Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KAWASAN ADAT KARAMPUANG


Di susun untuk memenuhi
Tugas Sekolah : SENI BUDAYA
Guru Bidang Studi : SUMARDI SPd.

Oleh:
1. A.Lutfi Kasmir
2. A.M.Rifaldi Aqmal
3. A.Hasriani
4. Abdillah Saulihing
5. Filko Sadri
6. Firsa Rinaldi
7. Sermila
8. Anna Magfirah
9. Anugerah Tawakkal
10. Marlia
11. Wahyuni
12. Sunarti

KELAS XII
MADRASAH ALIYAH MUHAMMADIYAH TENGAH LEMBANG
Tahun Pelajaran 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul KAWASAN ADAT KARAMPUANG ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak SUMARDI S.pd. pada bidang studi SENI BUDAYA. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah di
Karampuang bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak SUMARDI Spd., selaku Guru
bidang studi SENI BUDAYA yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan akan nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Sinjai Barat, 14 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ iv
B. Rumusan Masalah ................................................................ v
C. Tujuan Pembahasan ............................................................. v

BAB II : PEMBAHASAN
A. Sejarah Asal Usul Karampuang ........................................... vi
B. Sistem Pemerintahan Kampung Adat Karampuang ........... viii
C. Rumah Adat Karampuang .................................................. ix
D. Tradisi Yang Ada Di Kampung Adat Karampuang .............. xvii

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................ xx
B. Saran ................................................................................. xxi

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... xxii

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah adat Karampuang merupakan salah satu arsitektur vernakuler


(Berdasarkan kebutuhan lokal dan bahan yang tersedia) Indonesia yang
terletak di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Komunitas adat ini terletak di
Dusun Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai,
kurang lebih 223 km dari Kota Makassar .Secara Geografis, dusun Karampuang
terletak di wilayah 5° 9’ 10” sampai 5° 4’ 10” Lintang Selatan dan 120° 3’ 20”
sampai 120° 7’ 30” Bujur Timur. Kondisi geografis kampung Karampuang
terletak di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 618 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan 75 mm dan suhu udara rata-rata 23°C.
Rumah adat Karampuang terletak dalam kawasan adat dengan berbagai
peraturan-peraturan adat yang berlaku serta berbagai acara-acara adat yang
masih sering berlangsung di kawasan ini yang diikuti oleh penduduk kawasan
adat dan masyarakat sekitar kawasan adat tersebut. Rumah adat ini berdiri
dengan Segala cerita dan keyakinan yang mendasarinya, yang belum banyak
orang ketahui.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah asal usul Karampuang?
2. Bagaimana sistem pemerintahan Di kampung Adat Karampuang?
3 . Bagaimana Rumah Adat Karampuang?
4. Bagaimana tradisi yang ada di Kampung Adat Karampuang?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah asal usul Karampuang.
2. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Di Kampung Adat Karampuang.
3. Untuk mengetahui Rumah adat Karampuang.
4. Untuk mengetahui tradisi yang ada di Kampung Adat Karampuang.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Asal Usul Karampuang

Kampung Adat Karampuang merupakan permukiman yang berada di


wilayah topografi perbukitan dengan kondisi lingkungan alam yang masih alami
berupa perkebunan, sawah, dan hutan, namun sebagian dari wilayah
permukimannya berada pada kondisi tanah datar. Karampuang adalah nama
sebuah desa sekaligus nama komunitas adat.
Sejarah Kampung Adat Karampuang dimuat dalam naskah tua daun lontar
(Lontara Karampuang) yang dimiliki pemangku adat. Kehadiran karampuang
berawal dari adanya suatu peristiwa yakni dengan munculnya seorang yang
tak dikenal, dan dikenal sebagai To Manurung. To Manurung ini muncul di atas
bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam Lontara
Karampuang di kisahkan bahwa asal mula adanya daratan di sinjai, berawal di
Karampuang. Dahulu daerah ini merupakan wilayah lautan dan terdapat
sebuah daratan yang menyerupai tempurung kelapa (cimbolo) yang tersembul
di atas permukaan air. Di puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang
akhirnya di gelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadiranya
menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata karampulue akhirnya dijadikan
nama kampung. Seiring perubahan zaman karampulue berubah
menjadi karampuang dikarenakan
perpaduan penamaan antara karaeng dan puang akibat dijadikanya lokasi itu
sebagai pertemuan antara orang orang Gowa yang bergelar karaeng dan orang
orang Bone yang bergelar puang.
Oleh masyarakat adat Karampuang, Tomanurung diangkat menjadi raja di
wilayah Karampuang. Suatu ketika, sebelum Tomanurung menghilang, ia
mengumpulkan rakyatnya dan berpesan:

