Strategi
Peningkatan
Produktivita
s
Jidoka dan Zero QC (1)
Fakultas
Program
Pascasarjana
Program
Studi
Magister Teknik
Industri
Pertemua
n Online
06
Kode MK
Disusun Oleh
B11536CA
(M-203)
Abstract
Kompetensi
Kualitas merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam sistem industri. Hal ini
berkaitan dengan kepuasan pelanggan dalam menikmati produk yang dihasilkan. Oleh
karena itu, setiap industri memiliki tujuan utama untuk dapat menciptakan produk yang
berkualitas tinggi dan bebas dari cacat. Selain itu juga, hal ini berkaitan dengan biaya
produksi. Produk yang bebas cacat akan mengurangi biaya produksi karena tidak diperlukan
rework ataupun proses-proses lainnya yang dapat menambah biaya produksi. Biaya
produksi yang rendah dengan kualitas yang baik akan menjadikan suatu produk dapat
bersaing di pasaran dan meningkatkan penjualan.
Pembangunan kualitas disadari dalam Toyota Production System (TPS) sebagai hal yang
penting untuk diperhatikan. Pemikiran tentang hal ini pertama kali muncul ketika Sakichi
Toyoda mengamati alat tenun otomatis buatannya menghasilkan produk cacat yang
diakibatkan adanya masalah dalam proses (benang yang terputus). Sakichi menyadari
bahwa produk cacat tersebut akan terus dihasilkan dari proses kerusakan yang sama dan
hal ini merupakan suatu pemborosan. Sakichipun memperbaiki alat tenunnya tersebut dan
membuat suatu alat yang dapat mendeteksi adanya benang yang terputus. Ketika hal
tersebut terjadi, alat tersebut akan menghentikan kerja alat tenun, setelah dilakukan
perbaikan baru alat tersebut dapat bekerja kembali (Liker, 2006). Dari hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kualitas harus dibangun dalam proses agar dapat mendeteksi
permasalahan lebih cepat sehingga produk cacat tidak baru ditemukan di akhir proses.
Dengan mendeteksi masalah lebih cepat, kerugian yang dihasilkan akan lebih sedikit
dibandingkan baru menyadari adanya produk cacat di akhir proses. Berdasarkan hal
tersebut, maka diperlukan suatu metode untuk mendeteksi kerusakan pada saat hal
tersebut terjadi dan secara otomatis dapat menghentikan produksi sehingga pekerja dapat
memperbaiki masalah sebelum produk cacat tersebut diteruskan ke proses selanjutnya.
Dalam TPS, konsep mengenai pembangunan kualitas dalam proses ini merupakan konsep
penting sehingga dijadikan sebagai pilar kedua dari House of Toyota Production System
(Gambar 1). Pembangunan kualitas diwujudkan dalam TPS sebagai sebuah konsep
bernama Jidoka
201
4
Pada bab ini akan menjelaskan mengenai konsep dasar pada Toyota Production System
yang berkaitan dengan kualitas, yaitu jidoka. Selain itu juga, akan dijelaskan mengenai
metode-metode yang digunakan dalam TPS untuk membantu menerapkan konsep tersebut,
yaitu zero qc dan poka yoke.
Jidoka
Pengertian Jidoka
Jidoka memiliki pengertian autonomation atau peralatan yang dilengkapi dengan
kecerdasan manusia untuk menghentikan dirinya sendiri ketika terjadi masalah. Istilah ini
seringkali digunakan dalam hubungannya dengan proses quality control dalam Toyota
Production System (Lean Manufacturing). Jidoka merupakan salah satu konsep dasar dari
TPS yang memiliki tujuan utama mengeliminasi pemborosan dalam sistem produksi. Dalam
konsep jidoka, terdapat dua elemen penting yang harus diperhatikan dalam sistem produksi,
yaitu manusia dan mesin. Dengan menyatukan dua elemen ini, maka dapat dipahami bahwa
jidoka bukanlah konsep mengenai automasi atau mekanisasi, tapi autonomasi, dengan
memasukan elemen manusia. Sebagai contoh, pengoperasian mesin penuh dengan
kemungkinan kesalahan yang dapat menghasilkan produk cacat, oleh karena itu diperlukan
suatu campur tangan berupa kecerdasan manusia untuk dapat mendeteksi kesalahan
tersebut dan mencegahnya (Liker, 2006) Namun pada dasarnya, jidoka merupakan suatu
konsep yang berkaitan dengan kemampuan manusia atau mesin dalam mendeteksi kondisi
201
4
tidak normal pada material, mesin, atau metode dan bertujuan untuk mencegah kondisi
tersebut dilanjutkan ke proses berikutnya.
