Anda di halaman 1dari 319

KEPERAWATAN ANAK

Asuhan Keperawatan

Disusun oleh

Disusun Oleh:
Mahasiswa tingkat II D4 Keperawatan

Dosen Pembimbing : Antarini, M.kep., Sp. An.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN
TAHUN 2015

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................
KATA PENGANTAR .......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
ASKEP Diare dan Anemia................................................................................................
ASKEP Talasemia dan ITP................................................................................................
ASKEP Leukemia dan Rematoid Desease........................................................................
ASKEP Atrium Septum Defect dan Campak....................................................................
ASKEP Difteri dan Malaria...............................................................................................
ASKEP DBD dan Tetanus.................................................................................................
ASKEP Fraktur dan Congenital HIP Desease...................................................................
ASKEP Nefrotik sindrom dan Glomerulus Nefrotik akut.................................................
ASKEP Gangguan Panca Indera dan HIV........................................................................
ASKEP Cacat ganda dan Penyakit Terminal.....................................................................
DAFTAR PUSTKA ..........................................................................................................

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE DAN


ANEMIA

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1


1. Repi Karlina
2.

Rey Lorenza

3.

Riki Pratama

4.

Siti Rahma

5.

Suci Indah Pratiwi

Dosen

: Antarini, M.Kep., Sp.An

Tingkat

: II DIV Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2015

PEMBAHASAN
1. Pengertian Anemia
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan julmal sel darah merah, kuantitas
hemoglobin dan volum pada sel darah merah (hematokrit) /100 ml darah (price, 1996).
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya
darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah.
(Guyton,1997).
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin turun dibawah normal.(Wong,2003).
Anemia adalah penurunan dibawah normal dadam jumlah eritrosit, banyaknya
hemoglobin, atau volume sel darah merah, sistem berbagai jenis penyakit dan kelainan
(Dorlan, 1998)
2. Etiologi
Berkurangnya sel darah merah dapat disebabkan oleh kekurangan kofaktor untuk
eritropoisis, seperti : asam folat, vitamin b12 dan besi. Produksi sel darah merah juga
dapat turun apabila sumsum tulang tertekan(oleh tumor atau obat) atau rangsangan yang
tidak memadai karena kekurangan eritropoitin. Peningkatan penghancuran sel darah
merah dapat terjadi akibat aktivitas sistem retikuloendotelial yang berlebihan.

3. Tanda dan Gejala Anemia Pada Anak


Tanda dan gejala anak anemia sebenarnya bisa dideteksi oleh orang tua.
Bagaimana orang tua bisa mengenali tanda anemia pada anak itulah adalah salah satu
cara untuk bisa menangani semenjak awal anemia ini dan juga memberikan pengobatan
anemia itu sendiri. Tanda anemia anak bisa berupa :
Ana k terlihat lemah, letih, lesu, hal ini karena oksigen yang dibawa keseluruh tubuh
berkurang karena media trasportnya berkurang (Hb) kurang sehingga tentunya yang
membuat energy berkurang dan dampaknya adalah 3L, lemah, letih dan lesu
Mata berkunang-kunang. Hampir sama prosesnya dengan hal diatas, karena darah
yang membawa oksigen berkurang, aliran darah serta oksigen ke otak berkurang
pula dan berdampak pada indra penglihatan dengan pandangan mata yang
berkunang-kunang
Menurunnya daya pikir, akibatnya adalah sulit untuk berkonsentrasi
Daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan mudah terserang sakit
Pada tingkat lanjut atau anemia yang berat maka anak bisa menunjukkan tandatanda detak jantung cepat dan bengkak pada tangan dan kaki.
4.Patofisiologi

5. Klasifikasi Anemia
a. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yag disebabkan oleh kurangnya mineral Fe
sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit
Etiologi

Asupan besi yang kurang pada jeniis makanan Fe non-heme, muntah berulang

pada bayi, dan pemberian makanan tambahan yang tidak sempurna

Malabsorbsi pada enteritis dan proses malnutrisi (PEM)

Kehilangan atau pengeluaran besi berlebihan pada perdarahan saluran cerna

kronis seperti pada diventrikulum Meckel, poliposis usus, alergi susu sapi, dan
infestasi cacing

Kebutuhan besi yang meningkat oleh karena pertumbuhan yang cepat pada bayi

dan anak, infeksi akut berulang, dan infeksi menahun

Depo besi yang kurang seperti pada berat badan lahir rendah, kembar

Kombinasi dari etiologi di atas

Manifestasi Klinis
Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, mudah lelah, pucat, sakit kepala, atau
iritabel. Pucat terlihat pada mokusa bibir, faring, telapak tangan, dasar kuku, dan
konjungtiva. Papil lidah atrofi, jantung agak membesar. Tidak ada pembesaran
limpa dan hati, serta tidak terdapat iastesis hemoragik.
Pemeriksaan Penunjang
Kadar hemoglobin kurang dari 10g/dl, mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel
target, serum iron (SI) rendah, dan Iron Binding Capasity (IBC) meningkat.

Hasil pemeriksaan sumsum tulang sistem eritropoitek hiperaktif dengan sel


normoblas poikromatofil yang predominan.
Penatalaksanaan

Pengobatan kausal

Makanan yang adekuat

Pemberian preparat besi (sulfas perosus) 3 x 10 mg/ kg BB perhari

Tranfusi darah diberikan bila Hb kurang 5 gr/dl dan disertai dengan keadaan

buruk

b. Anemia Aplastik
Merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel hematopoitik dalam darah
tepi seperti eritrosit, leukosit, dan trombosit akibat terhentinya pembentukan sel
hemopoitik dalam sumsum tulang.
Etiologi

Faktor congenital : sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain

seperti mikrosepali, strabismus, anomaly jari, kelainan ginjal, dsb.

Faktor didapat : bahan kimia (benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb, ), obat,

radiasi, faktor individu, infeksi, keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin dan
idiopatik.

Manifestasi Klinis
Pucat, lemah, perdarahan, demam, tanpa organomegali.
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran darah tepimenunjukkan transitopenia dan limpositosis relative. Dari
pemeriksaan sumsum tulang didapatkan yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak

jaringan penyokong dan jaringan lemak, aplasia sistem eritopoitik, granulopoitik,


dan trombopoitik.

Penatalaksanaan
Medikamentosa : kombinasi prednisone (2-5mg/kg berat badan perhari peroral)
dan testosterone (1-2 mg/kg BB perhari parenteral) memberikan angka mortalitas 40
50 % sedangakan angka ini dengan pemberian kombinasi prednisone denagn
oksimetolon (1 2 mg/kg BB perhari peroral) adalah 30 40 %.
Tranfusi darah hanya diberikan bila diperlukan karena tranfusi darah yang
terlampau sering dapat menekan sumsum tulang atau menyebabkan timbulnya
reaksi hemolitik.
Pengobatan infeksi sekunder : sebaiknya anak diisolasi dalam ruang suci hama,
pilih antibiotic yang tidak mendepresi sumsum tulang.
Makanan : disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan
lunak
Istirahat : untuk mencegah pendarahan, terutama perdarahan otak
Menghindari bahan kimia yang diduga sebagai penyebab.
6. Cara Mencegah Anemia
Sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, Mencegah
penyakit ini dapat mengkonsumsi beberapa asupan penting yang mudah didapat
diantaranya, zat besi juga dapat ditemukan pada kacang polong, serta kacang-kacangan.
Dilanjutkan dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat
besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi.

Perlu kita perhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah diserap
tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang
diperkuat dengan zat besi.

Asuhan Keperawatan Anemia


1. Pengkajian
1) Aktivitas / Istirahat
1

Keletihan, kelemahan otot, malaise umum

Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak

Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat

Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya

Ataksia, tubuh tidak tega

Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda tanda lain yang

menunjukkan keletihan
2
2) Sirkulasi
3

Riwayat kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI

Palpitasi (takikardia kompensasi)

Hipotensi postural

Disritmia : abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau depresi

gelombang T

Bunyi jantung murmur sistolik

Ekstremitas : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring,

bibir) dan dasar kuku


9

Sclera biru atau putih seperti mutiara

10 Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonsriksi


kompensasi)
11

Kuku mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia)

12 Rambut kering, mudah putus, menipis


13
3) Eliminasi
14 Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
15 Flatulen, sindrom malabsorpsi
16 Hematemesis, feses dengan darah segar, melena
17 Diare atau konstipasi
18 Penurunan haluaran urine
19 Distensi abdomen
20
4) Makanan / cairan
21 Penurunan masukan diet
22 Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
23 Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia
24 Adanya penurunan berat badan

25 Membrane mukusa kering,pucat


26 Turgor kulit buruk, kering, tidak elastic
27 Stomatitis
28 Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah
5) Neurosensori
29 Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
30 Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
31 Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
32 Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
33 Tidak mampu berespon lambat dan dangkal
34 Hemoragis retina
35 Epistaksis
36 Gangguan koordinasi, ataksia
6) Nyeri/kenyamanan
37 Nyeri abdomen samar, sakit kepala
7) Pernapasan
38 Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
39 Takipnea, ortopnea dan dispnea
40
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1: Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam anak menunjukkan


perfusi yang adekuat
Kriteria Hasil :

Tanda-tanda vital stabil

Membran mukosa berwarna merah muda

Pengisian kapiler

Haluaran urine adekuat

Intervensi :
Intervensi

Rasional

Ukur tanda-tanda vital, observasi


pengisian

kapiler,

warna

kulit/membrane mukosa, dasar kuku

keluhan

lama/peningkatan kopensasi curah jantung.


nyeri

dada, iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/potensial

palpitasi

resiko infark.

Evaluasi respon verbal melambat,


agitasi, gangguan memori, bingung
Evaluasi

membantu kebutuhan intervensi.

dispnea, gemericik menunjukkan CHF karena regangan jantung

Auskultasi bunyi napas


Observasi

memberikan informasi tentang keadekuatan perfusi jaringan dan

keluhan

mengindikasikan gangguan perfusi serebral karena hipoksia

dingin,

pertahankan suhu lingkungan dan vasokonstriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer
tubuh supaya tetap hangat.
Observasi

hasil

pemeriksaan mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons

laboratorium darah lengkap

terhadap terapi.

Berikan
meningkatkan
transfusi
jumlah sel pembawa
darah
oksigen, memperbaiki defisiensi untuk mengurangi resiko
lengkap/packed sesuai indikasi

perdarahan

Berikan oksigen sesuai indikasi


Siapkan

intervensi

memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan

pembedahan transplantasi sumsum tulang dilakukan pada kegagalan sumsum

sesuai indikasi.

tulang/ anemia aplastik.

Diagnosa 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak mampu
mempertahankan berat badan yang stabil
Kriteria Hasil :

Asupan nutrisi adekuat

Berat badan normal

Nilai laboratorium dalam batas normal Albumin : 4 5,8 g/dL

Hb : 11 16 g/dL

Ht : 31 43 %

Trombosit : 150.000 400.000 L

Eritrosit : 3,8 5,5 x 1012

Intervensi :
Intervensi
Observasi dan catat masukan makanan anak

Rasional
mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan
konsumsi makanan

Berikan makanan sedikit dan frekuensi makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan
sering

meningkatkan asupan nutrisi

Observasi mual / muntah, flatus.

gajala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada

organ
Bantu

anak

melakukan

oral

higiene,

gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan


penyikatan yang lembut

meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral.


Menurunkan

pertumbuhan

bakteri,

meminimalkan

kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut diperlukan


bila jaringan rapuh / luak / perdarahan.

Observasi pemeriksaan laboratorium : Hb, mengetahui efektivitas program pengobatan, mengetahui


Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin
Berikan diet halus rendah serat, hindari
makanan pedas atau terlalu asam sesuai
indikasi
Berikan suplemen nutrisi mis : ensure,
Isocal

sumber diet nutrisi yang dibutuhkan


bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan yang
dapat ditoleransi anak.

meningkatkan masukan protein dan kalori.

Diagnosa 3: Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet;


perubahan proses pencernaan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak menunjukan
perubahan pola defekasi yang normal.
Kriteria Hasil :

Frekuensi defekasi 1x setiap hari

Konsistensi feces lembek, tidak ada lender / darah

Bising usus dalam batas normal

Intervensi :
Intervensi

Rasional

Observasi warna feces, konsistensi, frekuensi membantu

mengidentifikasi

penyebab

factor

dan jumlah.

pemberat dan intervensi yang tepat

Auskultasi bunyi usus.

bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan

menurun pada konstipasi.


Hindari makanan yang menghasilkan gas.
Berikan diet tinggi serat
Berikan pelembek feces, stimulant ringan,
laksatif sesuai indikasi.

menurunkan distensi abdomen


serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi
air dalam alirannya sepanjang traktus intestina
mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi

Berikan obat antidiare mis : difenoxilat


hidroklorida dengan atropine (lomotil) dan menurunkan motilitas usus bila diare terjadi
obat pengabsorpsi air mis Metamucil.

Diagnosa 4: Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria Hasil :

Tanda tanda vital dalam batas normal

Anak bermain dan istirahat dengan tenang

Anak melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan

Anak tidak menunjukkan tanda tanda keletihan

Intervensi :
Intervensi

Rasional
manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung

Ukur tanda tanda vital setiap 8 jam

dan paru untuk membawa jumlah oksigen


adekuat ke jaringan.

Observasi adanya tanda tanda keletihan : membantu menetukan intervensi yang tepat

takikardia, palpitasi, dispnea, pusing, kunang


kunang, lemas, postur loyo, gerakan lambat dan
tegang
Bantu anak dalam aktivitas diluar batas toleransi
anak.

mencegah kelelahan

Berikan aktivitas bermain pengalihan sesuai meningkatkan istirahat, mencegah kebosanan


toleransi anak

dan menarik diri

Diagnosa 5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder
leucopenia, penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam infek tidak terjadi.
Kriteria Hasil :

Tanda tanda vital dalam batas normal

Leukosit dalam batas normal

Keluarga menunjukkan perilaku pencegahan infeksi pada anak

Intervensi :
Intervensi

Rasional

Ukur tanda tanda vital setiap 8 jam

demam mengindikasikan terjadinya infeksi.

Tempatkan

anak

di

ruang

isolasi

bila

memungkinkan dan beri tahu keluarga supaya


menggunakan masker saat berkunjung
Pertahankan

teknik

aseptik

pada

prosedur perawatan.
Observasi hasil pemeriksaan leukosit.

setiap

mengurangi resiko penularan mikroorganisme kepada


anak.

mencegah infeksi nosokomial


lekositosis mengidentifikasikan terjadinya infeksi dan
leukositopenia mengidentifikasikan penurunan daya

tahan tubuh dan beresiko untuk terjadi infeksi

Evaluasi Keperawatan

Mempertahankan perfusi jaringan adekuat

Mempertahankan asupan nutrisi adekuat dan berat badan stabil

Menunjukkan pola defekasi normal

Mengalami peningkatan toleransi aktivitas

Infeksi tidak terjadi

ASUHAN KEPERAWATAN DIARE PADA ANAK


PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit
1.

Pengertian
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer

lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan
terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.

Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena
frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu
lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa
disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung
atau usus.
Diare dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Diare Akut
Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat, dalam
beberapa jam sampai 7 atau 14 hari. Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi,
intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan dan juga faktor psikis. Berdasarkan
karakteristiknya, diare akut yang disebabkan oleh infeksi dibagi menjadi 3 tipe yaitu:
Inflamatory, Non inflammatory, dan Penetrating
b. Diare Kronis
Diare kronis adalah diare yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih. Pada feses
dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala ikutan dapat berupa mual,
muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam dan tanda-tanda dehidrasi. Proses
terjadinya diare dipengaruhi dua hal pokok , yaitu konsistensi feses dan motilitas usus,
umumnya dipengaruhi akibat keduanya.

2.
a.

Etiologi
Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare,
meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus,
Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C.
albicans).

b.

Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat


menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia,
ensefalitis dan sebagainya.

c.

Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),


monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa
merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu
dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.

d.

Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi
terhadap jenis makanan tertentu.

e.

Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).

3.Patofisiologi

4.Manifestasi klinis

Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus,


hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang
menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat
badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor
kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi
air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam
karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan
Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai
tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang
sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis
tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
5. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan tinja.
- Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup, bila
memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup,
bila memungkinkan.
- Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
- Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit
secara kuantitatif, terutama dilakukan pada klien diare kronik.
6. Penatalaksanaan
Penanggulangan kekurangan cairan merupakan tindakan pertama dalam
mengatasi pasien diare. Hal sederhana seperti meminumkan banyak air putih atau oral

rehidration solution (ORS) seperti oralit harus cepat dilakukan. Pemberian ini segera
apabila gejala diare sudah mulai timbul dan kita dapat melakukannya sendiri di rumah.
Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian ORS baru dilakukan setelah gejala
dehidrasi nampak.
Pada penderita diare yang disertai muntah, pemberian larutan elektrolit secara
intravena merupakan pilihan utama untuk mengganti cairan tubuh, atau dengan kata lain
perlu diinfus. Masalah dapat timbul karena ada sebagian masyarakat yang enggan untuk
merawat-inapkan penderita, dengan berbagai alasan, mulai dari biaya, kesulitam dalam
menjaga, takut bertambah parah setelah masuk rumah sakit, dan lain-lain. Pertimbangan
yang banyak ini menyebabkan respon time untuk mengatasi masalah diare semakin
lama, dan semakin cepat penurunan kondisi pasien kearah yang fatal.
Diare karena virus biasanya tidak memerlukan pengobatan lain selain ORS.
Apabila kondisi stabil, maka pasien dapat sembuh sebab infeksi virus penyebab diare
dapat diatasi sendiri oleh tubuh (self-limited disease). Diare karena infeksi bakteri dan
parasit seperti Salmonella sp, Giardia lamblia, Entamoeba coli perlu mendapatkan terapi
antibiotik yang rasional, artinya antibiotik yang diberikan dapat membasmi kuman.
Oleh karena penyebab diare terbanyak adalah virus yang tidak memerlukan
antibiotik, maka pengenalan gejala dan pemeriksaan laboratorius perlu dilakukan untuk
menentukan penyebab pasti. Pada kasus diare akut dan parah, pengobatan suportif
didahulukan dan terkadang tidak membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut kalau kondisi
sudah membaik.
7. Komplikasi
Menurut Broyles (1997) komplikasi diare

ialah: dehidrasi, hipokalemia,

hipokalsemia, disritmia jantung (yang disebabkan oleh hipokalemia dan hipokalsemia),


hiponatremia, dan shock hipovolemik.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1.

Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan

penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi, observasi,


pemeriksaan fisik. Pengkaji data menurut Cyndi Smith Greenberg, 1992 adalah :
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia
kemudian timbul diare.
Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit
terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus
dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering, frekwensi BAB lebih
dari 4 kali dengan konsistensi encer.
3. Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pemberian imunisasi.
4. Riwayat psikososial keluarga.
Hospitalisasi akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,
kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak,
setelah menyadari penyakit anaknya, mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa
bersalah.
5. Kebutuhan dasar.
Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari, BAK
sedikit atau jarang.
Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anopreksia, menyebabkan penurunan berat
badan pasien.
Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan
menimbulkan rasa tidak nyaman.
Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.
Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri akibat
distensi abdomen.
6. Pemerikasaan fisik.

a. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah, kesadaran composmentis


sampai koma, suhu tubuh tinggi, nadi cepat dan lemah, pernapasan agak cepat.
b. Pemeriksaan sistematik :
Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan bibir kering, berat
badan menurun, anus kemerahan.
Perkusi : adanya distensi abdomen.
Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
Auskultasi : terdengarnya bising usus.
c. Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.
d. Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat
badan menurun.
e. Pemeriksaan penunjang.
f.Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan duodenum intubation yaitu untuk mengetahui
penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.
2.
Diagnosa yang Mungkin Muncul
a. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta
intake terbatas (mual).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.
c. Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
d. Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan
kognitif.
f. Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru
3.
Intervensi dan Rasional
Dx.1 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan
muntah serta intake terbatas (mual)
Tujuan : Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda
dehidrasi

Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasi


Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan
Pantau intake dan output. yang keluar bersama feses.
Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan
pengganti.
Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium Menilai
status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa Kolaborasi pelaksanaan terapi
definitif Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui
Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi
nutrien dan peningkatan peristaltik usus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan berat badan
Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut. Menurunkan
kebutuhan metabolic
Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera mulai
pemberian makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan Pembatasan diet per oral
mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan peristaltik sehingga terjadi
kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin penting setelah keadaan
klinis klien memungkinkan. Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan
program diet Memenuhi kebutuhan nutrisi klien, Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral
sesuai indikasi Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah
kekurangan nutrisi lebih lanju
Dx.3 : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
Tujuan : Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal
Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi. Menurunkan tegangan

permukaan abdomen dan mengurangi nyeri. Lakukan aktivitas pengalihan untuk


memberikan rasa nyaman seperti masase punggung dan kompres hangat abdomen
Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian klien dan meningkatkan
kemampuan koping Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah
defekasi dan berikan perawatan kulit Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah
iritasi.
Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi
Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus
GI dapat diberikan sesuai indikasi klinis
Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan karakteristik
nyeri, petunjuk verbal dan non verbal Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk
menetapkan intervensi selanjutnya
Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.
Tujuan : Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.
Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang
mekanisme koping yang tepat. Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan
alternatif pemecahan masalah
Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien
yang anaknya mengalami masalah yang sama Membantu menurunkan stres dengan
mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya orang yang mengalami masalah yang
demikian. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus
dalam membantu klien.
Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan
Dx.5 : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
terapi b/d pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau
keterbatasan kognitif.

Tujuan : Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta
mampu mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.
Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang
penyakit dan perawatan anaknya. Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan
fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya.
Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari.
Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga klien
dan keluarga dalam proses perawatan klien.
Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek
samping yang mungkin timbul
Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.
Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi
Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan perawatan
diri anaknya
Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru
Tujuan : Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda
kenyamana
Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam
perawatn yang dilakukan. Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan Berikan
sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin, Memberikan rasa nyaman dan
mengurangi stress, Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat
perkembangan klien
Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimum
4.

Implementasi
Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan yang telah

direncanakan sebelumnya.
5.

Evaluasi

Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai.


Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun
rencana, kemudian dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila
dalam evaluasi belum teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai
tujuan tercapai.

KEPERAWATAN ANAK
THALASEMIA DAN ITP
(IDIOPATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2 :
NAMA ANGGOTA

: 1. CANTIKA PUTRI UTAMI


2. HENI MERIANI
3. ISHMAH AINI RUFAIDA
4. SISCA AYU VAMELA
5. WINDI FIBRAILI

TINGKAT

: II.A & II.B

DOSEN PEMBIMBING: ANTARINI INDRIANSARI, M.KEP., SP.AN.


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D IV KEPERAWATAN
2015

PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN Thalasemia
A. Pengertian
Thalassemia adalah suatu penyakit congenital herediter yang diturunkan secara
autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai
polipeptida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan
terjadinya anemia hemolitik (Broyles, 1997). Dengan kata lain, thalassemia
merupakan penyakit anemia hemolitik, dimana terjadi kerusakan sel darah di
dalam pembuluh darah sehingga umur eritosit menjadi pendek (kurang dari 120
hari). Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat
dari gangguan dalam pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb.
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif, secara molekuler dibedakan menjadi thalasemia alfa dan beta,
sedangkan secara klinis dibedakan menjadi thalasemia mayor dan minor
( Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 497 )
Sindrom thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana
produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih,
2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek (kurang
dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari),
yang disebabkan oleh defesiensi produksi satu , yang diturunkan dari kedua dan
atau lebih dari satu jenis rantai orang tua kepada anak-anaknya secara resesif.

B. Etiologi
Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).
Talasemia disebabkan oleh delesi (hilangnya) satu gen penuh atau sebagian dari
gen (ini terdapat terutama pada talasemia -a) atau mutasi noktah pada gen
(terutama pada talasemia - b), kelainan itu menyebabkan menurunnya sintesis
rantai polipeptid yang menyusun globin.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah
karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang
mengakibatkan hemodilusi dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial
dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA
pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang
(Mansjoer, 2000).
C. Klasifikasi
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing melibatkan
penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk bermacammacam jenis Hb yang ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang paling penting
dalam praktek klinis adalah sindrom yang mempengaruhi baik atau sintesis rantai
maupun .
1) Thalassemia-
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin- banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia.
Delesi gen globin- menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat
empat gen globin- pada individu normal, dan empat bentuk thalassemia-
yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua
empat gen ini

Tabel 1. Thalassemia-
Genotip

Jumlah gen

Presentasi Klinis Hemoglobin Elektroforesis


Saat Lahir

> 6 bulan

Normal

-/

Silent carrier

0-3 % Hb Barts

--/ atau /-

Trait thal-

2-10% Hb Barts

--/-

Penyakit Hb H

15-30% Hb Bart Hb H

--/--

Hydrops fetalis

>75% Hb Bart

Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Barts = 4, HbH = 4


a) Silent carrier thalassemia-
o Merupakan tipe thalassemia subklinik yang paling umum, biasanya
ditemukan secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik
Afro-Amerika. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen
yang terletak pada kromosom 16.
o Pada tipe silent carrier, salah satu gen pada kromosom 16
menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat
secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel
darah merah) yang rendah dalam beberapa pemeriksaan.
o Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan
elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih
canggih. Bisa juga dicari akan adanya kelainan hematologi pada
anggota keluarga ( misalnya orangtua) untuk mendukung diagnosis.
Pemeriksaan

darah

lengkap

pada

salah

satu

orangtua

yang

menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa penyebab


yang jelas merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis
thalasemia.
b) Trait thalassemia-
o Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah
merah yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen
pada satu kromosom 16 atau satu gen pada masing-masing

kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di Asia Tenggara, subbenua


India, dan Timur Tengah.
o Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts ( 4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts
tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal.
c) Penyakit Hb H
o Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin , merepresentasikan
thalassemia- intermedia, dengan anemia sedang sampai berat,
splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal.
Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan
supravital akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai
tetramer (Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit,
sehingga menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini
dinamakan sebagai Heinz bodies.
d) Thalassemia- mayor
o Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua
gen globin-, disertai dengan tidak ada sintesis rantai sama sekali.
o Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai , maka
tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (4) mendominasi pada
bayi yang menderita, dan karena 4 memiliki afinitas oksigen yang
tinggi, maka bayi-bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga
mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal (Hb Portland =
22), yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen.
o Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi
yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat
hidropik, dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat.
Yang dapat hidup dengan manajemen neonatus agresif juga nantinya
akan sangat bergantung dengan transfusi.
2) Thalassemia-
Sama dengan thalassemia-, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalassemia; antara lain :
a) Silent carrier thalassemia-
o Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai eritrosit
yang rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan
suatu thalassemia-+.

o Bentuk silent carrier thalassemia- tidak menimbulkan kelainan yang


dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen untuk
keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama dengan gen untuk
thalassemia-, menghasilkan sindrom thalassemia intermedia.
b) Trait thalassemia-
o Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan
elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb
A2, Hb F, atau keduanya
o Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah
sebagai anemia defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak
tepat dengan preparat besi selama waktu yang panjang. Lebih dari 90%
individu dengan trait thalassemia- mempunyai peningkatan Hb-A2
yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai
sedikit kenaikan HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus,
yang benar-benar khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF
berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe .
c) Thalassemia- yang terkait dengan variasi struktural rantai
o Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media hingga
seberat thalassemia- mayor
o Ekspresi gen homozigot thalassemia (+) menghasilkan sindrom mirip
anemia Cooley yang tidak terlalu berat (thalassemia intermedia).
Deformitas skelet dan hepatosplenomegali timbul pada penderita ini,
tetapi kadar Hb mereka biasanya bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa
transfusi.
o Kebanyakan bentuk thalassemia- heterozigot terkait dengan anemia
ringan. Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal
menurut umur.
o Eritrosit adalah

mikrositik

hipokromik

dengan

poikilositosis,

ovalositosis, dan seringkali bintik-bintik basofil. Sel target mungkin


juga ditemukan tapi biasanya tidak mencolok dan tidak spesifik untuk
thalassemia.
o MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH juga rendah (<26 pg).
Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit juga dapat

diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis biasanya tidak ada. Kadar besi


serum normal atau meningkat.
d) Thalassemia- homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
o bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6
bulan kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada
penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal
jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita
meninggal pada 5 tahun pertama kehidupan.
o Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang
menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan
eritropoetik disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulangtulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi
masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk
wajah yang khas.

Gambar 6. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies Cooley)

o Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat


kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis
ekstrameduler dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua,
limpa

mungkin

sedemikian

besarnya

sehingga

ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme sekunder.

menimbulkan

Gambar 7. Splenomegali pada thalassemia

o Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat


atau tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus
yang disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi
jantung, termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang
disebabkan oleh siderosis miokardium sering merupakan kejadian
terminal.
o Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia- homozigot
yang tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan
mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi,
aneh (sel bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti
ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik,
yang merupakan presipitasi kelebihan rantai , juga terlihat pasca
splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali
mendapat transfusi. Kadar serum besi tinggi dengan saturasi kapasitas
pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran biokimiawi yang
nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi dalam eritrosit.

D. Patofisiologis
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin
tertentu

(,,,)

akan

menghentikan

sintesis

Hb

dan

menghasilkan

ketidakseimbangan dengan terjadinya produksi rantai globin lain yang normal.

Karena dua tipe rantai globin ( dan non-) berpasangan antara satu sama lain
dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka

akan terjadi

produksi berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai
tersebut di dalam sel menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan
terjadinya destruksi sel. Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas
pada semua bentuk thalassemia. Karena alasan ini, pada sebagian besar
thalassemia kurang sesuai disebut sebagai hemoglobinopati karena pada tipe-tipe
thalassemia tersebut didapatkan rantai globin normal secara struktural dan juga
karena defeknya terbatas pada menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi
bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali
(complete absence). Sebagai contoh, apabila rantai hanya sedikit diproduksi,
tipe thalassemia-nya dinamakan sebagai thalassemia-+, sedangkan tipe
thalassemia- menandakan bahwa pada tipe tersebut rantai tidak diproduksi
sama sekali. Konsekuensi dari gangguan produksi rantai globin mengakibatkan
berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah (hipokromatik). Defisiensi Hb
menyebabkan sel darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah ke gambaran
klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Hal ini berlaku hampir
pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh adanya gangguan produksi dari
salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau globin. Namun hal ini tidak
terjadi pada silent carrier, karena pada penderita ini jumlah Hb dan indeks sel
darah merah berada dalam batas normal.
Pada tipe trait thalassemia- yang paling umum, level Hb A2 ( 2/2) biasanya
meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai oleh
rantai bebas yang eksesif, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan rantai
adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen , tidak seperti gen dan , diketahui
memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk memproduksi
rantai yang stabil; dengan berpasangan dengan rantai , rantai memproduksi
Hb A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai yang berlebihan
digunakan untuk membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai ) akan

terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi


sel normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari
sel darah merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan
bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai
pada thalassemia- lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai pada
thalassemia-).
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia- mayor atau anemia Cooley,
berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang
berlebihan. Kelebihan rantai bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai
akan menyebabkan terjadinya pemecahan prekursor sel darah merah di sumsum
tulang (eritropoesis inefektif).
Produksi Rantai Globin
Untuk memahami perubahan genetik pada thalassemia, kita perlu mengenali
dengan baik proses fisiologis dari produksi rantai globin pada orang sehat atau
normal. Suatu unit rantai globin merupakan komponen utama untuk membentuk
Hb : bersama-sama dengan Heme, rantai globin menghasilkan Hb. Dua pasangan
berbeda dari rantai globin akan membentuk struktur tetramer dengan Heme
sebagai intinya. Semua Hb normal dibentuk dari dua rantai globin (atau mirip) dan dua rantai globin non-. Bermacam-macam tipe Hb terbentuk, tergantung
dari tipe rantai globin yang membentuknya. Masing-masing tipe Hb memiliki
karakteristik yang berbeda dalam mengikat oksigen, biasanya berhubungan
dengan kebutuhan oksigen pada tahap-tahap perkembangan yang berbeda dalam
kehidupan manusia.
Pada masa kehidupan embrionik, rantai (rantai mirip-) berkombinasi dengan
rantai membentuk Hb Portland ( 22) dan dengan rantai untuk membentuk Hb
Gower-1 (22).
Selanjutnya, ketika rantai telah diproduksi, dibentuklah Hb Gower-2,
berpasangan dengan rantai (22). Hb Fetal dibentuk dari 22 dan Hb dewasa
primer (Hb A) dibentuk dari 22. Hb fisiologis yang ketiga, Hb A2, dibentuk
dari rantai 22.

Patofisiologi seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan sintesis
rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang
berlebihan berbeda-beda pada tiap tipe thalassemia. Pada thalassemia-, rantai
yang berlebihan, tidak mampu membentuk Hb tetramer, terpresipitasi di dalam
prekursor sel darah merah dan, dengan berbagai cara, menimbulkan hampir
semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma thalassemia-; situasi ini tidak
terjadi pada thalassemia-.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia- adalah rantai pada tahuntahun pertama kehidupan, dan rantai pada usia yang lebih dewasa. Rantairantai tipe ini relatif bersifat larut sehingga mampu membentuk homotetramer
yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap bertahan (viable) dan dapat
memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart (4) dan Hb H (4). Perbedaan dasar
pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis
dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak
larut (insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel
(mengakibatkan kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi
ini menyebabkan terjadinya destruksi intramedular dari prekursor sel darah
merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan yang sampai ke sirkulasi darah
perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang berlebih) akan
mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis
inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari
rantai , yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai yang
berlebihan untuk membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan.
Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi
gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki kemampuan
untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat,
menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada penderita

dengan thalassemia-. Peningkatan level Hb F akan meningkatkan afinitas


oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana, bersama-sama dengan
anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin. Akibatnya, ekspansi
luas dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang berat
dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat,
berkontribusi untuk menambah gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari
penyakit ini. Sel darah merah abnormal dalam jumlah besar akan diproses di
limpa, yang bersama-sama dengan adanya hematopoesis sebagai respon dari
anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali masif yang
akhirnya akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara
teratur, maka ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat
dicegah atau dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan
secara teori hanya akan lebih merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah
masalah yang sebenarnya, karena penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor
utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi pada penderita yang bersangkutan.
Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan peningkatan absorpsi besi karena
adanya downregulation dari gen HAMP, yang memproduksi hormon hepar yang
dinamakan hepcidin, regulator utama pada absorpsi besi di usus dan resirkulasi
besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada penderita dengan thalassemia
intermedia.
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki,
dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan
berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi
menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada
penderita thalassemia- berat karena diduga faktor plasma menggantikan
mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga
absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron
overload.

Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama
ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju
plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini
juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia- yang memiliki
jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan
apakah mereka mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh,
penderita thalassemia- intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah
memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang
mendapatkan transfusi darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah
besi yang sama. Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan
kuat dengan protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload,
seperti pada thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan
di plasma. Besi ini cukup berbahaya karena memiliki material untuk
memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organorgan, seperti jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada organ-organ tersebut (organ damage).
E. WOC
Primer :
genetik,
idioptaik

Hb post natal
terganggu

Skunder : Defisiensi
asam folat pada
kehamilan

Gangguan Produksi Rantai


Globin

Penurunan produksi dari


1 atau lebih rantai globin
tertentu

Penurunan Sintesis Hb Rantai


Beta
Peningkatan Compensatori Sentesa
rantai Alfa

Ketidak seimbangan Formasi


hemoglobin
Thalese
mia

Pertumbuhan
berlebihan tulang
frontal, zogomatik dan
maxila

Distorsi
tulang
muka
Dahi menonjol, mulut
tongos, pertumbuhan gizi
tidak teratur

Penurunan
Hb
Hipokromati
k
Defisiensi
Hb

Eritropoesis tidak
efektif

Pertumbuhan gizi
yang kurang
disertai retraksi
tulang rahang

Penghancuran
sel eritrosit
intramedular
Hemolisis

Seldarah
merah
menjadi kecil

Perubahan pada tulang akrena


hiperaktivitas sumsum merah
berupa depormitas (pada kondisi
yang tidak atau kurang
mendapat transfusi darah)

Anemia Berat
Komponen sel
darah berkurang
< Hb

Pucat,
kelemahan
Penurunan
komponen sel
Mk : Perubahan
perfusi jaringan
perifer

< O2
Hipoksia,
sesak napas
Ketidakseimban
gan kebutuhan
dan suplai
oksigen

Mk:
Intoleransi
Aktivitas

Suplai
nutrisi
berkurang

Anoreksia
Berat badan
turun

Anemi
a
Anak semakin pucat
dan mengalami
gangguan
pertumbuhan
Anak
semakin
tampak kecil

Kurangnya
selera makan

Penurunan
Kemampuan fisik

Mk :
Ketidakseimban
gan nutrisi
kurang dari
kebutuhan

Mk : Perubahan
tumbuh kembang

F. Manifestasi Klinis
Secara klinis talasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala
klinis mayor, intermedia dan minor atau trait (pembawa sifat). Batas antara tingkatan
tersebut sering tidak jelas.
Biasanya bersifat homozygot. Sinonim : Anemia Cooley, Talasemia Beta Mayor
Anemia Mediteranean, Talasemia Homozygot. Gejala klinis berupa muka mogoloid,
pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), pembesaran hati dan limpa,
perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan
faktor spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat tranfusi darah.
Deformitas tulang disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan
pertumbuhan berlebihan tulang frontal dan zigomatik serta maksila. Pertumbuhan gizi
biasanya buruk. Sering disertai retraksi tulang rahang. Sinusitis (terutama maksilaris)
sering kambuh, akibat kurang lancarnya drainase pertumbuhan intelektual dan
berbicara biasanya tidak terganggu. IQ kurang baik apabila tidak mendapat tranfusi
darah secara teratur dan cukup menaikkan kadar Hb.
Anemia biasanya berat dan biasanya mulai muncul gejalanya pada usia beberapa
bulan serta menjadi jelas pada usia 2 tahun. Ikterus jarang terjadi dan bila ada
biasanya ringan. Talasemia -bo homozygot pada umumnya memerlukan tranfusi
secara reguler, tetapi ada kalanya berlangsung ringan dan memberikan gambaran
klinis seperti talasemia intermedia. Talasemia beta diantara orang negro (talasemia
beta 2) pada umumnya berlangsung ringan.
Pada talasemia intermedia dan minor sesuai dengan arti katanya didapatkan variasi
luas mengenai jenis gejala klinis. Talasemia intermedia fenotipik adalah talasemia
mayor tanpa adanya kerusakan gen. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih
ringan daripada talasemia mayor. Pada talasemia intermedia umumnya tidak ada
splenomegali. Anemia ringan, bila ada disebabkan oleh masa hidup eritrosit yang
memendek.
Pada talasemia trait umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas. Hanya di dapat
kelainan pada eritrosit dan atau hanya sebagian dari gejala yang didapat pada kasus
homozygot.

Gambaran klinis penyakit talasemia beta Hb E menyerupai talasemia mayor Hb dalam


hal ini terdiri dari HbE, HbF dan apabila ada Hb A1 dalam jumlah yang sedikit.
Talesemia mayor mulai menunjukkan gejala anemia pada masa bayi (kadang kadang
pada umur 3 bulan) pada waktu sintesis rantai -b menggantikan sintesis rantai - l.
Anak semakin pucat dan mengalami gangguan pertumbuhan sehingga makin nyata
tampak kecil, fragil. Lama lama perut membuncit karena splenomegali. Karena itu
setiap anak dengan pucat (terutama bila anemia berat), fragil, mungkin juga
ditemukan PEM I maka dia harus dicurigai menderita talasemia, mengingat Indonesia
adalah daerah sindrom talasemia. Pada pengamatan lebih dekat tampak muka
mongoloid dengan hipertolerisme, nasal bridge pesek; pada anak yang agak besar
mulut tonggos (rodent like mouth) akibat maksila yang lebih menonjol, bibir atas
agak terangkat. Splenomegali makin nyata dengan makin bertambahnya umur.
Hepatomegali umumnya ada, pasca splenektomi hepatomegali selalu ada dan
progresif. Limfadenopati jarang terjadi.
Pada masa remaja terjadi keterlambatan menarche dan pertumbuhan alat kelamin
sekunder, keterlambatan fungsi reproduksi. Dapat pula terjadi fraktur patologik, ulkus
kronik ditungkai bawah seperti pada anemia hemolitik kronik yang lain sebagai akibat
dari ekspansi eritropoesis. Terjadi distorsi tulang tulang muka sehingga dahi
menonjol, mulut tonggos, pertumbuhan gigi tidak teratur.
Hemosiderosis makin nyata pada dekade kedua kehidupan terutama pada penderita
yang sering mendapat tranfusi (sampai > 100 kali) dan tidak mendapat iron chelating
agent untuk mengeluarkan timbunan besi tubuh. Pada Rontgen tulang kepala tampak
gambaran hair on end korteks tipis bahkan tak tampak, diploe tampak seperti garis
garis tegak lurus pada lengkung tengkorak seperti gambaran singkat.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah tepi
-

Hb rendah dapat sampai 2 atau 3 gr%

- Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis


berat dengan makrovaloositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic

stippling, benda Howell jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini
lebih kurang khas.
-

Normoblas di daerah tepi terutama jenis asidofil (perhatikan normoblas


adalah sel darah merah yang masih berinti sehingga ikut terhitung pada
perhitungan lukosit dengan bilik hitung adalah AL lebih tinggi dari pada
sebenarnya)

Retikulosit meninggi

2. Susunan Tulang (tidak menentukan diagnosis)


- Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
- Granula Fe (dengan pengecatan prussian Blue) meningkat.
3. Pemeriksaan Khusus
- HbF meninggi : 20% - 90% Hb total (alkali denaturasi)
- Elektroforesis Hb untuk menunjukkan hemoglobinopati yang lain maupun
mengukur kadar HbF.
- Pemeriksaan pedigree untuk memastikan diagnosis : kedua orang tua pasien
telasemia mayor merupakan trait (carier) dengan Hb A2 meninggi (> 3,5 dari
Hb total)
4. Pemeriksaan Lain
- Foto Ro tulang kepala menunjukkan gambaran hair on end kortex menipis,
diploe melebar dengan traberkula tegak lurus pada kortex.
- Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang menunjukkan perluasan sumsum
tulang trabekula tampak jelas.
- Fragilitas eritrosit terhadap larutan NaCl menurun
- Bukti pasti fenotif talasemia adalah ketidakseimbangan produksi rantai
polipeptida globin (diagnosis molekuler)

H. Penatalaksanaan
I.

Medikamentosa

Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar


feritin serum sudah mencapai 1000 g/l atau saturasi transferin lebih
50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari
berturut setiap selesai transfusi darah.

Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk


meningkatkan efek kelasi besi.
Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin

200-400

IU

setiap

hari

sebagai

antioksidan

dapat

memperpanjang umur sel darah merah.


II. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:

limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,


menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
ruptur

hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah


atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan
dalam satu tahun.
III. Suportif
Transfusi darah :
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini
akan memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat, menurunkan tingkat
akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


Tumbuh kembang, kardiologi, Gizi, endokrinologi, radiologi, Gigi
I. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi,
sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, ku.lit, jantung
dan lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut. Limpa yang
besar mudah rupture akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang thalasemia disertai
oleh tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.

Kelebihan Fe (khususnya pada pemberian transfusi)

Komplikasi pada jantung, contoh constrictive pericarditis to heart failure and


arrhythmias.

Komplikasi pada hati, contoh hepatomegali sampai cirrhosis.

Komplikasi jangka panjang, contoh HCV.

Komplikasi hematologic, contoh VTE.

Komplikasi pada endokrin, seperti endokrinopati, DM.

Gagal tumbuh karena diversi dari sumber kalori untuk eritropoesis.

Fertil, seperti terjadi hypogonadotrophic hypogonadism dan gangguan kehamilan.

J. Asuhan Keperawatan Thalasemia


1) Pengkajian
a) Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah
(Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia
cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang
paling banyak diderita.
b) Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia
minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
c) Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
d) Pertumbuhan dan Perkembangan
Seiring didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang
sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak,
adalah kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan
anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering
terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e) Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah
dan tidak sesuai usia.
f) Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
g) Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah
orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko
terkena talasemia mayor.
h) Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu
diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
i) Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang
seusia.

Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan


mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka
mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar,

tulang dahi terlihat lebar.


Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
Mulut dan bibir terlihat kehitaman
Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya

pembesaran jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.


Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati

(hepatospek nomegali).
Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di

bawah normal
Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
tidak tercapai dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis
ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tapa

odolense karena adanya anemia kronik.


Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat
transfusi warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi
karena

adanya

penumpukan

zat

besi

dalam

jaringan

kulit

(hemosiderosis).
2) Diagnosa Keperawatan
o Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen seluler yang penting
untuk menghantarkan Oksigen/zat nutrisi ke sel.
o Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan kebutuhan pemakaian dan suplai
oksigen.
o Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kurangnya selera
makan.
o Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
sirkulasi dan neurologis.
o Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tak adekuat:
penurunan Hb, leukopeni atau penurunan granulosit.
o Perubahan tumbuh kembang berhubungan dengan penurunan kemampuan
fisik yang disebabkan oleh kelainan hematology dan efek penyakit dan terapi.
3) Intervensi

a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen


seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Tujuan:
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam , pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan adekuat ditandai Dengan Kriteria hasil :
Nadi perifer teraba,kulit hangat,tidak terjadi sianosis
Intervensi :

Awasi tanda vital,palpasi nadi perifer

Lakukan pengkajian neurofaskuler periodik misalnya sensasi,gerakan


nadi,warna kulit atau suhu

Berikan oksigen sesuai indikasi

Rasional:
Perubahan tanda vital,warna kulit dan membran mukosa menunjukkan tanda
perfusi jaringan serta emaksimalkan transfer oksigen ke jaringan.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai O2 dan kebutuhan.
Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan klien
mampu melakukan aktifitas shari2 dgn kriteria hasil: anak bermain dan
beristirahat dgan tnang srta dapat mlakukan aktivitas esuai kemampuan
Intervensi :

Kaji toleransi fisik anak dan bantu dlam aktivitas yg mlebihi toleransi
anak

Berikan anak aktifitas pengalihan mis bermain

Berikan anak periode tidur sesuai kondisi dan usia

Rasional :

Menentukan kemampuan atau kebutuhan klien

Aktifitas pgalihan dpat membantu anak mlakukan aktivitas sesuai


kemampuan

Istirahat yg cukup berguna untuk mempercepat pemulihan kemanpuan


anak

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan

untuk

mencerna

atau

ketidakmampuan

mencerna

makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel


darah merah normal.
Tujuan : menunjukkan pemahaman pentingnya nutrisi
Kriteria hasil :

mununjukan peningkatan bb progresif sesuai yang di inginkan

tidak adanya malnutrisi (kekurangan nutrisi)

Intervensi:

Pantau jumlah dan jenis intake dan output pasien

Timbang berat badan klien

Beri Health Education tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh

Kolaborasi dengan ahli gizi

Rasional:

Untuk mengetahui jenis dan jumlah asupan nutrisi yang penting bagi
pasien

Membantu menentukan keseimbangan nutrisi yang tepat

Untuk membantu pasien dan keluarga memahami pentingnya nutrisi


bagi tubuh

Untuk memberikan diet yang adekuat sesuai dengan kebutuhan pasien


yang mendukung proses penyembuhan.

d. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi


dan neurologis.
Kriteria hasil : Kulit utuh.
Intervensi :

Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna,


aritema dan ekskoriasi.

Ubah posisi secara periodik.

Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

Rasional :

Memberikan informasi dasar tentang peneneman dan kemungkinan


petunjuk tentang sirkulasi darah.

Menurunkan risiko infeksi infrak.

Gerakan jaringan dibawa dapat merubah posisi dan dapat mempengharui


penyembuhan optimal.

Perbaikan nutrisi akan mempercepat penyembuhan luka pada anak

Mengurangi jumlah Fe dalam tubuh.

Untuk mengi,bangi jumlah Fe yang tinggi dalam darah

e. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,


penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :

Tidak ada demam

Tidak ada drainage purulen atau eritema

Ada peningkatan penyembuhan luka

Intervensi :

Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.

Dorong perubahan ambulasi yang sering.

Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.

Pantau dan batasi pengunjung.

Pantau tanda-tanda vital.

Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik

ASUHAN KEPERAWATAN
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)
A. Pengertian
Ialah suatu keadaan perdarahan yang disifatkan oleh timbulnya petekia atau ekimosis
dikulit atau pun pada selaput lendir dan ada kalanya terjadi pada berbagai jaringan
dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Kelainan pada
kulit tersebut tidak disertai eritema, pembekaan atau peradangan. Kelainaan ini dahulu
dianggap merupakan suatu golongan penyakit dan disebut dengan berbagai nama
morbus makulosus Werlhofi, sindrom hemogenik, purpura trombositolitik. Disebut
idiopatik ialah untuk membedakan dengan kelainan yang dapat diketahui
penyebabnya dan biasanya disertai dengan kelainan hematologis lain seperti misalnya
anemia, kelainaan leukosit. Pada ITP biasanya tidak disertai anemia atau kelainan
lainnya kecuali bila banyak darah yang hilang karena pendarahan.
Perjalanan penyakit ITP dapat bersifat akut dan kemudian akan hilang sendiri (self
limited) atau menahun dengan atau tanpa remisi dan kambuh.

Pada penelitian

selanjutnya diketahui bahwa ITP merupakan suatu kelompok keadaan suatu gejala
yang sama tetapi berbeda patogenesisnya. Sering kali dijumpai pada anak dan dewasa
muda. Pada anak yang tersering ialah diantara umur 2-8 tahun. Lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki (perpandingan berkisar diantara 4 : 3 dan 2 : 1 serta
akan menjadi lebih nyata setelah pubertas).
ITP adalah suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit / selaput
lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang
tidak diketahui. (ITP pada anak tersering terjadi pada umur 2 8 tahun), lebih sering
terjadi pada wanita. (Kapita selekta kedokteran jilid 2). ITP adalah salah satu
gangguan perdarahan didapat yang paling umum terjadi. (Perawatan Pediatri Edisi 3).
ITP adalah syndrome yang di dalamnya terdapat penurunan jumlah trombosit yang
bersirkulasi dalam keadaan sum-sum normal. ITP adalah singkatan dari Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura. Idiopathic berarti tidak diketahui penyebabnya.
Thrombocytopenic berarti darah yang tidak cukup memiliki keping darah (trombosit).
Purpura berarti seseorang memiliki luka memar yang banyak (berlebihan). Istilah ITP

ini juga merupakan singkatan dari Immune Thrombocytopenic Purpura. (Family


Doctor, 2006).
Idiophatic (Autoimmune) Trobocytopenic Purpura (ITP/ATP) merupakan kelainan
autoimun dimana autoanti body IgG dibentuk untuk mengikat trombosit. Tidak jelas
apakah antigen pada permukaan trombosit dibentuk. Meskipun antibodi antitrombosit
dapat mengikat komplemen, trombosit tidak rusak oleh lisis langsung. Insident
tersering pada usia 20-50 tahum dan lebi serig pada wanita dibanding laki-laki (2:1).
(Arief mansoer, dkk).
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura) juga bisa dikatakan merupakan suatu
kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit yang jumlahnya menurun
sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi umumnya pada kulit
berupa bintik merah hingga ruam kebiruan. (Imran, 2008)
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan
diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela
dan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat ( asetosal, PAS, fenibultazon, diamox,
kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan faktor
pematangan ( misalnya malnutrisi), DIC ( misalnya pada DSS, leukimia, respiratory
distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini terutama
yang menahun merupakan penyakit autonium. Hal ini diketahui dengan ditemukannya
zat anti terhadap trombosit dalam darah penderita. Pada neonatus kadang-kadang
ditemukan trombositopenia neonatal yang disebabkan inkompatibilitas golongan
darah trombosit antara ibu dan bayi (isoimunisasi). Prinsip patogenesisnya sama
dengan inkompatibilitas rhesus atau ABO.
Jenis antibodi trombosit yang sering ditemukan pada kasus yang mempunyai dasar
imonologis ialah anti PIE1dan anti PIE2. Mencari kemungkinan penyabab ITP ini
penting untuk menentukan pengobatan, penilaian pengobatan dan prognosis.
Penyebab dari ITP tidak diketahui secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui
pembentukan antibodi yang menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati.
(Imran, 2008).
Penyakit ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi
yang menyerang trombositnya sendiri. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons

tubuh yang sehat terhadap bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi
untuk penderita ITP, antibodinya bahkan menyerang sel-sel keping darah ubuhnya
sendiri. (Family Doctor, 2006).
Meskipun pembentukan trombosit sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit
yang ada tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Pada sebagian besar kasus,
diduga bahwa ITP disebabkan oleh sistem imun tubuh. Secara normal sistem imun
membuat antibodi untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada ITP,
sistem imun melawan platelet dalam tubuh sendiri. Alasan sistem imun menyerang
platelet dalam tubuh masih belum diketahui. (ana information center, 2008).
ITP kemungkinan juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus, intoksikasi
makanan atau obat atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan
factor pematangan (misalnya malnutrisi), koagulasi intravascular diseminata (KID),
autoimun. Berdasarkan etiologi, ITP dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan
sekunder. Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang
atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih
dari 6 bulan (umunnya terjadi pada orang dewasa). (ana information center, 2008)
Selain itu, ITP juga terjadi pada pengidap HIV. sedangkan obat-obatan seperti heparin,
minuman keras, quinidine, sulfonamides juga boleh menyebabkan trombositopenia.
Biasanya tanda-tanda penyakit dan faktor-faktor yang berkatan dengan penyakit ini
adalah seperti yang berikut : purpura, pendarahan haid darah yang banyak dan tempo
lama, pendarahan dalam lubang hidung, pendarahan rahang gigi, immunisasi virus
yang terkini, penyakit virus yang terkini dan calar atau lebam.

C. INSIDEN
1.
Insidens puncak terdapat pada usia 2-6 tahun
2.
Gangguan ini mengenai laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama.
3.
Gangguan ini banyak terjadi pada orang yang berkulit putih.
4.
80% gangguan ini pada anak adalah dari jenis akut.
5.
Imsiden musiman lebih sering dalam musim dingin dan musim semi.
6.
50% - 85% anak yang terkena memiliki penyakit virus sebelumnya.
7.
10-25% anak-anak yang terkena menderita gangguan ini yang kronik.
Ada dua tipe ITP berdasarkan kalangan penderita.
1. Tipe pertama umumnya menyerang kalangan anak-anak, sedangkan tipe
lainnya menyerang orang dewasa. Anak-anak berusia 2 hingga 4 tahun yang

umumnya menderita penyakit ini. Sedangkan ITP untuk orang dewasa,


sebagian besar dialami oleh wanita muda, tapi dapat pula terjadi pada siapa
saja. ITP bukanlah penyakit keturunan. (Family Doctor, 2006).
2. ITP juga dapat dibagi menjadi dua, yakni akut ITP dan kronik ITP. Batasan
yang dipakai adalah waktu jika dibawah 6 bulan disebut akut ITP dan diatas 6
bulan disebut kronik ITP. Akut ITP sering terjadi pada anak-anak sedangkan
kronik ITP sering terjadi pada dewasa. (Imran, 2008)
Tabel Perbedaan ITP akut dengan ITP kronik (Bakta, 2006; Mehta, et. al, 2006)
ITP akut

ITP kronik

Awal penyakit
Rasio L:P
Trombosit
Lama penyakit

2-6 tahun
1:1
<20.000/mL
2-6 minggu

20-40 tahun
1:2-3
30.000-100.000/mL
Beberapa tahun

Perdarahan

Berulang

Beberapa hari/minggu

D. PATOFISIOLOGI
Purpura trombositiopenik idiopatik adalah salah satu gangguan perdarahaan didapat
yang paling umum erjadi. Purpura trombositopenik idiopatik adalah sindrom yang
didalamnya terdapat penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan
sumsum normal. Penyebab sebenarnya tidak diketahui, meskipun diduga disebabkan
oleh agens virus yang merusak trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului
oleh penyakit dengan demam ringan 1-6 minggu sebelum timbul gejala. Manifestasi
klinisnya sangat bervariasi. Gangguan ini dapat digolongkan menjadi tiga jenis
yaitu akut, kronis, dan kambuhan.
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibody terhadap gliko protein yang
terdapat pada membran trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang
diselimuti antibody, hal tersebut dilakukan oleh magkrofag yang terdapat pada limpa
dan organ retikulo endotelial lainnya. Megakariosit pada sumsum tulang bisa normal
atau meningkat pada ITP. Sedangkan kadar trombopoitein dalam plasma, yang
merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan
yang berarti, terutama pada ITP kronis.

Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemologis antara ITP akut dan kronis,
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya
trombsitopenia diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa
penghancursn trombosit meningkata karena adanya antibody yang dibentuk saat
terjadi respon imun terhadap infeksi bakteri atau virusatau paad imunisasi, yang
bereaksi silang dengan abtigen dari trombosit.
Mediator lainnya yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap produksi
trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan dalam
regulasi sistem imun seperti pada penyakit autoimun lainnya yang berakibat
terbentuknya antibodi spesifik terhadap antibodi.
Saat ini telah didefinisikan (GP) permukaan trombosit pada ITP, diantaranya GP Iblia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibodi antitrombosit meningkat pada ITP,
perbedaan secara pasti patofisiologi ITP akut dan kronis, serta komponen yang
terlibat dalam regulasinya masih belum diketahui.
Dalam tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya kecuali keping darah
berada dalam jumlah yang normal. Keping darah (Platelets) adalah sel-sel sangat
kecil yang menutupi area tubuh paska luka atau akibat teriris/terpotong dan
kemudian membentuk bekuan darah. Seseorang dengan keping darah yang terlalu
sedikit dalam tubuhnya akan sangat mudah mengalami luka memar dan bahkan
mengalami perdarahan dalam periode cukup lama setelah mengalami trauma luka.
Kadang bintik-bintik kecil merah (disebut Petechiae) muncul pula pada permukaan
kulitnya. Jika jumlah keping darah atau trombosit ini sangat rendah, penderita ITP
bisa juga mengalami mimisan yang sukar berhenti, atau mengalami perdarahan
dalam organ ususnya. (Family Doctor, 2006)
Idiopatik trombositopeni purpura disebut sebagai suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
kurang dari 15.000/L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit
menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di
limpa. Atau dapat diartikan bahwa idiopatik trombositopeni purpura adalah kondisi
perdarahan dimana darah tidak keluar dengan semestinya. Terjadi karena jumlah
platelet atau trombosit rendah. Sirkulasi platelet melalui pembuluh darah dan
membantu penghentian perdarahan dengan cara menggumpal. Idiopatik sendiri
berarti bahawa penyebab penyakit tidak diketahui.

Trombositopeni adalah jumlah trombosit dalam darah berada dibawah normal.


Purpura adalah memar kebiruan disebabkan oleh pendarahan dibawah kulit. Memar
menunjukkan bahwa telah terjadi pendarahan di pembuluh darah kecil dibawah
kulit. (Ana information center, 2008).
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2-4m.
Trombosit dibentuk di sumsum tulang dari megakariosit, sel yang sangat besar
dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang yang memecah menjadi
trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki kapiler darah,
khususnya ketika mencoba untuk memasuki kapiler paru. Tiap megakariosit
menghasilkan kurang lebih 4000 trombosit (Ilmu Penyakit Dalam Jilid II).
Megakariosit tidak meninggalkan sumsum tulang untuk memasuki darah.
Konsentrasi normal trombosit ialah antara 150.000 sampai 350.000 per mikroliter.
Volume rata-ratanya 5-8fl. Dalam keadaan normal, sepertiga dari jumlah trombosit
itu ada di limpa. Jumlah trombosit dalam keadaan normal di darah tepi selalu kurang
lebih konstan. Hal ini disebabkan mekanisme kontrol oleh bahan humoral yang
disebut trombopoietin. Bila jumlah trombosit menurun, tubuh akan mengeluarkan
trombopoietin lebih banyak yang merangsang trombopoiesis.
E. WOC

F. Manifestasi Klinis
a. Bintik-bintik merah pada kulit (terutama di daerah kaki), seringnya bergerombol
dan menyerupai rash. Bintik ters ebut ,dikenal dengan petechiae, disebabkan
karena adanya pendarahan dibawah kulit .
b. Memar atau daerah kebiruan pada kulit atau membran mukosa (seperti di bawah
mulut) disebabkan pendarahan di bawah kulit. Memar tersebut mungkin terjadi
tanpa alasan yang jelas.
c. Memar tipe ini disebut dengan purpura. Pendarahan yang lebih sering dapat
membentuk massa tiga - dimensi yang disebut hematoma.
d. Hidung mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi.
e. Ada darah pada urin dan feses.
f. Beberapa macam pendarahan yang sukar dihentikan dapat menjadi tanda ITP.

g. Termasuk menstruasi yang berkepanjangan pada wanita.


h. Pendarahan pada otak jarang terjadi, dan gejala pendarahan pada otak dapat
menunjukkan tingkat keparahan penyakit.
i. Jumlah platelet yang rendah akan menyebabkan nyeri, fatigue (kelelahan), sulit
berkonsentrasi, atau gejala yang lain.
j. Pada anak-anak terdapat gejala yang sering muncul;
o Demam
o Perdarahan
o Petekia
o Purpura dengan trombositopenia
o Anemia.
Pronosis baik, terutama pada anak-anak dengan gangguan bentuk akut.
k. Masa prodormal
o keletihan, demam, dan yeri abdomen.
o Secara spontan timbul petekia dan ekimosis pada kulit.
o Mudah memar.
o Epistaksis (gejala awal pada sepertiga anak)
o Menoragia.
o Hematuria (jaarang).
o Perdarahan dari rongga mulut (jarang)
o Melena (jarang)

G. Pemeriksaan Penunjang
Yang khas ialah trombositopenia. Jumlah trombosit dapat mencapai nol. Anemia
biasanya normositik dan sesuai dengan jumlah darah yang hilang. Bila telah
berlangsung lama maka dapat berjenis mikrositik hipokromik. Bila sebelumnya
terdapat pendarahan yang cukup hebat, dapat terjadi anemia mikrositik. Leukosit
biasanya normal, tetapi bila terdapat perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis
ringan dengan pergeseran ke kiri. Pada keadaan yang lama dapat ditemukan
limfositosis relatif atau bahkan leukopenia ringan.
Sumsum tulang biasanya memberikan gambaran yang normal, tetapi jumlah dapat
pula bertambah, banyak dijumpai megakariosit muda berinti metamegalial-uariosit
satu, setoplasma lebar dan granulasi sedikit (megakariosit yang mengandung
trombosit) jarang ditemukan, sehingga terdapat maturation arrest pada stadium
megakariosit.
Sistem lain biasanya normal, kecuali bila terdapat perdarahan hebat dapat ditemukan
hiperatif sistem eritropoetik. Beberapa penyelidik beranggapan bahwa ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak (lebih dari normal) merupakan petunjuk bahwa
prognosis penyakit baik.
Selain kelainan hematologis diatas, mekanisme pembekuaan memberikan kelainan
berupa masa perdarahan memanjang, rumpel-reede umumnya positif,tetapi masa
pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal dan prothrombin consumptian
time memendek. Pemeriksaan lainnya normal.
Dari rincian diatas, maka berikut ini macam pemeriksaannya:
a. Hitung darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan
hemoglobin, hematokrit, trombosit (trombosit di bawah 20 ribu / mm3).
b. Anemia normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
c. Leukosit biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi
leukositosis. Ringan pada keadaan lama: limfositosis relative dan leucopenia
ringan.
d. Sum-sum tulang biasanya normal, tetapi megakariosit muda dapat bertambah
dengan maturation arrest pada stadium megakariosit.
e. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan
abnormal, prothrombin consumption memendek, test Rumple leed (+).
H. Pencegahan
Idiopatik Trombositopeni Purpura (ITP) tidak dapat dicegah, tetapi dapat dicegah
komplikasinya. Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang
dapat mempengaruhi platelet dan meningkatkan risiko pendarahan.

Lindungi dari luka yang dapat menyebabkan memar atau pendarahan. Lakukan
terapi yang benar untuk infeksi yang mungkin dapat berkembang. Konsultasi ke
dokter jika ada beberapa gejala infeksi, seperti demam. Hal ini penting bagi
pasien dewasa dan anak-anak dengan ITP yang sudah tidak memiliki limfa.
Karena penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan
terhadap ITP pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup
yang bisa dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang
normal lainnya. Salah satunya menghindari kegiatan-kegiatan keras yang berisiko
menyebabkan luka perdarahan. Supaya tidak memperburuk kondisi pasien ITP
saja.
I. Penatalaksanaan
ITP akut
- Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan.
- Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteraid (prednison) peroral
dengan atau tanpa transfusi darah.
Bila setelah 2 minggu tanpa pengobata belum terlihat tanda kenaikan
jumlah trombosit, dapat dianjurkan pemberian kortikosteroid karena
-

biasanya perjalanan penyakit sudah menjurus kepada ITP menahun.


Pada trombositopenia yang disebabkan oleh DIC, dapat diberikan heparin
intravena.pada

pemberian

heparin

ini

sebaiknya

selalu

disiapkan

antidotumnya yaitu protamin sulfat.


Bila keadaan sangat gawat (perdarahan otak) hendaknya diberikan tranfusi

suspensi trombosit.
ITP menahun
- Kortikosteroid, diberikan selama 6 bulan.
- Obat imunosupresif (misalnya 6-merkaptopurin, azation, siklofosfamid).
Pemberian obat golongan ini didasarkan atas adanya peranan proses
imunologis pada ITP menahun.
- Splenekotomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan obat
iminosupresif selama 2-3 bulan. Kasus ini seperti dianggap telah resisten
terhadap prednison dan obat imunosupresif, sebagai akibat produks antibodi
terhadap trombosit yang berlebihan oleh limpa. Splenektomi seharusnya
dikerjaka dalam waktu 1 tahun sejak permulaan timbulnya penyakit, karena
akan memberikan angka remisi sebesar 60-80%. Spelenektomi yang
dilakukan terlambat hanya memberikan angka remisi sebesar 50%.
1. Indikasi splenektomi :
- Resisten setelah pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat
imunosupresif selama 2-3 bulan.

Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian

kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat.


Penderita yang menunjukkan respons terhadap kortikosteroid
namun memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan

keadaan klinis yang baik tanpa adanya perdarahan.


2. Indinkasi kontra splenektomi :
- Sebaiknya splenektomi dilakukan setelah anak berumur lebih
dari 2 tahun, karena sebelum 2 tahun fungsi limfa terdapat infeksi
belum dapat diambil alih oleh alat tubuh yang lain ( hati, kelenjar
getah bening,tinus). Hal ini hendaknya diperhatikan, terutama
dinegeri yang sedang berkembang karena mortalitas dan
o

morbiditas akibat infeksi masih tinggi.


Dosis Obat Yang Dipakai
1. Prednison : 2-5 mg/kgbb/hari peroral. Hati-hati terhadap akibat samping
karena pemberian yang lama (tuberkulosis, penambahan kalium dan
2.
3.
4.
5.

pengurangan natrium dalam diet, pemberian ACTH pada waktu tertentu).


Merkaptopurin : 2,5-5 mg/kgbb/hari peroral.
Azatioparin (imuran): 2-4 mg/kgbb/hari peroral.
Siklofosfamid (endoxan): 2 mg/kgbb/hari peroral.
Heparin: 1 mg/kgbb intravena, dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kgbb perinfus
selama 4 jam sampai tercapai masa pembekuan lebih dari 30 menit ( 1 mg

ekuivalen dengan 100 U)


6. Protamin sulfat : dosis sama banyak dengan jumlah mg heparin yang telah
diberikan. Pemberiannya secara intravena.
7. Transfusi darah: umumnya 10-15 ml/kgbb/hari. Dapat diberikan lebih banyak
pada perdarahan yang masif.
J. Komplikasi
a. Reaksi tranfusi
b. Relaps.
c. Perdarahan susunan saraf pusat (kurang dari 1% kasus yang terkena)
d. Efek samping dari kortikosteroid
e. Infeksi pneumococcal. Infeksi ini biasanya didapat setelah pasien mendapat
terapi splenektomi. Penderita juga umumnya akan mengalami demam sekitar
38.80C.

K. Asuhan Keperawatan ITP


1) Pengkajian
a. Asimtomatik sampai jumlah trombosit menurun di bawah 20.000.
b. Tanda-tanda perdarahan.
Petekie terjadi spontan.
Ekimosis terjadi pada daerah trauma minor.
Perdarahan dari mukosa gusi, hidung, saluran pernafasan.
Menoragie.
Hematuria.
Perdarahan gastrointestinal.
c. Perdarahan berlebih setelah prosedur bedah.
d. Aktivitas / istirahat.
- Gejala :
o keletihan, kelemahan, malaise umum.
o toleransi terhadap latihan rendah.
- Tanda :
o takikardia / takipnea, dispnea pada beraktivitas / istirahat.
o kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
e. Sirkulasi.
- Gejala :
o riwayat kehilangan darah kronis, misalnya perdarahan GI kronis,
menstruasi berat.
o palpitasi (takikardia kompensasi).
- Tanda :
o TD: peningkatan sistolik dengan diastolic stabil.
f. Integritas ego.
- Gejala :
o keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan:
enolakan transfuse darah.
- Tanda : depresi.
g. Eliminasi.
- Gejala :
o Hematemesis, feses dengan darah segar, melena, diare, konstipasi.
- Tanda :
o distensi abdomen.
h. Makanan / cairan.
- Gejala :
o penurunan masukan diet.
o mual dan muntah.
- Tanda :
o turgor kulit buruk, tampak kusut, hilang elastisitas.
i. Neurosensori.
- Gejala :
o sakit kepala, pusing.

o kelemahan, penurunan penglihatan.


- Tanda :
o epistaksis.
o mental: tak mampu berespons (lambat dan dangkal).
j. Nyeri / kenyamanan.
- Gejala :
o nyeri abdomen, sakit kepala.
- Tanda :
o takipnea, dispnea.
k. Pernafasan.
- Gejala :
o nafas pendek pada istirahat dan aktivitas.
- Tanda :
o takipnea, dispnea.
l. Keamanan
- Gejala : penyembuhan luka buruk sering infeksi, transfuse darah
-

sebelumnya.
Tanda : petekie, ekimosis.

2) Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan penurunan
kapasitas pembawa oksigen darah.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
e. Kurang pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
3) Intervensi Keperawatan
a. Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan:
Menghilangkan mual dan muntah
Kriteria Hasil:
Menunjukkan berat badan stabil
Intervensi keperawatan:
1) Berikan nutrisi yang adekuat secara kualitas maupun kuantitas.
Rasional : mencukupi kebutuhan kalori setiap hari.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.

Rasional : porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan yang sesuai


dengan kalori.
3) Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan setiap hari.
Rasional : anoreksia dan kelemahan dapat mengakibatkan penurunan berat
badan dan malnutrisi yang serius.
4) Lakukan konsultasi dengan ahli diet.
Rasional : sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
5) Libatkan keluarga pasien dalam perencanaan makan sesuai dengan
indikasi.
Rasional : meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi
pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan
nutrisi ke sel.
Tujuan:
Tekanan darah normal.
Pangisian kapiler baik.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan perbaikan perfusi yang dibuktikan dengan TTV stabil.
Intervensi keperawatan:
1) Awasi TTV, kaji pengisian kapiler.
Rasional : memberikan informasi tentang derajat/ keadekuatan perfusi
jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.
2) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan
oksigenasi untuk kebutuhan seluler.
3) Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangasang.
Rasional : dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena
hipoksia.
4) Awasi upaya parnafasan, auskultasi bunyi nafas.
Rasional : dispne karena regangan jantung lama / peningkatan
kompensasi curah jantung.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan
penurunan kapasitas pembawa oksigen darah.
Tujuan: Mengurangi distress pernafasan.
Kriteria Hasil:
Mempertahankan pola pernafasan normal / efektif
Intervensi keperawatan:
1) Kaji / awasi frekuensi pernafasan, kedalaman dan irama.

Rasional : perubahan (seperti takipnea, dispnea, penggunaan otot


aksesoris)

dapat

menindikasikan

berlanjutnya

keterlibatan

pengaruh pernafasan yang membutuhkan upaya intervensi.


2) Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman.
Rasional : memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja
pernafasan dan menurunkan resiko aspirasi.
3) Beri posisi dan Bantu ubah posisi secara periodic.
Rasional : meningkatkan areasi semua segmen paru dan
mobilisasikan sekresi.
4) Bantu dengan teknik nafas dalam.
Rasional : membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan
nafas kecil.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan: Meningkatkan partisipasi dalam aktivitas.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi keperawatan:
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas normal, catat
laporan kelemahan, keletihan.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi.
2) Awasi TD, nadi, pernafasan.
Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru
untuk emmbawa jumlah oksigen ke jaringan.
3) Berikan lingkungan tenang.
Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan
oksigen tubuh.
4) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
Rasional : hipotensi postural / hipoksin serebral menyebabkan
pusing, berdenyut dan peningkatan resiko cedera.
e. Kurang pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
Tujuan:
Pemahaman dan penerimaan terhadap program pengobatan yang
diresepkan.
Kriteria Hasil:
Menyatakan pemahaman proses penyakit.
Paham akan prosedur dagnostik dan rencana pengobatan.
Intervensi keperawatan:
1) Berikan informasi tntang ITP. Diskusikan kenyataan bahwa terapi
tergantung pada tipe dan beratnya ITP.

Rasional : memberikan dasar pengetahuan sehingga keluarga / pasien


dapat membuat pilihan yang tepat.
2) Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.
Rasional : ketidak tahuan meningkatkan stress.
3) Jelaskan bahwa darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium
tidak akan memperburuk ITP.
Rasional : merupakan kekwatiran yang tidak diungkapkan yang dapat
memperkuat ansietas pasien / keluarga.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN LEUKEMIA


DAN REUMATOID HEART DISEASE

DISUSUN OLEH

KELOMPOK

: 3

NAMA ANGGOTA

1.
2.
3.
4.
5.

Alqna miftasyah
Elba habiburrahma
Nidya okdwiana
Nur asri wulan dari
Roy yini

KELAS

: 2. AB

D\OSEN PEMBIMBING

: ANTARINI INDRIANSARI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBNG
JURUSAN DIV KEPERAWATAN
2015

PEMBAHASAN LEUKIMIA

2.1 Pengertian

Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk
darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum
tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ).
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam
membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain. (Arief Mansjoer,
dkk, 2002 : 495).
Berdasarkan dari beberapa pengetian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh prolioferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang
menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.

2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
a. Faktor genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (Tcell
Leukemia Lhymphoma Virus/ HLTV).
b. Radiasi
c. Obat-obat imunosupresif, obat-obat kardiogenik seperti diethylstilbestrol.
d. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot.
e. Kelainan kromosom, misalnya pada down sindrom. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001 :
hal. 177)
Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis leukemia
tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya
benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang
memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih
peka terhadap leukemia.

2.3 Gambaran Klinik

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut :
a. Pilek tidak sembuh-sembuh
b. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
c. Demam dan anorexia
d. Berat badan menurun
e. Ptechiae, memar tanpa sebab
f.

Nyeri pada tulang dan persendian

g. Nyeri abdomen
h. Lumphedenopathy
i.

Hepatosplenomegaly

j.

Abnormal WBC
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177)

2.4 Insiden
ALL (Acute Lymphoid Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada anak-anak
yang berusia antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik
daripada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan
angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih rendah.
ANLL (Acute Nonlymphoid Leukemia) mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia
pada anak. Resiko terkena penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan
kromosom bawaan seperti Sindrom Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi
(angka remisi 70%). Remisinya lebih singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima puluh persen
anak yang mengalami pencangkokan sumsum tulang memiliki remisi berkepanjangan. (Betz,
Cecily L. 2002. hal : 300).

2.5 Patofisiologi
a. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya
proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan
anemia dan trombositipenia.

4
b. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan
tubuh dan mudah mengalami infeksi.

c. Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem
saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yangt akan
berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan
jaringan.
d. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus
limfe, dan nyeri persendian. (Suriadi, & Yuliani R, 2001: hal. 175)

Patoflow.

2.6 Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik

1. Hitung darah lengkap complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC kurang dari
10.000/mm3 saat didiagnosis memiliki memiliki prognosis paling baik; jumlah lekosit lebih
dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
2.

Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat

3.

Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum.

4.

Aspirasi sumsum tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis.

5.

Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang.

6.

Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik.

7.

Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan.(Betz, Cecily L. 2002. hal : 301-302).

2.6 Penatalaksanaan Medis


Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada
anak. Proses induksi remisi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan.
Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai agens kemoterapeutik
untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2 sampai 3 minggu selama fase
konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem saraf pusat dan organ vital lain. Terapi
rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi.
Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison (antiinflamasi),
vinkristin (antineoplastik), asparaginase (menurunkan kadar asparagin (asam amino untuk
pertumbuhan tumor), metotreksat (antimetabolit), merkaptopurin, sitarabin (menginduksi remisi
pada pasien dengan leukemia granulositik akut), alopurinol, siklofosfamid (antitumor kuat), dan
daunorubisin (menghambat pembelahan sel selama pengobatan leukemia akut). (Betz, Cecily L.
2002. : 302).

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


LEUKEMIA
Menurut American Nursing Association (ANA) proses keperawatan adalah suatu metode
yang sistematis yang diberikan kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan berfokus pada
respon unik dari individu, keluarga, dan masyarakat terhadap masalah kesehatan yang potensial
maupun aktual. ( Marilynn E. Doengoes, dkk .2000 : 6 ). Di dalam memberikan asuhan keperawatan
terdiri dari beberapa tahap atau langkah-langkah proses keperawatan yaitu ; pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat
dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi
Anna Keliat, 1994)
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :

1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali
f.

Kaji adanya pembesaran testis

g. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri
(Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 17
2. Patofisiologi dan Penyimpangan KDM

Proliferasi sel kanker


Sel kanker bersaing dengan sel normal
Untuk mendapatkan nutrisi
Infiltrasi
Sel normal digantikan dengan Sel kanker
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut The North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) adalah suatu penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas
terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan
memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan dimana
perawat bertanggung jawab (Wong,D.L, 2004 :331).
Menurut Wong, D.L (2004 :596 610) , diagnosa pada anak dengan leukemia adalah:
a. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
c. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
d. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
e. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping agen
kemoterapi

f.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise,
mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis

g. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukaemia


h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi,
imobilitas.
i.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada penampilan.

j.

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita leukemia.

k. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak.

4. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau intervensi untuk mencapai


tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk
perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan
oleh perawat. Berdasarkan diagnosa yang ada maka dapat disusun rencana keperawatan
sebagai berikut (Wong,D.L,2004):
a. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
1) Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
2) Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
3) Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan teknik
mencuci tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
4) Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat
penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
5) Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
6) Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
7) Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia

Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh


8) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
a)Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala
aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
b)Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau
penyambungan jaringan
c)Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau
dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi
d)Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
c. Resiko terhadap cedera/perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah
trombosit
Tujuan : klien tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
Intervensi :
a)Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada daerah
ekimosis
Rasional : karena perdarahan memperberat kondisi anak dengan adanya anemia
b) Cegah ulserasi oral dan rectal
Rasional : karena kulit yang luka cenderung untuk berdarah
c) Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
Rasional : untuk mencegah perdarahan
d) Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut
Rasional : untuk mencegah perdarahan
e) Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi
cepat, dan pucat)
Rasional : untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan
f) Hindari obat-obat yang mengandung aspirin

Rasional : karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit


g) Ajarkan orang tua dan anak yang lebih besar ntuk mengontrol perdarahan hidung
Rasional : untuk mencegah perdarahan
d. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan :
- Tidak terjadi kekurangan volume cairan
- Pasien tidak mengalami mual dan muntah
Intervensi :
a)Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
b)Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
c)Kaji respon anak terhadap anti emetic
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
d)Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
e)Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f)Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
g)Rasional : untuk mempertahankan hidrasi
e. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek
samping agen kemoterapi
Tujuan : pasien tidak mengalami mukositis oral
Intervensi :
a)Inspeksi mulut setiap hari untuk adanya ulkus oral
Rasional : untuk mendapatkan tindakan yang segera
b)Hindari mengukur suhu oral
Rasional : untuk mencegah trauma
c)Gunakan sikat gigi berbulu lembut, aplikator berujung kapas, atau jari yang
dibalut kasa
Rasional : untuk menghindari trauma
d)Berikan pencucian mulut yang sering dengan cairan salin normal atau tanpa larutan
bikarbonat
Rasional : untuk menuingkatkan penyembuhan

e)Gunakan pelembab bibir


Rasional : untuk menjaga agar bibir tetap lembab dan mencegah pecah-pecah (fisura)
f)Hindari penggunaan larutan lidokain pada anak kecil
Rasional : karena bila digunakan pada faring, dapat menekan refleks muntah yang
mengakibatkan resiko aspirasi dan dapat menyebabkan kejang
g)Berikan diet cair, lembut dan lunak
Rasional : agar makanan yang masuk dapat ditoleransi anak
h)Inspeksi mulut setiap hari
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
i)Dorong masukan cairan dengan menggunakan sedotan
Rasional : untuk membantu melewati area nyeri
j)Hindari penggunaa swab gliserin, hidrogen peroksida dan susu magnesia
Rasional : dapat mengiritasi jaringan yang luka dan dapat membusukkan gigi,
memperlambat penyembuhan dengan memecah protein dan dapat mengeringkan
mukosa
k)Berikan obat-obat anti infeksi sesuai ketentuan
Rasional : untuk mencegah atau mengatasi mukositis
l)Berikan analgetik
Rasional : untuk mengendalikan nyeri
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia,
malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Intervensi :
a)Dorong orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual
dan muntah serta kemoterapi
b)Izinkan anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
c)Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
d)Izinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan

e)Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering


Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f)Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk
menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam
mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
g)Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori,
khususnya bila BB dan pengukuran antropometri kurang dari normal
g. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukaemia
Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat
yang dapat diterima anak
Intervensi :
a)Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau
keefektifan intervensi
b)Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat
akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c)Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
d)Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e)Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri
h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,
radioterapi, imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a)Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b)Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c)Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan

Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit


d)Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi
dalam area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e)Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f)Dorong masukan kalori protein yang adekuat
13
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negatif
g)Pilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan
i. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada
penampilan
Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan perilaku koping positif
Intervensi :
a)Dorong anak untuk memilih wig (anak perempuan) yang serupa gaya dan warna
rambut anak sebelum rambut mulai rontok
Rasional : untuk membantu mengembangkan penyesuaian rambut terhadap
kerontokan rambut
b)Berikan penutup kepala yang adekuat selama pemajanan pada sinar matahari, angin
atau dingin
Rasional : karena hilangnya perlindungan rambut
c)Anjurkan untuk menjaga agar rambut yang tipis itu tetap bersih, pendek dan halus
Rasional : untuk menyamarkan kebotakan parsial
d)Jelaskan bahwa rambut mulai tumbuh dalam 3 hingga 6 bulan dan mungkin warna
atau teksturnya agak berbeda
Rasional : untuk menyiapkan anak dan keluarga terhadap perubahan
penampilan rambut baru
e)Dorong hygiene, berdan, dan alat alat yang sesuai dengan jenis kelamin , misalnya
wig, skarf, topi, tata rias, dan pakaian yang menarik
Rasional : untuk meningkatkan penampilan
j. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita
leukaemia

Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan pengetahuan tentang prosedur diagnostik


atau terapi
Intervensi :
a)Jelaskan alasan setiap prosedur yang akan dilakukan pda anak
Rasional : untuk meminimalkan kekhawatiran yang tidak perlu
b)Jadwalkan waktu agar keluarga dapat berkumpul tanpa gangguan dari staff
Rasional : untuk mendorong komunikasi dan ekspresi perasaan
c)Bantu keluarga merencanakan masa depan, khususnya dalam membantu anak
menjalani kehidupan yang normal
Rasional : untuk meningkatkan perkembangan anak yang optimal
d)Dorong keluarga untuk mengespresikan perasaannya mengenai kehidupan anak
sebelum diagnosa dan prospek anak untuk bertahan hidup
Rasional : memberikan kesempatan pada keluarga untuk menghadapi rasa takut secara
realistis
e)Diskusikan bersama keluarga bagaimana mereka memberitahu anak tentang hasil
tindakan dan kebutuhan terhadap pengobatan dan kemungkinan terapi tambahan
Rasional : untuk mempertahankan komunikasi yang terbuka dan jujur
f)Hindari untuk menjelaskan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
Rasional : untuk mencegah bertambahnya rasa khawatiran keluarga
k. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak
Tujuan : pasien atau keluarga menerima dan mengatasi kemungkinan kematian anak
Intervensi :
a)Kaji tahapan berduka terhadap anak dan keluarga
Rasional : pengetahuan tentang proses berduka memperkuat normalitas perasaan atau
reaksi terhadap apa yang dialami dan dapat membantu pasien dan keluarga lebih
efektif menghadapi kondisinya
b)Berikan kontak yang konsisten pada keluarga
Rasional : untuk menetapkan hubungan saling percaya yang mendorong komunikasi
c)Bantu keluarga merencanakan perawatan anak, terutama pada tahap terminal
Rasional : untuk meyakinkan bahwa harapan mereka diimplementasikan
d)Fasilitasi anak untuk mengespresikan perasaannya melalui bermain
Rasional : memperkuat normalitas perasaan atau reaksi terhadap apa yang dialami
5.

Implementasi

Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang


telah dibuat untuk mencapai hasil yang efektif. Dalam pelaksanaan implementasi
keperawatan, penguasaan keterampilan dan pengetahuan harus dimiliki oleh setiap perawat
sehingga pelayanan yang diberikan baik mutunya. Dengan demikian tujuan dari rencana yang
telah ditentukan dapat tercapai (Wong. D.L.2004:hal.331).
6.

Evaluasi
Evaluasi adalah suatu penilaian terhadap keberhasilan rencana keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien. Menurut Wong. D.L, (2004 hal 596-610) hasil yang
diharapkan pada klien dengan leukemia adalah :
a. Anak tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Berpartisipasi dalam aktifitas sehari-sehari sesuai tingkat kemampuan, adanya laporan
peningkatan toleransi aktifitas.
c. Anak tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan.
d. Anak menyerap makanan dan cairan, anak tidak mengalami mual dan muntah
e. Membran mukosa tetap utuh, ulkus menunjukkan tidak adanya rasa tidak nyaman
f.

Masukan nutrisi adekuat

g. Anak beristirahat dengan tenang, tidak melaporkan dan atau menunjukkan bukti-bukti
ketidaknyamanan, tidak mengeluhkan perasaan tidak nyaman.
h. Kulit tetap bersih dan utuh
i.

Anak mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan kerontokan rambut, anak


membantu menentukan metode untuk mengurangi efek kerontokan rambut dan
menerapkan metode ini dan anak tampak bersih, rapi, dan berpakaian menarik.

j.

Anak dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang prosedur, keluarga menunjukkan


pengetahuan tentang penyakit anak dan tindakannya. Keluarga mengekspresikan perasaan
serta kekhawatirannya dan meluangkan waktu bersama anak.

k. Keluarga tetap terbuka untuk konseling dan kontak keperawatan, keluarga dan anak
mendiskusikan rasa takut, kekhawatiran, kebutuhan dan keinginan mereka pada tahap
terminal, pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat.

PEMBAHASAN REUMATOID HEART DISEASE


3. 1. DEFINISI
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease
(RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh,
terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme streptococcus hemolitic-b grup
A (Pusdiknakes, 1993). Demam reumatik adalah suatu sindroma penyakit radang yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi tenggorok oleh steptokokus beta hemolitikus golongan A, mempunyai
kecenderungan untuk kambuh dan dapat menyebabkan gejala sisa pada jantung khususnya katub
(LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak, 1994)
Demam reumatik akut ditandai oleh demam berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang
cepat lelah. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini
jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Penyakit ini
cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan
dewasa muda di seluruh dunia.

3.2 ETIOLOGI
Disebabkan oleh karditis rheumatic akut dan fibrosis, dan beberapa factor predisposisi
lainnya, menurut LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak, 1994;83seperti :
1.

Faktor Genetik

Banyak penyakit jantung rheumatic yang terjadi pada satu keluarga maupun pada anak-anak
kembar, meskipun pengetahuan tentang factor genetic pada penyakit jantung rheumatic ini tidak

lengkap, namun pada umumnya disetujui bahwa ada factor keturunan pada penyakit jantung
rheumatic, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan

2.

Jenis Kelamin

Dahulu sering dinyatakan bahwa lebih sering didapatkan pada anak wanita dibanding anak lakilaki, tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin.Kelainan katub
sebagai gejala sisa penyakit jantung rheumatic menunjukkan perbedaan jenis kelamin.Pada orang
dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral sering didapatkan pada wanita. Sedangkan insufisiensi
aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki
3.

Golongan Etnik dan Ras

Di Negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah penyakit jantung
rheumatic akut, tetapi di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organic yang berat sering kali
tejadi dalam waktu yang singkat, hanya 6 bulan 3 tahun.
4.

Umur

Umur agaknya merupakan factor predisposisi terpenting pada timbulnya penyakit jantung
rheumatic, penyakit ini paling sering mengenai anak berumur 5-18 tahun dengan puncak sekitar
umur 8 tahun, tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun

3.3.KOMPLIKASI
Komplikasi rheumatic heart disease menurut LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak, 1994;88 adalah:
a.

Kambuh demam reumatik

b.

Gagal jantung

c.

Endokarditis bakterial subakut

d.

Fibrilasi atrium

e.

Pembentukan trombus yang dapat lepas atau menimbulkan obstruksi

f.

Robekan korda tendiena

3.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Rheumatic Heart Disease menurut LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak,
1994;83 adalah: Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik biasanya didahului oleh
radang saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh infeksi streptokokus beta-hemolitikus
golongan A, sehingga kuman termasuk dianggap sebagai penyebab demam reumatik akut.
Infeksi tenggorokan yang terjadi bisa berat, sedang, ringan, atau asimtomatik, diikuti fase laten
(asimtomatik) selama 1 sampai 3 minggu. Baru setelah itu timbul gejala-gejala demam
reumatik akut. Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti hubungan langsung antara
infeksi streptokokus dengan gejala demam reumatik akut. Yang masih dianut dengan sekarang
adalah teori autoimunitas. Produk streptokokus yang antigenik secara difusi keluar dari sel-sel
tenggorok dan merangsang jaringan limfoid untuk membentuk zat anti. Beberapa antigen
streptokokus, khususnya Streptolisin O dapat mangadakan reaksi-antibodi antara zat anti
terhadap streptokokus dan jaringan tubuh. Pada demam reumatik dapat terjadi keradangan
berupa reaksi eksudatif maupun proliferatif dengan manifestasi artritis, karditis, nodul
subkutan eritema marginatum dan khorea. Kelainan pada jantung dapat berupa endokarditis,
miokarditis, dan perikarditis.
Pathway :

3.5

PROGNOSIS
Prognosis RHD terdiri dari lama penyakit, kesempatan komplikasi dari penyakit, kemungkinan
hasil, prospek untuk pemulihan, pemulihan periode untuk penyakit, harga hidup, tingkat
kematian, dan hasil kemungkinan lainnya dalam keseluruhan prognosa dari penyakit jantung
reumatik.

