Anda di halaman 1dari 19

1.

Pengkajian

Status kesehatan pada lansia dikaji secara komprehensif, akurat, dan sistematis.

Informasi yang dikumpulkan selama pengkajian harus dapat dipahami dan

didiskusikan dengan anggota tim, keluarga klien, dan pemberi pelayanan

interdisipliner.

Tujuan melakukan pengkajian adalah menentukan kemampuan klien dalam

memelihara dirisendiri, melengkapidata dasaruntukmembuatrencana keperawatan,

serta memberi waktu pada klien untuk berkomunikasi. Pengkajian ini meliputi aspek

fisik, psikis, sosial, dan spiritual dengan melakukan kegiatan pengumpulan data

melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (CGA: Comprehensive Geriatric

Assessment).

Pengkajian pada lansia yang ada di keluarga dilakukan dengan melibatkan keluarga

sebagai orang terdekat yang mengetahui masalah kesehatan lansia. Sedangkan

pengkajian pada kelompok lansia di panti ataupun di masyarakat dilakukan dengan

melibatkan penanggung jawab kelompok lansia, kultural, tokoh masyarakat, serta

petugas kesehatan.

Untuk itu, format pengkajian yang digunakan adalah format pengkajian pada

lansia yang dikembangkan minimal terdiri atas: data dasar (identitas, alamat,

usia, pendidikan, pekerjaan, agama, dan suku bangsa); data biopsikososial

spiritualkultural; lingkungan; status fungsional; fasilitas penunjang kesehatan yang

ada; serta pemeriksaan fisik.


Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang lingkup

pengkajian keperawatan pada lansia.

Anamnesis

1.

Salah satu keterampilan yang paling penting saat berhadapan dengan klien,

apalagi klien lansia, adalah kemampuan anamnesis dan melakukan pemeriksaan

fisik. Ketidakmampuan dalam mencari informasi ketika meng-anamnesis klien

membuat kita tidak bisa menentukan pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk

menegakkan kebutuhan atau diagnosis keperawatan secara tepat. Kesalahan

mendiagnosis juga berarti kesalahan melakukan intervensi secara tepat. Perlu diingat

bahwa keterampilan anamnesis sudah memenuhi 70% dalam penegakan diagnosis.

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan ketika melakukan anamnesis kepada klien

adalah:

a. Identitas klien. Sebelum memulai anamnesis, pastikan bahwa identitasnya

sesuai dengan catatan medis, guna menghindari kesalahan yang berakibat

fatal karena melakukan tindakan kepada orang yang salah. Perawat hendaknya

memperkenalkan diri, sehingga terbentuk hubungan yang baik dan saling

percaya yang akan mendasari hubungan terapeutik selanjutnya antara perawat

dan klien dalam asuhan keperawatan.

b. Privasi. Klien yang berhadapan dengan Anda merupakan orang terpenting

saat itu. Oleh karena itu, pastikan bahwa anamnesis dilakukan di tempat yang tertutup dan kerahasiaan
klien terjaga. Terlebih ketika perawat melakukan

pemeriksaan fisik pada bagian tertentu.

c. Pendamping. Hadirkan pendamping klien. Halini dibutuhkan untuk menghindari

hal-hal yang mungkin kurang baik untuk klien dan juga untuk perawat ketika
klien berlainan jenis kelamin. Selain itu, pendamping klien juga bisa membantu

memperjelas informasi yang dibutuhkan, terutama klien lansia yang susah

diajak berkomunikasi.

d. Aseptic dan disinfeksi. Tangan perawat adalah perantara penularan kuman

dari satu klien

klien yang lain. Untuk itu, sebaiknya perawat mencuci tangan

sebelum atau sesudah memeriksa seorang klien agar tidak terjadi infeksi silang

(cross infection).

