Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga
dapat menyelesaikan laporan modul 2 blok Al Islam tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam tidak lupa kami junjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Laporan ini kami buat untuk memenuhi tugas wajib yang dilakukan
untuk

menghadapi

pleno.

Pembuatan

laporan

ini

pun

bertujuan

memahami isi dari modul 2 dalam blok Al Islam 1.


Terimakasih kami ucapkan pada tutor kami Dr.dr. Tjahaja Haerani S,
MS,SpParK yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan
laporan ini. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam mencari informasi, mengumpulkan data dan menyelesaikan
laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami
pada khususnya dan bagi pada pembaca pada umumnya.
Laporan kami masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan
untuk menambah kesempurnaan laporan kami.
Jakarta, Desember 2011

DAFTAR ISI

Kata

Pengantar

........................................................................................................
1
Daftar
Isi .................................................................................................................
..
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan

Instruktursional

Umum

.
Tujuan
Instruktursional

4
Khusus

. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Skenario

.
Kata/Kalimat

5
Sulit

..
5
Kata/Kalimat

Kunci

5
BAB III
PEMBAHASAN
1. Bagaimana batasan dan adab pemeriksaan fisik terhadap lawan
jenis dalam
islam

(Moh.

Hafidz

Ramadhan) ........................................................................ 6
2. Tindakan apa yang harus dilakukan dokter hilman dalam keadaan
pasien datang
2

Sendiri

(Vera

Desniarti) ..........................................................................................
10
3. Apa hukum pemeriksaan terhadap lawan jenis dan nonmuhrim
(Vidia
Amrina
Rasyada) ........................................................................................
10
4. Bagaimana prosedur pemeriksaan fisik sesuai dengan kode etik
kedokteran
(Miftah
Rizqi) ...................................................................................................
....
5. Apa

13
batasan

aurat

laki-laki

dan

perempuan

Intan

Azzahra) ............................... 15
6. Bagaimana adab bergaul laki-laki dan perempuan dalam perfektif
islam
(

Lia

Dafia) ..................................................................................................
..........
20
7. Dalam kondisi apa kita boleh memeriksa pasien lawan jenis
(Ghisqy

Arsy

Mulki)..............................................................................................22
8. Langkah apa yang harus dilakukan untuk menghindari timbulnya
syahwat
dalam

pemeriksaan

fisik

( Tohari) .........................................................

tersebut

28

BAB IV
KESIMPULAN ..............................................................................................
......................

34

DAFTAR
PUSTAKA ....................................................................................................
..........

35

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Tujuan instruksional umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu
menerapkan batasan dan adab pemeriksaan kesehatan terhadap lain jenis
yang sesuai dengan islam.

B. Tujuan instruksional khusus (TIK)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat:
4

1. Menjelaskan batasan aurat laki-laki dan perempuan.


2. Memahami pemeriksaan kesehatan yang lege artis (baik).
3. Menjelaskan pemeriksaan kesehatan terhadap lain jenis di dunia
barat dan timur.
4. Hukum pemeriksaan kesehatan terhadap lain jenis, khususnya
nonmuhrim berdasarkan Quran dan hadits.
5. Memahami batasan dan adab pemeriksaan kesehatan terhadap lain
jenis, khususnya nonmuhrim.

BAB II
TINJAU PUSTAKA
A. Skenario modul 2
Hilman dokter berusia muda sedang bertugas di Rumah Sakit
swasta, kedatangan pasien perempuan berusia 18 tahun dengan
keluhan ada benjolan di payudara kiri. Dirasakan sudah 3 bulan.
Penderita minta diperiksa karena takut apakah ini yang disebut
kanker payudara. Sesuai prosedure medis rumah sakit dia harus
melakukan

pemeriksaan

fisik

melalui

pengamatan

(inspeksi),

perabaan (palpasi) yang notabene aurat perempuan. Dia bingung


karena sesuai aturan dia harus memeriksa sesuai procedure, tetapi

pasien tersebut bukan muhrimnya dan yang diperiksa daerah


sensitive. Pasien datang berobat sendiri tanpa ditemani keluarga.
B. Kata sulit
1. Notabene : Penegasan akan suatu maksud.
C. Kata / kalimat kunci
1. Hilman dokter muda
2. Pasien perempuan berusia 18 tahun dengan keluhan benjolan di
payudara kiri.
3. Pemeriksaan fisik di daerah sensitive
4. Memeriksa sesuai prosedur

BAB III
PEMBAHASAN
Nama: Moh. Hafidz Ramadhan
NIM

: 2011730150

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

1. Bagaimana batasan dan adab pemeriksaan fisik terhadap lawan


jenis dalam Islam?

Pemeriksaan

kesehatan

sering

dilakukan

di

berbagai

tempat

diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas, Klinik, dan lain-lain. Rumah


sakit (hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli
kesehatan lainnya. Beberapa pasien bisa hanya datang untuk diagnosis
atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa
pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan.
Rumah sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya
memberikan diagnosa dan perawatan medis secara menyeluruh kepada
pasien.
Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali
kondisi yang membuat interaksi antara tenaga medis dengan pasiennya
yang kadang membuat kita bertanya mengenai hal tersebut dalam
pandangan Islam. Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan
dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lain tersebut antara lain:
a. Mengambil anamnesa (riwayat penyakit)
Pasien diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dokter secara jujur dan jelas, karena kadang kadang
pasien tidak ingin menceritakan riwayat penyakitnya karena
merasa malu.
b. Melakukan inspeksi
Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar
kerja dokter, cara dia berjalan, normal atau dipapah, napas
sesak, kemudian bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain
7

c. Melakukan palpasi
Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah
pasien diminta untuk membuka pakaiannya terutama bagian
atas, kalau nanti ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih
lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana,
gune pemeriksaan dalam, baik melalui vagina maupun anus
(dubur).
d. Melakukan perkusi
Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah
tangan kiri

yang diletakkan dibagian

atas

tubuh

yang

diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara sehingga


dapat ditentukan batas konfigurasi jantung, paru-paru dan
sebagainya. Apakah ada cairan di rongga dada atau pada
rongga perut.
e. Melakukan aukultasi
Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar
bunyi-bunyi udara di dalam paru-paru, baik yang normal
maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal dan
yang tidak normal, bunyi bising, bunyi gerakan usus dan
sebagainya.
f. Pemeriksaan Pelengkap
Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro
Cardiograf, alat yang untuk mencatat aktivitas jantung yang
mengungkapkan

peristiwa-peristiwa

abnormal

yang

tidak

diketahui dengan cara-cara diatas.


g. Pemeriksaan Laboratorium

Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai


macam zat-zat dalam darah seperti gula, empedu , kolesterol,
asam urat, dan sebagainya.
Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter
mendapat bahan-bahan dalam menegakkan suatu diagnosa
penyakit.

Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali


tindakan medis yang membuat antara tenaga medis dan petugas
kesehatan terjadi interaksi yang melanggar aturan agama. Contohnya
seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya
yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang dilakukan
operasi adalah bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan
rahim ataupun operasi kanker payudara. Atau tindakan pemasangan
kateter (pemasangan suatu alat ke bagian alat pengeluaran urin untuk
mempermudah pasien buang air kecil). Dan disini lah terlihat sekali peran
tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang
alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah
tenaga medis yang bukan muhrim dengan pasiennya.

Pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia kesehatan


Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati
manusia yang lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati
manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalam surat Al Isra :70.
Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan
sesuatu kepada pasien, segala tindakan yang harus mereka kerjakan
haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit,


maka dokter berkhalwat, melihat aurat, dapat memeriksa luar dalam
pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan darurat, sebagai yang
dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat
membolehkan yang dilarang.
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu
hukum.

Para

ulama

menganggap

keadaan

darurat

sebagai

suatu

kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama justru memberikan


keluasan. Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan
gampang dilakukan. Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala
memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu
pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.
Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka
sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik
dari keluarga maupun dari tenaga medis itu sendiri. Akan lebih baik lagi
jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh
dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki.
Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehkan berobat
kepada lawan jenis jika sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat
ditunggui oleh mahram atau orang yang sejenis.
Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang
sangat diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait
langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun,
untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis
sebagai upaya sadd al-Dzariat (menutup jalan untuk terlaksananya
kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang
sejenis.
Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga
banyak disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh
utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki
10

melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian
tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat vitalnya, demikian pula
sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang bukan
mahramnya dengan alasan tuntutan.
Di Indonesia, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh
seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati
penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki,
bahkan hingga genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu
telah mengenai genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh
seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi,
kebolehan berobat kepada lain jenis dipersyaratkan jika yang sejenis tidak
ada. Dalam hal demikian, dianjurakan bagi pasien untuk menutup bagian
tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau yang sejenisnya
harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan
langsung.
Islam bukanlah agama yang monoton. Islam juga telah mengatur
semua yang akan dihadapi oleh anak cucu Adam. Dalam islam telah
dijelaskan

bahwa

Islam

memang

mengenal

darurat

yang

akan

meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi (jika
kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran).
Bahkan kaidah lain menyebutkan: Kondisi darurat menjadikan sesuatu
yang haram menjadi mubah.
Jadi dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dalam kondisi
darurat diperbolekan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan
medis kepada pasiennya yang berbeda jenis kelamin jika itu benar-benar
akan mendatangkan banyak kemaslahatan bagi pasien dengan syaratsyarat yang telah diatur pula misalnya pasien yang tetap ditemani oleh
keluarganya saat pemeriksaan ataupun hanya memeriksa bagian tubuh
pasien yang perlu-perlu saja. Tenaga kesehatan pun harus dituntut untuk
menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik yang telah dibuat oleh
institusi terkait dan mereka juga harus memiliki sikap dan jiwa yang

11

sesuai dengan syariat islam agar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga
kesehatan yang islami pula.
Nama: Vera Desniarti
NIM

: 2011730166

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

2. Tindakan apa yang harus dilakukan dokter hilman dalam keadaan


pasien datang sendiri ?
Jawaban : seharusnya dokter hilman meminta rekan kerja wanitanya
(dokter wanita yang setara) untuk menangani hal tersebut. Apabila tidak
ada, dokter hilman meminta pasien supaya memberi tahu dan di
dampingi oleh orang tua atau mahramnya. Dan apabila tidak bisa juga,
dokter hilman memanggil seorang perawat atau wanita yang dapat
dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.

Nama: Vidia Amrina Rasyada


NIM

: 2011730167

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

3. Apa hukum pemeriksaan terhadap lawan jenis dan nonmuhrim ?

12

Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokternya umum


maupun spesialis dari kalangan kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak
terntu menimbulkan pengaruh yang cukup membuat rishi kaum wanita,
bila mereka mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat,
sehingga banyak di antara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada
dokter pria.
Bila memang dalam keadaan darurat dan memaksa, Islam memang
memperbolehkan
diperbolehkan.

untuk
Selama

menggunakan
mendatangkan

cara

yang

mashalat

mulanya
seperti

tidak
untuk

pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah


yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada
pilihan, maka ia boleh pergi ke dokter laki-laki,

baik karena tidak ada

seorang

penyakitnya

dokter

muslimah

yang

mengetahui

maupun

memang belum ada yang ahli.

Allah Taala menyebutkan dalam firman-Nya surat Al-Anam ayat


119:











(padahal) sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu. Kecuali apa yang kamu memakannya.
Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi
harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku
secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawartawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan
berobat kepada dokter laki-laki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di
kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat yang di sebutkan untuk memulai pengobatan dimulai pada
bagian tubuh yang Nampak, seperti kepala, tangan dan kaki. Jika obyek
pemeriksaan menyangku aurat wanita, meskipun sudah ada perawat
13

wanita umpamanya- maka

keberadaan suami atau wanita lain (selain

perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik

untuk menjauhkan dari

kecurigaan.
Berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat
sepi di sebut Ikhliat. Pembahasan tentang ikhliat dalam

bidang etika

kedokteran islam sangat penting bagi untuk menjaga kehormatan dan


menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejiian.
Rasulullah saw telah memperingatkan kaum lelaki untuk berhati-hati
dalam masalah wanita, dalam hadist.





