Anda di halaman 1dari 28

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk - Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO, SEMARANG

Nama : Nanda Tri Yulisa Putri R.


NIM : 11.2015.046
Dr. Pembimbing : dr. Endang K, Sp.S (K), Msi. Med

Tanda Tangan
.................................
Tanda Tangan
...........

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn. L

Umur

: 23 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Status perkawinan

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Mahasiswi

Alamat

: Karang Gawang Barat

Dirawat di ruang

: Poli Rawat Jalan

II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, tanggal 16 Maret 2016 pukul 17.40 WIB.
Keluhan utama:
Bibir mencong sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang untuk kontrol ke poli syaraf RS Panti Wilasa, saat ini keluhan yang
dirasakan pasien sudah berkurang dibandingkan pada saat pertama kali datang. Pada saat

pertama kali datang ke poli syaraf, pasien mengeluhkan bibir mencong sebelah kanan
sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengatakan bahwa sebelum kejadian pasien pergi ke Jepara menggunakan
mobil dan berada tepat di depan AC (Air Conditioner). Setibanya di Jepara pasien berada
di pantai dimana banyak angin-angin dan pasien juga terpapar angin hingga tengah malam.
Ketika besok pagi (sabtu pagi) pasien berkaca di cermin pasien merasa bibir mencong
ke kanan, dan semakin lama semakin berat sehingga pasien setiap kali ingin minum, air
selalu keluar.
Pasien juga mengaku pasien langsung ke IGD RS Kariadi untuk pertolongan pertama.
Pasien berada di RS Kariadi malam hari dan langsung mendapat obat Metil Prednison.
Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, pusing
berputar tidak ada, nyeri kepala tidak ada, mendengar bunyi berdenging tidak ada,
kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, tidak ada
kesulitan menelan, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh
pasien.
Riwayat pernah sakit berat yang disertai adanya gangguan kesadaran dan kejang di
sangkal, cedera kepala disangkal, konsumsi obat-obatan tertentu dan minum alkohol
disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit epilepsi, hipertensi, diabetes
mellitus, dan sakit jantung.
Riwayat Penyakit Dahulu:
-

Riwayat Hipertensi

: (-)

Riwayat Diabetes Mellitus

: (-)

Riwayat Penyakit Jantung

: (-)

Riwayat Stroke

: (-)

Hipertiroid

: (+) 2 tahun yang lalu

Belum pernah sakit seperti ini.

Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi:


Keadaan sosial ekonomi pasien menengah-kebawah, biaya berobat menggunakan BPJS.
Tidak ada riwayat gangguan kepribadian. Pasien makan teratur 3 kali sehari, tidak minum
alkohol.
III. OBJEKTIF
2

1. Status Pasien
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4M6V5 = 15

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 88x/menit

Pernafasan

: 19x/menit

Suhu

: 36.5 C

Kepala

: Normosefali, simetris

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Pupil isokor, diameter 3mm
Bola mata simetris kanan dan kiri,
Refleks cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+

Tenggorokan

: Tidak hiperemis, uvula di tengah, tonsil T1-T1

Leher

: Simetris, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Dada

: Simetris, deformitas (-)

Paru

: Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-) , ronkhi (-/-)

Jantung

: BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)

Perut

: Datar, supel, BU (+) normal, nyeri tekan epigastrum (-),hepar,


dan lientidak teraba membesar

Kelamin

: Tidak dilakukan

Ekstremitas

: Akral hangat (+/+), edema (-/-)

2. Status Psikis
Cara berpikir

: sesuai umur

Perasaan hati

: tidak bisa dinilai

Tingkah laku

: wajar, pasien sadar

Ingatan

: amnesia (-)

Kecerdasan

: tidak bisa dinilai

3. Status Neurologis
a) Kepala
Bentuk

: Normocephali

Nyeri tekan

: (-)

Simetris

: (+)
3

Pulsasi

: (-)

b) Leher
Sikap

: Simetris

Pergerakan

: Bebas

Kaku Kuduk

: (-)

c) Pemeriksaan Saraf Kranialis


I.

Nervus Olfaktorius (N. I)


Penciuman

II.

: Tidak ada kelainan

Nervus Optikus (N. II)


Tajam penglihatan
Pengenalan warna
Lapang pandang
Fundus okuli

III.