Langkah-langkah pada saat melakukan pengkajian dengan anamnesis

sebagai berikut:

a. Perawat membuka dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan

lama anamnesis.

b. Berikan waktu yang cukup kepada klien untuk menjawab, berkaitan dengan

kemunduran kemampuan merespons verbal.

c. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang

sosiokulturalnya.

d. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena klien lansia kesulitan dalam

berpikir abstrak.

e. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan

respons nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk, dan menyentuh

pasien.

f. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian klien dan

distres yang ada.

g. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa klien memahami tujuan anamnesis.

h. Perawat harus memerhatikan respons klien dengan cermat mendengarkan dan


tetap mengobservasi.

i. Tempat anamnesis tidak boleh merupakan tempat baru dan asing bagi klien.

j. Lingkungan dan kursi harus dibuat senyaman mungkin.

k. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap

suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.

1. Perawat harus mengonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga klien atau

orang lain yang sangat mengenal klien.

m. Memerhatikan kondisi fisik klien pada waktu anamnesis.

2.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi, palpasi,

perkusi, dan auskultasi. Beberapa tes khusus mungkin diperlukan, seperti tes

neurologi. Pemeriksaan fisik ini dilakukan secara head to toe (kepala ke kaki) dan

review of system (sistem tubuh).

Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan: (1) mengumpulkan

data dasar tentang kesehatan klien; (2) menambah, mengonfirmasi, atau

menyangkal data yang diperoleh dalam riwayat keperawatan; (3) mengonfirmasi

dan mengidentifikasi diagnosis keperawatan; (4) membuat penilaian klinis tentang

perubahan status kesehatan klien dan penatalaksanaan; (5) mengevaluasi hasil

fisiologis dari asuhan.

Pemeriksaan fisik memiliki banyak manfaat, baik bagi perawat sendiri maupun

bagi profesi kesehatan lain, di antaranya: (1) sebagai data untuk membantu perawat

dalam menegakkan diagnosis keperawatan; (2) mengetahui masalah kesehatan

yang dialami klien; (3) sebagai dasar memilih intervensi keperawatan yang tepat; (4)

sebagai data untuk mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.


Berikut ini aspek pemeriksaan fisik yang perlu dikaji:

a. Keadaan Umum

1) Tingkat kesadaran

2) GCS

3) TTV

4) BB & TB

5) Bagaimana postur tulang belakang lansia :

(1) Tegap (2) Membungkuk (3) Kifosis (4) Skoliosis (5) Lordosis

6) Keluhan

b. Penilaian Tingkat Kesadaran (Kualitatif)

1)

Compos mentis (kesadaran penuh).

2)

Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya).

3)

Somnolen (kesadaran lebih rendah, yang ditandai klien tampak

mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsif terhadap rangsangan ringan

tetapi masih responsif terhadap rangsangan kuat).

4)

Sopor (tidak memberikan respons ringan maupun sedang, tetapi masih

sedikit respons terhadap rangsangan yang kuat, refleks pupil terhadap

cahaya masih positif).

5)

Koma (tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apa pun, refleks pupil
terhadap cahaya tidak ada).

6)

Delirium (tingkat kesadaran paling rendah, disorientasi, kacau, dan salah

persepsi terhadap rangsangan).

с.

Penilaian Kuantitatif

Diukur melalui GCS (Glasgow Coma Scale)

1) Membuka Mata/Eye Movement (E)

2) Respons Verbal (V)

3) Respons Motorik (M)

d. Indeks Massa Tubuh

1) Berat Badan (kg)

2) BMI :

ТВ (m) x ТВ (nm)

Normal : Pria (20,1- 25,0)

Wanita (18,7 –23,8)

Klasifikasi Nilai:

• Kurang

:<18,5

: 18,5-24,9

: 25-29,9

Normal

• Berlebih

• Obesitas :>30

e. Head to Toe
1) Kеpala:

: kotor/bersih

• Kerontokan rambut : ya/tidak

• Kebersihan

• Keluhan

: ya/tidak

• Jika ya, jelaskan

1) Mata

•Konjungtiva

: anemis/tidak

• Sklera

: ikhterik/tidak

: ya/tidak

: kabur/tidak

: ya/tidak

: ya/tidak

• Penggunaan kacamata : ya/tidak

• Strabismus

Penglihatan

Peradangan

• Katarak

• Keluhan

: ya/tidak

• Jika ya, jelaskan :


