Tanda Tangan
.................................
Tanda Tangan
...........
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. L
Umur
: 23 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Status perkawinan
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Mahasiswi
Alamat
Dirawat di ruang
II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, tanggal 16 Maret 2016 pukul 17.40 WIB.
Keluhan utama:
Bibir mencong sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang untuk kontrol ke poli syaraf RS Panti Wilasa, saat ini keluhan yang
dirasakan pasien sudah berkurang dibandingkan pada saat pertama kali datang. Pada saat
pertama kali datang ke poli syaraf, pasien mengeluhkan bibir mencong sebelah kanan
sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengatakan bahwa sebelum kejadian pasien pergi ke Jepara menggunakan
mobil dan berada tepat di depan AC (Air Conditioner). Setibanya di Jepara pasien berada
di pantai dimana banyak angin-angin dan pasien juga terpapar angin hingga tengah malam.
Ketika besok pagi (sabtu pagi) pasien berkaca di cermin pasien merasa bibir mencong
ke kanan, dan semakin lama semakin berat sehingga pasien setiap kali ingin minum, air
selalu keluar.
Pasien juga mengaku pasien langsung ke IGD RS Kariadi untuk pertolongan pertama.
Pasien berada di RS Kariadi malam hari dan langsung mendapat obat Metil Prednison.
Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, pusing
berputar tidak ada, nyeri kepala tidak ada, mendengar bunyi berdenging tidak ada,
kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, tidak ada
kesulitan menelan, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh
pasien.
Riwayat pernah sakit berat yang disertai adanya gangguan kesadaran dan kejang di
sangkal, cedera kepala disangkal, konsumsi obat-obatan tertentu dan minum alkohol
disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit epilepsi, hipertensi, diabetes
mellitus, dan sakit jantung.
Riwayat Penyakit Dahulu:
-
Riwayat Hipertensi
: (-)
: (-)
: (-)
Riwayat Stroke
: (-)
Hipertiroid
1. Status Pasien
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4M6V5 = 15
TD
: 110/80 mmHg
Nadi
: 88x/menit
Pernafasan
: 19x/menit
Suhu
: 36.5 C
Kepala
: Normosefali, simetris
Mata
Tenggorokan
Leher
Dada
Paru
Jantung
Perut
Kelamin
: Tidak dilakukan
Ekstremitas
2. Status Psikis
Cara berpikir
: sesuai umur
Perasaan hati
Tingkah laku
Ingatan
: amnesia (-)
Kecerdasan
3. Status Neurologis
a) Kepala
Bentuk
: Normocephali
Nyeri tekan
: (-)
Simetris
: (+)
3
Pulsasi
: (-)
b) Leher
Sikap
: Simetris
Pergerakan
: Bebas
Kaku Kuduk
: (-)
II.
III.
Kanan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Kiri
Tidak adakelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Kanan
Terbuka
Kiri
Terbuka
3 mm
Bulat
Sentral
(+)
(+)
3 mm
Bulat
Sentral
(+)
(+)
langsung
IV.
Kiri
normal
normal
Pergerakan mata
(ke bawah-medial)
Melihat ganda
V.
(-)
(-)
Mengunyah
Menggigit
Refleks kornea
Sensibilitas
VI.
VII.
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Menurun
Kerutan (-)
Tidak bisa
sempurna
Rata
Jatuh
Lemah
Tertinggal
Tidak bisa
Tidak dilakukan
depan
VIII.
IX.
X.
Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Simetris
Tidak ada kelainan
5
Bicara
XI.
XII.
Kiri
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
Eutrofi
Eutrofi
:-
Laseque
:-
Kernig
:-
Brudzinski I
:-
Brudzinksi II
:-
Motorik
i. Respirasi: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
ii. Duduk : Tidak ada kelainan
iii. Bentuk columna verterbralis : Tidak ada kelainan
iv. Pergerakan columna vertebralis
b. Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Thermi
: Tidak dilakukan
Diskriminasi
c. Refleks
Refleks kulit perut atas
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
6
: Tidak dilakukan
Refleks kremaster
: Tidak dilakukan
b.
c.
Motorik
Kanan
Kiri
Pergerakan
Baik
Baik
Kekuatan
5-5-5
5-5-5
Tonus
normotoni
normotoni
Atrofi
(-)
(-)
Kanan
Kiri
Taktil
Nyeri
Thermi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Diskriminasi
Sensibilitas
Refleks
Kanan
Kiri
Biceps
Triceps
Brachioradialis
Hoffman-trommer
b. Sensibilitas
c. Refleks
Kanan
Kiri
Pergerakan
Kekuatan
5-5-5
5-5-5-5
Tonus
normotoni
normotoni
Atrofi
(-)
(-)
Kanan
Kiri
Taktil
Nyeri
Thermi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Diskriminasi
kanan
kiri
Patella
Achilles
Babinski
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
7
Rossolimo
(-)
(-)
Mendel-Bechterew
(-)
(-)
Schaefer
(-)
(-)
Oppenheim
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Klonus kaki
(-)
(-)
Cara berjalan
Test Romberg
Disdiadokokinesia
:-
Ataksia
: Tidak dilakukan
Rebound phenomenon
: Tidak dilakukan
Dismetria
:-
Nistagmus test
:-
g) Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor
: (-)
Miokloni
: (-)
Khorea
: (-)
h) Alat Vegetatif
Miksi
Defekasi
Wanita, 23 tahun, datang untuk kontrol, saat ini keluhan yang dirasakan pasien sudah
berkurang dibandingkan pada saat pertama kali datang. Pada saat pertama kali datang ke
poli syaraf, pasien mengeluhkan bibir mencong ke kanan.
