Gagal Jantung Kronik
Gagal Jantung Kronik
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan
atau didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau
mengeluarkan darah (Braunwald, 2007).
Menurut National Heart Lung and Blood Institute insidensi penyakit gagal
jantung semakin meningkat setiap tahun dan rata-rata 5 juta penduduk United States
menderita gagal jantung. Penyakit gagal jantung adalah punca hospitalisasi yang
utama dikalangan pasien U.S yang berumur lebih daripada 65 tahun dan
menyebabkan lebih kurang 300,000 kematian dalam setahun (Goldberg, 2010).
Walaupun perbaikan dalam terapi, angka kematian pada pasien dengan gagal jantung
tetap sangat tinggi. Pembaruan 2010 dari American Heart Association (AHA)
memperkirakan bahwa terdapat 5,8 juta orang dengan gagal jantung di Amerika
Serikat pada tahun 2006 dan juga terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di
seluruh dunia (Ramachandran, 2010).
2.1.2
Gejala
Kelas I (Mild)
Tidak ada gejala pada setiap tingkat tenaga dan tidak ada
Kelas III
(Moderate)
Kelas IV (berat)
Kriteria Minor:
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia(>120/menit)
2.1.3
Etiologi
Gagal jantung kronis (CHF) disebabkan oleh penyakit lain atau kondisi yang
merusak atau kebanyakan kerja otot jantung. Seiring waktu, otot jantung melemah
dan tidak mampu memompa darah yang seharusnya. Gagal jantung kronis yang
terkemuka adalah:
Penyakit
( hipertensi )
Diabetes
PENYEBAB LAIN
Kondisi-kondisi lain dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan gagal jantung
kronis meliputi:
a) Kardiomiopati (penyakit dari otot jantung)
b) Penyakit katup jantung
c) Abnormal detak jantung atau aritmia
d) Bawaan penyakit jantung
e) Pengobatan untuk kanker, seperti radiasi dan obat kemoterapi tertentu
f) Gangguan tiroid
g) Penyalahgunaan alkohol
h) HIV / AIDS
i) Kokain dan penggunaan narkoba ilegal lain
2.1.4
2.
Orthopnea
a) Dispnea ketika berbaring; bantuan dengan tegak duduk atau
menggunakan beberapa bantal
b) Batuk nokturnal
3.
4.
Respirasi Cheyne-Stokes
a) Respirasi respirasi periodik atau siklik
b) Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan
output jantung yang rendah
c) Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat.
5.
6.
Gejala Gastrointestinal
a) Anoreksia
b) Mual
Gejala Cerebral
a) Status mental berubah karena perfusi serebral berkurang
8.
Kebingungan
Disorientasi
Kesulitan berkonsentrasi
Gangguan memori
Sakit kepala
Insomnia
Kegelisahan
Mood swing
Nokturia
impuls
maksimum
(PMI)
dapat
dipindahkan
dan
2.1.5
Patofisiologi
2.1.6
Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema
tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung
(cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona
atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.
Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru
yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi
pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai
pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi
atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang
normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan
risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum
kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal,
penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300pg/ml.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventriculography dapat mengetahui
fraksi ejeksi, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari
pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal
jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung
kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. (Mariyono HH,
2007)
2.1.7
Komplikasi
2.2 Anemia
2.2.1
Definisi
Anemia adalah keadaan dimana serum kadar hemoglobin atau hematokrit
kurang dari nilai yang diharapkan untuk usia dan mengikut seks yang normal.
Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Laki-laki dewasa
a)
b)
2.2.2
Derajat Anemia
Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO
1. Ringan sekali Hb 10,00 g / dL -13,00 g / dL
Klasifikasi Anemia
Contoh
Kehilangan darah
Akut
Perdarahan GI
Luka-luka
Persalinan
Operasi
Kronis
Kekurangan eritropoiesis *
Mikrositik
Defisiensi besi
Transportasi kekurangan zat besi
Besi pemanfaatan cacat
Besi pemanfaatan kembali cacat
Thalassemia (juga
diklasifikasikan dalam hemolisis
berlebihan karena cacat intrinsik
RBC)
Normokromik-normositik
Anemia aplastik
Hypoproliferation
Dalam penyakit ginjal
Pada gagal endokrin (tiroid,
hipofisis)
Dalam deplesi protein
Myelodysplasia
Myelophthisis
Makrositik
Defisiensi tembaga
Folat kekurangan
Kekurangan vitamin B 12
Kekurangan vitamin C
Hipersplenisme
dengan splenomegali
Kelainan imunologi
Hemolisis autoimun
Dingin antibodi hemolisis
(hemoglobinuria dingin
paroksismal)
Warm antibodi hemolisis
Isoimmune (isoagglutinin)
hemolisis
Mekanik cedera
Infeksi
Trauma
Membran perubahan,
mengakuisisi
Hypophosphatemia
Paroksismal nokturnal
hemoglobinuria
Stomatocytosis
Herediter elliptocytosis
Herediter spherocytosis
Gangguan metabolism
(kekurangan enzim)
Defisiensi G6PD
Hemoglobinopathies
Hb C penyakit
Penyakit Hb E
Hb SC penyakit
Hb S--penyakit talasemia
Penyakit sel sabit (Hb S)
Thalassemia (, - , dan )
Tabel 2.2
(Lichtin, 2008)
2.3
2.3.1
Epidemiologi
Anemia adalah umum pada pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) dengan
kejadian berkisar antara 4% sampai 55% tergantung pada populasi diteliti. Beberapa
studi telah menyoroti bahwa prevalensi anemia meningkat dengan memburuknya
gagal jantung seperti tercermin dari klasifikasi New York Heart Association (Sandhu
et al, 2010). Anemia paling sering pada pasien dengan klasifikasi NHYA kelas III
atau kelas IV dan pasien gangguan ginjal (Murphy, 2008).
Pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) memiliki masalah anemia, penurunan
jumlah sel darah merah (RBC), komponen darah yang membawa oksigen (Romeo et
al, 2010).
2.3.2
faktor seperti; hemodilusi, kerugian besi dari obat anti-platelet, aktivasi dari kaskade
inflamasi, kerugian urin erythropoietin dan insufisiensi ginjal terkait (Sandhu et al,
2010). Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitor) yang dipreskripsi
pada pasien gagal jantung juga berkaitan dengan kekurangan hemoglobin melalui
supresi produksi eritropoietin. Selain itu, sitokin proinflamasi seperti interleukin-1
dan -6 dan juga tumor nekrosis faktor-a dapat elevasi pada gagal jantung yang kronis
dimana dapat menyebabkan pengurangan eritropoietin (Murphy, 2008). Bahkan,
seperti tingkat keparahan CHF berlangsung, temuan kenaikan anemia, dan anemia
berat karena sebab apapun bisa memperburuk CHF (Romeo et al, 2010).
2.3.3
Peningkatan
inflamasi
\
(interleukin 6,
tumor necrosis
factor alpha)
Peningkatan
volume
Kurang perfusi
Reninangiotensin
sistem
activation
SUMSUM
TULANG
GINJAL
Peningkatan
atau kekurangan
produksi EPO
Kurang sekresi
erythropoietin
(EPO)
TERAPI
ACEINHIBITOR
HEMODILUSI
Kekurangan
precursor
eritroid
Kurang efek
EPO
ANEMIA
dan di makrofag dan bertanggung jawab untuk pelepasan besi dari kedua jenis
sel ke dalam darah. Karena itu, jika ferroportin ini dihambat, zat besi tidak
diserap dari usus dan tidak dibebaskan dari penyimpanan dalam makrofag.
Hasilnya adalah zat besi serum rendah dan penurunan pengiriman besi ke
sumsum tulang, sehingga menyebabkan anemia kekurangan zat besi.
3. Penggunaan ACE inhibitor dan angiotensin reseptor blockers, yang keduanya
dapat menyebabkan penurunan aktivitas EPO dalam sumsum tulang karena
angiotensin adalah stimulator dari erythropoiesis. ACE inhibitor juga
meningkatkan tingkat erythropoietic inhibitor dalam darah, menghambat
eritropoiesis lebih lanjut.
4. Diabetes di mana sel-sel yang memproduksi EPO di ginjal dapat rusak dini
oleh glikosolasi.
5. Hemodilusi.
6. Masalah gastrointestinal seperti pendarahan dari aspirin, tumor ganas, polip
atau esophagitis, atau penyerapan zat besi berkurang akibat gastritis atrofi.
(Iyengar dan Abraham, 2005)