Anda di halaman 1dari 35

Mengenal Suku Madura

(Studi Deskriptif Tentang Karakteristik dan Budaya Suku Madura)

KATA PENGANTAR
Sebagai mula kata dan sebagai seorang muslim yang sejati,
saya memulai tulisan ini dengan basmalah, hamdalah,
hauqalah, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar. Karena dengan
itu semua insyaallah tulisan yang saya buat ini akan
bermanfaat bagi saya pribadi dan pembaca serta masyarakat
secara holistik. Kemudian sepantasnya saya menguntaikan rasa
syukur kapada Tuhan semesta alam. Karena dengan-Nya saya
bisa merasakan hidup sehat, tentram, sejahtera dan damai di
tengah-tengah
menghadapi
pelbagai
kesibukan
hidup,
terutama
kesibukan
di
dalam
perkuliahan.
Shalawat dan taslim semoga tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing saya
menjadi orang yang bisa diandalkan di muka bumi ini, sehingga
saya
bisa
menjadi
penerus
kekhalifahannya.
Selanjutnya, rasa terima kasih ananda haturkan kepada semua
pihak yang telah berjasa dan ikut andil dalam memberikan
ilmu, saran, arahan, bimbingan, sugesti dan support-nya
kepada saya, terutama kepada Ibu Dosen materi Pengantar
Ilmu Antropologi yaitu Ibu Endah Lestari, dan juga kepada
sahabat saya Rifki dan Hasrul, sehingga saya bisa
menyelesaikan tugas ini dengan waktu yang relatif cepat,
hanya
sekitar
dua-tiga
hari
saja,
alhamdulillah.
Kemudian perlu penulis sampaikan bahwa dalam makalah ini
penulis membahas dan mengkaji serta memaparkan garis
besar kebudayaan Suku Madura secara umum (bahasa,
kesenian, pemerintahan, agama dll) mulai dari ujung Timur
sampai ujung Barat, karena Madura terbentang dari arah Timur
ke arah Barat. Sehingga pembaca bisa mengetahui dan
memahami
Suku
Madura
secara
objektif.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari
kata sempurna, untuk itu penulis meminta kritik dan saran
yang konstruktif dalam rangka penyempurnaan tulisan
sederhana ini. Penulis juga berharap agar makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca secara umum.
Amien ya robbal alamin.
Malang, 04 Januari 2012

DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................ ii
DAFTAR ISI .................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1
1.

Latar
belakang................................................................. 1
2.
Rumusan
Masalah............................................................ 3
3.
Tujuan
Penulisan.............................................................. 3
4.
Manfaat
Penulisan............................................................ 3
BAB II
PEMBAHASAN ....................................................................
........... 4
1.

Pola Kehidupan
Sosial....................................................................... 4
Islam di
Madura..............................................................................
... 4
Bahasa
kebanggaan.......................................................................
..... 5
Kekerabatan.......................................................................
................ 5
Prosesi Perkawinan
Unik................................................................... 8
Kepemimpinan dan Kelas
Sosial....................................................... 7
Harta
Warisan.............................................................................
....... 13
Solusi Konflik PidanaPerdata.......................................................... 13

1.

Pola Perekonomian dan


Kesenian..................................................... 14
Ekonomi............................................................................
................. 14
SeniBudaya..............................................................................

......... 16
BAB III
PENUTUP............................................................................
............ 18
Kesimpulan................................
18
...........
Kesan................................................................................
..................
18
Harapan.............................................................................
................. 19
...........
Saran ...............................................................................
.................. 19
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................
..................... 20
RIWAYAT
HIDUP................................................................................
........ 21

BAB I
PENDAHULUAN
1.

A. Latar Belakang
Diceritakan bahwa pulau Madura ini bermula terlihat oleh
pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang
terpecah-pecah sehingga merupakan beberapa puncak-puncak
tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukitbukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah
apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang
tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang
terlihat itu diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger di
daerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di
daerah
Kabupaten
Sumenep.
Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang
bernama negara Mendangkawulan yang di dalamnya terdapat
subuah kraton yang bernama Gilling Wesi. Rajanya bernama
Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang Madura dikiranya
ada di suatu tempat di dekat Gunung Semeru di dekat
puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kirakira
sekitar
tahun
929
Masehi[1].
Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis.
Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan
dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya serta tidak
keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri
tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari
calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang
sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab
karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi
pada
dirinya.
Raja tadi amat marah dan memannggil Patihnya yang bernama
Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri
tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja
tersebut. Apabila patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan
kepala putrinya itu maka patih tidak diperkenankan
menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai patih di
kerajaannya.
Maka berangkatlah patih dengan membawa sang putri keluar
dari kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai di suatu
tempat dalam hutan belantara, maka patih menghunus
pedangnya dan mulai memegang leher putri tersebut, akan
tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang
tersebut terjatuh ke tanah. Setelah kejadian tersebut sang
patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya putri tersebut
tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar
biasa. Maka akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak

kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama


menjadi Kijahi Poleng dan ia merubah pakaian yaitu memakai
kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng[2]. Ia memotong
kayu-kayu untuk dijadikan Ghitek[3] untuk memberangkatkan
sang
putrid
tadi
ke
suatu
pulau.
Sebelum putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan
beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika
sang putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri
menghentakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali, maka
seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.
Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan di atas Ghitek itu
yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju Madu
Oro.[4] Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama
Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu
dari perkataan Lemah Dhuro artinya tanah yang tidak
sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak
kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.
Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (di
sanalah asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babadbabad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka
yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk
Kabupaten
Sampang,
sedangkan
apabila
ada
yang
menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerahdaerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten
Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya
Pamekasan.
Pada suatu ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah
akan menemui ajalnya, di tempat itu pula ia menghentakkan
kakinya ketanah tiga kali guna meminta pertolongan Kijahi
Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan ia pun
mengatakan bahwa sang putri akan segera melahirkan. Tidak
lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman
mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama Raden
Segoro.[5] Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura.
Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering
datang mengunjungi sang putri dengan membawa makanan
atau
buah-buahan.
Diceritakan bahwa perahu-perahu orang berdagang yang
berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia, apabila pada
waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden
Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang
seolah-olah cahaya rembulan, maka mereka akan berhenti
untuk berlabuh di tempat itu atau Geger Madura, dan akan
membuat selamatan makan-minum di sana serta memberi
hadiah
kepada
yang
bersahaja
itu.
Setelah berumur dua tahun, Raden Segoro sering bermain-

main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan
datanglah dua ekor naga yang amat besar mendekatinya.
Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil
menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya.
Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut,
maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi
Poleng datang menemui sang ibu, maka sang ibu menceritakan
kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian Kijahi
Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut.
Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu
Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor
ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak
permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut
akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaan tersebut.
Kemudian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan
dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga
raksasa tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Kedua
bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng
untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak
satunya diberi nama Kijahi (si) Nenggolo dan satunya diberi
nama
Kijahi
(si)
Aluquro.
Pada usia tujuh tahun, Raden Segoro pindah dari Gunung
Geger ke Desa Nepa. Diberi nama Nepa karena karena disana
banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa atau Bhunyok.[6] Desa
tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten
Sampang yaitu di pantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga
sekarang
masih
banyak
keranya.
Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan
musuh dari Tjina. Di dalam peperangan tersebut Raja
Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir
habis dibunuh oleh musuh. Dalam keadaan bingung dan susah
tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi
bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah
pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama
Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disana berdiam
seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya
untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin
memenangkan
peperangan.
Keesokan harinya raja memerintahkan pepatihnya supaya
membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan
mimpinya tersebut. Sesampainya di Madura, pepatih langsung
menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian
yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden
Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada
ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya.
Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden

Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan


musuh
(Tjina).
Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta
Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan
dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo. Kijahi
Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain
kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut,
Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina
dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo
hanya ditujukan ke arah tempat sarang-sarang musuh maka
banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit
dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan
negara
Mendangkawulan.
Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk
merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan
besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar Raden
Segoro
alias
Tumenggung
Gemet.[7]
Raja Sanghiangtunggal berhajat untuk mengambil anak mantu
kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan
Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima
kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka
Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti.
Kemudian
Raden
Segoro
mohon
ijin
kepada
Raja
Mendangkawulan
untuk
kembali
ke
Madura.
Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan
perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan
dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman.
Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta
rumahnya yang disebut dengan sebutan Kraton Nepa.
Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tuatua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutanghutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang
baik
yaitu
menolong
raja
di
dalam
peperangan.
Maka terkait dengan latar belakang atau pun yang melatar
belakangi penulisan ini adalah ada beberapa hal. Karena latar
belakang Adalah hal yang penulis anggap paling perinsipil yaitu
mengapa memilih Suku Madura sebagai bahan kajian pada
penulisan tugas makalah Pengantar Ilmu antropologi kali ini,
karena beberapa alasan diantaranya adalah Madura penulis kira
sangat menarik untuk dikaji dalam rangka menambah
wawasan keilmuan kita dalam konteks kekinian, itulah
alasan pertama. Kemudian alasan kedua kebanyakan orangorang di luar Madura tidak paham secara benar terkait dengan
kebudayaan yang ada di Suku Madura, yang hal itu akan
berekses pada persengketaan antara kedua belah pihak (alasan
objektif). Alasan ketiga yang mendasari alasan subyektifnya

kenapa penulis memilih Suku Madura sebagai bahan kajian,


karena penulis sendiri adalah keturunan asli Suku Madura,
sehingga banyak mengetahui yang namanya seluk-baluk
kebudayaan
Madura.
1.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah rencana atau rancangan yang dibuat
oleh peneliti sebagai ancar-ancar kegiatan yang akan
dilaksanakan.[8] Maka ada beberapa hal yang perlu penulis
rumuskan
diataranya
:

1.

Bagaimana gambaran pola kehidupan sosial masyarakat


Madura secara umum?
2.
Bagaimana gambaran pola perekonomian, kebudayaan,
dan keseniannya?
1.

C. Tujuan Penulisan
Karya ilmiyah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Pengantar Ilmu Antropologi pada Fakultas Hukum di
Universitas Muhammadiyah Malang. Makalah ini ditujukan
sebagai prasyarat mengikuti Ujian akhir semester (UAS) kali
ini.

1.

D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini yang pada dasarnya adalah sebagai hasil
dari penelitian akan bermanfaat kepada siapapun, terutama
bagi mereka yang belajar tentang budaya-budaya di pelbagai
daerah, katakanlah seperti budayawan, mahasiswa yang
notabene belajar Ilmu Antropologi, sehingga mereka bisa
memahami seluk-beluk budaya suatu tempat.
BAB II
PEMBAHASAN

1.

A. POLA KEHIDUPAN SOSIAL


Berikut ini akan penulis paparkan hasil penelitian terkait
dengan pola kehidupan sosial masyarakat Madura secara
holistik, baik dari agama, bahasa, kekeluargaan/kekerabatan,
sistem
pemerintahan/organisasi
sosial,
perkawinan,
pembagian
harta
warisan
dan
sanksi
pidana.
Islam
di
Madura
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai

bagian dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang


berpegang teguh pada tradisi (ajaran?) Islam dalam menepak
realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun begitu,
kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu
mencerminkan nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu
dapat dipahami karena penetrasi ajaran Islam yang dipandang
relatif berhasil ke dalam komunitas etnik Madura dalam
realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan
kompleksitas elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya,
terutama variabel keberdayaan ekonomik, orientasi pendidikan,
dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke dalamnya
kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan
sekaligus
juga
unik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penafsiran atas ajaran Islam
normatif pada warga etnik Madura pada perkembangannya
berjalan seiring dengan kontekstualitas konkret budayanya
yang ternyata sangat dipengaruhi jika tidak dikatakan
bermuatan heretical oleh lingkup lokalitas dan serial waktu
yang
membentuknya.[9] Dalam
perwujudannya,
keberagamaan etnisitas komunal itu ternyata menampakkan
diri dalam bentuk local tradition di mana Islam sebagai great
tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi
tentang realitas yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural
masyarakatnya atau komunitas yang dibentuknya itu[10].
Kehadiran dan keberadaan Islam ke dalam suatu entitas sosial
budaya telah menjadi gerakan aktual-kultural yang
mengakomodasi dialog dalam/dengan beragam segmentasi
kehidupan sehingga wajah Islam normatif dimungkinkan
mengalami perubahan walaupun pada sisi periferalnya.
Kenyataan
demikian
tampak
pada
konsepsi
yang
teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk perilaku pada budaya
orang-orang Madura yang ternyata mengalami perubahan
format jika tidak disebut bias atau deviasi dari norma asalnya.
Perilaku demikian dapat diungkapkan, antara lain: sebagian
pedagang Madura berjualan tidak sesuai dengan spesifikasi
yang
diucapkan
(dijanjikan),
tindakan
premanisme,
penghormatan berlebihan atau kultus individual pada figur kiai,
ketersinggungan yang sering berujung atau dipahami sebagai
penistaan harga diri, perbuatan heretikal, temperamental,
reaktif, keras kepala, dan penyelesaian konflik melalui tindak
kekerasan
fisik
(biasa
disebut carok).
Contoh-contoh tersebut tidak saja menggambarkan bahwa
keberagamaan sebagian masyarakat Madura berseberangan
dengan ajaran normatif, moral, dan perenial Islam, melainkan
berdampak juga pada munculnya stigma dan stereotipikal etnik
secara komunal dan kultural dalam realitas praksis yang

berjangkauan luas. Menghadapi kenyataan demikian, kearifan


pandangan budaya benar-benar perlu dihadirkan sebagai
bagian dari upaya solutif atas beragam problema tersebut. Hal
itu didasari karena bias-bias perilaku mereka terwujud sebagai
deviasi produk akomodatif Islam dan kenyataan sosial budaya
dalam
praksis
dan
kontekstualitas
kehidupannya.

Bahasa
Kebanggaan
Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura.
Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 14 juta
orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa
atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang
dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi,
Kepulauan
Masalembo, hingga Pulau
Kalimantan. Bahasa
Kangean, walau serumpun, dianggap bahasa tersendiri.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan
Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan
Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka berkonsentrasi
di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas.
Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini
sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka. Bahasa
Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia
ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan
dengan
bahasa-bahasa
daerah
lainnya
di
Indonesia.
Bahasa Madura banyak dipengaruhi oleh Bahasa Jawa, Melayu,
Bugis, Thionghua dan lain sebagainya. Pengaruh Bahasa Jawa
sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebagai
akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak Juga
kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia
atau Melayu, bahkan dengan Minangkabau. Tetapi sudah tentu
dengan
lafal
yang
berbeda
lafal
yang
berbeda.
Contoh
kosa
kata:
1.
2.
3.

bhila sama dengan bila = kapan


oreng = orang
tadha' =
tidak
ada
(hampir
sama
dengan
kata tadak dalam Melayu Pontianak)
4.
dhimma (baca: dimmah) = mana? (hampir serupa
dengan dima di Minangkabau)
5.
tanya = sama dengan tanya
6.
cakalan =
tongkol
(hampir
mirip
dengan
kata
Bugis : cakalang tapi tidak sengau)
7.
onggu = sungguh, benar (dari kata sungguh)

8.

Kammah (kammah mirip


Minangkabau) = kemana?[11]

dengan

kata kama di

Kekerabatan
Budaya Madura dalam benak penulis adalah hal yang unik.
Istilah unik menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas
etnik Madura merupakan komunitas tersendiri yang
mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam
bentuk maupun jenis etnografinya.[12] Keunikan budaya
Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya
yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, yakni 9,7
Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik
terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%).[13] Walaupun
kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya
mencerminkan
kondisi
itu.
Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di daerah-daerah
perantauan
masih
tetap
harus
berjuang
untuk
mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus
industrialisasi
dan
modernisasi
yang
semakin
cepat.
Keberadaan mereka seolah-oleh kian menyusut karena mereka
ternyata mulai enggan mengakui komunitas asalnya saat
status sosial ekonominya meningkat. Keengganan untuk
mengakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena
selama ini citra tentang orang Madura selalu jelek sedangkan
komunitasnya
cenderung
termarginalkan
sehingga
menimbulkan
image traumatik.
Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena ada
kecenderungan escapistic dalam berinteraksi sosial di daerah
perantauan. Dalam istilah lain, mereka melucuti identitasnya
yang merupakan ciri khas dan karakteristik etnisitas
sesungguhnya yang justru masih melekat erat pada dirinya.
Termasuk di dalamnya juga menyembunyikan penggunaan
berbahasa Madura antarsesama etnik. Kondisi sosiologis
demikian jarang ditemukan pada komunitas etnik lain karena
sesungguhnya penggunaan bahasa lokal untuk sesama etnik
justru memunculkan kebanggaan tersendiri. Ungkapan budaya
(etnografi), misalnya taretan dhibi (saudara sendiri) dalam
bertutur-bahasa Madura saat berkomunikasi dengan sesama
etnik
kadang
cenderung
mempererat persaudaraan
serantau sekaligus dukungan untuk saling memberdayakan.
Penggunaan konsep budaya taretan dhibi justru seriung
ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai ungkapan tentang
bertemunya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi.
Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan
dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan

lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus sehingga


survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut sebagai
mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh
kehidupan bahari yang penuh tantangan dan risiko sehingga
memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa
keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai
situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam
bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak
dasar
bentukan
iklim
bahari
demikian
kadangkala
diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan konflik
dan tindak kekerasan fisik. Oleh karena itu, perilaku penuh
konflik disertai tindak kekerasan dikukuhkan dan dilekatkan
sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau
sosok
komunitas
etnik
Madura.
Penghormatan yang berlebihan atas martabat dan harga diri
etniknya itu seringkali menjadi akar penyebab dari berbagai
konflik dan kekerasan. Kondisi itu terjadi karena hampir setiap
ketersinggungan senantiasa dinisbatkan kepada/atau diklaim
sebagai pelecehan atau penghinaan atas martabat dan harga
diri mereka. Sebagian anak-anak muda Madura di perantauan
biasanya tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang
memadai secara sengaja tampak menonjolkan citra negatif
etnik-komunalnya untuk menakut-nakuti orang lain agar
mendapat
keuntungan
individual
secara
sepihak.
Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan
etnografisnya tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan
poersaudaraan sejati. Hal itu tergambar dari ungkapan
budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang
lain bisa menjadi/dianggap sebagai saudara sendiri, sedangkan
saudara sendiri bisa menjadi/dianggap sebagai orang lain).
Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kinship)
itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. secara konkret,
ucapan kultural tersebut memiliki makna bahwa kecocokan
dalam menjalin persahabatan atau persaudaraan dapat
dikukuhkan secara nyata dan abadi. Artinya, orang lain yang
berperilaku sejalan dengan watak-dasar individu etnik Madura
dapat
dengan
mudah
diperlakukan
sebagai
saudara
kandungnya (pseudo-kinship). Sebaliknya, saudara kandung
dapat diperlakukan sebagai orang lain jika seringkali
mengalami
ketidakcocokan
pendapat,
pandangan,
dan
pendirian.[14]
Keunikan budaya persaudaraan tersebut, menurut Glaser &
Moynihan[15] apat terjadi karena adanya persamaan atau
kesesuaian dengan keserupaan unsur-unsur penting primordial,
misalnya genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem
kepercayaan (agama dan ritulitasnya), dan kesamaan

berbahasa. Dalam realitasnya, elemen primordial itu dapat


membentuk identitas etnik baru sebagai identitas tersendiri
yang yang teraktualisasikan dalam perilaku etnografinya. Oleh
karenanya, elemen primordial di antara kelompok-kelompok
etnik
dapat
menjadi
unsur
pembeda.
Seringkali keunikan kultural melahirkan perilaku absurd berupa
sikap defensif sebagian kelompok etnik Madura. Misalnya,
orang Madura dikenal mudah tersinggung harga-dirinya dan
kemudian marah-marah, kemudian memilih alternatif solusi
atas
ketersinggungannya itu
melalui
kekerasan
fisik,
berupa carok. seorang Madura yang defensif serta-merta akan
menegaskan jatidiri etniknya dengan lontara humor pernyataan
sanggahan: Anda tahu, bahwa orang Madura dalam kondisi
apa pun tidak akan pernah tersinggung apalagi marah-marah.
Lho, koq begitu? Karena begitu seseorang berniat untuk
melakukannya, dia sudah terkapar lebih dulu karena terkena
sabetan
cluritnya...
Contoh lain dapat dihadirkan atas perilaku unik (absurditasetnografi) orang Madura. Seorang pemuda Madura datang dari
pelosok desa hendak nonton sepak bola ke Stadion 10
November Surabaya. Saat akan menyeberang naik Ferry, tiket
yang dibelinya diminta petugas, disobek menjadi dua, sobekan
kecil dikembalikan sedangkan sobekan besar diambil petugas
itu. Melihat perilaku petugas Ferry itu, pikirannya galau dan
tidak menentu. Dia kembali untuk membeli lagi 2 karcis
sekaligus: 1 lembar diberikan kepada petugas Ferry sedangkan
satu lembar sisanya disembunyikan di dalam saku celananya
untuk menyelamatkan sobekan petugas. Dengan perasaan
tenang dan hati yang ternteram, dia melangkah mantap
menaiki deck kapal Ferry, untuk menyeberang
Prosesi Perkawinan Unik
Perkawinan merupakan upacara paling sakral dalam perjalanan
kehidupan manusia. Suatu kenyataan bahwa Indonesia terdiri
atas beberapa suku bangsa, agama, adat istiadat yang
berbeda, dengan latar belakang sosial budaya yang beraneka
ragam. Masing-masing daerah mempunyai tata cara tersendiri,
tak terkecuali dalam adat prosesi perkawinannya, baik Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan Madura pada umumnya. Pada
upacara perkawinan biasanya kedua mempelai dirias berbusana
secara khusus. Berbeda apa yang mereka pakai pada pestapesta resepsi sehari-hari. Tata rias dan busana pengantin
menjadi pusat perhatian. Masyarakat dan khususnya menarik
perhatian para tamu yang hadir dalam pesta itu. Oleh karena
itu, hal yang demikian itu ternyata juga dilakukan oleh suku

bangsa
Madura
pada
umumnya.
Pakaian pengantin dan alat-alat rias disediakan secara khusus
serta pemakainya mempunyai tata cara dan aturan-aturan
tertentu yang harus dipatuhi, maka diharapkan salah satu
tujuan tata rias akan berhasil yaitu pengantin akan kelihatan
atau pengantin putri akan tampak lebih cantik dan anggun,
pengantin pria nampak tampan. Tata rias pengantin kecuali
mengandung arti keindahan (estetis) relegius dan ada kalanya
mengandung arti simbolis serta fungsi dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam proses pernikahan yang pertama dilakukan adalah
Prosesi Adat (Lamaran). Maka sebelum dilakukan lamaran
biasanya
di
Madura
didahului
dengan
adanya
:
-Ngangini
(memberi
angin
/
memberi
kabar)
-Arabar pagar (membabat pagar / perkenalan antar orang tua)
-Alamar
nyaba
"
Jajan
"
-Ater tolo (mengantar bedak perlengk.apan kecantikan, beras,
pakaian
adat
untuk
lebaran)
-Nyeddek temmo (menentukan tanggal hari H perkawinan).
Kalau pelaksanaan pernikahan ingin dipercepat, biasanya
dilengkapi dengan pisang susu yang berarti kesusu, jangan
lupa sirih dan pisang. Lalu satu perangkat bahan pakaian
termasuk ikat pinggang (stagen) yang berarti anak gadisnya
sudah
ada
yang
mengikat.
Setelah bawaan pihak laki-laki digelar di atas meja di depan
para tamu sambil tutupya dibuka untuk disaksikan apa isinya
oleh para pini sepuh. Tetapi semua barang yang dibawa
bergantung kepada kemampuan orang tua. Setelah ada
penyerahan kemudian oleh-oleh tersebut dibawa masuk. Pada
pertengahan acara, pihak laki-laki meminta supaya anak
gadisnya diperkenalkan. Lalu disuruh sungkem kepada calon
suami dan para pini sepuhnya yang sudah siap dengan amplop
yang berisi uang untuk diberikan kepada calon mantunya.
Setelah tamu pulang maka oleh-oleh dikeluarkan lagi untuk
dibagikan kepada pini sepuh, sanak famili serta tetangga
dekat, untuk memberi tahu bahwa anak gadisnya sudah
bertunangan. Pada malam harinya calon mantu laki-laki diantar
oleh kerabat untuk berkenalan dengan calon mertuanya.
Seminggu kemudian pihak perempuan mengadakan kunjungan
balasan dengan membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya
antara lain: hidangan nasi : 6 piring karang benaci (ikan
kambing yang dimasak kecap), 1 waskom gulai kambing , 6
piring ikan kambing masak putih, 6 piring masak ikan ayam
masak merah, 6 sisir sate yang besar-besar (1 sisir 10 tusuk),
2
sisir
pisang
raja.
Balasan jajan untuk calon mantu laki-laki terdiri dari satu

