Manajemen Gagal Napas Akut
Manajemen Gagal Napas Akut
Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis, dengan
konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan
terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel,
dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi fisiologis normal.
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama beraktivitas pada
penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah
ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan
efektif perlu pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis
pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.
Manfaat Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan meminimalkan
asidosis respiratorik.
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan
konsentrasi oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat meningkatkan
kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas latihan,
kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi
neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.
Indikasi Terapi Oksigen
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (Short-term oxygen therapy) atau
terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen therapy).
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.
Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma
bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera
diberikan secara adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap
dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping.
Bila diperlukan, oksigen harus diberi secara terus-menerus.
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat rekomendasi dari The
American College of Chest Physicians dan The National Heart, Lung, and Blood Institute (tabel
4).
Tabel 4. Indikasi Akut Terapi Oksigen
Indikasi yang sudah direkomendasi :
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Cardiac arrest dan respiratory arrest
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18 mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak nafas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina
Terapi Oksigen Jangka Panjang
Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka panjang. Pasien dengan
PPOK merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen jangka panjang.
Studi awal pada terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa
pemberian oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan hematokrit, memperbaiki
toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka panjang dapat
meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun. Angka kematian menurun pada pasien
dengan hipoksemia kronis apabila oksigen diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat
survival lebih besar telah ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat
memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang,
maka direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen <
88%) oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan PaO 2 56-59
mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi
oksigen jangka panjang.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi rendah (FiO 2 24-28%)
dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan
mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi
yang diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami gagal nafas tipe II (peningkatan
karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup) akan dapat
mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasiperfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO 2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang
berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan untuk
menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi
oksigen. Hingga 40% pasien yang mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan
dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.
Berikut ini adalah indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah direkomendasi :
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen secara kontinyu :
PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu keadaan :
o Edema yang disebabkan karena CHF
o P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead II, III, aVF
Eritrositoma (hematokrit > 56%)
PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
Selama latihan : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
Selama tidur : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88% dengan
Pencapaian terapi
- PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
Adanya
pulmonal
pada
Nocturnal hypoxemia
saat tidur
Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama dispneu, tetapi
dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak mempunyai hipoksia kronik.
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat
1.
Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam trakea.
Oksigen transtrakea dapat meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan oksigen secara kontinyu
selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi,
dengan oksigen transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%. Keuntungan dari
pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada
iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-96%. Kerugian dari
penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan resiko infeksi lokal. Komplikasi yang
biasa terjadi pada pemberian oksigen transtrakea ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme,
dan batuk paroksismal. Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang dapat
mengakibatkan fatal.
2.
Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada hypoxic drive untuk
mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat mengurangi drive ini.
Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara
2.
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik (Sue dan Bongard, 2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1
di atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke
hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari
turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif.
Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage
postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator
(Muhardi, 1989)
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik). Obat-obat ini lebih efektif
bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral,
karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga
dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah
agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan
frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang
tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik (Sue dan
Bongard, 2003).
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik
tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana
tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI
(metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti
takikardia, palpitasi, dan retensi urin (Sue dan Bongard, 2003).
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta
adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik
(cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan
aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang
lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang (Sue dan Bongard,
2003).
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas
tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan
setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada
gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non
depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning (Sue dan Bongard, 2003).
Ekspektoran dan nukleonik. Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume
atau karateristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti
kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat
mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit
(3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan
sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue
dan Bongard, 2003).
Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.