguasa semata, informasi mengalir dengan
isu-isu pembangunan yang menjadi wancana kepentingan pemerintah sendiri.
Berdasarkan fenomena ini, Juanillo ( 1993 ) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
media massa lebih mempunyai efek yang menguntungkan masyarakat perkotaan yang melek
huruf, dan berpendapatan tinggi ketimbang masyarakat di desa. Melihat hal ini, Daniel Lerner
seperti dikutip Valdes ( 1989 ) mengatakan bahwa untuk mengonsumsi media massa memerlukan
daya beli ( cash ), dan day abaca ( Literacy ) dari masyarakat. Sementara masyarakat yang
menjadi sasaran, memiliki keterbatasan mengakses informasi media massa. Jika demikian, media
massa akan mengalami kesulitan mnegartikulasikan dan mengakomondasikan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat secara berimbang. Karena itu, Rogers dan Shoemaker ( 1987 )
mengatakan bahwa saluran interpersonal masih memegang peranan penting dibanding dengan
media massa. Terlebih-lebih di negara-negara yang belum maju, terutama dipedesaan, di mana
kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau khalayak, tingginya tingkat buta huruf
dan tidak sesuainya pesan-pesan yang disampaikan dengan kebutuhan masayarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa penduduk di negara Dunia Ketiga sering dianggap
sebagai keuntungan utama pada pembangunan, ketimbang sebagai pendorong upaya
pembangunan kemandirian. Sebagai contoh, para petani yang berpendidikan lebih tinggi,
keterbukaan terhadap media lain lebih besar, dan standar hidup yang lebih tinggi ( setengahnya
berpengetahuan luas dan sedikit memerlukan informasi ), lebih sering mengikuti program ( yang
ditunjukan media ) daripada mereka yang berpendidikan rendah, keterbukaan terhadap media
lain terbatas, dan standar hidup yang lebih rendah ( Shingi and Mody, 1976: 94 ). Orang miskin
pedesaan di negara yang sedang berkembang memiliki akses terbatas pada media. Di sebagian
besar negara ini terdapat distribusi media massa yang tidak sama yang dikarakterisasi oleh
konsentrasi perkotaan dan kebutuhan materi media pedesaan. Dan penelitian terbaru
menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan yang penting dalam daerah pedesaan sendiri
tempat kaum elit memiliki akses dan keterbukaan yang lebih baik pada sumber media ( Beltran,
1974; Eapen, 1975; Shore, 1980; Khan, 1987 ).
Sangat sedikit waktu dan ruang yang sesuai dengan informasi pembangunan di media
massa. Media modern di banyak negara Dunia Ketiga diawasi oleh kaum perkotaan dan sumber
elit lainnya, serta kualitas dan isi pesannya tidak sesuai bagi khalayak pedesaan. Kesimpulan
mereka mendapat dukungan dari studi Shore ( 1980 ) yang dilakukan pada isi pemberitaan surat
kabar, radio dan televisi. Isi pemberitaan surat kabar, radio dan televise lebih banyak mengenai
informasi yang sepele dan tidak berorientasi pembangunan.
Dari serangkaian pengalaman dan penelitian komunikasi yang telah dilakukan, Joseph
Klapper ( 1960 ), Bargouty ( 1974 ), W. Schramm ( 1974 ), Rogers ( 1976 ), Robinson Davis
( 1990 ), serta Merion Just dkk ( 1990 ) menunjukan bahwa peran media dalam proses perubahan
belum cukup memengaruhi pada pembangunan masyarakat. Jadi, kesimpulan penelitian ini
belum dapat memberikan penegasan yang konsisten mengenai pengaruh langsung media
komunikasi massa terhadap perubahan sikap apalagi perilaku. Bahkan dalam beberapa hal, aspek
isi media massa menjadi penghambat terhadap perubahan dalam pembangunan masyarakat.
Media massa telah membuktikan di banyak negara sebagai suatu keperluan, tetapi bukan
merupakan kondisi yang cukup bagi pembangunan ( Wilbur Schramm, 1974 ). Bahkan banyak
penelitian komunikasi massa yang membuktikan kegagalan media massa dalam pembangunan
berakibat pada gagalnya proses pembangunan itu sendiri di negara Dunia Ketiga.
Kritik
yang
dikemukakan
oleh
Sultana
Krippendof
misalnya,
menganalisis
perkembangan media massa di negara maju dan Dunia Ketiga. Media massa di Amerika telah
diabaikan pemirsanya karena tidak menarik dan berbahaya bagi kehidupan sosial. Artinya, media
massa di Amerika sedang mendapatkan banyak kritik. Para peneliti media di Amerika
menunjukan bahwa media hanyalah memperkuat keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini
sungguh berbeda dengan pendekatan komunikasi pembangunan yang mengklaim bahwa media
akan membawa perubahan-perubahan besar.
