Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air
sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap
berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan,
sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Cairan tubuh terdiri dari bahan
pelarut terutama berupa air dan bahan atau partikel terlarut yaitu berupa
elektrolit dan non elektrolit.1
B. Permasalahan
Dalam berbagai kondisi yang tidak sesuai, terkadang seseorang bisa mengalami
defisit cairan. Misalnya kondisi dehidrasi, luka bakar, dan perdarahan berat. Kondisi lain
misalnya saat perioperatif, yang timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-kadang
dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan,
manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan
cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus.2
Sebagai contoh puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit
cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari defisit cairan
ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya adalah rasa haus, perasaan
mengantuk, dan pusing kepala.2,3
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara
optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil apabila
pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda
kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.4

Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan topik yang
menarik untuk dibicarakan karena dalam prakteknya banyak hal yang sulit ditentukan atau
diukur secara objektif. Perhitungan cairan terkadang tidak sama adekuat untuk memenuhi
defisit cairan pada satu pasien, atau justru berlebihan pada pasien lain.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air
sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap
berat badan berangsur-angsur turun.5 Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel.1 Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan,
luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.2
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Selanjutnya kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial.2,5
a. Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata
untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari cairan tubuhnya merupakan cairan intraselular.2,5
b. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter
pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.2 Cairan ekstraselular dibagi menjadi:

Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa5.

Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet5.

Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler5.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh


(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)
Cairan ekstra sel terutama mengandung ion natrium, bikarbonat,
dan klorida. Sedangkan cairan intrasel terutama mengandung ion kalium,
kalsium dan magnesium. Pergerakam antar kompartemen terjadi melalui
3

mekanisme

yaitu:

(1)

melalui

membran

lipid

(oksigen

dan

karbondioksida), (2) melalui kanal protein (natrium, kalium dan kalsium),


(3) diffusi dengan bantuan ikatan protein (glukosa dan asam amino)2.
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
- Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan
anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen)5.

Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Karena
kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka
nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.

a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di
dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.
Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)

- Atrial natriuretic factor


- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat
berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan
keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari adalah 100mEq (6-15 gram NaCl). 4
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke
dalam dan ke luar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah, diare)
sedangkan pemasukkan terbatas, maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai
kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan
air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung,
air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi. 4
b. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting
di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. 4
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler.
Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10
mEq/liter.4
c. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan
lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada
intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi
oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan hipofisis. Sebagian besar
(99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat
dalam sel.4
d. Magnesium

Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan untuk pertumbuhan 10


mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.4
e. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali
bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru
dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.4
- Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat
lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.5
2.2 Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.4,5,6
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih
tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap
air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat
dilalui zat terlarut misalnya protein.4,5,6
Tekanan osmotik plasma darah ialah 2855 mOsm/L. Larutan dengan tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat).
Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan
lebih tinggi disebut hipertonik.4,6
b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.4,6
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar
ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan
hiperosmolar di dalam sel.4,5,6

Gambar 2. Pompa Natrium Kalium


(Sumber: Hartanto WW, 2007)
2.3 Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru,
kulit atau traktus gastrointestinal. 2
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml
per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata-rata 250
ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.2
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme oksidatif dari
karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan yang diminum setiap
hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari,
sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml

per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak
rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan
bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius
pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari
tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari
insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 36 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.5
Tabel 2. Rata-rata Harian Asupan dan Kehilangan Cairan pada Orang Dewasa

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


2.4 Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di
gastrointestinal akibat muntah, dekompresi nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab
lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi
jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang
cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung.2
* Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik

(>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.8
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. 8
Tabel 3. Tanda-tanda Klinis Dehidrasi

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar
terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar
natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.8
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar
terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar
natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.8
Tabel 4. Derajat Dehidrasi

10

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan
cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung.
Beberapa pendekatan terangkum dalam tabel 5.
Tabel.5 Rumatan cairan menurut rumus Holliday-Segar

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan
rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan 8. Salah
satu cara rehidrasi :
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan (D) = derajat
dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau rumus
holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :
o 6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)
o 18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan keterangan
sebagai berikut9,10,11.
1. M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus Holyday Zegar untuk anak-anak,
dan rumus 421 untuk dewasa.