vi
“eloka tuo, tea mate, eloka madeceng, tea maja”
«Saya mau hidup tidak mau mati, saya inginkan kebaikan tidak mau
keburukan.»
Ungkapan ini adalah suatu pesan yang mengisyaratkan kepada warga
pendukungnya untuk tetap melestarikan segala tradisinya.
Tak lama setelah Tomanurung menghilang, tiba-tiba muncul busa busa atau
gelembung di atas air yang terapung-apung di sekitar gunung Karampuang.
Dari Gelembung itu kemudian muncul tujuh orang Tomanurung baru dengan
wajah yang berbeda-beda. Salah seorang dari mereka adalah seorang wanita,
wanita satu-satunya ini kemudian diangkat menjadi ratu di wilayah adat
Karampuang.
Sementara itu, atas suruhan sang Ratu, keenam saudaranya yang lain pergi
ke berbagai tempat dan menjadi Tomanurung-tomanurung baru dan akhirnya
mendirikan kerajaan baru, seperti di Kerajaan Ellung Mangenre, Bohong Langi,
Bontona Barua, Carimba, Lante Amuru, dan Tassese.
Sesaat sebelum mereka menyebar, sang Ratu berpesan:

“nonnono makkale lembang, numaloppo kullianrungi, numatanre


kuaccingungi, makkelo kuakkelori, ualai lisu.”
«Turunlah kalian ke daratan datar, namun kebesaranmu kelak harus mampu
melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak
turut menaungi leluhurmu, kalau tidak maka kebesaranmu akan aku ambil
kembali.»

Sang ratu juga menganjurkan agar adik-adiknya mengangkat


12 paggela atau gela sebagai pelaksana harian pemerintahan. Dan saat itu
terciptalah 12 gela baru, antara lain Gella Bulu, Biccu, Salohe, Tanete,
Marowanging, Anakarung, Munte, Siung, Sullewatang Bulo, Sullewatang
Salohe, Satengga dan Pangepana Satengga.

vii
Setelah keenam adiknya mendirikan kerajaannya masing-masing, sang ratu
pun pergi. Saat hendak pergi sang Ratu sempat meninggalkan keris, lahan
perkebunan dan persawahan, dan beberapa benda lainnya. Keris pusaka dan
benda-benda tersebut hingga saat ini masih tersimpan di rumah adat
Karampuang.

B. Sistem Pemerintahan Kampung Adat Karampuang

Masyarakat Kampung Adat Karampuang dipimpin oleh


seorang Arung atau To Matoa dibantu oleh Gella, Sanro, dan Guru. Mereka
dikenal dengan istilah Ade’ Eppae. Ade’ Eppa adalah pemimpin tertinggi yang
menjadi tempat terakhir dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan
segala permasalahan dalam kawasan adat. Apabila diantara mereka ada yang
tidak setuju maka keputusan tersebut tidak akan dilaksanakan. To Matoa,
Gella, Sanro, dan Guru digambarkan dalam pesan “Eppa Alliri Pattepona
Wanuae” (empat tiang penyanggah negeri) dengan Api Tettong Arung (api
berdiri arung), Tana Tudang Ade’ (tanah duduk adat), dan Anging Rekko
Sanro (angin membengkokkan sanro) serta Wae Suju Guru (air membersihkan
guru) yang bermakna Arung harus tegas, Gella harus jujur, Sanro harus tabah,
dan Guru harus damai. Jabatan Arung, Gella, dan Guru harus dijabat oleh
seorang laki-laki dan Sanro dijabat oleh seorang perempuan.
Arung adalah pemimpin masyarakat adat Karampuang yang berhak tinggal
di Toma Toa. Ia sangat disegani dan hanya sesekali berbicara. Karena sepatah
kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijakan yang harus ditaati. Tentunya
Arung tidak boleh cacat moral. Arung atau To Matoa mempunyai tanggung
jawab untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan leluhur, orang-
orang suci, atau dewa-dewa.
Gella adalah perdana menteri yang juga bertanggung jawab, soal hukum
dan peradilan di Karampuang. Di tangan Gella, ketertiban Karampuang terjaga.
Gella bertanggung jawab mengurus masalah tanah, pertanian, dan
kemakmuran masyarakat. Sanro mengurus masalah kesehatan, keselamatan,
dan kesejahteraan. Guru mengurus masalah pendidikan dan keagamaan.

