Anda di halaman 1dari 28

RENCANA KEGIATAN MINGGUAN

LAPORAN INDIVIDU
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Medikal di Ruang RS

Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
150070300011008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
Rencana Kegiatan Mingguan
(RKM)

Departemen
Wahyu Lestari
Periode
Ruang

: Medikal

Persepti

: 4-10 April 2016


:

Preseptor :

Nadhira

A. Target yang ingin dicapai


Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien anemia haemolitik
autoimun, selama 1 minggu (4-10 April 2016):
1. Dapat melakukan pengkajian pada pasien
2. Mampu menganalisis data yang didapat
3. Mampu membuat prioritas masalah pada pasien
4. Mampu menentukan tujuan dan kriteria hasil dari prioritas masalah
5. Mampu membuat rencana intervensi
6. Mampu mengimplementasikan renpra, yaitu:
Membantu mempersiapkan pemeriksaan laboratorium
Mengidentifikasi hematuria
Melakukan injeksi obat sesuai indikasi
7. Mampu melakukan evaluasi dari tindakan keperawatan
B. Rencana kegiatan
TIK Jenis Kegiatan
Waktu
Kriteria hasil
1
Hari ke 1
BHSP dan data yang
Melakukan pengkajian pada
diperoleh
dapat
klien sesuai dengan kasus,
mewakili
kondisi
klien.
meliputi:
- Komunikasi terapeutik
Pengkajian Fisik
Data Penunjang
Data
dianalisis
Menganalisis data dari hasil
menjadi
diagnosa
pengkajian
keperawatan

Menetapkan diagnosa dan


prioritas masalah
keperawatan

Menetapkan tujuan sesuai


kriteria hasil
Memantau kebutuhan cairan
pasien
Melakukan perawatan sesuai
diagnosa pasien
Memberikan obat via IM/IV/SC
Mencari literature untuk
membuat intervensi
keperawatan

Hari ke 1-5

Melakukan implementasi

Hari ke 1-6

Mengevaluasi setiap tindakan

Hari ke 1-6

Hari ke 1-6

Diagnosa
sesuai
dengan kondisi aktual
pasien
Tujuan dan kriteria
hasil
yang
sesuai
dengan kondisi klien

Literatur memberikan
informasi
intervensi
keperawatan
yang
tepat sesuai kondisi
klien
Dapat
melakukan
prosedur
tindakan
sesuai dengan SOP
Evaluasi berdasarakan

yang dilakukan dan evaluasi


proses keperawatan secara
keseluruhan
Melakukan skill/keterampilan
sebagai berikut:
A. Merawat luka insisi operasi
B. Mengambil darah vena dan
arteri
C. Melakukan tes kulit (tes
alergi)
D. Melakukan injeksi IV, IM, SC,
IC
E. Menghitung balance cairan
F. Melakukan monitoring nutrisi
G. Membantu eliminasi (urin,
alvi)
H. Melakukan monitoring nutrisi
I. Memasang kateter Urine
J. Melakukan personal hygiene
K. Mengukur GCS
L. Menghitung MAP,CTR dan GFR

Hari ke 1-6

tujuan
dan
kriteria
hasil
yang
telah
ditetapkan
Melakukan
tindakan
sesuai dengan SOP

C. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan

D. Evaluasi Diri Praktikan

E. Rencana Tindak Lanjut

Mengetahui,
Preceptor Klinik R. Flamboyan
RST Soepraoen

(.........................................)

Malang, 5 April 2016


Mahasiswa

(............................................)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN


ASUHAN KEPERAWATAN
Anemia Haemolitik Autoimun
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Medikal di Ruang Flamboyan RST Soepraoen

OLEH :
NADHIRA WAHYU LESTARI
150070300011008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

Anemia Haemolitik Autoimun

Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
NIM. 150070300011008

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari
:
Tanggal
:

Pembimbing Akademik

Pembimbing Klinik

( )

( )

PEMBAHASAN
DEFINISI

Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari
(umur eritrosit normal). Anemia hemolitik dapat terjadi jika aktivitas sumsum tulang
tidak dapat mengimbangi hilangnya eritrosit. Anemia hemolitik autoimun merupakan
kelainan yang terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menyebabkan umur
eritrosit memendek. Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia =
AIHA /AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel
eritrosit yang menganggap eritrosit sebagai antigen non-selfnya sehingga umur
eritrosit memendek.Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan
bekerja pada suhu yang berbeda-beda.
KLASIFIKASI
Anemia hemolitik autoimun diklasifikasikan sebagai berikut : (Tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun


Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi hemolitik transfusi
B. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

1.
2.