tenong berisi nasi lengkap dengan lauknya. Setelah acara


lamaran ini maka resmilah hubungan antara anak gadisnya
dengan
calon
mantunya.
Acara sebelum dan pada saat perkawinan adalah perawatan
untuk calon mempelai wanita, 40 hari sebelum melangsungkan
pernikahan biasanya calon mempelai wanita Madura sudah
dipingit artinya dilarang meninggalkan rumah, dalam masa ini
biasanya calon mempelai melakukan perawatan-perawatan
tubuh dengan meminum ramuan jamu Madura. Untuk
perawatan kulit menggunakan bedak penghalus kulit, bedak
dingin, bedak mangir wangi, bedak kamoridhan dan bedak
bida yang
berkhasiat:
1.
Menjagakesehatan
kulit
2.
Menghaluskan
kulit
muka
3.
Menjadikan
kulit
langsat
kuning
4.
Menghilangkan
bau
badan
dll.
Menghindarkan makanan yang banyak mengandung air
misalnya buah-buahan (nanas, mentimun, pepaya,) Perawatan
rambut
wangi-wangian
menggunakan
dupa.
Pada saat melangsungkan pernikahan calon mempelai pria
mengenakan beskaic blangkon, dan kain panjang dengan
diiringi
oleh
orang
tua,
pini
sepuh
dan
kerabat
keluarga. Sedangkan
untuk
calon
mempelai
wanita
menggunakan kebaya dan kain panjang dengan dandanan
sederhana. Upacara akad nikah dilaksanakan oleh penghulu
dengan dua orang saksi (Ijab-Kabul) dengan disaksikan oleh
para undangan yang pada umumnya dengan mas kawin berupa
Al-Qur'an dan Sajadah (bentuk apa saja menurut kehendak)
dan selanjutnya dengan syukuran bersama. Maka resmilah
anak gadisnya menjadi istri dari anak keluarga laki-lakinya.
Kemudian mempelai laki-laki pulang dulu kerumahnya
dilanjutkan dengan resepsi pernikahan pada malam harinya.
[16]
Kepemimpinan dan Kelas Sosial
Selain keunikan budaya masyarakat Madura yang penulis
paparkan di atas, ada beberapa hal yang perlu penulis
paparkan di makalah ini, diantaranya ialah kekhasan,
stereotipikal, dan stigmatik dari budaya Madura itu sendiri.
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas.
Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa
entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak
serupa dengan etnografi komunitas etnik lain.[17]Kekhususan
kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan
kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama

dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan.


Keempat figur itu adalahBuppa, Babbu, Guru, ban Rato (Ayah,
Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur
utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura
menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya
mereka.[18](Wiyata,).
Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut
menjadi keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis
keseharian sebagai aturan normatif yang mengikat. Oleh
karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan
secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya
dikenakan sanksi sosial maupun kultural. Pemaknaan
etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan
kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan
aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat
dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan
sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk
menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan
kepasrahan
kepada
keempat
figur
tersebut.
Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa ban
Babbu) sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas,
tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kulturak ketaatan
dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah
mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah
ditimpakan
kepadanya
oleh
lingkungan
sosiokultural
masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun
kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian
secara mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu
gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk
dalam memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak
terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh
faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat
dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh
kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika
menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah
salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang
terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya
akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar,
dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu
mengalami keterputusan yang disebabkan oleh berbagai
kondisi,
faktor,
atau
peristiwa
luarbiasa.
Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi
pada level-hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan
istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian kiaipengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya ustadz
pada sekolah-sekolah keagamaan. Peran dan fungsi guru

lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan


dengan kehidupan eskatologis, terutama dalam aspek
ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di
alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh
karena itu, ketaatan orang-orang Madura kepada figur guru
menjadi penanda khas budaya mereka yang mungkin tidak
perlu
diragukan
lagi
keabsahannya.
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai
murid) kepada figur guru ternyata tidak dengan sendirinya
dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan
II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua
orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur
guru. Kendati pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur
guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek
genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan
bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak
orangtuanya. Oleh karenanya, makna kultural yang dapat
ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup
tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah
statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku
patuh,
tunduk,
dan
pasrah.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin
pemerintahan)
menempati
posisi
hierarkis
keempat.
FigurRato dicapai oleh seseorang dari mana pun etnik asalnya
bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan
prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua
orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk
mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai
Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun
baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang
baru
lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun
dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang
relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah
dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura
masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh.
Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para
individu
dalam
entitas
etnik
Madura.
Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada
empat figur utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut
standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya. Sebagai
pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) muslim,
Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya
dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya.
[19] Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan

Rasulullah SAW walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan


Ibu (babbu) kemudia Ayah (Buppa). Rasulullah menyebut
ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada Ayahnya.
Selain itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua menjadi
dasar keridhaan Tuhan. Oleh karena secara normatif-religius
derajat Ibu 3 kali lebih tinggi daripada Ayah maka seharusnya
produk ketaatan orang Madura kepada ajaran normatif Islam
melahirkan budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki
tertinggi. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Kendati pun
begitu, secara kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah
diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural
masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang
penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah
untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah
tangganya, di antaranya: pemenuhan keperluan ekonomik,
pendidikan,kesehatan,
dan
keamanan
seluruh
anggota
keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota
dalam
kepemimpinan
lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru
(Kiai/Ustadz) maupun kepada pemimpin pemerintahan karena
peran dan jasa mereka itu dipan dang bermanfaat dan
bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa
dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid
untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan
keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka
dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah
memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan
keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan
pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur ketertiban
kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan
bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik,
mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana
aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara
partisipatif.
Dalam
dimensi
religiusitas,
sebutan
figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan
istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya terletak
padapemaknaan kultural tentang kepatuhan dalam konteks
subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah
sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam
posisi yang berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan
hierarkis kepada figur I dan II tidak ada masalah karena
terbentang luas untuk memperoleh dan mengubahnya secara
siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada
figur III dan IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan
optimisme disertai bekal pengetahuan yang sangat memadai.

Karenanya, persoalan-persoalan kultural tentang konsepsi


kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi
untuk
mengubahnya.
Ungkapan budaya Madura: mon kerras pa-akerres (jika mampu
dan kompeten untuk berkompetisi maka harus wibawa,
kharismatik, dan efektif layaknya sebilah keris) kiranya dapat
mengilhami para individu entitas etnik Madura untuk meraih
keberhasilan dan ketenteraman dalam menjalani kehidupan
yang
berdaya
di
dunia
maupun
di
akhirat.
Diantara kelompok atau kelas sosial yang sangat berpengaruh
dalam masyarakat Madura adalah ulama atau kiai. Untuk
sebagian, hal ini merupakan konsekuensi logis dari islamisasi
Madura yang relatif tuntas tadi. Karena islamisasi
berlangsung baik di hampis semua kelompok kan kelas sosial
dengan ulama sebagai institusi sentrumnya. Maka ulama
memiliki posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat
Madura di hampir semua tingkatannya. Posisi mereka tampak
kian kuat dan luas dari waktu ke waktu. Belakangan,
konfigurasi politik nasional dan lokal kemungkinan mereka
untuk mengintegrasikan diri ke dalam system nasional, dimana
ulama menduduki posisi tertinggi dalam birokrasi negara
tingkat lokal. Suatu hal yang sangat sulit terjadi sejak zaman
kolonial
hingga
zaman
orde
baru.[20]
Selain keunikan dan kekhasan, maka perlu penulis paparkan
terkait
Stereotip
Budaya.
Penggunaan istilah stereotip dalam etnografi diartikan sebagai
konsepsi mengenai sifat atau karakter suatu kelompok etnik
berdasarkan prasangka subjektif yang tidak tepat oleh
kelompok etnik lainnya.[21] Dalam realitasnya, perilaku dan
pola kehidupan kelompok etnik Madura tampak sering
dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar
Madura. Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang
tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka
subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola
pandang yang keliru
sehingga menimbulkan keputusan
individual secara sepihak yang ternyata keliru karena
subjektivitasnya. Dalam perspektif budaya, setiap kelompok
etnik berpeluang memiliki penilaian dan justifikasi subjektifstereotipikal dari kelompok etnik lainnya yang diidentifikasi
atas dasar false generalization atas parsialitas perilaku yang
ternyata
tidak
representative.[22]
Astro mengemukakan contoh dalam sebuah artikel tentang
stereotip kelompok etnik manusia Madura oleh komunitas etnik
lain, yaitu: berkulit hitam legam, berpostur tubuh tinggi besar,
berkumis lebat, dan berbusana garis selang-seling merahhitam yang dibalut oleh baju dan celana longgar serba hitam,

