Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN REFORMASI BIROKRASI

Evolusi model birokrasi dalam perspektif ekonomi dan


perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia1

Sigit Setiawan2

Sebagian pegawai Kementerian Keuangan dan juga kementerian


lainnya bernapas lega mendengar UU Aparatur Sipil Negara atau
disingkat UU ASN telah disahkan oleh DPR pada tanggal 19 Desember
2013 lalu. Asa untuk menopang keberlanjutan ekonomi keluarga untuk
setidaknya dua tahun ke depan masih ada. Mereka yang harusnya
sudah pensiun per Februari 2014 otomatis diperpanjang dua tahun.

LATAR BELAKANG
Pengesahan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang
kemudian berlaku efektif per 15 Januari 2014 menandai dimulainya babak
lanjutan pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia. Tidak terasa fase pertama
reformasi birokrasi yang diinisiasi melalui penerbitan Perpres nomor 81 tahun
2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 akan berakhir pada
tahun 2014 ini. Masih ada dua fase reformasi birokrasi di depan yang masih
menjadi pekerjaan rumah pemerintah hasil pemilihan umum tahun 2014 dan
2019, yaitu fase kedua (2015-2019) dan fase ketiga (2020-2024).

1
2

Telah dipublikasikan sebelumnya dalam Warta Fiskal Edisi #1/2014


Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral-BKF.

UU ASN dikatakan oleh para ahli menjadi tonggak sejarah reformasi


birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public
Management (NPM) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model
Webberian yang diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU ASN tersebut
penggolongan jabatan struktural dan fungsional bagi PNS diubah menjadi jabatan
administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu di
luar PNS terdapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (kontrak).
Jika garis waktu ditarik ke belakang, sejarah reformasi birokrasi Indonesia
diawali oleh terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun
1997. Peristiwa ekonomi yang diawali oleh runtuhnya nilai tukar rupiah menjadi
pemicu sekaligus pendorong Indonesia untuk melakukan pembenahan di segala
bidang. Reformasi di bidang ekonomi, hukum, dan politik telah dilakukan terlebih
dahulu, dan reformasi di bidang birokrasi kemudian menyusul.
Bila tadi telah disebutkan bahwa pemicu dan pendorong reformasi birokrasi
Indonesia diawali oleh peristiwa ekonomi, maka demikian pula halnya modelmodel birokrasi yang ada. Model birokrasi yang dianut oleh banyak negara di
dunia saat ini termasuk Indonesia adalah mengadopsi model birokrasi yang telah
diterapkan di negara-negara demokrasi Anglo-American, yang dipelopori oleh
Inggris, Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan Kanada. Kelahiran modelmodel birokrasi sendiri tidak lepas dari peran dan dukungan perkembangan
peristiwa ekonomi, serta teori-teori ekonomi dan administrasi publik.
Tulisan ini akan membahas beberapa isu. Isu pertama adalah perjalanan
evolusi model birokrasi di dunia dalam perspektif ekonomi. Isu selanjutnya adalah
uraian singkat perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia, khususnya di
Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal, yang selanjutnya ditutup
dengan kesimpulan dan rekomendasi singkat.