3.6

KLASIFIKASI
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantun reumatik dapat dibagi dalam 4
stadium menurut Ngastiyah, 1995:99 adalah:
1.

Stadium I

Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A. Keluhan
: Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang
disertai eksudat
2.

Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten,ialah masa antara infeksi streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu,kecuali korea
yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
3.

Stadium III

Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya
berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik.Manifestasi klinis
tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam
reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia, Lekas tersinggung, Berat
badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis, Athralgia, Rasa sakit disekitar sendi, Sakit perut
4.

Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif.Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung
/ penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala
yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan.Pasa fase ini baik penderita demam
reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya.
3.7

MANIFESTASI KLINIS
Untuk menegakkan diagnose demam dapat digunakan criteria Jones yaitu:
a.

Kriteria mayor:
1. Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah pindah, radang sendi
sendi besar, lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku (Poliartitis migran).
2.

Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis)

3.

Eritema Marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.

4.

Nodul Subkutan
Terletak pada permukaan ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian
kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.

5.

Khorea Syndendham
Gerakan yang tidak disengaja / gerakan abnormal, sebagai manifestasi peradangan
pada sistem saraf pusat.

b.

Kriteria minor:
1.

Mempunyai riwayat menderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik

2.

Artraliga atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang
kadang sulit menggerakkan tungkainya

3.

Demam tidak lebih dari 390 C

4.

Leukositosis

5.

Peningkatan laju endap darah (LED)

3.8

6.

C-Reaktif Protein (CRP) positif

7.

P-R interval memanjang

8.

Peningkatan pulse/denyut jantung saat tidur

9.

Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding penyakit reumatic heart disease menurut LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak,
1994;88 adalah:
Kelainan jantung bawaan adalah suatu keadaan kelainan pada jantung bayi termasuk
didalamnya struktur dan fungsi dari peredaran darah jantung bayi. Keadaan ini terjadi sejak
awal masa pertumbuhan dan perkembangan hasil pembuahan dalam kandungan

3.9

PEMERIKSAAN DIAGNOSIS / PENUNJANG


1.

Pemeriksaan laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan ASTO, peningkatan laju
endap darah ( LED ),terjadi leukositosis, dan dapat terjadi penurunan hemoglobin.

2.

Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada jantung.

3.

Pemeriksaan Echokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi

4.

Pemeriksaan Elektrokardiogram
Menunjukan interval P-R memanjang.

5.

Hapusan tenggorokan
Ditemukan steptococcus hemolitikus b grup A

3.10. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit jantung reumatik terdiri dari 2 tahapmenurut LAB/UPF Ilmu
Kesehatan Anak, 1994;88 adalah:
1.

Pengobatan/ pencegahan medical

2.

Pembedahan
Pengobatan medikal penderita penyakit jantung reumatik ditujukan pada penyulit yag
timbul.
a.

Tanda keluhan/komplikasi:tidak perlu pengobatan

b.

Gagal jantung

c.

Tirah baring

Diit rendah garam,tinggi kalori

Digitalisasi

Deuretika

Vasodilator

Endokarditis bacterial subakut:


Antibiotika yang disesuaikan dengan kuman penyebabnya

d. Fibrilasi atrium:

Obat antiaritma

Defibrilasi DC

Bila

pengobatan

katup

medical

telah

optimal,

perlu

dipertimbangkan

tindakan

invasive/pembedahan untuk mengoreksi kelainan anatomic katup:


1.

Valvuloplasti balon untuk stenosis mitral murni

2.

pembedahan secara terbuak untuk mengoreksi atau mengganti katup mitral


dan/atau katup aorta bila katup sudah sangat rusak atau mengalami perkapuran.

3.11 PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit rheumatic heart disease menurut LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak,
1994;89 adalah:

1.

Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan 1,2 juta
U bila berat badan lebih dari 30 kg diberikan sekali dalam 4 minggu.

2.

Sulfadiazin 1 x 500 mg/hari untuk anak dibawah 30 kg dan 1 g untuk anak lebih dari 30 kg.
Pencegahan diberikan sekurang-kurangnya sampai 5 tahun bebas serangan ulang demam
reumatic. Pada penderita dengan penyakit jantung reumatik dengan gagal jantung atau
katup buatan dianjurkan pemberian pencegahan seumur hidup.

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1.

Identitas Klien
Timbul pada umur 5-15 th, wanita dan pria = 1 : 1
Sering ditemukan pada lebih dari satu anggota keluarga yang terkena, lingkungan sosial
juga ikut berpengaruh.

2.

Keluhan utama: Sakit persendian dan demam.

3.

Riwayat penyakit sekarang


Demam, sakit persendian, kardits, nodu noktan timbul minggu, minggu pertama, entena
marginatun timbul pada akal penyakit, cloera, timbul gerakan yang tiba-tiba.

4.

Riwayat penyakit dahulu: Fonsilitis, faringitis, autitis media.

5.

Riwayat penyakit keluarga: Ada keluarga yang menderita penyakit jantung

6.

ADL
a.

Aktifitas

Keletihan, malaise, keterbatasan rentang gerak atropi otot, kontraktur/ kelainan pada sendi
otot.
b.

Cardio vaskuler

Fenomena reynoud jari tangan/ kaki misalnya pusat intermitten sianosis, kemerahan pada
jari
c.

Integritas ego

Faktor stres akut/ kronis seperti finansial,pekerjaan, ketidakmampuan, ancaman pada


konsep diri.
d. Nutrisi
Penurunan berat badan kekeringan pada membran mukosa, dehidrasi, kesulitan
mengunyah, mual, anoreksia.
e.

Higiene

Ketergantungan pada orang lain, berbagai kesulitn untuk melaksanakan aktifitas perawatan
pribadi.
f.

Interaksi social

Perubahan peran, isolasi.


7.

Pemeriksaan
a.

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum lemah
Suhu : 38 390
Nadi cepat dan lemah
BB: turun
TD: sistol, diastole

b.

Pemeriksaan fisik

a.

Kepala dan leher meliputi keadaan kepala, rambut, mata.

b.

Nada perkusi redup, suara nafas, ruang interiostae dari nosostae takipnos serta

takhikardi
c.

Abdomen pembesaran hati, mual, muntah.

d.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah
Astopiter
LED
Hb
Leukosit
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan hapus tenggorokan.
3.2

Diagnosa Keperawatan
1.

Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan pada penutupan


katup mitral ( stenosiskatup )

2.

Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi


cairan/proses inflamasi, destruksi sendi.

3.

Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis

3.3. Intervensi
Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Rasional

Diagnosa I

Tujuan:

1.

1.

Penurunan curah jantung Setelahdiberikan

asuhan

berhubungandengan

keperawatan,penuruna

adanya

gangguan

n curah jantung dapat

pada

penutupan

diminimalkan.

katup

mitral

( stenosiskatup )

Kaji
frekuensi

perubahan

nadi,

sirkulasi

TD

RR,
secara

sedini

Menunjukkan
dapat

(disritmia

mungkin

dan

setiap 4 jam.

takikardia-

terjadinya

disritmia sebagai
kompensasi

tanda-

meningkatkan

tanda vital dalam batas


yang

jantung

teratur

Kriteria hasil:
1.

Memonitor adanya

curah jantung

diterima
terkontrol

2.

Pucat menunjukkan
adanya penurunan

atau hilang).
2.

bebas

2.

gejala

jantung

gagal

(mis

parameter
hemodinamik

dalam

batas normal, haluaran

Kaji

perfusi

perubahan

terhadap

warna kulit

adekuatnya curah

terhadap

jantung. Sianosis

sianosis dan

terjadi

sebagai

pucat.

akibat

adanya

Melaporkan

pada

ventrikel.

episode

3.

Ikut

serta dalam akyivitas3.


yang

aliran

darah

penurunan

dispnea,angina.

tidak

obstruksi

urine adekuat).
3.

perifer

mengurangi

memadai

diperlukan untuk

Batasi

memperbaiki

aktifitas

beban kerja jantung.

Istirahat

efisiensi kontraksi

secara

jantung

adekuat.

dan

menurunkan
komsumsi O2 dan
kerja berlebihan.
4.

Stres

emosi

menghasilkan
4.

vasokontriksi

Berikan
kondisi

yang

psikologis

meningkatkan TD

lingkungan

dan meningkatkan

yang tenang.

kerja jantung.
5.

Meningkatkan
sediaan
untuk

5.

Kolaborasi

miokard

untuk

mencegah

pemberian

hipoksia.

oksigen

6.

Diberikan

oksigen
fungsi
dan

untuk

meningkatkan
kontraktilitas
6.

Kolaborasi
untuk

miokard

dan

pemberian

menurunkan

digitalis

beban

kerja

jantung.
Diagnosa II
Nyeri

Tujuan
akut/kronis

nyeri

dapat1. Kaji

berkurang/hilang

berhubungan dengan Kriteria hasil:


distensi jaringan oleh
akumulasi
cairan/proses
inflamasi,
sendi.

1) Menunjukkan

nyeroi

berkurang/hilang

destruksi 2) Terlihat

rileks,

dapat

aktifitas

membantu

nyeri, catat

dalam

lokasi

memetukankebutu

dan

intensitas

han

( skala 0-

manajemen nyeri

10).Catat

dan

faktor yang

program.

dan
dalam

sakit

sesuai

verbal.

kemampuan.

R/

dan
keefektifan

memcepat

tidur/istirahat
3) Berpartisipasi

keluhan1.

tanda
non2.

Pada penyakit yang


berat torah baring
sangat diperlukan

2. Biarkan pasien

untuk membatasi

mengambil

nyeri/cidera

posisi yang

berlanjut.

nyaman.
3.

Menigkatkan
relaksasi,

3.

Beri

obat

mengurangi

sebelum

ketegangan

aktifitas/lati

otot/spasme.

han

yang

direncanaka

4.

n.

Gejala

kardinal

menunjukkan
keadaan fisik dari
organ-organ vital

4.

Observasi
gejala
kardinal.

Diagnosa III

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan

1.

Kaji

status1.

nutrisi( peru

tubuh, juga dapat


memberikan
gambaran kondisi
pasien.

Menyediakan data
dasar

untuk

Ketidakseimbangan

keperawatan

masalah

bahan BB<

memantau

pengukuran

perubahan

dari

antropometri

mengevaluasi

dapat

k dan nilai

intervensi

nutrisi ; kurang dari

ketidakseimbangan

kebutuhan

nutrisi

tubuh

kurang

berhubungan dengan

kebutuhan

peningkatan

teratasi.

asam

lambung

akibat

kompensasi

sistem

saraf simpatis

HB
protein

Kriteria hasil :
Klien mengatakan mual dan

2.

anoreksia berkuarang /
hilang,

masukan

makanan adekuat dan

serta
2.

Membantu

dalam

mempertimbangk

Kaji pola diet

an

penyusunan

nutrisi klien(

menu

sehingga

riwayat diet,

klien

berselera

makanan

makan

kesukaan)

kelemahan hilang. BB

dan

3.

dalam rentang normal.

Menyediakan
informasi

3.

Kaji

faktor

yang

mengenai

faktor

yang

harus

ditanggulangi

berperan

sehingga

untuk

nutrisi adekuat.

menghambat
asupan

asupan

4.

Membantu

nutrisi

mengurangi

( anoreksia,

produksi

mual)

lambnung/HCl
akibat

asam
faktor-

faktor perangsang
4.

dari luar tubuh

Anjurkan
makan
dengan porsi
sedikit tetapi5.
sering

dan

Membantu
mengurangi

tidak makan

produksi

HCL

makanan

oleh

epitel

yang

lambung

merangsang
pembentuka
n Hcl seperti6.
terlalu

Mendorong
peningkatan

panas,

selera makan.

dingin,
pedas
5.

Kolaborasi
untuk
pemberian
obat
penetral
asam
lambung
seperti
antasida

6.

Kolaborasi
untuk
penyediaan
makanan
kesukaan
yang sesuai
dengan diet
klien

3.4

Implementasi
Implementasi dapat dilaksanakan sesuai dengan intervensi setiap diagnosa yang diangkat
dengan memperhatikan kemampuan pasien dalam mentolerir tindakan yang akan dilakukan.

3.5

Evaluasi
1.

Interview dengan keluarga pasien tentang pengetahuan dalam menghindari faktor


pencetus terjadinya jantung reumatik

2.

Observasi gejala dan serangan kelemahan kontrktilitas jantung.

3.

Observasi klien dan bicarakan dengan keluarga tentang macam macam permasalahan
yang dihadapi dan komplikasi lain

4.

Interview dengan klien tentang kegiatan sehari-dari

5.

Tentukan persetujuan dimana keluarga dan klien mengerti kondisi klien dan
perpanjangan terapi yang dilaksanakan.

KEPERAWATAN ANAK
ASKEP MORBILI DAN ATRIUM SEPTUM DEFEK PADA ANAK

Disusun Oleh :

Kelompok

1.
2.
3.
4.
5.
:4

Ade Septi Handayani


Adela Sari
Maftuhati
Novika Analely Harahap
Ratri Arseno

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN KEPERAWATAN
2014/2015

KONSEP MEDIS
A. MORBILI
1.

Definisi
Penyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala kemerahan berbentuk mukolo

papular selama tiga hari atau lebih yang disertai panas 38 0c ata lebih dan disertai salah satu gejala
batuk, pilek, dan mata merah. ( WHO )
Campak adalah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan tiga stadium yaitu
stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalensi. ( ilmu kesehatan anak 2:624 )
Penyakit campak ( rubeola, campak 9 hari, measles ) adalah suatu infeksi virus yang sangat
menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis ( peradangan selaput ikat mata /
konjungtiva ) dan ruam kulit.
2.

Etiologi
Virus campak adalah anggota genus Morbillivirus dari family paramiksovirus. Penyakit pada

anjing, rinderpest ( plak ternak ), dan hewan pemamah biak peste des petiis adalah morbillovirus lain
yang memberikan derajat keterkaitan imunologi yang jelas dengan campak, memberikesan adanya
suatu jalur evolusi bersama lebih awal dalam hal kemunculannya pada pejamu yang spesifik ( anjing,
ternak, kambing, manusia ).
Virus campak mempunyai RNA untai lurus negative di dalam kapsid heliks protein yang
tertutup oleh membrane luar lemak dan protein. Virionnya adalah pleomorfik, dengan diameter antara
100-250 nm. Enam protein structural telah ditemukan dan fungsinya terlibat dalam beberapa sifat
khas virus yang telah diketahui ( table 2-1 ). Virus sangat tidak tahan panas tetapi hidup dalam jangka
waktu lama pada temperature rendah. Virus campak memperbanyak diri dalam berbagai cara, baik
dibiakan sel primer maupun dibarisan yang stabil; sel yang berasal dari manusia dan monyet paling
dapat dipercaya untuk isolasi virus permulaan tetapi setelah beberapa kali isolasi, virus mudah berbiak
dalam biakan jaringan spesies lain.

Antibodi muncul di dalam serum 12-15 hari setelah infeksi pada manusia atau hewan
percobaan. Antibodi itu menetralisasi kerja virus secara spesifik, memfiksasi komplemen dengan
antigen virus dan menghambat hemaglutinasi dan hemolisis oleh virus. Tidak terbukti adanya
perbedaan antigen yang bermakna pada strain campak selama 40 tahun ini. Keseragaman ini berkaitan
dengan sangat jarang terjadinya serangan kedua pada penyakit ini.
3. Patologi
Reaksi seluler terutama monositik, hyperplasia limfoid yang tersebar luas di adenoid, tonsil,
timus, limpa, plak peyer, apendiks dan nodus limfatikus sangat khas, di dalam focus yang sedang aktif
ini ditemukan sel besar dengan nucleus multiple. Sel yang mengandung inklusi juga ditemukan di
trakea, bronkus dan bronkiolus. Dengan dikenainya lapisan mukosa saluran pernapasan ini, maka
epitel yang terkena rontok kedalam saluran bersama dengan makrofag, lender dan debris sel. Eksudat
mononuclear peribronkus meluas keberbagai derajat dengan pola intertisial dan terlihat makrofag di
dinding alveolus.
Jika terjadi ensefalomielitis setelah campak, terjadi serangan dimielinasi perivaskuler yang
menonjol terutama di substantia alba juga dilapisan korteks lebih dalam. Bedungan perivaskuler sel
microglia, limfosit dan sel plasma jelas terlihat disekitar vena kecil, yang sel endotelnya
membengkak.
4.

Patofisiologi
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet udara, menempel dan berbiak. Infeksi mulai

saat orang yang rentan menghirup percikan mengandung virus dari secret nasofaring pasien campak.
Di tempat masuk kuman, terjadi periode pendek perbanyakan virus local dan penyebaran terbatas,
diikuti oleh viremia primer singkat bertiter rendah, yang memberikan kesempatan kepada agen untuk
menyebar ketempat lain, tempat virus secara aktif memperbanyak diri di jaringan limfoid. Viremia
sekunder yang memanjang terjadi, berkaitan dengan awitan prodromal klinis dan perluasan virus.
Sejak saat itu ( kira-kira 9 sampai 10 hari setelah terinfeksi ) sampai permulaan keluarnya ruam, virus
dapat dideteksi di seluruh tubuh, terutama di traktus respiraturius dan jaringan limfoid. Virus juga
dapat ditemukan di secret nasofaring, urine, dan darah.pasien paling mungkin menularkan pada orang
lain dalam periode 5 sampai 6 hari. Dengan mulainya awitan ruam ( kira-kira 14 hari setelah infeksi
awal ), perbanyakan virus berkurang dan pada 16 hari sulit menemukan virus, kecuali di urine, tempat
virus bisa menetap selama beberapa hari lagi. Insiden bersamaan dengan munculnya eksantema
adalah deteksi antibody campak yang beredar dalam serum yang ditemukan pada hampir 100% pasien
dihari ke dua timbulnya ruam. Perbaikan gejala klinis dimulai saat ini, kecuali pada beberapa pasien,
dimulai beberapa hari kemudian karena penyakit sekunder yang disebabkan oleh bakteri yang
bermigrasi melintasi barisan sel epitel traktus respiraturius. Terjadi sinusitis, otitis media,
bronkopneumonia sekunder akibat hilangnya pertahanan normal setempat.
Seorang wanita yang pernah menderita campak atau pernah mendapatkan imunisasi campak akan
meneruskan daya imunitasnya pada bayi yang dikandungnya. Oleh karena itu, jarang sekali kita

jumpai bayi ( khususnya yang berusia dibwah 5 bulan ) yang menderita campak. Seseorang yang
pernah menderita campak akan menjadi kebal seumur hidupnya.

WOC

VIRUS
MORBILA
UDARA
24 JAM
ASAM
LAMBUNG

GASTER

REAKSI

VIRUS

INFEKSI

METAB.

MUAL
MUNTAH
ANOREKSIA
GANG.NUTR

HIPERTERMI
DITANDAI:
PANAS,
MALAISE

KERINGAT,
EVAPORASI

KEKURANGAN
VOLUME
CAIRAN

Manifestasi klinis
Campak memiliki masa tunas 10-20 hari. Penyakit ini dibagi dalam tiga stadium, yaitu : Masa
tunasnya adalah 10-20 hari, dan penyakit ini dibagi menjadi dalam 3 stadium yaitu:

1. Stadium Kataral ( Prodormal)


Berlangsung selama 4-5 hari dengan tanda gejala sebagai berikut:

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Panas
Malaise
Batuk
Fotofobia
Konjungtivitis
Koriza
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik

berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema tapi itu sangat jarang
dijumpai. Diagnosa perkiraan yang besar dapat dibuat bila ada bercak koplik dan penderita pernah
kotak dengan penderita morbili dalam waktu 2 minggu terakhir.

2.

Stadium Erupsi
Gejala klinik yang muncul pada stadium ini adalah:
a. Koriza dan Batuk bertambah
b. Kadang terlehat bercak koplik
c. Adanya eritema, makula, papula yang disertai kenaikan suhu badan
d. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening
e. Splenomegali
f. Diare dan muntah
Variasi dari morbili disebut Black Measles yaitu morbili yang disertai pendarahan pada kulit,
mulut, hidung dan traktus digestivus.

3. Stadium konvalensensi
Erupsi mulai berkurang dengan meninggalkan bekas (hiperpigmentasi). Suhu menurun
sampai normal kecuali ada komplikasi.
5.

Pemeriksaan Penunjang
a) Serologi
Pada kasus atopic, dapat dilakukan pemeriksaan serologi untuk memastikannya. Tehnik
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah fiksasi complement, inhibisi hemaglutinasi, metode
antibody fluoresensi tidak langsung.
b) Patologi anatomi
Pada organ limfoid dijjumpai : hyperplasia folikuler yang nyata, senterum germinativum
yang besar, sel Warthin-Finkeldey ( sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak, sel ini
memiliki nucleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma, sel ini merupakan tanda
patognomonik sampak. Pada bercak koplik dijumpai : nekrosis, neutrofil, neovaskularisasi.
c) Darah tepi
Jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri.
d) Pemeriksaan antibody IgM anti campak.
e) Pemeriksaan untuk komplikasi
Ensefalopati / ensefalitis ( dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal, kadar elektrolit
darah dan analisis gas darah ), enteritis ( feces lengkap), bronkopneumonia ( dilakukan
pemeriksaan foto dada dan analisis gas darah ).

6.

Komplikasi

Otitis Media Akut


Laringitis
Bronkipneumonia
Mastoiditis
Encephalitis
Gastroenteritis
Gangguan Gizi

7. Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Medis
Kecuali tindakan pendukung umum, tidak ada terapi terbaru bagi pasien yang tidak
mengalami komplikasi. Walaupun ribavirin menghambat replikasi virus campak invitro, tidak
terlihat hasil yang nyata pada pemberian invivo. Penggunaan antipiretik yang bijaksana untuk
demam tinggi dan obat penekan batuk mungkin bermanfaat secara simptomatik. Pemberian
pengobatan yang lebih spesifik seperti pemberian anti mikroba yang tepat harus digunakan
untuk mengobati komplikasi infeksi bakteri sekunder.
Oleh karena campak jelas menurunkan cadangan vitamin A, yang menimbulkan
tingginya insiden xeroftalmia dan ulkus kornea pada anak yang kurang gizi, WHO
menganjurkan supplement vitamin A dosis tinggi di semua daerah dengan defisiensi vitamin A.
supplement vitamin A juga telah memperlihatkan penurunan frekuensi dan keparahan
pneumonia dan laringotrakeobronkitis akibat kerusakan virus campak pada epitel traktus
respiraturius bersilia. Pada bayi usia di bawah 1 tahun diberi vitamin A sebanyak 100.000 IU dan
untuk pasien lebih tua diberikan 200.000 IU. Dosis ini diberikan segera setelah diketahui
terserang campak. Dosis kedua diberikan hari berikutnya, bila terlihat tanda kekurangan vitamin
A dimata dan diulangi 1 sampai 4 minggu kemudian.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Penyakit campak merupakan penyakit yang mudah sekali menular. Selain itu sering
menyebabkan kematian jika mengenai anak yang keadaan gizinya buruk sehingga mudah sekali
mendapatkan komplikasi terutama bronkopneumonia. Pasien campak dengan bronkopnumonia
perlu dirawat di rumah sakit karena memerlukan perawatan yang yang memadai
( kadang perlu infuse atau oksigen ). Masalah yang perlu diperhatikan ialah kebutuhan nutrisi,
gangguan suhu tubuh, gangguan rasa aman nyaman, risiko terjadinya komplikasi.

a. Kebutuhan Nutrisi
Campak menyebabkan anak menderita malaise dan anoreksia. Anak sering
mengeluh mulut pahit sehingga tidak mau makan atau minum. Demam yang tinggi
menyebabkan pengeluaran cairan lebih banyak. Keadaan ini jika tidak diperhatikan
agar anak mau makan ataupun minim akan menambah kelemahan tubuhnya dan
memudahkan timbulnya komplikasi.
b. Gangguan suhu tubuh
Campak selalu didahului demam tinggi. Demam yang disebabkan infeksi
virus ini pada akhirnya akan turun dengan sendirinya setelah campaknya keluar
banyak, kecuali bila terjadi komplikasi demam akan tetap berlangsung lebih lama.
Untuk menurunkan suhu tubuh biasanya diberikan antipiretik dan jika tinggi sekali
diberiakan sedative untuk mencegah terjadinya kejang.

c. Gangguan rasa aman nyaman


Gangguan ini dirasakan anak karena adanya demam, tak enak badan, pusing,
mulut terasa pahit dan kadang muntah-muntah. Biasanya anak juga tidak tahan
meluhat sinar karena silau, batuk bertambah banyak dan akan berlangsung lebih lama
dari campaknya sendiri. Anak kecil akan sangat rewel, pada waktu malam anak sering
minta digendong saja. Jika eksantem telah keluar anak akan merasa gatal, hal ini juga
menambah gangguan aman dan kenyamanan anak. Untuk mengurangi rasa gatal
tubuh anak dibedaki dengan bedak salisil 1% atau lainnya ( atas resep dokter ).
Selama masih demam tinggi jangan dimandikan tetapi sering-sering dibedaki saja.
d. Resiko terjadinya komplikasi
Campak sering menyebabkan daya tahan tubuh sangat menurun. Hal ini dapat
dibuktikan dengan uji tuberculin yang semula positif berubah menjadi negative. Ini
menunjukkan bahwa antigen antibody pasien sangat kurang kemampuannya untuk
bereaksi terhadap infeksi. Oleh karena itu resiko terjadinya komplikasi lebih besar
terutama jika keadaan umum anak kurang baik, seperti pada pasien dengan malnutrisi
atau dengan penyakit kronik lainya.

8.

Pencegahan
a.
Imunisasi Pasif
IG manusia yang diberikan segera setelah pemajanan dapat mengubah gambaran klinis
dan efek antigen pada infeksi virus campak. Anak yang rentan harus segera diberi IG 0,25 ml/kg
BB, untuk mencegah campak. Bila telah berlangsung lebih dari 6 hari, maka IG tidak dapat
diandalkan untuk mencegah maupun memodifikasi penyakit. Pasien dengan campak yang
dimodifikasi globulin memperlihatkan gambaran klinis yang beragam dengan masa tunas
memanjang dan berbagai keluhan dan tanda penyakit campak, tetapi mereka tetap sebagai sumber
penular potensial pada individu yang berkontak dengan mereka. Oleh karena sifat kekebalan
alaminya sementara, imunisasi pasif harus diikuti oleh iminisasi aktif dalam 3 bulan setelah itu.
Karena dosis besar immunoglobulin saat ini sering deberikan untuk pencegahan atau pengobatan
sejumlah gangguan ( misal infeksi HIV, penyakit Kawasaki, trombositopenia imun, hepatitis B dan
profilaksis varisela ) interval yang lebih panjang dianjurkan sebelum vaksin virus campak. Ini
bervariasi dari 3 sampai 11 bulan bergantung pada produk dan jumlah globulin yang diberikan.
b.

Imunisasi Aktif
Vaksin yang telah dilemahkan menghasilkan infeksi yang tidak menular dan tidak ada

hubungannya dengan infeksi bakteri sekunder dan komplikasi neurologi.


Efek profilaksis vaksin hidup yang diberika mencapai 97%. Vaksin yang dilemahkan
menimbilkan reaksi ringan. Respon demam yang terjadi pada 5 sampai 15% anak memberikan
sedikit rasa tidak nyaman, toksisitas atau ketidakmampuan. Eksantem yang dimodifikasi dengan

berbagai bentuk bisa terjadi setelah serangan demam pada kurang dari 5% pasien yang divaksinasi.
Observaasi terus menerus pada anak yang mendapat vaksin hidup 20 sampai 25 tahun yang lalu
memperlihatkan antibody menetap dan efek protektif yang lebih baik dibandingkan dengan yang
menderita campak secara alami.

1) Vaksin
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak yaitu :
a.
Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan ( tipe Edmonston
b.

B ).
Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan ( virus campak yang berada
dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium ).

2) Dosis dan cara pemakaian


Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000
TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID 50 saja mungkin
sudah dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan,
walaupun demikian dapat diberikan secra intramuscular. Daya proteksi vaksin campak diukur
dengan berbagai macam cara. Salah satu indicator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah
penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi.
B. Atrium Septum Defek

1.

Pengertian
Atrium Septal Defect (ASD) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada

septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi septum interatrial
semasa janin. Atrial Septal Defect (ASD) adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang
memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri dan atrium kanan).

Kelainan jantung ini mirip seperti Ventrikel Septal Defect (VSD), tetapi letak
kebocoran di septum antara serambi kiri dan kanan. Kelainan ini menimbulkan keluhan yang
lebih ringan dibanding VSD.
Atrial Septal Defect (ASD) adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat
yang memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang memerlukan
pembedahan jantung terbuka adalah defek sekat atrium.
Defek sekat atrium adalah hubungan langsung antara serambi jantung kanan dan kiri
melalui sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat berupa defek sinus
venousus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup
spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan septum
sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan septum primum yang
letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan endokard.

2.

Macam-macam Defek
Macam-macam defek sekat ini harus ditutup dengan tindakan bedah sebelum

terjadinya pembalikan aliran darah melalui pintasan ini dari kanan ke kiri sebagai tanda
timbulnya sindrome Eisenmenger. Bila sudah terjadi pembalikan aliran darah, maka
pembedahan dikontraindikasikan. Tindakan bedah berupa penutupan dengan menjahit
langsung dengan jahitan jelujur atau dengan menambal defek dengan sepotong dakron.
Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:
1. Ostium Primum (ASD 1), letak lubang di bagian bawah septum,mungkin disertai
kelainan katup mitral.
2. Ostium Secundum (ASD 2), letak lubang di tengah septum.
3. Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan.
3.

Etiologi

Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang
diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD, faktor faktor tersebut
diantaranya:
1. Faktor prenatal
a) Ibu menderita infeksi rubella
b) Ibu Alkoholisme
c) Umur ibu lebih dari 40 Tahun
d) Ibu menderita IDDM
e) Ibu meminum obat obatan penenang atau jamu
2. Faktor genetik
a) Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
b) Ayah atau ibunya menderita penyakit jantung bawaan
c) Kelainan kromosom misalnya sindrom down
d) Lahir dengan kelainan bawaan lain
ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan. Dalam keadaan normal, pada peredaran
darah janin terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu melewati
paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika lubang ini tetap terbuka, darah terus
mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt). Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada
septum atrium ini tidak diketahui.
4.

Patofisiologi

Pada kasus Atrial Septal Defect yang tidak ada komplikasi, darah yang mengandung
oksigen dari Atrium Kiri mengalir ke Atrium Kanan tetapi tidak sebaliknya. Aliran yang
melalui defek tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan complain dari atrium
tersebut. Normalnya setelah bayi lahir complain ventrikel kanan menjadi lebih besar daripada

ventrikel kiri yang menyebabkan ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga
berakibat volume serta ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika complain
ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari kiri kekanan
bisa berkurang. Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa terjadi akibat penyakit vaskuler
paru yang terus bertambah berat. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri
sehingga sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya
terjadi hipoksemi dan sianosis.
Pathway

Manifestasi k

Adapun manifestasi klinis dari Ateri Septal Defect


a) Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
b) Dispnea (kesulitan dalam bernafas)
c) Sesak nafas ketika melaukan aktivitas
d) Jantung berdebar debar (palpitasi)
e) Aritmia
f) Clubbing finger
5. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Aterial Septal Defect
a) Gagal jantung
b) Penyakit pembuluh darah paru
c) Endokarditis
d) Aritmia
e) Clubbing finger
6.

Pemeriksaan diagnostic
a) Rontgen dada

b)
c)
d)
e)
f)
g)
7.

Ekokardiografi
Doppler berwarna
Ekokardiografi trans esophageal
Kateterisasi jantung
MRI dada
Foto thorax

Penatalaksanaan
a) Pembedahan penutupan defek dianjurkan pada saat anak berusia 5-10 tahun.
Prognosis sangat ditentukan oleh resistensi kapiler paru, dan bila terjadi sindrome
Eisenmenger, umumnya menunjukkan prognosis buruk.
b) Amplazer Septal Ocluder
c) Sadap jantung (bila diperlukan).

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK


A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN CAMPAK

1.

Pengkajian
A. Indentitas Pasien
Nama ( Inisial )
: An.A
Umur
: 5 tahun
Ttl
: 26/07/2010
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jl.Mayor Zen.Lr.Surya Rt.25
Status Perkawinan
: Belum kawin
Agama
: Islam
Suku
: WNI
Pendidikan
: Belum sekolah
Tgl MRS
: 09/07/2015 , pukul 18:51:09
No.RM
: 0000116139

Diagnosa
: Morbilli
Tanggal Pengkajian
: 08/07/2015, pukul 20:15
B. Penanggung Jawab
Nama
: Ny.R
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Hubungan dgn Pasien : Ibu
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Jl. Mayor Zen. Lr. Surya Rt.25
C. Status kesehatan saat ini
1. Keluhan Utama
: Demam Tinggi & Mual muntah
2. Lama Keluhan
: 5 Hari
3. Timbul Keluhan : Secara Bertahap
4. Upaya yang dilakukan: berobat ke RS
D. Riwayat kesehatan yang lalu
:E. Riwayat kesehatan keluarga: F. Pola kebiasaan sehari hari
1. Pemenuhan nutrisi
Makan 3 kali sehari
Tidak habis
Dalam porsi
BB : 14 kg
2. Pola eliminasi
Frekuensi BAB : 2 x sehari
Keluhan BAB
: Karakteristik
: lunak
Warna feses
: coklat
Warna urine
: kuning
3. Pola tidur dan istirahat
Waktu tidur
: 21.00 WIB
Lama tidur
: 8- 10 Jam
Kebiasaan
: Nonton tv
G. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum pasien lemah dan kesadaran compos mentis
Tanda tanda vital
Suhu : 38,9 c
Nadi :110 x/m
Respirasi : 24 x/m
Pemeriksaan struktur organ dan fungsi

Kepala dan rambut: kepala berbentuk bulat, warna rambut hitam dan bersih, dan
kulit sawo matang.

Pengindraan:

Mata : selera ikterik, konjungtiva anemis


Hidung : bentuk hidung normal dan penciuman normal
Telinga : bentuk telinga normal , ketajaman pendengaran normal.
Pencernaan
:
Mulut : bersih , mukosa lembab
Tenggorokan : tidak ada kesulitan menelan
Abdomen
: normal
Respirasi : bentuk dada normal tidak ada kelainan
Kardiovaskuler : tidak ada nyeri dada
Endokrin : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening
Genitaurinaria : bentuk alat kelamin normal, kandung kemih tidak

bermasalah
Persarafan : keadaan compos mentis,
Tingkat kesadaran : - Respon motorik : menurut (6)
- Respon buka mata : spontan (4)
- Rspon bicara
: orientasi(5)
Therapy : inj. Ceftriaxone (drip d5 % 100 cc)
Pct 3 x 1 1/4
Ambroxol 3 x
Salbutamol tab 3 x1/2
Nebulizer Nacl 2cc
IVFD Kaen 1 B gtt x/m ganti RL
H. Pemeriksaan penunjang
No

Analisa

Hasil

Nilai normal

Satuan

Hemoglobin

12,5 g/dl

P = 12 16
L = 14 18

Gr/dl

Leukosit

4000 uL

4000-10.000

Mm3

Trombosit

211.000 uL

150 450 ( Ribu

I. Analisa data
no Tanggal
1

Symptom

etiologi

08/07/2014 Ds : os mengeluh Proses inflamasi


panas
Do : suhu tubuh
38,9 c
Mukosa

mulut

kering, kulit terasa


panas.

Suhu tubuh

Problem
Hypertermi

meningkat

Gangguan rasa
nyaman

09/07/2014 Ds : os mengatakan Mual muntah


mual muntah dan
tidak nafsu makan.
Do :
Lemas,

Nutrisi
kurang

Anoreksia

dari

kebutuhan
Nutrisi Kurang dari

tubuh

kebutuhan tubuh

Konjungtiva pucat
Mukosa
mulut
kering.
3

10/07/2014 Ds : os mengeluh Peningkatan


haus,

lemas

suhu

dan tubuh

Kekurangan
volume cairan

muntah.
Kurangnya volume
Do :demam, kulit
cairan tubuh
kering, suhu 39.7
cc.

J. Prioritas Masalah
1) Kekurangan volume cairan
2) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3) Hypertermi
2.

Diagnosa Keperawatan
a) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh
b) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah sehingga
anoreksia.
c) Hypertemi berhubungan dengan proses inflamasi

3.
Diagnosa

Intervensi Keperawatan
Tujuan dan

Intervensi

Rasional

Keperawatan
1.Kekurangan

Kriteria Hasil
Tujuan: setelah dilakukan

volume cairan tindakan selama 2x24 jam


berhubungan

Gangguan volume cairan

dengan

tubuh dapat teratasi

peningkatan
suhu tubuh

1.
2.

( S,N,RR )
3.

Observasi tanda-tanda
dehidrasi

pasien
2. Mengidentifikasi
peningkatan suhu tubuh
3. Mengidentifikasi
dehidrasi yang

cairan

tubuh

1. Memantau kondisi

kemungkinan

Kriteria hasil:

1) Volume

Kaji KU dan kondisi pasien


Observasi tanda-tanda vital

berhubungan dengan

kembali

peningkatan suhu yang

normal.

2) TTV dalam batas


normal

4.

Balance cairan (input dan

5.

out put cairan)


Beri pasien dan anjurkan
keluarga pasien untuk

6.

memberi minum banyak


Anjurkan keluarga pasien

dapat meyebabkan
kekurangan cairan.
4. Mengidentifikasi
kehilangan cairan.
5. Membantu mengatasi
kehilangan cairan.

untuk mengganti pakaian


pasien yang basah oleh

3. Hipertemi

Tujuan: setelah dilakukan

keringat.
a) Mandiri:

6. Menghindari dari
infeksi kuman.
1. Mengidentifikasi

berhubung

tindakan selama 2x24 jam 1. Pantau hidrasi (misal : turgor

an dengan

Adanya keseimbangan

kulit, kelembapan membran

adanya

diantara produksi panas,

mukosa).

peningkatan panas dan

2. Pantau tekanan darah, nadi

terjadinya proses

kehilangan panas pada

dan pernapasan

inflamasi

tubuh pasien.

Pantau suhu minimal setiap dua

proses
inflamasi.

Suhu
pasien

tubuh
dalam

batas normal
2) Suhu kulit pasien
dalam
yang

rentang
diharapkan

dalam waktu 24
jam.

2. Mengidentifikasi

jam, sesuai kebutuhan

Kriteria hasil:

1)

terjadinya hipertermi

b) Edukasi :
1. Ajarkan pasien/keluarga
dalam mengukur suhu tubuh
untuh mencegah dan mengenali

1. Pengambilan tindakan
dan penanganan segera
berhubungan dengan
hipertermia

secara dini hipertermia.


c) Kolaborasi:

1. Mengatasi peningkatan

1. Berikan obat antipiretik,

suhu, demam yang

sesuai dengan kebutuhan.

semakin tinggi.

4.
No.

Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan


Diagnosa

Implementasi

Evaluasi

Keperawatan
Kekurangan volume
cairan berhubungan
dengan peningkatan
suhu tubuh

1. Melihat KU klien
2. Mengobservasi
3. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi: misalnya

S= Ibu pasien
megatakan bahwa
anaknya masih panas

banyaknya keringat
4. mengobservasi tetesan infus dan lokasi

tinggi

penusukan jarum infus


5. memantau balance cairan (input dan out put

O = suhu anak 38,9oC

cairan)
6. menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk

A = masalah belum

memberi minum banyak


7. menganjurkan keluarga pasien untuk mengganti
pakaian pasien yang basah oleh keringat.

teratasi
P = lanjutkan intervensi,
lakukan kompres pada
anak

2.

Nutrisi kurang dari

1. Mengkaji

kebutuhan tubuh

makanan yang disukai.


2. mengobservasi dan catat masukan makanan

berhubungan dengan
mual muntah
sehingga anoreksia.

riwayat

nutrisi,

termasuk

pasien.

mengatakan bahwa
anaknya masih mual
dan muntah, tidak mau

3. Melakukan penimbangan berat badan tiap

hari
4. Memberikan

S = ibu pasien

makanan

sedikit

dari

frekuensi sering dan atau makan diantara


waktu makan.
5. Melakukan observasi dan catat kejadian

mual atau muntah, dan gejala lain yang


berhubungan.

makan
O = muntah, mual dan
makan tidak habis
A = masalah belum
teratasi
P = lanjutkan intervensi
sebelumnya, bila perlu
berikan suplemen

3.

Hipertemi

a) Mandiri:

S = ibu pasien

berhubungan dengan

1. Memantau hidrasi (misal : turgor kulit,

mengatakan bahwa

adanya proses

kelembapan membran mukosa).

pasien sudah berkurang

inflamasi.

2. memantau tekanan darah, nadi dan pernapasan

panasnya

3. mematau suhu setiap dua jam.

O = suhu 36,8oC,
membran mukosa

b) Edukasi :

lembab, turgor kulit

1. mengajarkan pasien/keluarga dalam mengukur

membaik.

suhu tubuh untuh mencegah dan mengenali secara


dini hipertermia.

A = masalah teratasi
P = lanjutkan intervensi

c) Kolaborasi:

mandiri keperawatan.

1. membererikan obat antipiretik, sesuai dengan


kebutuhan: misalnya paracetamol.

B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atrium Septum Defek(ASD)


1. Pengkajian
a) Riwayat kesehatan
Bukti penambahan BB yang buruk, makan buruk, intoleransi aktivitas, postur
tubuh tidak umum, atau infeksi saluran pernapasan yang sering. Observasi anak
terhadap manifestasi ASD Pada Bayi.
1) Dispnea, khususnya setelah kerja fisik seperti makan, menangis, mengejan
2) Keletihan
3) Pertumbuhan dan perkembangan buruk (gagal tumbuh)
Sebagian anak menderita KJB dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
Pada kasus yang spesifik seperti VSD, ASD dan TF, pertumbuhan fisik anak
terganggu, terutama berat badannya. Anak kelihatan kurus dan mudah sakit,
terutama karena mengalami infeksi saluran pernapasan. Sedangkan untuk
perkembangannya

yang

sering

mengalami

gangguan

adalah

aspek

motoriknya.
4) Pola Aktivitas
Anak-anak yang menderita TF sering tidak dapat melaksanakan
aktivitas sehari-hari secara normal. Apabila melakukan aktivitas yang
membutuhkan banyak energi, seperti berlari, bergerak, berjalan-jalan cukup
jauh, makan/minum yang tergesa-gesa, menangis atau tiba-tiba jongkok
(squating), anak dapat mengalami serangan sianosis. Hal ini dimaksudkan
untuk memperlancar aliran darah ke otak. Kadang-kadang tampak pasif dan
lemah, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari dan
perlu dibantu.

b) Lakukan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan yang mendetail terhadap


jantung.
a. Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
b. Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang Abnormal.
c. Bisa terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah yang melalui katup
pulmonalis
d. Tanda-tanda gagal jantung
e. Jika shuntnya besar, murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan aliran
darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis
c) Lakukan pengukuran tanda-tanda vital.
d) Kaji tampilan umum, perilaku, dan fungsi:
a. Inspeksi
1) Status nutrisiGagal tumbuh atau penambahan berat badan yang buruk
berhubungan dengan penyakit jantung.
2) Warna Sianosis adalah gambaran umum dari penyakit jantung
kongenital, sedangkan pucat berhubungan dengan anemia, yang sering
menyertai penyakit jantung.
3) Deformitas dada Pembesaran jantung terkadang mengubah konfigurasi
dada.
4) Pulsasi tidak umum Terkadang terjadi pulsasi yang dapat dilihat.
5) Ekskursi pernapasan Pernapasan mudah atau sulit (mis; takipnea,
dispnea, adanya dengkur ekspirasi).
6) Jari tabuh Berhubungan dengan beberapa type penyakit jantung
kongenital.
7) Perilaku Memilih posisi lutut dada atau berjongkok merupakan ciri
khas dari beberapa jenis penyakit jantung.
b. Palpasi dan perkusi
1) Dada Membantu melihat perbedaan antara ukuran jantung dan
karakteristik lain (seperti thrill-vibrilasi yang dirasakan pemeriksa saat
mampalpasi)
2) Abdomen Hepatomegali dan/atau splenomegali mungkin terlihat.
3) Nadi perifer Frekwensi, keteraturan, dan amplitudo (kekuatan) dapat
menunjukkan ketidaksesuaian.
c. Auskultasi
1) Jantung Mendeteksi adanya murmur jantung.
2) Frekwensi dan irama jantung Menunjukkan deviasi bunyi dan
intensitas jantung yang membantu melokalisasi defek jantung.
3) Paru-paru Menunjukkan ronki kering kasar, mengi.
4) Tekanan darah Penyimpangan terjadi dibeberapa kondisi jantung (mis;
ketidaksesuaian antara ekstremitas atas dan bawah) Bantu dengan

prosedur diagnostik dan pengujian mis; ekg, radiografi, ekokardiografi,


fluoroskopi, ultrasonografi, angiografi, analisis darah (jumlah darah,
haemoglobin, volume sel darah, gas darah), kateterisasi jantung.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur
b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
c) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan ketidak adekuatan
oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.
d) Resiko tinngi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah
e) Resiko tinggi cedera (komplikasi )berhubungan dengan kondisi jantung dan terapi
f) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit
jantung (ASD)
3.