Berhati-hatilah kalian dari menjumpai wanita, maka seorang sahabat
dari Anshar bertanya, Bagaimana pendapat engkau tentang saudara
ipar, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, Saudara ipar adalah maut
(petaka). [HR Bukhari dan Musllim]

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhliat


dengan pernyataannya : Ikhliat yang terjadi di antara lelaki dan wanita
menjadi penyebab banyaknya perbuatan keji dan zina. Maka, sungguh
kehati-hatian

Islam

dalam

banyak

hal,

ialah

demi

kemaslahatan

kehidupan manusia itu sendiri.


Perintah menjaga aurat dan menahan pandangan terhadap lawan
jenis
Allah berfirman dalam Q.S An-Nur/24 : 30-31

14

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman
Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa) Nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dada mereka. Dan hendaklah jangan
menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau
ayah

mereka,

atau

putra-putra

mereka,

atau

putra-putra

suami

mereka,atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki


mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, ataau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
berlum mengerti tentang aurat wanita.
15

Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis,


akan tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis,
baik antara lelaki dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.
Disebutkan dalam sebuah hadits :



Dari Abdir-Rahman bin Abi Said al-Khudri, dari ayhnya, bahwasanya Nabi
saw bersabda : Janganlah seorang lelaku melihat kepada aurat lelaki
(yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita
(yang lain) [HR Muslim]
Nama: Miftah Rizqi
NIM

: 2011730155

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

4. Bagaimana prosedur pemeriksaan fisik sesuai dengan etika


kedokteran ?
Menurut sumpah hippokrates pada point ke delapan berbunyi
Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan
untuk

kesembuhan

yang

sakit

dan

tanpa

niat-niat

buruk

atau

mencelakakan, dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap
wanita ataupun pria, baik merdeka maupun hamba sahaya telah
menjelaskan tindakan yang seharusnya diambil oleh seorang dokter
dalam menyikapi pemeriksaan fisik terhadap pasien lain jenis.
Dalam deklarasi geneva pun telah dikatakan pada point ke empat
kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan. Maka jelas
16

seorang dokter harus fokus dalam mementingkan kesehatan seorang


pasien.
Dalam hukum islam yang berkaitan dengan sekenario ini, Apabila
tidak

ditemukan

seorang

dokter

wanita

yang

diperlukan

maka

diperbolehkan baginya untuk berobat kepada dokter laki-laki, dan hal ini
lebih mirip dengan keadaan darurat tetapi harus tetap terikat dengan
aturan-aturan yang jelas. Oleh karena itu, para ahli fiqih berkata, keadaan
darurat memperbolehkan untuk melakukan suatu hal sesuai dengan
sekedar kebutuhan. Maka seorang dokter laki-laki tidak diperbolehkan
untuk melihat atau memegang aurat pasien wanitanya yang tidak
dibutuhkan untuk dilihatnya ataupun dipegang, dan wajib pula bagi
wanita tersebut untuk menutup segala sesuatu yang tidak diperlukan
untuk dibuka ketika berobat.
Seperti dalam hadist Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan
seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan". Maka harus hadir
seseorang

bersama

keduanya

baik

suaminya

ataupun

salah

satu

mahramnya yang laki-laki. Dan apabila tidak bisa menghadirkan kerabat


dekat

yang

wanita

sedangkan

sakitnya

membahayakannya

dan

pengobatannya tidak biasa ditunda-tunda lagi, maka paling tidak harus


dengan kehadiran seorang perawat wanita untuk menjaga agar tidak
terjadi 'khalwat' yang terlarang.
Pada

kasus

dalam

sekenario

ini,

dr.hilman

haruslah

mengutamakan kepentingan pasien tanpa ada niatan untuk bertindak


cabul terhadap pasien pemeriksaan fisik yg memiliki keluhan didaerah
sensitif, tetap dengan tujuan untuk mengobati sang pasien dengan
pemanggilan baik suaminya ataupun satu keluarga yang laki-laki, dengan
didampingi perawat apabila memang terdesak dikarenakan bahaya
apabila tidak bisa ditunda-tunda lagi.

17

Nama: Intan Azzahra


NIM

: 2011730141

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

5. Apa Batasan aurat laki-laki dan Perempuan ?

Batas-batas Aurat.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat,

karena perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang aurat. Para ulama


telah sepakat bahwa antara suami dan isterinya tidak ada aurah,
berdasarkan firman-Nya:
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (AlMuminun(23): 6). (As-Sabuniy, 1971, II: 154).
I.

Maka yang dibahas di sini adalah aurat laki-laki dan


perempuan terhadap orang lain.

1. Aurat Laki-laki Terhadap Laki-laki.


Menurut jumhur ulama, aurat laki-laki terhadap laki-laki antara pusat
perut hingga lutut, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jurhud alAslamiy, ia berkata: Rasulullah saw duduk di antara kita dan paha saya
terbuka, kemudian beliau bersabda:
18

Ketahuilah bahwa paha adalah aurat.


(Ditakhrijkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmuziy, dari Jurhud alAslamiy).
2. Aurat Perempuan Terhadap Perempuan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat perempuan terhadap
perempuan adalah sama dengan aurat laki-laki terhadap laki-laki.