serta menakutkan. Pencitraan kurang tepat lainnya, bahwa


orang Madura itu memiliki sosok yang angker, tidak kenal
sopan santun, kasar, beringas, dan mudah membunuh.
Pelabelan demikian mengjadi hilang atau berkurang jika
realitas budaya yang dijumpainya tidak sedikit pun
menggambarkan persepsi sebagaimana yang telah tertanamkuat
dalam
pikirannya.[23]
Untuk memberi pemahaman yang relatif efektif tentang
gambaran nyata, utuh, dan lengkap tentang bagaimana
sesungguhnya sosok etnik Madura dengan segala kekurangan
dan kelebihannya dapat dilakukan upaya yang memungkinkan.
Di antara upaya itu adalah taaruf (saling mengenal atau
memperkenalkan jatidiri etnografi masing-masing) dalam
segala jenis dan bentuknya. pengenalan kulturan demikian
diharapkan
mampu
menghilangkan
sekurang-kurangnya
mereduksi kesan dan pencitraan subjektif atas dasar persepsi
sepihak yang tertanam begitu kuat dalam pikiran kelompokkelompok
etnik
masing-masing.
Sebaliknya, persepsi, penilaian, dan justifikasi secara sepihak
seringkali dimunculkan oleh individu maupun kelompok etnik
Madura tentang perilaku dan pola kehidupan etnik lain ,
semata-mata didasarkan juga oleh gambaran pikiran maupun
prasangka subjektifnya. Jika pandangan subjektif itu tidak
mampu
terjembatani
secara
arif
dan
efektif
maka
kesalahpahaman cenderung dan mudah muncul yang kemudian
bermuara
pada
konflik
etnik
atau
budaya.
Selain keunikan, kekhasan dan stereotip ada juga yang perlu
penulis kaji disini terkait dengan stigmatisasi budaya Madura.
Pemaknaan atas istilah stigma menunjuk pada pengertian
tentang ciri negatif yang menempel kuat pada pribadi atau
entitas
etnik
karena
pengaruh
lingkungan
yang
membentuknya[24] Stigma yang paling kuat dan menonjol
pada kelompok etnik Madura adalah kekerasan fisik yang
bermuara pada adu-ketangguhan dengan bersenjatakan clurit.
Tindakan kekerasan itu kemudian dikenal populer dengan
istilah Carok.
Menurut Ibnu Hajar, budayawan Madura asal Sumenep, bahwa
carok sesungguhnya merupakan sarkasme bagi entitas budaya
Madura. Dalam sejarah orang Madura, belum dikenal
istilah carok massal sebab carok adalah duel satu lawan
satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan
duel. Malah dalam persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu
menjelang carok berlangsung. Kedua pihak pelaku carok,
sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masingmasing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata
celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan

pembekalan agama berupa pengajian. Oleh keluarganya,


pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk
terbunuh.
Yang terjadi di Desa Bujur Tengah bukanlah dikategorikan
carok, tapi tawuran massal, kerena tidak sesuai dengan arti
carok sebenarnya. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri
ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan
harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan.
Ungkapan etnografi yang menyatakan, etembang pote mata
lebih bagus pote tolang (daripada hidup menanggung perasaan
malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi
untuk melakukan carok, seharusnya tidak dipahami secara
eksklusif, karena setiap orang di mana sajatidak hanya orang
Madurapunya pemahaman yang sama untuk membela harga
dirinya.[25]
Menurut Wiyata, banyak orang mengartikan bahwa setiap
bentuk kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak,
terutama yang dilakukan orang Madura, itu carok. Padahal
kenyataannya, tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh
sesama lelaki dalam lingkungan orang-orang desa. Setiap kali
terjadi carok, orang membicarakan siapa menang dan siapa
kalah. Dalam temuan penelitiannya, Wiyata menegaskan
bahwa ternyata carok tidak merujuk pada semua bentuk
kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura,
sebagaimana anggapan orang di luar Madura selama ini. Carok
seakan-akan merupakan satu-satunya perbuatan yang harus
dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak mampu mencari
dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika
mereka
sedang
mengalami
konflik.[26]
Kekurangmampuan para pelaku carok dalam mengekspresikan
budi bahasa itu lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif
secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap
musuh sehingga, konflik yang berpangkal pada pelecehan
harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok
selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang
yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan
terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu,
carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap
istri. Monopoli ini ditafsirkan Wiyata[27] antara lain dengan
ditandai
adanya
perlindungan
secara
over.
Karakter yang juga lekat dengan stigma orang Madura adalah
perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang
tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu
bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul
dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah
bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura.

Budaya Madura adalah juga budaya yang lekat dengan tradisi


religius. Mayoritas orang Madura memeluk agama Islam. Oleh
karena itu, selain akar budaya lokal (asli Madura) syariat Islam
juga begitu mengakar di sana. Bahkan ada ungkapan budaya:
seburuk-buruknya orang Madura, jika ada yang menghina
agama
(Islam)
maka
mereka
tetap
akan
marah.
Carok sebagai sebuah bagian budaya, bukan berlangsung
spontan atau seketika. Ada proses yang mengiringi sebelum
berlangsungnya carok. Biasanya, solusi itu selalu dijadikan
jalan efektif ketika harga diri orang Madura merasa terhina.
Namun demikian selalu ada proses rekonsiliasi terlebih dahulu
yang dilakukan sebelum terjadi carok. Pihak-pihak yang berada
di sekitar pihak yang akan melakukan carok, selalu berposisi
menjadi negosiator dan pendamai. Carok merupakan bagian
budaya yang memiliki serangkaian aturan main, layaknya
bentuk
budaya
lainnya.
Ketika akhirnya carok harus terjadi maka tetap ada aturanaturan main yang melingkupinya. Pelaku carok harus
membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh
tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan
dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang,
maka keluarga si mayat berhak melakukan balas dendam.
Posisi mayat yang terlentang, seolah dijadikan komunikasi
terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat
terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Akan tetapi,
jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah
maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh
keluarga
yang
menjadi
korban
carok.
Hingga saat ini, sebenarnya carok kadang terjadi dalam
komunitas etnik Madura, baik di Madura maupun di daerah
Tapal Kuda Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan
Situbondo. Hanya saja, carok yang berlangsung bersifat
individual. Kegagalan pemerintah sebagai penyelenggara
utama administrasi bidang-bidang kehidupan di negara ini juga
terlihat ketika kultur yang berbentuk kekerasan masih tetap
terjadi di beberapa daerah. Pengetahuan sebagai warga bangsa
masih terlampau kecil disadari oleh berbagai individu. Hal ini
tentu saja karena tingkat pendidikan masih sangat rendah.
Pendidikan agama dan religiusitas haruslah menjadi proses
bagi manusia untuk mengetahui mana yang baik dan buruk
sesuai dengan pertimbangan nurani dan akal. Selain itu, tokoh
agama semisal figur kyai juga masih terlihat lemah dalam
mengisi mental rakyat dengan siraman rohani yang
mengutamakan
persaudaraan
dan
perdamaian
dalam
menyelesaikan persoalan hubungan antarmanusia. Jika ada

