LP Aiha
LP Aiha
LAPORAN INDIVIDU
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Medikal di Ruang RS
Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
150070300011008
Departemen
Wahyu Lestari
Periode
Ruang
: Medikal
Persepti
Preseptor :
Nadhira
Hari ke 1-5
Melakukan implementasi
Hari ke 1-6
Hari ke 1-6
Hari ke 1-6
Diagnosa
sesuai
dengan kondisi aktual
pasien
Tujuan dan kriteria
hasil
yang
sesuai
dengan kondisi klien
Literatur memberikan
informasi
intervensi
keperawatan
yang
tepat sesuai kondisi
klien
Dapat
melakukan
prosedur
tindakan
sesuai dengan SOP
Evaluasi berdasarakan
Hari ke 1-6
tujuan
dan
kriteria
hasil
yang
telah
ditetapkan
Melakukan
tindakan
sesuai dengan SOP
Mengetahui,
Preceptor Klinik R. Flamboyan
RST Soepraoen
(.........................................)
(............................................)
OLEH :
NADHIRA WAHYU LESTARI
150070300011008
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
NIM. 150070300011008
Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik
( )
( )
PEMBAHASAN
DEFINISI
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari
(umur eritrosit normal). Anemia hemolitik dapat terjadi jika aktivitas sumsum tulang
tidak dapat mengimbangi hilangnya eritrosit. Anemia hemolitik autoimun merupakan
kelainan yang terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menyebabkan umur
eritrosit memendek. Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia =
AIHA /AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel
eritrosit yang menganggap eritrosit sebagai antigen non-selfnya sehingga umur
eritrosit memendek.Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan
bekerja pada suhu yang berbeda-beda.
KLASIFIKASI
Anemia hemolitik autoimun diklasifikasikan sebagai berikut : (Tabel 1)
1.
2.
1.
2.
o
Anemia Hemolitik Autoimun
A.
AIHA tipe hangat :
Idiopatik
Sekunder (karena CLL, Limfoma, SLE)
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37 derajat Celcius. Kurang lebih 50% pasien
AIHA hangat disertai penyakit lain.
B.
AIHA tipe dingin :
Idiopatik
Sekunder (Infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)
Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan
antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin
dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i.
Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada
umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan
titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i
bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan menyebabkan perubahan
1.
2.
1.
2.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1.
Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intraveskuler. Hal ini
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena berikatan
dengan antigen polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu
tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena bereaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi
aktif serta mampu mengkatalisis reaksi reaksi pada jalur klasik. C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubaha
konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan
membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran
sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi C3. C3b akan membentuk
kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel
sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu, menyebabkan air dan ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak
dan ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb lalu akan memecah
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan berperan dalam penghancuran
membran.
2.
Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi komplemen
lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang
diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang diperantarai oleh IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis
MANIFESTASI KLINIS
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% AIHA tipe hangat disertai penyakit
lain. Pada AIHA tipe hangat onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahanlahan, ikterik (40% pasien), dan demam. Pada beberapa kasus terdapat gejala
mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena
terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali pada 30%, dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien
tidak terjadi pembesaran organ dan limfonodi.
b.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan
splenomegali.
c.
Paroxysmal cold hemoglobinuri
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa
jam. Sering dosertai urtikaria.
d.
Anemia hemolitik autoimun yang diinduksi obat
Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Banyak obat yang dapat menginduksi
pembentukan autoantibodi terhadap eritrosi autolog, seperti methyldopa. Sel darah
merah juga bisa mengalami trauma oksidatif, contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien dengan hemolisis yang timbul melalui mekanisme hapten (penyerapan obat
yang melibatkan antibodi tergantung obat misalnya penisilin) atau autoantibodi
biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander akibat obat kinin,
kuinidin, ssulfonamid, sulfonylurea, dan thiazide) yang berperan maka hemolisis akan
terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah
terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemmaparan
dengan dosis tunggal.
e.
Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
Hemolisis yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (transfusi PRC golongan A pada penderita
golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan mengalami
sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dann syok. Reaksi
transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi.
KOMPLIKASI
1.