EVOLUSI MODEL BIROKRASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI


Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa ekonomi, teori-teori ekonomi dan
administrasi publik memiliki andil yang amat besar dalam mendorong evolusi
model birokrasi.
Paling tidak terdapat tiga model dalam sejarah tata
pemerintahan dunia, yakni 1) model patronase; 2) model Webberian; dan 3)
model New Public Management (NPM)
Model birokrasi tertua adalah model patronase, yang banyak digunakan
pada masa pemerintahan kerajaan. Dalam model ini, kekuasaan pengelolaan dan
pengendalian pemerintahan berada dalam genggaman satu orang yakni raja/ratu.
Demi kepentingan melanggengkan kekuasaannya, maka raja akan memilih dan
merekrut orang-orang terdekatnya untuk menjadi pejabat dan pegawai
pemerintah dan membantunya mengelola roda pemerintahan sehari-hari.
Kesetiaan menjalankan perintah raja menjadi indikator utama pencapaian
seseorang, terlepas apakah perintah raja tersebut baik atau buruk bagi rakyat
yang dipimpinnya. Model ini kemudian ditinggalkan banyak negara dan
pemerintahan pasca era revolusi industri (1750-1850).
Terjadinya revolusi industri di Inggris tidak hanya mengubah cara pandang
pebisnis dalam mengelola industrinya tapi juga turut andil dalam mengubah cara
pandang negara dalam mengelola pemerintahannya. Aktivitas industri yang
semula bersifat home-made dan berskala kecil kemudian berkembang menjadi
industri massal. Contoh sukses dan paling populer dari penerapan manajemen
industri produksi massal adalah metode Henry Ford dalam mengelola industri
mobil di Amerika Serikat.
Agar proses produksi mobil berlangsung produktif dan efisien serta dapat
menghasilkan produk seragam secara massal, maka Henry Ford menyusun
organisasi dari perusahaan Ford Motor miliknya yang didirikan tahun 1903
berdasarkan prinsip rule of law. Dengan prinsip tersebut, organisasi perusahaan
memiliki penjabaran yang jelas dalam dokumen-dokumen tertulis dan mengikat
secara hukum terhadap hubungan antar hirarki atau level manajemen, antar
manajer dalam perusahaan, dan antar unit organisasi. Wilayah kekuasaan,
3

instruksi atau perintah, dan tanggung jawab dari masing-masing unit organisasi
dan para manajer dalam unit organisasi yang sama memiliki batasan yang jelas
dan mengikat secara hukum.
Pada tahun 1930-an seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog kenamaan
asal Jerman - Max Webber memformulasikan sistem administrasi pemerintahan
modern di masa itu, suatu model birokrasi yang dikenal dengan sebutan model
Webberian, model birokratis, atau model tradisional. Efisiensi dan produktivitas
yang ditawarkan oleh pola kerja industri pasca revolusi industri mengilhami
Webber untuk mengadopsinya bagi tata laksana pemerintahan. Oleh karenanya
model Webberian ini memiliki kemiripan dengan pola organisasi industri massal
seperti halnya Ford Motor dan industri massal lainnya.
Menurut model Webberian, administrasi pemerintahan didasarkan atas
dokumen-dokumen tertulis, dan pengambilan keputusan merujuk pada aturanaturan yang didokumentasikan dan didasari kebiasaan pelaksanaan suatu
kegiatan sebelumnya. Model ini menekankan pentingnya kendali terhadap input
dan proses pengambilan kebijakan. Keberadaan aturan yang terdokumentasi
dengan baik memungkinkan mutasi pegawai tidak akan mengganggu roda
administrasi pemerintahan, sehingga membuat struktur birokrasi lebih permanen
dan stabil.
Warga negara yang merupakan konsumen atau klien bagi pemerintah
diperlakukan sama di depan hukum, dan keputusan yang diberikan pemerintah
terhadap warga negara merujuk pada hukum dan peraturan yang berlaku serta
peristiwa sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar keputusan bersifat adil dan
terhindar dari sengketa, serta menjaga transparansi, stabilitas, dan predictability
dari keputusan itu sendiri. Para pegawai pemerintah memiliki keahlian tersendiri,
dan rekruitmen didasarkan atas hasil tes yang menguji keahlian dan kemampuan
teknis calon pegawai. Berbeda dengan model patronase, pemisahan secara tegas
dilakukan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Anggota legislatif
bertindak sebagai pembuat kebijakan dan pemerintahlah kemudian yang
mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Di tengah sisi baik dari model Webberian, berbagai kritik terhadap model
Webberian bermunculan sejak tahun 1970-an dan menemukan momentumnya di
era knowledge-intensive society and economy tahun 1990-an, awal masa yang
ditandai dengan perubahan yang sangat cepat dan membanjirnya informasi
melalui perangkat internet dan telekomunikasi. Model Webberian menjadi
dipandang memiliki struktur yang gemuk, lamban, dan tidak efektif. Dengan
desain struktur birokrasi yang hirarkis, bersifat komando, dan terpusat di
sekelompok elite birokrasi, serta penerapan aturan yang bersifat kaku dan mutlak
menjadikan model Webberian dipandang tidak dapat mengejar ketertinggalannya
dengan dinamika masyarakat dan pasar yang menuntut perubahan secara cepat.
Di era 1900-an pasca Great Depression, salah satu perdebatan para ekonom
adalah terkait isu kegagalan pasar (market failure) terhadap teori ekonomi klasik
dan neoklasik. Perdebatan ini berujung pada lahirnya teori Keynes yang
menyebutkan dibutuhkannya peran pemerintah yang lebih besar guna
menstabilkan perekonomian khususnya dalam periode krisis agar ekonomi
kembali pada kondisi normal.
Pada akhir 1960-an para ekonom memperdebatkan isu sebaliknya, yakni isu
kegagalan pemerintah (government failure) yang turut mendorong gagasan agar
sektor pemerintah dapat lebih dekat ke pasar, lebih tanggap dan lebih
memfokuskan diri pada masyarakat selaku customer dari pemerintah. Kelompok
ekonom ini - berasal dari pendukung revitalisasi teori ekonomi neoklasik, serta
sekolah-sekolah public choice dan new institutional economics - berpendapat
pula bahwa sektor swasta lebih unggul dibanding sektor pemerintah dalam hal
efisiensi teknis dan biaya, dan menolak anggapan bahwa pemerintah mengetahui
segalanya yang terjadi di pasar.
Adalah James Buchanan dibantu Gordon Tullock - duo ekonom yang
merumuskan teori public choice. Dan James Buchanan atas jasa-jasanya
kemudian memperoleh hadiah Nobel di bidang ekonomi. Teori public choice
menggunakan prinsip yang sama yang digunakan ekonom untuk menganalis
perilaku individu di pasar dan menerapkannya dalam pengambilan keputusan
kolektif. Ekonom yang mempelajari perilaku di pasar privat berasumsi bahwa
5