Intervensi Keperawatan

Diagnosa

Tujuan/ Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Keperawatan
Resiko
tinggi

Setelah

1. Beri digoksin sesuai

1. Membantu

penurunan curah

tindakan keperawatan

jantung

2x24 jam, penurunan

berhubungan

curah jantung dapat

dengan

teratasi.
Kriteria hasil:
1. Frekuensi

struktur

defek

dilakukan

jantung,

program

mengendalikan ritme

2. Beri obat penurun


afterload

sesuai

program

dan

gagal

jantung kongestif.
2. Membantu
meningkatan

curah

jantung
tekanan

darah, dan perfusi

3. Beri diuretik sesuai


3. Membantu laju urin

program

yang

perifer berada pada


batas

jantung

berhubungan dengan

normal

sesuai usia
2. Keluaran

dapat

mempelancar
urine

sirkulasi

adekuat (antara 0,5

jantung.

kerja

2 ml/kg BB,
tergantung

pada

usia)

Intoleransi

Tujuan: klien

aktivitas

mempertahankan

1. Berikan

periode

1. Membantu istirahat

istirahat yang sering

jantung, agar tidak

3.

berhubungan

tingkat energi yang

dan

dengan

adekuat tanpa stress

tanpa gangguan

gangguan sistem

tambahan
Kriteria hasil:
1. Anak menentukan

transport
oksigen

dan

melakukan

aktivitas

yang

sesuai

dengan

kemampuan
2. Anak mendapatkan
waktu

istirahat

atau

tidur

periode

tidur

bekerja

atau

berkontraksi

2. Anjurkan prmainan

berlebihan.
2. Mengerakkan tubuh

dan aktivitas tenang


3. Bantu anak memilih
aktivitas yang sesuai
dengan

usia,

kondisi,

dan

tanpa memberatkan
kerja jantung.
3. Aktivitas
yang
sesuai kemampuan
anak

dapat

mempengaruhi

kemampuan.

kerja

yang

jantung

sehingga

tepat

kerja

jantung tidak diluar


4. Hindari

batas

suhu

lingkungan

jantung.

yang

ekstrem

kemampuan

4.

Suhu yan ekstrem


dapat menyebabkan
hipertermia

atau

hipotermia
sehingga
meningkatkan
kebutuhan oksigen.
Perubahan

Tujuan:

pertumbuhan

dilakukan

dan

keperawatan selama ...

seimbang

perkembangan

pasien

dapat

mencapai

berhubungan

mengikuti

kurva

pertumbuhan

dengan ketidak

pertumbuhan

berat

adekuatan

badan

oksigen

dan

nutrien

pada

jaringan; isolasi
sosial.

setelah

dan

tindakan

tinggi

badan
Kriteria hasil:
1. Anak mencapai
pertumbuhan

1. Beri

diet

nutrisi

tinggi
yang
untuk
yang

badan;

gambarkan

pada

grafik pertumbuhan
untuk

menentukan

nutrisi

yang seimbang dapt


mempengarhu
tumbuh

adekuat
2. Pantau tinggi dan
berat

1. Pemenuhan

kembang

anak
2. Mengidentifikasi
tumbuh
anak

kembang

yang adekuat
2. Anak melakuakan
aktivitas

sesuai

usia
3. Anak

kecenderungan
pertumbuhan
3. Dapat memberikan

3. Mengatasi anemia

suplemen zat besi


tidak

mengalami
isolasi sosial

untuk

mengatasi

anemia,
4. Tekankan
anak

bahwa

mempunyai

kebutuhan
sama
sosialisasi

yang
terhadap
seperti

anak yang lain.


5. Izinkan anak menata
ruanganya

sendiri

dan batasan aktivitas


karena anak akan
beristirahat

4. Pemahaman
diri
orang

akan

sendiri

dan

disekitarnya

dapat menumbuhkan
sosialisasinya
5. Upaya
mengekplorasi
dirinya

dan

membantu

anak

percaya

diri

berkreatifitas.

bila

lelah.

4.
No.

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Diagnosa

Implementasi

Evaluasi

Keperawatan

1.

Resiko

tinggi

penurunan
curah

jantung

Kolaborasi:
1. Memberikan digoksin
2. Memberikan obat penurun afterload
3. Memberikan diuretik

S= klien menangis dan


mengatakan sakit pada
dadanya

berhubungan

O = tampak meringis,

dengan

nyeri berat.

struktur

defek

A = masalah belum
teratasi

P = lanjutkan intervensi
dan bila perlu konsultasi
kepada dokter

2.

Intoleransi

1. Memberikan periode istirahat yang sering

S= ibu pasien

aktivitas

dan periode tidur tanpa gangguan


2. menganjurkan permainan dan aktivitas

mengatakan bahwa

tenang
3. membantu anak memilih aktivitas yang

dan bermain masih

berhubungan
dengan
gangguan

sesuai

sistem transport
oksigen

dengan

usia,

kondisi,

hipertermia

atau

lemah

dan

kemampuan.
4. menghindari suhu lingkungan yang ekstrem
karena

anaknya jika beraktifitas

hipotermia

meningkatkan kebutuhan oksigen

O= keadaan dan kondisi


pasien lemah, RR:
lemah
A= masalah belum
teratasi
P= lanjutkan intervensi
keperawatan

3.

Perubahan

1. Memberi diet tinggi nutrisi yang seimbang

S= ibu mengatakan

pertumbuhan

untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat


2. memanntau tinggi dan berat badan;

pasien takut dan tidak

dan
perkembangan
berhubungan
dengan ketidak
adekuatan
oksigen
nutrien

menentukan kecenderungan pertumbuhan


3. Memberikan suplemen zat besi
4. Memberitahukan bahwa anak mempunyai
kebutuhan yang sama terhadap sosialisasi

dan
pada

jaringan; isolasi
sosial.

gambarkan pada grafik pertumbuhan untuk

seperti anak yang lain.


5. mengizinkan anak menata

ruanganya

terbiasa dengan
keadaannya
O= tampak takut,
cemas, dan menutup diri
A= masalah belum
teratasi

sendiri dan batasan aktivitas karena anak

P= lanjutkan intervensi,

akan beristirahat bila lelah.

dan lakukan modifikasi


lingkungan sekitar anak.

ASKEP MALARIA dan DIFTERI

DISUSUN
Kelompok 5
1. Dita Rinasairi Siregar
2. Sally Violeta Tamara
3. Sela Andela
4. Tri Utami

Dosen Pembimbing

: Antarini

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2015

PEMBAHASAN
ASKEP MALARIA

1. Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik yang disebabkan oleh protozoa
genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali (Mansjoer, 2001,
hal 406). Malaria adalah infeksi parasit pada sel darah merah yang disebabkan oleh suatu
protozoa spesies plasmodium yang ditularkan kepada manusia melalui air liur nyamuk
(Corwin, 2000, hal 125).
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari
genus plasmodium (Harijanto, 2000, hal 1). Malaria adalah penyakit infeksi dengan demam
berkala, yang disebabkan oleh Parasit Plasmodium dan ditularkan oleh sejenis nyamuk
Anopeles (Tjay & Raharja, 2000).
2. Etiologi
Menurut Harijanto (2000) ada empat jenis plasmodium yang dapat menyebabkan infeksi
yaitu,
a. Plasmodium vivax, merupakan infeksi yang paling sering dan menyebabkan malaria
tertiana/ vivaks (demam pada tiap hari ke tiga).
b. Plasmodium falciparum, memberikan banyak komplikasi dan mempunyai perlangsungan
yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/
falsiparum (demam tiap 24-48 jam).

c. Plasmodium malariae, jarang ditemukan dan menyebabkan malaria quartana/malariae


(demam tiap hari empat).
d. Plasmodium ovale, dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, diIndonesia dijumpai di
Nusa Tenggara dan Irian, memberikan infeksi yang paling ringan dan dapat sembuh spontan
tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.
Masa inkubasi malaria bervariasi tergantung pada daya tahan tubuh dan spesies
plasmodiumnya. Masa inkubasi Plasmodium vivax 14-17 hari, Plasmodium ovale 11-16 hari,
Plasmodium malariae 12-14 hari dan Plasmodium falciparum 10-12 hari (Mansjoer, 2001).

3. Jenis-jenis malaria
Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya
antara lain sebagai berikut :
A. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat,
ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan
sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk
eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil
yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang
memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika. Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah
seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah
yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel
dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali
lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan
gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
B. Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax,
lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula
coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon
Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/
rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.

Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan
punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi
namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada
pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan
hipertensi.
C. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik
yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium
Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling
ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari,
walau pun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi
lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
D. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium
Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid.
Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval
hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis
ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam
berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh,
malaria tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler,
anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.
4. Karakteristik nyamuk
Menurut Harijanto (2000) malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk
betina Anopheles. Lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, hanya sekitar 67 yang terbukti
mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah ditemukan 24
spesies Anopheles yang menjadi vektor malaria. Sarang nyamuk Anopheles bervariasi, ada
yang di air tawar, air payau dan ada pula yang bersarang pada genangan air pada cabangcabang pohon yang besar.
Karakteristik nyamuk Anopeles adalah sebagai berikut :

a. Hidup di daerah tropic dan sub tropic, ditemukan hidup di dataran rendah
b. Menggigit antara waktu senja (malam hari) dan subuh hari
c. Biasanya tinggal di dalam rumah, di luar rumah, dan senang mengigit manusia (menghisap
darah).
d. Jarak terbangnya tidak lebih dari 2-3 km
e. Pada saat menggigit bagian belakangnya mengarah ke atas dengan sudut 48 derajat
f. Daur hidupnya memerlukan waktu 1 minggu .
g. Lebih senang hidup di daerah rawa

5. Patofisiologi
Daur hidup spesies malaria pada manusia yaitu:
a. Fase seksual
Fase ini terjadi di dalam tubuh manusia (Skizogoni), dan di dalam tubuh nyamuk
(Sporogoni). Setelah beberapa siklus, sebagian merozoit di dalam eritrosit dapat berkembang
menjadi bentuk- bentuk seksual jantan dan betina. Gametosit ini tidak berkembang akan mati
bila tidak di hisap oleh Anopeles betina. Di dalam lambung nyamuk terjadi penggabungan
dari gametosit jantan dan betina menjadi zigote, yang kemudian mempenetrasi dinding
lambung dan berkembang menjadi Ookista. Dalam waktu 3 minggu, sporozoit kecil yang
memasuki kelenjar ludah nyamuk.
Fase eritrosit dimulai dan merozoid dalam darah menyerang eritrosit membentuk
tropozoid. Proses berlanjut menjadi trofozoit- skizonmerozoit. Setelah 2- 3 generasi merozoit
dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi
sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas/
incubasi intrinsik dimulai dari masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya
gejala klinis demam.
b. Fase Aseksual
Terjadi di dalam hati, penularan terjadi bila nyamuk betina yang terinfeksi parasit,
menyengat manusia dan dengan ludahnya menyuntikkan sporozoit ke dalam peredaran
darah yang untuk selanjutnya bermukim di sel-sel parenchym hati (Pre-eritrositer). Parasit
tumbuh dan mengalami pembelahan (proses skizogoni dengan menghasilakn skizon) 6-9 hari
kemudian skizon masak dan melepaskan beribu-ribu merozoit. Fase di dalam hati ini di
namakan Pra -eritrositer primer. Terjadi di dalam darah. Sel darah merah berada dalam

sirkulasi lebih kurang 120 hari. Sel darah mengandung hemoglobin yang dapat mengangkut
20 ml O2 dalam 100 ml darah. Eritrosit diproduksi oleh hormon eritropoitin di dalam ginjal
dan hati. Sel darah di hancurkan di limpa yang mana proses penghancuran yang di keluarkan
diproses kembali untuk mensintesa sel eritrosit yang baru dan pigmen bilirubin yang
dikelurkan bersamaan dari usus halus. Dari sebagian merozoit memasuki sel-sel darah merah
dan berkembang di sini menjadi trofozoit. Sebagian lainnya memasuki jaringan lain, antara
lain limpa atau terdiam di hati dan di sebut ekso-eritrositer sekunder. Dalam waktu 48 -72
jam, sel-sel darah merah pecah dan merozoit yang di lepaskan dapat memasuki siklus di
mulai kembali. Setiap saat sel darah merah pecah, penderita merasa kedinginan dan demam,
hal ini di sebabkan oleh merozoit dan protein asing yang di pisahkan. Secara garis besar
semua jenis Plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu tetap sebagian di tubuh
manusia (aseksual) dan sebagian ditubuh nyamuk.
6. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut
Mansjoer (1999) antara lain sebagai berikut :
a.

Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi).

Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka
periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae)
pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai
dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya Trias Malaria (malaria proxysm)
secara berurutan :
1)

Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan

selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi
saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15
menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2)

Periode panas.

Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40oC atau
lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok
(tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih
lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.

3) Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan
merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
b.

Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas Malaria Kronik.

Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit
parasit dan jaringan ikat bertambah (Corwin , 2000, hal. 571). Pembesaran limpa terjadi pada
beberapa infeksi ketika membesar sekitar 3 kali lipat. Lien dapat teraba di bawah arkus costa
kiri, lekukan pada batas anterior. Pada batasan anteriornya merupakan gambaran pada palpasi
yang membedakan jika lien membesar lebih lanjut. Lien akan terdorong ke bawah ke kanan,
mendekat umbilicus dan fossa iliaca dekstra.
c.

Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia

karena Falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan Eritrosit
normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time). Gangguan pembentukan eritrosit
karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (Mansjoer. dkk, Hal. 411).
d. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan skIera mata akibat kelebihan
bilirubin dalam darah. Bilirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga
jenis ikterus antara lain :
1) Ikterus hemolitik
Disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat
terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan
semua bilirubin yang di hasilkan.
2) Ikterus hepatoseluler
Penurunan penyerapan dan konjugasi bilirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan
di sebut dengan hepatoseluler.
3) Ikterus Obstruktif
Sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut
dengan ikterus obstuktif).
7. Pemeriksaan diagnostik

a. Pemeriksaan mikroskopis malaria


Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan pada manifestasi
klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (plasmodium) di
dalam penderita. Uji imunoserologis yang dirancang dengan bermacam-macam target
dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan mikroskopis dalam menunjang diagnosis malaria
atau ditujukan untuk survey epidemiologi di mana pemeriksaan mikrokopis tidak dapat
dilakukan. Diagnosis definitif demam malaria ditegakan dengan ditemukanya parasit
plasmodium dalam darah penderita. Pemeriksaan mikrokropis satu kali yang memberi hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosis deman malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
serial dengan interval antara pemeriksaan satu hari.
Pemeriksaan mikroskropis membutuhkan syarat-syarat tertentu agar mempunyai nilai
diagnostik yang tinggi (sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%).
1) Waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada akhir periode demam memasuki periode
berkeringat. Pada periode ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi dalam mencapai maksimal
dan cukup matur sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit.
2) Volume yang diambil sebagai sampel cukup, yaitu darah kapiler (finger prick) dengan
volume 3,0-4,0 mikro liter untuk sediaan tebal dan 1,0-1,5 mikro liter untuk sedian tipis.
3) Kualitas perparat harus baik untuk menjamin identifikasi spesies plasmodium yang tepat.
4) Identifikasi spesies plasmodium
5) Identifikasi morfologi sangat penting untuk menentukan spesies plasmodium dan
selanjutnya digunakan sebagai dasar pemilihan obat.
b. QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)
Prinsip dasar: tes floresensi yaitu adanya protein pada plasmodium yang dapat
mengikat acridine orange akan mengidentifikasi eritrosit terinfeksi plasmodium. QBC
merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan tabung kapiler dengan diameter
tertentu yang dilapisi acridine orange tetapi cara ini tidak dapat membedakan spesies
plasmodium dan kurang tepat sebagai instrumen hitung parasit.
c.Pemeriksaan imunoserologis
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi spesifik
terhadap paraasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit yang
terinfeksi plasmodium teknik ini terus dikembangkan terutama menggunakan teknik
radioimmunoassay dan enzim immunoassay.
d. Pemeriksan Biomolekuler

Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit/ plasmodium


dalam darah penderita malaria.tes ini menggunakan DNA lengkap yaitu dengan melisiskan
eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan khusus pada kasus- kasus malaria dapat diberikan tergantung dari jenis
plasmodium, menurut Tjay & Rahardja (2002) antara lain sebagai berikut:
a. Malaria Tersiana/ Kuartana
Biasanya di tanggulangi dengan kloroquin namun jika resisten perlu di tambahkan mefloquin
single dose 500 mg p.c (atau kinin 3 dd 600 mg selama 4-7 hari). Terapi ini disusul dengan
pemberian primaquin 15 mg /hari selama 14 hari)
b. Malaria Ovale
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1 dd 100 mg selama 6 hari). Atau
mefloquin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/ kg dengan interval 4-6 jam).
Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet ) yang biasanya di kombinasikan
dengan kinin (3 dd 600 mg selama 3 hari).
c. Malaria Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal
sebanyak 2-3 tablet. Kina 3 x 650 mg selama 7 hari. Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/
hari selama 7-10 hari dan aminosiklin 2 x 100 mg/ hari selama 7 hari
9. Komplikasi
Menurut Gandahusa, Ilahude dan Pribadi (2000) beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
penyakit malaria adalah :
a. Malaria otak
Malaria otak merupakan penyulit yang menyebabkan kematian tertinggi (80%) bila
dibandingkan dengan penyakit malaria lainnya. Gejala klinisnya dimulai secara lambat atau
setelah gejala permulaan. Sakit kepala dan rasa ngantuk disusul dengan gangguan kesadaran,
kelainan saraf dan kejang-kejang bersifat fokal atau menyeluruh.
b. Anemia berat
Komplikasi ini ditandai dengan menurunnya hematokrit secara mendadak (<> 3 mg/ dl.
Seringkali penyulit ini disertai edema paru. Angka kematian mencapai 50%. Gangguan ginjal
diduga disebabkan adanya Anoksia, penurunan aliran darah keginjal, yang dikarenakan
sumbatan kapiler, sebagai akibatnya terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus.

c. Edema paru
Komplikasi ini biasanya terjadi pada wanita hamil dan setelah melahirkan. Frekuensi
pernapasan meningkat. Merupakan komplikasi yang berat yang menyebabkan kematian.
Biasanya disebabkan oleh kelebihan cairan dan Adult Respiratory Distress Syndrome
(ARDS).
e. Hipoglikemia
Konsentrasi gula pada penderita turun (< style="font-weight: bold;">B. Konsep Dasar.

ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS:
Tn. G umur 40 tahun datang ke poli Rumah sakit dengan keluhan badan terasa dingin
menggigil yang hilang timbul suhu badan makin lama makin panas (40 o) dan banyak
mengeluarkan keringat seperti orang mandi, dan gejala seperti itu sudah tiga kali berulang,
perut mual disertai muntah kepala terasa sakit timbulnya sakit setiap dua hari sekali, mukosa
tampak kering pada bibir, TD=110/70,
1

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Malaria

A. Pengkajian
1.

Anamnesa

Identitas Klien
Nama

: Tn. G

Umur

: 40 tahun

Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari malaria yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab malaria


Dasar data pengkajian
a.

Aktivitas/ istirahat

Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum


Tanda : Takikardi, Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal atau sedikit menurun. (fase demam) Kulit hangat,
hipovolemia.
c.

Makanan dan cairan

Gejala : Anoreksia mual dan muntah


Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan, dan Penurunan masa otot.

d. Neuro sensori
Gejala : Sakit kepala, pusing
Tanda : Gelisah
DS :
Tn. G mengeluhkan badan terasa dingin dan menggigil yang hilang timbul.
Tn. G mengeluhkan mual disertai muntah dan sakit kepala yang timbul dua hari sekali
Tn. G mengeluhkan badannya semakin lama makin panas dan banyak mengeluarkan
keringat dan telah berulang tiga kali.
DO :
TD = 110/70 mmHg
Mukosa bibir kering
Suhu = 40o C
B. ANALISA DATA
SIGN & SYMPTOM
DS :

Tn.

badannya

mengeluhkan
semakin

lama

ETIOLOGI
Infeksi plasmodium

PROBLEM
Hipertermia

makin panas dan banyak


mengeluarkan keringat dan
telah berulang tiga kali.

DO :
Suhu = 40o C
DS :

Pengeluaran keringat

Defisit volume cairan

yang berlebihan dan


Tn. G mengeluhkan mual

muntah

disertai muntah dan sakit


kepala yang timbul dua
hari sekali
Tn.G

mengeluarkan

mengeluhkan
keringat

seperti orang mandi


DO :

DS:

Penurunan komponen

Perubahan perfusi jaringan

seluler pengirim O2 dan


Tn.G mengatakan sakit

nutrient dalam tubuh

kepala yang timbul dua


hari sekali
DO:
TD = 110/70

C. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme, dehidrasi, efek langsung
sirkulasi kuman pada hipotalamus.

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran keringat yang berlebihan dan
muntah.
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang di
perlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh.
D. NCP
NO
1.

Diagnosa

Tujuan

Keperawatan
Hipertermi b.d

Adanya

infeksi virus

peningkatan
suhu

Ds: keluarga An.T

mencapai

mengatakan badan

Intervensi
-

berikan kompres

Rasional
- menurunkan suhu

hangat

tubuh
-

normalnya

anak T panas

tubuh

observasi tanda-

menentukan

tanda vital terutama

tindakan

suhu tubuh

keperawatan
selanjutnya

Do:

Kriteria Hasil :

Berikan banyak
minum air putih

- Suhu 40 C

Dapat
menurunkan suhu

Kulit

teraba

tubuh

normal
-

berikan pakaian

- suhu normal 36- tipis yang mudah


370 C

menyerap keringat

mencegah
penguapan

yang

berlebihan

- HB 12
- Leukosit normal

kolaborasi medis
untuk pemberian

Trombosit infuse dan obat-

obatan antipiretik

normal 150.000

mendukung
perawatan

dan

penatalaksnaan
2.

Defisit
cairan
pengeluaran

volume Gangguan
b.d volume
tubuh

keringat berlebihan teratasi


dan muntah.

- kaji keadaan umum cairan

kondisi pasien

dapat
-

medis
untuk mengetahui

obserfasi

tanda-

DS:

KH:

tanda vital (s,n,rr)

mengevaluasi
keadaan pasien

Tn.G mengeluhkan-

perlahan-lahan

mengeluarkan
keringat

volume cairan

seperti teratasi

orang mandi

Pengeluaran

disertai
muntah dan sakit
kepala yang timbul

tanda-

tanda dehidrasi

Tn. G mengeluhkan keringat normal


mual

obserfasi

memenuhi
kebutuhan pasien

Tidak muntah
muntah lagi

observasi tetesan
infus

dua hari sekali

dan

lokasi-

penusukan jarum

menjaga
keseimbangan
cairan

DO:

balance
(input

cairan

dan

output-

cairan)

supaya
mengetahui berapa
banyak

cairan

yang masuk dan


keluar dari tubuh

beri pasien dan


anjurkan

keluarga

pasien
menganti

untuk
pakaian

pasien yang basah


oleh keringat

menjaga
kenyamanan
pasien

kolaborasi:
-

pemberian cairan
infus dextrosa sesuai
dengan indikasi

Pemberian

Obat

untuk
mempertahankan

antiemetik

volume

cairan

dalam

tubuh

pasien

3.

Perubahan

perfusi Setelah

jaringan

b.d dilakukan

penurunan

tindakan

komponen
pengirim

seluler keperawatan
O2

nutrient

dalam perfusi yang

tubuh
Ds:

dan menunjukkan

- Ukur tanda-tanda

mengatakan
sakit kepala d

informasi tentang

pengisian kapiler,

keadekuatan

warna

perfusi jaringan

kulit/membrane

dan membantu

mukosa, dasar kuku.

kebutuhan
intervensi.

G KH:
terasa
- sakit kepala
hilang

Do:

- Auskultasi bunyi
napas.

- Dispnea,
gemericik
menunjukkan CHF

- TD= 120/80
- TD = 110/70

muntah
- memberikan

vital, observasi

adekuat
Tn.

dapat mengurangi

normal

karena regangan
jantung
lama/peningkatan

kompensasi curah
jantung.
- Observasi keluhan
nyeri dada, palpitasi.- Iskemia seluler
mempengaruhi
jaringan
miokardial/potensi
al resiko infark.
- Evaluasi respon
verbal melambat,
agitasi, gangguan

- Dapat

memori, bingung.

mengindikasikan
gangguan perfusi
serebral karena
hipoksia.

- Evaluasi keluhan
dingin, pertahankan
suhu lingkungan dan
tubuh supaya tetap
hangat.

- vasokonstriksi (ke
organ vital)
menurunkan
sirkulasi perifer.

- Observasi hasil
pemeriksaan
laboratorium darah
lengkap
Kolaborasi

- mengidentifikasi
defisiensi dan
kebutuhan
pengobatan/respon

- Berikan transfusi

s terhadap terapi.

darah
lengkap/packed
sesuai indikasi.

- meningkatkan
jumlah sel

pembawa oksigen,
memperbaiki
defisiensi untuk
- Berikan oksigen
sesuai indikasi.
.

mengurangi resiko
perdarahan.
- memaksimalkan
transpor oksigen
ke jaringan.

PEMBAHASAN
ASKEP DIFTERI

A. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik
(racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae

B. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput
lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung
dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak,
sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf

4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora

1.

2.

a)
b)

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60 C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil
yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan
agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih
keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik
dan kuman.
Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini
menjadi 3 tingkat yaitu :
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga

mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.


c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal).

Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut
lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian
secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran
pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa
pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan
peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa
bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan
ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit
menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.

3. Difteri laring dan trakea


Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat
timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada
bulls neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi
oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi
sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada
difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah
konjungtiva dan umbilikus.
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa
otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

C.

Manifestasi Klinis

a. Gejala umum.
Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak
lemah.
b. Gejala lokal
Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional, sesa nafas,
serak sampai dengan stridor jika penyakit sudah stadium lanjut. Gejala akibat eksotoksin
tergantung bagian yang terkena missal mengenaiotot jantung terjadi miokarditis, dan bila
mengenai syaraf mnyebabkan kelumpuhan.

D. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila
terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva,
kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian
menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya

akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul
paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada
hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada
umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada
laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya
bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga
melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat
mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan
bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya
berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan
pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering
dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien
difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti
mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut

Iwansain,2008

dalam

http://www.iwansain.wordpress.com

secara

sederhana pathofisiologi difteri yaitu :


1.

Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada
vulva, kulit, mata.

2.

Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul


lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan
tampak membengkak dan mengandung toksin.

3.

Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.

4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea
dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

E. Penatalaksanaan
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.

Pengobatan spesifik untuk difteri :


1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya
a.

harus dilakukan uji kulit dan mata.


TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1 cm

(+)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4
sampai 6 jam observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada
pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis.
3. Kortikosteroid,

untuk

mencegah

timbulnya

komplikasi

miokarditis

yang

sangat

membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila


terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila
pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin mg
dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

F. Pemeriksaan penunjang
a)

Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri


(Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).

b)

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis


polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).

c)

Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah


membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).

d) Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah
merah (Rampengan, 1993 )
e)

Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein


(Rampengan, 1993 ).

f)

Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab
untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

G.

Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ

lainnya:
a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan
gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
d. Kerusakan ginjal (nefritis).

H. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman
difteri dua kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala
klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3.

Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi

DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan
4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan
dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada
usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang
didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis
yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick
Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.

Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman

difteri.
Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika
positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

Cara Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada
bayi dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin
yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell
pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain
mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan
interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4
diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali
walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen
pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia
maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan
konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang
sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin
serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6
bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa
jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang
memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td
setiap 10 tahun kemudian.

4.

Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap
sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.

5.

Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan
mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan
vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada
orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar


a.

Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria
kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan
sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2
kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan
isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

b.

Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita
dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan
menyeluruh.

c.

Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan


pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak
yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai
mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan
bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

d.

Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample
hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM:
lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari
direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan
penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan
atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut
hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang
sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster
apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan
bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar
dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

e.

Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari
sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan
kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

ASUHAN KEPERAWATAN

A.

Pengkajian

1.

Biodata

a.

Umur
Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur

dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun


Suku bangsa
Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c.
Tempat tinggal
Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan
b.

sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.


Keluhan Utama
Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
2.

Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam ,lesu, pucat, sakit
kepala, anoreksia.
4.

Riwayat Kesehatan Dahulu


Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas
dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah

5.

Riwayat Penyakit Keluarga


Adanya keluarga yang mengalami difteri

6.
a.

Pola Fungsi Kesehatan


Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b.
Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c.
Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.
d.
Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia .
7.

Pemeriksaan fisik
B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada laring/trakea,
suara serak, stridor, sesak napas.

B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis
dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan
tanda-tanda payah jantung.
B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung menurun,
pucat.
B6 : Bone
Bedrest.
B. Diagnosa keperawatan
1.
Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema kelenjer
limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

C. Rencana Keperawatan
N

TUJUAN

INTERVENSI

O
1

X
I

Setelah dilakukan
1.
tindakan

Observasi tanda 1.

RASIONAL
untuk

mengetahui

tanda vital.
keadaan umum pasien
Berikan posisi yang
keperawatan
terutama
pada
nyaman /semi fowler.
tentang Oxygen
pernapasannya.
3.
Anjurkan pasien agar
2.
Peninggian kepala
2.

theraphy

tidak

terlalu

banyak mempermudah

diharapkan

o
2

II
o

pola bergerak.
4.
Kolaborasi dengan
nafas
pasien
dokter
dalam
kembali normal.
pemberian O2 lembab
Kriteria hasil :
atau inhalasi, bila perlu
Frekuensi
dilakukan
3.
pernafasan dalam
trachcostomi.
batas normal.
4.
Tidak ada suara

pernapasan

dengan

menggunakan
gravitasiatau
mempermudah
pertukaran O2 dan CO2.
Agar sesak tidak
bertambah.
Membantu kekentalan
secret

nafas tambahan.

fungsi

sehingga

mempermudah
1.

Kaji status

nyeri

Setelah dilakukan

frekuensi,
1.
durasi, dan intensitas

pengeluarannya.

(lokasi,

Memberikan

data

dasar untuk menentukan


nyeri).
2.
Berikan posisi yang dan
mengevaluasi
keperawatan klien
nyaman/ semi fowler.
intervensi
yang
mengalami
3.
Ajarkan tekhnik
diberikan.
pengurangan
relaksasi, seperti napas
2.
Menurunkan stimulus
tindakan

III

nyeri.
o
o

IV

dalam, visualisasi, dan terhadap renjatan nyeri.


3.
Meningkatkan
Kriteria hasil :
bimbingan imajinasi.
4.
Kolaborasi dengan relaksasi yang dapat
Klien tampak
dokter
dalam menurnkan rasa nyeri
rileks.
Nyeri berkurang/ pemberian analgesik.
klien.
4.
Sebagai profilaksis
hilang.
untuk
1.
2.

menghilangkan
Kaji suhu klien.
Berikan kompres /mengurangi rasa nyeri
dengan air hangat pada dan spasme otot.
daerah

Setelah dilakukan
3.
tindakan

dahi,

lipatan paha.
Anjurkan

axila,
1.
minum

Untuk
mengidentifikasi

pola

demam klien.
yang banyak seseuai
2.
Vasodilatasi
keperawatan
toleransi klien.
pembuluh darah akan
diharapakan suhu
4.
Kolaborasi dengan
melepaskan
panas
tubuh
klien dokter
dalam
tubuh.
diharapkan
pemberian
terapi

normal.

( antipieretik) .

3.

Kriteria hasil :
o

Suhu
normal

tubuh

tubuh
(36,50C1.

37,50C.
o Akral hangat.

dalam
porsi kecil
dengan

tindakan

perlu

diimbangi

dengan

menurunkan
disertai

diharapkan

suhu

tubuh.

makanan
1.

Menganalisis

lunak/lembek.
4.
Berikan makan sesuai penyebab

keperawatn

klien terpenuhi.

dengan selera.
ketidakadekuatan
Kolaborasi dengan
nutrisi.
dokter
dalam
2.
Mulut yang bersih

Kriteria hasil:

pemberian

kebutuhan nutrisi
5.

obat dapat

o Nafsu makan klien antiemetic.

meningkat

sehingga
Kaji pola makan

suhu

asupan cairan yang


klien.
2.
Anjurkan kebersihan banyak.
4.
Obat
antipiretik
oral sebelum makan.
3.
Anjurkan makan membantu
klien

Setelah dilakukan

Peningkatan

membaik.
Porsi makanan

meningkatkan/

merangsang
3.

nafsu

makan klien.
Makanan dalam porsi

yang dihidangkan

kecil mudah dikonsumsi

habis.
Klien

oleh
tidak

mencegah

mengalami mual,
muntah.

klien

4.

dan

terjadinya

anoreksia.
Meningkatkan intake

makanan.
5.
Menghilangkan mual,
muntah
meningkatkan
makan.

dan
nafsu

TUGAS KEPERAWATAN ANAK


ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM BERDARAH DENGUE
dan
ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS
Dosen Pembimbing : Antarini, M.kep., Sp. An.

KELOMPOK 6
1. Arif Hidayat

2.
3.
4.
5.

Alvin Ghali Anugerah


Dina Oktarina
Nyimas Maryama
Widya Puji Aldina

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D-IV KEPERAWATAN
2015
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM BERDARAH DENGUE
A. PENGERTIAN
Demam berdarah dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus
(Arthropadborn Virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aides (Aides albopictus
dan Aedes Aegepty) (Ngastiyah, 2005).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam
manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat
menyebabkan kematian (Arief Mansjoer, 2000).
Dengue hemoragic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang disertai leukopenia,
dengan / tanpa ruam (rash) dan limfadenopati. Thrombocytopenia ringan dan bintikbintik perdarahan (Noer Syaifullah, 2000).
Jadi demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan menifestasi klinis demam disertai gejala perdarahan dan
bila timbul renjatan dapat menyebabkan kematian. Untuk memahami DHF perlu
pemahaman terkait Anatomo fisiologi pada sistem sirkulasi.
B. Etiologi

Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan


nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
Infeksi oleh salah satu serotipe meninbulkan anti badi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.Virus
dengue terutama di tularkan melalui vektor nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes
albopictus, aedes poly nesiensis, dan beberapa spesies lain kurang berperan. Jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh indonesia .
Mekanisme sebenarnya mengenai patofisiologi,hemodinamika,dan biokimia
DHF hingga kini belum di ketauhi secara pasti. Sebagian besar sarjana masih
menganut The Secondary Heterologous Infection Hyphotesis ata The Sequential
Infection Hyphotesis dari Halsteel yang menyatakan bahwa DHF dapat terjadi bila
seorang seteleh terinfeksi degue untuk pertamakalinya mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berbeda (Nursalam, 2005).
C. Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terjadi
viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab yang jelas disertai
gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di seluruh tubuh, nafsu
makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit. Selain itu kelainan
dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran kelenjar-kelenjar
getah bening, hati dan limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin, histamin dan serotonin
serta aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
kapiler/vaskuler sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke ekstravaskuler atau

terjadinya perembesaran plasma akibatnya terjadi pengurangan volume plasma yang


terjadi hipovolemia, penurunan tekanan darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia,
efusi dan renjatan. Selain itu sistem reikulo endotel bisa terganggu sehingga
menyebabkan reaksi antigen anti body yang akhirnya bisa menyebabkan Anaphylaxia.
Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah akan menyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi trombositopenia yang berlanjut akan
menyebabkan perdarahan karena gangguan trombosit dan kelainan koagulasi dan
akhirnya sampai pada perdarahan kelenjar adrenalin.
Plasma merembas sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat
renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai
30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang
tidak dengan segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan,asidosis metabolik dan
kematian. Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7.
Reaksi lainnya yaitu terjadi perdarahan yang diakibatkan adanya gangguan
pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia (trombosit <
100.000/mm3), menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi
(protrombin, faktor V, IX, X dan fibrinogen). Pembekuan yang meluas pada
intravaskuler (DIC) juga bisa terjadi saat renjatan. Perdarahan yang terjadi seperti
petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, sampai perdarahan hebat pada
traktus gastrointestinal (Rampengan, 1997).

Pathway Dbd

D. Manifestasi Klinik
Kasus DHF di tandai oleh manifestasi klinis, yaitu : demam tinggi dan
mendadak yang dapat mencapa 40 C atau lebih dan terkadang di sertai dengan kejang
demam, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah (vomiting), epigastric, discomfort,
nyeri perut kana atas atau seluruh bagian perut; dan perdarahan, terutama perdarahan
kulit,walaupun hanya berupa uji tuorniquet poistif. Selain itu, perdarahan kulit dapat
terwujud memar atau dapat juga dapat berupa perdarahan spontan mulai dari ptechiae
(muncul pada hari-hari pertama demam dan berlangsung selama 3-6 hari) pada
extremitas, tubuh, dan muka, sampai epistaksis dan perdarahan gusi. Sementara
perdarahan gastrointestinal masif lebih jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada
kasus dengan syok yang berkepanjangan atau setelah syok yang tidak dapat teratasi.
Perdarahan lain seperti perdarahan sub konjungtiva terkadang juga di temukan. Pada
masakonvalisen sering kali di temukan eritema pada telapak tangan dan kaki dan
hepatomegali.

Hepatomegali pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan


pembesaran hati ini tidak sejajar dengan beratanya penyakit. Nyeri tekan seringkali di
temukan tanpa ikterus maupun kegagalan peredaran darah (circulatory failure)
(Nursalam, 2005).
Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF, dengan
masa inkubasi antara 13-15 hari menurut WHO (1975) sebagai berikut
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti
perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis. Epistaksis, Hematemesis, Hematuri,
dan melena)
3. Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolik 20 mmHg atau

kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, penderita gelisah timbul sianosis disekitar mulut.
Selain timbul demam, perdarahan yang merupakan ciri khas DHF gambaran
klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah:
a. Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu
menelan.
b. Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare,
konstipasi
c. Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada
otot, tulang dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal
pada saluran tubuh dll.
d. Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah
thrombocytopenia (kurang atau sama dengan 100.000 mm3) dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih atau sama dengan 20
%)

E. Klasifikasi Dengue Hemoragic Fever (DHF)


Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitanya
dengan pengelolaan dan prognosis, WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat
setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu :
1. Derajat I
Demem mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas, dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah tes toniquet positif
2. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan lemah tekanan
darah rendah, gelisah, sianosis mulut, hidung dan ujung jari.
4. Derajat IV

Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.

F. Penatalaksaaan
1. Medis
Pada dasarnya pengoobatan pasien DHF bersifat simtomatis dan suportif
a. DHF tanpa renjatan
Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan pasien
dehidrasi dan haus. Pada pasien ini perlu diberi banyak minum, yaitu 1,5
sampai 2 liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susu, dan bila
mau lebih baik oralit. Cara memberikan minum sedikit demi sedikit dan orang
tua yang menunggu dilibatkan dalam kegiatan ini. Jika anak tidak mau minum
sesuai ang dianjurkan tidak dibenarkan pemasangan sonde karena merangsang
resiko terjadi perdarahan.
Keadaan hiperpireksia diatasi dengan obat anti piretik dan kompres
dingin. Jika terjadi kejang diberi luminal atau anti konfulsan lainnya. Luminal
diberikan dengan dosis : anak umur kurang 1 tahun 50 mg IM, anak lebih 1
tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti lminal diberikan lagi
dengan dosis 3 mg/kg BB. Anak diatas 1 tahun diveri 50 mg, dan dibawah 1
tahun 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi fungsi vital.
Infus diberikan pada pasien DHF tanpa renjatan apabila :
a) Pasien terus-menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga
mengancam terjadinya dehidrasi.
b) Hematokrit yang cenderung meningkat.
Hematokrit mencerminkan kebocoran plasma dan biasanya
mendahului mnculnya secara klinik perubahan fungsi vital (hipotensi,
penurunan tekanan nadi), sedangkan turunya nilai trombosit biasanya
mendahului naiknya hematokrit. Oleh karena itu, pada pasien yang diduga
menderita DHF harus diperiksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari mlai hari ke-3

sakit sampai demam telah turun 1-2 hari. Nilai hematokrit itlah yang
menentukan apabila pasien perlu dipasang infus atau tidak.

` b. DHF disertai renjatan


Pasien yang mengalami renjatan (syok) harus segera dipasang infus sebagai
penganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan biasanya
Ringer Laktat. Jika pemberian cairan tidak ada respon diberikan plasma atau plasma
ekspander, banyaknya 20-30 ml/kgBB. Pada pasien dengan renjatan berat diberikan
infus harus diguyur dengan cara membuka klem infus.
Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, amplitudo nadi besar,
tekanan sistolik 80 mmHg /lebih, kecepatan tetesan dikurangi 10 l/kgBB/jam.
Mengingat kebocoran plasma 24-48 jam, maka pemberian infus dipertahankan sampai
1-2 hari lagi walaupn tanda-tanda vital telah baik.
Pada pasien renjatan berat atau renjaan berulang perlu dipasang CVP (Central
Venous Pressure) untuk mengukur tekanan vena sentral melalui vena magna atau vena
jugularis, dan biasanya pasien dirawat di ICU.
Trafusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang
berat. Kadang-kadang perdarahan gastrointestinal berat dapat diduga apabila nilai
hemoglobin dan hematokrit menutun sedangkan perdarahanna sedikit tidak kelihatan.
Dengan memperhatikan evaluasi klinik yang telah disebut, maka engan keadaan ini
dianjurka pemberian darah.
2. Keperawatan
Masalah pasien yang perlu diperhatikan ialah bahaya kegagalan sirkulasi
darah, resiko terjadi pendarahan, gangguan suhu tubuh, akibat infeksi virus dengue,
gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit
a. Kegagalan sirkulasi darah

Dengan adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke dalam jaringan


ekstrovaskular, yang puncaknya terjadi pada saat renjatan akan terlihat pada tubuh
pasien menjadi sembab (edema) dan darah menjadi kental.
Pengawasan tanda vital (nadi, TD, suhu dan pernafasan) perlu dilakukan
secara kontinyu, bila perlu setiap jam. Pemeriksaan Ht, Hb dan trombosit sesuai
permintaan dokter setiap 4 jam. Perhatikan apakah pasien ada kencing / tidak. Bila
dijumpai kelainan dan sebagainya segera hubungi dokter.
b. Resiko terjadi pendarahan
Adanya thrombocytopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya
faktor koagulasi merupakan faktor penyebab terjadinya pendarahan utama pada
traktus gastrointestinal. Pendarahan grasto intestinal didahului oleh adanya rasa sakit
perut yang hebat (Febie, 1966) atau daerah retrosternal (Lim, dkk.1966).
Bila pasien muntah bercampur darah atau semua darah perlu diukur. Karena
melihat seberapa banyak darah yang keluar perlu tindakan secepatnya. Makan dan
minum pasien perlu dihentikan. Bila pasien sebelumnya tidak dipasang infuse segera
dipasang. Formulir permintaan darah disediakan.
Perawatan selanjutnya seperti pasien yang menderita syok. Bila terjadi
pendarahan (melena, hematesis) harus dicatat banyaknya / warnanya serta waktu
terjadinya pendarahan.
Pasien yang mengalami pendarahan gastro intestinal biasanya dipasang NGT
untuk membantu mengeluarkan darah dari lambung.
c. Gangguan suhu tubuh
Gangguan suhu tubuh biasanya terjadi pada permulaan sakit atau hari ke-2-ke7 dan tidak jarang terjadi hyperpyrexia yang dapat menyebabkan pasien kejang.
Peningkatan suhu tubuh akibat infeksi virus dengue maka pengobatannya dengan
pemberian antipiretika dan anti konvulsan. Untuk membantu penurunan suhu dan
mencegah agar tidak meningkat dapat diberikan kompres dingin, yang perlu
diperhatikan, bila

terjadi penurunan suhu yang mendadak disertai berkeringat banyak sehingga


tubuh teraba dingin dan lembab, nadi lembut halus waspada karena gejala renjatan.
Kontrol TD dan nadi harus lebih sering dan dicatat secara baik dan memberitahu
dokter.
d. gangguan rasa aman dan nyaman
Gangguan rasa aman dan nyaman dirasakan pasien karena penyakitnya dan
akibat tindakan selama dirawat. Hanya pada pasien DHF menderita lebih karena
pemeriksaan darah Ht, trombosit, Hb secara periodic (setiap 4 jam) dan mudah terjadi
hematom, serta ukurannya mencari vena jika sudah stadium II.
Untuk megurangi penderitaan diusahakan bekerja dengan tenang yakinkan
dahulu vena baru ditusukan jarumnya. Jika terjadi hematum segera oleskan
trombophub gel / kompres dengan alkohol.
Bila pasien datang sudah kolaps sebaiknya dipasang venaseksi agar tidak
terjadi coba-coba mencari vena dan meninggalkan bekas hematom di beberapa
tempat. jika sudah musim banyak pasien DHF sebaiknya selalu tersedia set venaseksi
yang telah seteril.
G. Komplikasi
Dalam penyakit DHF atau demam berdarah jika tidak segera di tangani akan
menimbulkan kompikisi adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan
Perdarahan pada DHF disebabkan adanya perubahan vaskuler,
penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) <100.000 /mm
dankoagulopati, trombositopenia, dihubungkan dengan meningkatnya
megakoriosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup
trombosit.
Tendensi perdarahan terlihat pada uji tourniquet positif, petechi,
purpura, ekimosis, dan perdarahan saluran cerna, hematemesis dan melena.