1.
2.

o
Anemia Hemolitik Autoimun
A.
AIHA tipe hangat :
Idiopatik
Sekunder (karena CLL, Limfoma, SLE)
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37 derajat Celcius. Kurang lebih 50% pasien
AIHA hangat disertai penyakit lain.
B.
AIHA tipe dingin :
Idiopatik
Sekunder (Infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)
Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan
antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin
dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i.
Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada
umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan
titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i
bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan menyebabkan perubahan

1.
2.

1.
2.

presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B,


aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.
C.
Paroxysmal cold hemoglobinuri :
Idiopatik
Sekunder (Viral dan sifilis)
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini
sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim
autoantibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen berikatan pada sel
darah merah. Pada saat suhu kebali 37 derajat Celcius, terjadilah lisis karena
propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.
D.
AIHA atipik :
AIHA tes antiglobulin negatif
AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
o
AIHA diinduksi obat
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat,
yaitu: hapten/ penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat,
pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent
bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi
obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan
eritrosit.
Pada mekanisme hapten/ adsoprsi obat, obat akan melapisi eritrosit
dengan kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat
pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan
dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan
reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misalnya penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau
metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi
komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan
eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat
stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi
tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti
Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi
komplemen terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide,
sulfonylurea, dan thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit
autolog, seperti contohnya methyldopa. Methyldopa yang bersikulasi dalam
plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada
permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah
adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma
oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin
mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi
adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz
bodies, blister cells, bites cells, dan eccentrocytes. Contoh obat yang

menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,


aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positif
karena adsorpsi non-imunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin,
fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit.
o
AIHA diinduksi aloantibodi
a. Reaksi Hemolitik Transfusi
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC
golongan A pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A
pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis
intravaskuler yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal.
b. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir
ETIOLOGI
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal langsung menyerang
antigen membran eritrosit, tetapi patogenesis induksi anibodi ini tidak diketahui
secara pasti. Auto-antibodi mungkin memproduksi respon imun yang tidak sesuai
terhadap antigen eritrosit atau terhadap antigen epitop yang serupa dengan antigen
eritrosit. Agen infeksius dapat mengubah membran eritrosit sehingga menjadi asing
atau antigen terhapat host.

Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun antara lain:


1.
Obat-obatan:
Alpha-methyldopa
L-dopa
2.
Infeksi
Infeksi virus
Mycoplasma pneumonia
3.
Keganasan
Leukemia
Lymphoma (Non-Hodgkins tapi kadang juga pada Hodgkins)
4.
Penyakit Collagen-vascular (autoimun) misalnya Lupus

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1.
Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intraveskuler. Hal ini
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena berikatan
dengan antigen polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu

tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena bereaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi
aktif serta mampu mengkatalisis reaksi reaksi pada jalur klasik. C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubaha
konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan
membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran
sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi C3. C3b akan membentuk
kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel
sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu, menyebabkan air dan ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak
dan ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb lalu akan memecah
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan berperan dalam penghancuran
membran.
2.
Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi komplemen
lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang
diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang diperantarai oleh IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis
MANIFESTASI KLINIS
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% AIHA tipe hangat disertai penyakit
lain. Pada AIHA tipe hangat onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahanlahan, ikterik (40% pasien), dan demam. Pada beberapa kasus terdapat gejala
mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena
terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali pada 30%, dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien
tidak terjadi pembesaran organ dan limfonodi.
b.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan
splenomegali.
c.
Paroxysmal cold hemoglobinuri
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa
jam. Sering dosertai urtikaria.
d.
Anemia hemolitik autoimun yang diinduksi obat
Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Banyak obat yang dapat menginduksi
pembentukan autoantibodi terhadap eritrosi autolog, seperti methyldopa. Sel darah
merah juga bisa mengalami trauma oksidatif, contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien dengan hemolisis yang timbul melalui mekanisme hapten (penyerapan obat
yang melibatkan antibodi tergantung obat misalnya penisilin) atau autoantibodi
biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander akibat obat kinin,
kuinidin, ssulfonamid, sulfonylurea, dan thiazide) yang berperan maka hemolisis akan
terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah
terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemmaparan
dengan dosis tunggal.
e.
Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
Hemolisis yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (transfusi PRC golongan A pada penderita
golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan mengalami
sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dann syok. Reaksi
transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi.

KOMPLIKASI
1.
Tromboemboli
Anemia sering
dijumpai
pada sebagian
besar
pasien
gagal
ginjal
kronik
(CKD),
biasanya
mulai terjadi bila
LFG (laju
filtrasi
glomerulus)
turun
sampai
35ml/menit. Walaupun penyebab anemia pada CKD terjadi karena defisiensi
eritropoietin (EPO) tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi
sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering

a.

b.

c.

