Keseimbangan Elektrolit
Keseimbangan Elektrolit
PENDAHULUAN
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Pada orang dewasa jumlah cairan tubuh
sebesar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah daripada
kandungan air di dalam sel otot.1
Cairan tubuh dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu cairan intrasel dan ekstrasel.
Volume cairan intrasel sebesar 36% dari berat badan orang dewasa dan volume cairan ekstrasel
sebesar 24% berat badan orang dewasa. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat
beberapa elektrolit.1 Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi
partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion
bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas.2
Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi
elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan. 3
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, kalium merupakan kation terbanyak
dalam cairan intrasel dan klorida merupakan anion terbanyak dalam cairan ekstrasel. Jumlah
natrium, kalium dan klorida dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan antara yang masuk
terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama melalui ginjal. Gangguan keseimbangan
natrium, kalium dan klorida berupa hipo- dan hiper-. Hipo- terjadi bila konsentrasi elektrolit
tersebut dalam tubuh turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal dan hiperbila konsentrasinya meningkat di atas normal. Gangguan keseimbangan elektrolit yang paling
sering terjadi adalah hiponatremia. 4
BAB II
2.1.
Natrium 1,2
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60
mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L) berada dalam cairan
intrasel4,8. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium3. Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial
disebabkan oleh keseimbangan Gibbs- Donnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam
cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang
bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K+)2,4,9-10.
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan
natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme, yaitu: 1. Kadar natrium yang sudah
2
tetap pada batas tertentu (set point); 2. Keseimbangan antara natrium yang masuk dan yang
keluar (steady state). Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus
dan reabsorbsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan (hypervolemia) dan peningkatan
asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus, sebaliknya jika terjadi hypovolemia
dan asupan natrium yang rendah maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus.
Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium.
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang
masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel
mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna
atau keringat di kulit.3-5,11-12. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144
mEq.3 Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%. Cairan
yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir mendekati
cairan ekstrasel,namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna bagian bawah,
oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L4. Keringat adalah
cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium pada cairan keringat orang
normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan meningkat sebanding dengan
lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan fisik dan demam1,4.
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk
mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume
cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus
proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi
di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di
urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air
secara
pasif
dan
mensekresikalium
pada
sistem
renin-angiotensin-aldosteron
untuk
mempertahankan elektroneutralitas.9,11,13-17
Saat di klinik, jika kita menemukan kasus dengan hiponatremia disertai dengan gejala
yang berat maka dikategorikan sebagai hiponatremia akut, sedangkan bila tidak disertai dengan
gejala yang berat maka hiponatremia masuk dalam kategori kronik.
Tata laksana 1
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari penyebab terjadinya hiponatremia, yaitu
dengan cara:
-
manitol
Pemeriksaan fisik yang teliti terutama untuk menemukan adanya tanda-tanda
hypovolemia
Pemeriksaan gula darah dan lipid darah
Pemeriksaan osmolalitas darah (osmolalitas rendah atau tinggi)
Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan melakukan pemeriksaan
terhadap berat jenis urin untuk menginterpretasi apakah terjadi peningkatan ADH
atau tidak
Pemeriksaan natrium, kalium, dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah
sekresi elektrolit dalam urin
adalah selisih Antara kadar natrium yang diinginkan dengan kadar natrium awal.
Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,5
meq/L setiap 1 jam, maksimal 10meq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar
6
Kalium 7
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh dan
terbnayak berada di intrasel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi
saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan
kalium di intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu keseimbangan antara kemampuan
muatan negatif dalam sel untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan kimiawi yang
mendorong kalium keluar dari sel, Keseimbangan ini menghasilkan suatu kadar kalium yang
tetap dalam plasma antara 3,5-5 mEq/L. Kadar kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L disebut
sebagai hipokalemia dan kadar lebih dari 5 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kedua keadaan
ini dapat menyebabkan kelainan fatal listrik jantung disebut aritmia.
nasoastrikm pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam
cairan lambung hanya sedikit (5-10 mEq/L), akan tetapi kalium banyak ke luar melalui ginjal.
