General Anestesi Pada Struma Nodusa Non Toksis Asa I
General Anestesi Pada Struma Nodusa Non Toksis Asa I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
: Ny. YS
Umur
: 24 tahun
Alamat
: Metro
Agama
: Islam
Pekerjaan
Status
: Menikah
Suku Bangsa
: Jawa
Tanggal Masuk
: 18 Juni 2014
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Pasien masuk RSAY di rawat di Ruang Bedah pada tanggal 18 Juni 2014 dengan keluhan
benjolan di leher kanan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Benjolan tidak disertai
nyeri. Demam disangkal. Pasien datang untuk persiapan operasi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-)
Hemofili (-)
Alergi (-)
Asma (-)
Tidak ada.
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4V5 M6 = 15
Vital sign
Tekanan darah
: 110/90 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 o C
Gizi
: Baik
BB/TB
: 50 kg/155 cm
Status Generalis
-
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
: Sianosis (-)
Airway
Leher
Pembesaran KGB
JVP
: 5 cm H20
Trakhea
: di tengah
Toraks
(Cor)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
(Pulmo)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: Datar, simetris
Palpasi
: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-)
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
- Extremitas
Superior
Inferior
D. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
-
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
CT/BT
GDS
SGOT/SGPT
Ureum
: 6.200/ul
: 4.530.000/ul
: 12,7g/dL
: 38,7%
: 13'/3'
: 98 mg/dL
: 25 U/l / 30 U/l
: 18 mg/dl
3
Kreatinin
: 0,67 mg/dl
Hormon
-
T3 total
T4 total
TSH
: 0,6 ng/ml
: 8,6 ug/dl
: uIU/ml
EKG
Patologi Anatomi
Makroskopis
Mikroskopis
E. Assesment
Diagnosis : Struma Nodosa Non Toksik
F. Planning
Dilakukan pembedahan pada struma (strumektomi)
Persiapan
ASA I
Teknik Anestesi
Premedikasi
Induksi
: Propofol 120 mg
Pemeliharaan
Sirkulasi
Kesadaran
Warna kulit
: Posisi
Infus
: RL 20 tetes/menit
Pengawasan
Analgetik: Ketorolac IV
4
Diet
Lain-lain
: awasi perdarahan
G. Follow Up
Tanggal/Waktu
19 Juni 2014/
Subjective
Objective
Benjolan dileher A : clear
08.00 WIB
kanan
(Pre op)
tahun
Assesment
SNNT
Planning
Strumektomi dextra
General
Anestesi
(Intubasi)
mmHg, nadi : 80
BJ
I/II
(-), D
anestesi
E4M6V5
sebelumnya (-)
Kesadaran
GCS:
:
19 Juni 2014/
kompos mentis
TD:
120/90
10.00 WIB
mmHg
Nadi : 80 x/m
RL 500 cc 20 tetes/menit
RR : 20 x/m
Premedikasi
Sulfas
Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50 ug
Induksi : Propofol 120 mg
Intubasi dengan ETT no
19 Juni 2014/
10.05
WIB
11.00
Dilakukan
6.5
Pemeliharaan : O2 2,5 l/m
monitoring
tanda-tanda vital
Sevofluran 2 vol%
tiap 5 menit
Obat :
N2O
2,5
l/m
Ketorolac 30 mg
Tramadol
Sulfas atropin 0,25 mg +
19 Juni 2014
Aldrete Score
11.00 WIB
10
neostigmin 0,5 mg
Pindah Ruangan
(Post Op)
20 Juni 2014
Nyeri di bagian TD
leher
130/80 Post
(bekas mmHg
operasi)
Nadi : 80 x/m
strumekto
30 mg 20 tetes/menit
mi dextra
RR : 20 x/m
21 Juni 2014
- Ranitidin 2x50 mg IV
T : 36,7oC
Nyeri di bagian TD : 120/70 Post
leher
(bekas mmHg
operasi)
Nadi : 76 x/m
strumekto
30 mg 20 tetes/menit
mi dextra
RR : 20 x/m
- Ranitidin 2x50 mg IV
T : 36,6oC
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah pegunungan karena
defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah
endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya
umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma
multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa gangguan.
Definisi
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila
kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari
tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi
sistem vena serta pembentukan vena kolateral. Pada struma gondok endemik, Perez membagi
klasifikasi menjadi:
Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
-
Endemic
Iodine deficiency
Iodine excess
Dietary goitrogenic
Sporadic
Iodine deficiency
Uninodular or multinodular
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka bisa
dibagi menjadi:
-
Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita
ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
nodul lunak
nodul kistik
nodul keras
Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak diketahui, namun
sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga
8
ditemukan
pada
beberapa
varietas
lobak
dan
kubis.
Diagnosis
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma
dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra
lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
9
pole
bawah
kelenjar
tiroid
sewaktu
penderita
disuruh
menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea dan pole
bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut
bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan
susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan
yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita),
maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu
dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus
untuk
meraba
tepi
lateral
kelenjar
tiroid
tersebut.
Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodull dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalamii degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.
10
Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.
20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi
nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif.
Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.
Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido mastoidea
karena desakan pembesaran nodul (Berrys sign)
Sangat mencurigakan
metastasis jauh
Kecurigaan sedang
-
pria
Nodul jinak
-
besarnya tetap
FNAB: jinak
kista simpleks
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid terbagi atas:
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay
(RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma
darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu
untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau
0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di
mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali
normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga,
foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik
tersebut sampai memelukan CT-scan leher.
USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
-
Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan, pemeriksaan
USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid.
Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah
metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja tiroid bisa menggambarkan
aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena adanya sistem transport
pada membran sel tiroid yang menangkap iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami
proses trapping juga ikut dalam proses organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut
dalam proses trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan sekaligus
membedakan berbagaii penyebab hipertiroidisme dan juga menentukan dosis iodium
radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.
Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan kadar hormon tiroid.
Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji angkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah
dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy
FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif
hanya berdasarkan hasil FNAB saja. Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid.
Jinak (negatif)
Tiroid normal
Nodul koloid
Kista
Tiroiditis subakut
Tiroiditis Hashimoto
Curiga (indeterminate)
Neoplasma sel folikuler
Neoplasma Hurthle
13
Ganas (positif)
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid meduler
Karsinoma tiroid anaplastik.
Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan
untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.
Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis
untuk memastika n proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari
nodul tiroid dengan parafin block.
Penanganan
Pilihan terapi nodul tiroid:
-
Pembedahan
Iodium radioaktif
Suntikan etanol
kosmetik.
struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum
terkontrol
struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
14
struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase
luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila
dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.
B. General Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr
pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan
dari pasien.
I. Teori Anestesi Umum
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid Solubity
Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan langsung
dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat
daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak
pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect). Potensi
analgesia gas gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap tekanan gas gas
dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi
molekul molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-crystal
Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi molekul
molekul obatnya dengan molekul molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi
dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
15
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya
menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang.
Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat
fisik obat itu sendiri.
II. Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom.
III. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi anastesi umum.
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.
IV. Persiapan untuk Anestesi Umum
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek.
Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit
yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan,
masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status
anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena
ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE 5
17
Gol. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme
18
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya
tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.
19
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal,
midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling
dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik
palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk
stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri
rangsangan cahaya.
singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
20
21
anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
Cara pemberian :
-
2. Anestetik inhalasi
a) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 50
atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum 35% . gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit
23
hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi
untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara
intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan
Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam
kombinasi dengan zat lain
b) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan
perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut
dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian
obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan
lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman
waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi mirip
dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga
membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena penderita
menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium
induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O
dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul
aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap
ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1
mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam
dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal
Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial.
d) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk
induksi inhalasi.
IX. Skor Pemulihan Pasca Anestesi
24
Sirkulasi
-
Kesadaran
-
Aktivitas
-
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
-
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
25
BAB III
ANALISA KASUS
1. Apakah pemilihan general anestesi dengan teknik intubasi pada pembedahan struma
sudah tepat?
Sudah tepat, karena general anestesi bertujuan agar pasien tidak sadar, merasa rileks,
nyaman, tidak merasakan nyeri saat pembedahan berlangsung. Pembedahan struma
dilakukan di bagian leher dan menghabiskan waktu yang cukup lama, sehingga
diperkirakan akan ada kesulian untuk mempertahankan airway pasien. Untuk itu dipilih
general anestesi dengan teknik intubasi.
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway
(operasi di bagian leher dan kepala).
2. Apakah persiapan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah tepat?
Sudah tepat. Pada pasien ini dilakukan kunjungan pre operatif (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang), dilakukan penilaian kebugaran fisik pasien
serta edukasi puasa 8 jam sebelum operasi untuk mencegah terjadinya regurgitasi isi
lambung.
Persiapan operasi dimulai saat kunjungan pre operatif. Tunjuannya untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Tindakan yang dilakukan saat kunjungan pre operatif meliputi anamnesis
26
4. Apakah monitoring yang dilakukan pada pasien selama operasi sudah tepat?
Kurang tepat. Pada pasien ini dilakukan monitoring pada sistem kardiovaskuler,
respirasi, blokade neuromuskular, dan sistem saraf, namun tidak dilakukan monitoring
pada sistem ginjal. Monitoring ginjal bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau
distensi vesika urinaria padan pembedahan yang berlangsung lama.
Anestesia bertujuan menghasilkan blokade terhadap rangsang nyeri, blokade terhadap
memori atau kesadaran dan blokade terhadap otot lurik. Untuk meniadakan atau
mengurangi efek samping dari obat atau tindakan anestesia diperlukan monitoring untuk
mengetahui apakah ketiga hal diatas cukup adekuat, kelebihan dosis atau malah perlu
ditambah.
Pasien meninggal dunia bukan karena kelebihan dosis analgetik atau relaksan, tetapi
karena gangguan pada jantungnya, kekurangan oksiden pada otaknya, adanya
perdarahan, transfusi dengan darah yang salah, hipoventilasi dan sebagainya.
Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi organ
vital selama peri anestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara
elektronik membantu anestetis mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus.
Monitoring kardiovaskular
- nadi
- tekanan darah
- banyaknya perdarahan
Monitoring respirasi
- tanpa alat (gerakan dada-perut, warna mukosa bibir, kuku, ujung jari)
- stetoskop (dengar suara nafas)
- Oksimetri denyut
- Kapnometri
Monitoring suhu badan (pembedahan yang lama pada bayi dan anak)
Monitoring ginjal (0,5-1 ml/kgBB/jam)
Monitoring blokade neuromuskular (relaksasi-kontraksi tonus otot)
Monitoring sistem saraf
5. Apakah instruksi yang dilakukan pada pasien post general anestesi ini sudah tepat?
Sudah tepat.
Pada pasien ini diberikan instruksi :
Posisi: Supine, kepala ekstensi. Untuk mempertahankan airway
Infus : RL 20 tetes/menit. Untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuh (50ml.kgBB/hari)
Pengawasan : tekanan darah, nadi, respirasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan
gangguan pada organ-organ vital
Analgetik : Ketorolac IV. untuk mengatasi nyeri post operatif
28
Diet : puasa s.d bising usus normal, diet bertahap. Menghindari komplikasi pada saluran
cerna
Lain-lain
DAFTAR PUSTAKA
Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK
UI. Jakarta
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007.
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.
29