2.

defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Dikenal 4 mekanisme yang dikemukakan sebagai penyebab anemia pada GGK
yaitu :
Defisiensi eritropoietin (Epo)
Pemendekan panjang hidup eritrosit
Metabolit toksik yang merupakan inhibitor eritropoietin
Kecenderungan berdarah karena trombopati.
Selain itu masih banyak faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya
anemia pada GGK :
Gangguan eritropoiesis

Defisiensi Epo

Defisiensi Fe

Defisiensi asam folat

Inhibitor uremik

Hiperparatiroid

Intoksikasi aluminium
Pemendekan umur eritrosit
Hemolysis
Hipersplenisme
Transfuse berulang
Kehilangan darah
Perdarahan karena trombopati
Prosedur hemodialisis
Gangguan Lymphoproliferative
Komplikasi tergantung pada jenis tertentu anemia hemolitik. Anemia yang
berat dapat menyebabkan kardiovaskular kolaps (kegagalan jantung dan tekanan
darah, yang menyebabkan kematian). Anemia berat dapat memperburuk penyakit
jantung, penyakit paru-paru, atau penyakit serebrovaskular
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis
pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk
melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga
pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada
pasien yang menderita suatu penyakit infeksi.
Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis
pemeriksaan, yaitu
1.
Hemoglobin
2.
Hematokrit
3.
Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4.
Trombosit (platelet)
5.
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6.
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7.
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)

parameter

8.
9.
10.

Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)


Platelet Disribution Width (PDW)
Red Cell Distribution Width (RDW)
Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap pasien yang
datang ke suatu Rumah Sakit yang disertai dengan suatu gejala klinis, dan jika
didapatkan hasil yang diluar nilai normal biasanya dilakukan pemeriksaan lanjutan
yang lebih spesifik terhadap gangguan tersebut, sehingga diagnosa dan terapi yang
tepat bisa segera dilakukan. Lamanya waktu yang dibutuhkan suatu laboratorium
untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar maksimal 2 jam.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi
sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru. Kandungan zat besi yang
terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.
Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin seseorang kita
harus memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbeda-beda di tiap laboratorium
klinik, yaitu :

Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl

Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl

Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl

Anak anak : 11-13 gram/dl

Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl

Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl

Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl

Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl


Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah anemia.
Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah perdarahan,
kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit sistemik
(kanker, lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang
tinggal di daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti radang paru
paru, tumor, preeklampsi, hemokonsentrasi, dll.
Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah sel darah
merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persent (%). Nilai normal
hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar
36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding lurus dengan
kadar hematokrit, sehingga peningkatan dan penurunan hematokrit terjadi pada
penyakit-penyakit yang sama.
Leukosit (White Blood Cell / WBC)

Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi


infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi
virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada
penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal
ginjal, dl
Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam
proses pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler. Beberapa kelainan dalam
morfologi trombosit antara lain giant platelet (trombosit besar) dan platelet clumping
(trombosit bergerombol).
Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis dan sebagian orang biasanya
tidak ada keluhan. Trombosit yang rendah disebut trombositopenia, ini bisa
ditemukan pada kasus demam berdarah (DBD), Idiopatik Trombositopenia Purpura
(ITP), supresi sumsum tulang, dll.

Gambar 1. Trombosit
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang paling
banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru untuk
diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa kardondioksida dari seluruh tubuh ke paruparu.Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah,
sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi
bisa ditemukan pada kasus hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik),
gagal jantung kongestif, perokok, preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah
bisa ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid, penyakit sistemik seperti kanker
dan lupus, dll
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu
kondisi di mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya
dipakai antara lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu
volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl)

MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata


(HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pikogram (pg)
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi
Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapt per
eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat adalah gr/dl)
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
Laju Endap Darah
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah
kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan
mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama
proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis),
penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya
kehamilan). International Commitee for Standardization in Hematology
(ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen dalam
pemeriksaan LED, hal ini dikarenakan panjang pipet Westergreen bisa dua kali
panjang pipet Wintrobe sehingga hasil LED yang sangat tinggi masih terdeteksi.
Nilai normal LED pada metode Westergreen : Laki-laki : 0 15 mm/jam,
Perempuan : 0 20 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis
leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang
khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit,
eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan informasi yang lebih
spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit. Hitung jenis leukosit hanya
menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah
absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit
total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/l.
Nilai normal :

Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3)

Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3)

Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3)

Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3)

Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3)

Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)