Akibat muntah atau selang nasogastrik, terjadi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat
yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikut kalium di tubulus distal yang juga dibantu
dengan adanya hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini akan
meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi. Pada saluran cerna bawah,
kalium keluar bersama bikarbonat akibat asidosis metabolik. Kalium dalam saluran cerna bawah
jumlahnya lebih banyak (20-50 mEq/L).
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian diuretik,
kelebihan hormon mineralokortikoid primer/ hiperaldosteronisme primer. Anion yang tak dapat
direabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam tubulus (bikarbonat, betahidroksibutirat, hippurat) menyebabkan lumen duktus koligentes lebih bermuatan negatif dan
menarik kalium masuk ke dalam lumen lalu dikeluarkan dengan urin, pada hipomagnesemia,
poliuria, dan salt-wasting nephropathy. Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat
terjadi bila dilakukan latian berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat
mencapai 10 L. Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian
insulin, peningkatan aktivitas beta adrenergik, paralisis periodik hipokalemik, hipotermia.
Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal
turun hingga kurang dari 25 mEq per hari sedang ekskresi kalium dalam urin lebih dari 40 mEq
per hari menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan melalui ginjal. Ekskresi kalium
yang rendah melalui ginjal dengan disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya
pembuangan kalium berlebihan melalui saluran cerna seperti diare akibat infeksi atau
penggunaan pencahar. Ekskresi kalium yang berlebihan disertai asidosis metabolik merupakan
pertanda adanya ketoasidosis diabetik atau adanya renal tubular acidosis baik yang distal atau
proksimal.
Ekskresi kalium dalam urin rendah disertai alkalosis metabolik merupakan pertanda dari
muntah kronik atau pemberian atau pemberian diuretik lama. Ekskresi kalium dalam urin tinggi
disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah yang rendah, petanda dari sindrom Bartter.
Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi pertanda
dari hiperaldosteronisme primer.
11
Gejala klinis hipokalemia adalah kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, restless
legs syndrome merupakan gejala pada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3 mEq/L.
Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau rabdomiolisis. Gejala
kardiovaskular berupa aritmia, takikardia ventrikuler, dan fibrilasi atrium. Hal ini terjadi akibat
perlambatan repolarisasi ventrikel pada keadaan hipokalemia yang menimbulkan peningkatan
arus re-entry. Tekanan darah juga dapat meningkat pada keadaan hipokalemia dengan mekanisme
yang tak jelas.
Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya vakuolisasi pada tubulus proksimal dan
distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan poliuria dan polidipsia.
Hipokalemia juga akan meningkatkan produksi NH4 dan produksi bikarbonat di tubulus distal
yang akan menimbulkan alkalosis metabolik. Meningkatkan NH4 dapat mencetuskan koma pada
pasien dengan gangguan fungsi hati.
Indikasi mutlak pemberian kalium yaitu pada pasien yang sedang dalam pengobatan
digitalis, pasien dengan ketoasidosis diabetik, pasien dengan kelemahan otot pernapasan, pasien
dengan hipokalemia berat (K < 2 mEq/L). Indikasi kuat yaitu pada pasien insufisiensi koroner
atau iskemia otot jantung, ensefalopati hepatikum, pasien yang memakai obat yang dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ekstrasel ke intrasel. Sedangkan indikasi lainnya yaitu
pada pasien dengan hipokalemia ringan (K antara 3-3,5 mEq/L)
Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah. Pemberian 4060 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1.5 mEq/L, sedang pemberian 135-160 mEq
dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L. Pemberian kalium intravena dalam
bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam. Pada
keadaan aritmia yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan, dapat diberikan dengan
kecepatan 40-100 mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik. Bila
melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000cc, sebab bila
melebihi ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan sklerosis vena.