2. Kegagalan sirkulasi
DSS (Dengue Syok Sindrom) biasanya terjadi sesudah hari ke 2 7,
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi
kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum,
hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemi yang mengakibatkan
berkurangnya aliran balik vena (venous return), prelod, miokardium volume
sekuncup dan curah jantung, sehingga terjadi disfungsi atau kegagalan
sirkulasi dan penurunan sirkulasi jaringan.
DSS juga disertai dengan kegagalan hemostasis mengakibatkan
aktivity dan integritas system kardiovaskur, perfusi miokard dan curah jantung
menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi iskemia jaringan dan kerusakan
fungsi sel secara progresif dan irreversibel, terjadi kerusakan sel dan organ
sehingga pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.
3. Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemakan yang berhubungan
dengan nekrosis karena perdarahan, yang terjadi pada lobulus hati dan sel sel
kapiler. Terkadang tampak sel netrofil dan limposit yang lebih besar dan lebih
banyak dikarenakan adanya reaksi atau kompleks virus antibody.
4. Efusi pleura
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yang mengakibatkan
ekstravasasi aliran intravaskuler sel hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya cairan dalam rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi
dispnea, sesak napas.

H. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian Fokus
a. Identitas pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan
usia kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua,
pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF datang ke
rumah sakit adalah panas tinggi dan pasien lemah.
c. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak dengan disertai
menggigil dan saat demam kesadaran kompos mentis. Panas turun terjadi
antara hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang
disertai keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare
atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan
pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi perdarahan
pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemasis.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Ada kemungkinan anak yang telah terjangkau penyakit DHF bisa
berulang DHF lagi, Tetapi penyakit ini tidak ada hubungannya dengan
penyakit yang pernah diderita dahulu.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit DHF bisa dibawa oleh nyamuk jadi jika dalam satu
keluarga ada yang menderita penyakit ini kemungkinan tertular itu besar.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga

Daerah atau tempat yang sering dijadikan tempat nyamuk ini


adalah lingkungan yang kurang pencahayaan dan sinar matahari, banyak
genangan air, vas and ban bekas.
g. Riwayat Tumbuh Kembang Anak
Sesuai dengan tumbuh kembang klien.
h. ADL
1. Nutrisi

2. Aktifitas

: Dapat menjadi mual, muntah, anoreksia.


: Lebih banyak berdiam di rumah selama musim

hujan dapat terjadi nyeri otot dan sendi, pegal-pegal pada


seluruh tubuh, menurunnya aktifitas bermain.
3. Istirahat tidur
: Dapat terganggu karena panas, sakit kepala
dan nyeri.
4. Eliminasi alvi
: Dapat terjadi diare/ konstipasi, melena.
5. Personal hygiene : Pegal-pegal pada seluruh tubuh saat panas
dapat meningkatkan ketergantungan kebutuhan perawatan
diri.
i. Pemeriksaan
1. Keadaan umum : Suhu tubuh tinggi (39,4 41,1 0C),
menggigit hipotensi,nadi cepat dan lemah.
: tampak bintik merah (petekie), hematom,

2. Kulit

ekimosit.
3. Kepala

: mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah

kotor (kadang).
4. Dada
: nyeri tekan epigastrik, nafas cepat dan sering
berat.
5. Abdomen

: pada palpasi teraba pembesaran hati dan limfe

pada keadaan dehidrasi turgor kulit menurun.


6. Anus dan genetalia : dapat terganggu karena diare/ konstipasi.
7. Ekstrimitas atas dan bawah : ekstrimitas dingin, sianosis.
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan di
jumpai:
1.
2.
3.
4.

Hb dan PCV meningkat (20%).


Trombositopenia (100.000/ml).
Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis).
Ig.D.dengue positif.

5. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukan: hipoprotinemia,


hipokloremia, dan hiponatremia.
6. Urium dan PH darah mungkin meningkat.
7. Asidosis metabolik: pCO <35-40 mmHg HCO rendah.
8. SGOT/SGPT memungkinkan meningkat.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi
virus.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler, perdarahan, muntah dan demam.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
mual, muntah, anoreksia.
4. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
5. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan keletihan, malaise
sekunder akibat DHF.

PERENCANAAN
A. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan kegawatan masalah.
B. Tujuan, Kriteria hasil : Rencana tindakan dan Rasional Rencana Tindakan
1. Dx I Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi
virus. Tujuan: Anak menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh 36-37 0C
b. Pasien bebas dari demam.
Rencana tindakan :
a. Monitor temperatur tubuh
Rasional : Perubahan temperatur dapat terjadi pada proses infeksi akut.
b. Observasi tanda-tanda vital (suhu, tensi, nadi, pernafasan tiap 3 jam atau
lebih sering).
Rasional :
Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Anjurkan pasien untuk minum banyak 1 -2 liter dalam 24 jam.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh
meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan yang banyak.
d. Berikan kompres dingin Rasional : Menurunkan panas lewat konduksi.

e. Berikan antipiretik sesuai program tim medis Rasional : Menurunkan panas


pada pusat hipotalamus.
2. Dx II Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah, dan demam.
Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan cairan.
Kriteria hasil :
a. TTV (nadi, tensi) dalam batas normal.
b. Turgor kulit kembali dalam 1 detik.
c. Ubun-ubun datar.
d. Produksi urine 1 cc/ kg/ BB/ jam.
e. Tidak terjadi syok hipovolemik.
Rencana tindakan :
a. Kaji keadaan umum pasien
Rasional : Menetapkan data dasar untuk mengetahui dengan cepat
penyimpangan dari keadaan normalnya.
b. Observasi tanda-tanda syok (nadi lemah dan cepat, tensi menurun akral
dingin, kesadaran menurun, gelisah)
Rasional : Mengetahui tanda syok sedini mungkin sehingga dapat segera
dilakukan tindakan.
c. Monitor tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit turun, ubun-ubun cekung
produksi urin turun).
Rasional : Mengetahui derajat dehidrasi (turgor kulit turun, ubun-ubun
cekung produksi urin turun).
d. Berikan hidrasi peroral secara adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Rasional : Asupan cairan sangat diperhatikan untuk menambah volume
cairan tubuh.
e. Kolaborasi pemberian cairan intravena RL, glukosa 5% dalam half
strenght NaCl 0,9%, Dextran L 40. f.
Rasional : Pemberian cairan ini sangat penting bagi pasien yang mengalami
defisit volume cairan dengan keadaan umum yang buruk karena cairan ini
langsung masuk ke pembuluh darah.
3. Dx III Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual, muntah dan anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi pasien
terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Adanya minat/ selera makan.
b. Porsi makansesuai kebutuhan.
c. BB dipertahankan sesuai usia.
d. BB meningkat sesuai usia.
Rencana tindakan :

a. Monitor intake makanan Rasional : Memonitor intake kalori dan


insufisiensi kualitas konsumsi makanan.
b. Memberikan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan. Rasional :
Mengurangi rasa tidak nyaman dan meningkatkan selera makan.
c. Sajikan makanan yang menarik, merangsang selera dan dalam suasana
yang menyenangkan. Rasional : Meningkatkan selera makan sehingga
meningkatkan intake makanan.
d. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Makan dalam porsi besar/ banyak lebih sulit dikonsumsi saat pasien
anoreksia.
a. Timbang BB setiap hari. Rasional : Memonitor kurangnya BB dan
efektifitas intervensi nutrisi yang diberikan.
b. Konsul ke ahli gizi. Rasional : Memberikan bantuan untuk menetapkan
diet dan merencanakan pertemuan secara individual bila diperlukan.
4. Dx IV Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda perfusi jaringan perifer yang adekuat.
Kriteria hasil :
a. Suhu ekstrimitas hangat, tidak lembab, warna merah muda.
b. Ekstrimitas tidak nyeri, tidak ada pembengkakan.
c. CRT kembali dalam 1 detik.
Rencana tindakan :
a. Kaji dan catat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi nadi, tensi, capilary
reffil). Rasional : Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui penurunan
perfusi ke jaringan.
b. Kaji dan catat sirkulasi pada ekstrimitas (suhu kelembaban, dan warna).
Rasional : Suhu dingin, warna pucat pada ekstrimitas menunjukkan sirkulasi
darah kurang adekuat.
c. Nilai kemungkinan kematian jaringan pada ekstrimitas seperti dingin, nyeri,
pembengkakan, kaki.
Rasional : Mengetahui tanda kematian jaringan ekstrimitas lebih awal dapat
berguna untuk mencegah kematian jaringan.
5. Dx V Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan keletihan malaise
sekunder akibat DHF.
Tujuan : Rasa nyaman pasien terpenuhi dengan kriteria nyeri berkurang atau
hilang. Rencana tindakan :
a. Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan memberi rentang nyeri (0-10)

Rasional : Mengetahui nyeri yang dialami pasien sehingga perawat dapat


menentukan cara mengatasinya.
b. Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri.
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat
melakukan intervensi yang sesuai dengan masalah klien.
c. Berikan posisi yang nyaman dan ciptakan suasana ruangan yang tenang.
Rasional : Posisi yang nyaman dan situasi yang tenang dapat membuat
perasaan yang nyaman pada pasien.
d. Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri
dengan mainan, membaca buku cerita. Rasional : Dengan melakukan aktifitas
lain pasien dapat sedikit mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri.
e. Kolaborasi pemberian obat-obatan analgesik. Rasional : Obat analgesik dapat
menekankan rasa nyeri.

PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS
A. Pengertian
Tetanus adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh clostridium tetani
yang menghasilkan exotoksin.
Tetanus adalah suatu sindrom spasme dan rigriditas otot. Ciri dari penyakit
akut ini adalahkontraksi otot ( kekakuan dan kejang ) yang nyeri, tanpa
disertai

gangguan

kesadaran.Clostridium tetani merupakan suatu organisme gram

positif, anaerob, membentuk spora, yangmenghasilkan suatu neurotoksin yang sangat


kuat. Basil dan spora tersebar luas di tanah dandebu dan terdapat pada feses hewan
dan manusia. Inokulasi dari suatu luka oleh kotoran ataudebu paling sering terjadi
pada luka tusuk. Pada banyak kasus,luka semula mungkin sangat kecilatau terluut
secara

keseluruhan.

Pada

neonatus,

penularan

dapat

terjadi

akibat

kontaminasiumbilikus yang saat menjadi nekrotik, memudahkan pertumbuhan


organisme anterior darimedulla spinalis dan batang otak.

B. Patofisiologis
1. Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti, luka
tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka
yang kotor dan bayi dapat melalui tali pusat.
2. Organisme multipel membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang
merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan
ketergantungan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat.
Kemudian tetanolysin yang tampaknya tidak significance.
3. Exsotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan
mewakali akson neuron atau sitem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat

pada sel saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh
antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat
mudah dinetralkan aritoksin.
4. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin
diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksik silidrik dibawa
kornu arterior susunan saraf pusat. Kedua toksin diabsorbsi oleh sumsum
limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam
susunan saraf pusat.
5. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot menjadi
kejang dan mudah sekali terangsang.
6. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang
sering terjadi adalah 14 hari. Sedangkan neunatus 5 sampai 14 hari

Pathway
Luka

Colustrum tetani

Sistem saraf pusat

Sistem pencernaan

Kekakuan otot

Kesukaran membuka mulutKejang


Perut seperti papan

Sistem Pernafasan

Meningkatnya
Sekresi mucus

Ketidakseimbangan nutrisi -resiko injury

Nyeri

-Cemas
-Bersihan jalan
nafas

tidak

efektif

C. Komplikasi
1. Spasme otot faring
2. Asfiksia
3. Atelektasis karena obstruksi secret
4. Fraktur kompresi
D. Etiologi
Clostridium tetani yang masih hidup anaerob.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran
2-5 x 0,4 0,5 milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan
hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik.
Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan
saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 0 C akan

hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat
hemolisis, yang peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.

E. Manifestasi Klinis
1. Trismus ( kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot
mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot trunki)
3. Ketegangan pada otot dinding perut.
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat pada
cornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot-otot muka (alis tertarik keatas) sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Laringospasme dan tetani predisposisi untuk respiratory arrest, atelektasis
dan pneumonia. Demam biasanya tidak ada atau ada tapi ringan. Bila ada
demam kemungkinan prognosis buruk.
7. Tenderness pada otot-otot leher dan rahang.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan fisik, adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama
pada rahang
2. Pemeriksaan darah ( kalsium dan fosfat)
3. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis
kekakuan otot rahang.
4. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi
kuman sulit
5. Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler
G. Penatalaksanaan Terapeutik
1. Dirawat di ruangan perawatan intensif
2. Pemberian ATS 20.000 secara IM oleh uji kulit dan mata.
3. Antikejang dan penenang (fenobarbital bila kejang hebat, diazapen,
largalaktil)
4. Dieit tinggi kalori dan protein
5. Perawatan isolasi

6. Pemberian oksigen pemasangan NGT bila pelu intubasi dan trakeotomi bila
indikasi
7. Pemberian terapi intravena bila indikasi
a. Umum
1. Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan
perawatan harus segera diberikan :
Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin
tetanus disekitar luka tidak boleh diberikan IV)
2.

Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium)

0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara


IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde panal) 0,15 mg/kg BB Perim tiap 4-6 jam.
3.

Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV

tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5
mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4.

Beta-adrenergik bolcker; propanolol inderal) 0,2 mg aliquots,

untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam


intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas
sempatis jantung.
5. Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang,
kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat
penenang.
6. Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi dapat diganti
dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida
vegetatif.
7. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
8. Diit TKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9.

Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan

kondisi klien.

10. Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.


11. Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali
fungsi otot dan ambulasi selama penyembuhan.

b. Pembedahan
1.

Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi

trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.


2. Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi

Asuhan Keperawatan Tetanus


1)

Pengkajian

1.Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.


2. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan
membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali
pusat, tempat persalinan.
3. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak
dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat
menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset).
4. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi
DPT/DT atau TT dan kapan terakhir
5. Riwayat psiko sosial.
-

Kebiasaan anak bermain di mana

Hygiene sanitasi

6. Pemeriksaan fisik.
-

Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus, bayi

normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi sukar menetek,
mulut mecucu seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas.
Tanda-tanda infeksi tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis.
-

Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan kesukaran untuk

membuka mulut (trismus).

Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otot-otot

mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut keluar dan ke
bawah.
-

Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot

pinggang, semua trunk muscle.


-

Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi

setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.


-

Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan

binatang.
7. Pengetahuan anak dan keluarga.
2) Diagnosa Keperawatan
1. Resiko injury berhubungan dengan aktivitas kejang
2. Bersihan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya sekresi mukus
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesukaran
menelan dan membuka mulut
4. Nyeri berhubungan dengan toksin dalam sel saraf
5. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan anak
3) Intervensi
1. Resiko injury berhubungan dengan aktivitas kejang
Tujuan : Injury tidak terjadi
Kreteria hasil : a. Pasien tidak mengalami injury
b. Pasien tidur ditempat yang aman
Intervensi dan rasional :
a) Observasi pasien, catat aktivitas kejang, frekuensi lamanya kejang, menunjukkan
perilaku penurunan resiko cedera
b) Batasi pengunjung dan jaga ketenangan ruangan
Rasional: Pasien sangat peka terhadap rangsangan, sehingga pasien mudah sekali
kejang. Dengan menimbulkan berbagai macam rangsangan, cedera dapat dicegah
c) Pasang tongespatel pada mulut pasien
Rasional: Menghindari terjdinya trauma pada mulut saat kejang
d) Tempatkan pada ruangan khusus atau terisolasi
Rasional: Ruangan terisolasi aman terjadap berbagai macam rangsangan
e) Beri anti kejang
Rasional: Anti kejang dapat meminimalkan, mengurangi kepekaan jaringan saraf
terhadap rangsangan sehingga dapat mengontrol kejang
2. Bersihan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mucus
Tujuan
: memperlihatkan kepatenan jalan nafas, mencegah terjadinya aspirasi
Kreteria hasil
: a. Jalan nafas bersih dan tidak ada sekresi
b. pernafasan teratur
Intervensi dan rasional
:

a) Kaji kadalaman frekuensi, irama, catat bila tidak ada keteraturan


Rasional: Untuk mengetahui tingkat keparahan sehingga dapat memberikan
intervensi secara cepat
b) Bila tidak kejang berikan posisi semi fowler
Rasional: Memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal dan memuahkan
pernafasan
c) Berikan posisi miring dengan permukaan datar, miringkan kepala jika kejang
Rasional: Meningkatkan aliran (drainase) sekret, mensegah lidah jatuh dan
menyumbt jalan nafas
d) Longgarkan pakaian daerah leher dan dada
Rasional: Untuk memfasilitasi usaha bernafas/ ekspansi dada
e) Anjurksn pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif Rasional: Untuk
memaksimalkan pemasukan O2 ke dalam paru-paru sehingga oksigenasi terpenuhi
f) Berikan O2 sesuai kebutuhan
Rasional: Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap serangan kejang
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesukaran
menelan dan membuka mulut
Tujuan

: status nutrisi anak terpenuhi

Kreteria hasil : a. Berat badan sesuai usia


b. makanan 90% dapat dikonsumsi
intervensi dan rasional :
a) Kaji kemampuan pasien untuk menguyah, menelan dan mengatasi sekresi
Rasional: Menentukan pemilihan terhadap jenis makanan dehingga pasien
terlindung dari aspirasi
b) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan suara
Rasional: Bising usus menentukan respon untuk makan dan berkembangnya
komplikasi
c) Beri makan dalam jumlah kecil tapi sering
Rasional: Meningkatakan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
d) Kolaborasi, konsultasi dengan ahli gizi dan berikan umpan balik
Rasional: Sumber efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori
4.

Nyeri berhubungan dengan toksin dalam sel saraf


Tujuan

: Nyeri berkurang

Kriteria Hasil : Pasien mengatakan nyeri berkuran atau tekontrol

Intervensi dan Rasional :


a) Berikan lingkungan yang tenang
Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar
b) Pertahankan mobilisasi bagian yang sakit
Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kasalahan posisis pada bagian
yang sakit
c) Kaji adanya nyeri, Bantu pasien mengidentifikasi nyeri, seperti lokasi, tipe,
intensitas pada skala 0-10
d) Rasional : Pasien biasnya melaporakan nyeri pada tingakt kekakuan otot
e) Motivasi penggunaan tehnik relaksasi dan distraksi
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan koping
f) Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi/nyeri otot
Rasional : Menghilangkan spasme/nyei otot
5. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan anak
Tujuan
: cemas pada orang tua berkurang/hilang
Kriteria Hasil : orang tua mengatakan ketakutan/ansietas menurun sampai tingkat
dapat ditangani
Intervensi dan Rasioanal:
a) Kaji Tingakat ansietas
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi tingkat ansietas untuk memberikan
gamabaran yang jelas apa yang menjadi alternatif tindakan yang direncanakan
b) Berikan informasi yang akurat dan jujur
Rasional : Memungkinkan orang tua untuk membuat keputusan yang didasarkan
atas pengetahuan.

FRAKTUR DAN CONGENITAL HIP DISEASE

Kelompok 7
Anggota: 1. Emmy Puji Astuti

2. Purwitasari
3. Radha Insyira Alief
4. Santi

Dosen Pembimbing: Antarini, Sp. An

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D-IV KEPERAWATAN
2015

FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur adalah kerusakan kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang
rawan sendi yang biasanya dengan melibatkan kerusakan vaskuler dan jaringan
sekitarnya yang ditandai dengan nyeri, pembengkakan, dan tenderness.
2. Patofisiologi
- Trauma yang mengakibatkan fraktur akan dapat merusak jaringan lunak disekitar
fraktur mulai dari otot fascia, kulit sampai struktur neuromuskuler atau organ-

organ penting lain.


Pada saat kejadian kerusakan tejadilah respon peradangan dengan pembentukan
gumpulan atau bekuan fibrin. Osteoblas mulai muncul dengan jumlah yang besar

untuk membentuk suatu matrix tulang baru antara fragmen fragmen tulang. Garam
kalsium dalam matrix membentuk kallus yang akan memberikan stabilitas dan
-

menyokong untuk pembentukan matrix baru.


Klasifikasi fraktur dapat dibedakan yaitu: fraktur terbuka; terdapat luka yang
menghubungkan tulang fraktur dengan permukaan kulit, fraktur tertutup; bila
mana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur denga permukaan kulit. Fraktur
komplit tidak komplit. Fraktur komplit; garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang. Fraktur inkomplit; garis patah tidak
melalui seluruh penampang tulang seperti; greenstick fraktur mengenai satu
korteks dengan angulasi korteks lainnya atau terpecahnya pada samping tulang,
buckle fraktur atau torus fraktur terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spingiosa dibawahnya.

3. Komplikasi
o Infeksi
o Kompartemen sindrom
o Kerusakan kulit; abrasi, laserasi, penetrasi, nekrosis
o Gangrene
o Emboli paru
o Trombosis vena
o ARDS

o
o
o
o
o
o
o

Osteoporosis pascatrauma
Ruptur tendon
Syok; hemoragik, neurogenik
Pembuluh darah robek
Osteomielitis
Tetanus
Batu ginjal bila lama immobilisasi

4. Etiologi
Trauma karena; kecelakaan dari kendaraan, jatuh, olahraga, dan sekunder dari
penyakit; osteogenesis imperfekta dan kanker.
5. Manifestasi Klinis
- Nyeri atau tenderness
- Immobilisasi
- Menurunnya pergerakan
- Adanya krepitasi
- Ecchymosis dan eritema
- Spasme otot
- Deformitas
- Bengkak atau adanya memar
- Gangguan sensasi
- Hilangnya fungsi
- Menolak untuk berjalan atau bergerak
6. Pemeriksaan diagnostic
- Foto rontgen
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan darah; Hgb, Hct
- Pemeriksaan; SGOT, LDH, kreatinin, dan alkaline phosphatase untuk menentukan
meluasnya kerusakan pada otot
7. Penatalaksanaan teraupetik
-

Pengobatan yang terkait dengan fraktur, mengurangi nyeri, mencegah perdarahan


dan edema, mengurangi spasme otot, meluruskan tulang yang patah ,
meningkatkan kesembuhan tulang, immobilisasi fraktur, dan mencegah

komplikasi.
Reduksi; reposisi pada tulang. Reduksi tertutup dilakukan dengan manipulasi
eksternal untuk meluruskan atau kesegarisan tulang yang patah ke posisi
sediakala. Open reduction and internal fixation (ORIF) yaitu dengan pembedahan,
adanya fiksasi internal yang membantu mempertahankan kelurusan tulang.

Retensi; gips, traksi; kulit dan skeletal.

Traksi kulit yang digunakan; Buck extension traction yang digunakan untuk
fraktur panggul, kontraktur, spasme otot, dan hernarthrosis.
Traksi Bryant digunakan untuk fraktur femur atau Congenital Hip Dysplasia.
Traksi Russel digunakan untuk stabilisasi fraktur femur.
Traksi servikal digunakan untuk fraktur servikal dan mengobati iritasi saraf dan otot
pada bahu dan lengan atas.
Traksi skeletal yang digunakan; traksi balanced suspension yang digunakan untuk
fraktur pelvis femur, 90/90 femoral traksi yang digunakan untuk stabilisasi fraktur
femur
Dunlop traksi yang digunakan untuk fraktur supracondylar pada humerus
Cruthfield tongs traksi yang digunakan untuk stabilisasi fraktur servikal, tulang
belakang torak dan dislokasi.
- Fasciotomy adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk mengurangi
-

tekanan yang terkait dengan compartment sindrom.


Tujuan traksi adalah mengembalikan posisi semula tulang yang patah,
mempertahankan kesegarisan (alignment), mengistirahatkan ekstremitas yang
patah, mencegah dan memperbaiki adanya kontraktur dan deformitas,
memperbaiki dislokasi, mengurangi spasme dan mengurangi nyeri.

Jenis-jenis fraktur

Buck Extension traction

Balance suspension

Russell traction

Cruthfield-tong trac

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR


PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Nama
:
Alamat
:
Tempat/ tanggal lahir :
Suku bangsa
:
Jenis kelamin
:
Agama
:
Tanggal MRS
:
Tanggal pengkajian :
Sumber informasi :
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama
:
Alamat
:
Umur
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Hubungan dengan klien:
c. Keluhan utama
Alasan spesifik (utama) yang menyebabkan anak dibawa ke tempat pelayanan
kesehatan.
d. Riwayat Penyakit saat ini
Penjelasan tentang keluhan utama dari awal mula terjadi sampai berkembang
menjadi penyakit yang saat ini sedang terjadi.
Riwayat Kesehatan
Pengkajian system
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat psikososial
Riwayat seksual
Riwayat keluarga
1. Komposisi keluarga
2. Lingkungan rumah dan komunitas
3. Pekerjaan dan pendidikan anggota keluarga
4. Tradisi cultural dan agama
5. Peran dan hubungan keluarga
k. Pengkajian nutrisi
1. Asupan nutrisi
2. Pemeriksaan klinis
e.
f.
g.
h.
i.
j.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan bengkak
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan,
pembengkakan, pemasangan gips dan atau traksi
3. Risiko injury berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
4. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri untuk mobilisasi, dan
pemasangan gips atau traksi
6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kondisi fraktur dan kebutuhan
perawatan
7. Risiko infeksi berhubungasn dengan fraktur terbuka
PERENCANAAN
1. Anak akan menunjukkan rasa nyeri berkurang yang ditandai dengan ekspresi
wajah relaks atau tidak tampak menyeringai dan merasa nyaman, dapat tidur, dan
tidak gelisah.
2. Perfusi jaringan perifer adekuat yang ditandai dengan nyeri berkurang, nadi kuat,
warna kulit pink dan hangat, pengisian kembali dipertahankan yang ditandai
dengan warna kulit dan temperature normal.
3. Anak terbebas dari injury dan integritas neuromuscular dapat dipertahankan yang
ditandai dengan warna kulit dan temperature normal, nadi perifer dapat teraba dan
kuat, dan tidak ada keluhan nyeri
4. Integritas kulit dapat dipertahankan dan tidak terjadi infeksi
5. Anak dapat melakukan mobilisasi pada ekstremitas yang tidak mengalami sakit
6. Secara verbal keluarga memahami perawatan yang dibutuhkan oleh anak yang
ditandai dengan aktif berpartisipasi dalam perawatan anak.
7. Anak tidak memperlihatkan tanda-tanda infeksi yang ditandai dengan tanda-tanda
vital dalam batas normal, luka kering, tidak terdapat purulent atau pus
IMPLEMENTASI
1. Meningkatkan rasa nyaman
- Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala nyeri
- Berikan support daerah fraktur atau terpasang gips/ traksi dengan bantal
- Atur posisi dengan posisi kesegarisan
- Merubah posisi anak secara hati-hati
- Hindari tempat tidur adanya getaran-getaran
2. Meningkatkan perfusi jaringan perifer yang adekuat

Kaji nadi distal area fraktur setiap 2-4 jam


Kaji warna kulit, suhu, capillary refill, bandingkan tekanan nadi pada area
yang tidak terlibat, tekanan, dan sensasi setiap 15 menit untuk jam pertama

kemudian setiap 2-4 jam


Kaji pergerakan daerah distal pada area fraktur
Support sirkulasi dengan mobilisasi daerah yang tidak terlibat seperti

melakukan pijatan daerah yang tertekan


3. Mempertahankan integritas neuromuskuler
- Kaji kebutuhan untuk pemasangan gips sesuai protocol
- Bersihkan daerah kulit untuk pemasangan gips atau traksi dan berikan pelapis
-

gips (cotton wool, padding dan lainnya)


Kaji status neuromuskuler setiap 2 jam setelah pemasangan gips atau traksi;
warna kulit, temperatur, pergerakan, nadi distal, pembengkakan, capillary

refill dan sensasi


Pertahankan integritas gips dengan memberikan sokongan bantal dan

perubahan posisi setiap 2-4 jam


Kaji traksi sesuai dengan gaya yang dibutuhkan, yakinkan bahwa beban

tarikan sesuai
4. Meningkatkan integritas kulit dan mencegah infeksi
- Kaji integritas kulit khususnya bagian menonjol dan tertekan
- Kaji area terpasangan kawat pada traksi setiap 4-8 jam
- Reposisi setiap 2 jam
- Lakukan pemijatan untuk meningkatkan sirkulasi
- Bersihkan dan keringkan kulit setiap 2 kali sehari
5. Mempertahankan mobilitas kulit
- Kaji kemampuan sendi dan kekuatan otot setiap 8 jam
- Pertahankan ketepatan kesegarisan pada area yang fraktur atau tubuh
- Lakukan ROM
- Monitor serum BUN dan creatinine phosphokinase (CPK)
- Gunakan stoking elastic untuk mencegah trombo emboli
6. Meningkatkan pengetahuan orang tua dan keluarga
- Jelaskan tentang kondisi anak
- Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan alasannya
- Ajarkan pada orang tua bagaimana mencegah infeksi
- Ajarkan untuk meningkatkan kesembuhan tulang; intake nutrisi tinggi protein
dan kalsium
7. Menghindari atau mencegah anak dari infeksi
- Kaji tanda-tanda infeksi; suhu tubuh, demam, pada luka; drainage, pus, atau
-

purulent
Lakukan perawatan luka dengan teknik steril
Berikan obat antibiotik bila indikasi sesuai program

Pertahankan balutan luka tetap bersih dan kering

PERENCANAAN PEMULANGAN
-

Kaji tingkat pemahaman orang tua dan anak tentang kondisi


Berikan informasi secara lisan atau tulisan untuk melakukan perawatan pada
pemasangan gips; menghindari, kerusakan gips; basah, bahan-bahan lain yang
dapat merusak gips, hindari penggarukan pada gips, jangan menggunakan

lampu panas untuk mengeringkan gips


Jelaskan untuk mengkaji status neuromuskuler
Diskusikan tentang perawatan kulit dan mengidentifikasi tanda dan gejala

kerusakan kulit dan infeksi


Diskusikan untuk aktivitas perawatan mandiri
Jelaskan pentingnya melakukan ROM, dan simulasikan pada orang tua dan

anak
Jelaskan pada orang tua untuk tetap menstimulasi tumbuh kembang anak;
bermain dan mendukung kreativitas anak

EVALUASI
o Nyeri berkurang atau hilang
o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o Pertukaran gas adekuat
o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o Infeksi tidak terjadi
o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

CONGENITAL HIP DISEASES


A. DEFINISI
Congenital Dislocation Of The Hip (CDH) adalah deformitas ortopedik yang didapat
segera sebelum atau pada saat kelahiran, Kondisi ini mengacu pada malformasi sendi
pinggul selama perkembangan janin.
Congenital dislocatoin of hip atau biasa disebut pergeseran sendi atau tulang semenjak
lahir. Suatu bentuk kelainan pada persendian yang ditemukan pada bayi baru
lahir.Congenital dislocatoin of hip terjadi dengan kejadian 1,5 per 1.000 kelahiran dan
lebih umum terjadi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki.penyebab hal ini
belum diketahui tapi diduga melibatkan faktor genetik.

B. ETIOLOGI

Kebanyakan bayi yang lahir dengan Congenital dislocatoin of hip memiliki orang tua
yang jelas-jelas tidak memiliki gangguan kesehatan maupun faktor resiko. Seorang
wanita hamil yang telah mengikuti semua nasihat dokternya agar kelak melahirkan bayi
yang sehat, mungkin saja nanti melahirkan bayi yang memiliki kelainan bawaan. 60%

kasus kelainan bawaan penyebabnya tidak diketahui; sisanya disebabkan oleh faktor
lingkungan atau genetik atau kombinasi dari keduanya.
1. Teratogenik
Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau
meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan. Radiasi, obat tertentu dan racun
merupakan teratogen.
2. Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari
teratogen, tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik. Salah satu zat yang
penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat. Kekurangan asam folat bisa
meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya.
Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia
hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat
minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.
3. Faktor fisik pada rahim
Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan
pelindung terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau
menunjukkan adanya kelainan bawaan.
Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi pertumbuhan paru-paru
dan anggota gerak tubuh atau bisa menunjukkan adanya kelainan ginjal yang
memperlambat proses pembentukan air kemih.
Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa
disebabkan oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).
4.

Faktor genetik dan kromosom


Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa

kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang
abnormal dari salah satu atau kedua orang tua. Gen adalah pembawa sifat individu yang
terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau
cacat, bisa terjadi kelainan bawaan.

Informasi yang diperoleh dari ortopedi Radiologi oleh Adam Greenspan tentang
Congenital dislocatoin of hip tentang pergeseran pada panggul adalah:
a. Y-line adalah garis yang ditarik melalui bagian superior dari tulang rawan
triradiate. Pada bayi normal, jarak yang diwakili oleh baris (ab) tegak lurus garis-Y pada
titik paling proksimal leher femoralis harus sama di kedua sisi panggul, sebagaimana
seharusnya jarak diwakili oleh garis (bc) ditarik bertepatan dengan garis-Y medial ke
lantai acetabular. Pada bayi usia enam sampai tujuh bulan, nilai rata-rata untuk jarak (ab)
menjadi 19,3 mm + / - 1,5 mm; untuk jarak (bc), 18,2 mm + / - 1,4 mm.
b.Garis Perkins-Ombredanne ditarik tegak lurus dengan garis-Y, melalui tepi
paling lateral acetabular tulang rawan kaku, yang benar-benar sesuai dengan spina iliaka
anteroinferior pada bayi baru lahir normal dan bayi, aspek medial femur atau leher kaku
modal femoral epiphysis jatuh di dalam kuadran yang lebih rendah. Munculnya salah satu
dari struktur di kuadran luar atau lebih rendah menunjukkan subluksasi atau dislokasi
pinggul.
c. The Rosen von Andren-line, yang diperoleh dengan setidaknya 45 derajat dari
pinggul dan rotasi internal, digambarkan sepanjang sumbu longitudinal batang femoralis.
Dalam pinggul normal, memotong panggul di tepi atas acetabulum tersebut.
d. Dalam subluksasi atau dislokasi pinggul, baris membagi-dua atau jatuh di atas
tulang belakang anteorsuperior iliaka.
C. MANIFESTASI KLINIK
1. Bayi
a.

Kemungkinan tidak ada bukti gejala karena bayi dapat mengalami kesalahan

tempat femur minimal


b. Lipatan gluteal yang tidak sejajar (posisi pronasi)
c. Pemendekan ekstremitas pada tempat yang terkena
d. Abduksi terbatas pada pinggul sisi yang terkena
e. Adanya tanda-tanda Galeazzi
f. Temuan positif saat dilakukan Manuver Barlow
g. Temuan positif saat dilakukan maneuver ortolani

2. Toddler dan anak yang lebih tua


a. Gaya berjalan seperti bebek (dislokasi pinggul bilateral)
b. Peningkatan lordosis lumbal (punggung cekung) saat berdiri (dislokasi
pinggul bilateral)
c. Tungkai yang terkena lebih pendek dari yang lain
d. Temuan positif pada uji trendeelenburg
e. Pincang.
D. PATOFISIOLOGI
Dysplasia perkembangan pinggul (developmental dysplasia of the hip, DDH) atau
congenital dislocation of the hip merupakan ketidak normalan perkembangan antara
kaput femur dan asetabulum. Pinggul merupakan suatu bonggol (kaput femur) dan
mangkuk (asetabulum) sendi yang memberikan gerakan dan stabilitas pinggul. Terdapat
tiga pola dalam CDH :
1.

Dysplasia asetabular (perkembangan tidak normal )- keterlambatan dalam

perkembangan asetabulum sehingga lebih dangkal dari normal, kaput femur tetap
dalam asetabulum ;
2. Subluksasi dislokasi pinggul yang tidak normal ; kaput femur tidak
sepenuhnya keluar dari asetabulum dan dapat berdislokasi secara parsial ; dan
3. Dislokasi pinggul berada pada posisi dislokasi, dan kaput femur tidak
bersentuhan dengan asetabulum. DDH pada akhirnya dapat berkembang menjadi
reduksi permanen, dislokasi lengkap, atau dysplasia akibat perubahan adaptif
yang terjadi pada jaringan dan tulang yang berdekatan.
E. PENATALAKSANAAN
Penanganan bervariasi sesuai keparahan manifestasi klinis, usia anak, dan tingkat
dysplasia. Jika dislokasi terkoreksi pada pada beberapa hari pertama sampai beberapa
minggu kehidupan, kesempatan untuk berkembangnya pinggul normal akan lebih besar.
Selama periode neonatal, pengaturan posisi dan mempertahankan pinggul tetap fleksi dan
abduksi dapat dicapai dengan menggunakan alat bantu pengoreksi. Antara usia 6 dan 18
bulan, traksi digunakan diikuti dengan imobilisasi gips. Jika jaringan lunak menghalangi
dan menyulitkan penurunan dan perkembangan sendi, dilakukan reduksi tertutup maupun

terbuka (bergantung pada apakah ada atau tidak kontraktur otot-otot adductor dan
kesalahan letak kaput femur yang terjadi) dan gips spika pinggul di pasang
F. KOMPLIKASI
1. Displasia asetabular persisten
2. Dislokasi berulang
3. Nekrosis avaskular iatrogenic pada kaput femur
G. INSIDEN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

CDH terjadi pada 1 atau 1,2 dari 100 kelahiran hidup


Di Amerika serikat, sekitar 38.900 sampai 46.000 bayi terkena setiap tahun.
Rasio wanita/pria adalah 6 : 1
Insidens meningkat dengan adanya presentasi bokong.
Peningkatan insidens terbukti diantara saudara kandung anak yang terinfeksi
Bila hanya 1 pinggul yang terkena, pinggul kiri lebih sering terkena dari pada

pinggul kanan
7. Sering ada hubungannya dengan ketidaknormalan muskuluskeletal dan renal
congenital lain.
8. Peningkatan insidens terlihat diantara kultur yang membedung bayi terlalu
rapat dan mengikat bayi pada papan ayunan selama bulan-bulan awal kehidupan.
9. Ada hubungan antara CDH dan perkembangan arthritis pinggul sekunder
pada awal masa dewasa.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan yang paling penting adalah pemeriksaan USG, pada bayi yang agak besar
atau anak-anak dapat dilakukan rontgen.
1) Rontgen
Menunjukkan lokasi / luasnya fraktur / trauma

2) Scan tulang, tonogram, CT scan / MRI


Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan
jaringan lunak.
3)Pemeriksaan radiografi pelvis anteroposterior dan lauenstein lateral didapatkan (kaji
tingkat kesalahan letak atau dislokasi femur ; tidak berguna pada bayi yang berusia
kurang dari 1 bulan).

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Nama
:
Alamat
:
Tempat/ tanggal lahir :
Suku bangsa
:
Jenis kelamin
:
Agama
:
Tanggal MRS
:
Tanggal pengkajian :
Sumber informasi :
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama
:
Alamat
:
Umur
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Hubungan dengan klien:
c. Keluhan utama
d. Riwayat Penyakit saat ini
e. Riwayat Kesehatan
f. Pengkajian system
g. Riwayat kesehatan keluarga
h. Riwayat psikososial
i. Riwayat seksual

j. Riwayat keluarga
1. Komposisi keluarga
2. Lingkungan rumah dan komunitas
3. Pekerjaan dan pendidikan anggota keluarga
4. Tradisi cultural dan agama
5. Peran dan hubungan keluarga
k. Pengkajian nutrisi
1. Asupan nutrisi
2. Pemeriksaan klinis
B.

DIAGNOSA
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh

C.

RENCANA TINDAKAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi
Tujuan :Nyeri dapat berkurang atau hilang
Criteria hasil : Nyeri berkurang, Klien tampak tenang
a.

Kaji tingkat nyeri

Rasional : Untuk mengetahui skala Nyeri


b. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional : Menurunkan tingkat ketegangan pada daerah nyeri
c.

Ajarkan tekhnik relaksasi

Rasional : Merelaksasi otot-otot tubuh


d. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Menghiangkan rasa nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi
Tujuan : Klien dapat bergerak bebas
Criteria hasil : Klien dapat bergerak bebas
a.

Kaji tingkat mobilisasi klien

Rasional : Mengidentifikasi lingkup masalah secara dini, sebagai pedoman


tindakan selanjutnya

b. Beri latihan ROM


Rasional : Memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot
yang berkurang karena proses penyakit atau kecelakaan
c.

Anjurkan alat bantu jika dibutuhkan

Rasional : membantu dalam melakukan suatu hal


3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh
Tujuan : Masalah klien teratasi
Criteria hasil : Klien dapat menungkapkan masalahnya
a.

Kaji konsep diri

Rasional : Mengidentifikasi lingkup masalah secara dini, sebagai pedoman


tindakan selanjutnya
b. Bantu klien mengungkapkan masalahnya
Rasional : Memberikan minat dan perhatian serta memperbaiki kesalahan
konsep
c.

Berikan dukungan spiritual kepada klien

Rasional : Agar klien tetap bersemangat dan tidak berputus asa terhadap
perubahan status kesehatannya
D. EVALUASI
Hasil yang diharapkan:
1.

Pinggul bayi atau anak akan tetap pada posisi yang diharapkan

2.

Kulit bayi atau anak akan tetap utuh tanpa kemerahan atau kerusakan

Orang tua akan mendemonstrasikan aktivitas perawatan untuk mengakomodasi alat bantu
pengoreksi bayi / anak atau gips spika pinggul.

KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN SINDROMA NEFROTIK &
GLOMERULONEFRITIS

Kelompok

:8

DISUSUN OLEH

:
1. CHANDRA JEFRIANJA
2. DEA VANIKE AZINORA
3. KHENIA ARINI SEKAR ARUM
4. SANDRA WULANDRA
5. YANTI SAPUTRI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D. IV KEPERAWATAN
2015
PEMBAHASAN

ASKEP SINDROM NEFROTIK


A. DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi
hal-hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia.
Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler
glomelurus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus.
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan
protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner
& Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan
proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak


retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan
vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena
adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi
batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah
vertebra lumbalis III.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramidpiramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid
dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang
puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks
minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks
mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar
ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya
terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit
nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal
(kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai
lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui
ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat
dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac
output.
1. Faal glomerulus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat
masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar
dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik.
Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula
filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas
pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas
permukaan tubuh anak.
2. Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zatzat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
a) Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak


melakukan reabsorbsi yaitu 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan
glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K,
Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat),
H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
b) Loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan
ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih
hipotonik.
c) Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan
cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion
hidrogen.
d) Duktus koligentis
Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan
pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
C. ETIOLOGI
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.:
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a) Glomerulonefritis
b) Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti
berikut ini. :
a) Dibetes militus
b) Sistema lupus eritematosus
c) Amyloidosis
D. PATOFISIOLOGI
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring
darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi
perubahan permeabilitas karena inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya
plasma protein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu
meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus

mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi


hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang
menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem
vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler
menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon
anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium (Na) dan air
sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density
Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah
(hiperlipidemia). Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi
lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan
lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng.
Penyebab mencakup glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit
lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya
adalah:
a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.
b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
2. Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem
renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
3. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat
penumpukan tekanan permukaan akibat proteinuria.
4. Hematuri.

5. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan
volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH).
6. Malaise.
7. Sakit kepala.
8. Mual, anoreksia.
9. Irritabilitas.
10. Keletihan.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya
protein di dalam urin).
b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat),
khususnya peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL), yang

secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.


Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk

mengetahui fungsi ginjal


2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum
diketahui secara jelas, yaitu:
a) Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).
b) Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins,
serum electrophoresis).
G. KOMPLIKASI
1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian
heparin.
2. Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat
kehilangan immunoglobulin.
3. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan

cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.

4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam


paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Suportif
Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring
Memonitor dan mempertahankan volume cairan tubuh yang normal.
a) Memonitor urin output
b) Pemeriksaan tekanan darah secara berkala
c) Pembatasan cairan, sampai 1 liter
Memonitor fungsi ginjal
a) Lakukan pemeriksaan elektrolit, ureum, dan kreatinin setiap hari.
b) Hitung GFR/LFG setiap hari.
2. Tindakan khusus
Pemberian diuretik (Furosemid IV).
Pemberian imunosupresi untuk mengatasi glomerulonefritis (steroids,

cyclosporin).
Pembatasan glukosa darah, apabila diabetes mellitus.
Pemberian albumin-rendah garam bila diperlukan.
Pemberian ACE inhibitor: untuk menurunkan tekanan darah..
Diet tinggi protein; cegah makanan tinggi garam.
Antibiotik profilaktik spektrum luas untuk menurunkan resiko infeksi

sampai anak mendapat pengurangan dosis steroid secara bertahap.


Irigasi mata/krim oftalmik untuk mengatasi iritasi mata pada edema
yang berat.

I. PATHWAY/WOC

J. ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan untuk meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan. Proses
Keperawatan merupakan susunan metode pemecahan masalah yang meliputi
pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa maslah (diagnosa Keperawatan),
perencanaan, implementasi dan evaluasi yang masing-masing berkesinambungan
serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan
(Hidayat,2004).
1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan.
Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses
keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap
pengkajian. Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom
nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut:
a) Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
b) Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan
dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
c) Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik:
1) Penambahan berat badan
2) Edema
3) Wajah sembab:
Khususnya di sekitar mata
Timbul pada saat bangun pagi
Berkurang di siang hari
Pembengkakan abdomen (asites)
Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
Pembengkakan labial (scrotal)
Edema mukosa usus yang menyebabkan : Diare, Anoreksia,

Absorbsi usus buruk


Pucat kulit ekstrim (sering)
Peka rangsang
Mudah lelah
Letargi
Tekanan darah normal atau sedikit menurun
Kerentanan terhadap infeksi
Perubahan urin :
a. Penurunan volume
b. Gelap
c. Berbau buah

d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya


analisa urine akan adanya protein, silinder dan sel darah
merah;

analisa

darah

untuk

protein

serum

(total,

perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah


merah, natrium serum.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi
cairan dalam jaringan dan ruang ketiga.
a. Tujuan : Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan
(pasien mendapatkan volume cairan yang tepat).
b. Intervensi
Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.
Rasional : perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan
penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika
diindikasikan).
Rasional : mengkaji retensi cairan
Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus
serta pantau edema sekitar mata.
Rasional : untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi
umum edema.
Atur masukan cairan dengan cermat.
Rasional : agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang
dibutuhkan
Pantau infus intra vena
Rasional : untuk mempertahankan masukan yang diresepkan
Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan.
Rasional : untuk menurunkan ekskresi proteinuria
Berikan diuretik bila diinstruksikan.
Rasional : untuk memberikan penghilangan sementara dari edema.
2) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema,
penurunan pertahanan tubuh.
a. Tujuan
Kulit anak tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas :
kemerahan atau iritasi.

b. Intervensi
Berikan perawatan kulit
Rasional : memberikan kenyamanan pada anak dan mencegah
kerusakan kulit.
Hindari pakaian ketat.