Gambar 2. Jenis jenis Leukosit


Platelet Disribution Width (PDW)
PDW merupakan koefisien variasi ukuran trombosit. Kadar PDW tinggi dapat
ditemukan pada sickle cell disease dan trombositosis, sedangkan kadar PDW yang
rendah dapat menunjukan trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.
Red Cell Distribution Width (RDW)
RDW merupakan koefisien variasi dari volume eritrosit. RDW yang tinggi dapat
mengindikasikan ukuran eritrosit yang heterogen, dan biasanya ditemukan pada
anemia defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan
jika didapat hasil RDW yang rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai
ukuran variasi yang kecil.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit
a. Direct Antiglobulin Test (direct Coombs test)
Direct Coombs test merupakan tes antibodi terhadap eritrosit secara
langsung. Antibodi akan mengikat benda asing seperti bakteri dan virus dan
menghancurkannya sehingga menyebabkan destruksi eritrosit (hemolisis).Tes ini
dilakukan pada sampel eritrosit langsung dari tubuh. Tes ini akan mendeteksi
antibodi yang ada di permukaan eritrosit. Terbentuknya antibodi ini karena adanya
penyakit atau berasal dari transfuse darah. Tes ini juga dapat dilakukan pada bayi
baru lahir dengan darah Rh positif dimana ibunya mempunyai Rh negatif. Tes ini akan
menunjukkan apakah ibunya telah membentuk antibodi dan masuk ke dalam darah
bayinya melalui plasenta. Beberapa penyakit dan obat-obatan (kuinidin, metildopa,
dan prokainamid) dapat memicu produksi antibodi ini. Antibodi ini terkadang
menghancurkan eritrosit dan menyebabkan anemia. Tes ini terkadang menunjukkan
diagnosis penyebab anemia atau jaundice. Sel eritrosit pasien dicuci dari proteinprotein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai immunoglobulin dan fraksi komplemen, terhadap IgG dan C3d. Bila
pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.
Direct Coombs' Test.

b. Indirect antiglobulin test (indirect Coombs test)


Tes ini dilakukan pada sampel dari bagian cair dari darah (serum). Tes ini
akan mendeteksi antibodi yang ada dalam aliran darah dan dapat mengikat eritrosit
tertentu yang memicu terjadinya masalah bila terjadi percampuran darah. Tes ini
biasanya dilakukan untuk menemukan antibodi pada darah donor atau resipien
sebelum dilakukan transfusi. Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat dalam
serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar
pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan
antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.

Pada4kasus
AIHA
Gambar
Coombs
test yang ditemukan pada pasien tanpa riwayat tranfusi darah
sebelumnya adalah termasuk penyakit anemia yang disebabkan
sistem
Gambar 5oleh
Hasilkelainan
DAT positif
imun di mana terbentuk anti bodi terhadap sel eritrositnya sendiri yang di sebut
dengan penyakit auto imun. Penyebab dari keadaan ini umumnya idiopatik. Dari kasus
AIHA dengan riwayat tranfusi darah yang kompatibel sebelumnya di duga terjadi
karena hal-hal sebagai berikut alloantibody induced haemolytik anemia. Dari data
yang di peroleh, darah yang ditranfusikan kepada 84% pasien adalah darah lengkap
(whole blood) dan kepada 16% pasien adalah eritrosit ( packed red cells). Dalam jenis
darah ini terdapat bermacam-macam anti gen yang bila ditranfusikan kepada pasien
akan merupakan allogenic stimulant. Stimulasi alogenik dapat mengganggu toleransi
tubuh terhadap sel eritrositnya sendiri (self tolerance), seperti pada interaksi graft
versus host, di mana dalam serum dapat di deteksi adanya auto anti bodi. Auto anti
bodi terbentuk terhadap sel epitel, sel eritrosit, timosit, anti gen nuklear dan DNA.
Dalam hal AIHA auto anti bodi terbentuk terhadap eritrosit, yang menyebabkan lisis
dan destruksi dari eritrosit tersebut. Oleh karena itu pemberian tranfusi darah
haruslah aman, yaitu kompatibel secara imunologi dan bebas infeksi. Hal yang akan
bereaksi dengan eritrosit donor. Di samping itu harus dipastikan bahwa eritrosit donor
tidak akan menyebabkan terbentuknya anti bodi yang tidak di inginkan pada resepien.
Terjadi kesalahan penentuan sistem rhesus pada waktu pemeriksaan rutin
Rh pre tranfusi dengan mempergunakan tes serum inkomplet dalam albumin,
di mana dapat terjadi reaksi positif yang tidak spesifik. Hal ini terjadi karena reaksi
langsung dengan albumin. Akibatnya pasien akan membentuk antibodi isoimun
terhadap anti gen eritrosit, sehingga self tolerance terganggu. Hal ini diperlihatkan
pada percobaan binatang, di mana jika tikus di suntik dengan eritrosit rat, akan
ditemukan adanya auto anti bodi terhadap eritrositnya sendiri pada tikus.
Terjadinya reaksi hiper sensitifitas pada resepien yang mendapat tranfusi
lebih dari satu kantong, di mana reaksi terjadi secara individual pada kontak kedua
dengan partikel anti gen yang sudah di kenal pada tranfusi darah sebelumnya.
Acquired AIHA dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau sekunder terhadap penyakit
yang di derita pasien. Auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA, yang terjadi secara
sekunder terhadap penyakit tidak dapat dibedakan baik secara serologis maupun
imunokemikal dengan auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA primer. Auto anti bodi