2.2.2. Hubungan Hipokalemia dengan Anestesi 6
Hipokalemia adalah suatu hal yang umum ditemukan dalam preoperasi. Pasien dengan
hipokalemia ringan (3-3.5 mEq/L) pada umumnya tetap diijinkan untuk dijalankan operasi, asal
12
tidak memiliki gejala disfungsi organ sekunder. Hipokalemia ringan kronik tanpa perubahan
gambaran EKG tidak nampak menambah resiko dari anestesi. Yang perlu diperhatikan adalah
keadaan hipokalemi dapat menambah efek toksik dari obat-obatan digoksin. Karena itu
diusahakan memiliki nilai Kalium diatas 4 mEq/L. Bila terdapat tanda-tanda kelainan jantung
pada intra-operasi, berikan Kalium intravena dalam cairan bebas glukosa.
13
EKG. Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada, pemberian kalsium glukonat dapat
diulang setelah 5 menit.
Prinsip kedua yaitu dengan memacu masuknya kembali kalium dari ekstrasel ke intrasel
dengan cara pemberian insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus intravena, allu diiukuti
dengan infus dekstrosa 5% untuk mencegah terjadinya hipoglikemi. Insulin dapat memicu
pompa NaK-ATPase memasukkan kalium ke dalam sel, sedang glukosa akan memicu
pengeluaran insulin endogen.
Pemberian Natrium Bikarboonat juga dapat meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH
akan merangsang ion-H keluar dari dalam sel yang kemudian menyebabkan ion-K masuk ke
dalam sel. Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan 50 mEq i.v
selama 10 menit, disesuaikan juga dengan keadaan metabolik yang ada.
Pemberian a-2 agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena dapat merangsang
pompa NaK-ATPase sehingga dapat mendorong kalium masuk ke dalam sel. Biasa dapat
digunakan albuterol 10-20 mg.
Prinsip ketiga yaitu mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh dengan memberikan
diuretik-loop (furosemid) dan tiasid. Pemberian ini hanya bersifat sementara. Hemodialisis dapat
diperkirakan juga untuk membuang Kalium.
2.3.
Kalsium 1,6
14
Kalsium merupakan elemen biologis esensial fungsional yang memiliki peran dalam
banyak fungsi biologis manusia meliputi kontraksi otot, release neurotransmitter dan hormon,
koagulasi darah, dan metabolisme tulang, dan bila terjadi ketidakseimbangan kalsium dalam
tubuh dapat menyebabkan gangguan dari fungsi-fungsi tersebut. Seorang dewasa normal
membutuhkan intake kalsium 600-800 mg per harinya dimana 99% berada di tulang dan 1 %
lainnya berada di jaringan lunak dan cairan ekstrasel. Kalsium dalam darah terbagi dalam 3
bentuk sebagai fraksi ion bebas (50%), fraksi yang tergabung dengan albumin (40%), dan (10%)
dimana kalsium bergabung dengan anion lain seperti bikarbonat, fosfat, dan sitrat. Fraksi kalsium
ion secara fisiologis aktif dan fraksi ini yang berhubungan erat dengan aktivitas hormon
paratiroid, vitamin E, dan kalsitonin.
Pengukuran kalsium serum total menggambarkan kontribusi kuantitatif dari ketiga bentuk
kalsium dalam sirkulasi. Nilai normal berkisar antara 8,5-10,5 mg/dl. Hasil pengukuran kalsium
ini dapat keliru karena adanya ikatan dengan albumin, sehingga konsentrasi kalsium yang diukur
dengan cara ini harus disesuaikan dengan konsentrasi albumin. Laboratorium modern
mempunyai kemampuan mengukur kalsium terionisasi. Nilai normal berkisar antara 4,75-5,3
mg/dl.
Kalsium mempunyai beberapa fungsi fisiologis yaitu berperan dalam transmisi
neuromuskuler, kontraktilitas miokard melalui kanal kalsium. Kalsium berperan dalam
depolarisasi dan kekuatan kontraksi otot. Kalsium disimpan dalam retikulum sarkoplasma.