viii
Apabila salah satu di antara mereka ada yang meninggal, maka sebelum
dimakamkan penggantinya sudah harus ditetapkan. Ketika Arung atau To
Matoa yang meninggal, maka yang menetapkan penggantinya adalah Gella
begitupun sebaliknya. Ketika Guru dan Sanro yang meninggal, maka yang
menetapkan penggantinya adalah Arung dan Gella.
Keempat pemangku adat inilah yang mengatur jalan roda kehidupan di
Karampuang. Mereka sangat dihormati, namun juga bertindak bijaksana.
Masyarakat Karampuanglah yang memilih mereka dan pada waktu tertentu
masyarakat pula yang akan menggantinya. Biasanya 40 tahun sekali.

C. Rumah Adat Karampuang

Bangunan utama pada kawasan adat Karampuang ini tediri atas dua rumah
adat, yaitu rumah Puang To Matoa (rumah raja) dan rumah Puang Gella
(rumah perdana menteri).Rumah Adat Karampuang memiliki keunikan. Jika
rumah-rumah adat bugis pada umumnya menampilkan simbol kejantanan
(laki-laki), sedangkan rumah adat Kampung Adat Karampuang menampilkan
simbol feminitas (perempuan). Kawasan Rumah Adat Kampung Adat
Karampuang adalah pusat pemerintahan dan kegiatan adat di Kampung Adat
Karampuang.
Kedua rumah adat ini terletak tidak berjauhan, jaraknya ± 50 meter, dan
memiliki batasan yang jelas berupa batu yang disusun.Kedua bangunan ini
memiliki orientasi yang ber-beda, dimana rumah Puang Matoa kearah barat
dan rumah Puang Gella ke arah timur. Kedua bangunan ini memiliki orientasi
berbeda berdasarkan filosofi dari fungsi jabatan masing-masing penghuninya.
Perbedaan mendasar dapat dilihat dari atap berbentuk prisma sebagai
penutup bubungan yang biasa disebut timpa’ laja. Timpa laja’ rumah adat
Arung atau To Matoa bersusun tiga sedangkan timpa’ laja rumah adat Gella
bersusun dua. Menurut adat masyarakat bugis, strata sosial atau kedudukan
seseorang dapat dilihat dari timpa’ laja-nya, semakin banyak susunan timpa’
laja-nya semakin tinggi strata sosial sang pemilik rumah di masyarakat. Dimana
barat berarti tempat berpulang kita kepada sang pencipta, karena tugas Puang
To Matoa bertugas mengajarkan tentang kebajikan dan pesan-pesan moral

ix
sebagai bekal menghadap sang pencipta. Juga sebagai hakim untuk berbagai
persoalan dalam masyarakat.
Sedangkan timur berarti kehidupan, dan Puang Gella mengajarkan dan
menangani perihal kehi-dupan, seperti pertanian/bercocok tanam, masa-lah
rumah tangga, pertikaian, dan memimpin berburu babi hutan.

Bentuk rumah adat berbentuk rumah panggung tidak lepas dari pandangan
Kosmologis/ duniawi bahwa dunia ini menjadi tiga bagian atau tiga tingkat,
yakni botting langi untuk dunia atas tempat bersemayamnya Dewata Seuae
atau PatotoE, ale kawa untuk dunia tengah yang dihuni oleh manusia, serta
paratiwi yakni tempat bersemayamnya orang-orang telah tiada, sehingga
rumah adatnya tidak beralas dan tiangnya ditanam ke dalam tanah.