11

2. O
3. P

: Prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis operasi x BB.
Operasi kecil
: 4-6 ml x BB
Operasi sedang
: 6-8 ml x BB
Operasi besar
: 8-10 ml x BB
: Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x Maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus :

Jam I

: M+O+P

Jam II-III

: M+O+P

Jam IV

: M+O

b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenik
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun
pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat
sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung
kongestif2,3.
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah
NaCl tetap atau berkurang.
2. Perubahan konsentrasi

Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg2,3.
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus2,3:
Na= Na 1 Na 0 x TBW
Na

= Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)

12

Na1

= 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan

Na0

= Na serum yang aktual

TBW

= total body water = 0,6 x BB (kg)

Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140. 2,3

Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai
40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L
disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium2,3:
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan

13

otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk


hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis2,3.

3. Perubahan komposisi

Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)


Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi
yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi
pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose
yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat
terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting2,3,5.

Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)


Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi
sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi
masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang
tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi2,3,5.

Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)


Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan2,3,5.

Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)


Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan
diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
14

hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang


digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium.
Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2
dan serum elektrolit yang sering2,3,5.
2.5 Cairan Perioperatif
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan
postoperatif2,3,9.
Faktor-faktor preoperative3,9 :
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres
akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari
traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam
atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi. Dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
8. Kehilangan darah yang abnormal
Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan
ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
9. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.

15

Faktor postoperative 3,9:


1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah3,9:
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Alkalosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. Alkalosis repiratorik
2.6 Patofisiologi
Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan pada
keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa hari pasca
trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai akibat dari 3,9,11:
-

kerusakan sel di lokasi pembedahan


Kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum
Pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah
Terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti3,9:

1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau
trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi bila pada penderita tampak
tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan.
2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat
3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu growth
hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres akan merangsang
hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang
kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH.
4. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma
meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asma lemak.
5. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai hari
ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu pengaturan ADH
yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler.

16

6. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan volume
darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk pelepasan
aldosteron.
7. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap individu
tergantung dari beberapa faktor3,9,11:
- rasa sakit dan kualitas analgesi dan rasa takut dan sedasi yang diberikan
- komplikasi penyulit pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis)
- keadaan umum penderita
- berat dan luasnya trauma
2.7 Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian
cairan perioperatif, yaitu:
1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/haridan K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Secara umum kebutuhan
cairan rumatan dapat dilihat pada tabel 6. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini
pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).3,9,11
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah
elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit
bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita
dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi,
demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.3,9,11
3. Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol penampung darah yang disambung
dengan pipa penghisap darah (suction pump) dengan cara menimbang kasa yang digunakan
sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10

17

ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan
kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadangkadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang
(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma
terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila
pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai
kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah. 3,9,11
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal
istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi
defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan
serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen
ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler. 3,9,11
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan3,9:
o Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
o Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar
aldosteron.
o Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan
reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
- Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin hipotonis.
I. Pengganti defisit Pra bedah
Kebutuhan cairan normal

18

Pemenuhan kebutuhan normal cairan adalah untuk menggantikan


cairan yang normalnya keluar melalui ginjal, saluran cerna, paru-paru dan
keringat. Rata rata kebutuhan cairan 30 40 mL/KgBB/24 jam. Bila
pasien tidak dapat minum, cairan diberikan melalui infus atau pipa
lambung. Dalam perhitungan pemberian cairan selain dihitung pemberian
cairan, juga dihitung kebutuhan elektrolit terutama natrium dan kalium.
Kebutuhan

natrium

harian

yaitu

2-4

mEq/

kgBB/

hari

sedangkan

kebutuhan

kalium 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada hari pertama dan kedua

pasca bedah tidak diperlukan pemberian kalium kecuali jika hasil


laboratorium menunjukkan hipokalemia3,9,11.
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti
dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. 3,9,11
II. Terapi cairan intra operatif
Gangguan

cairan

pada

kasus

bedah

umumnya

menyangkut

kompartemen ekstra sel sehingga jenis cairan yang dipilih untuk terapi
harus merupai komposisi cairan ekstra sel. Cairan pengganti juga harus
disesuaikan

dengan

komposisi

cairan

tubuh

yang

hilang

selama

perawatan. Selama pembedahan, pemberian cairan didasarkan pada (1)


jumlah cairan untuk menggantikan darah yang keluar yaitu cairan NaCl
0.9% atau ringer laktat sebanyak lebih kurang 3 kali jumlah perdarahan,
(2) perkiraan defisit cairan yang belum sepenuhnya terkoreksi misalnya
(misalnya defisit cairan 5 liter, diberikan resusitasi cairan awal 3 liter dan

19

kekurangan 2 liter dibagi menjadi: 1 liter diberikan dalam 8 jam


sedangkan 1 liter sisanya diberikan dalam 16 jam), (3) cairan rumatan
selama pembedahan bergantung pada jenis operasinya, berkisar antara
2,5 mL/kg/jam (untuk operasi pada superfisial) hingga 15 mL/kg/jam
(untuk operasi pembukaan rongga abdomen). 3,4,9,11
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar
ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan
penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. 3,9,11
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa
cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar

ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya.