Aktivasi neurokimia menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium sitoplasma. Kalsium terikat
dengan troponin C dan kompleks ini terikat dengan tropomiosin yang memfasilitasi pengikatan
aktin dan miosin untuk kontraksi otot jantung. Peningkatan kalsium intrasel meningkatkan
kontraktilitas, inotropik dan meningkatkan cardiac output. Kalsium diambil kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa Ca-Na di membran plasma menyebabkan relaksasi.
Kalsium juga merupakan kofaktor penting untuk koagulasi darah karena sitoplasma atau
trombosit mengandung elemen kontraktil yaitu aktin dan miosin untuk merubah bentuknya.
Proses ini dipicu oleh kalsium intrasel. Kalsium juga penting untuk aktivasi trombin dan kofaktor
untuk faktor Hageman VII, IX, X.
15
Kalsium diserap oleh usus halus dengan bantuan kalsitriol, turunan dari vitamin D.
Kalsitriol juga memfasilitasi absorpsi fosfat dari usus dan nefron dan mempengaruhi
pembentukan tulang dan aktivitas osteoklas. Metabolisme kalsium secara dominan diatur oleh
hormon paratiroid (PTH). Hormon ini menyebabkan pelepasan kalsium dan fosfat dari tulang.
Menurunnya kadar kalsium akan menstimulasi sekresi PTH, dan apabila kadar kalsium tinggi
akan menghambat sekresi dari PTH. PTH juga menyebabkan reabsopsi kalsium dan ekskresi
fosfat dari ginjal dan mengaktivasi kalsitonin. Kalsitonin merupakan hormon polipetida yang
disekresikan oleh sel parafoikuler di kelenjar tiroid. Kalsitonin distimulasi oleh hiperkalsemia
dan dihambat oleh hipokalesemia. Kalsitonin mempunyai efek yang berlawanan terhadap serum
kalsium. Hormon ini menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan seksresi kalsium melalui
urin.
2.3.1.
Hipokalsemia 1,6
Hipokalsemia timbul jika terdapat kehilangan kalsium signifikan dari tubuh. Pada pasien
Neurologis: parestesi, keram otot, tetani, kelemahan otot, reflek hiperaktif, konvulsi
Pada hipokalsemia ringan, pasien hanya akan merasakan parestesi dari jari tangan dan
kaki, juga mati rasa dan mungkin sensasi terbakar pada bibir dan mulut. Dengan hipokalsemia
berat, pasien dapat mengeluhkan spasme otot terutama pada jari tangan dan ibu jari (carpal
spasm).
Terapi hipokalsemia ditujukan untuk hipokalsemia akut simptomatik yang membutuhkan
pemberian kalsium intravena. Pada orang dewasa direkomendasikan memberikan bolus 100 mg
dari kalsium elemental selama 5-10 menit diikuti dengan infus kontiniu dengan dosis 0,5-2
mg/kg/jam. Pemberian dosis bolus hanya akan meningkatkan konsentrasi kalsium selama 1-2
jam karena itu kadang bolus berulang diperlukan atau infus kontiniu. Dua preparat garam
kalsium tersedia untuk pemberian intravena yaitu kalsium klorida dan kalsium glukonas.
Kalsium klorida 10% mengandung 27,2 mg kalsium elemental dalam 10 ml. Kalsium glukonas
mengandung 9,3 mg elemental kalsium dalam 10 ml. Kalsium klorida sangat iritan terhadap vena
perifer sehingga harus diberikan via kateter vena sentral. Garam klorida juga mengasamkan dan
secara teoritis tidak digunakan bila keadaan pasien mengalami asidosis.