Bentuk penampilan rumah adat Karampuang di secara garis besarnya


kedua-duanya mempunyai filosofi bentuk yang melambangkan tubuh seorang
perempuan yang disebut Nene’ Makkunrai Indo ri Karampuang (seorang nenek
yang dijadikan Ibu di Karampuang). Ibu dari Karangpuang ini dimaksudkan
sebagai seorang perempuan yang pertama ada di Karampuang sebagai To
Manurung (orang yang tidak diketahui asalnya dari mana).

x
Rumah yang ada sekarang sudah mengalami perubahan bentuk beberapa
kali. Bentuk awal rumah adatnya disebut dengan langkeang, yakni rumah adat
yang bertiang satu bentuknya seperti payung, kemudian rumah bertiang tiga di
Toanja, dan selanjutnya karena Agama Islam telah memasuki wilayah
Karampuang dengan membawa ajaran yang baru, maka rumah adat-nya juga
disesuaikan dengan ajaran yang baru itu. Untuk itu maka rumah Adat itu
dipindahkan lagi ke lokasi baru dan rumah adat yang dahulunya jumlahnya
hanya satu unit ditambah menjadi dua unit dengan ukuran yang lebih besar
dan bentuk yang lebih baik, sampai bentuk seperti yang sekarang dan telah
diperkaya dengan simbol-simbol Islam.
Pembangunan rumah adat Karampuang tidak diketahui secara pasti
tahunnya kapan rumah itu mulai ada, namun diperkirakan kurang lebih telah
ada sekitar 14 abad yang lalu. Berdasarkan keterangan Puang Gella, rumah
yang sekarang ini mulai dibangun kem-bali oleh Puang Gella pada tahun 1967
karena rumah sebelumnya habis terbakar pada zaman pemberontakan DI/TII.
Akan tetapi bentuk, ser-ta simbol-simbol yang ada tidak ada yang diubah.
Rumah adat yang ditempati oleh Arung (Raja) mempunyai orientasi kearah
Barat (Akhirat). Filosofi orientasi ini dikarenakan Arung sebagai pemimpin
tertinggi dalam adat dan sekaligus se-bagai orang tua akan selalu berorientasi
kearah kehidupan selanjutnya (akhirat). Arung yang akan memberikan pesan-
pesan moral, weja-ngan-wejangan untuk selalu berbuat baik, seba-gai bekal
kita menghadap sang pencipta, serta memberikan pesan kepada masyarakat
untuk tetap selalu melestarikan adat. Dengan kata lain bahwa pada rumah
adat To Matoa-lah tempat membicarakan hal-hal yang ritual. Rumah adat
Puang Gella (Perdana Menteri) mempunyai orientasi ke arah Timur (Duniawi).
Ini melam-bangkan bahwa matahari terbit dari timur, tanda dimulainya
kehidupan. Tempat untuk membi-carakan hal-hal yang besifat dunia.

xi
Material yang digunakan kedua rumah adat, baik rumah To Matoa maupun
rumah Gella semuanya bersumber dari dalam hutan adat. Mulai dari tiang,
lantai, dinding, sampai atap. Jenis-jenis material bangunan rumah adat antara
lain: untuk tiang rumah (Alliri) menggunakan kayu Bitti, lantai rumah memakai
bambu, atap rumah memakai daun Enau, dan ada dari rumpu ilalang, dinding
memakai kayu Bitti dan dari bambu, dan pengikat memakai rotan dan tali dari
rakitan ijuk pohon enau.
Saat ini, telah terjadi perubahan dalam penggu-naan bahan, khususnya pada
penggunaan pe-ngikat. Dulu semuanya diikat dengan rotan ataupun tali dari
ijuk, namun karena material semakin langka utamanya rotan yang sudah
hampir tidak ada lagi di hutan adat, makanya sudah menggunakan material
yang modern. Berupa tali dari bahan plastik. Keadaan ini juga diperparah
dengan peraturan pemerintah, dimana masyarakat tidak boleh lagi menebang
pohon termasuk mengambil rotan dari dalam hutan, sekalipun dalam hutan
adat.