sinergi yang kuat antara peran lembaga pemerintah dan tokoh


agama, tentu kekerasan kultural dapat dihapuskan.
Harta Warisan
Walaupun ajaran Islam adalah ajaran di anut oleh kebanyakan
dan hampir semua masyarakat Madura, akan tetapi secara
umum dalam hal pembagian harta warisan, mereka tidak
menerapkan hukum Islam dalam membagi harta warisannya
kepada keluarga yang ditinggal dalam hal ini oleh pewaris.
Atau mereka mempunyai tradisi unik dalam membagi harta
warisan mereka kepada ahli warisnya. Misalkan diantara
mereka ada yang menggunakan sistem bagi rata, ada juga
yang menggunakan sistem sangkolan.[28] Tradisi ini secara
turun temurun telah dilakukan dan dipraktikan dalam
masyarakat
Madura
secara
luas.
Tetapi yang biasanya diutamakan adalah permpuan, dengan
alasan permepuan adalah dia tempat berpulangnya anak lakilaki kelak ketika dewasa. Pola-pola umum yang berlaku
dikalangan masyarakat Madura, hak perolehan harta warisan
antara anak laki-laki dan anak perempuan sesuai asas se lake
mekol, se binek nyoon. Artinya, bagian anak laki-laki sebanyak
satu pikulan, sedangkan anak perempuan satu sunggian.
Sekurang-kurangnya, bagian anak laki-laki dan perempuan
relative sama. Perempuan memang memperoleh bagian rumah
dan pekarangannya, sedangkan laki-laki memperoleh bagian
tanah pekarangan atau tanah tegalan yang nilainya setara atau
lebih banyak daripada bagian yang diperoleh anak perempuan.
[29]
Secara teoritik dalam prinsip-prinsip dasar dan umum syariat
Islam terdapat kemudahan (al-yusru wa al-taisir), toleransi dan
keseimbangan (al-taasamuh wa al-i'tidal) dan menghindari
kesulitan
dan
kesempitan
dalam
ketentuan
hukum
syari'ah ('adamu al-haraj).Salah satu hal yang diatur dalam
syari'at Islam adalah hukum waris. Syariat Islam menetapkan
dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Bahkan
berkenanan dengan syari'at yang terkait dengan waris
merupakan hal yang paling detail diatur oleh al-Qur'an dan alHadist.[30]
Solusi Konflik Pidana-Perdata
Di samping sifat-sifat positif tadi, mereka juga memiliki
beberapa kelemahan, khususnya dalam hal watak yang
cenderung temperamental. Mereka juga sangat teguh
memegang prinsip dan tradisi, dalam bentuknya yang positif

ataupun negatif--meski bukannya mereka sama sekali tak mau


berbaur dengan budaya setempat. Gara-gara hal sepele
mereka bisa langsung angkat senjata, terutama kalau
menyangkut kehormatan diri. Hal ini tak terlepas dari
pandangan hidup orang Madura, angoan potea tolang, e
tembhang pote mata (lebih baik berputih tulang daripada
berputih mata), yang maksudnya mereka lebih baik mati
daripada terhina. Kondisi alam dan topografi di Kalbar yang
tidak bersahabat telah menempa mereka menjadi kian
tangguh, ulet, pantang menyerah, juga keras. Kebetulan, di
Kalbar ini berdiam pula suku Dayak yang dikenal keras.
Benturan pun acap terjadi di antara mereka. Yang tertua terjadi
di Sukadana, Kabupaten Ketapang, pada 1933. Kejadiannya
bermula ketika 25 orang Madura yang akan diperdagangkan
sebagai tenaga kerja "memberontak" pada juragan perahu
yang akan menjualnya. Atas bantuan etnis Dayak, migran
Madura dapat ditangkap kembali. Sebagai tanda terima kasih
dan perikatan persaudaraan, seorang gadis Madura dikawini
orang
Dayak
setempat.
Tapi kemudian konflik demi konflik terjadi lagi, setidaknya
hingga 10 kali. Ini menurut sebagian pengamat, karena proses
sosialisasi berjalan tak sesuai harapan. Pada pola hubungan
Melayu-Dayak, terdapat banyak konflik kecil tetapi tidak
pernah sampai memuncak. "Ini bisa diselesaikan melalui
pengungkapan kembali tradisi lisan atau cerita rakyat yang
menyatakan
sesungguhnya
mereka
bersaudara,"
tutur
Stephanus Djuweng, direktur IDRD/Dayakologi. Kondisi serupa
juga ditemui pada potensi konflik lainnya seperti Dayak-Cina,
Melayu-Cina,
Melayu-Jawa,
atau
Dayak-Jawa.
Tradisi lisan maupun cerita rakyat yang mempertautkan Madura
dan Dayak belum terbangun. Ini karena hadirnya masyarakat
Madura di Kalbar pada umumnya relatif baru. Pada 1902-an di
Kalbar sudah masuk budaya tulis. Akibatnya, orang tidak
sempat merekonstruksi cerita rakyat yang menghubungkan
masyarakat Madura dan etnis lainnya," ucap Djuweng. Karena
itu, kalau terjadi benturan horisontal, secara kultural belum
ada
"titik
kembali".
Sebenarnya, mayoritas penduduk Sambas adalah suku Melayu
(49,1). Sementara Dayak termasuk minoritas meski minoritas
terbesar (19,86%). Toh, bisa dikatakan, pada konflik terbuka
antara etnis Madura--yang merupakan kelompok minoritas
sangat kecil (jauh di bawah jumlah Cina yang 17,73%)--dan
etnis Melayu--pada kerusuhan dua bulan lalu--hanya sejumlah
kecil orang Melayu yang ikut terlarut. Mungkinkah ini
dikarenakan di antara mereka ada pertautan agama? Samasama muslim? Bisa jadi. Paling tidak, di antara kedua etnis ini

proses asimilasi tidak mengalami hambatan (lihat boks). Sudah


cukup banyak pemuda Madura yang mempersunting gadis
Melayu
atau
sebaliknya
dan
tak
ada
masalah.[31]
Dengan kemajuan keilmuan yang semakin pesat yang dipicu
oleh alur informasi dan komunikasi serta globalisasi, maka
masyarakat Madura dalam menyelesaikan persoalan kejahatan
pidana atau pun perdata, secara umum mereka saat ini
menggunakan jalur hukum yang berlaku di Indonesia, akan
tetapi ada pula yang diselesaikan dengan jalur kekeluargaan.
Berbeda dengan bberapa abad yang lalu yang katakanlah
masyaraktnya masih primitif, mereka masih menggunakan
system kekerasan, mereka mempunyai falsafah hidup sendiri
yaitu Lebbhi beghus pote tolang katembeng pote mata.
Sehinga tidak heran kalau kemudian ada kebiasaan carok yang
sampai sekarang sisa-sisanya masih ada budaya tersebut.
Inilah
sekilas
tentang
bagaimana
kemudian
mereka
menyelesaikan
persoalan
pidana-perdata.
1.

B. POLA PEREKONOMIAN DAN KESENIAN


Ekonomi
Mon adagang, adaging . Prebasan (pribahasa) ini
menunjukkan etos kerja orang Madura. Jika berdagang, akan
berdaging, itu arti harfiahnya jika dibahasa Indonesia-kan.
Pribahasa itu mengandung makna bahwa orang Madura itu
adalah tipe perkerja keras. Hidup bagi orang Madura haruslah
bermakna. Sebab, jika dalam hidup bermanfaat, akan
mengangkat
harga
dirinya
di
hadapan
orang
lain.
Bekerja keras memang adalah sebuah tuntutan untuk bisa
hidup. Sebab, secara geografis, alam Madura gersang dan sulit
untuk ditanami. Dengan kondisi alam seperti ini, sangat sulit
ekonomi
masyarakat
Madura
berkembang.
Memang, pada daerah dan era tertentu, masyarakat hidup
dalam tingkat ekonomi yang cukup. Ini ditandai dengan
munculnya industri garam. Juga dimulai penananam tembakau,
khususnya Madura bagian Timur, di era tahun 1960-an sampai
tahun 1980-an. Namun, komoditi andalan lokal ini semakin
lama semakin merosot. Harga garam anjlok. Industri garam
lesu. Kondisi ini semakin parah dalam beberapa tahun
belakangan
ini.
Tak berbeda dengan tembakau. Beberapa tahun belakangan
harga tembakau anjlok. Petani tembakau banyak yang rugi.
Bahkan, pemerintah daerah, seperti Pamekasan dan Sumenep,
berusaha mencari tanaman alternatif pengganti tembakau.
Ketika kondisi di daerah sendiri sulit, warga Madura pun tergiur
untuk mencari uang ke negeri seberang. Peluang ini muncul di