Rasional : dapat mengakibatkan area yang menonjol tertekan.


Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari.

Rasional : untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena


gesekan dengan alat tenun.
Topang organ edema, seperti skrotum.
Rasional : unjtuk menghilangkan aea tekanan.
Ubah posisi dengan sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan
baik.
Rasional : karena anak dengan edema massif selalu letargis, mudah
lelah dan diam saja.
Gunakan penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur

penurun tekanan sesuai kebutuhan.


Rasional : untuk mencegah terjadinya ulkus.
3) Perubahan nutrisi ; kurang dari kebtuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan nafsu makan.
a. Tujuan
Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal.
b. Intervensi
Beri diet yang bergizi.
Rasional : membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan
daya tahan tubuh anak.
Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid.

Rasional : asupan natrium dapat memperberat edema usus yang


menyebabkan hilangnya nafsu makan anak.
Beri lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada saat
makan.
Rasional : agar anak lebih mungkin untuk makan.
Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya.
Rasional : untuk merangsang nafsu makan anak.
Beri makanan spesial dan disukai anak.
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan.
Beri makanan dengan cara yang menarik.
Rasional : untuk menrangsang nafsu makan anak

PEMBAHASAN
ASKEP GLUMERULONEFRITIS AKUT
A. DEFINISI
Glumerulonefritis ( juga disebut sindrom nefrotik) , mungkin akut, dimana
pada kasusu seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai
oleh penurunan fungsi ginjal lambat , tersembunyi , dan progresif yang akhirnya
menimbulkan penyakit ginjal tahap akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk
merusak ginjal sampai tahap akhir. Pada keadaan iini beberapa macam intervensi
seperti dialisa atau pencangkokan ginjal dibutuhkan untuk menopang kehidupan. (
Blaiir, 1990).
Glumerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan
dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (
seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus ( agen infeksius atau proses
penyakiy sistemik yang menyertai). Hopes ( ginjal ) mengenali antigen sebagai
benda asing dan mulai membentuk antibodi untuk menyerangnya. Respons
peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi, termasuk
menurunnya laju filtrasi glomerulus ( LFG), peningkatan permebilitas dari
dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma ( terutama albumin) dan SDM
, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan
aldosteron( Glassock, 1988).
Glumerulonefritis kerusakan funsi glomerulus mengakibatkan penurunan
laju filtrasi glomerulus. Ganguan ganguan pre-renal , seperti hemokonsntrasi atau
penurunan tekanan darah arteri perifer , tatu bendungan vena ginjal secara pasif
menurunkan tekanan filtrasi, sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus.
( Kapita Seelekta)

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal


tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa.
Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan
bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada
struktur ginjal yang lain.

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.

B. ETIOLOGI
1. Faktor Pre renal: karena dehidrasi (perdarahan,muntah &diare,combustio).
2. Faktor renal: bisa terjadi akibat kegagalan pre renal yang tidak bisa diatasi
mengakibatkan kerusakan pada ginjal, akibat terinfeksi streptokokus,lupus
erytematicus,tumor ginjal, toksik bahan kimia.
3. Faktor
pasca
renal;
akibat
obstruksi

(batu

pada

saluran

perkemihan,prostat,GNA yang tidak sembuh).


Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain: adanya zat yang
berasal dari luar yang bertindak sebagai antigen (Ag), rangsangan autoimun,
dan induksi pelepasan sitokin/ aktifasi komplemen lokal yang menyebabkan
kerusakan glomerular. Pada umumnya kerusakan glomerular (glomerular
injury) tidak diakibatkan secara langsung oleh endapan kompleks imun di
glomerulus, akan tetapi hasil interaksi dari sistem komplemen, mediator
humoral dan selular. Tiga mekanisme imunologik yang menjelaskan terjadinya
GN adalah ikatan langsung antara antibodi (Ab) dengan Ag glomerulus (fixed
antigen), terjebaknya kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi
(circulating immune complexes) dan endapan kompleks imun insitu (planted

antigen). Menurut kejadiannya GN dibedakan atas GN primer dan GN


sekunder.
Dikatakan GN primer jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
dan GN sekunder jika kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain
seperti penyakit autoimun tertentu, infeksi, keganasan atau penyakit
metabolik.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus
timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh
kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49.
Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari
setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman
streptokokus

beta

hemolitikus

ini

mempunyai

resiko

terjadinya

glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.


Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun
1907 dengan alasan bahwa :
Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina.
Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A.
Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus
albus, Salmonella typhi dll.
Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dll.
Parasit
: malaria dan toksoplasma.

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam
darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun
yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi perusakan mekanis melalui
aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi.
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.
Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran
basalis glomerulus (IGBM).
Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel
yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin
meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah
merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen
antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada
mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus
akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang
timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi
kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan komplemen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,

kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada


subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis
dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini
tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapanendapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3, C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan
oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek

imun

dalam

sirkulasi

darah

yang

kemudian

mengendap

di

ginjal.Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada


terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu
atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks
imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan dan berlangsung
singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulu.

Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai


komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.
Sebagian pasien glomerulonephritis akut (5-10%) memperlihatkan tipe
perjalanan penyakit yang cepat dan progresif disertai oliguri dan anuri, dapat
meninggal dalam waktu 2 3 bulan, yang disebut juga dengan sindrom Rapidly
Progressive Glomerulonephritis (RPGN). Tipe perjalanan penyakit ini terutama
mengenai pasien-pasien dewasa. Gejala klinis oliguri dan anuri yang timbul
sementara, tidak selalu menunjukan prognosis yang buruk. Pada umumnya
prognosis dapat diramalkan hanya berdasarkan kelainan-kelainan histopatologis
berupa proliferasi ekstra kapiler yang ekstensif meliputi lebih dari 75% glomeruli.
Kelainan laboratorium yang mencurigakan perjalanan penyakit yang progresif
seperti kenaikan circulating " brinogen dan atau FDP urin, disamping oliguri dan
anuri yang berlangsung lama, selama beberapa minggu.
D. KLASIFIKASI
1. Congenital (herediter)
a. Sindrom Alport
Suatu penyakit

herediter

yang

ditandai

oleh

adanya

glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf


dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport
merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3%
dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu
penelitian terhadap anak dengan hematuria yang dilakukan pemeriksaan
biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita sindrom alport. Gejala
klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria
mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat
menderita infeksi saluran nafas atas.
Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan
biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal
umur sepuluh tahunan.
b. Sindrom Nefrotik Kongenital

Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum


lahir. Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala
baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian.
Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering
dijumpai hematuria mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom
nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab
dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.
2. Glomerulonefritis Primer
a. Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya
dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria
asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien
menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya
menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata
dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala
sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat
infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut
dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
b. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan
tertentu atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati
membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai
pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom
nefrotik.
Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara
10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan
umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin.
Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik
merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan
hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
c. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan
glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal

kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan


gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati
IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan
hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik
biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non
infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
3. Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu
glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering
adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama
menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca
streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai
sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Hematuria
2. Edemapadawajahterutamaperiorbitaatauseluruhtubuh
3. Oliguria
4. Tandatandapayahjantung
5. Hypertensi
6. Muntahmuntah,nafsumakankurangkadangdiare
Gambaranklinisdapatbermacammacam.Kadangkadanggejalaringan
tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai
kapilergromelurusmengakibatkanhematuria/kencingberwarnamerahdagingdan
albuminuria,sepertiyangtelahdikemukakansebelumnya.Urinemungkintampak
kemerahmerahanatausepertikopi.Kadangkadangdisertaiedemaringanyang
terbatasdisekitarmataataudiseluruhtubuh.Umumnyaedemaberatterdapat
padaoliguriadanbilaadagagaljantung.Edemayangterjadiberhubungandengan
penurunanlajufiltrasiglomerulus(LFG/GFR)yangmengakibatkanekskresiair,
natrium, zatzat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium.
Dipagihariseringterjadiedemapadawajahterutamaedemperiorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggota GFR biasanya menurun

(meskipunaliranplasmaginjabiasanyanormal)akibatnya,ekskresiair,natrium,
zatzat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatanaldosterondapatjugaberperanpadaretensiairdannatrium.Dipagi
hariseringterjadiedemapadawajahterutamaedemperiorbita,meskipunedema
paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat
edema biasanya tergantung padaberat peradangan glomerulus, apakah disertai
denganpayahjantungkongestif,danseberapacepatdilakukanpembatasangaram.
Hipertensiterdapatpada6070%anakdenganGNApadaharipertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat
kerusakanjaringanginjal,makatekanandarahakantetaptinggiselamabeberapa
minggudanmenjadipermanenbilakeadaanpenyakitnyamenjadikronis.Suhu
badantidakbeberapatinggi,tetapidapattinggisekalipadaharipertama.
Kadangkadanggejalapanastetapada,walaupuntidakadagejalainfeksi
lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu
makan,konstipasidandiaretidakjarangmenyertaipenderitaGNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin
hanyasedang.Hipertensiterjadi akibat ekspansivolumecairan ekstrasel(ECF)
atauakibatvasospasmemasihbelumdiketahuidengnajelas.
F. KOMPLIKASI
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 23 hari. Terjadi sebagia
akibatberkurangnyafiltrasiglomerulus.Gambaransepertiinsufisiensiginjal
akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau
aliguriaatauanuriayanglamajarangterdapatpadaanak,namunbilahalini
terjadimakadialisisperitoneumkadangkadangdiperlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edemaotak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh

bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal


jantungakibathipertensiyangmenetapdankelainandimiokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetikyangmenurun.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaanurine :adanyaproteinuria(+1sampai+4),kelainansedimen
urine dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular,
eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine
adanya strptococus
2. Pemeriksaan darah :
kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
analisa gas darah ; adanya asidosis.
Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan
C3 rendah.
kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan
erytrosit)adanyaanemia.
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya
streptokokus.
4. Pemeriksaanserologis :antisterptozim,ASTO,antihialuronidase, dananti
Dnase.
5. Pemeriksaanimunologi:IgG,IgMdanC3.kompleksimun.
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau
payahjantung
7. ECG:adanyagambarangangguanjantung.
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir
pada 50% penderita, Kadangkadang dengan tanda gagal ginjal seperti
Kadangkadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma
nefrotik.padahampirsemuapasiendalamminggupertama,tetapiC4normal
atauhanyamenurunsedikit,sedangkankadarproperdinmenurunpada50%
pasien.Keadaantersebutmenunjukkanaktivasijaluralternatifkomplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 2040 mg/dl (harga normal 50140

mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan


kesembuhan.Kadarkomplomenakanmencapaikadarnormalkembalidalam
waktu 68 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3,
ternyataberlangsunglebihlama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorokdankulit.Biakanmungkinnegatifapabilatelahdiberiantimikroba.
Beberapa uji serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk
membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaatolehkarenamampumengukurantiboditerhadapbeberapaantigen
sterptokokus.
Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 7580% pasien
dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus
tidakmemproduksisterptolisinO.sebaiknyaserumdiujiterhadaplebihdari
satuantigensterptokokus.Bilasemuaujiserologisdilakukan,lebihdari90%
kasusmenunjukkanadanyainfeksisterptokokus.
TiterASTOmeningkatpadahanya50%kasus,tetapiantihialuronidase
atauantibodiyanglainterhadapantigensterptokokusbiasanyapositif.Pada
awalpenyakittiterantibodisterptokokusbelummeningkat,hinggasebaiknya
ujititerdilakukansecaraseri.Kenaikantiter23kaliberartiadanyainfeksi.
KrioglobulinjugaditemukanGNAPSdanmengandungIgG,IgMdan
C3.kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak
mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada
tatalaksanapasien.
H. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan
kelainan di glomerulus.
Istirahat mutlak selama 34 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah
selama 68 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh.Tetapipenyelidikanterakhirmenunjukkanbahwamobilisasi

penderita sesudah 34 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak


berakibatburukterhadapperjalananpenyakitnya.
Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnyainfeksiStreptococcusyangmungkinmasihada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan
pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kumanpenyebabtidakdianjurkankarenaterdapatimunitasyangmenetap.
Secarateoritisseoranganakdapatterinfeksilagidengankumannefritogen
lain,tetapikemungkinaninisangatkecilsekali.Pemberianpenisilindapat
dikombinasidenganamoksislin50mg/kgBBdibagi3dosisselama10
hari.Jikaalergiterhadapgolonganpenisilin,digantidenganeritromisin30
mg/kgBB/haridibagi3dosis.
Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1
g/kgbb/hari)danrendahgaram(1g/hari).Makananlunakdiberikanpada
penderitadengansuhutinggidanmakananbiasabilasuhutelahnormal
kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutanglukosa10%.Padapenderitatanpakomplikasipemberiancairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti
gagaljantung,edema,hipertensidanoliguria,makajumlahcairanyang
diberikanharusdibatasi.
Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativauntukmenenangkanpenderitasehinggadapatcukupberistirahat.
Padahipertensidengangejalaserebraldiberikanreserpindanhidralazin.
Mulamula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
intramuskular.Bilaterjadidiuresis510jamkemudian,makaselanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesiumsulfatparenteraltidakdianjurkanlagikarenamemberiefek
toksis.

Bilaanuriaberlangsunglama(57hari),makaureumharusdikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusitukar).Bilaprosedurdiatas tidakdapatdilakukan olehkarena
kesulitanteknis,makapengeluarandarahvenapundapatdikerjakandan
adakalanyamenolongjuga.
Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhirakhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 510 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamikaginjaldanfiltrasiglomerulus(Repettodkk,1972).
Bilatimbulgagaljantung,makadiberikandigitalis,sedativadanoksigen.

I. PATHWAY/WOC

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
b. Riwayat Penyakit

Riwayat kesehatan umum, meliputi gangguan atau penyakit yang


lalu, berhubungan dengan penyakit sekarang. Contoh: ISPA
Riwayat kesehatan sekarang, meliputi; keluhan/gangguan yang
berhubungan dengan penyakit saat ini. Seperti; mendadak nyeri
abdomen, Pinggang, edema.
c. Pengkajian Fisik
Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan/malaise
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus otot
Sirkulasi
Tanda: hipertensi, pucat,edema
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih (oliguri)
Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
e. Makanan/cairan
Gejala: (edema), anoreksia, mual, muntah
Tanda: penurunan keluaran urine
f. Pernafasan
Gejala: nafas pendek
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi,

kedalaman

(pernafasan kusmaul)
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah

2. Diagnosa Keperawatan
a. Intoleransi aktifitas b.d. kekurangan protein dan disfungsi ginjal
b. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta
disfungsi ginjal
c. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan
edema.
3. Intervensi keperawatan
a. Intoleransi aktifitas b.d. kekurangan protein dan ddisfungsi ginjal
Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.

Intervensi
Rasional
1.
Pantau kekurangan protein yang
Kekurangan protein beerlebihan
berlebihan

[proteinuri, dapat menimbulkan kelelahan.

albuminuria]
2.

Gunakan

diet

protein

untuk

mengganti protein yang hilang.


3.

Diet

yang

adekuat

dapat

mengembalikan kehilangan

Beri diet tinggi protein tinggi

TKTP berfungsi menggantikan

karbohidrat.
4.

Tirah baring

Tirah

baring

meningkatkan

mengurangi penggunaan energi.


5.

Berikan latihan selama pembatasan


aktifitas

6.

Latihan

penting

untu

kmempertahankan tunos otot

Rencana aktifitas denga waktu


istirahat.

Keseimbangan aktifitas dan istirahat


mempertahankan kesegaran.
Aktifitas yang bertahap menjaga

7.

Rencanakan cara progresif untuk kesembangan

dan

tidak

kembali beraktifitas normal; evaluasi mmemperparah proses penyakit


tekanan darah dan haluaran protein
urin.

b. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta
disfungsi ginjal.
Tujuan : Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan.

1.

Intervensi
Rasional
Pantau dan laporkan tanda dan gejala
Memonitor
kelebihan cairan:

Catat

jumlah dan karakteristik

cairan

sehingga dapat dilakukan tindakan

Ukur dan catat intak dan output penanganan.


setiap 4-8 jam

kelebihan

urine
2.

Ukur berat jenis urine tiap jam dan


timbang BB tiap hari

Jumlah, karakteristik urin dan BB


dapat menunjukan adanya ketidak
seimbangan cairan.

3.

Kolaborasi dengan gizi dalam

Natrium dan protein meningkatkan

pembatasan diet natrium dan osmolaritas sehingga tidak terjadi


protein

retriksi cairan.
Rangsangan

dingin

ddapat

merangsang pusat haus


4.

Berikan es batu untuk mengontrol


rasa

haus

dan

maasukan

dalam

perhitunganintake
5.

Pantau

Memonitor
seimbangan

elektrolit

tubuh

dan menentukan

adanya

ketidak

elektrolit

dan

tindakan

penanganan

observasi. Adanya tanda kekurangan yang tepat.


elektrolittubuh:

Hipokalemia:

kram

abd,letargi,aritmia

Hiperkalemia:

kram

otot,

kelemahan

Hipokalsemia : peka rangsang


padaneuromuskuler

Hiperfosfatemia:hiperefleksi,parestesia,
kram otot, gatal

Uremia

Pemberian elektrolit yang tepat


:

kacau

mental, mencegah

letargi,gelisah
6.

Kaji efektifitas pemberian elektrolit


parenteral dan oral

elektrolit.

ketidak

seimbangan

d. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan


edema.
Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit
selama menjalani perawatan.

1.

Intervensi
Rasional
Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan, Mengantisipasi adanya kerusakan kulit
memar, turgor dan suhu.

sehingga dapat diberikan penangan dini.


Kulit yang kering dan bersih tidak

2.

Jaga kulit tetap kering dan bersih

mudah terjadi iritasi dan mengurangi


media pertumbuhan kuman.
Lotion

3.

melenturkan

kulit

Rawat kulit dengan menggunakan sehingga tidak mudah pecah/rusak.


lotion

untuk

mencegah

kekeringan

untuk daerah pruritus.


4.

dapat

Sabun yang keras dapat menimbulkan

Hindari penggunaan sabun yang keras kekeringan kulit dan sabun yang kasar
dan kasar pada kulit klien

dapat menggores kulit.


Menggaruk menimbulkan kerusakan
kulit.

5.

Instruksikan

klien

untuk

tidak

menggaruk daerah pruritus.


6.

dan

perubahan

posisi

meningkatkan sirkulasi dan mencegah

Anjurkan ambulasi semampu klien. penekanan pada satu sisi.


Bantu klien untuk mengubah posisi
setiap 2 jam jika klien tirah baring.

7.

Ambulasi

Pertahankan linen bebas lipatan

Lipatan menimbulkan ttekanan pada


kulit.
Sirkulasi yang terhambat memudahkan
terjadinya kerusakan kulit..

8.

Lepaskan pakaian, perhiasan yang

Elastisitas kulit daerah edema sangat

dapat menyebabkan sirkulasi terhambat. kurang sehingga mudah rusak


9.

Tangani area edema dengan hati -hati.\


10.

Nutrisi yang adekuat meningkatkan


pertahanan kulit

10. Pertahankan nutrisi adekuat.

KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN PANCA INDERA DAN HIV PADA ANAK

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9

NAMA ANGGOTA : FERI ADIANTO


DHANIA DJULIAN
DIANA ANGGRAINI
MAYUNITA SARI
NOVA AYU WULANDARI

DOSEN PEMBIMBING: ANTARINI, M. Kep., Sp. An.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


JURUSAN D-IV KEPERAWATAN
TAHUN 2015
PEMBAHASAN
ASKEP Gangguan Panca Indera

2.1 Pengertian Panca Indera


Panca indra adalah organ organ akhir yang dikhususkan untuk menerima jenis
rangsangan tertentu. Serabut saraf yang menanganinya merupakan alat perantara yang

membawa kesan rasa dari organ indra menuju ke otak ketempat perasaan ini
ditafsirkan. Beberapa kesan timbul dari luar seperti sentuhan, pengecapan,
penglihatan, penciuman, dan suara. Ada kesan yang timbul dari dalam antara lain,
lapar, haus, dan rasa sakit.
2.2 Fungsi Panca Indera dan Penyakitnya
1. Indera Penglihat (Mata)
Mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna.
Sesungguhnya yang disebut mata bukanlah hanya bola mata, tetapi termasuk otot-otot
penggerak bola mata, kotak mata (rongga tempat mata berada), kelopak,dan bulu
mata.

Penyakit pada Mata


a.

Presbiopi

Presbiopi adalah penyakit mata karena proses penuaan, disebut juga mata
tua. Pada anak-anak, titik dekat mata bisa sangat pendek, kira-kira 9 cm untuk
anak umur 11 tahun.
b.

Hipermetropi

Hipermetropi atau mata jauh dapat terjadi pada anak-anak. Hipermetropi


disebabkan bola mata terlalu pendek sehingga bayang-bayang jatuh di belakang
retina. Penderita hipermetropi ini tidak dapat melihat benda yang dekat atau
biasa disebut rabun dekat.

c.

Miopi

Miopi atau mata dekat adalah cacat mata yang disebabkan oleh bola mata

terlalu panjang sehingga bayang-bayang dari benda yang jaraknya jauh akan
jatuh di depan retina.
d.

Astigmatisma

Astigmatisma merupakan kelainan yang disebabkan bola mata atau


permukaan lensa mata mempunyai kelengkungan yang tidak sama, sehingga
fokusnya tidak sama, akibatnya bayang-bayang jatuh tidak pada tempat yang
sama. Untuk menolong orang yang cacat seperti ini dibuat lensa silindris, yaitu
yang mempunyai beberapa fokus.

e.

Katarak

Katarak adalah cacat mata, yaitu buramnya dan berkurang elastisitasnya


lensa mata. Hal ini terjadi karena adanya pengapuran pada lensa. Pada orang
f.

yang terkena katarak pandangan menjadi kabur dan daya akomodasi berkurang.
Imeralopi

Imeralopi atau rabun senja adalah kelainan yang menyebabkan penderita


menjadi rabun pada senja hari.
g.

Keratomealasi

Keratomealasi adalah kelainan pada mata yaitu kornea menjadi putih dan rusak.
2.

Indera Pendengar (Telinga)


Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi/mengenal suara dan

juga banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Suara adalah bentuk
energi yang bergerak melewati udara, air, atau benda lainnya, dalam sebuah
gelombang. Walaupun telinga yang mendeteksi suara, fungsi pengenalan dan
interpretasi dilakukan di otak dan sistem saraf pusat. Rangsangan suara disampaikan
ke

otak

melalui saraf yang

vestibulokoklearis).
Kelainan pada telinga
a.

Tuli

menyambungkan

telinga

dan

otak

(nervus

Tuli adalah ketidakmampuan telinga untuk mendengarkan bunyi atau suara. Tuli
dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada gendang telinga, tersumbatnya
ruang telinga, atau rusaknya saraf pendengaran.
b.

Congek

Congek adalah penyakit telinga yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
bagian telinga yang tersembunyi di tengah-tengah. Infeksi ini disebabkan oleh
bakteri.

c.

Otitis eksterna

Otitis eksterna adalah suatu infeksi pada saluran telinga. Infeksi ini bisa
menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah
tertentu

sebagai

bisul

(furunkel). Otitis

sebagai telinga perenang (swimmer's ear).

eksterna

seringkali

disebut

d.

Perikondritis

Perikondritis adalah suatu infeksi pada tulang rawan (kartilago) telinga luar.
Perikondritis bisa terjadi akibat cedera, gigitan serangga dan pemecahan bisul
dengan sengaja. Nanah akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan
ikat di sekitarnya (perikondrium).

e.

Eksim

Eksim pada telinga merupakan suatu peradangan kulit pada telinga luar
dan saluran telinga, yang ditandai dengan gatal-gatal, kemerahan, pengelupasan
kulit, kulit yang pecah-pecah serta keluarnya cairan dari telinga. Keadaan ini
bisa menyebabkan infeksi pada telinga luar dan saluran telinga.

f.

Cidera

Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar
diantara kartilago dan perikondrium. Jika terjadi penimbunan darah di daerah
tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa
berwarna ungu kemerahan.
g.

Tumor

Tumor pada telinga bisa bersifat jinak atau ganas (kanker). Tumor yang jinak
bisa tumbuh di saluran telinga, menyebabkan penyumbatan dan penimbunan
kotoran telinga serta ketulian.
h.

Kanker

Kanker sel basal dan kanker sel skuamosa seringkali tumbuh pada telinga luar
setelah pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang. Pada stadium
dini, bisa diatasi dengan pengangkatan kanker atau terapi penyinaran.
3.

Indera Peraba (Kulit)

Kulit merupakan indra peraba yang mempunyai reseptor khusus untuk sentuhan,
panas, dingin, sakit, dan tekanan. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk
ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh
dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya
terletak di dekat epidermis. Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam,
misalnya otot dan tulang.

Kelainan pada kulit


a) Jerawat.

Jerawat mudah menyerang kulit wajah, leher, punggung, dan dada. Penyakit ini
timbul akibat ketidakseimbangan hormon dan kulit yang kotor. Anak-anak
yang memasuki masa remaja serta orang-orang yang memiiki jenis kulit
berminyak sangat rentan terhadap jerawat.

b) Panu. Panu disebabkan oleh jamur yang menempel di kulit. Panu


tampaksebagai bercak atau bulatan putih di kulit dan disertai rasa gatal. Panu
timbul karena penderita tidak menjaga kebersihan kulit.
c) Kadas. Kadas nampak di kulit sebagai bulatan putih bersisik. Pada setiap
bulatan terdapat garis tepi yang jelas dengan kulit yang tidak terkena. Kadas
juga menyebabkan rasa gatal. Penyakit ini disebabkan oleh jamur.
d) Skabies.

Skabies disebut pula seven-year itch. Penyakit tersebut disebabkan oleh


parasit insekta yang sangat kecil (Sarvoptes scabies) dan dapat menular pada
orang lain.
e) Eksim.

Eksim merupakan penyakit kulit yang akut atau kronis. Penyakit tersebut
menyebabkan kulit menjadi kering, kemerah-merahan, gatal-gatal, dan
bersisik.

f)

Biang keringat.

Biang keringat terjadi karena kelenjar keringat tersumbat oleh sel-sel kulit mati
yang tidak dapat terbuang secara sempurna. Keringat yang terperangkap
tersebut menyebabkan timbulnya bintik-bintik kemerahan yang disertai gatal.
Daki, debu, dan kosmetik juga dapat menyebabkan biang keringat.
4.

Indera Pengecap (Lidah)

Lidah adalah

kumpulan otot

rangka pada

bagian

lantai mulut yang

dapat

membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lidah dikenal


sebagai

indera

pengecap

yang

banyak

memiliki

struktur tunas

pengecap.

Menggunakan lidah, kita dapat membedakan bermacam-macam rasa. Lidah juga turut
membantu dalam tindakan bicara
Kelaianan pada lidah
a.

Oral candidosis.

Penyebabnya adalah jamur yang disebut candida albicans.. gejalanya yaitu lidah
akan tampak tertutup lapisan putih yang dapat dikerok.
b.

Atropic glossitis.

c.

Lidah akan terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya
sebagian kecil. Penyebab yang paling sering biasanya adalah kekurangan zat

d.

besi. Jadi banyak ditemukan pada penderita anemia.


Geografic tongue.

Gejalanya yaitu lidah seperti peta, berpulau-pulau. Bagian pulau itu berwarna
e.

merah dan lebih licin dan bila parah akan dikelilingi pita putih tebal.
Fissured tongue.

Gejalanya yaitu lidah akan terlihat pecah-pecah.

f.

Glossopyrosis

Kelainan ini berupa keluhan pada lidah dimana lidah terasa sakit dan panas dan
terbakar tetapi tidak ditemukan gejala apapun dalam pemeriksaan. Hal ini lebih
banyak disebabkan karena psikosomatis dibandingkan dengan kelainan pada
syaraf.
5. Indera Pembau (Hidung)
Saat manusia baru lahir indera penciumannya lebih kuat dari manusia dewasa,
karena dengan indera ini bayi dapat mengenali ibunya. Indera penciuman manusia
dapat mendeteksi 2000 - 4000 bau yang berbeda. Indera pembau manusia berupa
kemoreseptor yang terdapat di permukaan dalam hidung, yaitu pada lapisan lendir
bagian atas.
Kelainan pada hidung
a.

Angiofibroma Juvenil

adalah tumor jinak pada hidung bagian belakang atau tenggorokan bagian atas
(nasofaring), yang mengandung pembuluh darah. Tumor ini paling sering
ditemukan pada anak-anak laki yang sedang mengalami masa puber.

b.

Papiloma Juvenil

adalah tumor jinak pada kotak suara (laring). Papiloma disebabkan oleh virus.
Papiloma bisa ditemukan pada anak usia 1 tahun. Papiloma bisa menyebabkan
suara serak, kadang cukup berat sehingga anak tidak dapat berbicara dan bisa
c.

menyumbat saluran udara.


Rhinitis Allergica

adalah peradangan hidung karena alergi. Disebabkan oleh adanya reaksi alergi
pada hidung yang ditimbulkan oleh masuknya substansi asing ke dalam saluran
tenggorokan.
d.

Sinusitis

merupakan peradangan sinus, yaitu rongga-rongga dalam tulang yang


berhubungan dengan rongga hidung, yang gawat dan biasanya terjadi dalam
waktu menahun (kronis).
e.

Salesma dan influenza

merupakan infeksi pada alat pernapasan yang disebabkan oleh virus, dan
umumnya dapat menyebabkan batuk, pilek, sakit leher dan kadang-kadang panas
f.

atau sakit pada persendian.


Anosmia

adalah gangguan pada hidung berupa kehilangan kemampuan untuk membau.


Penyakit ini dapat terjadi karena beberapa hal, misalnya cidera atau infeksi di
dasar kepala, keracunan timbel, kebanyakan merokok, atau tumor otak bagian
depan. Untuk mengatasi gangguan ini harus diketahui dulu penyebabnya

WOC RETINOBLASTOMA PADA ANAK

RETINOBLASTOMA

1. Definisi
Retinoblastoma adalah tumor endo-okular pada anak yang mengenai saraf embrionik
retina. Kasus ini jarang terjadi, sehingga sulit untuk dideteksi secara awal. Rata rata usia
klien saat diagnosis adalah 24 bulan pada kasus unilateral, 13 bulan pada kasus kasus
bilateral. Beberapa kasus bilateral tampak sebagai kasus unilateral, dan tumor pada
bagian mata yang lain terdeteksi pada saat pemeriksaan evaluasi. ini menunjukkan
pentingnya untuk memeriksa klien dengan dengan anestesi pada anak anak dengan
retinoblastoma unilateral, khususnya pada usia dibawah 1 tahun. (Pudjo Hagung Sutaryo,
2006 ).

2. Etiologi

Retinoblastoma terjadi secara familiar atau sporadik. Namun dapat juga


diklasifikasikan menjadi dua subkelompok yag berbeda, yaitu bilateral atau unilateral dan
diturunkan atau tidak diturunkan. Kasus yang tidak diturunkan selalu unilateral,
sedangkan 90 % kasus yang diturunkan adalah bilateral, dan unilateral sebanyak 10%.
Gen retinoblastoma (RBI) diisolasi dari kromosom 13q14, yang berperan sebagai
pengatur

pertumbuhan

sel

pada

sel

normal.

Penyebabnya

adalah

tidak

terdapatnya gen penekan tumor, yang sifatnya cenderung diturunkan. Kanker bisa
menyerang salah satu mata yang bersifat somatic maupun kedua mata yang merupakan
kelainan yang diturunkan secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung
mata dan ke otak (melalui saraf penglihatan/nervus optikus).
3. Manifestasi klinis
Gejala retinoblastoma dapat menyerupai penyakit lain dimata. Bila letak tumor
dimakula, dapat terlihat gejala awal strabismus. Massa tumor yang semakin membesar
akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda-tanda peradangan di vitreusBila sel-sel
tumor terlepas dan masuk ke segmen anterior mata , akan menyebabkan glaucoma atau
tanda-tanda peradangan berupa hipopion atau hifema. Pertumbuhan tumor ini dapat
menyebabkan metastasis dengan invasi tumor melalui nervus optikus ke otak, melalui
sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal, dan metastasis jauh ke sumsum tulang
melalui pembuluh darah. Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat menonjol
kebadan kaca. Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan. Warna iris tidak
normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe preaurikular dan submandibula
dan, hematogen, ke sumsum tulang dan visera, terutama hati.
Kanker retina ini pemicunya adalag faktor genetik atau pengaruh lingkungan dan infeksi
virus. Gejala yang ditimbulkan retinoblastoma adalah timbulnya bercak putih di bagian
tengah mata atau retina, membuat mata seolah-olah bersinar bila terkena cahaya.
Kemudian kelopak mata menurun dan pupil melebar, penglihatan terganggu atau mata
kelihatan juling. Tapi apabila stadium berlanjut mata tampak menonjol. Jadi apabila
terihat tanda-tanda berupa mata merah, berair, bengkak, walaupun sudah diberikan obat
mata dan pada kondisi gelap terlihat seolah bersinar seperti kucing jadi anak tersebut bisa
terindikasi penyakit retinoblastoma.

4. Patofisiologi
Jika letak tumor di macula, dapat terlihat gejala awal strabismus. Massa tumor yang
semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda-tanda peradangan
vitreus yang menyerupai endoftalmitis. Jika sel-sel tumor terlepas dan masuk ke segmen
anterior mata, akan menyebabkan glaucoma atau tanda peradangan berupa hipopion atau
hifema. Pertumbuhan tumor ini dapat menyebabkan metastasis dengan invasi tumor
melalui; nervus optikus ke otak, sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal, dan
metastasis jauh kesumsum tulang melalui pembuluh darah. Pada fundus terlihat bercak
kuning mengkilat, dapat menonjol ke badan kaca. Dipermukaan terdapat neovaskularisasi
dan perdarahan. Warna iris tidak normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe
preaurikuler dan submandibula serta secara hematogen ke sumsum tulang dan visera ,
terutati.
5. Klasifikasi Stadium
Menurut Reese-Ellsworth, retino balastoma digolongkan menjadi:
1. Golongan I
a. Tumor soliter/multiple kurang dari 4 diameter pupil.
b. Tumor multiple tidak lebih dari 4dd,dan terdapat pada atau dibelakang ekuator
2. Golongan II
a. Tumor solid dengan diameter 4-10 dd pada atau belakang ekuator
b. Tumor multiple dengan diameter 4-10 dd pada atau belakang ekuator
3. Golongan III
a. Beberapa lesi di depan ekuator
b. Tumor ada didepan ekuator atau tumor soliter berukuran >10 diameter papil
4. Golongan IV
a. Tumor multiple sebagian besar > 10 dd
b. Beberapa lesi menyebar ke anterior ke ora serrata
5. Golongan V
a. Tumor masif mengenai lebih dari setengah retina
b. Penyebaran ke vitreous

Tumor menjadi lebih besar, bola mata memebesar menyebabakan eksoftalmus


kemudian dapt pecah kedepan sampai keluar dari rongga orbita disertai nekrose
diatasnya.
Menurut Grabowski dan Abrahamson, membagi penderajatan berdasarkan tempat
utama dimana retinoblastoma menyebar sebagai berikut :
1. Derajat I intraokular
a. tumor retina.
b. penyebaran ke lamina fibrosa.
c. penyebaran ke ueva.
2. Derajat II orbita
a. Tumor orbita : sel sel episklera yang tersebar, tumor terbukti dengan

biopsi.

b. Nervous optikus.
6. Penatalaksanaan
Dua aspek pengobatan retinoblastoma harus diperhatikan, pertama adalah
pengobatan local untuk jenis intraocular, dan kedua adalah pengobatan sistemik untuk
jenis ekstrokular, regional, dan metastatic.
Hanya 17% pasien dengan retinoblastoma bilateral kedua matanya masih terlindungi.
Gambaran seperti ini lebih banyak pada keluarga yang memiliki riwayat keluarga, karena
diagnosis biasanya lebih awal. Sementara 13% pasien dengan retinoblastoma bilateral
kedua matanya terambil atau keluar karena penyakit intraocular yang sudah lanjut, baik
pada waktu masuk atau setelah gagal pengobatan local.
Jenis terapi
1. Pembedahan
Enukleasi adalah terapi yang paling sederhana dan aman untuk retinoblastoma.
Pemasangan bola mata palsu dilakukan beberapa minggu setelha prosedur ini, untuk
meminimalkan efek kosmetik. Bagaimanapun, apabila enukleasi dilakukan pada dua
tahun pertama kehidupan, asimetri wajah akan terjadi karena hambatan pertumbuhan
orbita. Bagaimanapun, jika mata kontralateral juga terlibat cukup parah, pendekatan
konservatif mungkin bisa diambil.

Enukleasi dianjurkan apabila terjadi glaukoma, invasi ke rongga naterior, atau terjadi
rubeosis iridis, dan apabila terapi local tidak dapat dievaluasi karena katarak atau gagal
untuk mengikuti pasien secara lengkap atau teratur. Enuklasi dapat ditunda atau
ditangguhkan pada saat diagnosis tumor sudah menyebar ke ekstraokular. Massa orbita
harus dihindari. Pembedahan intraocular seperti vitrektomi, adalah kontraindikasi pada
pasien retinoblastoma, karena akan menaikkan relaps orbita.
2. External beam radiotherapy (EBRT)
Retinoblastroma merupakan tumor yang radiosensitif dan radioterapi merupakan
terapi efektif lokal untuk khasus ini. EBRT mengunakan eksalator linjar dengan dosis 4045 Gy dengan pemecahan konvensional yang meliputi seluruh retina. Pada bayi mudah
harus dibawah anestesi dan imobilisasi selama prosedur ini, dan harus ada kerjasama
yang erat antara dokter ahli mata dan dokter radioterapi untuk memubuat perencanan.
Keberhasilan EBRT tidak hanya ukuran tumor, tetapi tergantung teknik dan lokasi.
Gambaran regresi setelah radiasi akan terlihat dengan fotokoagulasi. Efek samping
jangka panjang dari radioterapi harus diperhatikan. Seperti enuklease, dapat terjadi
komplikasi hambatan pertumbuhantulang orbita, yang akhirnya akan meyebabkan
ganguan kosmetik. Hal yang lebih penting adalah terjadi malignasi skunder.
3. Radioterapi plaque
Radioaktif episkeral plaque menggunakan 60 Co, 106 Ro, 125 I sekarang makin
sering digunakan untuk mengobati retinoblastoma. Cara itu biasanya digunakan untuk
tumoryang ukurannya kecil sa,pai sedang yang tidak setuju dengan kryo atau
fotokoagulasi, pada kasus yang residif setelah EBRT, tetapi akhir-akhir ini juga
digunakan pada terapi awal, khusunya setelah kemoterapi. Belum ada bukti bahwa cara
ini menimbulkan malignansi sekunder.
4. Kryo atau fotokoagulasi
Cara ini digunakan untuk mengobati tumor kecil (kurang dari 5 mm) dan dapat
diambil. Cara ini sudah secara luas digunakan dan dapat diulang beberapa kali sampai
kontrol lokal terapi. Kryoterapi biasanya ditujukan unntuk tumorbagian depan dan
dilakukan dengan petanda kecil yang diletakkan di konjungtiva. Sementara fotokoagulasi

secara umum digunakan untuk tumor bagian belakang baik menggunakan laser argon
atau xenon. Fotokoagulasi tidak boleh diberikan pada tumor dekat makula atau diskus
optikus, karena bisa meninggalkan jaringan parut yang nantinya akan menyebabkan
ambliopi. Kedua cara ini tidak akan atau sedikit menyebabkan komplikasi jangka
panjang.
5. Modalitas yang lebih baru
Pada beberapa tahun terakhir,banyak kelompok yang menggunakan kemoterapi
sebagai terapi awal untuk kasus interaokular, dengan tujuan untuk mengurabgi ukuran
tumor dan membuat tumor bisa diterapi secara lokal. Kemoterapi sudah dibuktikan tidak
berguna untuk kasus intraocular, tetapi dengan menggunakan obat yang lebih baru dan
lebih bisa penetrasi ke mata, obat ini muncul lagi. Pendekatan ini digunakan pada kasuskasus yang tidak dilakukan EBICT atau enukleasi, khususnya kasus yang telah lanjut.
Carboplatin baaik sendiri atau dikombinasi dengan vincristine dan VP16 atau VM26
setelah digunakan. Sekarang kemoreduksi dilakukan sebagai terspi awal kasus
retinoblastoma bilateral dan mengancam fungsi mata.
6. Kemoterapi
Protocol adjuvant kemoterapi masih kontrovensial. Belum ada penelitian yang luas,
prospektif dan random. Sebagian besar penelitian didasarkan pada sejumlah kecil pasien
dengan perbedaan resiko relaps. Selain itu juga karena kurang diterimanya secra luas
sistem stadium yang dibandingkan dengan berbagai macam variasi. Sebagian besar
penelitian didasarkan pada gambaran factor risiko secara histopatologi.
Penentuan stadium secara histopatologi setelah enukleasi sangat penting untuk
menentukan risiko relaps. Banyak peneliti memberikan kemoterapi adjuvant untuk
pasien-pasien retinoblastoma intraokular dan memiliki faktor risiko potensial seperti
nervus optikus yang pendek (< 5 mm), tumor undifferentiated, atau invasi ke nervus
optikus prelaminar. Kemoterapi ingtratekal dan radiasi intracranial untuk mencegah
penyebaran ke otak tidak dianjurkan.
Apabila penyakitnya sudah menyebar ke ekstraokuler, kemoterapi awal dianjurkan. Obat
yang digunakan adalah carboplatin, cis;platin, etoposid, teniposid, sikofosfamid,
ifosfamid, vinkristin, adriamisin, dan akhir-akhir ini adalah dikombinasi dengan

idarubisin. Meskipun laporan terakhir menemukan bahwa invasi keluar orbita dan
limfonodi preauricular dihubungkan dengan keluaran yang buruk, sebagian besar pasien
ini akan mencapai harapan hidup yang panjang dengan pendekatan kombinasi
kemoterapi, pembedahan, dan radiasi. Meskipun remisi bisa dicapai oleh pasien dengan
metastasis, biasanya mempunyai kehidupan pendek. Hal ini biasanya dikaitkan dengan
ekspresi yang belebihan p 170 glikoprotein pada retinoblastoma, yang dihubungkan
dengan multidrug resistance terhadap kemoterapi.
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti retinoblastoma intaokuler dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
patologi anatomi. Karena tindakkan biopsi merupakan kontraindikasi, maka untuk
menegakkan diagnosis digunakan bebrapa pemeriksaan sebagai sarana penunjang:
1.

Fundus Okuli : Ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina disertai

pembuluh darah pada permukaan ataupun didalam massa tumor tersebut dan
berbatas kabur
2.

X Ray : Hampir 60 70 % penderita retinoblastoma menunjukkan

kalsifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke saraf optik foramen : Optikum


melebar.
3.

USG : Adanya massa intraokuler

4.

LDH : Dengan membandingkan LDH aqous humor dan serum darah, bila

ratsio lebih besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma


intaokuler (Normal ratsio Kurang dari 1)
5.

Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien

dengan metastasis ke luar, misalnya dengan gejala proptosis bola mata.


8. Komplikasi
Komplikasi pada retinoblastoma adalah lepasnya Retina (ablasio retina), peninggian
tekanan bola mata (glucoma).Komplikasi lain berupa terhambatnya pematusan aqous
humor sehingga timbul glaukoma sekunder.
Metastase melalui beberapa jalan antara lain :

a. Lamina kribosa, saraf optik kemudian mengadakan infiltrasi ke arah vaginal sheat
subarachnoid untuk menuju ke intracranial
b.

Jaringan choroid, dengan melalui pembuluh darah tumor menyebar ke seluruh tubuh.

c. Pembuluh emisari, tumor menyebabr ke bagian posterior orbita

ASUHAN KEPERAWATAN
RETINOBLASTOMA PADA ANAK
A. Pengkajian
1)

Pengkajian yang penting untuk retinoblastoma


Sejak kapan sakit mata dirasakan. Penting untuk mengetahui perkembangan penyakitnya,
dan sejauhmana perhatian klien dan keluarganya terhadap masalah yang dialami.
Retinoblastoma mempunyai prognosis baik bila ditemukan dini.

2)

Riwayat trauma sebelum atau sesudah ada keluhan


Trauma dapat memberikan kerusakan pada seluruh lapis kelopak ataupun bola mata.
Trauma sebelumnya dapat juga memberikan kelainan pada mata tersebut sebelum
meminta pertolongan.

3)

Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya. Retinoblastoma
bersifat

herediter

yang

diwariskan

melalui

kromosom, protein yang

memiliki kemungkinan 50 % menurunkan anak dengan retinoblastoma.

selamat

4)

Apakah pasien merasakan adanya perubahan dalam matanya. Retinoblastoma dapat


menyebabkan bola mata menjadi besar.

5)

Apakah ada keluhan lain yang menyertai


Keluhan sakit kepala merupakan keluhan paling sering diberikan oleh penderita.
Adanya keluhan pada organ lain juga bisa diakibatkan oleh tumor yang bermetastase.