Tujuan Jidoka
Tujuan dari penerapan konsep jidoka adalah :
1. Membangun kualitas dalam proses produksi untuk menghindari terjadinya produk
cacat.
2. Mencegah terjadinya kecelakaan pada pekerja akibat adanya bahaya yang
disebabkan oleh masalah pada peralatan dan mesin.
3. Memisahkan kerja manusia dari kerja mesin, ketika mesin memiliki kemampuan
otomatis untuk menghentikan proses ketika terjadi masalah, maka tidak dibutuhkan
manusia untuk bekerja pada mesin tersebut. Dengan demikan jidoka membuat
manusia tidak terikat dengan mesin dan dapat memindahkan manusia ke dalam
aktivitas penambahan nilai lainnya.
Pada dasarnya, tujuan utama dari jidoka adalah untuk dapat menghentikan proses kerja
secara otomatis ketika terjadi masalah. Adanya kemampuan untuk dapat menghentikan
proses secara otomatis dapat membantu menghentikan produk cacat diteruskan ke proses
selanjutnya, mencegah kecelakaan pada pekerja, membatasi bahaya dari mesin, dan
membantu melihat permasalahan yang terjadi.
Fungsi Jidoka
Menurut Hirano (2009), terdapat 3 fungsi dari Jidoka, yaitu :
1. Memisahkan pekerjaan yang dilakukan manusia dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh mesin. Jidoka sering disebut tahapan pergeseran dari pekerjaan yang dilakukan
oleh manusia menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh mesin. Untuk contoh dari fungsi ini
adalah memisahkan pekerjaan yang dilakukan oleh operator mesin bor dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh mesin bor. Dalam studi kasus ini mesin bor dapat berputar secara
otomatis, operator mempunyai dua tugas yang harus dikerjakan manual dalam
menggunakan mesin bor ini yaitu memutar carnk dengan satu tangan yaitu tangan kanan
untuk menurunkan bor mendekati benda kerja, dan tangan kirinya memegang benda
kerja pada workplace seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.
201
4
Gambar 2
Kita dapat memisahkan pekerjaan manusia dari mesin dengan cara menambahkan
tombol untuk menaik turunkan crank sehingga tangan kanan operator dapat terbebas dari
pekerjaannya, seperti yang akan diperlihatkan pada gambar 3.
Gambar 3
Kemudian untuk tangan kiri operator yang yang harus memegang benda kerja pada
workplace kita dapat menambahkan pneumatic cylinder yang dapat digunakan untuk
menyimpan benda kerja dengan setingan supaya benda kerja tidak berubah. Dengan
begitu operator hanya tinggal melakukan pekerjaan melakukan setingan awal dan
melepaskan benda kerja ketika benda kerja tersebut selesai dibor. Untuk menghilangkan
pekerjaan tersebut kita dapat menambahkan pneumatic cylinder lain yang dapat
mendorong benda kerja yang telah diproses dari mesin kembali keposisi awal. Seperti
201
4
yang akan di perlihatkan pada gambar 3. Dengan begitu sisa pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh operator hanyalah mensetup benda kerja pada mesin bor dan menekan
tombol start.
Gambar 4
2. Membuat peralatan untuk mencegah cacat. Fungsi yang pertama yaitu memisahkan
pekerjaan yang dilakukan manusia menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh mesin tidak
akan berhasil jika proses tersebut masih menghasilkan produk cacat. Untuk solusi
masalah tersebut yaitu membuat peralatan yang dipasangkan pada mesin untuk
mendeteksi jika terjadi kesalahan dalam proses yang dapat mengakibatkan produk
cacat. Sehingga operator dapat dengan cepat menyelesaikan permasalahnya yang akan
mengakibatkan cacat produk. Sebagai contoh yaitu pencegahan cacat pada proses
mesin tapping untuk mengencangkan 12 bit dengan waktu bersamaan. Sering terjadi
kesalahan dalam proses ini seperti drill bits patah, atau kesalahan yang dilakukan mesin
yaitu posisinya tidak pas terhadap lubang yang akan dikencangkan sehingga
pengencangan tidak dilakukan semuanya atau hanya sebagian. Sehingga perusahaan
harus menyuruh operator untuk memrikasa apakah terdapat produk yang cacat. Untuk
memperbaiki proses tersebut dipasangkan microswitch dibawah setiap lubang, seperti
yang akan diperlihatkan pada gambar 5.