Tromboemboli
Anemia sering
dijumpai
pada sebagian
besar
pasien
gagal
ginjal
kronik
(CKD),
biasanya
mulai terjadi bila
LFG (laju
filtrasi
glomerulus)
turun
sampai
35ml/menit. Walaupun penyebab anemia pada CKD terjadi karena defisiensi
eritropoietin (EPO) tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi
sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering
a.
b.
c.
2.
defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Dikenal 4 mekanisme yang dikemukakan sebagai penyebab anemia pada GGK
yaitu :
Defisiensi eritropoietin (Epo)
Pemendekan panjang hidup eritrosit
Metabolit toksik yang merupakan inhibitor eritropoietin
Kecenderungan berdarah karena trombopati.
Selain itu masih banyak faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya
anemia pada GGK :
Gangguan eritropoiesis
Defisiensi Epo
Defisiensi Fe
Inhibitor uremik
Hiperparatiroid
Intoksikasi aluminium
Pemendekan umur eritrosit
Hemolysis
Hipersplenisme
Transfuse berulang
Kehilangan darah
Perdarahan karena trombopati
Prosedur hemodialisis
Gangguan Lymphoproliferative
Komplikasi tergantung pada jenis tertentu anemia hemolitik. Anemia yang
berat dapat menyebabkan kardiovaskular kolaps (kegagalan jantung dan tekanan
darah, yang menyebabkan kematian). Anemia berat dapat memperburuk penyakit
jantung, penyakit paru-paru, atau penyakit serebrovaskular
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis
pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk
melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga
pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada
pasien yang menderita suatu penyakit infeksi.
Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis
pemeriksaan, yaitu
1.
Hemoglobin
2.
Hematokrit
3.
Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4.
Trombosit (platelet)
5.
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6.
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7.
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
parameter
8.
9.
10.
Gambar 1. Trombosit
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang paling
banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru untuk
diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa kardondioksida dari seluruh tubuh ke paruparu.Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah,
sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi
bisa ditemukan pada kasus hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik),
gagal jantung kongestif, perokok, preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah
bisa ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid, penyakit sistemik seperti kanker
dan lupus, dll
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu
kondisi di mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya
dipakai antara lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu
volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl)
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl
Pada4kasus
AIHA
Gambar
Coombs
test yang ditemukan pada pasien tanpa riwayat tranfusi darah
sebelumnya adalah termasuk penyakit anemia yang disebabkan
sistem
Gambar 5oleh
Hasilkelainan
DAT positif
imun di mana terbentuk anti bodi terhadap sel eritrositnya sendiri yang di sebut
dengan penyakit auto imun. Penyebab dari keadaan ini umumnya idiopatik. Dari kasus
AIHA dengan riwayat tranfusi darah yang kompatibel sebelumnya di duga terjadi
karena hal-hal sebagai berikut alloantibody induced haemolytik anemia. Dari data
yang di peroleh, darah yang ditranfusikan kepada 84% pasien adalah darah lengkap
(whole blood) dan kepada 16% pasien adalah eritrosit ( packed red cells). Dalam jenis
darah ini terdapat bermacam-macam anti gen yang bila ditranfusikan kepada pasien
akan merupakan allogenic stimulant. Stimulasi alogenik dapat mengganggu toleransi
tubuh terhadap sel eritrositnya sendiri (self tolerance), seperti pada interaksi graft
versus host, di mana dalam serum dapat di deteksi adanya auto anti bodi. Auto anti
bodi terbentuk terhadap sel epitel, sel eritrosit, timosit, anti gen nuklear dan DNA.
Dalam hal AIHA auto anti bodi terbentuk terhadap eritrosit, yang menyebabkan lisis
dan destruksi dari eritrosit tersebut. Oleh karena itu pemberian tranfusi darah
haruslah aman, yaitu kompatibel secara imunologi dan bebas infeksi. Hal yang akan
bereaksi dengan eritrosit donor. Di samping itu harus dipastikan bahwa eritrosit donor
tidak akan menyebabkan terbentuknya anti bodi yang tidak di inginkan pada resepien.