2.3.2. Hubungan Hipokalsemia dengan Anestesi 6
Hipokalsemia harus diperbaiki sebelum melakukan operasi. Kadar kalsium darah harus
dipantau pada intraoperatif terutama pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis harus
dihindari untuk mencegah penurunan lebih lanjut dari kalsium. Pemberian kalsium intravena
diperlukan setelah dilakukan transfusi darah yang mengandung sitrat. Respon terhadap muscle
relaxant tidak konsisten dan memerlukan pemantauan ketat dengan menstimulasi saraf.
17
2.4.
Magnesium 1,7,8
Magnesium adalah suatu kation intraselular penting yang berfungsi sebagai kofaktor dari
berbagai jalur kerja enzim. Hanya 1-2% dari total jumlah magnesium tubuh yang disimpan
dalam cairan ekstraselular; 67% tersimpan di dalam tulang, dan sisanya 31% tersimpan didalam
intraselular.Magnesium telah diteliti dapat mengurangi kebutuhan anastetik, sistem nosiseptif,
mengurangi respon kardiovaskular dalam proses laringoskopi dan intubasi. Diduga mekanisme
aksi dari magnesium meliputi aktivitasnya terhadap pelepasan neurotransmiter pada sistem saraf
pusat, mengatur pelepasan katekolamin dari medulla adrenal, dan sebagai antagonis dari efek
kalsium dalam kinerja otot polos vaskular. Magnesium juga berperan dalam pelepasan asetilkolin
pada saraf presinaptik, dapat juga mengurangi sensitifitas asetilkolin pada motor end-plate, serta
berperan dalam kinerja potensial membran dari myosit.
Sebagai tambahan disamping tatalaksana kekurangan magnesium, pemberian magnesium
juga dapat dilakukan untuk tatalaksana preeklampsia dan eklampsia, torsades de pointes, status
asmatikus, dan taki-aritmia akibat digoxin. Ambilan magnesium memiliki rata-rata 20-30
mEq/hari (240-370 mg/hari) pada orang dewasa. Dalam jumlah itu, hanya 30-40% yang diserap
tubuh, terutama di usus halus bagian illeum. Ekskresi ginjal adalah jalur utama dalam
mengeliminasi magnesium dengan rata-rata 6-12 mEq/hari. Reabsorbsi dari magnesium
dilakukan oleh ginjal, sekitar 25% magnesium yang terfiltrasi oleh ginjal dapat di reabsorbsi di
bagian bawah Ansa henle. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium
yaitu keadaan hipomagnesemia, PTH, hipokalsemia, dehidrasi, metabolik alkalosis. Faktor yang
dapat
meningkatkan
ekskresi
ginjal
yaitu
hipermagnesemia,
ekspansi
volum
akut,
19
Malnutrisi protein-kalori
Hipertiroidisme
Pankreatitis
Luka bakar
Hampir seluruh pasien hipomagnesemia tampil sebagai asimptomatik, tetapi tidak nafsu
makan, lemah, fasikulasi otot, parestesia, kelelahan, ataksia, dan dapat terjadi kejang.
Hipomagnesemia sering terjadi bersamaan hipokalsemia akibat gangguan sekresi hormon
paratiroid dan bersamaan dengan hipokalemia akibat gangguan ekskresi ginjal. Manifestasi ke
jantung berupa gangguan kelistrikan dan potensiasi dari penggunaan digoksin ; kedua faktor ini
dipicu dengan adanya hipokalemia. Hipomagnesemia juga sering berhubungan dengan insidensi
atrial fibrilasi. Penampakan EKG pada penderita ini berupa perpanjangan PR dan QT interval.
Untuk membedakan apakah hipomagnesemia diakibatkan oleh gangguan renal atau nonrenal dapat dilakukan dengan pengukuran kadar Mg urin 24 jam atau pengukuran ekskresi
fraksional magnesium dalam urin. Bila magnesium urin 24 jam lebih dari 10-30 mg atau ekskresi
fraksional lebih dari 2%, hal ini disebabkan oleh penggunaan diuretik, sisplatin atau
aminoglikosida. Pada gangguan non-renal, ekskresi fraksional antara 0,5%-2.7% atau reratanya
1,4%. Pada pengeluaran renal berlebihan, ekskresi fraksional 15%.