3. Aurat Laki-laki Terhadap Perempuan.


Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat laki-laki terhadap perempuan
adalah dari pusat perut hingga lutut, baik terhadap mahram maupun
bukan mahram. (As-Asbuniy, 1971, II: 153).
4. Aurat Perempuan Terhadap Laki-laki.
Para ulama berbeda pendapat tentang aurat perempuan terhadap lakilaki, dan di antara pendapat-pendapat tersebut ada dua pendapat yang
diikuti oleh orang banyak, yaitu:
a. Asy-Safiiyyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh
tubuh wanita adalah aurat, dengan alasan:
1. Firman Allah: Walaa Yubdiina Ziinatahunna (dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya) (an-Nur (24): 31).
Ayat tersebut dengan tegas melarang menampakkan perhiasannya.
Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam:
a) zinah khalqiyyah (perhiasan yang berasal dari ciptaan Allahj),
seperti wajah, ia adalah asal keindahan dan menjadi sumber
fitnah
b) zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju,
gelang dan pupur.
Ayat tersebut mengharamkan kepada wanita menampakkan perhiasan
secara

mutlak,

muktasabah.

baik

Maka

perhiasan

haram

bagi

khalqiyyah
wanita

maupun

menampakkan

perhiasan
sebagian
19

anggota badannya atau perhiasannya di hadapan orang laki-lai.


Mereka menawilkan firman Allah: Illaa maa zahara minha (kecuali
apa yang biasa tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan
dengan ayat tersebut ialah: menampakkan tanpa sengaja, seperti
tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya,
sehingga makna ayat tersebut menjadi sebagai berikut: Janganlah
mereka menampakkan perhiasannya selama-lamanya.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. ia menceriterakan
bahwa Nabi SAW memboncengkan al-Fadl ibnul Abbas pada hari
Nahr di belakangnya,dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan
berkulit putih. Ketika itu datanglah seorang wanita minta fatwa
kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan wanita itu pun
melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw memalingkan wajah al-fadl
ke arah lain.. (Ditakhrijkan oleh Al-Bukhariy, dari Ibni Abbas, Bab
Hajji wada).
3. Apabila keharaman melihat rambut dan kaki telah disepakati oleh
para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas
disepakati, sebab wajah adalah asal keindahan dan juga sumber
fitnah, maka bahaya memandang wajah adalah lebih besar.
b. Iman Malik dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa seluruh
tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak
tangan, dengan alasan:
1. Bahwa firman Allah SWT: Wa laa yubadiina ziinatahunna illa ma
zahara

minhaa

(dan

janganlah

mereka

menampakkan

perhiasannya, kecuali yang biasa tampak dari padanya) (an-Nur


(24): 31), ayat tersebut mengecualikan apa yang biasa tampak,
yang dimaksudkannya ialah wajah dan dua tapak tangan. Pendapat
tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabiin.
Said bin Jabir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan
apa yang biasa tampak adalah wajah dan dua tapak tangan,
demikian pula. Ata. (At-Tabariy, Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118).

20

2. Mereka

menguatkan

pendapat

tersebut

dengan

hadis

yang

diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi teksnya sebagai berikut:


Bahwa Asma binti Abi Bakr masuk ke tempat Rasulullah saw
dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw
berpaling daripadanya dan bersabda: Hai Asma sesungguhnya
apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat
sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk
kepada muka dan kedua tapak tangannya (Ditakhrijkan oleh Abu
Dawud, dari Aisyah).
3. Mereka mengatakan, di antara dalil yang memperkuat pendapat
bahwa wajah dan dua

tapak tangan

adalah bukan aurat, ialah

bahwa dalam melakukan salat dan ihram, wanita harus membuka


wajah dan dua tapak tangannya. Seandainya kedua anggota badan
tersebut termasuk aurat, niscaya tidak diperbolehkan membuka
keduanya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab menutup
aurat adalah wajib, tidak sah salat atau ihram seseorang jika
terbuka auratnya. (As-Sabuniy, 1971, II:.155)

Demikian pendapat para imam tentang aurat wanita; Asy-Syafiyyah dan


Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota badan adalah aurat,
termasuk wajah dan kedua tapak tangan. Adapun imam Malik dan imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan tidak
termasuk aurat.
Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Siyutiy dalam Al-Iklil: Ibnu Abbas,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa
wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat. Pendapat inilah yang
dijadikan alasan bagi orang yang memperbolehkan melihat wajah dan
tapak tangan wanita selama tidak menimbulkan fitnah. (Al-Qasimiy, 1978,
XII: 195).
Jika dihubungkan dengan sebab nuzul ayat 30-31 surat an-Nur dan ayat
59 surat al-Ahzab, perintah menutup seluruh tubuh bagi para wanita,
karena kekhawatiran yang mendalam akan adanya fitnah, karena di
21

Madinah pada waktu itu masih banyak orang fasik yang beradat
kebiasaan jahiliyyah, dan suka mengganggu para wanita. Kekhawatiran
Rasulullah saw pada waktu itu sangat masuk akal, karena beliau sangat
paham terhadap adat istiadat jahiliyyah.
Kekhawatiran akan adanya fitnah pada masa kini pun masih menghantui
kita, apalagi pengaruh dari berbagai bangsa di dunia ini, yang tidak
mengenal norma-norma Islamiyyah sangat besar. Maka, menutup wajah
dan dua tapak tangan adalah sangat terpuji, sekalipun penulis tidak lebih
cenderung kepada pendapat Iman Malik dan Imam Abu Hanifah, yang
mengatakan bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat, dan
yang paling penting, menutup aurat dengan libasut taqwa (pakaian
taqwa) adalah yang paling baik.1
5. Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di
Depan Mahram
Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah SWT

membolehkan mahram

melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh


ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan
keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara
mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka
(para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]
Secara

garis

besar,

ada

dua

pendapat

ulama

yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram,
yaitu:
a) Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita,
kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat
kebanyakan

ulama.

[Lihat

al-Mabsuuth

(X/149),

al-Majmuu'

Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]


Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam,

22

























.

Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau
pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari
auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah
aurat. [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no.
495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan
kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita
karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki.
Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki
tugas

dan

tanggung

jawab

yang

sama

dalam

syariat,

termasuk

diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat diatas.


Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu anhu,







.