Terjadi kesalahan penentuan sistem rhesus pada waktu pemeriksaan rutin
Rh pre tranfusi dengan mempergunakan tes serum inkomplet dalam albumin,
di mana dapat terjadi reaksi positif yang tidak spesifik. Hal ini terjadi karena reaksi
langsung dengan albumin. Akibatnya pasien akan membentuk antibodi isoimun
terhadap anti gen eritrosit, sehingga self tolerance terganggu. Hal ini diperlihatkan
pada percobaan binatang, di mana jika tikus di suntik dengan eritrosit rat, akan
ditemukan adanya auto anti bodi terhadap eritrositnya sendiri pada tikus.
Terjadinya reaksi hiper sensitifitas pada resepien yang mendapat tranfusi
lebih dari satu kantong, di mana reaksi terjadi secara individual pada kontak kedua
dengan partikel anti gen yang sudah di kenal pada tranfusi darah sebelumnya.
Acquired AIHA dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau sekunder terhadap penyakit
yang di derita pasien. Auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA, yang terjadi secara
sekunder terhadap penyakit tidak dapat dibedakan baik secara serologis maupun
imunokemikal dengan auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA primer. Auto anti bodi
bebas dapat di lihat pada serum pasien dengan tes anti globulin indirek. Pada
sebagian besar kasus auto anti bodi klas IgG tidak beraglutinasi, karena itu di sebut
inkomplet. Hasil tes yang positif berhubungan dengan beratnya hemolisa.
Jika dipergunakan enzim, sensitifitas tes akan meningkat karena
pengurangan tahanan permukaan yang akan menyebabkan sel lebih sanggup untuk
beraglutinasi, kira-kira dua pertiga pasien memperlihatkan adanya auto anti bodi
bebas. Pada penelitian ini ertrosit dengan IgG dan C3 coated pada permukaannya
terdapat pada 68% kasus, IgG saja 21% dan C3 saja 10.5%. Sedangkan pola reaksi
pada AIHA umumnya adalah 50% dengan IgG dan C3 yang coated pada permukaan
eritrosit, 40% dengan IgG saja dan 10% dengan C3 saja.
Laboratorium pada anemia hemolitik autoimun
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hemoglobin sering dijumpai bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam seru dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semuasel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi
dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
b.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Anemia ringan, sferositosis, polikromatosis, tes Coomb positif, anti-I, anti-Pr,
anti-M, atau anti-P
c.
Paroxysmal cold hemoglobinuri
Hemoglobulinuria, sferositosis, eritrofagositos, Coomb positif, antibody
Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah
d.
Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif, lekopenia,
trombositopenia, hemoglobulinemia, hemoglobulinuria sering terjadi pada hemolisis
yang diperantarai kompleks ternary.
PENATALAKSANAAN MEDIS
a.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Kortikosteroid
1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam dua minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes Coomb direk
positif lemah, tes Coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadapt steroid, dosis
diturunka setiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis
< 30mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun bila dosis perhari
melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar hematokrit, maka perlu segera
memperrtimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Splenektomi
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dpertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, tetapi akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
yang terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%,
tetapi tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan
setelah splenektomi.
Imunosupresi
Azathioprin 50-20 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-150mg/hari
(60mg/m2)
Terapi lain
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid.
Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednisone
memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisisal dan memberikan respon pada
80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evans
Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400mg/kgBB/hari selama 5 hari)
menunjukkan perrbaikan pada beberapa pasien, tetapi dilaporkan terapi ini nuga tidak
efekrif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 40%. Jadi terapi ini
diberikan bersama terapi lain dan reponnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasi yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan Alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup menggembirakan sebagai salbage terapi. Dosis Rituximab 100
mg/minggu selama 4 minggu tampa memperhitungkan luas permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih controversial.
Terapi transfusi
Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kodisi yang
mengancam jiwa (misal Hb < 3g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin.
b.
Anemia hemolitik imun tipe dingin
Pasien harus menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chrolambucil 2-4 mg/hari.
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi
hemolisis tetapi secara praktik hal ini sukar dilakukan.
c.
Paroxysmal cold hemoglobulinuri
Menghindari faktor pencetus pada pasien,glukokortikoid dan splenektomi
tidak ada manfaatnya
d.
Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat
Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
a.
Data demografi
b.
Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau mendapatkan
pengobatan seperti anti kanker, analgetik dll
10) Keamanan
Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
11) Seksualitas
Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
Hilang libido
Impoten
Analisa Data
NO
SIGN & SYMTOMP
ETIOLOGI
PROBLEM
1
Perubahan
perfusi
DS : Tn D mengeluhkan Penurunan
komponen
pusing, lemas, menggigil, seluler yang diperlukan jaringan
nyeri
punggung
dan untuk pengiriman oksigen
lambung,
serta
sesak
nafas dan mudah lelah
saat beraktivitas.
DO :
Badan pasien teraba
dingin
Pasien tampak pucat
dan konjungtiva pucat
TD : 100/70 mmHg
Suhu : 350
RR : 24x/i
HR : 85x/i
Jumlah eritrosit 3000
sel/mm3
2
DS :
Nafsu makan menurun, Gangguan
nutrisi
mual
kurang
dari
Tn D mengatakan tidak
kebutuhan tubuh.
ada nafsu makan, mual,
dan muntah
Tn D mengatakan
sebelum sakit berat badan
nya 65 Kg.
DO :
Porsi
makan
yang
diberikan tidak habis
Keadaan umum buruk
BB : 58 Kg
3
DS : Tn D mengatakan Penurunan masukan diet; Konstipasi
lambung nya nyeri
perubahan
proses
DO :
pencernaan;
efek
Urine pekat dan feses
samping terapi obat.
hitam
Pada Auskultasi
terdengar bunyi usus
menurun
4
DS : Tn D mengeluhkan Ketidakseimbangan
Intoleransi aktifitas
pusing, lemas, serta sesak antara suplai oksigen
dan
kelemahan
Kurang
Kurang pengetahuan
terpajan/mengingat
;
salah
interpretasi
informasi
;
tidak
mengenal
sumber
informasi.
C.
N
O
1.
NCP
Diagnosa
Keperawatan
Perubahan perfusi
jaringan
b.d Penurunan
komponen seluler
yang diperlukan
untuk pengiriman
oksigen
(pengiriman)
kebutuhan,
fisik.
DS
: Tn
D
mengeluhkan
pusing,
lemas,
menggigil, nyeri
punggung
dan
lambung,
serta
sesak nafas dan
mudah lelah saat
beraktivitas.
DO :
Badan
pasien teraba
dingin
Pasien
tampak pucat
dan konjungtiva
pucat
TD :
100/70 mmHg
Suhu : 350
Tujuan
Peningkatan
perfusi jaringan
Intervensi
Rasional
- Awasi
tanda
vital kaji pengisian
kapiler,
warna
KH :
kulit/membrane
Keadaan mukosa,
dasar
umum Tn. D kuku.
membaik
TD :
- Tinggikan
120/80 mmHg
kepala tempat tidur
Suhu
sesuai toleransi.
36,50 C 370 C
Jumlah
Eritrosit 5000
- Awasi
upaya
9000 sel/mm3
pernapasan
;
auskultasi
bunyi
napas perhatikan
bunyi adventisius.
- Memberikan informasi
tentang
derajat/keadekuatan
perfusi
jaringan
dan
membantu
menetukan
kebutuhan intervensi.
- Meningkatkan
ekspansi
paru
dan
memaksimalkan
oksigenasi
untuk
kebutuhan seluler. Catatan
: kontraindikasi bila ada
hipotensi.
- Gemericik
menununjukkan gangguan
jajntung karena regangan
jantung lama/peningkatan
kompensasi curah jantung.
- Iskemia
seluler
- Selidiki keluhan mempengaruhi
jaringan
nyeri
miokardial/
potensial
dada/palpitasi.
risiko infark.
- Hindari
penggunaan
penghangat
- Termoreseptor jaringan
dermal dangkal karena
botol gangguan oksigen
atau
RR : 24x/i
HR : 85x/i
Jumlah
eritrosit 3000
sel/mm3
2.
Gangguan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh.
b.d nafsu makan
menurun, mual
Kebutuhan
nutrisi sesuai
dengan
kebutuhan
tubuh
DS :
Tn D
mengatakan
tidak ada nafsu
makan, mual,
dan muntah
Tn D
mengatakan
sebelum sakit
berat badan nya
65 Kg.
DO :
Porsi
makan
yang
diberikan
tidak habis
Keadaan umum
buruk
BB : 58 Kg
KH :
Keadaan
umum membaik
Tn D dapat
menghabiskan
porsi makan
yang diberikan
Mengalami
peningkatan BB
- Mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan
pengobatan
/respons
terhadap terapi.