Total

10

ml/kgBB/jam.
Tabel 6. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


5. Penggantian darah yang hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood Volume =
taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan
tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan
mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak
begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif. 3,4,9

20

Tabel 7. Perkiraan volume darah

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan kristaloid,
pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan9,11:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan


Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah3,9,11:

1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin

sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.


Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr %
Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis
1 ml/kgBB/jam.

2.8 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini3,4,9,11:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50
ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium
karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH
yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari

21

pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik
dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein
sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam
isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu
tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang

belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
PILIHAN JENIS CAIRAN
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat
kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik,
penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam
jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun
dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema
perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan

22

perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. 3,4,5
Larutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme
dihati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah nacl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra
cranial. 3,4,5
Tabel 8. Komposisi Cairan Kristaloid

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute
atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar). 3,4,5
23

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:


a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya.

Fraksi protein plasma selain

mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi
protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan
fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
3,4,5

Tabel 9. Jenis Cairan Koloid

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


b. Koloid sintesis yaitu:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa.

Walaupun

Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan

24

Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran
darah. 3,4,5
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 3,4,5
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander
yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka
Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
Kerugian

dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. 3,4,5
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin.

25

Tabel 10. Keuntungan dan Kerugian Jenis Cairan


Advantages

Disadvantages

Kristalloid
Inexpensive
Promotes urinary flow
(intravascular volume)
Fluid of choice for initial
resuscitation of
trauma/hemorrhage.
Expands intravascular
volume
(1/4 volume given retained
intravascularly)
Restores third space losses
Dillutes colloid osmotic
pressure
Promotes peripheral edema
Higher incidence of
pulmonary
edema
Requires large volume
Effects are transient

Koloid
More sustained intravascullar increase
(1/3 still intravascullar at 24 hr)
Maintain plasma colloid oncotic
pressure.
Requires smaller volume for equal
effect
Less peripheral edema (more fluid
remains intravascullar)
May lower intracranial pressure

Expensive
May produce coagulopathy (dextrans
and helastarch)
With capilary leak may potentiate
fluid loss to the interstitium
Impairs subsequent cross matching of
bool (dextrans)
Dilutes cloting factors and platelets
Platelets adhesiveness (absorption
onto platelet membrane receptor)
Potential blocking of renal tubules and
reticuloendhotelial cells in the liver.
Possible anaphylactoid reaction with
dextrans.

(Sumber : Hartanto WW, 2007)

BAB III
PENUTUP

26

Kesimpulan
Adapun dari pembahasan yang telah dipaparkan, maka kita dapat menarik beberapa
kesimpulan, diantaranya:
1. Terapi cairan adalah penggantian kehilangan cairan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali
keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan dan oksigenasi sel.
2. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum
berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.
3. Cairan yang diberikan tergantung dari trauma, atau pembedahan yang didapat.
Adanya berbagai jenis cairan dapat memberikan keleluasaan untuk memilih cairan
mendekati kebutuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Guyton AC, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Rachman
L.Y. et al. Edisi 11. EGC. Jakarta.
2. Pandey CK, Singh RB. 2009. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.
47(5):380-387.
3. Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
4. Latief AS, dkk. 2007. Petunjuk praktis anestesiologi: Terapi cairan pada pembedahan.
Ed. Ketiga. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
5. Heitz U, Horne MM. 2005. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby. p3-227.
6. Mayer H, Follin SA. 2002. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.
Pennsylvania: Springhouse. 3-189.
7. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center for
Veterinary Health. 2006. [http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm (online) diakses
tanggal 21 Februari 2016].
8. Ellsbury
DL,
George

CS.

2006.

Dehydration.

eMed

J.

[http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm (online) diakses pada 21 Februari


2016].
9. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
10. Woo A. 2007. An Introduction to Fluid Therapy. British Journal of Hospital Medicine.
April 2007. 68 (4).
11. Brandstrup B. 2006. Fluid Therapy for the Surgical Patient. J Elsevier. Best Practice and
Research

Clinical

Anastesiologi.

20

(2)

265-283

[http://www.journals.elsevierhealth.com/periodicals/ybean/article/PIIS152168960500080
7 (online) diakses pada 20 Februari]

28

Anda mungkin juga menyukai