tahun 1980-an sampai sekarang. Mereka menjadi tenaga kerja


Indonesia ke luar negari. Negara tujuan favoritnya adalah
Malaysia dan Arab Saudi. Dan, berbondong-bondonglah
TKI/TKW asal Madura mengais rezeki di negeri orang, meski
banyak yang mengambil jalur ilegal yang kini menjadi masalah.
Berbagai kesulitan ini telah menempa orang Madura untuk
selalu
bekerja
keras.
Ditambah
lagi
tertinggalnya
pembangunan di Madura dibanding dengan daerah lainnya,
misalnya Jawa. Konsep pembangunan yang top down di era
Orde Baru juga tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk
mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam membangun
daerahnya. Pembangunan ekonomi sebagai panglima kala itu,
tidak menyentuh banyak ke masyarakat Madura, apalagi di
pelosok-pelosok.
Adanya persepsi bahwa Madura sangat potensial dengan
konfliknya, sangat mempengaruhi seretnya investasi masuk ke
Madura. Dan, sampai sekarang, pulau yang dianggap punya
pontensi konflik yang tinggi ini membuat para investor enggan
menginvestasikan
modalnya
ke
Madura.
Perubahan era dari Orde Baru ke Reformasi, sempat memberi
impian dan harapan bagi masyarakat Madura. Begitu juga
ketika pemberlakuan otonomi daerah, lebih memperkuat
semangat mereka untuk bisa berpartipasi dalam membangun
dan mengelola daerahnya sendiri. Model pembangunan dari
pusatyang
berdasarkan
beberapa
pengalaman
malah
membuat masyarakat daerah termarginalisasiditinggalkan.
Kini, masyarakat bisa berprakarsa sendiri dalam pembangunan
daerahnya. Mampukah masyarakat desa mengikuti pola
partisipasi
ini?
Menurut Lukman Sutrisno, hambatan pertama yang dihadapi
dalam usaha melaksanakan pembangunan yang partisipatif
adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep
partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan.
Definisi partisipasi yang berlaku di aparat perencana dan
pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk
mendukung secara mutlak program-program yang dirancang
dan
ditentukan
tujuannya.[32]
Definisi lain dari partisipasi adalah kerja sama antara rakyat
dan pemerintah dalam merencanakan, melakssnakana,
melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan.
Karena partisipasi merupakan suatu kerja sama, maka dalam
definisi
ini
tidak
diasumsikan
bahwa
subsistem
disubordinasikan oleh suprasistem dan subsistem adalah suatu
yang pasif dari suatu sistem pembangunan. Subsistem dalam
konteks partisipasi ini diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai
budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan

dan pelaksanaan suatu program pembangunan. Definisi inilah


yang
berlaku
secara
universal
tentang
partisipasi.
Apabila memilih definisi kedua dari partisipasi tersebut, maka
model perencanaan yang muncul adalah human action atau
human action planning. Model ini menekankan pada
perencanaan sebagai usaha untuk mensistemisasi aspirasi
pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya
dalam dokumen tertulis, yakni rencana pebangunan suatu
wilayah. Model ini melihat bahwa lingkungan dan perencanaan
atau masyarakat merupakan suatu yang turbulent atau
penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis. Dengan kata
lain, model ini melihat bahwa masyarakat merupakan sistem
yang mandiri. Oleh karenanya, perencanaan bukan bertujuan
memanipulasi sistem menjadi subsistem yang bergantung
pada suprasistem. Model ini tidak antidemokrasi .
Keberhasilan model pembangunan tersebut tidak terlepas dari
tersedianya potensi dan kualitas sumber daya lokal, terutama
kualitas SDM. Apalagi pembangunan itu akan mengerahkan
tenaga kerja lokal yang diprioritaskan. Langkah yang harus
dilakukan padalah mempersiapkan masyarakat lokal, baik
pengetahuan, skill, dan penguasan teknologi. Terutama
kesiapan mental masyarakat dalam menghadapi perubahan
yang mungkin terjadi. Kesiapan sumber daya lokal dan mental
ini memang penting. Sebab, banyak pengalaman, ketika
program (baca proyek) masuk ke desa di Madura, memuncul
konflik
kepentingan.
Seringkali
pelaksanaan
program
terhambat bahkan terbengkalai, disebabkan hal yang tidak
substantif. Misalnya, ada pihak yang menuntut pembagian
rezeki atau karena dinilai melanggar adat kebiasaan, seperti
tidak
pamit
kepada
tokoh
setempat.
Bermacam konflik dan resolusinya telah digambarkan dalam
hasil penelitian dari tim World Bank terkait studi PPK,
khususnya di Pamekasan. Menurut saya, dari sekian banyak
penyebab konflik dalam pelaksanaan program, selain
disinggung di atas, faktor lain adalah terkait persepsi. Masih
melekat
mental
proyek
dalam
masyarakat.
Setiap
program/proyek yang masuk ke suatu daerah dianggap akan
membawa keuntungan materi. Jadi jangan heran jika banyak
proyek yang terbengkalai atau hasilnya jauh dari yang
direncanakan. Mental partisipasi masih kalah jauh dari
mental proyek. Kondisi ini secara lambat laun harus
disingkirkan, sehingga hasil program benar-benar bisa
bermanfaat
banyak
kepada
masyarakat.
Tantangan pelaksanaan program melalui prakarsa lokal di
pedesaan di Madura, adalah kesiapan sumber daya, terutama
kualitas SDM dan kesiapan mental masyarakat. Untuk

melancarkan jalannya program dalam masyarakat di bawah


bayang-bayang budaya paternalistik, peran tokoh/pemimpin
masyarakat masih cukup besar. Begitu juga dalam
penyelesaian
konflik
yang
terjadi.
Seni-Budaya
Madura merupakan pulau kecil yang kaya dengan kesenian dan
budaya lokal. Madura terdiri dari empat kabupaten, yaitu
kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Pada masing-masing kabupaten tersebut mempunyai kekayaan
di
bidang
seni
yang
berbeda-beda.
Kabupaten Sumenep sampai saat ini terkenal dengan kota
budaya di Madura karena disana terdapat banyak jenis senibudaya yang terus berkembang, misalnya tari, ludruk,
macopat,
topeng
dan
masih
banyak
yang
lainnya.
Bagi masyarakat Madura, bulan Agustus hingga September
adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu, karena saat inilah
mereka panen raya tembakau. Meskipun harga tembakau
anjlok tetapi warga tetap mensyukurinya. Mereka menggelar
pangelaran seni yang menampilkan berbagai kesenian khas
Madura hingga karapan sapi. Kembang api ini menandai
dibukanya pangelaran seni yang digelar sebagai ungkapan rasa
syukur
atas
panen
raya
tembakau.
Warga yang berkumpul di alun-alun Kota Pamekasan Madura,
Jawa Timur, dihibur dengan aneka tarian yang diiringi dengan
musik tradisional khas Pamekasan yang disebut musik daul.
Musik ini merupakan musik tradisional yang kerap digunakan
untuk membangunkan warga saat sahur tiba. Dalam
pertunjukkan musik daul ini, seluruh pemain musik dan penari
memakai topeng. Dalam tariannya, para penari membawa tong
kosong. Tong ini melambangkan kritik pada pemimpin yang
bisanya hanya bicara nyaring seperti tong kosong.
Tarian lain yang dipentaskan adalah tari Samper Nyacek.
Konon, tarian ini merupakan tarian para putri Keraton
Sumenep yang mengambarkan kepedulian mereka terhadap
petani. Tarian yang gerakannya berdasarkan gerakan menanam
padi ini dilanjutkan dengan Tari Pecot, kas Kabupaten
Bangkalan. Tarian ini juga melambangkan kehidupan petani
saat
bekerja
di
sawah.[33]
Pesta rakyat ini ditutup dengan kerapan sapi yang digelar
keesokan harinya. Dalam karapan sapi ini, gengsi para
peternak sapi dipertaruhkan. Karena karapan sapi yang disebut
Gubeng ini adalah yang terbesar. Akan tetapi, kerapan sapi
yang sampai saat ini menjadi polemik di Madura, yaitu polemik
antara para masyarakat Madura yang mengnggap itu budaya
asli yang harus diperhatahnkan dengan ulama dalam hal ini

(MUI) daerah Madura yang notabene manganggap hal itu


adalah perbuatan haram dan dilarang oleh agama. Karena ada
unsur penyiksaan dan judi di dalamnya. Namun, sampai saat
ini praktek kerapan sapi masih dilegalkan oleh pemerintah.
Bahkan sampai dilombakan.
BABA III
PENUTUP
Kesimpulan
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di
Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari
Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja,
Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di
bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal kuda, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang
berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo,
Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa
berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta
sebagian
Malang.
Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak
yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tanggerang,
Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur
Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan
seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis
yang melibatkan orang Madura di sebabkan oleh kesenjangan
sosial, Namun sekarang kesenjangan itu sudah mereda dan
etnis Madura dan penduduk setempat sudah rukun kembal.
Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai
etos kerja yang tinggi, suka merantau karena keadaan
wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan
asal Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang,
misalanya: mereka jual-beli besi tua, pedagang asongan dan
pedagang pasar. Namun, tidak sedikit pula diantara mereka
yang menjadi tokoh nasional seperti ketua MK Mahfud Md,
Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan 1993-1998 di bawah pemerintahan Presiden
Soeharto), R. Hartono Adalah seorang mantan Jenderal dengan
pangkat tertinggi di TNI Angkatan Darat yaitu jenderal bintang
empat dengan Jabatan tertinggi pula sebagai Kepala Staf TNI
Angkatan Darat. Beliau merupakan satu-satunya perwira tinggi
dari corps Kavaleri yang mendapatkan pangkat jenderal penuh
(bintang empat). Selain itu banyak juga terdapat Tokoh
pejuang Kemerdekaan yang layak menjadi Pahlawan nasional