bebas dapat di lihat pada serum pasien dengan tes anti globulin indirek. Pada
sebagian besar kasus auto anti bodi klas IgG tidak beraglutinasi, karena itu di sebut
inkomplet. Hasil tes yang positif berhubungan dengan beratnya hemolisa.
Jika dipergunakan enzim, sensitifitas tes akan meningkat karena
pengurangan tahanan permukaan yang akan menyebabkan sel lebih sanggup untuk
beraglutinasi, kira-kira dua pertiga pasien memperlihatkan adanya auto anti bodi
bebas. Pada penelitian ini ertrosit dengan IgG dan C3 coated pada permukaannya
terdapat pada 68% kasus, IgG saja 21% dan C3 saja 10.5%. Sedangkan pola reaksi
pada AIHA umumnya adalah 50% dengan IgG dan C3 yang coated pada permukaan
eritrosit, 40% dengan IgG saja dan 10% dengan C3 saja.
Laboratorium pada anemia hemolitik autoimun
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hemoglobin sering dijumpai bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam seru dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semuasel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi
dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
b.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Anemia ringan, sferositosis, polikromatosis, tes Coomb positif, anti-I, anti-Pr,
anti-M, atau anti-P
c.
Paroxysmal cold hemoglobinuri
Hemoglobulinuria, sferositosis, eritrofagositos, Coomb positif, antibody
Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah
d.
Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif, lekopenia,
trombositopenia, hemoglobulinemia, hemoglobulinuria sering terjadi pada hemolisis
yang diperantarai kompleks ternary.

PENATALAKSANAAN MEDIS
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Kortikosteroid
1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam dua minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes Coomb direk
positif lemah, tes Coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadapt steroid, dosis
diturunka setiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis
< 30mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun bila dosis perhari
melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar hematokrit, maka perlu segera
memperrtimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Splenektomi
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dpertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, tetapi akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit

yang terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%,
tetapi tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan
setelah splenektomi.
Imunosupresi
Azathioprin 50-20 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-150mg/hari
(60mg/m2)
Terapi lain
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid.
Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednisone
memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisisal dan memberikan respon pada
80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evans
Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400mg/kgBB/hari selama 5 hari)
menunjukkan perrbaikan pada beberapa pasien, tetapi dilaporkan terapi ini nuga tidak
efekrif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 40%. Jadi terapi ini
diberikan bersama terapi lain dan reponnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasi yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan Alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup menggembirakan sebagai salbage terapi. Dosis Rituximab 100
mg/minggu selama 4 minggu tampa memperhitungkan luas permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih controversial.
Terapi transfusi
Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kodisi yang
mengancam jiwa (misal Hb < 3g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin.
b.
Anemia hemolitik imun tipe dingin
Pasien harus menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chrolambucil 2-4 mg/hari.
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi
hemolisis tetapi secara praktik hal ini sukar dilakukan.
c.
Paroxysmal cold hemoglobulinuri
Menghindari faktor pencetus pada pasien,glukokortikoid dan splenektomi
tidak ada manfaatnya
d.
Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat
Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
a.
Data demografi
b.
Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau mendapatkan
pengobatan seperti anti kanker, analgetik dll

Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi dengan kadar


ionisasi yang besar
Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung as.
Folat,Fe dan Vit12.
Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit infeksi
Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama trait sel sabit
Riwayat kesehatan sekarang
Klien terlihat keletihan dan lemah
Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
Mengeluh nyeri mulut dan lidah
c.
Kebutuhan dasar
1)
Pola aktivitas sehari-hari
Keletihan, malaise, kelemahan
Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk bekerja
2)
Sirkulasi
Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran mukosa
(konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
Sklera : biru atau putih seperti mutiara
Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer dan
vasokonstriksi (kompensasi)
Kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok
Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara prematur
3)
Eliminasi
Diare dan penurunan haluaran urin
4)
Integritas ego
Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
5)
Makanan dan cairan
Penurunan nafsu makan
Mual dan muntah
Penurunan BB
Distensi abdomen dan penurunan bising usus
Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
6)
Higiene
Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
7)
Neurosensori
Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
Penurunan penglihatan
Gelisah dan kelemahan
8)
Nyeri atau kenyamanan
Nyeri abdomen samar dan sakit kepala
9)
Pernafasan
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas (takipnea, ortopnea dan dispnea)