dorongan atas perilaku individu berasal dari kepentingan pribadi (self-interest).


Walaupun perilaku sebagian besar individu tersebut didasarkan atas
kepeduliannya terhadap sesama orang, motif utama mereka
- bisa pemberi
kerja, pegawai, atau konsumen - tetaplah untuk diri sendiri.
Ekonom teori public choice menerapkan asumsi yang sama bahwa
walaupun individu-individu di arena politik memiliki kepedulian terhadap sesama
orang, motif utama bisa pemberi suara, politisi, pelobi, atau birokrat adalah
untuk diri sendiri. Teori tersebut bersifat skeptis terhadap pernyataan bahwa
perilaku kerja pegawai pemerintah secara murni didorong oleh tugas dan
pertimbangan atas kepentingan masyarakat, dan berargumen bahwa terdapat
tujuan perilaku lain yang lebih kuat seperti maksimasi anggaran, penyerapan
anggaran, dan penghindaran risiko.
Kritikan terhadap model Webberian melahirkan tantangan bagi model
pemerintahan terbaru yang disebut sebagai New Public Management (NPM).
Model ini merupakan sintesa dari berbagai pendekatan: revitalisasi ekonomi
neoklasik, new institutional economics, public choice, dan penggambaran model
yang menyerupai sektor swasta. Reformasi terhadap model Webberian ini
memperoleh daya dorong dari meningkatnya kesadaran terhadap potensi
teknologi informasi dalam menunjang peningkatan efisiensi dan efektivitas
kegiatan pelayanan publik.
Terdapat tiga ciri utama dalam model NPM yaitu :
1) Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik)
Mengubah hirarki agar lebih datar (flat) yang diikuti dengan penyesuaian
sistem informasi dan manajerial. Contoh diagregasi dalam hal ini adalah
penghapusan dan pengalihan jabatan eselon III dan IV yang berorientasi fungsi
dan bukan administrasi menjadi jabatan fungsional yang ditunjang oleh sistem
informasi dan manajerial yang sepadan.
2) Kompetisi penyedia sumber daya internal