- Memaksimalkan
transport
oksigen
ke
jaringan.
- Meningkatkan jumlah
sel darah merah
Mengidentifikasi
defisiensi, memudahkan
intervensi
Mengawasi
masukkan kalori atau
kualitas kekurangan
konsumsi makanan
Mengawasi
Timbang
penurunan berat badan
berat badan setiap atau efektivitas intervensi
hari.
nutrisi
Menurunkan
Berikan
kelemahan, meningkatkan
makan
sedikit pemasukkan dan
dengan frekuensi mencegah distensi gaster
sering dan atau
makan
diantara
waktu makan
Gejala GI dapat
Observasi
menunjukkan efek anemia
dan catat kejadian (hipoksia) pada organ.
mual/muntah,
flatus dan dan
gejala lain yang Meningkatkan nafsu
berhubungan
Berikan dan
Bantu
hygiene
mulut yang baik ;
sebelum
dan
sesudah
makan,
gunakan sikat gigi
halus
untuk
penyikatan
yang
lembut.
Berikan
pencuci mulut yang
di encerkan bila
mukosa oral luka.
Kolaborasi
pada ahli gizi untuk
rencana diet.
3.
Konstipasi b.d
penurunan masukan
diet; perubahan
proses pencernaan;
efek samping terapi
obat.
Membuat/kembali
pola normal dari
fungsi usus
KH :
Tn D
mengatakan
DS
:
Tn
D lambungnya
tidak nyeri lagi
mengatakan
Warna
lambung nya nyeri urine normal,
DO :
dan warna feses
Urine pekat
normal serta
dan feses hitam
konsistensi
Pada
yang normal
Auskultasi
Bunyi
terdengar bunyi
usus normal.
usus menurun.
Membantu dalam
rencana diet untuk
memenuhi kebutuhan
individual
Meningkatakan
efektivitas program
Kolaborasi ; pengobatan, termasuk
pantau
hasil sumber diet nutrisi yang
pemeriksaan
dibutuhkan.
laboraturium
Kebutuhan
penggantian tergantung
Kolaborasi;
pada tipe anemia dan atau
berikan
obat adanyan masukkan oral
sesuai indikasi
yang buruk dan defisiensi
yang diidentifikasi.
Observasi
Membantu
warna feses,
mengidentifikasi penyebab
konsistensi,
/factor pemberat dan
frekuensi dan
intervensi yang tepat.
jumlah
bunyi usus secara
Auskultasi
umum meningkat pada
bunyi usus
diare dan menurun pada
konstipasi
Awasi
intake dan output
(makanan dan
cairan).
dapat
mengidentifikasi dehidrasi,
kehilangan berlebihan atau
alat dalam
mengidentifikasi defisiensi
diet
Dorong
masukkan cairan
2500-3000 ml/hari
dalam toleransi
jantung
Hindari
makanan yang
membentuk gas
Kaji kondisi
kulit perianal
dengan sering,
catat perubahan
kondisi kulit atau
mulai kerusakan.
Lakukan perawatan
perianal setiap
defekasi bila
terjadi diare.
Kolaborasi
ahli gizi untuk diet
seimbang dengan
tinggi serat dan
bulk.
Berikan
pelembek feses,
stimulant ringan,
laksatif pembentuk
bulk atau enema
sesuai indikasi.
Pantau keefektifan.
(kolaborasi)
Berikan
obat antidiare,
misalnya
membantu dalam
memperbaiki konsistensi
feses bila konstipasi. Akan
membantu
memperthankan status
hidrasi pada diare
menurunkan distress
gastric dan distensi
abdomen
mencegah ekskoriasi
kulit dan kerusakan
4.
Intoleransi aktifitas
b.d
ketidakseimbangan
antara
suplai
oksigen
(pengiriman)
dan
kebutuhan,
kelemahan fisik.
DS
: Tn
D
mengeluhkan
pusing,
lemas,
serta sesak nafas
dan mudah lelah
saat beraktivitas.