Tatalaksana pasien dengan hipomagnesemia asimptomatik berupa preparat oral
menggunakan magnesium sulfat heptadirat atau magnesium oksida (250-500 mg empat kali
sehari), dapat juga melalui suntikan intramuskular (magnesium sulfat). Gejala klinis yang serius
seperti kejang dapat diberikan magnesium sulfat intravena 1-2 gram secara perlahan selama 1560 menit. Bila pasien memiliki gangguan fungsi ginjal, pemberian harus berhati-hati. Pada
pasien tetani atau aritmia ventrikel dapat diberikan 50 meq (600 mg) MgSO4 dalam 8-24 jam.
Walaupun tidak ada interaksi anestetik yang disebabkan oleh gangguan magnesium,
namun koeksistensi hipomagnesium atau hipermagnesium dengan gangguan kalium, fosfat, atau
kalsium dapat berbahaya dan perlu dikoreksi sebelum operasi. Hipomagnesium dapat
menyebabkan aritmia jantung yang dapat mempersulit jalannya operasi.
21
22
Dalam proses anestesi, pasien dengan hipermagnesemia perlu dilakukan monitoring ketat
pada mesin elektrokardiogram, tekanan darahnya, dan fungsi neuromuskular. Potensiasi dari
obat-obatan vasodilator dan inotropik negatif perlu dipertimbangkan dalam anestesi. Dosis
pelumpuh otot non-depolarisasi perlu dikurangi.
2.4.4. Hubungan Hipermagnesemia dengan Anestesi 6
Dalam proses anestesi, pasien dengan hipermagnesemia perlu dilakukan monitoring ketat
pada mesin elektrokardiogram, tekanan darahnya, dan fungsi neuromuskular. Potensiasi dari
obat-obatan vasodilator dan inotropik negatif perlu dipertimbangkan dalam anestesi. Dosis
pelumpuh otot non-depolarisasi perlu dikurangi.
2.5.
Fosfor 1,6
Fosfor penting dalam unsur intasel. Keberadaannya diperlukan untuk sintesis fosfolipid
dan fosfoprotein dalam membran sel dan organel intrasel, terlibat dalam sintesa protein dan
reproduksi, dan juga sebagai bahan pembentuk ATP. Terdapat dua bentuk fosfor di dalam tubuh
kita yaitu fosfor organik dan fosfor inorganik. Semua fosfor organik terdapat dalam fosfolipid
yang terikat dengan protein. Forfor inorganik, 90% dapat difilitrasi oleh glomerulus (ultrafiltrasi)
dan sisanya terikat dengan protein. Kebutuhan fosfor pada orang dewasa perharinya adalah 8001500 mg/hari, dimana 85% disimpan dalam tulang, 1% dalam cairan ekstraseluler serta sisanya
14% berada dalam intrasel. Kadar fosfor dalam darah orang dewasa adalah 2,5-4 mg/dl dan pada
anak 2,5-6 mg/dl. Terdapat hubungan terbalik antara kadar fosfor dan kalsium dalam darah, dan
hasil dari perkalian kedua kadar ini adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan fosfor darah
akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah. Peningkatan akut kadar kalsium darah tidak
segera diikuti penurunan fosfor darah sebelum ada perubahan fosfor dalam urin. Dalam keadaan
alkalosis dan hiperventilasi terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada keadaan asidosis.
Pemberian glukosa akan menurunkan kadar fosfor darah, oleh karena masuknya fosfor ke dalam
sel bersamaan dengan terjadinya fosforilasi glukosa.