Indonesia Seperti: Trunojoyo yang telah memberikan


perlawanan terhadap Kolonial Belanda (VOC tahun 1677). Kiyai
Taman adalah seorang pejuang Islam yang gigih menentang
belanda pada tahun 1919. Kiai Djauhari membuka cabang
Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah
adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin Indonesia
(Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala
itu. Agama dan Kepercayaan suku Madura kebanyakan dan
hampir
mayoritas
beragama
Islam.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan
serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung,
tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja.
Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti
menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.
Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang
kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau
Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji), yang notabene hal
itu
kadang
dilakukukan
bertentangan
norma
Islam.
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura,
mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang,
atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang)
daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan
tradisi
carok
pada
masyarakat
Madura.
Alhamdulillah segala puji bagi Tuhan, akhirnya penulisan
makalah ini telah sampai pada tahap akhir yaitu epilog ataupun
penutuup, walaupun di dalamnya masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Tapi penulis sadar akan hal itu.
Dan sebelum penulis mengakhiri penulisan makalah ini, penulis
ingin menyampaikan isi hati ananda kepada Ibu Dosen Endah
Lestari:
Kesan
Ibu, dalam menulis makalah yang semi meneliti ini, ternyata
banyak kesan yang bisa penulis dapatkan, dan akan penulis
kemukakan dalam tulisan yang sangat sederhana ini, walaupun
tidak secara keseluruhan. Diantaranya adalah penulis bisa
mengukur kemampuan penulis dalam dunia tulis-menulis,
khususnya dalam dunia tulis karya ilmiyah. Penulis bisa
merasakan bahwa kemampuan penulis jauh berada di bawah
mereka (kawan-kawan lainnya), sehingga penulis harus belajar
dan
belajar
menulis
lagi
secara
konsisten.
Sehingga dengan kenyataan tersebut, penulis bisa dan terus
bersemangat untuk mengembangkan kwalitas dan kemampuan
penulis dalam dunia tulis-menulis, sehingga tidak ada kata
menyerah bagi penulis yang haus dan selalu mendambakan
hal-hal
yang
prestatif.

Harapan
Penulis adalah pelajar yang selalu membutuhkan bimbingan,
terutama dalam dunia olah karya tulis, dan secara khusus
dalam dunia tulis ilmiyah. Karena tanpa bimbingan penulis
akan tersesat, dan mustahil penulis akan mendapatkan apa
yang menjadi harapan. Penulis ibarat orang yang sedang
berjalan di tengah kegelapan malam tanpa obor, sedangkan
penulis membuuhkan obor tersebut agar supaya penulis bisa
berjalan dengan baik dan tidak tersesat. Begitulah penulis yang
sangat membutuhkan bimbingan dari Ibu Dosen Endah Lestary.
Saran
Kepada kawan-kawan, mari kita belajar dan belajar, secara
khusus pada materi Pengantar Ilmu Antropologi ini. Karena hal
ini akan menopang keilmuan kita di dunia hukum. Sehingga
kalau kita menjadi pengacara, hakim, jaksa atau pun apa lah
yang berhubungan dengan hukum nantinya kita tidak
kebingungan dalam memahami karakteristik budaya setempat.
Karena antropologi lah kuncinya. Mari belajar, belajar, belajar,
belajar, belajar, belajar dan belajar. Karena pada intinya hidup
ini
adalah
belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktek.
Jakarta:
PT.
RINIKA
CIPTA,
2006.
Azra, Azumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman
Islam. Cet.
I.
Jakarta:
Paramadina,
1999.
Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta:
Depdiknas
RI
dan
Balai
Pustaka,
2001.
Glaser, N & Moynihan, DP (Eds.). Etnicity: Theory and
Experience. Cambridge: Harvard University Press, 1981.
http://bilayuk.blogspot.com/2008/06/mengenal-karakteristikmadura.html
http://menkslek.tripod.com/
http://kayabudaya.blogspot.com/2009/06/kesenianmadura.html
http://tretans.com/asal-usul-pulau-madura
http://irenesaskiaa.blogspot.com/2009/10/suku-madura.html
http://www.scribd.com/doc/22077938/Tradisi-Sangkolan-DiKalangan-Masyarakat-Desa-Bunten-Barat-Kec-Ketapang-KabSampang-Madura
http://zkarnain.tripod.com/IMPIAN.HTM
http://agrconk.wordpress.com/2009/01/02/upacara/
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition Chicago; The university of Chicago Press,
1999.
Wiyata, A. Latief. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi
Mengenai Budaya madura. Jakarta: CERIC-FISIP UI. 2003.
Wiyata, A. Latief. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri
Orang
Madura.
Yogyakarta: LKiS, 2002.
M. Astro, Masuki. Orang Madura Peramah yang Sering
Dikonotasikan
Negatif, 2006.

[1] Lihat Tretans.com Asal-Usul


Pulau
Madura.
[2] Poleng dalam Bahasa Madura artinya kain tenunan Madura.
[3] Gitek adalah perahu atau yang oleh orang Jawa dinamakan
Getek.
[4] Madu Oro artinya pojok di ara-ara atau berarti pojok
menuju
ke
arah
yang
luas.
[5] Segoro
artinya
lautan.
[6] Bunyok yaitu pohon sejenis pohon kelapa tapi lebih kecil
dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat
dibuat atap rumah, yang masih muda dapat dibuat rokok
(seperti
klobot).
[7] Gemet adalah Bahasa Jawa yang artinya semua musuh
apabila bertarung dengan Raden Segoro maka akan habis.
[8] Lihat buku Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. RINIKA CIPTA, 2006.
[9] Lihat buku Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The
University
of
Chicago
Press,
1999.
[10] Lihat buku Azumardi Azra, Konteks Berteologi di
Indonesia: Pengalaman Islam. Cet. I. Jakarta: Paramadina.
1999.
[11]Deskripsi di atas dari artikel Wikipedia Bahasa Madura,
berlisensi CC-BY-SA,
daftar
lengkap
kontributor di
sini.
Halaman Komunitas tidak tergabung dengan, atau didukung
oleh, siapa pun yang terkait dengan topik tersebut.
[12] Lihat Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III.
Jakarta:
Depdiknas
RI
dan
Balai
Pustaka,
2001.
[13] Lihat
Koran
Kompas,
24
Sept.
2005.
[14] Lihat buku Masuki M. Astro, orang Madura peramah yang
Sering
Dikonotasikan
Negatif. 2006.

[15] N Glaser & DP Moynihan (Eds.) Etnicity: Theory and


Experience. Cambridge: Harvard University Press. 1981.
[16] Lihat
agrconk.wordpress.com
[17] Lihat buku Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Ed. III. Jakarta: Depdiknas RI dan Balai Pustaka. 2001.
[18] Lihat buku A. Latief Wiyata, Madura yang Patuh?; Kajian
Antropologi Mengenai Budaya Madura. Jakarta: CERIC-FISIP
UI.
2003.
[19] Lihat buku A. Latief Wiyata, Madura yang Patuh?; Kajian
Antropologi Mengenai Budaya Madura. Jakarta: CERIC-FISIP
UI.
2003.
[20] Lihat
.myportofolio.com
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Lihat Tempo
Interaktif,
16
Agustus
2006.
[26] Lihat buku A. Latief Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan
dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS, 2002.
[27] Ibid
[28] Sangkolan adalah system pembagian harta warisan yang
diberikan oleh pewaris sebelum meninggal dunia kepada
keluarganya atau dengan kata lain harta tersebut dihibahkan
kepada
ahli
warisnya
tanpa
kadar
tertentu.
[29] Lihat bilayuk.blogspot.com
[30] Lihat skripsi Walidul Umam, Tradisi Sangkolan di Kalangan
Masyarakatdesa
Bunten
Barat
Kecamatan
Ketapang
Kabupatensampang
Madura.
[31] Lihat zkarnain.tripod.com
[32] Lihat
[33] Lihat kayabudaya.blogspot.com

menkslek.tripod.com

Anda mungkin juga menyukai