Aku dan saudara Aisyah datang kepada Aisyah, lalu saudaranya itu
bertanya

kepadanya

tentang

mandi

yang

dilakukan

oleh

Nabi

shallallahu alaihi wa sallam. Lantas Aisyah meminta wadah yang berisi


satu sha (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas
kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir. [Hadits
shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, Yang nampak dari hadits
tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara
Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh Aisyah pada kepala dan bagian
atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang
mahram, dan Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan,
23

sementara Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah


tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat
oleh mahram. [Lihat Fat-hul Baari(I/465)]
Kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat
seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

b) Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota


tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh
yang terkena air wudhu. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), alInshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu'

Fataawaa

Ibn

Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]


Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Dahulu kaum lelaki
dan wanita pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan
wudhu secara bersamaan. [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193),
Abu Dawud (no. 79), an-Nasa'i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]
Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi
para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu
para wanita. [Lihat Fat-hul Baari(I/465), 'Aunul Ma'bud (I/147) dan Jaami'
Ahkaamin Nisaa' (IV/195)]
Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya
diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu seorang wanita.(2)

Nama: Lia Dafia


NIM

: 2011730148

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis
24

6. Bagaimana adab bergaul laki-laki dan perempuan dalam perfektif


islam?
Adab Pergaulan Antara lawan Jenis
Allah swt menciptakan manusia, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di
dalam hubungan antara manusia, Islam telah mengatur adab dan etika
terhadap pergaulan antara lawan jenis. Adab pergaulan antara lawan jenis
memang dibutuhkan oleh setiap manusiademi meraih ridho dan kecintaan
Allah swt.
Terutama bila laki-laki dan perempuan yang telah beranjak dewasa,
diperlukan suatu batasan-batasan yang harus dipahami. Seorang Muslim
yang beriman tidak mencintai selain karena Allah swt. Ia tidak mencintai
kecuali apa yang dicintai Allah swt dan Rasul-Nya. Begitupun bila ia
membenci, ia tidak membenci kecuali apa yang di benci Allah swt dan
Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda, Allah dan Rasul-Nya, dan membenci
karena keduanya. Dalilnya ialah sabda Rasulullah saw, Barangsiapa
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah,
dan

menahan

pemberian

karena

Allah,

sungguh

telah

rnenyempurnakan imannya. (Diriwayatkan Abu Daud).


Adab pergaulan antara laki-laki dan perempuan berguna agar kaum
Muslim tidak tersesat di dunia. Adab-adab tersebut antara lain:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendaklah mereka
menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS.
An-Nur: 30)
Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka
menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS.
An-Nur: 31)

25

2. Tidak berdua-duaan
Rasulullah saw bersabda: Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
(khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah ra berkata, Demi Allah, tangan
Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali
meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin). (HR.
Bukhari)
Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya
merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam.
Rasulullah bersabda, Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan
jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang
tidak halal baginya. (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
4. Menutup aurat secara sempurna.
5. Bagi wanita diperintahkan untuk tidak berlembut-lembut suara di
hadapan laki-laki bukan mahram.
6. Dilarang Bagi Wanita bepergian sendirian tanpa mahramnyasejauh
perjalanan satu hari.
7. Laki-laki dilarang berhias menyerupai perempuan, juga sebaliknya.
8. Islam menganjurkan menikah dalam usia muda bagi yang mampu
dan shaum bagi yang tidak mampu.
Nama: Ghisqy Arsy Mulki
NIM

: 2011730136

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis
26

7. Dalam kondisi apa kita boleh memeriksa pasien lawan jenis?

Beberapa

pertanyaan

menghampiri

meja

Redaksi,

yaitu

menyangkut problem yang dihadapi wanita muslimah saat harus berobat


atau memeriksakan kesehatan kepada dokter lelaki. Ini menjadi ganjalan
bagi kaum hawa. Apabila tidak ada dokter wanita, atau jika sulit
mendapatkan dokter wanita, lantas bagaimanakah hukumnya? Apalagi
jika menyangkut hal-hal yang sangat pribadi, seperti partus (persalinan),
atau keluhan lain yang memaksa wanita membuka auratnya.
Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia
diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah
telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang
terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk
ditekankan dalam syariat Islam.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab
persoalan di atas. Yakni untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan
dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejian.
Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan
seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan
antara

sesama

manusia,

yang

rambu-rambunya

sangat

mendapat

perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat
menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan.
Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis.
Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan
batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan
dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan
yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita).
27

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhtilat


ini dengan pernyataannya: Ikhtilat yang terjadi di antara lelaki dan
wanita menjadi penyebab banyaknya perbuatan keji dan zina.[1] Maka,
sungguh

kehatian-hatian

Islam

dalam

banyak

hal,

ialah

demi

kemaslahatan kehidupan manusia itu sendiri.


PERINTAH MENJAGA AURAT DAN MENAHAN PANDANGAN
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan
mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada
obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan
mencelakakan diri dan agamanya.
Allah

Subhanahu

wa

Ta'ala

telah

berfirman

(yang

artinya):

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . ." [an-Nr/24:
30-31].
Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis,
akan tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis,
baik antara lelaki dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.

28

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara kandungan


hadits ini, yaitu larangan bagi seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya)
dan wanita melihat aurat wanita (lainnya). Di kalangan ulama, larangan
ini tidak diperselisihkan. Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau
sebaliknya wanita melihat aurat lelaki, maka berdasarkan Ijma', perbuatan
seperti ini merupakan perkara yang diharamkan. Rasulullah mengarahkan
dengan penyebutan larangan seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya,
yang berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih tidak dibolehkan.
[2]
Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk,
yang disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas antara lelaki
perempuan, sehingga Islam benar-benar menutup akses ke arah sana.
Yaitu dengan mengharamkan terjadinya persentuhan antara kulit lelaki
dan perempuan.
Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah
ditetapkan Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.
IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari
kaum

Muslimah,

maka

menjadi

kewajiban

kaum

Muslimah

untuk

menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang


paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal
persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan.
Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah
mengatakan: Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita
secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus
kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan
bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat
terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah
kewajiban semua orang.[4]

29

Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah


menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak
boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak
memungkinkan maka ia boleh melakukannya.[5]
Bagaimana

tidak?