6)

Penyakit mata sebelumnya


Kadang-kadang dengan mengetahui riwayat penyakit mata sebelumnya akan dapat
menerangkan tambahan gejala-gejala penyakit yang dikeluhkan penderita.

7)

Penyakit lain yang sedang diderita


Bila sedang menderita penyakit lain dengan keadaan yang buruk, dapat pula
memperburuk keadaan klien

8)

Usia penderita
Dikenal

beberapa

jenis

penyakit

yang

terjadi

pada

usia

tertentu.

Retinoblastoma umumnya ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia di bawah


5 tahun.
9)

Riwayat Psikologi
Reaksi pasien dana keluarganya terhadap gangguan penglihatan yang dialami pasien:
cemas, takut, gelisah, sering menangis, sering bertanya.

10) Mekanisme koping


11) Pemeriksaan Fisik Umum
Diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya keadaan umum yang dapat
merupakan penyebab penyakit mata yang sedang diderita.
12) Pemeriksaan Khusus Mata
a.

Pemeriksaan tajam penglihatan


Pada retinoblastoma, tumor dapat menyebar luas di dalam bola mata sehingga dapat
merusak semua organ di mata yang menyebabkan tajam penglihatan sangat
menurun.

b.

Pemeriksaan gerakan bola mata


Pembesaran tumor dalam rongga mata akan menekan saraf dan bahkan dapat merusak
saraf tersebut dan apabila mengenai saraf III, IV, dan VI maka akan menyebabkan mata
juling.

c.

Pemeriksaan susunan mata luar dan lakrimal


Pemeriksaan dimulai dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva, kornea,

bilik

mata depan, iris, lensa dan pupil. Pada retinoblastoma didapatkan:


-

Leukokoria, Yaitu reflek pupil yang berwarna putih.

Hipopion, Yaitu terdapatnya nanah di bilik mata depan.

Hifema, Yaitu terdapatnya darah di bilik mata depan

Uveitis, Yaitu terdapatnya darah di bilik mata depan

d.

Pemeriksaan Pupil
Leukokoria (refleks pupil yang berwarna putih) merupakan keluhan dan gejala yang
paling

e.

sering

ditemukan

pada

penderita

dengan retinoblastoma.

Pemeriksaan funduskopi
Menggunakan oftalmoskopi untuk pemeriksaan media, papil saraf optik, dan retina.
Refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan yang banyak dalam badan kaca.

f.

Pemeriksaan tekanan bola mata


Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata menyebabkan tekanan bola mata meningkat.

B.

Pengelompokan Data
1. Data Subjektif

Mengeluh nyeri pada mata

Sulit melihat dengan jelas

Mengeluh sakit kepala

Merasa takut
2. Data Objektif

Mata juling (strabismus)

Mata merah

Bola mata besar

Aktivitas kurang

Tekanan bola mata meningkat

Gelisah

Refleks pupil berwarna putih (leukokoria)

Tajam penglihatan menurun

Sering menangis

Keluarga sering bertanya

Ekspresi meringis

Tak akurat mengikuti instruksi

Keluarga nampak murung

Keluarga nampak gelisah

Pertanyaan/pernyataan keluarga salah konsepsi

C. Diagnosa
1.

Nyeri b/d proses penyakit, inflamasi

2.

Gangguan persepsi sensori : visual b/d gangguan penerimaan sensori

3.

Resiko cedera b/d keterbatasan lapang pandang

4.

Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d status hipermetabolik

5.

Ansietas b/d perubahan status kesehatan

6.

Gangguan harga diri b/d kecacatan bedah

D. Intervensi
Diagnosa
1.
Nyeri
proses

Tujuan
b/d Melaporkan
kehilangan nyeri

Intervensi
Rasional
Tentukan riwayat nyeri Informasi memberikan
mis

lokasi

nyeri,data

penyakit,

frekuensi,

durasi

inflamasi

intensitas (skala 0-10)

pembedahan,
kemoterapi.

mis

untuk

danmengevaluasi kebutuhan
keefektivan intervensi

Evaluasi / sadari terapi


tertentsu

dasar

Ketidaknyamanan

:rentang luas adalah umum

radiasi,(mis : nyeri insisi)

Berikan

tindakan

Meningkatkan relaksasi

kenyamanan dasar dandan


aktivitas hiburan
Dorong

membantu

menfokuskan

kembali

penggunaanperhatian

keterampilan

Memungkinkan pasien

manajemen nyeri (mis :untuk


tekhnik

relaksasi,secara

visualisasi)

berpartisipasi
aktif

dan

tertawa,meningkatkan

music,

rasa

sentuhancontrol

terapeutik

Nyeri

Kolaborasi : berikankomplikasi

adalah
sering

dari

analgesic sesuai indikasi kanker, meskipun respon


2.

Gangguan
persepsi

Mengenal gangguan Pastikan


sensori

derajat/tipe

dankehilangan penglihatan masa depan pasien dan

sensori : visual berkompensasi


b/d

pilihan intervensi.

gangguan terhadap perubahan

penerimaan
sensori

Mengidentifikasi/

Dorong

Sementara

mengekspresikan

memperbaikipotensial perasaan
bahaya
lingkungan.

individual bebeda
Mempengaruhi harapan

intervensi

dini mencegah kebutaan,


tentangpasien

menghadapi

dalamkehilangan/kemumgkina kemungkinan
n

atau

kehilanganmengalami

penglihatan

kehilangan

penglihatan
Mengontrol

Tunjukan
tetes

pemberianmencegah

mata,

menghitung

Lakukan

kehilangan

contohpenglihatan lanjut
tetesan,

mengikuti jadwal, tidak


salah dosis

TIO,

Menurunkan
keamanan

bahaya

sehubungan

tindakandengan perubahan lapang

untuk membantu pasienpandang/kehilangan


menangni

keterbatasanpenglihatan

dan

penglihatan
kurangi

contohakomodasi pupil terhadap

kekacauan,sinar lingkungan

perbaiki sinar suram dan


masalah

penglihatan

malam

Pengangkatan

bola

mata, dilakukan apabila

Kolaborasi

: Siapkantumor

sudah

mencapai

intervensi bedah sesuaiseluruh vitreous dan visus


indikasi: enuklasi

nol,

dilakukan

mencegah

untuk
tumor

bermetastasis lebih jauh.


Dilakukan

apabila

tumor masih intraokuler,


Pelaksanaan

untuk

mencegah

krioterapi, fotokoagulasipertumbuhan tumor akan


laser,
3. Resiko
cedera

Menyatakan
b/d pemahaman

kombinasimempertahankan visus.

sitostatik.
Batasi aktivitas seperti
factormenggerakkan

yang

lapang

kemungkinan cedera. mata, membungkuk.


Mengubah

dalamtiba-tiba,

Menurunkan

menggarukmenurunkan

Anjurkan

lingkungan

sesuaimemberikan

indikasi

untukyang

stress

kepalapada area operasi atau

keterbatasan
pandang

terlibat

atau

keluarga

tekanan

intraokuler
Menurunkan

resiko

mainanmemecahkan mainan dan

aman

(tidakjatuh dari tempat tidur

meningkatkan

pecah), dan pertahankan

keamanan

pagar tempat tidur.


Arahkan semua alat

Memfokuskan

lapang

mainan yang dibutuhkanpandang dan mencegah


klien pada tempat

cedera pada saat berusaha


untuk

menjangkau

mainan.
Pemberian analgesik,

Digunakan

untuk

misalnya:

mengatasi

acetaminophen (tyenol),ketidaknyamanan,
empirin dengan kodein. meningkatkan
istirahat/mencegah
gelisah.
4. Perubahan
status

Mendemostrasikan

nutrisi berat badan stabil

kurang

dari

kebutuhan
tubuh

Bebas
malnutrisi

b/d

Pantau

masukan

makanan setiap hari


tanda Ukur
badan

tinggi,
dan

Mengidentifikasi
kekuatan/defisiensi nutrisi

berat

Membantu

dalam

ketebalanidentifikasi

lipatan kulit trisep

malnutrisi

protein-kalori, khususnya

status

bila

berat

hipermetabolik

pengukuran

badan

dan

Dorong pasien untukantropometrik


makan diet tinggi kalori

Kebutuhan

kaya nutrient, denganmetabolic

jaringan
ditingkatkan

masukan cairan adekuat begitu juga cairan.


Identifikasi
yang

pasien
mengalami

mual/muntah

Mual

yangpsikogenik

diantisipasi

sebelum

muntah
terjadi
kemoterapi

mulai secara umum tidak


Dorang
terbuka

komunikasiberespon terhadap obat


mengenaiantiemetic.

masalah anoreksia

Sering sebagai sumber


distress emosi, khususnya
untuk orang terdekat yang
menginginkan

untuk

memberi makan pasien


dengan sering. Bila pasien
menolak, orang terdekat

dapat
5. Ansietas b/d

Ansietas

menurun

Kaji tingkat ansietas,

perubahan

sampai pada tingkatderajat

status

yang dapat diatasi

kesehatan

Menggunakan

merasakan

ditolak/frustasi
Mempengaruhi

pengalamanpersepsi pasien terhadap

nyeri dan pengetahuanancaman


kondisi saat ini.

diri,

dapat

mempengaruhi

sumber secara efektif

upaya

medic untuk mengontrol


Dorong pasien untukTIO
mengakui masalah dan

Memberikan

mengekspresikan

kesempatan pasien untuk

perasaan.

menerima situasi nyata.

Berikan

informasi

yang akurat dan jujur.

Menurunkan
sehubungan

ansietas
dengan

ketidaktahuan/harapan
6. Gangguan

Mengungkapakan

harga diri b/d pemahaman


kecacatan

mekanisme

bedah

untuk

Dikskusikan dengan
pasien/orang

masalah untuk memulai

kopingterdekat/orang

menghadapibagaimana

yang akan datang


Membantu memastikan

tuaproses

pemecahan

diagnosismasalah

masalah secara efektif dan pengobatan yang


mempengaruhi
kehidupan

pribadi

pasien/rumah

danmerencanakan perawatan

akivitas bermain
Evaluasi

saat di Rumah Sakit serta


struktursetelah pulang

yang ada dan digunakan


oleh

Membantu

Meskipun

pasien/orangpasien

terdekat
Berikan
emosi
pasien/orang

beberapa

beradaptasi

diri

dengan efek kanker atau


dukunganefek

samping

untukterapi;banyak
terdekatmemerlukan

dukungan

selama

tes diagnostictambahan selama periode

dan fase pengobatan

ini
Pastikan individualitas
dan penerimaan penting
dalam

Gunakan

menurunkan

sentuhanperasaan pasien tentang

selam

interaksi.

Bilaketidakamanan

dapat

diterima

padakeraguan diri

pasien

dan

mempertahankan kontak
mata

PEMBAHASAN
ASKEP HIV

dan

2.1 Pengertian
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana
kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama
perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
Jadi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa).
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia.
Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam
darah, dan penularan masa perinatal.

1.

Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :

a) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,

b) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,


c) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
e) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah
seksual), dan
f)

anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.

2. Cara Penularan
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui:
a) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu
bayi terpapar dengan darah ibu.
b) Selama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.
c)

Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan
aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir
sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara
persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan
ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala
janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada
ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko
transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam sebelum persalinan.

d) Bayi tertular melalui pemberian ASI


Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI
diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi
median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel,

partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai
factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain
mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun
bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan
paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
2.3 Manifestasi klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda
karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak.
Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun.
Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang
ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa :
a.

gagal tumbuh

b.

berat badan menurun,

c.

anemia,

d.

panas berulang,

e.

limfadenopati, dan

f.

hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi

oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme
tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut
antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru
karenaPneumocystis

carinii,

radang

paru

karena

mikobakterium

atipik,

atau

toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan

berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare
berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada
jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa :
a.

hipoksia,

b.

sesak napas,

c.

jari tabuh, dan

d.

limfadenopati.

e.

Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,


terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik

yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan


daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat
merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran
ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada
jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
2.4 Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis

melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang
terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi
precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat
menginfeksi jenis sel selain limfosit.
Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak
menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir
virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama
otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada
sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan
janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi
terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah
kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau
autoimun.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun priode
inkubasi atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat
pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan
regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B;
hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara
anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6
bulan.
Ketidakmampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya,
berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV
pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak
berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering
memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang
untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan
kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati
yang terjadi pada infeksi HIV anak.

WOC HIV

2.5 Komplikasi
1.

Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih
seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut
mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan
menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).

2.

Neurologik

a) Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS
dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
b) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
3.

Gastrointestinal

a) Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk
penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal,
diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam
yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan
gejala ini.
b) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
c) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
d) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis,
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus,
virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak
integritas kulit. Moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam
yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta
wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik
seperti ekzema dan psoriasis.
6. Sensorik
a) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
b) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan
reaksi-reaksi obat.

2.6 Pemeriksaan penunjang


1. Tes untuk diagnose infeksi HIV
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi:
a) ELISA, latex agglutination Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan
positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot.
b) Western blot ( positif)
c) Tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR . Bila pemeriksaan pada
kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir
dengan ibu HIV. (positif untuk protein virus yang bebas)
d) Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a) LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)

b) CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk


bereaksi terhadap antigen)
c) Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d) Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
e) Kadar immunoglobulin (meningkat)
2.7 Penatalaksanaan
1.

Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
a) Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b) Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada.
c) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid,
yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke
DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d) Mengatasi dampak psikososial
e)

Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis

f)

Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

2.

Pengobatan

a) Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi


oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah
dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada
penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar
CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit
Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis
penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju
berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat,
dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak

menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural


sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana
yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.
b) Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk
toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai
kondisi klinis yang ditemukan pada penderita.
c) Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat
ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus
dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan
infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan
sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan
pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin
yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat
ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma
selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi
membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
3. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
a)

Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar

vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh
kurang efektif untuk menularkan HIV.
b)

Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan

bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar
karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
c)
ASI.

Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat

Gambar Virus HIV

Gambar Bayi yang terkena HIV

ASUHAN KEPERAWATAN HIV PADA ANAK

A. Pengkajian
1. Idensitas klien meliputi: nama/nama panggilan,tempat tanggal lahir/usia, jenis
kelamin, agama, paendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian.
2. Identitas penanggungjawab
3. Keluhan Utama
Orangtua klien mengeluhkan anaknya batuk- batuk disertai sesak napas.
4. Riwayat Kesehatan
a.

Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien terus batuk batuk sejak satu minggu yang lalu, kemudian dua hari yang lalu mulai
disertai sesak napas.klien juga terkena diare dengan frekuensi BAB cukup tinggi.sejak
semalam klien demam dan di perparah lagi klien tidak mau menyusu, karena itu orang tua
klien membawanya ke rumah sakit.
b. Riwayat Kesehatan Lalu (khusus untuk anak 0-5 tahun)
a)

Prenatal Care

Pemeriksaan kehamilan
Keluhan selama hamil
Riwayat terkena sinar tidak ada
Kenaikan berat badan selama hamil
Imunisasi
b) N a t a l
Tempat melahirkan
Lama dan jenis persalinan
Penolong persalinan
komplikasi selama persalinan ataupun setelah persalinan (sedikit perdarahan daerah
vagina).
c)

Post Natal

Kondisi Bayi : BB lahir.. kg, PB.. cm


Kondisi anak saat lahir: baik/tidak
Penyakit yang pernah dialami setelah imunisasi

Kecelakaan yang pernah dialami: ada/tidak ada


Imunisasi
Alergi
Perkembangan anak dibanding saudara-saudara
5.

Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah anggota keluarga yang mengidap HIV : missal, ibu.


6. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi apa saja yang pernah diberikan, waktu pemberian dan reaksi setelah
pemberian. Missal; imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis.
7. Riwayat Tumbuh Kembang
a)

Tinggi Badan : PB lahir .. cm, PB masuk RS :.. Cm

b) Perkembangan tiap tahap ( berapa bulan)


Berguling, duduk, merangkak, berdiri, berjalan, senyum kepada orang lain, bicara
pertama kali, berpakaian tanpa bantuan .
8. Riwayat Nutrisi
a.

Pemberian ASI

1.

Pertama kali di susui : berapa jam setelah lahir

2.

Cara Pemberian

: Setiap Kali menangis dan tanpa menangis

3.

Lama Pemberin

: berapa menit

4.

Diberikan sampai usia berapa

b.

Pemberian Susu Formula :missal; SGM

c.

Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini

4. Riwayat Psiko Sosial


a)

Anak tinggal di mana, keadaan Lingkungan, fasilitas rumah

b) Hubungan antar anggota kelurga baik


c)

Pengasuh anak adalah orang tua, pengasuh,dll

9. Riwayat spiritual
Kegiatan ibadah, tempat ibadah.
10. Reaksi Hospitalisasi
a)

Pengalaman Keluarga tentang Sakit dan rawat inap

b)

Pemahaman anak tentang sakit dan rawat Inap

11. Aktivitas sehari-hari


Kaji sebelum sakit dirumah dan selama dirawat dirumah sakit tentang: nutrisi, cairan,
eliminasi, istirahat/tidur, personal hygiene, aktivitas/mobilisasi, rekreasi.
12. Pemeriksaan Fisik
a.

Keadaan umum: composmetis, stupor, semi koma, koma.

Ekspresi wajah, penampilan ( berpakaian)


b. Tanda-tanda vital meliputi: suhu, nadi, pernapasan. Tekanan darah
c. Antropometri meliputi: panjang badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar abdomen.
d. Head To Toe
1) Kulit : Pucat dan turgor kulit agak buruk
2) Kepal dan leher : Normal tidak ada kerontokan rambut, warna hitam
dan tidak ada peradangan
3) Kuku : Jari tabuh
4)

Mata / penglihatan :Sklera pucat dan nampak kelopak mata cekung

5) Hidung :Tidak ada Peradangan, tidak ada reaksi alergi, tidak ada
polip, dan fxungsi penciuman normal
6) Telinga

:Bentuk simetris kanan/kiri, tidak ada peradangan, tidak ada

perdarahan
7)

Mulut dan gigi: Terjadi peradangan pada rongga mulut dan mukosa,
terjadi Peradangan dan perdarahan pada gigi ,gangguan menelan(-),
bibir dan mukosa mulut klien nampak kering dan bibir pecah-pecah.

8)

Leher: Terjadi peradangan pada eksofagus.

9)

Dada : dada masih terlihat normal

10) Abdomen : Turgor jelek ,tidak ada massa, peristaltik usus meningkat
dan perut mules dan mual.
11) Perineum dan genitalia : Pada alat genital terdapat bintik-bintik radang
12) Extremitas atas/ bawah : Extremitas atas dan extremitas bawah tonus
otot lemah akibat tidak ada energi karena diare dan proses penyakit.
e.

Sistem Pernafasan

Hidung

Leher

: Simetris, pernafasan cuping hidung : ada, secret : ada


: Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe di
sub mandibula.

Dada

o Bentuk dada : Normal


o Perbandingan ukuran anterior-posterior dengan tranversal : 1 : 1
o Gerakan dada
o Suara nafas

: simetris, tidak terdapat retraksi


: ronki

o Suara nafas tambahan : ronki


o Tidak ada clubbling finger
f.

Sistem kardiovaskuler :

Conjungtiva : Tidak anemia, bibir : pucat/cyanosis, arteri carotis : berisi


reguler , tekanan vena jugularis : tidak meninggi

Ukuran Jantung : tidak ada pembesaran

Suara jantung : Tidak ada bunyi abnormal

Capillary refilling time > 2 detik

g.

Sistem pencernaan:

Mulut : terjadi peradangan pada mukosa mulut

Abdomen : distensi abdomen, peristaltic meningkat > 25x/mnt akibat


adanya virus yang menyerang usus

Gaster : nafsu makan menurun, mules, mual muntah, minum normal,

Anus : terdapat bintik dan meradang gatal

h.

Sistem indra

1) Mata : agak cekung


2) Hidung : Penciuman kurang baik,
3) Telinga:
-

Keadaan daun telinga : kanal auditorius kurang bersih akibat


benyebaran penyakit

i.

Fungsi pendengaran kesan baik


Sistem Saraf

1. Fungsi serebral:

Status mental : Orientasi masih tergantung orang tua

Bicara : -

Kesadaran : Eyes (membuka mata spontan) = 4, motorik (bergerak


mengikuti perintah) = 6, verbal (bicara normal) = 5

2. Fungsi kranial :
Saat pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda kelainan dari Nervus I
Nervus XII.
3. Fungsi motorik : Klien nampak lemah, seluruh aktifitasnya dibantu
oleh orang tua
4. Fungsi sensorik : suhu, nyeri, getaran, posisi, diskriminasi (terkesan
terganggu)
5. Fungsi cerebellum : Koordinasi, keseimbangan kesan normal
6.

Refleks : bisip, trisep, patela dan babinski terkesan normal.

j. Sistem Muskulo Skeletal


1) Kepala : Betuk kurang baik, sedikit nyeri
2) Vertebrae: Tidak ditemukan skoliosis, lordosis, kiposis, ROM pasif,
klien malas bergerak, aktifitas utama klien adalah berbaring di tempat
tidur.
3) Lutut : tidak bengkak, tidak kaku, gerakan aktif, kemampuan jalan baik
4) Tangan tidak bengkak, gerakan dan ROM aktif
k.

Sistem integumen

warna kulit pucat dan terdapat bintik-bintik dengan gatal, turgor menurun > 2 dt,

suhu meningkat 39 derajat celsius, akral hangat, akral dingin (waspada syok),

capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
l.

Sistem endokrin

Kelenjar tiroid tidak nampak, teraba tidak ada pembesaran

Suhu tubuh tidak tetap, keringat normal,

Tidak ada riwayat diabetes

m. Sistem Perkemihan
-

Urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/24 jam), frekuensi


berkurang.

Tidak ditemukan odema

Tidak ditemukan adanya nokturia, disuria , dan kencing batu

n. Sistem Reproduksi
Alat genetalia termasuk glans penis dan orificium uretra eksterna
merah dan gatal
o. Sistem Imun
-

Klien tidak ada riwayat alergi

Imunisasi lengkap

Penyakit yang berhubungan dengan perubahan cuaca tidak ada

Riwayat transfusi darah ada/tidak ada

B. Diagnosa Keperawatan
1.

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret

2.

Pola napas tidk efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

3.

Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus


sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody

4.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan


pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare

5.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral

C. Intervensi Keperawatan
No Dx. Kep
1

Tujuan dan

Intervensi

criteria hasil
Bersihan jalan nafasTupan:
tidak

1. Auskultasi

efektifJalan nafas kembaliparu,catat

berhubungan denganefektif/normal
akumulasi secret

Tupen

Rasional
area Penurunan
areaudara terjadi

penurunan/tidak adaarea

setelahaliran

udara

dilakukan tindakanbunyi
selama 1x24 jamadventisius

aliran
pada

konsolidasi

dandengan cairan.
napas pernapasan
dangkal

dan

anak

menunjukan

gerakan dada tidak

yang

efektif
2. kaji

dengan

criteriatanda vital (iramakarena

hasil:

ulang

tanda-simetris

dan frekuensi, sertaketidaknyaman

Mempertahankan gerakan
kepatenan

dindinggerakan

dada)

nyaman

Napas

dalam

napas
3. Bantu pasien latihanmemudahkan

bersih/jelas.
Klien

dinding

dada.

jalan napas dengan


bunyi

terjadi

napas sering.

ekspansi

merasa

maksimum

ketika

paru/jalan

bernapas

napas

lebih kecil

Tidak ada sekret


Merangsang batuk
atau

pembersihan

jalan napas secara


mekanik
Cairan (khususnya
yang

hangat)

memobilisasi

dan

4. Penghisapan sesuaimengeluar-kan
indikasi

secret
alat

untuk

menurunkan
spasme
5. Berikan

cairandengan

sedikitnya
ml/hari

bronkhus

2500memobilisasi
(kecualisekret.

kontraindikasi)

6. berikan obat yang


dapat meningkatkan
efektifnya

jalan

nafas (seperti
2. Pola

bronchodilator
Tupan : pola napas Kaji
frekuensi Kecepatan

napas tidak efektifkembali efektif


berhubungan denganTupen
penurunan
paru

kedalaman

biasanya

setelahpernapasandan

ekspansidilakukan tindakanekpansi paru.


selama 2x24 jam Catat
norma l, dengan Auskuttsi
napas

Dispnue

dan

upayaterjadi peningkatan

pola napas kembalipernapasan


criteria hasil:

meningkat.

dan

kerja nafas.
bunyi Bunyi

nafas

catatmenurun

tidak

- klien Menunjukanadanya bunyi sepertiada bila jalan nafas


pola nafas efektifronkhi.
dengan
dan
dalam

frekuensi Tinggikan

kepalaterhadap

kedalamandan bantu mengubahpendarahan


rentangposisi

normal
- klien

obstruktif sekunder

Observasi

Duduk

tinggi

polamemungkinkan

mengatakanbatuk dan karaktrerekspansi

tidak sesak lagi.

secret
Berkan
tambahan

paru

memudahkan
oksigenpernafasan
Kongesti alveolar
mengakibatkan
batuk

kering

iritasi.
Memaksimalkan
bernafas

dan

menurunkan kerja

nafas.

Hipertermi

Tupan : suhu tubuh Pertahankan

berhubungan dengan klien


pelepasan
dari

pyrogennormal
:

yang

membantu

menurunkan

setelahmenggunakan

suhu

tubuh dengan cara

terhadapdilakukan tindakanpiyama dan selimutradiasi.

antigen

antibody

sejuk,sejuk

dengan

hipotalamusTupen

sekunder
reaksi

kembalilingkungan

1. Lingkungan

danselama 1x24 jamyang tidak tebal. 2. Peningkatan suhu


suhu

tubuh Pantau suhu tubuhsecara

menurun

dengananak setiap 1-2 jam,akan

criteria;

bila

Anak
suhu tubuh

secara
3. Antimikroba

tiba-tiba

mungkin

yang Beri

normal

mengakibat

terjadian kejang

akanpeningkatan

mempertahankan

tiba-tiba

disarankan

untuk

antimikroba/antibiotimengobati

Klien

mampuk jika disaranka.

menunjukkan TTV Berikan

organismo

komprespenyebab

yang normal :

dengan suhu 37 4.
oC Kompres

suhu 3650C,

pada anak

efektif mendingin-

Nadi : 80x/m,

Kolaboratif

kan tubuh melalui

P : 20x / m dn

Beri

TD

hangat

antipiretikcara konduksi

110/80sesuai petunjuk 5. Antipiretik seperti

mmHg

asetaminofen
(Tylenol),

efektif

menurunkan
4

Kekurangan volume Tupan:


cairan berhubungankeseimbangan

1. Ukur

dan

pemasukan

demam
catat dokumentasi yang
danakurat

akan

dengansekunder
karena
nafsu

cairan

pengeluaran. Tinjaumembantu

kehilangan tubuh adekuat


makan

diare

ulang catatan intramengidentifikasi

danTupen :
setelah

dalam

operasi.

pengeluaran cairan.

dilakukan
2. Pantau tanda-tandahipotensi,

tindakan

selamavital.

1x24

takikardia,

jam
3. Letakkan

kebutuhan
dapat

cairanpada

posisi

terpenuhisesuai,

dengan criteria:

pasienpeningkatan
yangpernapasa

tergantung mengindikasikan

pada

kekuatankekurangan cairan.

Tidak ada tanda-pernapasan.

Elevasi kepala dan

tanda dehidrasi. 4. Pantau suhu kulit,posisi miring akan


turgor

kulitpalpasi

normal,

denyutmencegah

membranperifer.

terjadinya aspirasi

mukosa lembab 5. Kolaborasi, berikandari muntah.


dan

pengeluarancairan

parenteral, Kulit yang dingin/

urine yan sekunder produksi darah danlembab,


atau

plasmayang

ekspander.

denyut
lemah

mengindikasikan
penurunan
Sirkulasi perifer.
Gantikan
kehilangan
yang

Perubahan
kurang
kebutuhan
berhubungan

nutrisiTupan:

Pasien
1. Berikan

darimendapatkan
tubuhnutrisi

cairan
telah

didokumen-tasikan
makanan
1. Untuk memenuhi

dan kudapan tinggikebutuhan tubuh


yangkalori dan protein 2. Untuk mendorong

Optimal

dengankekambuhan Tupen: setelah

2. Beri makanan yangagar


disukai anak

anak

mau

makan

penyakit,

diare,dilakukan tindakan
3. Perkaya

makanan
3. Untuk

kehilangan

nafsuselama 1x24 jamdengan

suplemenmemaksimalkan

makan,
oral

kandidiasiskebutuhan
klien

nutrisinutrisi.

terpenuhi.
4. Berikan

dengan

kualitas asupan
makananmakanan

kriteriaketika anak sedang


4. Ketika anak mau

hasil:

mau makan denganmakan adalah

- anak

baik

kesempatan

yang

mengkonsumsi 5. Gunakan kreativitasberharga


jumlah

nutrienuntuk

yang cukup
- Nafsu
meningkat

bagi

mendorongperawat

anak

maupun

orang tua.

menyusu
6. Pantau berat badan
5. Dapat
dan Pertumbuha

minat

menarik
anak untuk

- BB meningkat atau
7. Kolaboratif : obatmakan
normal sesuai umur anti

jamur

instruksi

dan

sesuaimenghabis-kan
porsi makanan
6. Pemantauan berat
badan

dilakukan

sehingga intervensi
terpenuhi
7. Untuk

mengobati

kandidiasis oral

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA


PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT TERMINAL dan CACAT GANDA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 10 :
NAMA ANGGOTA

: 1. AMMIRA FATIMA

2. RATIH WULANDARI
3. PUTRI SRI UTAMI
4. MIA FARLENA
5. VIA ANGGRIYANI

TINGKAT

: II
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN PALEMBANG
2015

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


TERMINAL

A. Pengertian
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yag tidak bisa disembuhkan lagi.
Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa peringatan
atau mengikuti priode sakit yang panjang.Terkadang kematian menyerang usia muda
tetapi selalu menunggu yang tua.
Kondisi Terminal adalah: Suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik , psikososial dan spiritual bagi individu.
(Carpenito ,1995 )
Pasien Terminal adalah : Pasien psien yang dirawat , yang sudah jelas bahwa
mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin memburuk. (P.J.M.
Stevens, dkk ,hal 282, 1999 )

Pendampingan dalam proses kematian adalah Suatu pendampingan dalam


kehidupan , karena mati itu termasuk bagian dari kehidupan . Manusia dilahirkan , hidup
beberapa tahun , dan akhirnya mati. Manusia akan menerima bahwa itu adalah
kehidupan, dan itu memang akan terjadi, kematian adalah akhir dari kehidupan ( P.J.M.
Stevens, dkk, 282,1999 ).
B. Jenis Jenis Penyakit Terminal
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Diabetes Militus
Penyakit Kanker
Congestik Renal Falure
Stroke.
AIDS
Gagal Ginjal Kronik
Akibat Kecelakaan Fatal

C. Respon Kehilangan
1.

Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah, ketakutan, cara tertentu untuk
mengulurkan tangan.

2. Cemas dengan cara menggerakkan otot rahang kemudian mengendor


1. KRITERIA PENYAKIT TERMINAL
a. Penyakit tidak dapat disembuhkan
b. Mengarah pada kematia
c. Diagnosa medis sudah jelas
d. Tidak ada obat untuk menyembuhkan
e. Prognosis jelek
f. Bersifat progresif
2. PERBEDAAN ANAK DENGAN DEWASA DALAM MENGARTIKAN KEMATIAN
a. Jangan berfikir kognitif dewasa dengan anak tentang arti kematian
b. Anak tidak memiliki kematangan emosional dalam mempersepsikan tentang arti
kematian
c. Mekanisme koping pada anak belum terbentuk

d. Anak di ajak berdiskusi mengenai / tentang tuhan,surga, dan benda-benda yang tidak
terlihat
3. KEBUTUHAN ANAK YANG TERMINAL
a. Dalam hal ini anak sangat perlu di ajak unuk berkomunikasi atau berbicara dengan
yang lain terutama oleh kedua orang tua karena dengan orang tua mengajak anak
berkomunikasi /berbicara anak merasa bahwa ia tidak sendiri dan ia merasa ditemani
b. Memberitahu kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi penyakit
tersebut.
c. Berdiskusi dengan siblings (saudara kandung) agar saudara kandung mau ikut
berpartisipasi dalam perawatan atau untuk merawat
d. Sosial support meningkatkan koping

D. Fase-fase Menjelang Kematian


Tahap respon berduka menurut Kubler - Ross
1. Denial (Fase Penyangkalan/pengingkaran dan Pengasingan Diri)
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat menerima
informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya. Reaksi pertama
setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah,
"Tidak, ini tidak mungkin terjadi dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme
pertahanan yang biasa ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama
mendengar berita mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang
percaya, bahwa kematiannya sudah dekat, dan mekanisme ini ternyata memang
menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan ini
periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan antara
menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan,
bahwa kematian memang harus ia hadapi.
2. Anger (Fase Kemarahan)

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal.
Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba
dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini
seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi
dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah
tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan
mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadangkadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta, maupun Tuhan.
Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus
dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku pasien tidak masuk
akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya. Sebenarnya yang
dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasi-argumentasi dari orang-orang
yang tersinggung oleh karena kemarahannya.
3. Bargaining (Fase Tawar Menawar).
Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama
lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam hal kepada
Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu,
maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayaniMu."
4. Depresion (Fase Depresi)
Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa putus
asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya memang mungkin
dia mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan
di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami.
5. Acceptance (Fase Menerima)
Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami. Pada
umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima kenyataan, bahwa
kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan kegairahan untuk
berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan-persoalan di sekitarnya.
Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh
teman-teman dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga
pada saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar

E.

MANIFESTASI KLINIK

1. Fisik
a. Gerakan pengindraan menghilang secara berangsur angsur dari ujung kaki dan ujung
jari
b. Aktifitas dari GI berkurang
c.

Reflek mulai menghilang

d.

Kulit kebiruan dan pucat

e.

Denyut nadi tidak teratur dan lemah

f.

Nafas berbunyi keras dan cepat ngorok

g.

Penglihatan mulai kabur

h.

Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri

i.

Klien dapat tidak sadarkan diri

2. Psikososial
Sesuai fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E.Kubbler Ross mempelajari responrespon atas menerima kematian dan maut secara mendalam dan hasil penelitiannya yaitu :
a. Respon kehilangan
1) Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah , keakutan, cara tertentu untuk mengatur
tangan
2) Cemas diungkapkan dengan cara menggerakan otot rahang dan kemudian mengendor
3) Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka / menangis
b. Hubungan dengan orang lain
Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidakmampuan untuk berhubungan secara
interpersnal serta akibat penolakan
F. FOKUS ASPEK PSIKOSOSIAL.
a) PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu
suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan aspek
pengobatan saja tetapi juga aspek psikososial lainnya. Salah satu metode untuk
membantu perawat dalam mengkaji psikososial pada klien terminal yaitu dengan metode
PERSON

P : Personal Stranghai
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatan/ pekerjaan
E : Emotional Reaction
Reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien
R : Respon to Stres.
Respon klien terhadap situasi saat ini atau di masa lalu.
S : Support Sistem.
Keluarga atau orang lain yang berarti
O : Optimum Health Goal
Alasan untuk menjadi lebih baik ( motivasi )
N : Nexsus
Pengkajian yang perlu diperhatikan dengan klien penyakit terminal menggunakan
pendekatan :
a. Faktor predisposisi.
Faktor yang mempengaruhi respon psikologis klien pada penyakit terminal, sistem
pendekatan bagi klien. Ras Kerud telah mengklasifikasikan pengkajian yang dilakukan
yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)

Riwayat psikososial
Banyaknya distress yang dialami dan respon terhadap krisis
Kemampuan koping
Tingkat perkembangan
Adanya reaksi sedih dan kehilangan
b. Faktor sosio kultural
Klien mengekspresikan sesuai tahap perkembangan, pola kultur terhadap kesehatan,
penyakit dan kematian yang dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal
c. Faktor presipitasi

1)
2)
3)
4)

Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.


Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian
Support dari keluarga dan orang terdekat
Hilangnya harga diri karena kebutuhan tidak terpenuhi sehingga klien menarik diri , cepat
tersinggung dan tidak ada semangat hidup
d. Faktor perilaku

1) Respon terhadap klien

2) Respon terhadap diagnosa


3) Isolasi sosial

e. Mekanisme koping
1) Denial
Adalah mekanisme koping yang berhubungan dengan penyakit fisik yang berfungsi
sebagai pelindung klien untuk memahami penyakit secara bertahap adalah :
a) Tahap awal ( Intial Stage )
Tahap menghadapi ancaman terhadap kehilangan saya harus meninggal karena penyakit
ini
b) Tahap kronik ( Kronik Stage )
Persetujuan dengan proses penyakit Aku menyadari dengan

sakit akan meninggal

tetapi tidak sekarang terjadi secara mendadak dan timbul perlahan lahan
c) Tahap akhir ( Finansial Stage )
Menerima kehilangaan saya akan meninggal kedamaian dalam kematian sesuai
kepercayaan
2) Regresi
Mekanisme klien untuk menerima ketergantungan fungsi perannya
3) Kompensasi
Suatu tindakan dimana klien tidak mampu mengatasi keterbatasan karena penyakit yang
dialami
4) Belum menyadari ( Clossed Awereness )
Klien dan keluarga tidak menyadari kemungkinan akan kematian tidak mengerti mengapa
klien sakit
5) Berpura pura ( Mutual Prelensa )
6) Menyadari ( Open Awereness )
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ancietas / cemas berhubungan dengan rasa takut
2. Isolasi sosial berhubungan dengan menarik diri

3. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan nyeri fisiologi atau emosional


4.

Depresi berhubungan dengan keadaan fisik yang bertambah parah dan kunjungan
keluarga yang tidak teratur

5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan denial


6. Tidak efektifnya koping individu berhubungan dengan rasa takut
7. Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan denial
8. Perubahn proses keluarga berhubungan dengan kehilangan anggota keluarga
9. Takut ( kamatian atau katidaktahuan ) berhubungan dengan tidak memprediksi masa
depan.
10. Antisipasi berduka berhubungan dengan antisipasi kehilangan..
11. Disfungsi berduka berhubungan dengan kehilangan
12. Putus harapan berhubungan dengan perubahan fungsi
13. Potensial self care defisit berhubungan dengan meningkatnya ketergantungan pada orang
lain tentang perawtan
14. Gangguan self konsep berhubungan dengan kehilangan fungsi fisik / mental
15. Dystress spiritual
PERENCANAAN KEPERAWATAN
Tujuan perawatan pada klien terminal :
1. Membantu klien untuk hidup lebih nyaman dan sepenuhnya sampai meninggal.
2. Membantu keluarga memberi support pada klien
3. Membantu klien dan keluarga untuk menerima perhatian
INTERVENSI KEPERAWATAN

1)
2)
3)
b.

1. KOMUNIKASI
dapat mempergunakan teknik komunikasi:
Listening
Dengarkan apa yang diungkapkan klien
Sient
Mengkomunikasikan minat perawat pada klien secara non verbal
Broad opening
Mengkomunikasikan topik / pikiran yang sedang dipikirkan klien
Angger, pada tahap ini kita dapat mempergunakan tehnik komunikasi :
Listening: perawat berusaha dengan sabar mendengar apapun yang dikatakan klien

1) Bargaining
a) Focusing
b) Bantu klien mengembangkan topik atau hal yang penting
c) Sharing perception
d) Menyampaikan pengertian perawat dan mempunyai kemampuan untuk meluruskan
kerancuan
2) Acceptance
a) Informing
Membantu dalam memberikan penkes tentang aspek yang sesuai dengan kesejahteraan
atau kemandirian klien
b) Broad opening
Komunikasikan kepada klien tentang apa yang dipikirkannya dan harapan harapannya
c) Focusing
Membantu klien mendiskusikan hal yang mencapai topik utama dan menjaga agar tujuan
komunikasi tercapai

PERSIAPAN KLIEN
a. Fase Denial
1) Beri keamanan emosional yaitu dengan memberikan sentuhan dan ciptakan suasana
tenang
2) Menganjurkan klien untuk tetap dalam pertahanan dengan tidak menghindar dari situasi
sesungguhnya
b. Fase Anger
1) Membiarkan klien untuk mengekspresikan keinginan, menggambarkan apa yang akan
2)
c.
1)
2)
d.
1)
2)

dan sedang terjadi pada mereka.


Beri perhatian dan lingkungan yang nyaman dan cegah injuri.
Fase Berganing
Ajarkan klien agar dapat membuat keputusan dalam hidupnya yang bermakna.
Dengarkan klien pada saat bercerita tentang hidupnya.
Fase Depresi
Perlakukan klien dengan sabar, penuh perhatian dan tetap realitas.
Kaji pikiran dan perasaan serta persepsi klien jika ada asal pengertian harusnya

diklarifikasi.
e. Fase Acceptance
1) Bina hubungan saling percaya/ BHSP.
2) Pertahankan hubungan klien dengan orang orang terdekat.
INTERVENSI DENGAN KELUARGA

a.
b.

Bantu keluarga untuk mengenal koping klien dalam melewati fase ini.
Bantu keluarga dalam melewati proses kematian, resolusi yang dapat dilakukan

setelah kematian

PEMBAHASAN
ASKEP CACAT GANDA
A. Pengertian
Cacat ganda merupakan keadaan dimana terjadi kerusakan atau disfungsi
perkembangan pendengaran yang bersifat sensorineural yang diikuti oleh kerusakan
perkembangan berbahasa atau komunikasi. Gangguan pendengaran pada usia berapapun
dapat terjadi, kendati hanya merupakan gangguan pendengaran dengan derajat ringan

sekalipun akan dapat mengakibatkan tibulnya permasalahan pada kemampuan bebrbicara,


penguasaan berbahasa serta belajar.
Permasalahan yang paling utama dalam perkembangan anak-anak yang menderita
kehilangan pendengaran yang perah sampai berat/mendalam, adalahn kemampuan
mereka untuk mengadakan komunikasi secara lisan dan bahasa yang mengalami
gangguan. Anak yang tuli memang memperkembangkan suatu bahasa serta anak tuli
yang lahir pada oorang tua yang tuli pula mampu melakukan komunikasi satu sama
lainnya serta dengan para orang tua mereka dengan efektif.
B. Anatomi dan Fisiologi Telinga
Telinga adalah organ pengindraan dengan fungsi ganda dan komfleks
pendengaran

dan

keseimbangan.