201
4
Gambar 5
Sehingga jika salah satu dari 12 microswitch tidak tertekan selama proses tapping mesin
akan berhenti sendiri dan lampu (andon) seperti yang terlihat pada gambar 4 akan
menyala. Hal ini akan menghilangkan kebutuhan untuk menempatkan operator yang
bertugas mengawasi produk cacat, karena jika terjadi keurangan penekanan pada 12
drill bits lampu akan secara otomatis menyala, sehingga operator dapat segera
memperbaikinya.
3. Penerapan Jidoka untuk Assembly Line. Penerapan pada proses ini misalnya untuk
penghentian jalur perakitan jika terjadi cacat untuk segera mengambil langkah
perbaikan, dan untuk mencegah overproduction. Seperti contoh yang akan diperlihatkan
pada gambar 6.
Gambar 6
Gambar 5 mencontohkan aliran produk dibiarkan terus dalam dua kondisi, jika
penyangga pada mesin A masih terbuka maka mesin satu akan menutup untuk
mencegah terjadinya overproduction, kemudian ketika penyangga pada mesin B tertutup
maka hal tersebut menandakan tidak ada produk pada bagian B sehingga mesin 2 akan
mengalirkan produk.
201
4
Pembangunan Kualitas
Hal utama yang harus diperhatikan adalah pekerja harus memahami prinsip bahwa
pemeriksaan kualitas harus dilakukan pada setiap tahapan proses sehingga produk cacat
akan diteruskan ke proses selanjutnya (termasuk konsumen). Dalam prosesnya, metode
mistake-proofing digunakan untuk membantu menjaga kualitas produk dalam proses, akan
dijelaskan pada subbab selanjutnya. Dalam TPS, para pekerjanya dilatih untuk dapat
melihat situasi dan kondisi proses produksi agar ketika terjadi masalah, mereka dapat
menemukan sumber masalahnya dan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pembangunan Kualitas dalam Setiap Proses
Untuk memastikan produk cacat tidak diteruskan ke proses selanjutnya, maka diperlukan
inspeksi produk di setiap prosesnya. Hanya dengan cara ini dapat dipastikan semua produk
yang smapai ke tangan ke konsumen adalah produk yang bebas cacat. Semakin cepat
cacat ditemukan, maka proses perbaikannya pun akan semakin lebih mudah dan dapat
dieliminasi. Oleh karena itu, penting untuk para pekerja dalam setiap proses untuk dapat
menginspeksi kualitas dari setiap produk yang mereka hasilkan. Salah satu caranya adalah
dengan standarisasi kerja. Dengan standarisasi kerja, terlihat jelas spesifikasi yang dari
setiap produk sehingga kualitas dapat dijaga dan dapat dicapai.
Inspeksi Kerja
Inspeksi kerja tidak selalu merupakan suatu aksi penentuan apakah suatu produk dikatakan
baik atau buruk, tapi juga merupakan suatu proses pemikiran tentang cara mencegah cacat
produk.
Penambahan Nilai pada Reduksi Perbaikan
Ketika dihasilkan produk cacat maka diperlukan proses perbaikan yang membutuhkan
waktu, tenaga dan biaya dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan pencegahan
dengan cara meningkatkan kualitas produk dengan cara peningkatan berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas. Dengan menghasilkan prpduk berkualitas tinggi dan mengeliminasi
kebuthkan akan perbaikan, tidak hanya jam kerja bekerja yang dapat direduksi, tapi juga
jam kerja untuk melakukan inspeksi dapat direduksi.
201
4
menghasilkan produk yang cacat adalah untuk menjaga kepuasan dan loyalitas pelanggan.
Selain itu untuk satu produk cacat yang diproduksi akan berdampak pada biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan.
201
4
10
(hanya pada inspeksi yang bersifat fisik). Oleh karena itu, dikembangkan lah metode
successive check, yaitu inspeksi produk dimana operator mesin yang sama akan melakukan
proses inspeksi yang sama dan dilakukan pada operator di proses berturut-turut setelahnya.
Adanya metode ini, maka didapatkan feedback yang lebih baik dibandingkan dengan
metode poka yoke, karena pada metode ini, pengecekan dilakukan secara lebih detail.
Namun kedua metode memiliki kelebihannya masing-masing, dengan pemikiran tersebut,
Shigeo Shingo mencoba untuk menggabungkan kedua metode tersebut. Pada tahun 1963,
Shigeo Shingo menerapkan gabungan kedua metode tersebut di sebuah perusahaan,
Matsushita Electric. Shigeo Shingo mencoba membandingkan proses yang menerapkan
SQC dan QCC dan proses yang menerapkan poka yoke dan successive. Kemudian
dilakukan penghitungan terhadap defect rate. Hasilnya adalah proses yang menerapkan
SQC dan QC awalnya defect rate berkurang menjadi 15% dan kemudian menjadi 6.5%,
sedangkan proses yang menerapkan poka yoke dan successive dan sel check terjadi
penurunan defect rate menjadi 0.65% hingga dapat berkurang menjadi 0.016%. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa proses kedua dengan penerapan metodenya (poka yoke dan
succesive check) telah terbukti berhasil dibandingkan metode SQC yang menggunakan
control chart.