Karena

seorang

muslimah

harus

menjaga

kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi


fitrah

wanita,

menghindarkan

diri

dari

tangan

pria

yang

bukan

makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan


penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa
bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa
didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita berobat atau
memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis wanita. Bila tidak,
maka hal itu sulit dilakukan secara maksimal.
BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER WANITA?
Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter umum
maupun spesialis dari kalangan kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak
tentu menimbulkan pengaruh yang cukup membuat risih kaum wanita,
bila mereka mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat.
Sehingga banyak diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada
dokter pria.
Syaikh Bin Bz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai
persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi,
ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan
ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk
dirinya,

benar-benar

memperhatikan

masalah

ini,

dan

tidak

menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter


wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun
tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.[6]
Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang
membolehkan
diperbolehkan.

untuk
Selama

menggunakan

cara

mendatangkan

yang

maslahat,

mulanya

tidak

seperti

untuk
30

pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah


yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada
pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada ada
seorang

dokter

muslimah

yang

mengetahui

penyakitnya

maupun

memang belum ada yang ahli.


Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi
harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku
secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawartawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan
berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya
saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek
atau ruang periksa.
Syarat

ini

disebutkan

Syaikh

Bin

Bz

rahimahullah

untuk

pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan
kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah
ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita
lain

(selain

perawat)

tetap

diperlukan,

dan

ini

lebih

baik

untuk

menjauhkan dari kecurigaan.[7]


Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat
kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:
Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia
seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya.
Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan
dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus
cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat
menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara
yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka
sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang
diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim
yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang
muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria, tidak
31

dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu


mahramnya".[8]
Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang
syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani
pasien perempuan, maka Lajnah D-imah mengeluarkan fatwa yang
berbunyi: (Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita
muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang
muslim

lagi

bertakwa,

dan

pasien

wanita

itu

didampingi

oleh

mahramnya.[9]
Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-Utsaimin.
Hanya saja, untuk menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih
memilih seorang dokter wanita beragama Nashrani yang dapat dipercaya,
daripada memilih seorang dokter lelaki muslim. Kata beliau: Menyingkap
aurat lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria ketika
dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari
fitnah, dan tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang
beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker
muslim meskipun lelaki, karena aspek persamaan.[10]
Penjelasan tambahan Syaikh al-Utsaimin di atas, juga dipilih oleh
para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah. Dalam fatwanya yang
bernomor

16748,

Lajnah

D-imah

memfatwakan,

wanitalah

yang

menangani (pasien) wanita, baik ia seorang muslimah maupun bukan.


Seorang lelaki yang bukan mahram, tidak boleh menangani wanita,
kecuali dalam kondisi darurat. Yaitu bila memang tidak ditemukan dokter
wanita.[11]
Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki rumah
sakit untuk menjalani persalinan, sedangkan dokter-dokter di rumah sakit
tersebut seluruhnya laki-laki. Lajnah D-imah memberi jawaban: "Dokter
laki-laki tidak boleh menangani persalinan wanita, kecuali dalam kondisi

32

darurat, seperti mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi), sementara itu


tidak ada dokter wanita yang mampu mengambil alih pekerjaan itu.[12]
KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli,
maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien
wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih
belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila
keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter nonmuslim yang menangani.

Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan


pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan
kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya,
serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani
pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau
suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.
Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang
menyertai dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya.
Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien
wanita.[13]
Bertolak dari keterangan di atas, bagaimanapun keadaannya,
sangat diperlukan kejujuran kaum wanita dan keluarganya tentang
masalah ini. Hendaklah terlebih dulu beriktikad untuk mencari dokter
wanita. Tidak membuat bermacam alasan dikarenakan malas untuk
berusaha. Semua harus dilandasi dengan takwa dan rasa takut kepada
Allah, kemudian berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia di atas.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , niscaya Allah
Azza wa Jalla menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Nama: Tohari

33

NIM

: 2011730165

Tutor : DR. dr. Tjahaja Haerani S,MS,Sp.ParK


Modul II Adab Pemeriksaan Kesehatan Terhadap Lawan Jenis

8. langkah apa yang harus dilakukan untuk menghindari timbulnya


syahwat dalam pemeriksaan fisik tersebut?

Dalam keadaan biasa tidak diperbolehkan seorang laki-laki

(yang

bukan muhrimnya) berkhalwat dengan perempuan, walaupun untuk


memeriksa atau merawatnya begitu juga sebaliknya. Di rumah sakit
Islam, hendaknya dipisahkan tempat-tempat pemeriksaan atu perawatan
untuk pasien laki-laki dan perempuan.

Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. Bersabda, jauhilah bersendirian


dengan perempuan, demi Allah, yang diriku kekuasaan-Nya, bila seorang
laki-laki bersendiri dengan perempuan, maka tak dapat tidak pastilah
setan menyelinap di antara keduanya. (HR Thabrani)
Jadi,

agama

Islam

memerintahkan

agar

pemeriksaa

atau

pemeriksaan atau perawatan terhadap pasien wanita dikerjan oleh dokter


atau

perawat

perempuan,

begitupula

selanjutnya.

Namun,

pada

kenyataannya, kondisi Indonesia belum memungkinkan dilaksanakannya


ketentuan di atas karena jumlah dokter dan perawat wanita belum
mencukupi. Keadaan ini dapat dianggap sebagai keadaan darurat,
sehingga diperbolehkan dokter maupun perawat pria memeriksan atau
merawat pasien wanita, begitupula sebaliknya.
Sesuatu yang dipandang darurat (tidak boleh dilakukan) membolehkan
sesuatu yang dilarang. (Al Asybah wan Nazhair, hal. 85)
34