Menggantikan pengambilan keputusan berjenjang (hirarki) dengan diversifikasi


sumber-sumber penyedia input dan input antara dalam proses internal
organisasi dan persaingan yang sehat. Contohnya adalah dengan mengurangi
rantai komando dan melakukan pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan
fungsional yang bekerja berdasarkan merit system. Dengan penetapan target
kinerja, akan terdapat beragam output dari para pejabat fungsional yang saling
berkompetisi untuk memperoleh reward dari unit organisasi - baik sebagai tim
maupun perseorangan.
3) Skema remunerasi
Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis remunerasi (diukur
dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah dibuktikan efektivitasnya pada
sistem insentif bagi para profesional di sektor swasta
Agenda sosialisasi model NPM telah dilakukan sejauh ini dalam skema
policy transfer dan policy learning melalui badan-badan dunia seperti IMF,
World Bank, dan OECD. Beberapa negara maju khususnya negara-negara
demokrasi Anglo-American (terutama Inggris, New Zealand, Amerika Serikat,
Kanada, dan Australia) telah memelopori penerapan model NPM. Di Inggris
penerapan dimulai melalui jargon joined up government, yang diikuti oleh
Amerika Serikat di era Clinton melalui jargon reinvention of government. New
Zealand termasuk paling progresif saat ini dan telah menerapkan secara luas
penggunaan kontrak sebagaimana lazimnya di sektor swasta untuk kesepakatan
dua pihak antara badan-badan pemerintah, antara badan pemerintah dan
penyedia swasta, di dalam badan pemerintah itu sendiri, dan dalam unsur
ketenagakerjaan pegawainya. Di Indonesia sendiri penerapan model NPM sudah
terdengar gaungnya melalui penerbitan UU ASN.

PERKEMBANGAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA


Pasca runtuhnya era Orde Baru, dalam reformasi birokrasi Indonesia tahap
pertama (2010-2014) Indonesia melakukan transisi dari model birokrasi
7

sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti model Webberian,


namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model patronase yang
sentralistis. Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde Reformasi sistem
birokrasi ditata kembali untuk menghilangkan model patronase antara lain
melalui penyusunan tupoksi, indikator kinerja dan job grading. Langkah
awal
penataan birokrasi sejauh ini patut diapresiasi dan telah menunjukkan hasil dalam
kestabilan struktur birokrasi. Beberapa sektor pemerintah (termasuk
Kementerian Keuangan) telah berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang
ditunjang oleh upaya keras pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun
harus diakui di sebagian sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsipprinsip transparansi, stabilitas, dan predictability model Webberian dalam
pengambilan kebijakan belum berjalan mulus.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model birokrasi kementerian dan
lembaga pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan dan Badan
Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan saat ini pada umumnya masih menganut
prinsip-prinsip model Webberian sebagaimana diusung oleh UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Walaupun demikian terdapat lembaga pemerintah seperti
Kementerian PPN/Bappenas yang sudah memelopori penerapan sebagian model
NPM sejak tahun 2004 melalui penghapusan dan pengalihan jabatan eselon IV di
kedeputian-kedeputian ke jabatan fungsional perencana (JFP). Unit kerja eselon
IV kini hanya ditemui di Sekretariat Kementerian PPN/Sekretariat Utama
Bappenas, Tata Usaha Kedeputian, dan Inspektorat.
Melalui pengalihan ke jabatan fungsional tersebut Bappenas menargetkan
terjadi peningkatan kemampuan profesional dan peningkatan kinerja khususnya
para fungsional perencana di bidang perencanaan baik perencanaan makro,
sektoral, dan regional pembangunan nasional. Upaya Bappenas tersebut selaras
dengan wacana pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang
telah disuarakan dalam berbagai kesempatan oleh Kemenpan-RB, dan juga UU
ASN yang secara filosofis hanya mengenal eselonisasi hingga eselon II
eselonisasi yang diistilahkan sebagai jabatan pimpinan tinggi. Dalam UU ASN,
jabatan yang berorientasi pada administrasi dimasukkan ke dalam jabatan
8