Krippendof menambahkan bahwa model komunikasi linier dalam pembangunan
mengasumsikan bahwa pemirsa di Dunia Ketiga pasif, lemah, dan tidak mampu menahan pesanpesan yang diterimanya dari media baru.
karena itu, kebiasaan definisi yang dikotomi ( tradisional/modern ) sudah selayaknya dihapuskan
karena keaslian dari suatu negara akan diabaikan. Selain kritik tersbut, masih banyak kritik yang
dilontarkan akibat dari kegagalan konstruksi komunikasi pembangunan di negara Dunia Ketiga.
Hal ini terbukti dengan terjadinya kegagalan di beberapa negara. Kritik yang sama juga
dilontarkan Flugsengan, tentang fungsi media massa,
Media massa membuktikan menjadi seperti kaleng yang berbunyi kemerincing karena
memberikan informasi yang keliru, pendidikan yang tidak relevan, dan kesia-siaan
belaka.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, fungsi media massa mengalami distorsi
kepentingan antara nilai-nilai idealis dan nilai-nilai factual, serta antara informasi yang layak dan
informasi khayali ( imajiner ). Pada batas ini, media massa memunculkan persoalan baru yang
lebih merepresentasikan budaya massa yang merupakan hasil produksi negara maju, ketimbang
aspek pendidikan bagi masyarakat.
Selanjutnya, untuk kepentingan yang lebih besar, komunikasi dipandang paling tidak
menurut komunikator ( pemerintah ) sebagai instrument kunci bagi suksesnya usaha
pembangunan. Dan sejak itulah segala daya dan kemampuan komunikasi mulai dipandang untuk
dimanfaatkan sebagai saluran penyampaian informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan
aktivitas pembangunan. Berbagai pengalaman komunikasi pembangunan yang berlangsung
menimbulkan kesenjangan efek komunikasi. Salah satu hal yang dikritik kalangan peneliti adalah
gejala dikalangan komunikatoryang lebih mementingkan unsure tertentu dari sekian komponen
komunikasi yang ada. Tehranian ( 1979 ) menyebut gejala ini sebagai media-centric yang
menyebabkan fungsi-fungsi pokok komunikasi, seperti : modernisasi dan perubahan sosial,
pluralisasi dunia kehidupan, dan system organisasi, saling bertentangan dan kurang diperhatikan.
Dengan demikian, pendekatan mekanistik media massa tidaklah memadai untuk menggambarkan
posisi komunikasi dalam pembangunan.
Berdasarkan kenyataan ini, posisi komunikasi dalam pembangunan menjadi kehilangan
peran, bersifat satu arah sehingga memicu munculnya jurang pemisah ( gap ) antara pemerintah
dan masyarakat. Komunikasi dalam hal ini dipandang tidak lebih sebagai penerus informasi,
yang bersifat mekanistik tanpa memikirkan karakteristik masyarakatnya. Suatu bukti yang tidak
terbantahkan akibat dari perspektif tersebut, yaitu masyarakat mengalami keterbelakangan dalam
pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar studi difusi-inovasi model komunikasi linier pada masa itu berorientasi pada
sumber-sumber resmi sebagai penyedia atau pencipta inovasi yang disalurkan melalui media
massa, sementara khalayak-khalayak di daerah-daerah diposisikan sebagai penerima dan
penyerap inovasi. Pada batas ini, inovasi yang diusung media massa menjadi ajang eksploitasi
dan mobilisasi dukungan dari proses komunikasi sehingga inisiatif local dari masyarakat pada
tingkat akar rumput ( grassroots ) tidak mendapat cukup peluang untuk mengekspresikan
gagasan dan kepentingannya secara bebas. Yang terjadi kemudian ide-gagasan pembangunan
didefinisikan sebagai upaya mendukung kepentingan yang berpihak status quo. Jika demikian,
pertanyaan yang patut diajukan pada konteks ini, adalah siapa yang bisa mengontrol media
massa sebagai alat dalam komunikasi pembangunan ? inilah posisi sulit dalam pendekatan media
massa dalam komunikasi pembangunan.
sosial-budaya maupun politik. Di sini, ruang dan peluang masyarakat untuk terlibat cukup penuh
cukup terbuka sehingga memegang posisi sentral dalam melakukan perubahan demi keberhasilan
pembangunan.