10) Keamanan
Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
11) Seksualitas
Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
Hilang libido
Impoten
Analisa Data
NO
SIGN & SYMTOMP
ETIOLOGI
PROBLEM
1
Perubahan
perfusi
DS : Tn D mengeluhkan Penurunan
komponen
pusing, lemas, menggigil, seluler yang diperlukan jaringan
nyeri
punggung
dan untuk pengiriman oksigen
lambung,
serta
sesak
nafas dan mudah lelah
saat beraktivitas.
DO :
Badan pasien teraba
dingin
Pasien tampak pucat
dan konjungtiva pucat
TD : 100/70 mmHg
Suhu : 350
RR : 24x/i
HR : 85x/i
Jumlah eritrosit 3000
sel/mm3
2
DS :
Nafsu makan menurun, Gangguan
nutrisi
mual
kurang
dari
Tn D mengatakan tidak
kebutuhan tubuh.
ada nafsu makan, mual,
dan muntah
Tn D mengatakan
sebelum sakit berat badan
nya 65 Kg.
DO :
Porsi
makan
yang
diberikan tidak habis
Keadaan umum buruk
BB : 58 Kg
3
DS : Tn D mengatakan Penurunan masukan diet; Konstipasi
lambung nya nyeri
perubahan
proses
DO :
pencernaan;
efek
Urine pekat dan feses
samping terapi obat.
hitam
Pada Auskultasi
terdengar bunyi usus
menurun
4
DS : Tn D mengeluhkan Ketidakseimbangan
Intoleransi aktifitas
pusing, lemas, serta sesak antara suplai oksigen

nafas dan mudah lelah


saat beraktivitas.
DO :
TD : 100/70 mmHg
RR : 24x/i
HR : 85x/i
DS : Tn D mengatakan
bahwa
awalnya
dia
mengira kalau dia hanya
kelelahan
bekerja
dan
jadwal
makan
tidak
teratur,
tapi
lama
kelamaan
penyakitnya
bertamabah parah.
DO : -

dan
kelemahan

Kurang
Kurang pengetahuan
terpajan/mengingat
;
salah
interpretasi
informasi
;
tidak
mengenal
sumber
informasi.

C.
N
O
1.

NCP
Diagnosa
Keperawatan
Perubahan perfusi
jaringan
b.d Penurunan
komponen seluler
yang diperlukan
untuk pengiriman
oksigen

(pengiriman)
kebutuhan,
fisik.

DS
: Tn
D
mengeluhkan
pusing,
lemas,
menggigil, nyeri
punggung
dan
lambung,
serta
sesak nafas dan
mudah lelah saat
beraktivitas.
DO :
Badan
pasien teraba
dingin
Pasien
tampak pucat
dan konjungtiva
pucat
TD :
100/70 mmHg
Suhu : 350

Tujuan
Peningkatan
perfusi jaringan

Intervensi

Rasional

- Awasi
tanda
vital kaji pengisian
kapiler,
warna
KH :
kulit/membrane
Keadaan mukosa,
dasar
umum Tn. D kuku.
membaik
TD :
- Tinggikan
120/80 mmHg
kepala tempat tidur
Suhu
sesuai toleransi.
36,50 C 370 C
Jumlah
Eritrosit 5000
- Awasi
upaya
9000 sel/mm3
pernapasan
;
auskultasi
bunyi
napas perhatikan
bunyi adventisius.

- Memberikan informasi
tentang
derajat/keadekuatan
perfusi
jaringan
dan
membantu
menetukan
kebutuhan intervensi.
- Meningkatkan
ekspansi
paru
dan
memaksimalkan
oksigenasi
untuk
kebutuhan seluler. Catatan
: kontraindikasi bila ada
hipotensi.
- Gemericik
menununjukkan gangguan
jajntung karena regangan
jantung lama/peningkatan
kompensasi curah jantung.
- Iskemia
seluler
- Selidiki keluhan mempengaruhi
jaringan
nyeri
miokardial/
potensial
dada/palpitasi.
risiko infark.

- Hindari
penggunaan
penghangat

- Termoreseptor jaringan
dermal dangkal karena
botol gangguan oksigen
atau

RR : 24x/i
HR : 85x/i
Jumlah
eritrosit 3000
sel/mm3

2.

Gangguan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh.
b.d nafsu makan
menurun, mual

Kebutuhan
nutrisi sesuai
dengan
kebutuhan
tubuh

DS :
Tn D
mengatakan
tidak ada nafsu
makan, mual,
dan muntah
Tn D
mengatakan
sebelum sakit
berat badan nya
65 Kg.
DO :
Porsi
makan
yang
diberikan
tidak habis
Keadaan umum
buruk
BB : 58 Kg

KH :
Keadaan
umum membaik
Tn D dapat
menghabiskan
porsi makan
yang diberikan
Mengalami
peningkatan BB

botol air panas.