administrasi, sedangkan jabatan yang berorientasi pada fungsi dimasukkan ke


dalam jabatan fungsional.
Sementara itu Kementerian Keuangan baru mulai merintis melalui
penerbitan PMK Nomor 27 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan dan
Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkungan Kementerian Keuangan
yang berlaku efektif per 4 Februari 2014. Penerbitan PMK ini didasari atas tujuan
untuk menyamakan persepsi mengenai jabatan fungsional bagi seluruh unit
organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku guna melakukan revitalisasi jabatan fungsional
di lingkungan Kementerian Keuangan. Upaya pengembangan dan revitalisasi
jabatan fungsional mengandung implikasi antara lain perlunya rasionalisasi
jabatan struktural dan jabatan fungsional, penyusunan jenjang karir kepegawaian,
program diklat yang relevan dan terstruktur, job grading dan job pricing,
penentuan orang yang tepat pada jabatannya, pengelolaan kinerja pegawai,
penghargaan finansial dan non-finansial kepada pegawai, dan budaya kemitraan
antara jabatan struktural dan jabatan fungsional berdasarkan kode etik yang
berlaku.
Upaya pengalihan jabatan struktural tertentu yang lebih berorientasi ke
fungsi menjadi jabatan fungsional perlu dilakukan mengingat hal tersebut akan
mendukung lima tema transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan, yakni
1. Memperkuat budaya akuntabilitas berorientasi outcome;
2. Merevisi model operasional, merampingkan proses bisnis, mempercepat
digitalisasi pada skala besar;
3. Membuat struktur organisasi lebih fit-for-purpose dan efektif;
4. Menghargai kontribusi pegawai berprestasi dengan mengembangkan dan
memberdayakan mereka untuk memperoleh dan membangun keahlian
fungsional yang vital;
5. Menjadi lebih proaktif dalam mempengaruhi stakeholder untuk menghasilkan
terobosan nasional.

Transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan itu sendiri merupakan


amanat dari KMK Nomor 183 tahun 2013 tentang Kebijakan Strategis
Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025. Dalam KMK tersebut dirumuskan
bahwa strategi bidang organisasi dan tata kelola adalah mewujudkan transformasi
pelaksanaan tugas dan fungsi unit organisasi melalui pengembangan jabatan
fungsional dan penataan jabatan struktural dengan rincian strategi sebagai
berikut:

Periode 2014-2019
Membentuk jabatan fungsional core
business Kemenkeu;
Monev jabatan fungsional;
Penyempurnaan jabatan fungsional
Kementerian Keuangan yang sudah
ada;
Penggunaan jabatan fungsional yang
dikembangkan K/L lain;
Memasukkan tusi jabatan fungsional
ke dalam peraturan organisasi dan
tata kerja Kementerian Keuangan;
Pengembangan TIK untuk mendukung
pengembangan jabatan fungsional.

Periode 2020-2025:
Rasionalisasi jabatan struktural dan
jabatan fungsional (right sizing);
Sinergisitas antara jabatan struktural
dan jabatan fungsional;
Penyempurnaan jabatan fungsional
Kementerian Keuangan yang sudah
ada;
Penggunaan jabatan fungsional yang
dikembangkan K/L lain.