Tahap 4 : Sampling Inspection
Shigeo Shingo menyadari bahwa tidak mungkin menghasilkan proses produksi dengan
produk yang bebas cacat 100% (zero defect). Namun, dia beranggapan bahwa, serendah
apapun persentase dari defect rate, jika produk cacat tersebut sampai ke konsumen, maka
konsumen tidak akan puas dengan produk tersebut dan dapat berpikiran buruk pada
perusahaan. Pada tahun 1964, Shigeo Shingo bertemu dengan Mr. Tokizane, yaitu kepala
bagian di Matsushita Electric yang memiliki pemikiran yang sama dengan Shingo. Ia
menginginkan bahwa proses produksinya tidak menghasilkan satupun produk cacat. Shingo
berpikir bahwa untuk mewujudkan hal tersebut, maka satu-satunya cara yang harus
dilakukan adalah dengan memeriksa semua produk yang dihasilkan (inspeksi 100%) dan
hal ini dapat diwujudkan dengan penggunaan teknik poka yoke.
Tahap 5 : Pendekatan dengan Source Inspection
Berdasarkan pemikiran sebelumnya, maka Shigeo Shingo berkonsentrasi pada penerapan
inspeksi 100%. Pada tahun 1967, ia menemukan konsep source inspection, yaitu suatu
cacat dapat terjadi akibat dari suatu kondisi, oleh karena itu cacat dapat dieliminasi dengan
menemukan sumber masalah dan mengatasi sumbernya tersebut. Kemudian pada tahun
1971, ia berkunjung ke suatu perusahaan industri di Eropa Barat. perusahaan tersebut
memperkenalkan bahwa semua proses produksi baru dapat dimulai ketika semua hal telah
201
4
11
dinyatakan baik oleh atasannya dengan menggunakan checklist. Dengan cara tersebut,
perusahaan itu memiliki defect rate 2.5%, sedangkan perusahaan di Jepang yang
menggunakan dasar dari source inspection memiliki defect rate 0.3%.
Tahap 6 : Pencapaian dengan Zero Defect
Pada tahun 1977, Shigeo Shingo mendengar bahwa Matsushita Electric telah berhasil
mencapai satu bulan produksi tanpa satupun barang cacat (zero defect). Ia mengetahui
bahwa hal ini berhasil dicapai akibat adanya penggunaan source inspection, self-check,
successive check, dan poka yoke device. Penggunaan metode-metode ini kemudian
dilanjutkan hingga 6 bulan berikutnya dan berhasil menghasilkan produk tanpa satupun
produk cacat. Shigeo Shingo mneyadari bahwa hal ini akan sulit dicapai dengan
mengunakan metode SQC yang hanya berdasarkan statistik induktif.
Tahap 7 : Konsep Dasar dalam Zero Quality Control
ZQC dibangun dari integrasi 4 elemen dasar berikut :
1. Melakukan inspeksi untuk menangani kesalahan sebelum terjadi cacat.
2. Melakukan 100% inspeksi untuk memeriksa semua produk, bukan hanya sample
yang diperiksa.
3. Memberikan feedback langsung sehingga menghemat waktu untuk melakukan
koreksi.
4. Supaya orang tidak melakukan kesalahan, ZQC menggunakan poka yoke (mistakeproofing) sebagai alat yang berfungsi memeriksa kesalahan.
12
b. Successive Checks
Dalam Successive Checks orang pada proses selanjutnya memeriksa setiap unit
yang diberikan kepada mereka, jika ditemukan cacat maka orang yang memeriksa
tersebut memberi tahu proses sebelumya supaya dapat cepat diperbaiki sebelum
terlalu banyak produk cacat yang diproses.
c. Self-Checks
Dalam Self-Checks operator atau perakit memeriksa hasil dari pekerjaannya sendiri
apakah produk tersebut cacat atau tidak, jika produk tersebut tidak cacat maka
produk tersebut boleh diberikan pada proses selanjutnya.
3. Pemeriksaan yang menghilangkan cacat : Source Inspection
Source Inspection mendeteksi kesalahan dan memberikan informasi sebelum
dilakukan proses, sehingga kesalahan tersebut dapat segera diatasi sebelum
menghasilkan produk cacat. Dalam melakukannya biasanya menggunakan system
poka yoke.
201
4
13