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)
Oleh karena itu, walaupun dalam keadaan darurat diizinkan
mengerjakan yang terlarang, namun ada batasnya, yaitu harus menjauhi
apa perbuatan zalim dan melewati batas, harus diperhatikan beberapa
syarat berikut :
a Sedapat mungkin diusahakan agar pasien wanita dapat diperiksa
atau dirawat oleh dokter atau perawat wanita, demikian pula
sebaliknya.
b Dalam keadaan terpaksa, di mana dokter atau perawat pria harus
memeriksa atau merawat pasien wanita, maka harus disertai
dengan hadirnya muhrim atau wanita lain yang dapat dipercaya
saat pemeriksaan, atau perawat wanita lain pada saat pemeriksaan.
Dokter tersebut juga harus menahan syhahwatnya apabila timbul syahwat
dalam kondisi seperti itu atau kondisi apapun terhadap yang bukan halal
baginya(istrinya).
"Wahai para pemuda. barang siapa yang bisa jima' maka menikahlah.
karena itu lebih menjaga pandangan dan kemaluan. dan barang siapa
yang belum bisa, maka berpuasalah. karena dengan itu dapat menahan
syahwat." (HR Muslim)

35

DASAR HUKUM DAN ETIKA INTERAKSI PERGAULAN LAKI-LAKI DAN


PEREMPUAN
Menghindari khalwat
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi, beliau bersabda, Janganlah seorang laki-laki
berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahramnya! (HR
Bukhari)
Para ulama telah sepakat tentang keharaman khalwat dan keharusan
kesertaan mahram. Namun, ulama berbeda pendapat tentang pengganti
mahram, misalnya orang-orang yang dapat dipercaya. Menurut Ibnu
Hajar, pengganti mahram dari wanita-wanita yang dapat dipercaya
diperbolehkan karena mereka itu tipis akan dituduh dan dicurigai.
Khalwat dan hadits di atas tidak mencakup pengertian khalwat berkut ini.
Pertama, khalwat di depan orang banyak. Yakni kondisi dimana laki-laki
dan perempuan melakukan pembicaraan dimana hanya didengar oleh
mereka berdua walaupun di sekitarnya terdapat banyak orang. Bahkan,
pembicaraan wanita non mahram yang rahasia tidaklah tercela dalam
agama jika aman dari fitnah.
Dari Anas bin Malik, dikatakan bahwa ada seorang wanita dari kalangan
Anshar kepada Nabi. Lantas Nabi berduaan dengannya dan berkata,
Sesungguhnya kalaian (orang Anshar) adalah orang yang paling saya
cintai. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua, dua atau tiga orang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita.
Menurut Imam Nawawi, pendapat yang masyhur tentang ini adalah
haram.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda,
Sesudah hari ini, seorang laki-laki tidak dibolehkan masuk menemui
seorang wanita yang suaminya tidak ada, kecuali dia bersama seorang
atau dua laki-laki lain. (HR Muslim)
Ketiga, seorang laki-laki berkhalwat dengan sejumlah wanita. Hal ini sama
dengan

kondisi

dan

dalil

sebelumnya

dimana

sejumlah

laki-laki

berkhalwat dengan seorang wanita. Sebab, bersama sejumlah wanita


36

yang berkumpul biasanya tidak

ada peluang bagi laki-laki untuk

melakukan suatu kemungkaran dengan sebagian wanita di hadapan


mereka.
Menjauhi perbuatan dosa
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,.. (Al Anam: 151)
Dan

tinggalkanlah

Sesungguhnya

dosa

orang

yang

yang

nampak

mengerjakan

dan

yang

tersembunyi.

dosa,

kelak

akan

diberi

pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah


kerjakan. (Al Anam: 120)
Diantara dosa yang tampak adalah melalaikan etika pertemuan. Dan
diantara

dosa

yang

tersembunyi

adalah

perasaan

menyukai

dan

menyenangi sesuatu yang haram serta ingin mendapatkannya lebih


banyak lagi.
Dari Khuwait bin Zubair, dia berkata, Kami singgah bersama Rasulullah di
Marrazh Zhahran (suatu tempat di luar kota Makkah). Ketika keluar dari
tenda, aku melihat kaum wanita sedang berbincang-bincang. Aku tertarik
pada mereka, lalu akau kembali lagi ke tenda. Sampai di tenda kau
membuka peti pakaian, lalu akau keluarkan apakain dan perhiasan yang
bagus-bagus. Kemudian aku pergi kembali untuk duduk dan ngobrol
dengan kaum wanita tersebut. Kemudian Rasulullah datang dan berkata
kepadaku, Hai Abu Abdullah! Ketika melihat Rasulullah, aku terperanjat
dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya kau berkata, Wahai
Rasulullah, untaku liar dan melawan. Karena itu aku ingin mencari
pengikatnya. (HR Thabrani)
Rasulullah selalu menanyakan keadaan unta liar Khuwait hingga ia
mengakui

kesalahannya.

Dan

semenjak

itu,

ia

tidak

pernah

lagi

yang

juga

mengulangi perbuatan yang ia lakukan.


Sedangkan

terkait

etika

khusus

wanita,

disampaikan Dr. Abdul Majid Az Zindani,

sebagaimana

adalah tidak memakai wangi-

wangian yang mengundang fitnah.


37

Dari Abu Musa, rasulullah bersabda, Apabila ada seorang wanita


memakai wewangian kemudian keluar dari rumahnya, lantas lewat pada
suatu kaum pria agar mereka mencium bau wanginya, maka wanita itu
telah berbuat zina dan setiap mata yang memandang juga berzina. (HR
Ahmad, An Nasai, dan Al Hakim)
Dari Zainab Ats Tsaqafiyah, Rasulullah bersabda, Apabilsa salah seorang
dari kalian (kaum wanita) datang ke masjid, maka janganlah memakai
wewangian. (HR Muslim)
Wanita tidak boleh tabarruj, berdandan, atau bersolek seperti orang
jahiliyah. Namun, boleh memperpantas diri.
Dari Abu Udzainah, Rasulullah bersabda, seburuk-buruk wanita kalian
adalah mutabarrijat (yang berdandan untuk selain suami), mukhayyilat
(yang menimbulkan rangsangan), mereka adalah wanita-wanita munafik.
(HR Al Baihaqi)
Wanita tidak boleh memakai gelang kaki yang terdengar suaranya.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur:
31)
Wanita harus berpakaian sopan dan komitmen dengan hijab.
Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka

menutupkan

kain

kudung

kedadanya,

dan

janganlah

menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah


mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera

saudara

lelaki

mereka,

atau

putera-putera

saudara

perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang


mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

38

keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti


tentang aurat wanita. (An Nur: 31)
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab: 59)
Dari Fathimah binti Qais, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya, aku tidak
suka jika kerudungmu terlepas atau terbuka kain yang menutupi kedua
betismu sehingga kamu melihat apa yang kau tidak suka jika mereka
melihatnya. (HR Muslim)
Etika wanita selanjutnya, serius dalam berbicara.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik, (Al Ahzab: 32)
Apabila ayat ini terkait dengan isteri-isteri Rasulullah, maka selain isteri
Rasulullah tentu lebih berkepentingan trehadap tersebut sebagaimana
yang dinyatakan oleh Al Qurthubi, Al Alusi, Ibnu Katsir, Asy Syaukani, dan
mufasir lainnya.
Keluarnya wanita juga tidak boleh menyebabkan terlantarnya rumah
tangga. Sebab, menurut hukum asal, pemeliharaan dan penjagaan rumah
merupakan fardhu ain sebagaimana yang telah disebutkan para ulama.
Fardhu ain tidak boleh ditelantarkan bila berbenturan dengan selainnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam ushul fiqih. Ibnu Hajar berkata,
Kepemimpian pria atas keluarganya adalah kebijakannya untuk mengatur
urusan

mereka

dan

kepemimpinan wanita

memberikan

hak-hak

mereka,

sedangkan

adalah mengatur urusan rumah, anak-anak,

pelayan, dan memberikan nasihat kepada suami mengenai hal-hal


tersebut.

39

Wanita juga harus bergerak dengan wajar dan tidak dibuat-buat untuk
menarik perhatian.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, Ada dua golongan
penghuni neraka yang belum aku lihat, yaitu kaum yang membawa
cambuk seperti ekor sapi, mereka gunakan mencambuk orang-orang, dan
wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang berlenggak-lenggok, kepala
mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga
dan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga itu bisa dicium
dari jarak perjalanan sekian dan sekian. (HR Muslim)
Etika pertemuan tersebut merupakan hal yang sangat penting. Oleh
karenanya, seseorang harus benar-benar memperhatikan etika ini dan
mengejawantahkan

dalam

perilakunya.

Jika

etika

pertemuan

dan

pergaulan laki-lakai dan wanita tersebut sangat sulit dilaksanakan, maka


seseorang yang dihadapkan pada kondisi ini harus mempertimbangkan
manfaat dan mudharat atas pertemuannya itu dengan teliti dan seksama.
Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah menjelaskan beberapa permasalahan
yang penting.
Pertama, jika seorang musim diprediksi akan menghadapi kesulitan
karena menghindari pertemuan, baik yang menyangkut kehidupan dan
kepentingan lain, dia boleh menerima kenyataan yang ada, tapi dengan
seperlunya saja.
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan (Al Hajj: 78)

BAB IV
KESIMPULAN

40

Dr.Hilman diperbolehkan melakukan pemeriksaan karena keadaan


tersebut dalam keadaan darurat namun ada batasannya yaitu menjauhi
perbuatan dzalim dan melewati batas, dengan syarat disertai hadirnya
muhrim atau wanita yang dapat dipercaya atau perawat wanita dan
bidan.

41

DAFTAR PUSTAKA

Nama: Moh. Hafidz Ramadhan


NIM

: 2011730150

(http://lhiezainternisti.blogspot.com/2009/12/pandangan-islam-dalampelayanan.html)
Dr. H. .Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan
1(Jakarta, 1995), hal. 113
Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2
(Jakarta,2003), hal. 108.

Nama: Vera desniarti


NIM

: 2011730166

Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi,


Cetakan I, Tahun 1426-2005.
Majalah Mujamma`, Juz 3.

42

[Disalin

dari

majalah

As-Sunnah

Edisi

05/Tahun

XI/1428H/2007M.

Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8


Selokaton Gondangrejo Solo 57183

Nama: Vidia Amrina Rasyada


NIM

: 2011730167

http://jilbab.or.id/archives/594-jika-wanita-muslimah-berobat-ke-dokterlelaki-1/
http://jilbab.or.id/archives/605-jika-wanita-muslimah-berobat-ke-dokterlelaki-2/
http://almanhaj.or.id/content/2883/slash/0

Nama: Miftah Rizqi


NIM

: 2011730155

Hanafiah, M Jusuf. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 3


Jakarta : EGC, 1999
Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia FatwaFatwa Tentang Wanita -3, Halaman 190-193
Nama: Intan Azzahra
NIM

: 2011730141

(1)

Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 16 2002

(1)

Afif, Abdul Wahab. Pokok-pokok pengantar studi perbandingan Madzhab.

(1)

Assidiqi, TM Hasybi, Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab.

(1)

Shihab, M Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. 2004. Jakarta; Lentera Hati

43

(2)

Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet.

Pustaka Ibnu Katsir


(2)

Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Quran dan as-Sunnah, Syaikh

Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan


Nama: Lia Dafia
NIM
(

: 2011730148
http://cahyaislam.wordpress.com/2009/05/05/adab-pergaulan-antara-

lawan-jenis/ )
Nama
NIM

: Ghisqy Arsy Mulki

: 2011730136

Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi,


Cetakan I, Tahun 1426-2005.
Majalah Mujamma`, Juz 3.
[Disalin

dari

majalah

As-Sunnah

Edisi

05/Tahun

XI/1428H/2007M.

Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8


Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Nama: Tohari
NIM

: 2011730165

1. Etika Kedokteran dalam Islam, dr. H. Ali Akbar, PT Pustaka Antara:


Jakarta, 1988.
2. http://keluwargasakinah.wordpress.com/2011/02/04/etikapergaulan-laki-laki-perempuan/
3. http://mukhlis101.multiply.com/journal/item/143?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
4. http://syamsuhilal.blogspot.com/2011/09/etika-pergaulan.html

44

Anda mungkin juga menyukai