Ukur
suhu
air
mandi
dengan
thermometer.
- Kolaborasi
pengawasan hasil
pemeriksaan
laboraturium.
Berikan sel darah
merah
lengkap/packed
produk
darah
sesuai indikasi.
- Berikan
oksigen tambahan
sesuai indikasi.
- Berikan transufi
darah
sesuai
indikasi
Kaji riwayat
nutrisi, termasuk
makan
yang
disukai
Observasi
dan
catat
masukkan
makanan pasien

- Mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan
pengobatan
/respons
terhadap terapi.

- Memaksimalkan
transport
oksigen
ke
jaringan.
- Meningkatkan jumlah
sel darah merah

Mengidentifikasi
defisiensi, memudahkan
intervensi
Mengawasi
masukkan kalori atau
kualitas kekurangan
konsumsi makanan

Mengawasi
Timbang
penurunan berat badan
berat badan setiap atau efektivitas intervensi
hari.
nutrisi
Menurunkan
Berikan
kelemahan, meningkatkan
makan
sedikit pemasukkan dan
dengan frekuensi mencegah distensi gaster
sering dan atau
makan
diantara
waktu makan
Gejala GI dapat
Observasi
menunjukkan efek anemia
dan catat kejadian (hipoksia) pada organ.
mual/muntah,
flatus dan dan
gejala lain yang Meningkatkan nafsu

berhubungan
Berikan dan
Bantu
hygiene
mulut yang baik ;
sebelum
dan
sesudah
makan,
gunakan sikat gigi
halus
untuk
penyikatan
yang
lembut.
Berikan
pencuci mulut yang
di encerkan bila
mukosa oral luka.
Kolaborasi
pada ahli gizi untuk
rencana diet.

3.

Konstipasi b.d
penurunan masukan
diet; perubahan
proses pencernaan;
efek samping terapi
obat.

Membuat/kembali
pola normal dari
fungsi usus

KH :
Tn D
mengatakan
DS
:
Tn
D lambungnya
tidak nyeri lagi
mengatakan
Warna
lambung nya nyeri urine normal,
DO :
dan warna feses
Urine pekat
normal serta
dan feses hitam
konsistensi
Pada
yang normal
Auskultasi
Bunyi
terdengar bunyi
usus normal.
usus menurun.

makan dan pemasukkan


oral. Menurunkan
pertumbuhan bakteri,
meminimalkan
kemungkinan infeksi.
Teknik perawatan mulut
khusus mungkin
diperlukan bila jaringan
rapuh/luka/perdarahan
dan nyeri berat.

Membantu dalam
rencana diet untuk
memenuhi kebutuhan
individual

Meningkatakan
efektivitas program
Kolaborasi ; pengobatan, termasuk
pantau
hasil sumber diet nutrisi yang
pemeriksaan
dibutuhkan.
laboraturium
Kebutuhan
penggantian tergantung
Kolaborasi;
pada tipe anemia dan atau
berikan
obat adanyan masukkan oral
sesuai indikasi
yang buruk dan defisiensi
yang diidentifikasi.
Observasi
Membantu
warna feses,
mengidentifikasi penyebab
konsistensi,
/factor pemberat dan
frekuensi dan
intervensi yang tepat.
jumlah
bunyi usus secara
Auskultasi
umum meningkat pada
bunyi usus
diare dan menurun pada
konstipasi

Awasi
intake dan output
(makanan dan
cairan).

dapat
mengidentifikasi dehidrasi,
kehilangan berlebihan atau
alat dalam
mengidentifikasi defisiensi
diet

Dorong
masukkan cairan
2500-3000 ml/hari
dalam toleransi
jantung

Hindari
makanan yang
membentuk gas
Kaji kondisi
kulit perianal
dengan sering,
catat perubahan
kondisi kulit atau
mulai kerusakan.
Lakukan perawatan
perianal setiap
defekasi bila
terjadi diare.
Kolaborasi
ahli gizi untuk diet
seimbang dengan
tinggi serat dan
bulk.

Berikan
pelembek feses,
stimulant ringan,
laksatif pembentuk
bulk atau enema
sesuai indikasi.
Pantau keefektifan.
(kolaborasi)
Berikan
obat antidiare,
misalnya

membantu dalam
memperbaiki konsistensi
feses bila konstipasi. Akan
membantu
memperthankan status
hidrasi pada diare
menurunkan distress
gastric dan distensi
abdomen
mencegah ekskoriasi
kulit dan kerusakan

serat menahan enzim


pencernaan dan
mengabsorpsi air dalam
alirannya sepanjang
traktus intestinal dan
dengan demikian
menghasilkan bulk, yang
bekerja sebagai
perangsang untuk
defekasi.
mempermudah
defekasi bila konstipasi
terjadi.