Sementara itu sebagai implementasi PMK Nomor 27 tahun 2014, Badan


Kebijakan Fiskal yang saat ini telah memiliki jabatan fungsional peneliti juga telah
mengusulkan jabatan fungsional baru yakni analis ekonomi. Sedangkan dari
usulan seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan terdapat total
dua puluh usulan jabatan fungsional baru.
Sejauh ini Kemenpan-RB telah memfasilitasi kelahiran jabatan fungsional
analis kebijakan melalui penerbitan landasan hukumnya. Jabatan fungsional analis
10

kebijakan telah memiliki landasan hukum dan pedoman teknis menurut


Permenpan-RB Nomor 45 tahun 2013. Di samping itu instansi pembina jabatan
fungsional analis kebijakan telah ditunjuk yakni Lembaga Administrasi Negara
(LAN) berdasarkan Perpres nomor 57 tahun 2013. Di luar itu, terdapat beberapa
jabatan fungsional lain yang bisa saja berada di unit-unit tertentu di BKF, walau
nantinya menginduk ke unit pembina asal. Contohnya antara lain perencana,
perancang peraturan undang-undang, analis kepegawaian, dan pranata
komputer. Hal tersebut semestinya dimungkinkan karena UU ASN disusun
bertujuan untuk menerapkan sistem manajemen pegawai yang berbasis jabatan
- sebagai pengganti sistem manajemen pegawai berbasis karier menurut UU
Pokok-Pokok Pegawai Nomor 8 tahun 1974 dan UU Nomor 43 tahun 1999.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, dalam perjalanan evolusi model
birokrasi paling tidak terdapat tiga model yaitu 1) model patronase, 2) model
Webberian, dan 3) model New Public Management (NPM). Perjalanan evolusi
model birokrasi merupakan respon terhadap perkembangan ekonomi dan sosial
masyarakat dan dipacu oleh peristiwa yang mengubah tatanan ekonomi
masyarakat secara fundamental, seperti revolusi industri, krisis ekonomi serta
perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi. Berbagai teori ekonomi
yang lahir memberikan penguatan terhadap evolusi ini.
Model birokrasi pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan
dan Badan Kebijakan Fiskal saat ini adalah dalam proses transisi dari model
Webberian ke model New Public Management seiring dengan penerbitan UU
Aparatur Sipil Negara Nomor 5 tahun 2014. Kementerian
Keuangan
telah
mengumpulkan duapuluh calon jabatan fungsional baru termasuk analis ekonomi
yang diusulkan oleh Badan Kebijakan Fiskal. Selain jabatan fungsional peneliti
yang sudah terlebih dulu ada di BKF, direkomendasikan untuk mengisi BKF dengan
jabatan fungsional inti BKF seperti analis kebijakan dan analis ekonomi.
Selanjutnya rekomendasi tersebut juga dapat diterapkan untuk jabatan fungsional
di luar inti BKF mengingat UU ASN bertujuan untuk menerapkan sistem
manajemen pegawai yang berbasis jabatan dan bukan lagi sistem manajemen
pegawai berbasis karier. Hal-hal tersebut diharapkan akan mengukuhkan BKF dan
Kementerian Keuangan sebagai pelopor reformasi birokrasi guna menuju tata
11

kelola pemerintahan Indonesia ke depan yang semakin efektif, efisien, maju dan
modern.

12

REFERENSI

S. Goldfinch, J. Wallis. International Handbook of Public Management Reform.


Edward Elgar Publishing. 2009
J.S. Shaw. Public Choice Theory, dalam The Concice Encyclopedia of Economics.
Library of Economics and Liberty.
C. Winston. Government Failure versus Market Failure: Microeconomics Policy
Research and Government Performance. AEI-Brookings Joint Center For
Regulatory Studies. 2006.
Kementerian Keuangan. Cetak Biru Transformasi Kelembagaan Kementerian
Keuangan 2014-2025
Naskah Akademik Rancangan UU ASN.
Peraturan perundang-undangan yang relevan.

13

Anda mungkin juga menyukai