Kanan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan

Kiri
Tidak adakelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan

Nervus Okulomotorius (N. III)


Kelopak mata
Gerakan mata:
Superior
Inferior
Medial
Enoftalmus
Eksoftalmus
Pupil:
Diameter
Bentuk
Posisi
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tak

Kanan
Terbuka

Kiri
Terbuka

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada

3 mm
Bulat
Sentral
(+)
(+)

3 mm
Bulat
Sentral
(+)
(+)

langsung
IV.

Nervus Trochlearis (N. IV)


Kanan

Kiri

normal

normal

Pergerakan mata
(ke bawah-medial)
Melihat ganda
V.

(-)

(-)

Nervus Trigeminus (N. V)


Membuka mulut

Tidak ada kelainan


4

Mengunyah
Menggigit
Refleks kornea
Sensibilitas
VI.

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Nervus Abducens (N. VI)


Gerak mata ke lateral
Melihat kembar

VII.

Kanan

Kiri

Tidak ada kelainan


Tidak ada

Tidak ada kelainan


Tidak ada

Kanan

Kiri

Nervus Facialis (N. VII)


Mengerutkan dahi
Kerutan kulit dahi
Menutup mata
Lipatan nasolabial
Sudut mulut
Menggembungkan pipi
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Perasaan lidah bagian 2/3

Menurun
Kerutan (-)
Tidak bisa

Tidak ada kelainan


Kerutan (+)
Tidak ada kelainan

sempurna
Rata
Jatuh
Lemah
Tertinggal
Tidak bisa
Tidak dilakukan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak bias
Tidak dilakukan

depan

VIII.

Nervus Vestibulochoclearis (N. VIII)


Kanan
Mendengar suara berbisik
Test Rinne
Test Weber
Test Shwabach

IX.

Tidak ada kelainan


Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Nervus Glossofarigeus (N. IX)


Faring
Daya mengecap 1/3 belakang
Refleks muntah
Sensibilitas

X.

Tidak ada kelainan


Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Nervus Vagus (N. X)


Arkus faring
Menelan

Simetris
Tidak ada kelainan
5

Bicara
XI.

Tidak ada kelainan

Nervus Accesorius (N. XI)


Kanan

XII.

Kiri

Mengangkat bahu

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Memalingkan kepala

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tropi otot bahu

Eutrofi

Eutrofi

Nervus Hypoglossus (N. XII)


Pergerakan lidah
Julur lidah
Tremor

Tidak ada kelainan


Tidak ada deviasi
Tidak ada tremor

d) Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk

:-

Laseque

:-

Kernig

:-

Brudzinski I

:-

Brudzinksi II

:-

e) Badan dan Anggota Gerak


1) Badan
a.

Motorik
i. Respirasi: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
ii. Duduk : Tidak ada kelainan
iii. Bentuk columna verterbralis : Tidak ada kelainan
iv. Pergerakan columna vertebralis

: Tidak ada kelainan

b. Sensibilitas
Taktil

: Tidak ada kelainan

Nyeri

: Tidak ada kelainan

Thermi

: Tidak dilakukan

Diskriminasi

: Tidak ada kelainan

c. Refleks
Refleks kulit perut atas

: Tidak dilakukan

Refleks kulit perut bawah

: Tidak dilakukan
6

Refleks kulit perut tengah

: Tidak dilakukan

Refleks kremaster

: Tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas


a.

b.

c.

Motorik

Kanan

Kiri

Pergerakan

Baik

Baik

Kekuatan

5-5-5

5-5-5

Tonus

normotoni

normotoni

Atrofi

(-)

(-)

Kanan

Kiri

Taktil

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Nyeri

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Thermi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Diskriminasi

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Sensibilitas

Refleks

Kanan

Kiri

Biceps

Triceps

Brachioradialis

Hoffman-trommer

3. Anggota gerak bawah


a. Motorik

b. Sensibilitas

c. Refleks

Kanan

Kiri

Pergerakan

Kekuatan

5-5-5

5-5-5-5

Tonus

normotoni

normotoni

Atrofi

(-)

(-)

Kanan

Kiri

Taktil

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Nyeri

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Thermi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Diskriminasi

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

kanan

kiri

Patella

Achilles

Babinski

(-)

(-)

Chaddock

(-)

(-)
7

Rossolimo

(-)

(-)

Mendel-Bechterew

(-)

(-)

Schaefer

(-)

(-)

Oppenheim

(-)

(-)

Gordon

(-)

(-)

Klonus kaki

(-)

(-)

f) Koordinasi, Gait dan Keseimbangan

Cara berjalan

: Tidak ada kelainan

Test Romberg

: Tidak ada kelainan

Disdiadokokinesia

:-

Ataksia

: Tidak dilakukan

Rebound phenomenon

: Tidak dilakukan

Dismetria

:-

Nistagmus test

:-

g) Gerakan-gerakan Abnormal

Tremor

: (-)