4.

Intoleransi aktifitas
b.d
ketidakseimbangan
antara
suplai
oksigen
(pengiriman)
dan
kebutuhan,
kelemahan fisik.
DS
: Tn
D
mengeluhkan
pusing,
lemas,
serta sesak nafas
dan mudah lelah
saat beraktivitas.
DO :

TD :
100/70 mmHg

RR : 24x/i

HR : 85x/i

Dapat
mempertahankan
/meningkatkan
ambulasi/aktivitas
KH :

Tn D dapat
beraktivitas
dengan normal.

RR : 12
21x/i

HR : 60
80x/i

TD :
120/80 mmHg

Defenoxilat
Hidroklorida
dengan atropine
(Lomotil) dan obat
mengabsorpsi air,
misalnya
Metamucil.
(kolaborasi).
Kaji
kemampuan
ADL
pasien.

Observasi
tanda-tanda
vital
sebelum
dan
sesudah aktivitas.

menurunkan motilitas
usus bila diare terjadi.

- Mempengaruhi pilihan
intervensi/bantuan

- Manifestasi
kardiopulmonal dari upaya
jantung dan paru untuk
membawa jumlah oksigen
adekuat ke jaringan
- Meningkatkan istirahat
Berikan
untuk
menurunkan
lingkungan tenang, kebutuhan oksigen tubuh
batasi pengunjung, dan menurunkan regangan
dan kurangi suara jantung dan paru
bising,
pertahankan tirah
baring
bila
di
indikasikan
- Meningkatkan aktivitas
Rencanakan
secara bertahap sampai
kemajuan aktivitas normal dan memperbaiki
dengan
pasien, tonus otot/stamina tanpa
termasuk aktivitas kelemahan. Meingkatkan
yang
pasien harga
diri
dan
rasa
pandang
perlu. terkontrol.
Tingkatkan tingkat
aktivitas
sesuai
toleransi.
- Mendorong
pasien
Gunakan
melakukan
banyak
teknik menghemat aktivitas
dengan
energi,
membatasi penyimpangan
energi
dan
mencegah
kelemahan.
- Regangan/stress
Anjurkan
kardiopulmonal berlebihan
pasien
untuk dapat
menimbulkan
mengehentikan
dekompensasi /kegagalan

5.

Kurang
pengetahuan
Kurang
terpajan/mengingat
; salah interpretasi
informasi ; tidak
mengenal sumber
informasi.
DS
: Tn
D
mengatakan
bahwa awalnya
dia
mengira
kalau dia hanya
kelelahan bekerja
dan
jadwal
makan
tidak
teratur, tapi lama
kelamaan
penyakitnya
bertamabah
parah.
DO : -

Pasien mengerti
dan memahami
tentang penyakit,
prosedur
diagnostic dan
rencana
pengobatan.
KH :
Pasien
menyatakan
pemahamannya
proses penyakit
dan
penatalaksanaan
penyakit.
Mengidentifikasi
factor penyebab.
Melakukan
tiindakan yang
perlu/perubahan
pola hidup.

aktivitas
bila
palpitasi,
nyeri
dada,
nafas
pendek,
kelemahan,
atau
pusing terjadi.

Berikan
informasi tentang
anemia spesifik.
Diskusikan
kenyataan bahwa
terapi tergantung
pada tipe dan
beratnya anemia.

Tinjau
tujuan dan
persiapan untuk
pemeriksaan
diagnostic

Kaji tingkat
pengetahuan klien
dan keluarga
tentang
penyakitnya

Berikan
penjelasan pada
klien tentang
penyakitnya dan
kondisinya
sekarang.

Minta klien
dan keluarga
mengulangi
kembali tentang
materi yang telah
diberikan

memberikan dasar
pengetahuan sehingga
pasien dapat membuat
pilihan yang tepat.
Menurunkan ansietas dan
dapat meningkatkan
kerjasama dalam program
terapi

ansietas/ketakutan
tentang ketidaktahuan
meningkatkan stress,
selanjutnya meningkatkan
beban jantung.
Pengetahuan menurunkan
ansietas.

megetahui
seberapa jauh pengalaman
dan pengetahuan klien dan
keluarga tentang
penyakitnya

dengan mengetahui
penyakit dan kondisinya
sekarang, klien akan
tenang dan mengurangi
rasa cemas

Mengetahui
seberapa jauh
pemahaman klien dan
keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan
yang dilakukan

DAFTAR PUSTAKA

Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan


Darmawan, Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996Jay H.
Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC.
Jakarta, 2001
Iman

Supandiman.

Hematologi

Klinik.

Penerbit

PT

Alumni.

Bandung,1997.
Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih
bahasa Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,
1996.

Anda mungkin juga menyukai