xii
Rumah adat Karampuang, secara umum mem-punyai tata ruang yang
hampir sama, perbedaannya terletak pada perbedaan tata ruang pada jumlah
kamarnya.
a. Tata Ruang Rumah Adat Puang Matoa
Pembagian ruang-ruang pada rumah adat To-matoa terdiri dari paruhung,
Sonrong ri olo, Elle’/Lontang riolo, Elle’ ri tengnga, Elle ri monri,dan Sonrong Ri
monri. Pada bagian Sonrong ri monri mempunyai 4 unit kamar tidur (bili’)
masing-masing untuk ana’ malolo arung, guru, puang tomatoa, dan puang
sanro.

b. Tata Ruang Rumah Adat Puang Gella


Seperti halnya rumah Puang Tomatoa, secara vertikal rumah puang Gella
terbagi atas 3 bagian, yaitu rakkeang, ale bola, dan paratiwi.

xiii
Pemba-gian ruang-ruang pada rumah adat Gella pada prinsipnya sama dengan
pembagian ruang pada rumah adat Puang Matoa. Yang membedakan adalah
jumlah kamar atau bili’ pada bagian Sonrong ri monri yang hanya terdiri dari
dua unit kamar (bili’) saja yang masing-masing untuk ana’ malolo gella dan
Puang Gella sendiri.

xiv
Secara vertikal, pembagian ruang pada rumah puang Gella terdiri atas:
• Rakkeang sebagai tempat menyimpan padi (ase), alat-alat dari logam/besi
(bessi)
• Ale Bola sebagai tempat tinggal
• Paratiwi sebagai kolong, tempat memelihara ternak

Ukuran untuk rumah adat tidak ada yang menggu-nakan alat ukur modern
(meteran), tetapi menggunakan organ tubuh manusia dan biasa-nya yang
digunakan adalah organ tubuh peng-huninya. Untuk rumah adat Karampuang
juga menggunakan system pengukuran seperti itu.Ukuran-ukuran yang dipakai
di Karampuang an-tara lain: depa (reppa), siku (sikku), jengkal (jakka), dan
kepal (kekkeng tuo). Semua jumlah ukurannya ganjil. Ukuran panjang Rumah
PuangTomatoa adalah 17 depa, sedangkan rumah Puang Gella 13 depa.

xv
Jumlah tiang rumah sebanyak 30 tiang, yang melambangkan jumlah juz
dalam al-quran. Jum-lah tiang yang membujur dari utara ke selatan sebanyak 5
tiang melambangkan jumlah rukun Islam. Jumlah tiang yang melintang dari
barat ke timur sebanyak 6 tiang melambangkan rukun iman. Ini merupakan
pengaruh agama Islam se-bagai agama yang dianut oleh masyarakat adat
Karampuang.
Kesimpulan
Simbolisme kedua rumah adat dapat dilihat pa-da pandangan kosmologi
bahwa dunia ini menjadi tiga bagian yaitu: dunia atas, dunia tengah dan
paratiwi. Bentuk rumah disimbolkan sebagai bentuk tubuh seorang
perempuang, hal ini terlihat pada simbol simbol pada rjumah ter-sebut.
Orientasi rumah puang Matoa ke arah Barat, sebagai simbol akan hari akhirat,
sedangkan orientasi rumah Puang Gella ke arah
Timur sebagai tempat matahari terbit sebagai simbol kehidupan. Jumlah tiang
sebanyak 30 tiang yang melambangkan jumlah juz dalam Al quran, dimana
jumlah tiang menyamping seba-nyak 5 tiang yang melambangkan rukun Islam
dan 6 tiang kebelakang yang melambangkan rukun Iman.
Rumah adat Kampung Adat Karampuang secara umum memiliki bagian-
bagian rumah yang terdiri atas alliri yaitu tiang pondasi
rumah, pattoloro atau pare yaitu penghubung antara satu tiang dengan tiang
lainnya, addeneng atau tangga rumah, renring atau dinding
rumah, tellongeng yaitu jendela rumah, dan rakkeang tempat menyimpan
barang dan berbagai peralatan rumah serta tempat untuk menyimpan benda-
benda pusaka.
Rumah adat Kampung Adat Karampuang dihiasi dengan ornamen dan ukiran
berbagai motif dengan filosofis bentuk feminitasnya pada bagian-bagian
tertentu. Secara umum terdiri atas tangga dan pintu yang terletak di tengah
rumah yang rata dengan lantai dan untuk membukanya harus diangkat
melambangkan jika manusia lahir dari rahim seorang ibu, dua buah dapur di
depan pintu melambangkan buah dada, bate-bate di sebelah kiri dan kanan
melambangkan anting-anting, tappi melambangkan mahkota atau tusuk

konde, dan ukiran simpul nabi pada posi bola (tiang rumah bagian tengah)
melambangkan seorang manusia lahir kedunia untuk mengikuti perintah Allah

xvi
SWT. yang di bawah oleh Rasulullah SAW., serta lubang berbentuk segitiga
pada dinding rumah melambangkan bahwa satu rumah dihuni oleh satu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan terletak di bagian belakang
dengan maksud tempat keluar hal-hal yang tidak baik.

D. Tradisi Yang Ada Di Kampung Adat Karampuang

Tradisi dan nilai-nilai budaya yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang
adalah bentuk wujud mengenang leluhur sebagai bagian dari kehidupan
mereka. Tradisi yang pernah dan masih ada hingga sekarang seperti ritual
kematian, pappabitte (sabung ayam), mappogau hanuae (pesta adat
kampung), mappalessoase (pelepasanbenih), maddui (menarik), buruda (dzikir
bersama perkawinan), elong poto (nyanyian suka cita), maulu dan
miraje (maulid dan isra miraj), dan sikkiri juma (dzikir jumat), serta pattang
lompo (buka puasa bersama).

1. Tradisi Mappogau Hanuae


Tradisi yang dikenal sebagai pesta adat kampung ini dilaksanakan sebagai
wujud rasa syukur keberhasilan panen dan juga untuk mengenang leluhur
terdahulu. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali dan dihadiri seluruh
masyarakat adat Kampung Adat Karampuang bahkan masyarakat di luar
wilayah adat Kampung Adat Karampuang. Tradisi Mappogau
Hanuae dipusatkan dalam wilayah adat. Tradisi ini melibatkan seluruh
masyarakat adat khususnya masyarakat yang tinggal dalam wilayah adat dan
seluruh pemangku adat. Arung atau To Matoa adalah pelaksana sekaligus
pemimpin tertinggi dalam tradisi ini. Tradisi ini berlangsung dalam beberapa
tahap:
a) Mabbahang adalah musyawarah adat yang melibatkan seluruh komponen
masyarakat. Inti acara ini adalah Mattanra Esso atau menentukan hari
dilaksanakannya tradisi Mappogau Hanuae. Masyarakat Kampung Adat

xvii
Karampuang percaya bahwa hanya ada dua hari yang dianggap baik, yakni hari
senin dan hari kamis untuk pelaksanakan Mappogau Hanuae sesuai
perhitungan adat mereka.
b) Mappaota adalah ritual permohonan izin atau restu kepada leluhur untuk
melaksanakan Mappogau Hanuae.
c) Mabbaja-baja adalah kegiatan membersihkan rumah, pekarangan, jalanan,
dan sumur serta yang paling penting adalah tempat
dilaksanakannya Mappogau Hanuae.
d) Menre ri Bulu adalah puncak dari acara Mappogau Hanuae yang
dilaksanakan di puncak bukit.
e) Mabbali sumange adalah acara penyiapaan kue khusus yang disebut dengan
kue bali sumange yang kuenya hanya boleh dibuat pada saat acara Mabbali
Sumange.
f) Malling adalah tahapan terakhir dari tradisi Mappogau Hanuae. Malling atau
berpantang dimulai tiga hari setelah Mabbali Sumange. Pantangan bagi
masyarakat adat Karampuang yaitu temmappacera (memotong hewan
ternak), temmaraungkaju (membuat sayur dari daun),
dan mapparumpu (melaksanakan ritual tersendiri). Malling ini dilaksanakan
lima hari dirumah adat Arung atau To Matoa, tiga hari di rumah adat Gella,
satu hari dirumah penduduk.