Partisipasi sendiri menurut Paul memiliki empat tingkatan seperti yang dikutip dalam
Bracht dan Tsourus (1990), yaitu : (1) information sharing. Hal ini merupakan tingkatan terendah
partisipasi, di mana para agen membagi informasi, dan memberi pemahaman terhadap informasi
informasi dalam memfasilitasi orang bertindak; (2) concultation. Hal ini merupakan tingkatan
kedua partisipasi, di mana orang mempunyai peluang untuk berbagi, bertanya, menyimak dan
bertindak terhadap agen perubahan; (3) decision making. Hal ini merupakan tingkatan ketiga, di
mana pada tingkat ini orang mempunyai peluang dan kesempatan untuk bermain dan berperan
dalam menentukan desain dan implementasi dalam melakukan perubahan social; dan (4)
initiating action. Hal ini merupakan tingkatan tertinggi dalam partisipasi, di mana pada tingkat
ini orang telah mengambil inisiatif dan memetuskan proses perubahan yang diinginkan.
Pemilihan ini membantu para perencana dan pelaksana para pembangunan, mengetahui
partisipasi yang telah dicapai dari suatu program pembangunan.
Pendekatan partisipatif tersebut berlandaskan semangat kebersamaan (togetherness,
communality) dalam mengartikulasikan dan mempersepsikan sesuatu dalam pikiran, sikap dan
tindakan, termasuk cara-cara memecahkan masalah bersama. Konsepsi kebersamaan tersebut
menentukan tujuan proses komunikasi sehingga semua pihak yang terlibat mempunyai
kesempatan mempertukarkan dan merundingkan makna pesan (exchange and negotiation of
meaning) menuju keselarasan dan keserasian makna bersama. Dalam pendekatan partisipatoris ,
semua permasalahan yang dihadapi merupakan masalah bersama. Karena aktivitas komunikasi
terjadi dalam ruang public (public sphere) maka kemungkinan setiap orang dapat melakukan
akses informasi dan dialog terbuka secara merata.
Terkait dengan hal ini, hubungan aspek nilai sosial budaya lingkungan dan pengalaman
partisipan komunikasi diyakini DeFleur (1993) turut menjadi perhatian bersama. Jadi,
pendekatkan ini menyiratkan adanya komitmen, itikad baik, dan kemauan untuk belajar bersama
dari pihak yang terlibat komunikasi dua arah secara bergantian. Pendekatan partisipatoris ini
dalam istilah popular dikenal sebagai model komunikasi konvergen, atau dalam istilah Jayawera
(1991), Mezzana (1996) dan Riano (1994) grassroots communication. Pendekatan partisipatoris
yang bertumpu pada model konvergen berarti berusaha menuju pengertian yang bersifat timbal
balik di antara partisipan komunikasi dalam perhatian, pengertian, dan kebutuhan. Jika konsep
ini dipergunakan sebagai pendekatan pembangunan, akan meretes jalan tumbuhnya kreativitas
dan kompetensi masyarakat dalam mengomunikasikan gagasannya.
Dalam istilah Barnett Pearce (1986), strategi pembangunan tersebut dilihat sebagai
alternatif perspektif komunikasi sebelumnya. Perspektif ini melihat pembangunan sebagai
konstruksi seperangkat relasi, peran, dan pola-pola tindakan khusus, serta komunikasi sebagai
proses di mana kontruksi itu dibentuk. Untuk menuju komunikasi dua arah (konvergen) atau
komunikasi sirkuler yang berhasil dalam pembangunan, Rogers dan Adhikarya (1979)
menyarankan untuk memikirkan hal-hal yang tadi, termasuk kesenjangan efek komunikasi
sehingga memudahkan menyusun strategi komunikasi dengan prinsip-prinsip, antara lain:
1. Penggunaan pesan secara khusus (tailored messages).
2. Pendekatan ceiling effect dengan mengomunikasikan pesan-pesan agar khalayak dapat
3.
4.
5.
6.
7.
mengejar ketertinggalannya.
Pendekatan narrow casting atau melokalisasi penyampaian pesan bagi khalayak.
Pemanfaatan saluran tradisional.
Pengenalan para pemimpin opini di masyarakat.
Mengefektifkan peran agen-agen perubahan.
Menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak.
KESIMPULAN
Komunikasi pembangunan dewasa ini adalah merupakan hal terpenting dalam pembangunan dan
tidak bisa disepelekan. Komunikasi pembangunan tidak sepenuhnya menjadi komsumsi
pemerintah, tepati dalam lembaga atau organisasi pun dibutuhkan. Dalam pembangunan dewasa
ini, ada banyak peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, diantaranya :
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap
mental, dan bentuk prilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke
pertanian, hingga kekeberhasilan pembangunan hingga reparasi mobil. (schram, 1967).
3. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri,
sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile.
4. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata.
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
10. Komunikasi memudahkan perencanaan dan inflementasi program-program pembangunan
yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk.
11. Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, social, dan politik menjadi suatu proses
yang berlangsung sendiri.
Daftar Pustaka