Hormon paratiroid menghambat reabsorbsi fosfor di tubulus proksimal sehingga ekskresi
dalam urin meningkat. Hambatan ini melibatkan reseptor hormone paratiroid yang memediasi
23
pembentukan cAMP intrasel, inositol trifosfat, diasilgliserol, kalsium bebas sitosol dan aktifasi
protein kinase A dan C. Meningkatnya asupan fosfor melalui makanan akan meningkatkan
ekskresi fosfor, sebaliknya diet rendah fosfor akan mengurangi eksresi fosfor di urin.
2.5.1. Hipofosfatemia 1,6
Terdapat tiga hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah
antara lain :
1. Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke intrasel
- Meningkatnya sekresi insulin khususnya pada realimentasi. Pemberian insulin atau glukosa
pada orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya ketoasidosis diabetic, hiperglikemi non
ketotik, pada keadaan malnutrisi, dan pada pasien dengan realimentasi.
- Alkalosis respiratorik akut. Pada keadaan ini, CO2 dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga
menstimulus aktivitas fosforuktokinase yang kemudian meningkatkan glikolisis. Aktivitas ini
banyak menggunakan fosfor.
2. Absorbsi melalui usus berkurang
- Asupan fosfor rendah
- Penggunaan antasid yang mengandung aluminium dan magnesium
- Diare kronik, steatorhea
3. Ekskresi melalui urin meningkat
- Hiperparatiroidisme primer atau sekunder
- Defisiensi vitamin D atau resisten terhadap vitamin D
Gejala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul pada saat kadar fosfor darah
kurang dari 2 mg/dl dan gejala berat seperti rabdomiolisis baru timbul bila kadar fosfor kurang
dari 1 mg/dl. Gejala yang timbul seperti hiperkalsiuri yang terjadi karena hipofosfatemi yang
lama akan menghambat reabsorbsi kalsium dan magnesium dalam tubulus ginjal juga terhambat.
24
Hipofosfatemi dapat menimbulkan gejala miopati proksimal, disfagia dan ileus. Pada keadaan
akut dapat terjadi pelepasan fosfor dari otot dan menimbulkan rabdomiolisis. Hipofosfatemi juga
menyebabkan terjadinya pengurangan ATP sehingga terjadi hemolisis. Hemolisis terjadi bila
kadar fosfor kurang dari 0,5 mg/dl. Terjadi gangguan fungsi trombosit akibat hipofosfatemi yaitu
berupa gangguan retraksi bekuan dan trombisitopenia sehingga menimbulkan perdarahan
mukosa.
Pengobatan pada hipokalsemia tidak diberikan bila tidak ada indikasi yang kuat.
Umumnya pengobatan ditujukan kepada faktor etiologi timbulnya hipofosfatemia. Bila terdapat
kekurangan vitamin D sebanyak 400-800 IU per hari. Pemberian fosfor baru diberikan bila
timbul gejala atau pada keadaan gangguan tubulus sehingga terjadi pengeluaran fosfor
berlebihan melalui urin secara kronik. Lebih disukai memberikan fosfor per oral karena
pemberian secara intravena banyak menimbulkan efek samping seperti aritmia. Dosis per oral
sebesar 2,5 gram 3,5 gram per hari. Bila terpaksa pemberian dengan intravena, diberikan tidak
lebih dari 2,5 mg/kgBB selama 6 jam. Penelitian yang baru yang masih dalam evaluasi adalah
pemberian dipiridamol 75 mg satu kali sehari dapat meningkatkan kadar fosfor darah.
2.5.2. Hubungan Hipofosfatemia dengan Anestesi 6
Pengelolaan
anestesi
pada
pasien
dengan
hipofosfatemia
perlu
diperhatikan
2.5.3.
Hiperfosfatemia 1,6
Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan fosfor darah,
ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal
dalam eksresi fosfor :
25
- jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada sindrom lisis tumor, rabdomiolisis,
asidosis laktat, ketoasidosis, pemberian fosfor berlebihan.