Miokloni

: (-)

Khorea

: (-)

h) Alat Vegetatif

Miksi

: Retensio Urine (-)

Defekasi

: Tidak ada kelainan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a) CT SCAN
b) MRI
IV. RESUME
Subjektif :

Wanita, 23 tahun, datang untuk kontrol, saat ini keluhan yang dirasakan pasien sudah
berkurang dibandingkan pada saat pertama kali datang. Pada saat pertama kali datang ke
poli syaraf, pasien mengeluhkan bibir mencong ke kanan.
Pasien mengatakan bahwa sebelum kejadian pasien pergi ke Jepara menggunakan
mobil dan berada tepat di depan AC (Air Conditioner). Setibanya di Jepara pasien berada
di pantai dimana banyak angin-angin dan pasien juga terpapar angin hingga tengah malam.
Objektif :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4M6V5 = 15

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Pernafasan

: 19 x/menit

Suhu

: 36.5 C

Pada pemeriksaan neurologis lainnya didapatkan kelainan pada nervus VII (Nervus
Facialis), anggota gerak atas-bawah pergerakan (+) baik, kekuatan (5), tonus otot (+),
atrofi (-), sensibilitas tidak ada kelainan, reflex fisiologis (+), reflex patologis (-), tes
koordinasi keseimbangan dan gerakan abnormal tidak ada kelainan.
VI. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis

: Paralisis N.VII perifer dextra

Diagnosis etiologi

: Idiopatik

Diagnosis topis

: N.VII perifer dibawah ganglion geniculatum.

VII. DIAGNOSA BANDING

Stroke Non Haemoragic

Ramsay Hunt Syndrome

VIII. PENATALAKSANAAN
Non-Medika Mentosa
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan yang diberikan.
Kompres air hangat pada bagian yang sakit +/- 20 menit
9

Massage wajah kearah atas.


Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi.
Mata ditutup saat tidur
Medika Mentosa

Prednison 80 mg
S 1 dd tab 1 p.o selama 5 hari (tappering off)

Methycobalamin 500 mg
S 1 dd tab 1

IX. PROGNOSIS
Ad Vitam

: Dubia ad bonam

Ad Fungtionam : Dubia ad bonam


Ad Sanationam : Dubia ad bonam

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF
RS PANTI WILASA DR. CIPTO
Periode: 14 Maret 16 April 2016

REFERAT
BELLS PALSY
Pembimbing :

10

dr. Endang K, Sp.S (K), Msi. Med


Disusun oleh:
Nanda Tri Yulisa Putri R.

11.2015.046

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
OKTOBER 2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas referat yang
berjudul Bells Palsy. Referat ini merupakan tugas yang wajib dilaksanakan sebagai syarat
lulus selama menjalani kepaniteraan klinis di RS Panti Wilasa dr.Cipto, Semarang. Referat
ini membahas tentang diagnosis dan penatalaksanaan Bells Palsy.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada konsulen
kami yang telah memberikan pelajaran yang tak ternilai. Terimakasih kepada dr. Endang K,
Sp.S (K), Msi. Med atas bimbingannya dalam pembuatan referat ini. Terimakasih tak
terhingga juga kepada konsulen ilmu penyakit saraf yang lainnya dan teman-teman yang telah
memberikan kerjasama dan dukungan selama pembuatan referat yang berjudul Bells Palsy
ini.
Penulis menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat maupun kurang berkenan di
hati para pembaca, dan penulis juga membuka hati bagi saran dan masukan yang membangun
dari pembaca. Akhir kata, semoga makalah referat yang penulis susun dapat memberikan
manfaat yang berguna bagi pembaca sekalian.
11

Semarang, 21 Maret 2016

Tim Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I: Pendahuluan
BAB II: Pembahasan
Anatomi
Fisiologi
Bells Palsy: Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Manifestasi Klinis
Patofisiologi
Diagnosis
Penatalaksanaan
Komplikasi
Prognosis
BAB III: Penutup
12

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial
idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,
meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy
merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang.
Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan
usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15
tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1

13

Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun
pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.
Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells
palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga
dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara
lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot
wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi
iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa
gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur,
gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat
menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.1
Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan lahir (kongenital),
neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling
sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah Bells palsy. Bells
palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.1
2.2. Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
14

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator


palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.2
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.2
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.2
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.2
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
ekspresi wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan
pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu
masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus
fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi
kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.2
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens,
dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel
IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi
infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus
akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior
vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang
disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

15

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion


genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan
ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari
kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan
terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus,
platisma dan m. digastrikus venter posterior.
2.3. Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan
insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden
Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah
sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy
mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita
muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 15-50 tahun. 4
2.4. Etiologi

16

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells


palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori
virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al
mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum
seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells
palsy.3
Murakami et al menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam
cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bells
palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat.
Murakami et al menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang
menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut
kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan
adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat
diadopsi.