DO :
TD :
100/70 mmHg
RR : 24x/i
HR : 85x/i
Dapat
mempertahankan
/meningkatkan
ambulasi/aktivitas
KH :
Tn D dapat
beraktivitas
dengan normal.
RR : 12
21x/i
HR : 60
80x/i
TD :
120/80 mmHg
Defenoxilat
Hidroklorida
dengan atropine
(Lomotil) dan obat
mengabsorpsi air,
misalnya
Metamucil.
(kolaborasi).
Kaji
kemampuan
ADL
pasien.
Observasi
tanda-tanda
vital
sebelum
dan
sesudah aktivitas.
menurunkan motilitas
usus bila diare terjadi.
- Mempengaruhi pilihan
intervensi/bantuan
- Manifestasi
kardiopulmonal dari upaya
jantung dan paru untuk
membawa jumlah oksigen
adekuat ke jaringan
- Meningkatkan istirahat
Berikan
untuk
menurunkan
lingkungan tenang, kebutuhan oksigen tubuh
batasi pengunjung, dan menurunkan regangan
dan kurangi suara jantung dan paru
bising,
pertahankan tirah
baring
bila
di
indikasikan
- Meningkatkan aktivitas
Rencanakan
secara bertahap sampai
kemajuan aktivitas normal dan memperbaiki
dengan
pasien, tonus otot/stamina tanpa
termasuk aktivitas kelemahan. Meingkatkan
yang
pasien harga
diri
dan
rasa
pandang
perlu. terkontrol.
Tingkatkan tingkat
aktivitas
sesuai
toleransi.
- Mendorong
pasien
Gunakan
melakukan
banyak
teknik menghemat aktivitas
dengan
energi,
membatasi penyimpangan
energi
dan
mencegah
kelemahan.
- Regangan/stress
Anjurkan
kardiopulmonal berlebihan
pasien
untuk dapat
menimbulkan
mengehentikan
dekompensasi /kegagalan
5.
Kurang
pengetahuan
Kurang
terpajan/mengingat
; salah interpretasi
informasi ; tidak
mengenal sumber
informasi.
DS
: Tn
D
mengatakan
bahwa awalnya
dia
mengira
kalau dia hanya
kelelahan bekerja
dan
jadwal
makan
tidak
teratur, tapi lama
kelamaan
penyakitnya
bertamabah
parah.
DO : -
Pasien mengerti
dan memahami
tentang penyakit,
prosedur
diagnostic dan
rencana
pengobatan.
KH :
Pasien
menyatakan
pemahamannya
proses penyakit
dan
penatalaksanaan
penyakit.
Mengidentifikasi
factor penyebab.
Melakukan
tiindakan yang
perlu/perubahan
pola hidup.
aktivitas
bila
palpitasi,
nyeri
dada,
nafas
pendek,
kelemahan,
atau
pusing terjadi.
Berikan
informasi tentang
anemia spesifik.
Diskusikan
kenyataan bahwa
terapi tergantung
pada tipe dan
beratnya anemia.
Tinjau
tujuan dan
persiapan untuk
pemeriksaan
diagnostic
Kaji tingkat
pengetahuan klien
dan keluarga
tentang
penyakitnya
Berikan
penjelasan pada
klien tentang
penyakitnya dan
kondisinya
sekarang.
Minta klien
dan keluarga
mengulangi
kembali tentang
materi yang telah
diberikan
memberikan dasar
pengetahuan sehingga
pasien dapat membuat
pilihan yang tepat.
Menurunkan ansietas dan
dapat meningkatkan
kerjasama dalam program
terapi
ansietas/ketakutan
tentang ketidaktahuan
meningkatkan stress,
selanjutnya meningkatkan
beban jantung.
Pengetahuan menurunkan
ansietas.
megetahui
seberapa jauh pengalaman
dan pengetahuan klien dan
keluarga tentang
penyakitnya
dengan mengetahui
penyakit dan kondisinya
sekarang, klien akan
tenang dan mengurangi
rasa cemas
Mengetahui
seberapa jauh
pemahaman klien dan
keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan
yang dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Supandiman.
Hematologi
Klinik.
Penerbit
PT
Alumni.
Bandung,1997.
Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih
bahasa Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,
1996.