2. Tradisi Maddui
Selain tradisi Mappogau Hanuae, ada tradisi lain yang dilaksanakan masyarakat
adat Kampung Adat Karampuang dalam wilayah adat yaitu tradisi Maddui.
Tradisi Maddui dilaksanakan khusus untuk rumah adat sebagai bentuk kegiatan
menghormati rumah adat, simbol eksistensi Kampung Adat Karampuang.
Tradisi Maddui bertujuan untuk memelihara rumah adat, mengganti bagian-
bagian tertentu dari rumah adat yang sudah mulai rusak seperti
tiang, panampa, palungeng dan pareha leppa. Rumah adat dianggap dimiliki
seluruh masyarakat adat tanpa memandang status sosial sehingga dalam
tradisi ini melibatkan seluruh masyarakat adat. Tradisi Maddui adalah tradisi
yang dilaksanakan bersama-sama untuk memindahkan batang pohong gupasa
atau aju bitti yang berdiameter besar. Tradisi ini dilakukan dengan cara
menarik batang pohon dari hutan ke pekarangan rumah adat tanpa

xviii
memikulnya. Proses pemindahan dengan cara menarik batang pohon tanpa
dipikul ini dimaksudkan untuk melibatkan seluruh masyarakat adat mulai dari
orang tua sampai anak kecil dan memperkuat sifat gotong royong mereka.
Tidak hanya menarik kayu tetapi diiringi nyanyian yang berisi syair-syair khusus
yang dikenal dengan Elong Padduik.

xix
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

kehadiran karampuang berawal dari adanya suatu peristiwa besar yakni


dengan munculnya seorang yang tak dikenal, dan dikenal sebagai To
Manurung. To Manurung ini muncul di atas bukit yang saat ini dikenal dengan
nama Batu Lappa. Dalam Lontara Karampuang di kisahkan bahwa asal mula
adanya daratan di sinjai, berawal di Karampuang. Dahulu daerah ini adalah
merupakan wilayah lautan dengan daratan seperti tempurung yang tersembul
di atas permukaan air. Di puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang
akhirnya di gelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadiranya
menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata karampulue tadi akhirnya berubah
menjadi Karampuang.
Penanaman selanjutnya adalah perpaduan
antara karaeng dan puang akibat dijadikanya lokasi itu sebagai pertemuan
antara orang orang Gowa yang bergelar karaeng dan orang orang Bone yang
bergelar puang.
Rumah Adat Karampuang terletak di desa Karampuang, Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan. Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit rumah
adat yang masing-masing ditempati oleh pemangku adat dengan fungsi yang
berbeda-beda. Satu sebagai tempat tinggal raja (Arung atau To Matoa) yang
juga sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan (arajang). Sementara
satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana menteri (Gella).

xx
B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.
Jika melihat gempuran budaya modern yang dahsyat, maka kepercayaan
masyarakat Karampuang terhadap leluhur yang masih bertahan hingga kini
merupakan sesuatu yang luar biasa. Hal ini perlu untuk diapresiasi, karena adat
istiadat tradisional penting untuk terus dilestarikan sebagai upaya untuk
membendung efek negatif dari budaya modern. Selain itu, keberadaan
kepercayaan ini membuktikan kemajemukan rakyat negeri ini.

xxi
DAFTAR PUSTAKA

"Rumah Adat Karampuang Sinjai". Informasi Tempat Wisata di Indonesia.


2019-02-18. Diakses tanggal 2019-02-26.

http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2661/tomanurung-leluhur-dalam-
pengetahuan-masyarakat-karampuang-sulawesi-selatan

http://sinjaikarampuang.blogspot.com/2014/03/normal-0-false-false-false-
in-x-none-x.html?m=1

Muhannis. (2009). Karampuang dan Bunga Rampai


Sinjai, Ombak:Yogyakarta

Sumalyo, Yulianto. Bahan Ajar Perkembangan


Arsitektur 1. Arsitektur : Universitas Hasanuddin,
Makassar

xxii

Anda mungkin juga menyukai