- gangguan fungsi ginjal akut atau kronik
- reabsorbsi fosfor yang meningkat melalui tubulus pada hipoparatiroid
Terapi pada keadaan akut dengan disertai gejala hipokalsemia, dapat diberikan infuse
NaCl isotonis secara cepat yang akan meningkatkan eksresi fosfor urin. Dapat juga dilakukan
dengan memberikan asetazolamida (inhibitor karbonik anhidrase) 15 mg/kgBB setiap 4 jam.
Atau dapat juga dilakukan hemodialisis khususnya hiperfosfatemia pada gangguan fungsi ginjal.
Pada hiperfosfatemia kronik, yang biasanya terjadi pada gagal ginjal kronik atau pada familial
tumoral kalsinosis, pengobatan ditujukan untuk menekan absorbs melalui usus dengan
memberikan pengikat fosfat seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat.
2.5.4. Hubungan Hiperfosfatemia dengan Anestesi 6
Meskipun terdapat interaksi tertentu antara hiperfosfatemia dan anestesi tidak dijelaskan
secara umum, fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat. Hipokalsemia sekunder juga harus
dihindari.
26
BAB III
3.1. Kesimpulan
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang
bermuatan (ion) positif atau negatif. Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan
dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak
gangguan. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh
manusia adalah fungsi utama elektrolit dalam tubuh, seperti natrium (Na +), kalium (K+), kalsium
(Ca2+ Fosfor (P-) dan Magnesium (Mg2+). Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan
ekstrasel, kalium adalah kation terbanyak dalam cairan intrasel, kalsium adalah elemen biologis
esensial fungsional yang memiliki peran dalam banyak fungsi biologis manusia meliputi
kontraksi otot, release neurotransmitter dan hormon, koagulasi darah, dan metabolisme tulang,
magnesium adalah kation intraselular yang berfungsi sebagai kofaktor dari berbagai jalur kerja
enzim, fosfor adalah elektrolit intrasel yang berfungi dalam sintesa protein dan lemak, serta
pembentuk ATP.
Jumlah natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan fosfat dalam tubuh merupakan cermin
keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama melalui
ginjal. Gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium, fosfat, dan magnesium berupa hipodan hiper-. Hipo- terjadi bila konsentrasi elektrolit tersebut dalam tubuh turun dibawah nilai
normal dan hiper- bila konsentrasinya meningkat diatas normal. Selain itu dalam melakukan
tindakan anestesi juga perlu diperhatikan keseimbangan elektrolit dari pasien serta perlu adanya
pemantauan yang lebih hati-hati baik sebelum dilakukan operasi maupun dalam intraoperasi.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Wilson L.M, Keseimbangan Cairan dan Elektrolit serta Penilaiannya dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses proses Penyakit, Edisi ke-4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1995, hh. 283- 301.
2. Sacher R.A. dan Mcpherson R.A, Pengaturan Asam-Basa dan Elektrolit pada: Tinjauan
Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi kedua, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
2002, hh.320-340.
3. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S, Siregar P, Aniwidyaningsih W, dkk, Fisiologi
Keseimbangan Air dan Elektrolit dalam Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan AsamBasa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana, ed. ke-2, FK-UI, Jakarta, 2008, hh. 29114.
4. Matfin G. and Porth C.M, Disorders of Fluid and Electrolyte Balance In: Pathophysiology
Concepts of Altered Health States, 8th Edition, McGraw Hill Companies USA, 2009, pp. 761803.
5. Scott M.G., LeGrys, V.A. and Klutts J, Electrochemistry and Chemical Sensors and
Electrolytes and Blood Gases In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular
Diagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2006, pp. 93-1014.
6. Guyton A.C and Hall J.E, dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2008, hh. 307-400.
7. Siregar P, Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi ke-5, Interna publishing, Jakarta, 2009, hh. 175-189.
8. OCallaghan C, Sains Dasar Ginjal dan Gangguan Fungsi Metabolik Ginjal At a Glance
Sistem Ginjal, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009, hh. 22-68.
28