Gambaran

patologi

dan

mikroskopis

menunjukkan

proses

demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.3


2.5. Patofisiologi
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada
gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi tidak
lumpuh; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII perifer
(gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh
dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi
ludah yang berjalan bersama saraf fasialis.2
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan
dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas
mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan
sesisi pada upper motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau
korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian
bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis,
mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral); tetapi ia kurang dapat
megangkat sudut mulut (meyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang
lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa
secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.2
17

Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunteer
maupun involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering
merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada stroke dan lesi-butuhruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna,
thalamus, mesensefalon, dan pons diatas inti nervus VII. Dalam hal demikian
pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklir pada
kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.2
2.6. Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan tampak seluruh muka sisi yang sakit
akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.4
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.4
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis
fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.4
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.4

18

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis.

19

2.7. Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata
dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.
(4)

Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.

20

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,


empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
Pemeriksaan fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab
lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi
wajah.2 Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang
terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang
terkena memutar ke atas. 3
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka
suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat
sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain,
motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.3
Fungsi motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris
atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut
mulut. Bila asimetri dari muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis
perifer. Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika
nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis
sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila
penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.2
Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi. Perhatikan
apakah hal ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada kelumpuhan jenis
supranuklir sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya, sebab
otot-otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis perifer terlihat
adanya asimetri.2
Suruh penderita memejamkan mata. Bila lumpuhnya berat, maka penderita
tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman kurang
kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien
21

memejamkan matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan matanya pada
sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tidak dapat
memejamkan matanya satu persatu.2
Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan
bibir, menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah
ada asimetri. Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul. Penderita yang
tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada
penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanya diberikan rangsang
nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m. masseter).2
Fungsi pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk
memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada
lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran
dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya
kedalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui
ludah ke bagian lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan pengecapan yang
dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk
rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major
dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, an lesi khorda timpani dapat
menyebabkan kurangnya produksi ludah.2
Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain
itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.3
2.8. Diagnosa Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
22

gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral;
kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau
riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat
fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma
sebelumnya.3
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif
dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre
saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika
terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan
otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai
kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di
wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.3
2.9. Penatalaksanaan
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).3 Masase dari otot yang
lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat
gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang
berat dalam 14 hari onset.3
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan
setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun,
diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan
valasiklovir tanpa terapi fisik.3 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.3
23

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat


saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang
digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot
wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback
visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.3
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien
dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit
gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca
seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada
bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.3
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan
kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi
yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,
reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi
yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.3
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,
pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan
ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit
atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan
kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop
atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.3
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin
dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.
Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
24

dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.3 Dosis pemberian prednison


(maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per
hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. 3 Efek toksik dan hal
yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.3
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat
antivirus digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif
dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan
bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/
valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.
Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison
memiliki hasil yang lebih baik. Almeida et al menemukan bahwa kombinasi antivirus
dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih
besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi
antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.3
Namun, hasil analisis Cochrane pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145
pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral
dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya
keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus
dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
keuntungan penggunaan terapi Bells Palsy.3
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima
kali pemberian selama 7-10 hari.3
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali
selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus,
namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.3
2.10. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat
yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells
palsy, adalah3(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
25

menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik
inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang
pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah
dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut
mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile
tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang
salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi
makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).3
2.11. Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam
3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat
rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks
stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.3
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.3
Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis,
House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur
keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bells palsy. 4

26

Kesimpulan
Bells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat
perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab
kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi
perdebatan dalam tata laksana.3

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik : pemeriksaan fisik dan mental. Edisi 18.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. h. 55-7
3. Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J Indon Med Assoc,
Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 37
4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral
nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victors Principles
of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
5. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck Surg.
1985; 93: 146-7.

28

Anda mungkin juga menyukai