2) Hidung

• Bentuk

: simetris/tidak

• Peradangan

• Penciuman

: ya /tidak

: terganggu/tidak

• Keluhan

: ya/tidak

• Jika ya, jelaskan :

3) Mulut, Tenggorokan, dan Telinga

• Kebersihan

: baik/tidak

• Mukosa

: kering/lembab

• Peradangan/stomatitis : ya/tidak

Gigi

: karies/tidak, ompong/tidak

• Radang gusi : ya/tidak

• Kesulitan mengunyah : ya/tidak

• Kesulitan menelan : ya/tidakTelinga

: bersih/tidak

• Peradangan : ya/tidak

Pendengaran : terganggu/tidak

• Kebersihan
• Jika terganggu, jelaskan :

• Keluhan lain : ya/tidak

• Jika ya, jelaskan :

4) Leher

• Pembesaran kelenjar thyroid : ya/tidak

: ya/tidak

: ya/tidak

• JVD

• Kaku kuduk

• Keluhan

5) Dada

• Bentuk dada

: normal chest/barrel chest/pigeon chest

• Retraksi

: ya/tidak

• Suara napas

: vesikuler/tidak

: ya/tidak

: ya/tidak

• Wheezing

• Ronchi

• Suara jantung tambahan : ada/tidak

• Ictus Cordis

: ICS.. .

: ya/tidak
• Jika ya, jelaskan :

• Keluhan

6)

Abdomen

: distended/flat/lainnya

: ya/tidak

: ya/tidak

: ya/tidak

: ada/tidak, frekwensi : ...

• Bentuk

Nyeri tekan

• Kembung

Supel

• Bising usus

: ya/tidak, regio

: ya/tidak

• Jika ya, jelaskan :

• Massa

• Keluhan

7) Genetalia

• Kebersihan

: baik/tidak

• Haemoroid

: ya/tidak

: ya/tidak
: ya/tidak

• Hernia

• Keluhan

• Jika ya, jelaskan

8) Ekstremitas

• Kekuatan otot (skala 1-5) :

• Kekuatan otot

0: Lumpuh

1: Ada kontraksi

2: Melawan grafitasi dengan sokongan

3: Melawan grafitasi tapi tidak ada tahanan

4: Melawan grafitasi dengan tahanan sedikit

5: Melawan grafitasi dengan kekuatan penuh

• Rentang gerak : maksimal/terbatas

• Deformitas

: ya/tidak, jelaskan :.

: ya/tidak

: ya/tidak, pitting edema/tidak

• Tremor

• Edema

• Penggunaan alat bantu : ya/tidak, jenis ..

• Nyeri persendian : ya/tidak

• Paralysis
• Refleks

: ya/tidak

Kanan dan atau Kiri

Biceps

o Triceps

Patelar

Achiles

9) Integumen

• Kebersihan : baik/tidak

: pucat/tidak

• Kelembaban : kering/lembab

• Warna

: ya/tidak

• Perubahan tekstur : ya/tidak

: ya/tidak

• Lesi/luka

Gangguan pada kulit

Jelaskan :

3. Pengkajian Status Fungsional

Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan seseorang

dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan kemandirian,

mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta menciptakan pemilihan

intervensi yang tepat. Pengkajian status fungsional ini melakukan pemeriksaan

dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian secara objektif. Instrumen

yang biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah Indeks Kats,
Barthel Indeks, dan Sullivan Indeks Katz. Alat ini digunakan untuk menentukan hasil

tindakan dan prognosis pada lansia dan penyakit kronis. Lingkup pengkajian meliputi

keadekuatan enam fungsi, yaitu mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen

dan makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional klien (mandiri/

dilakukan sendiri atau tergantung).

a. Indeks Katz

1) Kemandiran dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil,

berpakaian, dan mandi.

2) Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari fungsi tersebut.

3) Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi tambahan.

4) Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, dan satu fungsi

tambahan.

5) Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil,

dan satu fungsi tambahan.

6) Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil,

berpindah, dan satu fungsi tambahan.

7) Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.

b. Barthel Indeks

Keterangan:

4 : mampu melakukan aktivitas dengan lengkap

3 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan

2 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan maksimal

1 : tidak mampu melakukan aktivitas

Nilai:
42 - 54 : mampu melakukan aktivitas

28 - 41 : mampu melakukan sedikit bantuan

14 - 27 : mampu melakukan bantuan maksimal

14 : tidak mampu melakukan

Pengkajian Status Kognitif/Afektif

Pengkajian status kognitif/afektif merupakan pemeriksaan status mental

sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan mental dan fungsi

intelektual. Pengkajian status mental ditekankan pada pengkajian tingkat kesadaran,

perhatian, keterampilan berbahasa, ingatan interpretasi bahasa, keterampilan

menghitung dan menulis, serta kemampuan konstruksional. Pengkajian status

mental bisa digunakan untuk klien yang berisiko delirium. Pengkajian ini meliputi

Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ), Mini-Mental State Exam

(MMSE), Inventaris Depresi Beck (IDB), Skala Depresi Geriatrik Yesavage. Berikut

akan diuraikan secara singkat aspek pengkajian tersebut.

Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)

a.

Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan intelektual.

Instrumen SPMSQ terdiri dari 10 pertanyaan tentang orientasi, riwayat pribadi,

memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jaun

dan kemampuan matematis. Penilaian dalam pengkajian SPMSQ adalah nilai

iika rusak/salah dan nilai 0 tidak rusak/benar.

b. Mini-Mental State Exam (MMSE)

Mini-Mental State Exam (MMSE) digunakan untuk menguji aspek kognitif

dari fungsi mental: orientasi, registrasi, perhatian, kalkulasi, mengingat kembali,

dan bahasa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melengkapi dan menilai, tetapi
tidak dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, namun berguna untuk mengkaji

kemajuan klien.

c. Inventaris Depresi Beck (IDB)

Inventaris Depresi Beck (IDB) merupakan alat pengukur status afektif

yang digunakan untuk membedakan jenis depresi yang memengaruhi suasana

hati. Instrumen ini berisikan 21 karakteristik: alam perasaan, pesimisme, rasa

kegagalan, kepuasan, rasa bersalah, rasa terhukum, kekecewaan terhadap

seseorang, kekerasan terhadap diri sendiri, keinginan untuk menghukum

diri sendiri, keinginan untuk menangis, mudah tersinggung, menarik diri,

ketidakmampuan membuat keputusan, gambaran tubuh, gangguan tidur,

kelelahan, gangguan selera makan, kehilangan berat badan. Selain itu, juga

berisikan 13 hal tentang gejala dan sikap yang berhubungan dengan depresi.

d. Skala Depresi Geriatrik Yesavage

Skala Depresi Geriatrik Yesavage atau biasa disebut dengan Geriatric

Depression Scale (GDS) merupakan instrumen yg disusun secara khusus untuk

memeriksa depresi. Instrumen ini terdiri atas 30 atau 15 pertanyaan dengan

jawaban YA atau TIDAK. GDS ini telah diuji kesahihan dan keandalannya. Beberapa nomor jawaban YA
dicetak tebal, dan beberapa nomor yang lain jawaban TIDAK

dicetak tebal. Jawaban yang dicetak tebal mempunyai nilai 1 apabila dipilih.

Instrumen GDS dengan 30 item pertanyaan ini dikatakan juga dengan GDS Long

Version, sedangkan yang menggunakan 15 item pertanyaan biasa disebut GDS

Sheort Version.

5. Pengkajian Aspek Spiritual

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa

dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai

Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan


manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) salat, puasa,

zakat, haji, doa, dan sebagainya (Hawari, 2002).

Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Dimensi ini

termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan akan

harapan dan keyakinan hidup; dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri dan

Tuhan. Ada lima dasar kebutuhan spiritual manusia, yaitu: arti dan tujuan hidup,

perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya, dan harapan di waktu kesusahan

(Hawari, 2002).

Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai

berikut: (1) berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian

dalam kehidupan; (2) menemukan arti dan tujuan hidup; (3) menyadari kemampuan

untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri; (4) mempunyai

perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

Dimensi spiritual berupaya mempertahankan keharmonisan atau keselarasan

dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika

sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual

juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul di luar kekuatan manusia (Kozier,

2005).

Spiritualitas merupakan sesuatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial

dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,

sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan

Yang Maha Penguasa.

Spiritualitas memiliki konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi

horisontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah

hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan.
Terdapat hubungan yang terus-menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

Pada tahap perkembangan lansia, walaupun mereka membayangkan kematian,

tetapi mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka

melihat agama sebagai faktor yang memengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi

orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan

melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang kehidupan beragamanya tidak

baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai,

ketidakbebasan, dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik

ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu menerima kehidupan. Jika merasa cemas

terhadap kematian pun kecemasan tersebut disebabkan pada proses, bukan pada

kematian itu sendiri (Hamid, 2000).

Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia

karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat

pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyakinan

yang mereka percaya. Setiap fase pada tahap perkembangan individu menunjukkan

perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda (Hamid, 2000).

Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting, yaitu dilakukan

setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual memerlukan

hubungan interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh karena itu, pengkajian

sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat membentuk hubungan yang baik dengan

pasien atau dengan orang terdekat pasien, atau perawat telah merasa nyaman untuk

membicarakannya. Pengkajian yang perlu dilakukan meliputi:

a. Pengkajian data subjektif. Pedoman pengkajian ini disusun oleh Stoll (dalam

Kozier, 2005), yang mencakup konsep ketuhanan, sumber kekuatan dan harapan,

praktik agama dan ritual, dan hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b. Pengkajian data objektif. Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajia

klinik yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan

interpersonal, dan lingkungan. Pengkajian data objektif terutama dilakukan

melalui observasi. Pengkajian tersebut meliputi:

1) Afek dan sikap. Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas

agitasi, apatis, atau preokupasi?

2) Perilaku. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitah

suci atau buku keagamaan? Apakah pasien seringkali mengeluh, tidak

dapat tidur, bermimpi buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya,

serta bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya

terhadap agama?

3) Verbalisasi. Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah, atau

topik keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh

pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap

kematian?

4) Hubungan interpersonal. Siapa pengunjung pasien? Bagaimana pasien

berespons terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama datang

mengunjungi pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien lain

dan juga dengan perawat?

5) Lingkungan. Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan

ibadah lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur

keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan (misalnya

memakai jilbab)?.

Pengkajian Fungsi Sosial

Pengkajian fungsi sosial ini lebih ditekankan pada hubungan lansia dengan
keluarga sebagai peran sentralnya dan informasi tentang jaringan pendukung. Hal ini

penting dilakukan karena perawatan jangka panjang membutuhkan dukungan fisik dan emosional dari
keluarga. Pengkajian aspek fungsi sosial dapat dilakukan dengan

menggunakan alat skrining singkat untuk mengkaji fungsi sosial lanjut usia, yaitu

APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, Resolve). Instrumen

APGAR adalah:

a. Saya puas bisa kembali pada keluarga saya yang ada untuk membantu pada

waktu sesuatu menyusahkan saya (adaptasi).

b. Saya puas dengan cara keluarga saya membicarakan sesuatu dan

mengungapkan masalah dengan saya (hubungan).

C. Saya puas bahwa keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya

untuk melakukan aktivitas (pertumbuhan).

d. Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan afek dan berespons

terhadap emosi saya, seperti marah, sedih. atau mencintai (afek).

e. Saya puas dengan cara teman saya dan saya menyediakan waktu bersama-

sama.

Penilaian: Pertanyaan yang dijawab: selalu (poin 2), kadang-kadang (poin 1), hampir

tidak pernah (poin 0).

DAFTAR PUSTAKA

Craven & Hirnle. 2000. Fundamentals of Nursing, Human Health and Function. 3rd ed.

Philadelphia: Lippincott.

Hamid, A. 2000. Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.

Hawari, D. 2001. Managemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: FK UI.

Hawari, D. 2002. Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: FK UI.

Anda mungkin juga menyukai