Pasien mengatakan bahwa sebelum kejadian pasien pergi ke Jepara menggunakan
mobil dan berada tepat di depan AC (Air Conditioner). Setibanya di Jepara pasien berada
di pantai dimana banyak angin-angin dan pasien juga terpapar angin hingga tengah malam.
Objektif :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4M6V5 = 15
TD
: 110/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Pernafasan
: 19 x/menit
Suhu
: 36.5 C
Pada pemeriksaan neurologis lainnya didapatkan kelainan pada nervus VII (Nervus
Facialis), anggota gerak atas-bawah pergerakan (+) baik, kekuatan (5), tonus otot (+),
atrofi (-), sensibilitas tidak ada kelainan, reflex fisiologis (+), reflex patologis (-), tes
koordinasi keseimbangan dan gerakan abnormal tidak ada kelainan.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologi
: Idiopatik
Diagnosis topis
VIII. PENATALAKSANAAN
Non-Medika Mentosa
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan yang diberikan.
Kompres air hangat pada bagian yang sakit +/- 20 menit
9
Prednison 80 mg
S 1 dd tab 1 p.o selama 5 hari (tappering off)
Methycobalamin 500 mg
S 1 dd tab 1
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam
: Dubia ad bonam
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF
RS PANTI WILASA DR. CIPTO
Periode: 14 Maret 16 April 2016
REFERAT
BELLS PALSY
Pembimbing :
10
11.2015.046
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
OKTOBER 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas referat yang
berjudul Bells Palsy. Referat ini merupakan tugas yang wajib dilaksanakan sebagai syarat
lulus selama menjalani kepaniteraan klinis di RS Panti Wilasa dr.Cipto, Semarang. Referat
ini membahas tentang diagnosis dan penatalaksanaan Bells Palsy.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada konsulen
kami yang telah memberikan pelajaran yang tak ternilai. Terimakasih kepada dr. Endang K,
Sp.S (K), Msi. Med atas bimbingannya dalam pembuatan referat ini. Terimakasih tak
terhingga juga kepada konsulen ilmu penyakit saraf yang lainnya dan teman-teman yang telah
memberikan kerjasama dan dukungan selama pembuatan referat yang berjudul Bells Palsy
ini.
Penulis menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat maupun kurang berkenan di
hati para pembaca, dan penulis juga membuka hati bagi saran dan masukan yang membangun
dari pembaca. Akhir kata, semoga makalah referat yang penulis susun dapat memberikan
manfaat yang berguna bagi pembaca sekalian.
11
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I: Pendahuluan
BAB II: Pembahasan
Anatomi
Fisiologi
Bells Palsy: Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Manifestasi Klinis
Patofisiologi
Diagnosis
Penatalaksanaan
Komplikasi
Prognosis
BAB III: Penutup
12
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial
idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,
meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy
merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang.
Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan
usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15
tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1
13
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun
pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.
Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells
palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga
dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara
lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot
wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi
iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa
gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur,
gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat
menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.1
Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan lahir (kongenital),
neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling
sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah Bells palsy. Bells
palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.1
2.2. Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
14
15
16
Gambaran
patologi
dan
mikroskopis
menunjukkan
proses
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunteer
maupun involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering
merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada stroke dan lesi-butuhruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna,
thalamus, mesensefalon, dan pons diatas inti nervus VII. Dalam hal demikian
pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklir pada
kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.2
2.6. Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan tampak seluruh muka sisi yang sakit
akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.4
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.4
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis
fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.4
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.4
18
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis.
19
2.7. Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata
dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.
(4)
Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
20
memejamkan matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan matanya pada
sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tidak dapat
memejamkan matanya satu persatu.2
Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan
bibir, menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah
ada asimetri. Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul. Penderita yang
tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada
penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanya diberikan rangsang
nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m. masseter).2
Fungsi pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk
memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada
lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran
dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya
kedalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui
ludah ke bagian lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan pengecapan yang
dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk
rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major
dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, an lesi khorda timpani dapat
menyebabkan kurangnya produksi ludah.2
Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain
itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.3
2.8. Diagnosa Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
22
gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral;
kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau
riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat
fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma
sebelumnya.3
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif
dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre
saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika
terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan
otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai
kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di
wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.3
2.9. Penatalaksanaan
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).3 Masase dari otot yang
lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat
gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang
berat dalam 14 hari onset.3
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan
setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun,
diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan
valasiklovir tanpa terapi fisik.3 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.3
23
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik
inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang
pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah
dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut
mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile
tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang
salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi
makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).3
2.11. Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam
3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat
rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks
stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.3
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.3
Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis,
House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur
keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bells palsy. 4
26
Kesimpulan
Bells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat
perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab
kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi
perdebatan dalam tata laksana.3
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik : pemeriksaan fisik dan mental. Edisi 18.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. h. 55-7
3. Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J Indon Med Assoc,
Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 37
4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral
nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victors Principles
of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
5. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck Surg.
1985; 93: 146-7.
28