PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air
sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap
berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan,
sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Cairan tubuh terdiri dari bahan
pelarut terutama berupa air dan bahan atau partikel terlarut yaitu berupa
elektrolit dan non elektrolit.1
B. Permasalahan
Dalam berbagai kondisi yang tidak sesuai, terkadang seseorang bisa mengalami
defisit cairan. Misalnya kondisi dehidrasi, luka bakar, dan perdarahan berat. Kondisi lain
misalnya saat perioperatif, yang timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-kadang
dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan,
manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan
cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus.2
Sebagai contoh puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit
cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari defisit cairan
ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya adalah rasa haus, perasaan
mengantuk, dan pusing kepala.2,3
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara
optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil apabila
pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda
kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.4
Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan topik yang
menarik untuk dibicarakan karena dalam prakteknya banyak hal yang sulit ditentukan atau
diukur secara objektif. Perhitungan cairan terkadang tidak sama adekuat untuk memenuhi
defisit cairan pada satu pasien, atau justru berlebihan pada pasien lain.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata
untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari cairan tubuhnya merupakan cairan intraselular.2,5
b. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter
pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.2 Cairan ekstraselular dibagi menjadi:
Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa5.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet5.
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler5.
mekanisme
yaitu:
(1)
melalui
membran
lipid
(oksigen
dan
Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Karena
kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka
nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.
a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di
dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.
Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.4,6
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar
ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan
hiperosmolar di dalam sel.4,5,6
per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak
rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan
bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius
pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari
tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari
insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 36 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.5
Tabel 2. Rata-rata Harian Asupan dan Kehilangan Cairan pada Orang Dewasa
(>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.8
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. 8
Tabel 3. Tanda-tanda Klinis Dehidrasi
10
11
2. O
3. P
: Prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis operasi x BB.
Operasi kecil
: 4-6 ml x BB
Operasi sedang
: 6-8 ml x BB
Operasi besar
: 8-10 ml x BB
: Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x Maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus :
Jam I
: M+O+P
Jam II-III
: M+O+P
Jam IV
: M+O
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenik
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun
pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat
sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung
kongestif2,3.
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah
NaCl tetap atau berkurang.
2. Perubahan konsentrasi
Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg2,3.
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus2,3:
Na= Na 1 Na 0 x TBW
Na
12
Na1
Na0
TBW
Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140. 2,3
Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai
40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L
disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium2,3:
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan
13
3. Perubahan komposisi
15
1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau
trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi bila pada penderita tampak
tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan.
2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat
3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu growth
hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres akan merangsang
hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang
kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH.
4. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma
meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asma lemak.
5. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai hari
ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu pengaturan ADH
yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler.
16
6. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan volume
darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk pelepasan
aldosteron.
7. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap individu
tergantung dari beberapa faktor3,9,11:
- rasa sakit dan kualitas analgesi dan rasa takut dan sedasi yang diberikan
- komplikasi penyulit pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis)
- keadaan umum penderita
- berat dan luasnya trauma
2.7 Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian
cairan perioperatif, yaitu:
1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/haridan K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Secara umum kebutuhan
cairan rumatan dapat dilihat pada tabel 6. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini
pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).3,9,11
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah
elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit
bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita
dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi,
demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.3,9,11
3. Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol penampung darah yang disambung
dengan pipa penghisap darah (suction pump) dengan cara menimbang kasa yang digunakan
sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10
17
ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan
kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadangkadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang
(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma
terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila
pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai
kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah. 3,9,11
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal
istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi
defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan
serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen
ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler. 3,9,11
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan3,9:
o Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
o Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar
aldosteron.
o Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan
reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
- Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin hipotonis.
I. Pengganti defisit Pra bedah
Kebutuhan cairan normal
18
natrium
harian
yaitu
2-4
mEq/
kgBB/
hari
sedangkan
kebutuhan
cairan
pada
kasus
bedah
umumnya
menyangkut
kompartemen ekstra sel sehingga jenis cairan yang dipilih untuk terapi
harus merupai komposisi cairan ekstra sel. Cairan pengganti juga harus
disesuaikan
dengan
komposisi
cairan
tubuh
yang
hilang
selama
19
Total
10
ml/kgBB/jam.
Tabel 6. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses
20
1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50
ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium
karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH
yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari
21
pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik
dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein
sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam
isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu
tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang
belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
PILIHAN JENIS CAIRAN
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat
kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik,
penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam
jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun
dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema
perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan
22
perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. 3,4,5
Larutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme
dihati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah nacl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra
cranial. 3,4,5
Tabel 8. Komposisi Cairan Kristaloid
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi
protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan
fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
3,4,5
Walaupun
24
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran
darah. 3,4,5
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 3,4,5
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander
yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka
Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
Kerugian
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. 3,4,5
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin.
25
Disadvantages
Kristalloid
Inexpensive
Promotes urinary flow
(intravascular volume)
Fluid of choice for initial
resuscitation of
trauma/hemorrhage.
Expands intravascular
volume
(1/4 volume given retained
intravascularly)
Restores third space losses
Dillutes colloid osmotic
pressure
Promotes peripheral edema
Higher incidence of
pulmonary
edema
Requires large volume
Effects are transient
Koloid
More sustained intravascullar increase
(1/3 still intravascullar at 24 hr)
Maintain plasma colloid oncotic
pressure.
Requires smaller volume for equal
effect
Less peripheral edema (more fluid
remains intravascullar)
May lower intracranial pressure
Expensive
May produce coagulopathy (dextrans
and helastarch)
With capilary leak may potentiate
fluid loss to the interstitium
Impairs subsequent cross matching of
bool (dextrans)
Dilutes cloting factors and platelets
Platelets adhesiveness (absorption
onto platelet membrane receptor)
Potential blocking of renal tubules and
reticuloendhotelial cells in the liver.
Possible anaphylactoid reaction with
dextrans.
BAB III
PENUTUP
26
Kesimpulan
Adapun dari pembahasan yang telah dipaparkan, maka kita dapat menarik beberapa
kesimpulan, diantaranya:
1. Terapi cairan adalah penggantian kehilangan cairan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali
keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan dan oksigenasi sel.
2. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum
berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.
3. Cairan yang diberikan tergantung dari trauma, atau pembedahan yang didapat.
Adanya berbagai jenis cairan dapat memberikan keleluasaan untuk memilih cairan
mendekati kebutuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Guyton AC, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Rachman
L.Y. et al. Edisi 11. EGC. Jakarta.
2. Pandey CK, Singh RB. 2009. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.
47(5):380-387.
3. Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
4. Latief AS, dkk. 2007. Petunjuk praktis anestesiologi: Terapi cairan pada pembedahan.
Ed. Ketiga. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
5. Heitz U, Horne MM. 2005. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby. p3-227.
6. Mayer H, Follin SA. 2002. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.
Pennsylvania: Springhouse. 3-189.
7. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center for
Veterinary Health. 2006. [http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm (online) diakses
tanggal 21 Februari 2016].
8. Ellsbury
DL,
George
CS.
2006.
Dehydration.
eMed
J.
Clinical
Anastesiologi.
20
(2)
265-283
[http://www.journals.elsevierhealth.com/periodicals/ybean/article/PIIS152168960500080
7 (online) diakses pada 20 Februari]
28