: Proteksi Katodik II
PEMBIMBING
Praktikum
: 23 Desember 2015
Penyerahan
: 6 Januari 2016
(Laporan)
Oleh :
Kelompok
: III
Nama
: 1. Farras Aditya
Kelas
131411037
131411039
3. Heryudion Kunto W.
131411040
131411041
: 3B
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korosi pada pipa berbahan baja tentunya akan menimbulkan dampak yang buruk
yaitu kebocoran yang dapat berdampak pada berkurangnya distribusi hasil produksi,
berkurangnya profit, naiknya cost penanggulangan kebocoran hingga dapat menimbulkan
dampak kecelakaan kerja hingga kematian. Oleh karena itu, untuk pipa distribusi yang
ditanam di bawah tanah harus diproteksi dari korosi.
Untuk menghambat laju korosi, proteksi korosi internal untuk pipa distribusi bawah
tanah dapat dilakukan dengan pemilihan material yang tepat dalam arti sanggup menahan
laju korosi dan kavitasi hingga umur desain yang ditentukan. (Panjaitan, 2012).
Sedangkan proteksi yang terbaik agar terlindung dari korosi eksternal pada pipa pipa
distribusi bawah tanah adalah dengan diberi coating dan diberi proteksi katodik.
Ada atau tidaknya kerusakan pada coating pipa ini dapat dideteksi. Cara untuk
mendeteksi kerusakan tersebut adalah dengan menggunakan metode Close Interval
Potential Survey (CIPS) yaitu sebuah survey potensi yang dilakukan pada pipa logam
yang terkubur atau terendam untuk mendapatkan pengukuran potensial struktur DC ke
elektrolit pada interval regular (NACE SP0207, 2007). Sedangkan untuk mengetahui
besar kerusakan atau derajat kerusakan coating digunakan metode Direct Current Voltage
Gradient (DCVG). Metode DCVG merupakan pengembangan dari metode CIPS.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Mengaplikasikan
sistem
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Korosi
Korosi dapat merusak permukaan logam dan dapat mengurangi fungsi dari suatu
logam. Korosi terjadi karena adanya degradasi atau penurunan mutu suatu logam
akibat reaksi elektrokimia antara logam dengan lingkungannya. Lingkungan yang
dapat menyebabkan korosi yaitu lingkungan yang lembap (mengandung uap air) dan
diinduksi oleh adanya gas O2, CO2, atau H2S.
Korosi terjadi melalui reaksi redoks dimana logam mengalami oksidasi, sedangkan
oksigen mengalami reduksi. Korosi jauh lebih ekstensif berlangsung jika besi kontak
dengan oksigen dan air (Oxtoby, dkk, 1988). Korosi merupakan pembebasan oksidatif
yang terjadi pada suatu luas permukaan logam (Atkins 1999). Korosi pada logam
dapat juga dipandang sebagai proses pengembalian logam ke keadaan asalnya (menjadi
oksidanya), yaitu bijih logam. Misalnya, korosi pada besi menjadi besi oksida atau besi
karbonat seperti pada reaksi berikut:
4Fe(s)+ 3O2(g) + 2nH2O(l) 2Fe2O3.nH2O(s)
Fe(s) + CO2(g) + H2O(l) Fe2CO3(s) + H2(g)
4Fe(s) + O2(g) + 2nH2O(l) 2Fe2O3.nH2O(s) Esel = 0,95 V
2.2 Metode Deteksi Korosi
Ada beberapa metode untuk mengontrol dan mendeteksi korosi pada suatu sistem
perpipaan yaitu:
a. In- line inspection
In-line inspection merupakan aktivitas pemeriksaan jaringan pipa pada bagian dalam
pipa dengan menggunakan alat inspeksi yang disebut sebagai pigs atau smart pigs. ILI
merupakan metode penilaian integritas yang digunakan untuk menemukan
atau
mengkarakterisasikan indikasi awal, seperti metal loss, deformasi, atau cacat pada
pipa. Inspeksi ini didasarkan pada API Standard 1163, 2005.
b. CIPS dan DCVG
CIPS adalah sebuah survey potensi yang dilakukan pada pipa logam yang terkubur
atau terendam untuk mengetahui titik titik kerusakan coating pada pipa
terjadi.
mengenai
SP0207, 2007.
efektivitas
sistem
coating.
apabila pergerakan menjauhi lokasi yang mengalami coating defect, beda potensial
yang terbaca akan turun kembali. Profil dari survey DCVG dengan teknik tegak lurus
apabila menemui suatu lokasi yang mengalami coating defect dapat dilihat sebagai
berikut:
Nilai IR drop pada masing masing test point merupakan selisih dari
potensial pipa terhadap tanah pada saat CP on dan potensial pipa terhadap tanah
pada saat CP off. Apabila hasil pengukuran selisih potensial on/off di kedua test
point sama, maka nilai itulah yang digunakan sebagai nilai IR drop. Tetapi apabila
dari hasil pengukuran didapatkan nilai selisih potensial yang berbeda diantara kedua
test point tersebut, maka nilai selisih potensialnya bisa ditentukan dengan cara
ekstrapolasi dari jarak antara test point dengan lokasi coating defect. Ukuran dari
coating defect diekspresikan dalam hubungan IR potensial drop dalam tanah dengan
adanya aliran proteksi katodik dari arus paksa.
Besaran coating defect diekspresikan dalam % IR dengan formula sebagai berikut:
Keterangan:
V1 = Potensial terukur pada test box pertama (mV)
V2 = Potensial terukur pada test box kedua (mV)
X = Jarak test box atau panjang pipa dari test box pertama (m)
dX = Letak atau posisi kebocoran pipa (m)
Dari hasil perhitungan % IR, maka dapat diketahui seberapa besar kerusakan
coating. Untuk menentukan tingkat kerusakan coating dapat didasarkan sesuai table 2.1
berikut:
BAB III
METODOLOGI
3.1
3.2
Alat
1. Simulator Perpipaan
2. Elektroda Standar Cu/CuSO4 (1 pasang)
3. Voltmeter Digital
4. Transformator
5. Recifer
6. Kabel
Cara Kerja
3.2.1 CIPS
Preparasi
1) Test point,pastikankabelpipaterhubungdengan
kabel
anoda
(kondisisistem
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 CIPS
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran CIPS
Jarak
(m)
0
0.3
1.104
1.298
0.6
1.154
1.301
0.9
1.149
1.306
Lubang
yang
tidak
1.2
1.147
1.297
1.5
1.148
1.308
1.8
1.152
1.312
2.1
1.039
1.316
2.4
1.135
1.32
2.7
1.157
1.306
10
1.164
1.314
11
3.3
1.125
1.3
12
3.6
1.125
1.321
13
3.9
1.122
1.32
14
4.2
1.135
1.293
15
4.5
1.143
1.323
16
4.8
1.14
1.322
17
5.1
1.151
1.312
18
5.4
1.158
1.312
19
5.7
1.158
1.315
20
1.143
1.316
21
6.3
1.167
1.316
22
6.6
1.153
1.308
4.2. DCVG
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran DCVG
Lubang
Jarak
(m)
Beda
Potensial
(V)
V maks
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
1.8
2.1
2.4
2.7
0.0343
0.0488
0.0541
0.0528
0.0544
0.0618
0.0314
0.0343
0.037
P/RE= -1,379 -
x (-1,379-(-1,408)) = -1,38867
%IR=