Indra

pendengaran

berperan

penting

untuk

perkembangan normal dan pemeliharaan bicara dan kemampuan berkomunikasi dengan


orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Struktur telinga terbagi menjadi struktur luar, tengah dan dalam. Berikut sedikit
penjelasannya:
1. Bagian luar
a. Aurikula ( pinna ) : membantu pengumpulan gelombang suara dan
penjelasannya sepanjang kanalis auditorius ekstemus.
b. Kanalis auditorius eksternus, dipisahkan dari telingan tengah oleh struktur
seperti cakram yang dinamakan membran timpani ( gendang telinga ). Kulit
dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandulla seruminosa, yang
mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen yang mempunyai sifat
anti bakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit.
2. Bagian tengah merupakan rongga berisi udara yang merupakan rumah bagi
osikuli (Tulang telinga tengah) dan dihubungkan dengan tuba eustachii ke
nasofaring.
a. Membran timpani disebelah lateral.
b. Kapsul otik disebelah medial.
c. Mengandung 3 tulang terkecil (Osikuli ) : Malleus, Inkus dan stapes.
d. Ada 2 jendela kecil ( jendela oval dan bulat) didinding medial telinga tengah
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki

stapes menjejak pada jendela oval, dimana suara dihantarkan ke telinga


tengah. Jendela bulat memberikan jalan keluar getaran suara.
e. Tuba eustachii menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Normalnya
tuba eustachii selalu tertutup, namun dapat terbuka akibat kontraksi otot
palatium ketika melakukan manuver valsava atau dengan menguap atau
menelan. Tuba eustachii bertindak sebagai saluran drainase untuk sekresi
normal dan abnormal telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan dalam
telinga tengah dengan tekanan atmosfer.
3. Bagian Dalam
a. Koklea ( untuk pendengaran )
b. Kanalis semisirkularis ( untuk keseimbangan)
c. Saraf kranial VII ( fasialis ) dan VIII (Kokleo vestibuler)
Bunyi memasuki telinga melalui kanalis auditorius eksternus dan menyebabkan
membran timpani bergetar. Getaran menghantarkan suara, dalam bentuk energi mekanis,
melalui gerakan pengungkit osikulus jendela oval. Energi mekanis ini kemudian
dihantarkan melalui cairan telingan dan koklea dimana akan di konfersasi menjadi energi
elektrik. Energi elektrik ini kemudian berjalan melalui nurvus vestibulokoklearis ke
sistem nervus sentral, dimana akan dianalisa dan diterjemahkan dalam bentuk akhir
sebagai suara.
C. Tipe Kehilangan Pendengaran
1. Kehilangan pendengaran perifer. Biasanya disebabkan oleh disfungsi dalam
penghantaran suara melalui telinga luar atau tengah atau oleh transduksi energi
suara menjadi aktifitas saraf pada telinga dalam dan sraf kranial VIII.
a. Kehilangan pendengaran konduktif.
Biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar. Tejadi bila penghantaran suara
melalui telinga luar dan tengah. / keduanya secara fisik terganggu. Keadaan
seperti serumen atau benda asing terjepit dalam saluran telinga luar, atresi atau
stenosis saluran telinga, gangguan atau perlekatan rantai osikuler, perforasi
membran

timpani,

otitis

media

dengan

efusi,

otosklerosis

dan

kholestetatomadapat emnyebabkan kehilangan pendengaran konduktif.


b. Kehilangan pendengaran sensorisineural.
Melibatkan kerusakan koklea ataum saraf vestibulokoklea. Cedera atau pada
salah satu perkembangan struktur pada telingan dalam, seperti penghancuran

sel rambut karena kebisingan, penyakit atau agen otoksik, agenis kokhlea,
fistula perilimfatika jendela membran bundar atau oval, dan lesi divisi akustik
saraf ke VIII adalah beberapa keadaan yang menyebabkan kehilangan
pendengaran sensorial.
c. Kehilangan pendengaran campuran (konduktif atau sensorineural).
D. Pengaruh Gangguan Pendengaran
Ini tergantung pada derajat dan sifat kehilangan pendengaran dan pada sifat anak.
Kehilangan pendengaran dapat unilateral atau bilateral, konduktif, sensorineural, atau
campuran, ringan, sedang, berat atau berat sekali, mulai mendadak atau bertahap, stabil,
progresif, atau berfluktuasi dan selektif pada daerah spektrum akustik yang terkena (atau
ia dapat mengenai kebanyakan spektrum yang dapat didengar). Faktor-faktor seperti
intelegensi, kondisi fisik atau medik (termasuk sindrom yang menyertai), dukungan
keluarga, umur mulainya, umur pada saat identifikasi dan kesegaran intervensi juga
mempengaruhi dampak kehilangan pendengaran pada anak.
Kebanyakan anak yang terganggu pendengaran yang mempunyai beberapa
pendengaran yang dapat digunakan hanya 6% dari mereka pada populasi yang terganggu
pendengaran menderita kehilangan pendengaran yang sangat berat. Pada umumnya,
kehilangan pendengaran pada umur amat awal dapat mengenai perkembangan bicara dan
bahasa, perkembangan sosial dan emosi, perilaku, pengetahuan dan pencapaian
akademik. Bebrapa anak yang terganggu pendengaran salah diagnosis karena mereka
mempunyai pendengran yang cukup untuk merespons terhadap suara-suara lingkungan,
dapat belajar beberapa bahasa, dan mempunyai beberapa kemampuan berbicara tetapi
kalau ditantang dalam kelas, tidak dapat melakukan potensi secara penuh.
Bahkan kehilangan pendengaran ringan atau unilateral dapat mempunyai
pengaruh yang menggangu pada perkembangan anak kecil dan pada kemampuan sekolah.
Anak dnegan gangguan pendengaran demikian mempunyai kesukaran lebih besar bila
mendengar keadaan yang tidak menyenangkan (misal, ada latar belakang berisik dan
akustik jelek), seperti dapat terjadi dalam ruang kelas. Sayangnya, kenyataan bahwa
sekolah yang adalah lingkungan pendengaran yang verbal tidak disadari oleh mereka
yang meremehkan dampak gangguan pendengaran pada pelajar. Kehilangan pendengaran

harus dipikirkan pada setiap anak dengan kemmapuan yang lebih rendah, perilaku jelek
atau tidak perhatian disekolah.
Anak dengan gangguan pendengaran sedang, berat atau sangat berat, dan atau
mereka yang dnegan keadaan lain yang menghalangi sering dididik di kelas atau
disekolah untuk anak luar biasa. Manajemen pendengaran dan pemilihan berkenaan
dengan cara komunikasi dan pendidikan untuk anak dengan rintangan pendengaran haru
di sendirikan, karena anak ini bukan kelompok homogen. Pendekatan tim pada
manajemen kasusu individu adalah snagat penting, karena setiap anak dan unit keluarga
mewakili kebutuhan dan kemampuan yang unik.
E. Proses Perkembangan Bicara dan Mendengar
1. Proses perkembangan mendengar
Kemampuan mendengar pada manusia diperoleh melalui suatu proses tumbuh
kembang sehingga diperoleh oleh berbagai faktor terutama faktor usia. Pada bayi
spektrum frekuensi suara masih terbatas dan umumnya lebih sensitif terhadap bunyi
dengan nada tinggi. Demikian pula dengan reaksi yang diperlihatkan terhadap bunyi
dipengaruhi oleh faktor usia. Sampai beberapa minggu setelah lahir reaksi bayi terhadap
bunyi masih bersifat refleks, seperti menangis, terkejut, mengejapkan mata, membuka
mata, gerakan menarik lengan kearah tubuh, dan bernapas cepat.
Pada usia sekitar 4 bulan, saat otot-otot mata telah cukup kuat maka ia akan
berupaya mencari sumber bunyi dengan menggerakan bola matanya dan bila otot-otot
lehernya telah kuat bayu akan mampu mencari sumber bunyi dengan menolehkan
kepalanya. Reaksi terhadap bunyi juga dipengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh
sebelumnya, baik berupa hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.
Kekerasan bunyi (intensitas) yang dibutuhkan untuk menimbulkan respon juga
dipengaruhi oleh faktor usia.
Secara lebih terperinci tahap perkembangan fungsi pendengaran dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel perkembanagn fungsi pendengaran

USIA ( BULAN )
Lahir

2-3

3-4

Perkembanagn Fungsi Pendengaran

Berepon terhadap bunyi keras dengan refleks jejak


Berespon terhadap suara manusia dibandingkan dengan

suara lain
Menjadi tenang dengan bunyi bernada rendah, seperti

ninabobo atau denyut jantung


Memalingkan kepala kesamping apabila bunyi dibuat

setinggi telinga
Melokalisasi bunyi dengan memalingkan kepala ke

samping melihat ke arah yang sama


Dapat melokalisasi bunyi yang dibuat di bawah telinga,
diatas telinga, akan memalingkan muka keatas dan

4-6

8-10

10-12

kebawah mulai membuat bunyi tiruan.


Melokalisasi bunyi dengan memalingkan kepala secara

diagonal dan langsung kearah bunyi


Menegtahui beberapa kata dan artinya seperti tidak atau

nama anggota keluarga


Belajar untuk mengendalikan .dan menyesuaikan sendiri

pada bunyi
Mulai mendiskriminasikan antara bunyi yang sangat

berbeda, seperti mendengarkan bunyi bel dan telepon.


Menyaring keterampilan diskriminatif kasar
Mulai membedakan perbedaan yang lebih halus dalam
bunyi bicara antara e dan er

Mulai membedakan bunyi serupa seperti f dan th atau


antara s dan f

18

24
36

Mendengarkan menjadi lebih halus

Mampu untuk diuji dendan audiometer

48

Tabel

pedoman

rujukan

untuk

anak-anak

yamg

dicurigai

kehilangan

pendenagaran
UMUR ( BULAN )
0-4

PERKEMBANGAN NORMAL

Harus terkejut dengan suara yang


keras, aktivitas terhenti sebentar
apabila sura tersaji pada kadar

5-6

percakapan.
Harus menempatkan dengan benar
suara yang tersaji pada bidang
horizontal,

mulai

meniru

suara

dalam lagu
kemampuan suara bicara sendiri
minimal menyuarakan secara timbal

7-12

balik dengan orang dewasa


Harus menempatkan dengan benar
suara yang tesaji pada semua bidang

.
Harus

respon,

terhadap

nama,

bahkan ketika diucapkan dengan


13-15

pelan.
Harus

mengikuti

arah

yang

sederhana tanpa gerak isyarat atau


isyarat visual lainya , dapat dilatih
untuk mencapai kearah mainan yang
menarik pada garis tengah ketika
suara disajikan.

19-24

Harus menunjuk kebagian tubuh


ketika ditanya, dari 21-24nbulan,
dapat

dapat

dilaatih

untuk

melakukan permainan audiometri.


2. Proses perkembangan bicara
Hemisfer kiri merupakan pusat kemampuan berbahasa pada 94% orang dewasa
kinan dan 75% pada orang dewasa kidal. Penghususan hemisfer untuk fungsi bahasa
sudah dimulai sejak dalam kandungan, tetapi berfungsi secara sempurna setelah beberapa
tahun kemudian. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak dengan kerusakan otak
unilateral sebelum maupun sesudah lahir, diperkirakan fungsi berbahasa dapat diprogram
oleh hemisfer lainnya, walaupun kelainan yang khusus masih dapat diketemukan oleh tes
yang teliti.
Seperti pada orang dewasa terdapat tiga area utama pada hemisfer untuk anak
khusus untuk berbahasa, yaitu di bagian anterior (area broka dan korteks motorik) dan
dibagian posterior (wernicke). Informasi yang berasal dari korteks pendengaran primer
dan sekunder, diteruskan kebagian korteks temporapariental (area wernicke), yang di
bandingkan dengan ingatan yang sudah di simpan, kemudian jawaban diinformasikan dan
disalurkan oleh vasciculus arcuata kebagian anterior otak dimana jawaban motorik
dikoordinasi. Apabila terjadi kelainan pada salah satu jalannya dari impuls ini maka akan
terjadi kelainan bicara. Kerusakan pada posterior akan mengakibatkan kelainan bahasa
reseptif, sedangkan kerusakan di bagian anterior akan menyebabkan kelainan bahasa
ekspresif.
Periode kritis bagi perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa adalah
periode antara 9-24 bulan awal kehidupan. Pengamatan langsung terhadap perilaku
komunikasi selama pemeriksaan rutin dapat diambil dari, laporan orang tua. Anak yang
sedang belajar berbicara, akan mengamati dengan seksama wajah lawan bicaranya dan
gerakan-gerakan yang dilakukannya sampai pada saat dimana petunjuk visual menjadi
tidak penting, yang menandakan peningkatan dalam memahami sinyal lisan pendengaran.

Dengan berkembangnya keterampilan ekspresif anak, kemampuan yang


meningkat dalam berbicara dan berbahasa menjadi lebih mudah diamati. Periode 2-4
tahun pertama menunjukkan peningkatan yang cepat dalam jumlah dan kompleksitas
perkembangan berbicara, kekayaan perbendaharaa kata dan kontrol neuromotorik.
Medulasi suara mungkin masih berlebihan, pengendaliaan intensitas suara masih terbatas,
demikian pula dengan pengendalian artikulasi dan ritme bicara. Selama periode inilah
gangguan dalam kelancaran berbicara dapat lebih kelihatan seperti gagap atau cara
berbicara bicara seperti bayi. Pengetahuan bahwa ketidaklancaran adalah merupakan
bagian dari perkembangan normal atas pengendalian berbicara, akan meredakan
kecemasan orang tua.
Keterampilan mengartikulasi suara juga mengikuti poa tertentu. Yang pertama
muncul adalah suara yang paling mudah dan paling gampang, yaitu suara bibir
(dinyatakan dalam huruf m,p,b,v,f,o). Berikutnya yang terdengar adalah suara sederhana
yang dihasilkan oleh lidah dan gusi (d,n,t). Ketika anak mulai menguasai kontak lidahpalatum (g,k,ng), sering mereka bingung antara d dan g serta t dan k terutama bila
keduanya muncul dalam satu kata (misalnya dagu diucapkan dadu atau gagu). Jenis
duplikasi fonetik ini sering terjadi pada umur 2 tahun, dan dapat pada umur 3 tahun.
Ketika anak belajar membuat perbedaan suara, mereka juga belajar mengendalikan
morotik untuk pola bicar yang lebih kompleks dan dapat mengucapkan huruf f,v,s dan z.
Karena suara-suara itu mirip, nanak umur 3 tahun dapat keliru menyebut f untuk s atau v
untuk z.
Pengendalian dari berbagai bunyi ucapan biasanya dikuasai lebih dahulu pada
awal kata-kata. Anak umur 2 tahun mungkin menghilangkan suara pada akhir kata; anak
umur 3 tahun dapat terpeleset pada bayi ditengah kata, dan anak umur 4-5 tahun dapat
mengalami kesulitan dangan kata yang lebih kompleks. Kesalahan artikulasi dapat terjadi
sampai batas umur 7 tahun. Anak umur 4 tahun adalah penerima bahasa ibu yang baik.
Dapat saja terjadi kesalahan artikulasi, tetapi ucapannya cukup dapat dimengerti dan telah
menguasai dasar sintaks, fonetik dan semantik.
Adapun beberapa tahap perkembangan berbicara pada seorang anak. Pada bayi
baru lahir kontak dengan lingkungan telah dimulai walau hanya berupa ekspresi wajah

atau menangis. Tahap perkembangan berbicara paling awal adalah menangis (refleks
vocalization), yang akan diikuti oleh tahap kedua yang berlangsung pada usia 5-6 bulan
berupa ocehan ulang (babbling). Bunyi yang dihasilkan

merupakan penggabungan

konsonan atau huruf mati seperti p, m, b, g dengan huruf vokal yang diulang, misalnya:
papapa, mamama, atau gagaga seperti sedang bergumam.
Pada usia sekitar 6-7 bulan, penanggulangan bunyi tidak lagi bersifat refleks
namun karena bayi benar-benar mendengarkannya dan menyukainya (lailing), bunyi yang
diproduksi misalnya: pa...pa, ma...ma, mi...mi dan sebagainya. Pada usia 10 bulan suara
yang dihasilkan merupakan peniruan terhadap sejumlah bunyi suara sendiri atau bunyi
yang didengar dari lingkungannya (echolalia). Selanjutnya pada usia 12-18 bulan telah
dapat memproduksi kelompok kata atau kalimat pendek (true speech), anak sudah
memperlihatkan kemampuan pemahaman bicara dan bahasa. Anak telah dapat mengerti
pembicaraan orang lain sebatas pengalaman dengar yang telah dimilikinya. Apabila pada
usia ini anak tidak mampu mengoceh atau meniru pembicaraan orang lain maka perlu
diwaspadai terhadap kemungkinan adanya gangguan berbicara.
Usia ( Perkembangan

bahasa Perkembangan

tahun) normal
1

bicara kejelasaan

normal

Mengatakan 2-3 kata

dengan arti
Meniru bunyi-bunyi

hampir

binatang

dan

Mengabaikan
konsonan

Biasanya

semua

tidak

akhir

dari

beberapa

lebih
25

kejelasaan

konsonan awal.
Mengganti

untuk

konsonan m,p, b,

yang

k, g, n, t, d, dan h

dikenal.
Ketinggian

dengan

bunyi

pendengaraan

yang lebih sulit.

tidak

bahasa
tertentu yang

tidak jelas.
Pada usia 18

Menggunakan 2 frase

atau 3 kata
Mempunyai

kata

pembedaharaan kata

huruf

kira 300 kata.


Menggunakan

tetapi tidak secara

bulan.
Pada usia 2 tahun

Menggunakan

konsonan kejelasaan

diatas

50

dengan dalam konteks


hidup,

konsisten dengan

saya, aku dan

banyak

kamu.

pergantian.
Pengabaian

konsonan akhir
Keterlambatan
dengan artikulasi
dibelakang
pemberharaan

Mengatakan

k, dan g, bunyi r kejelasaan 75 %

sampai lima kalimat


Mempunyai
900
pembendaharaan

masih tidak jelas

kata.
Menggunakan siapa,

mengabaikan atau

empat

kata.
Menguasai b, t, d, Pada usia 3 tahun
dan i mungkin

menambahkan

apa, dan bertanya

w
Pengulangan dan
keragu-raguan

4-5

Menggunakan

kata

majemuk

kata

dan

ganti.
Mempunyai

f Bicara jelas 100 %

dan v mungkin meskipun bunyi masi


masih tidak jelas tidak sempurna.

1500-

r,

2100 pembedaharaan
kata
Mampu

terjadi.
Menguasai

i,s,z,ch,y,

dan th
Sedikit atau tidak

menggunakan bentuk

ada

pengabaian

gramatik

dengan

konsonan

benar seperti kalimat

atau akhir

awal

masa lamapau dari

5-6

kata kerja kemaren


Menggunakan
kalimat

lengkap

Menguasai r,I,dan
th

mungkin

dengan kata benda,

menyimpang pada

kata

s,z,sh,

kerja,

predisposisi,

kata

dan

(biasaanya

sifat, kata keterangan,

dikuasai pada usia

dan kata penghubung


Mempunyai

7,5-8tahun)

pembedeharaan kata
3000
memahami
karena

kata
jika,
dan

mengapa

Menggunakan frase 2 atau 3

kata
Mempunyai

perbendaharaan

kata

Perbendaharaan

kata

3000 kata, memahami


jika, karena, dan
mengapa'

Tabel Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Berbahasa Pada Anak Normal


Umur

Bahasa reseptif

Bahasa Ekspresif

(bulan) (Bahasa Pasif)

(Bahasa Aktif)

Vokalisasi

yang

masih

sembarang

terutama

huruf

vokal

yang

Kegiatan anak terhenti akibat suara

hidup
2

Tampak

mendengarkan

pembicara,

dapat

ucapan Tanda-tanda

tersenyum

pada menunjukkan

perasaan

pembicara

senang, senyum sosial

Melihat kearah pembicara

Tersenyum sebagai jawaban


terhadap pembicara

Memberi

tanggapan

yang

berbeda Jawaban

vokal

terhadap

terhadap suara bernada marah atau rangsangan sosial


senang
5

Bereaksi terhadap panggilan namanya

Mulai mengenal kata-kata dada, papa, Protes vokal, berteriak karena


mama

Bereaksi

kegirangan
terhadap

kata-kata

naik, Mulai

kemari, dada
8

Mulai meniru suara

menggunakan

suara

mirip kata-kata kacau

Menghentikan aktifitas bila namanya Menirukan rangkaian suara


dipanggil

Menghentikan kegiatan bila dilarang

Menirukan rangkaian suara

10

Secara cepat menirukan variasi suara Kata-kata

11
24

tinggi
letakkan diatas meja)
Reaksi atas pertanyaan sederhana
Mengetahui
banyak
dengan melihat
atau kalimat
menolehyang lebih

12

rumit
Reaksi

dengan

melakukan

pertama

muncul
mama berdiri)
Kata-kata kacau mulai dapat
Menyebutkan
namabaik
sendiri
dimengerti dengan

gerakan Mengungkapkan

terhadap berbagai pertanyaan verbal

mulai

tentang

objek

kesadaran
yang

telah

akrab dan menyebut namanya


15

Mengetahui dan mengenali nama-nama Kata-kata


bagian tubuh

yang

benar

terdengar diantara kata-kata


yang kacau, sering dengan
disertai gerakan tubuhnya

18

Dapat

mengetahui

dan

mengenali Lebih banyak menggunakan

gambar-gambar objek yang sudah akrab kata-kata

dari

dengannya, jika objek tersebut disebut untuk


namamya
21

Akan

mengikuti

perbuatan

menunjukkan

keinginannya
petunjuk

berurutan (ambil topimu dan

yang Mulai

mengombinasikan

kata-kata (mobil papa,

Aram DM (1987) dan Towne (1983), mengatakan bahwa dicurigai adanya gangguan
perkembangan kemampuan bahasa pada anak, kalau diketemukan gejala-gejala sebagai
berikut:
1. Pada usia 6 buklan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap
suara yang datang dari belakan atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri.
3. Pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan,
dada, dan sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebutkan sepuluh kata tunggal.

5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk, kemari,
berdiri, dan sebagainya).
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebit bagian-bagian tubuh.
7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang gterdiri dari dua
buah kata.
8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat
sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase.
9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan menggunakan kalimat tanya yang
sederhana.
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak bisa dimengerti oleh orang diluar keluarganya.
13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba
untuk ban, dll)
14. Setelah berusia 4 tahun tidak lancar berbicara/gagap.
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.
16. Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasalitas yang nyata atau
mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan tidak dapat
didengar serta terus menerus memperdengarkan suara yang serak.
Etiologi
Diperkirakan bahwa 50% kasus gangguan pendengaran pada masa anak tingkat
sedang sampai berat ditentikan secara genetik.
Secara umum diketahui beberapa faktor yang diketahui menjadi faktor penyebab
terjadinya kerusakan pendengaran yang

berdampak pada gangguan berbicara (cacat

ganda) yaitu sebagai berikut:

Masa Prenatal
1) Genetik herediter
2) Non genetik, seperti gangguan pada masa kehamilan (infeksi oleh bakteri atau
virus: TORCH, campak, parotis), kelainan struktur anatomik (misalnya akibat

obat-obatan ototoksik, atresia liang telinga, aplasia koklea), dan kekurangan gizi.
Masa Perinatal
Prematuritas, berat badan lahir rendah (<2.500 gram), tindakan dengan alat pada
proses kelahiran (ekstraksi vacum, forcep), hiperbilirubinemia (>20mg/100ml),
asfiksia, dan anoksia otak merupakan faktor resiko terjadinya cacat ganda.

Masa Postnatal
Adanya infeksi bakterial atau virus rubela, campak, parotis, infeksi otak,
perdarahan pada telinga tengah dan trauma temporal dapat menyebablan tuli
konduktif yang dapat mengakibatkan gangguan wicara.

G. Pathway
Faktor penyebab seperti:
Kelainan struktur anatomi
Infeksi oleh mikroorganisme
Atau penyebab lain

Menyebabkan kerusakan pada struktur kablea dan nervus akustik berupa atropi
dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ dan reseptor corti disertai
perubahan vasculer pada stria vaskularis

Menyebabkan ganggua penghantaran/transmisi impuls pada nnuclei cochlearis


(sebagai tempat untuk merespons frekuensi bunyi) dan nuclei alivoris superior
(sebagai penentu ketepatan lokasi dan arah sumber bunyi)
Yang menyebabkan impuls ini tidak dapat dipersepsikan oleh nervus auditorius melalui serabut
eferent.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, sudah jelas bahwa gangguan pendengaran bilateral pada
anak (terutama derajat sedang dan berat) yang terjadi didalam masa perkembangan wicara akan
mengakibatkan gangguan wicara.

H. patofisiologi

Permasalahan yang paling utama dalam perkembangan dengan anak-anak yang


menderita kehilangan pendengaran yang parah/ mendalam, adalah kemampuan mereka
untuk mengadakan komunikasi secara lisan dan bahasa yang mengalami gangguan.
Untuk menghasilkan bunyi karena prosesnya tidak sederhana karena dibutuhkan
kerjasama, berbagai organ tubuh dimulai dari aliran udara pernapasan yang berasala dari
paru-paru, getrasan pita suara (fonasi ) yang dilewati aliran udara sehingga dihasilkan
nada tertentu, pipa tenggorokan yang berperan sebagai tabung udara yang menimbulkan
getaran pada saat dilalui udara( resonansi ), penutupan langit-langit lunak agar udara
tidak memasuki rongga hidung dan pengatupan bibir dengan maksud udara terkumpul di
rongga mulut, yang akan membuka pada saat telah terjadi getaran pita suara. Proses ini
masih diikuti dengan gerakan tertentu dari otot-otot lidah, rongga mulut dan gigi sehingga
terjadi penyusupan suara kedalam bentuk kata-kata yang akan menandai bentuk
artikulasi.
Berbagai faktor penyebab seperti kelainan struktur anatomi, infeksi oleh
mikroorganisme, atau penyebab lain akan menyebabkan kerusakan pada struktur koklea
dan nervus akustik berupa atropi dan degrerasi sel-sel rambut penunjang pada organ dan
reseptor corti disertai perubahan vasculer pada stria vaskularis. Hal ini akan
menyebabkan gangguan penghantaran/transmisi impuls pada nuclei cochlearis (sebagai
tempat untuk merespon frekuensi bunyi) dan nuclei olivaris superior (sebagai penentu
ketepatan lokasi dan arah sumber bunyi) yang menyebabkan impuls ini tidak dapat
dipersepsikan oleh nervus auditorius melaluin serabut eferen.
Kerja berbagai organ tubuh ini dalam waktu yang hampir bersamaan dan
terkoordinasi dimungkinkan oleh gerakan berbagai otot yang berada dalam kendali otak
melalui syaraf-syaraf terkait. Berdasarkan keterangan tersebut diatas, sudah jelas bahwa
gangguan pendengaran bilateral pada anak (terutama derajat sedang dan berat), yang
terjadi didalam masa perkembangan wicara akan mengakibatkan gangguan wicara.

I. Manifestasi klinik

Manifestesi klinik yang timbul pada anak yang mengalami gangguan pendengaran
yang diikuti oleh gangguan berkomunikasi adalah :
Pendengaran dapat berkurang secara perlahan-lahan progresif dan simetris

pada kedua telinga


Telinga berdenging
Klien dapat mendengar suara tapi sulit memahaminya
Dapat disertai nyeri, tinitus, dan vertigo

Berdasarkan perkembangan fungsi penedengaran diatas ada beberapa indikator


yang dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya kerusakan

pendengaran:
Respon Orientasi
- Kurangnya refleks bergumam atau mengedip pada bunyi keras
- Menetapnya refleks Moro diatas 4 bulan ( dihubungkan dengan retardasi
-

mental )
Kegagalan untuk terbangun oleh kebisingan lingkungan yang keras selama

masa bayi
Kegagalan untuk melokalisasi sumber bunyi pada usia 6 bulan
Kesamaan umum pada bunyi
Kurangnya respon terhadap kata yang diucapkan, gagal untuk mengikuti

petunjuk verbal
- Respon terhadap bising keras sebagai perlawanan terhadap bunyi
Vokalisasi dan produksi bunyi
- Kualitas monoton, bicara tidak jelas, kurang tertawa
- Kualitas normal pada kehilangan auditorius pusat
- Kurangnya pengalaman bermain bunyi dan menjerit
- Penggunaan normal jargon selama awal masa bayi kehilangan auditorius pusat
- Tidak ada gumaman atau perubahan nada suara pada usia 7 tahun
- Kegagalan untuk mengembangkan bicara yang jelas pada usia 24 bulan
- Bermain vokal, membenturkan kepala, atau ketukan kaki untuk sensasi vibrasi
berteriak atau bunyi melengking untuk mengekspresikan kesenangan,
kejengkelan, atau kebutuhan.
Perhatian visual
- Menambah kesadaran visual, dan perhatian
- Berespon lebih banyak pada ekspresi wajah daripada penjelasan verbal
- Waspada terhadap sikap tubuh dan gerakan
- Penggunaan sikap tubuh bukan verbalisasi untuk meekspresikan keinginan,
khususnya setelah 15 bulan
Hubungan Sosial dan Adaptasi

Kurang berminat dan kurang terlibat dalam permainan vokal preokupasi terus-

memerus dengan benda daripada orang.


Menghindari interaksi sosial, sering bingung dan tidak bahagia dalam situasi

tersebut
Ekspresi wajah bertanya, kadang bingung
Kesadaran curiga, kadang diinterprestasikan sebagai paraoia, bergantian

dengan kerjasama.
Reaktivitas nyata terhadap pujian, pujian dan afeksi fisik.
Menunjukan kurang minat terhadap teman sebayadalam percakapan
Sering tidak memperhatikan kecualijika lingkunagan tenang dan pembicara

dekat dengan anak


Lebih rensponsif pada gerakan daripada bunyi
Terus-menerus memperhatikan kecuali wajah pembicara,berespon lebih

terhadap ekspresi wajah daripada verbalisasi


Sering meminta pengulangan pertanyaan.
Mungkin tidak mengikuti pengarahan dengan tepat. Prilaku emosional
Sering keras kepala karena kurangya pemahaman
Peka rangsangan karena tidak memahami
Malu, takut dan menarik diri
Sering tampak bermimpi dalam dunianya sendiri atau tidak perhatian sama
sekali.

Selain itu adapun petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pedoman rujukan mengenai
kerusakan komunikasi yaitu sebagai berikut:
Tabel pedoman rujukan mengenai kerusakan komunikasi :
USIA
2 TAHUN

3 TAHUN

5 TAHN

TEMUAN PENGKAJIAN

Gagal untuk berbicara kata kata bermakna secara spntan


Penggunaan sikap yubuh yang konsisten bukan vokalisasi
Kesulitan dalam mengikuti petunjuk verbal
Gagal untuk berrespon secara konsisten terhadap bunyi
Bicara sangat tidak jelas
Gagal untuk menggunakan kalimat dan tiga kata-kata atau lebih
Sering mengabaikan konsonan awal
Penggunaan huruf hidup bukan konsonan
Gagap atau jenis ketidakfasihan yang lain
Struktur kalimat secara nyata terganggu
Mengganti suara-suara yang mudah dihasilkan dengan bunyi-

USIA SEKOLAH

UMUM

bunyi yang sulit


Menghilangkan ujung kata ( jamak, kalimat kerja, dan sebagainy)
Kualitas suara buruk
(monoton, keras, atau hampir tidak

terdengar)
Nada suara tidak jelas untuk usianya
Adanya distorsi , pengabaian atau penamabahan bunyi setelah 7

tahun
Bicara yang berhubungan dicirikan dengan penggunaan konfusi

yang tidak biasa atau kebalikan.


Ada anak dengan tanda- tanda yang menunjukan kerusakan

pendengaran
Ada anak yang malu atau terganggu oleh bicaranya sendiri
Orang tua yang perhatianya terlalu berlebihan atau terlalu
menekan anak untuk bicara pada tingkat diatas usia yang
seharusnya

3. Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat berbagai jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai kemampuan
mendengar yang dapat merusak gangguan bicara bayi/anak yaitu:
1). Pemeriksaan secara kualitatif dengan menggunakan garpu tala yang meliputi:
a)
b)
c)
d)

Tes panala
Tes rinne
Tes weber
Tes schwabach

2). Pemeriksaan secara kualitatif yang meliputi:


a) Freefield test untuk memulai kemampuan anak dalam memberikan respon
b)
c)
d)
e)

tyerdapat sumber bunyi.


Behavioral observation (0-6 bulan )
Conditined test ( 2-4 tahun)
Audiometri nada murni ( anak > 4 tahun yang kooperatif )
BERA ( brain evoked respons audiometry), yang dapat memberikan informasi
obyektif tentang funsi pendengaran pada bayi yang baru lahir.

K. PENATALAKSANAAN
Penemuan kasus gangguan pendengaran dan bicara serta berbahasa dalam bentuk
apapun harus dilakukan sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan penanganaan lebih
cepat sehingga cacat bicara dan mendengar, diharapkan orang tua dapat segera membawa
anak yang diduga mengalami keterlambatan atau gangguan bicara dan mendengar
tersebut pada ahlinya.
Untuk memastikan bentuk gangguan bicara dan jenis kerusakan pendengaran serta
upaya penanganaan yang sesuai diperlukan kerjasama dengan sejumlah ahli dari berbagai
disiplin ilmu, antara lain: dokter THT, dokter syaraf anak, ahli psikologi , ahli jiwa dan
ahli terapi bicara.

ASUAHAN KEPERAWATAN PADA ANAK YANG MENGALAMI PENYAKIT


CACAT GANDA
1. Pengkajian:
Pengkajian fisik
Anamnese, yang meliputi:
a. Riwayat keluarga:
- Gangguan genetik
-

yang

berhubungan

dengan

kerusakan

pendengaran atau berbicara


Anggota keluarga, khususnya saudara ataupun orang tua dengan

gangguan pendengaran
2. Riwayat prental
- Kegguran/abortus
- Penyakit yang menyertai kehamilan ( rubella,sifillis, diabetes)
- Pengobatan yang diperoleh selama kehamilan
- Eklamsia
3. Riwayat persalinan
- Durasi persalinan tipe persalinan
- Gawat janin
- Presentasi ( terutama letak sungsang )
- Pengobatan yang digunakkan
- Ketidakcocokan darah
4. Riwayat Kelahiran
- Berat badan lahir < 1500 g
- Hiperbillirubinemia yang berlebihan merupakan indikasi untuk
-

exchange transfusi
Asfiksia berat
Prematuritas
Infeksi firus prenatal kongingental ( sitomegalovirus, rubela,

herpes , sifilis, toksoplasmosis)


- Anomali kongingental yang mengenai kepala dan leher
5. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
- Imunisasi
- Kejang
- Demem tinggi yang tidak diketahui penyebabnya
- Obat ototoksik
- Pilek, infeksi telinga dan alergi
- Kesulitan pengelihatan
- Terpapar bising yang berlebihan
6. Perkembangan Pendengaran
- Kekhawatiran orang tua mengenai kerusakan pendengaran ( apa
petunjuknya serta usia berapa )

Respon terhadap suara, bising yang keras, bunyi dengan frekuensi

yang berbeda
- Akibat pengujian audiometrik sebelumnya
7. Perkembangan bicara
- Usia bergumam, kata pertama yang benama dan frase
- Kejelasan bicara
- Perbendaharaan kata terakhir
8. Perkembangan Terakhir
- Usia duduk
- Tingkat kemandirian dalam perawatan diri, makan, toileting, dan
berdandan
9. Perilaku/ adaptif
- Aktivitas bermain
- Sosialisasi dengan anak lain
- Prilaku, tempramen, self-vecation, stimulus fibrasi
- Pencapaian pendidikan
- Perilaku terbaru/ atau perubahan keperibadian
B . Diagnosa Keperawatan
1) Perubahan

sensori/persepsi

(auditorius)

berhubungan

dngan

kerusakan

pendengaran
2) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
mendengar auditorius
3) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan kerusakan
4)
5)
6)
7)

komunikasi
Perubahan proses keluarga berhubungan diagnosa ketulian pada anak
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan bahaya lingkungan, infeksi
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi/ peradangan
Kecemasaan orang tua berhubungan dengan kekuranya pengetahuan dengan
kondisi anaknya

C. Intervensi Keperawatan
1. perubahan persepsi / sensori ( auditorius ) berhubungan dengan kerusakn pendengar

Sasaran : pasien mengalami potensial pendengaran maksimum


Hasil yang diharapkan :
- Anak memerlukan dan menggunakan alat bantu dengar dengan
-

tepat
Anak tidak memakan / teraspirasi batere alat bantu dngar

Intervensi :
-

Bantu keluarga mencari penyalur alat bantu dengar


Rasional : untuk menentukan sutu alat yang dapat dipercaya
Diskusikan tipe alat bantu dengar dan peraqwatanya yang tepat
Rasional : untuk menjamin keuntungan yang lebih maksimum
Tekanan pada keluarga pentingnya penyimpanan alat bantu dengar
dan ajari anak untuk menggunakan dan membantu anak untuk
menggunakan dan mengatur alat bantu dengar tersebut.
Rasional: untuk mencegah anak memakan alat bantu dan

memanfaatkannya secara maksimum.


Bantu anak berfokus pada semua bunyi dilingkungan dan
mendiskusikan hal tersebut.
Rasional : untuk memaksimalkan pendengaran
Untuk anak yang lebih besar, diskusikan penyamaran alat bantu
Rasional : untuk melihatnya tidak menyolok dimata / dilihat

2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan untuk


mendengar auditorius
Sasaran :
- Pasien terlibat dalam proses komunikasi dalm batas kerusakan
- Pasien menunjukan kemampuan kemajuan membaca gerak bibir
Hasil yang diharapkan :
-

Pasien terlibat dalam proses komunikasi dalam batas kerusakan


Pasien menunjukan kemampuan untuk membaca gerak bibir
Anak berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang diajarkan
Individu yang berkomunikasi dengan anak menggunakan teknik
komunikasi yang baik

Intervensi:
-

Dorong keluarga untuk ikut dalam program rehabilitasi dengan


mempelajari bahasa isyarat.
Rasional : melanjutkan pembelajaran dirumah dengan bahasa

isyarat sebagai metode komunikasi


aJari bahasa untuk menyampaikan tujuan yang bermanfaat
rasional : membantu dalam proses komunikasi
dorong penggunaan bahasa dan buku di rumah
rasional: merangsang komunikasi verbal dan meningkatkan
perkembangan normal

rasional : mengidentifikasi

masalah pengelihatan yang dapat

menganggu pembelajaran membaca gerak bibir atau penggunaan


-

bahasa isyarat.
Ajari keluarga dan orang lain yang terlibat dengan anak tentang
perilaku yang memudahkan membaca gerak bibir
Rasional: meningkatkan proses komunikasi.

3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan kerusakan


komunikasi

Sasaran :
-

Pasien mencapai kemandirian optimal sesuai dengan usia


Pasien mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam

aktivitas bermain dan sosialisasi


Pasien mendapat kesempatan pendidikan di kelas reguler.

Hasil yang diharapkan :


- Anak melakukan aktivitas hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat
Intervensi :
-

perkembangan
Anak mempunyai hubungan dan pengalaman dengan teman sebaya
Anak masuk sekolah dengan teratur
Anak berkomunikasi dengan orang lain dikelas
Bantu keluarga mengalihkan praktik membesarkan anak normal

pada klien
Rasional : meningkatkan perkembangan optimal.
Ajarkan anak untuk mandiri dalam perawatan diri dan berikan alat-

alat yang membantu kemandiriannya.


Rasional: membantu meningkatkan perkembangan yang optimal
Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya disiplin dan

penyusunan batasan-batasan.
Rasional: merangsang anak memenuhi kebutuhan ini
Bantu keluarga dalam memilih mainan.
Rasional: memaksimalkan penggunaan indra penglihatan dan
taktil, serta pendengaran residual.
Dorong anak-anak berpartisipasi dalam aktifitas kelompok dan
mengembangkan persahabatan dengan teman sebaya.

Rasional: membantu meningkatkan sosialisasi dan menciptakan


-

kesenangan pada anak.


Bantu anak mengikuti diskusi kelompok dengan menunjuk
pembicara dan mengatur kelomok untuk duduk semi lingkaran
Rasional: membantu dalam mendengar dan/atau membaca gerak

bibir.
Anjurkan menggunakan televisi yang memakai tulisan.
Rasional: meningkatkan kesenangan pada anak.
Diskusikan dengan guru dan anak tentang cara berkomunikasi
efektif.
Rasional: memfasilitasi pendidikan anak.

4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan diagnosa ketulian pada anak

Sasaran:
- Pasien

(keluarga)

menyesuaikan

diri

terhadap

kehilangan

pendengaran.
- Pasien (keluarga) mendapat dukungan emosional.
- Keluarga menunjukkan kedekatan pada anak.
Hasil yang diharapkan:
- keluarga mengekspresikan kekhawatirannya terhadap kehilangan
-

pendengaran pada anak.


Keluarga menunjukkan pemahan tentang implikasi kehilngan

pendengaran.
Keluarga terlibat dalam program yang tepat dan menyediakan diri

menjadi sumber.
Keluarga menunjukkan hubungan yang positif.

Beri kesempatan pada keluarga untuk mengekspresikan dan

kekhawatirannya.
Rasional: meningkatkan penyesuaian.
Antisipasi reaksi berduka dan bantu keluarga menghadapi

Intervensi:

perasaannya tentang respon sebelumnya terhadap anak.


Rasional: meminimalkan perasaan bersalah dan
-

sebagai

penyesuaian terhadap kehilangan.


Diskusikan keuntungan dan batas waktu dengan jenis kehilangan
pendengaran yang berbeda.
Rasional: membantu keluarga
berdasarkan informasi.

untuk

membuat

keputusan

Dorong rehabilitasi formal segera mungkin.


Rasional: membantu mengembangkan

pertumbuhan

dan

perkembangan normal anak.


Bantu keluarga untuk berpartisipasi dan mendiskusikan perasaan
mereka.
Rasional: meningkatkan koping dan membantu memberikan

dukungan bagi klien.


Tekankan kemampuan anak bukan ketidakmampuannya.
Rasional: meningkatkan perkembangan optimal pada anak.
Bantu keluarga mengidentifikasi petunjuk-petunjuk verbal untuk
meningkatkan komunikasi anaknya.
Rasional: membantu meningkatkan kemampuan komunikasi

sebagai bagian penting dari proses kedekatan.


Dorong keluarga untuk menstimuli anak dengan isyarat visual dan
tekankan untuk terus berbicara dengan anak meskipun ia tidak
mendengar.
Rasional: meningkatkan

normalisasi

dan

membantu

anak

memahami penggunaan bahasa isyarat.


5. Resiko tinggi cedera behubungan dengan bahaya lingkungan, infeksi

Sasaran:
- Pasien tidak mengalami kehilangan pendengaran yang lebih parah.
Hasil yang diharapkan:
- Anak tidak mengalami pendengaran.
- Anak tidak terpapar pada tingkat kebisingan yang berlebihan.
- Anak diimunisasi dengan cepat.
Intervensi:
- Bagi bayi, anjurkan untuk imunisasi pada usia yang tepat.
Rasional: Mencegah kehilangan pendengaran sesorineural yang
-

didapat karena penyakit masa anak-anak.


Meminimalkan tingkat kebisingan
Rasional: Mencegah kerusakan atau kehilangan pendengaran.
Cegah infeksi telinga dengan melakukan deteksi dini.
Rasional: Mencegah kehilangan pendengaran sesorineural.
Tingaktkan kepatuhan terhadap program pengobatan terhadap otitis
media
Rasional: Mencegah terjadinya kerusan pendengaran akibat otitis
media dan membantu perbaikan.

Evaluasi kemampuan auditorius yang cenderung mengalami

masalh telinga.
Rasional: Mendeteksi dini kerusakan pendengaran.
Kaji sumber-sumber kebisingan yang berlebihan disekitar anak dan
lakukan tindakan untuk mengurangi tingkat kebisingan.
Rasional: Kebisingan yang berlebihan men yebabkan kehilangan
pendengaran sesorineural.

6. Hipertermi berhubungan dengan proses implamasi atau peradangan

Hasil yang diharapkan anak menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal (300c)
Intervensi:
- Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, perhatikan apakah anak
menggigil.
Rasional: Untuk memantau peningkatan suhu tiba-tiba. Suhu
38,9oc-41,10c) menunjukan prosoe infeksi. Menggigil sering
-

mendahului puncak peningkatan suhu.


Pertahankan lingkungan yang sejuk.
Rasional: Suhu ruangan harus diubah untuk mempertahankan

tubuh mendekati normal.


Beri kompres hangat dan hindari penggunaan alkohol/es.
Rasional: Membantu mengurangi demam. Alkohol/ air es dapat

menyebabkan kedinginan dan mengeringkan kulit.


Beri antipiretik (asetaminofen, ibuprofen) sesuai indikasi.
Rasional: Mengurangi demam dengan aksi sentral

pada

hipotalamus.
7. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi
anaknya.

Hasil yang diharapkan: Kecemasan orang tua berkurang yang ditandai dengan
meningkatnya kemampuan mereka dalam mendampingi dan memberi dukungan

pada anak dan menjelaskan kondisinya.


Intervensi:
- Berikan informasi yang adekuat pada orang tua dan keluarga.
Rasional: Informasi yang adekuat merupakan suatu aspek penting
-

dalam membantu proses perawatan klien.


Biarkan orang tua tetap mendampingi klien selama hospitalisasi.

Rasional: Orang tua dapat mengetahui perkembangan informasi


-

tentang kondisi anaknya.


Kaji pemaham orang tua tentang anaknya dan gambaran
perawatan.
Rasional: Mengetahui seberapa jauh pemahaman orang tua tentang
kondisi anaknya dan gambaran perawatan sehingga dapat

membantu dan melaksanakan intervensi selanjutnya,


Jelaskan semua prosedur pada anak dan orang tua (keluarga).
Rasional: untuk meminimalkan rasa takut/cemas terhadap hal-hak
yang tidak diketahui.
Beri dukungan emosional pada orang tua selama anak masih
dirawat di RS.
Rasional: Diharapkan orang tua dapat mengenal dan menghadapi
rasa cemas dengan adanya dukungan dan konseling.

8. Pedoman untuk memudahkan pembacaan gerak bibir

Tarik perhatian anak sebelum berbicara, gunakan sentuhan ringan untuk memberi

tanda hadirnya pembicara


Beridiri didekat anak
Menghadap langsung pada anak/pada sudut 45 derajat
Tetap berdiri dan jangan berjalan kebelakang dan kedepan atau berbalik menjauh

intuk menunjuk/melihat ketempat lain


Lakukan kontak mata dan tunjukan ketertarikan
Bicara sejajar mata anak dan dengan pencahayaan yang baik pada wajah

pembicara
Perhatikan bahwa tidak ada yang mempengaruhi pola bicara seperti: mengunyah

permen/makanan
Bicara dengan jelas dan dengan kecepatan yang lambat
Gunakan ekspresi wajah untuk membantu menyampaikan pesan
Buat kalimat-kalimat singkat
Ulangi pernyataan pessan bila anak tidak memahami kata-kata yang diucapkan
pembicara

DAFTAR PUSTAKA

Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1. Media
Aesculapius.
Doenges, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A, 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4.
Jakarta. EGC.
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Ester, Monica(ed.). 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikiatri: Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Amin, Hardhi. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Mediaction. Yogyakarta.
http://www.abcmedika.com/2014/02/askep-tetanus.html diakses pada tanggal 25 Oktober
2015 Pukul 17.00 WIB
Anonim. 2013. Asuhan Keperawatan pada Anak Morbili. http://www.scribd.
com/doc /22319650/asuhan-keperawatan-anak-morbili. Diakses tanggal 24
Oktober 2015
http://nersrezasyahbandi.blogspot.co.id/2013/04/askep-glomerulonefritis.html
Windawati, Valerina. 2012. Asuhan Keperawatan Atrium Septal Defect.
https://www.academia.edu/10969164/Askep_ASD_Atrium_Septa_
Defect_ pada_anak. Diakses tanggal 28 Oktober 2015.
Yuritarahmi. 2012. Asuhan Keperawatan pada Anak Campak. https://yuritarahmi.wordpress.com/2012/12/03/asuhan-keperawatan-pada-anakcampak/.

Diakses tanggal 24 Oktober 2015.


digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5049 diunduh pada tanggal 25 Oktober 2015
pukul 16.00 WIB
https://www.scribd.com/doc/92220844/ASKEP-LP-DBD diunduh pada tanggal 25
Oktober 2015 Pukul 16.15 WIB
http://www.riyawan.com/2013/06/asuhan-keperawatan-pada-kasus-dhf-dbd.html diakses
pada tanggal 25 Oktober 2015 Pukul 19.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai